bab ii studi pustaka -...

145
STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN Laporan Akhir II - 1 BAB II STUDI PUSTAKA A. DEFINISI KRITERIA Pengertian dan literatur yang membahas khusus masalah kriteria ternyata belum banyak ditemukan, scope kriteria sangat sempit setelah melihat kenyataan bahwa kriteria digunakan oleh manusia pada umumnya hanya sebagai salah satu alat bantu dalam proses atau teknis pengambilan keputusan. 1. Definisi Beberapa definisi kriteria yang diperoleh dari referensi adalah sebagai berikut: a. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP, 1990) Pengertian kriteria yang berlaku secara umum adalah “ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu”; b. (Kamus Besar Bahasa Indonesia-online) Kriteria : /kritéria/ n ukuran yg menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu; -- delisting Ek ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan dicoretnya (dikeluarkannya) suatu lembaga atau badan dari papan bursa efek. 2. Sifat kriteria Kriteria yang ditetapkan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Kriteria selalu mengandung nilai-nilai yang universal maupun lokal; b. Harus dipastikan bahwa kriteria tersebut berfungsi dengan baik pada saat dipergunakan (mengandung nilai-nilai yang statis maupun dinamis); Harus dipastikan bahwa orang yang akan menggunakan kriteria tersebut benar-benar memahami seluk-beluk tentang kriteria yang dimaksud. Istilah “kriteria“sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur“ atau “standar“. Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal

Upload: lexuyen

Post on 06-Mar-2019

255 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 1

BAB II

STUDI PUSTAKA

A. DEFINISI KRITERIA

Pengertian dan literatur yang membahas khusus masalah kriteria ternyata belum banyak ditemukan, scope kriteria sangat sempit setelah melihat kenyataan bahwa kriteria digunakan oleh manusia pada umumnya hanya sebagai salah satu alat bantu dalam proses atau teknis pengambilan keputusan.

1. Definisi

Beberapa definisi kriteria yang diperoleh dari referensi adalah sebagai berikut: a. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, BP, 1990) Pengertian

kriteria yang berlaku secara umum adalah “ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu”;

b. (Kamus Besar Bahasa Indonesia-online) Kriteria : /kritéria/ n ukuran yg menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu; -- delisting Ek ukuran yang menjadi dasar penilaian atau penetapan dicoretnya (dikeluarkannya) suatu lembaga atau badan dari papan bursa efek.

2. Sifat kriteria

Kriteria yang ditetapkan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: a. Kriteria selalu mengandung nilai-nilai yang universal

maupun lokal; b. Harus dipastikan bahwa kriteria tersebut berfungsi dengan

baik pada saat dipergunakan (mengandung nilai-nilai yang statis maupun dinamis);

Harus dipastikan bahwa orang yang akan menggunakan kriteria tersebut benar-benar memahami seluk-beluk tentang kriteria yang dimaksud.

Istilah “kriteria“sering juga dikenal dengan kata “tolok ukur“ atau “standar“. Dari nama-nama yang digunakan tersebut dapat segera dipahami bahwa kriteria, tolok ukur, atau standar, adalah sesuatu yang digunakan sebagai patokan atau batas minimal

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 2

untuk sesuatu yang diukur. Kriteria atau standar dapat disamakan dengan “ takaran “. Jika untuk mengetahui berat beras digunakan timbangan, panjangnya benda digunakan meteran maka kriteria atau tolak ukur digunakan untuk menakar kondisi objek yang dinilai.

Tentang batas yang ditunjuk oleh kriteria, sebagaian orang mengatakan bahwa tolok ukur adalah “ batas atas “, artinya batas maksimal yang harus dicapai. Sementara sebagaian orang lainnya bahwa tolok ukur atau kriteria adalah “ batas bawah” yaitu batas minimal yang harus dicapai. Dapat disimpulkan bahwa kriteria atau kriteria atau tolok ukur itu bersifat jamak menunjukkan batas atas dan batas bawah.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia kriteria adalah ukuran yg menjadi dasar penilaian atau penetapan sesuatu; delisting Ek ukuran yg menjadi dasar penilaian atau penetapan dicoretnya (dikeluarkannya) suatu lembaga atau badan dari papan bursa efek.

Gambar 2.1. Visual Arti Kata Kriteria

UKURAN

TOLOK UKUR

STANDAR

ETIKA

PATOKAN KRITERIA

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 3

B. SISTEM TRANSPORTASI LAUT

a. Unitzed, Petikemas, Curah Kering, b. Ekonomi-Bisnis Cair, Perdagangan, Investasi dan Pelayaran Industri, Produksi, Pertumbuhan Ekonomi Teknologi dan

Spesialisasi

c. Akses Laut dan darat, Kapasitas dan Pelayanan, Efisiensi dan Efektifitas Spesialisasi Terminal Hub Port

Gambar 2.2 Sistem Transportasi Laut

Sebagai negara kepulauan, Indonesia mempunyai potensi wilayah tersebar dari hinterland, dihubungkan oleh jaringan transportasi jalan ke pelabuhan, sistem transportasi laut, sistem transportasi laut (kepelabuhanan, pelayaran/perkapalan dan potensi pergerakan barang) sebagaimana tampak pada gambar diatas. Mempunyai fungsi sangat penting. Pelabuhan sebagai titik-titik simpul jasa distribusi melalui laut dan sebagai pusat kegiatan transportasi laut, menyediakan ruang untuk industri dan menunjang pembangunan masa depan. Moda transportasi laut lebih efisien untuk mengangkut barang dalam jumlah besar, kecepatan dan biaya angkutan perton mil relatif rendah dan sangat menguntungkan untuk angkutan barang jarak jauh pada wilayah kepulauan.

Pengembangan transportasi jangka pendek dan menengah berdasar pada kriteria pengembangan jaringan transportasi nasional meliputi: fungsi kota dan tata ruang nasional, pola produksi dan konsumsi, faktor

(A) CARGO/ MUATAN

(B) KAPAL

( C ) PELABUHAN

TRANSPORTASI LAUT

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 4

geografis dan moda yang paling ekonomis dalam melayani arus barang dan penumpang.

C. TATANAN INFRASTRUKTUR PELABUHAN

Menurut UU No. 17/2008 tentang pelayaran, Bab VII bagian kepelabuhanan, menjelaskan tentang tatanan kepelabuhan Nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah berwawasan nusantara.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 5

Gambar 2.3 Fungsi Pelabuhan

Fungsi Pelabuhan Menunjang

Industri

Menunjang daerah terkebelakang

Melayani angkutan Penumpang

Melayani angkutan barang DN

Melayani Angkutan Barang LN

Ekspor

Impor

Antar Pulau

Antar Daerah

Sektoral

Regional

Pembangunan Industri daerah

Pembangunan di pantai Industri

Supplay tenaga listrik

Menunjang Kehidupan Penduduk

Pemukiman

Kegiatan tempat rekreasi

Perbaikan lingkungan hidup

Bantuan untuk bencana alam dll

Kegiatan kemasyarakatan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 6

Tatanan kepelabuhan nasional merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah serta kondisi alam. Tatanan kepelabuhan nasional memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional,dan lokasi pelabuhan. Pelabuhan adalah suatu kawasan yang mempunyai infrastruktur (sarana dan prasarana) dalam menunjang kegiatan operasional. Infrastruktur tersebut merupakan fasilitas yang harus ada pada suatu pelabuhan untuk mendukung operasional atau usaha pelabuhan. Infrastuktur atau fasilitas pelabuhan terdiri dari fasilitas pokok (sarana) dan fasilitas penunjang (prasarana). Pembagian ini berdasarkan atas kepentingan terhadap kegiatan pelabuhan itu sendiri.

Definisi yang tercantum dalam PP No. 61 / 2009 tentang Kepelabuhanan menjelaskan bahwa, pertama, pelabuhan utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/ atau barang serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antar provinsi. Kedua, pelabuhan pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/ atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antar provinsi.

D. PERATURAN PERUNDANG UNDANGAN YANG TERKAIT DENGAN PENYUSUNAN KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran dengan jelas ditegaskan bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.

Oleh karena itu, dalam Bab IV Pembinaan pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran yang ditegaskan bahwa “Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan.

Selanjutnya akan dijelaskan mengenai dasar hukum yang digunakan untuk penyusunan masing-masing kriteria.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 7

1. Kriteria pelabuhan yang dapat diusahakan secara komersial dan non komersial

a. UU NO. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran Dalam UU No. 17 tahun 208 pasal 1 butir 16, pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.

b. PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan Dalam pasal 6 ayat 3 PP No. 61 tahun 2009 tentang kepelabuhanan disebutkan bahwa secara hirarkhi, pelabuhan laut terdiri dari pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul dan pelabuhan pengumpan. Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 10 ayat 2, bahwa rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun harus sesuai dengan: 1) rencana tata ruang wilayah nasional, rencana tata

ruang wilayah provinsi, dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota;

2) potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah; 3) potensi sumber daya alam; dan 4) perkembangan lingkungan strategis, baik nasional

maupun internasional.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam pasal 20 ayat 1 bahwa setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan. Selanjutnya dalam Pasal 21 bahwa Rencana Induk Pelabuhan laut meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan. Rencana peruntukan wilayah daratan dan perairan tersebut disusun berdasarkan kriteria kebutuhan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang.

Pasal 22 ayat 2 menyebutkan bahwa fasilitas pokok untuk wilayah daratan meliputi: 1) dermaga; 2) gudang lini 1; 3) lapangan penumpukan lini 1;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 8

4) terminal penumpang; 5) terminal peti kemas; 6) terminal ro-ro; 7) fasilitas penampungan dan pengolahan limbah; 8) fasilitas bunker; 9) fasilitas pemadam kebakaran; 10) fasilitas gudang untuk Bahan/Barang Berbahaya

dan Beracun (B3); dan 11) fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan dan

Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP).

Fasilitas penunjang wilayah daratan meliputi: 1) kawasan perkantoran; 2) fasilitas pos dan telekomunikasi; 3) fasilitas pariwisata dan perhotelan; 4) instalasi air bersih, listrik, dan telekomunikasi; 5) jaringan jalan dan rel kereta api; 6) jaringan air limbah, drainase, dan sampah; 7) areal pengembangan pelabuhan; 8) tempat tunggu kendaraan bermotor; 9) kawasan perdagangan; 10) kawasan industri; dan 11) fasilitas umum lainnya.

Fasilitas pokok dan fasilias penunjang wilayah perairan dijelaskan dalam pasal 23 PP No. 61 tahun 2009.

Fasilitas pokok wilayah perairan meliputi: 1) alur-pelayaran; 2) perairan tempat labuh; 3) kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah

gerak kapal; 4) perairan tempat alih muat kapal; 5) perairan untuk kapal yang mengangkut

Bahan/Barang Berbahaya dan Beracun (B3); 6) perairan untuk kegiatan karantina; 7) perairan alur penghubung intra pelabuhan; 8) perairan pandu; dan 9) perairan untuk kapal pemerintah

Fasilitas penunjang untuk wilayah perairan meliputi: 1) perairan untuk pengembangan pelabuhan jangka

panjang; 2) perairan untuk fasilitas pembangunan dan

pemeliharaan kapal;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 9

3) perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar);

4) perairan tempat kapal mati; 5) perairan untuk keperluan darurat; dan 6) perairan untuk kegiatan kepariwisataan dan

perhotelan.

Pasal 97 ayat 1 bahwa pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan fasilitas dan sumber daya manusia operasional sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang.

c. KP.414 Tahun 2013 Tentang Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional

Visi kepelabuhanan Indonesia yang dapat merefleksikan perannya secara multi-dimensi adalah “Sistem kepelabuhanan yang efisien, kompetitif dan responsif yang mendukung perdagangan internasional dan domestik serta mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan wilayah”.

UU Pelayaran No. 17 tahun 2008 menetapkan bahwa Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) disusun sebagai kerangka kebijakan untuk memfasilitasi tercapainya visi tersebut. RIPN akan menjadi acuan bagi pembangunan kepelabuhanan di Indonesia. Di dalam RIPN juga terdapat prediksi lalulintas pelabuhan, kebutuhan pengembangan fisik pelabuhan, kebutuhan investasi dan strategi pendanaan, program modernisasi pelabuhan dan integrasinya dengan pembangunan ekonomi dalam kerangka sistem transportasi nasional.

Dalam Pasal 3 rancangan tatanan kepelabuhanan nasional bahwa: 1) Lokasi pelabuhan merupakan wilayah daratan dan

perairan tertentu yang meliputi Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan (DLKp).

2) Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan terdiri atas: a) Wilayah daratan yang digunakan untuk

kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; dan;

b) Wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur pelayaran, tempat labuh, tempat

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 10

alih muatan antar kapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.

3) Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan merupakan perairan pelabuhan diluar Daerah Lingkungan Kerja Pelabuhan yang digunakan untuk alur pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal.

4) Rencana lokasi pelabuhan yang akan dibangun harus sesuai dengan: a) Rencana tata ruang wilayah nasional,

rencana tata ruang propinsi dan tata ruang wilayah kabupaten/kota;

b) Potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;

c) Potensi sumber daya alam dan; d) Perkembangan lingkungan strategis, baik

nasional maupun internasional. 5) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu

sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri atas dasar pengajuan permohonan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

Pasal 6 tentang Hierarki Pelabuhan Laut, bahwa pelabuhan Laut terdiri dari 3 (tiga) hierarki yaitu: 1) Pelabuhan Utama yang fungsi pokoknya melayani

kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/ atau barang;

2) Pelabuhan Pengumpul yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/ atau barang;

3) Pelabuhan Pengumpan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan atau/ barang.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 11

Pasal 7 bahwa Rencana pembangunan pelabuhan secara nasional menggunakan pendekatan klaster, yaitu berdasarkan pengelompokan pelabuhan yang secara geografis berdekatan dan secara operasional saling terkait.

Pelabuhan dahulu hanya merupakan suatu tepian dari lautan yang sangat luas di mana kapal-kapal dan perahu-perahu bersandar dan membuang jangkar untuk melakukan pekerjaan membongkar dan memuat barang-barang, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya.

Kemudian sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi, pelabuhan yang pada jaman dahulu sederhana berkembang menjadi suatu daerah atau lingkungan yang cukup luas yang perlu perhatian dari pemerintah dimana pelabuhan itu berada. Pelabuhan yang telah dikelola terdapat berbagai fasilitas yang diperlukan guna menyelenggarakan pemuatan dan pembongkaran barang dari dan ke kapal sesuai dengan bentuk atau desain kapal untuk pelayanan kegiatan embarkasi dan debarkasi penumpang, barang dan hewan.

Pengertian secara umum, Pelabuhan adalah sebuah fasilitas di ujung samudera, sungai, atau danau untuk menerima kapal dan memindahkan barang kargo maupun penumpang ke dalamnya. Pelabuhan biasanya memiliki alat-alat yang dirancang khusus untuk memuat dan membongkar muatan kapal-kapal yang berlabuh. Crane dan gudang berpendingin juga disediakan oleh pihak pengelola maupun pihak swasta yang berkepentingan. Sering pula disekitarnya dibangun fasilitas penunjang seperti pengalengan dan pemrosesan barang.

Ditinjau dari sub sistem angkutan (Transport), maka pelabuhan adalah salah satu simpul dari mata rantai kelancaran angkutan muatan laut dan darat. Jadi secara umum pelabuhan adalah suatu daerah perairan yang terlindung terhadap badai/ombak/arus, sehingga kapal dapat berputar (turning basin), bersandar/membuang sauh,sedemikian rupa sehingga bongkar muat atas barang dan perpindahan penumpang dapat dilaksanakan; guna mendukung fungsi-fungsi tersebut dibangun dermaga (piers or wharves), jalan, gudang, fasilitas penerangan, telekomunikasi dan sebagainya, sehingga fungsi pemindahan muatan dari/ke kapal yang bersandar di

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 12

pelabuhan menuju pelabuhan selanjutnya dapat dilaksanakan.

Secara teknis pelabuhan adalah salah satu bagian dari Ilmu Bangunan Maritim, dimana padanya dimungkinkan kapal-kapal berlabuh atau bersandar dan kemudian dilakukan bongkar muat.

Klasifikasi pelabuhan ditinjau dari pemungutan jasa-jasa: 1) Pelabuhan yang diusahakan, yaitu pelabuhan

dalam binaan Pemerintah yang sesuai kondisi, kemampuan dan pengembangan potensinya, diusahakan menurut azas hukum perusahaan.

2) Pelabuhan yang tidak diusahakan, yaitu pelabuhan dalam pembinaan Pemerintah yang sesuai kondisi kemampuan dan pengembangan potensinya masih menonjol sifat "overheid-zorg".

3) Pelabuhan otonom, yaitu pelabuhan yang diserahkan wewenangnya untuk mengatur diri sendiri.

Bila ditinjau dari segi pengusahaanya maka arti pelabuhan adalah : 1) Pelabuhan yang diusahakan

Pelabuhan yang diusahakan, yaitu pelabuhan yang sengaja diselenggarakan untuk memberikan fasilitas-fasilitas yang diperlukan oleh kapal yang memasuki pelabuhan untuk melakukan kegiatan bongkar muat dan kegiatan lainnya. Pelabuhan semacam ini tentu saja dilengkapi dengan fasilitas-fasilitas yang untuk pemakaian oleh kapal dan muatannya, dikenakan pembayaran-pembayaran tertentu

2) Pelabuhan yang tidak diusahakan, yaitu pelabuhan yang sekedar hanya merupakan tempat kapal/ perahu dan tanpa fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh pelabuhan.

Pelabuhan yang berstatus komersial adalah pelabuhan besar yang saat ini dikelola oleh Pelabuhan Indonesia, sedangkan status nonkomersial berlaku untuk pelabuhan skala kecil. Pemerintah akan selalu mengevaluasi perkembangan dari pelabuhan berskala kecil atau non komersial. Dalam hal ini, jika dinilai telah memenuhi syarat,pemerintah akan menetapkan sebuah pelabuhan nonkomersial menjadi pelabuhan komersial. Pelabuhan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 13

nonkomersial banyak terdapat di wilayah-wilayah terpencil, seperti di kawasan timur Indonesia. Ke depan, pemerintah diwajibkan untuk selalu memetakan pelabuhan-pelabuhan nonkomersial, untuk selanjutnya dikomersialkan.

Dari 758 pelabuhan umum yang terdapat di Indonesia, 112 adalah pelabuhan komersial dan 646 pelabuhan non komersial (Pelindo). Dari 112 pelabuhan komersial yang ada 25 diantaranya merupakan pelabuhan strategis. Dari 25 pelabuhan yang dianggap strategis tersebut 4 pelabuhan merupakan pelabuhan utama yang dikategorikan sebagai Gate Way Port, 14 pelabuhan sebagai Regional Collector Port, termasuk di dalamnya Pelabuhan Sorong yang berada di bawah pengelolaan PT (Persero) Pelabuhan Indonesia IV, sedang sisanya merupakan Trunk Port.

Oleh sebab itu, maka perlu disusun suatu kriteria pelabuhan yang diusahakan secara komersial maupun non komersial.

Adapun persyaratan menuju pelabuhan komersil, bahwa pelabuhan harus dikelola langsung oleh Badan Usaha Pelabuhan (BUP). Badan yang memiliki kompetensi di bidang kepelabuhan ini, perlu pula dilengkapi izin usaha dan operasional yang dikeluarkan langsung oleh Menteri Perhubungan Laut. Selain itu, BUP diharuskan berbentuk Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah atau Perseroan Terbatas (PT) di bidang kepelabuhanan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah (Perda). Disamping itu, masih ada persyaratan administratif, BUP harus memiliki NPWP dan keterangan domisili perusahaan, memiliki akte pendirian perusahaan di bidang kepelabuhanan, menguasai sarana dan prasarana fasilitas pelabuhan (surat tanah), memiliki Sumber daya Manusia (SDM) di bidang kepelabuhanan yang bersertifikat serta memiliki proposal rencana kegiatan. Sarana dan prasarana siap secara teknis keselamatan dan operasional. Dari sisi persyaratan teknis, dermaga pelabuhan harus dilengkapi dolphin (tempat sandar kapal).

Pelabuhan non komersial merupakan pelabuhan lokal yang berskala kecil, biasanya terletak di daerah terpencil.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 14

Dalam pasal 6 PP 61 Tahun 2009 tentang kepelabuhanan, bahwa pelabuhan lokal yang merupakan pelabuhan pengumpan sekunder ditetapkan dengan memperhatikan: 1) Kebijakan pemerintah yang menunjang pusat

pertumbuhan ekonomi; 2) Kabupaten/Kota dan pemerataan serta

meningkatkan pembangunan Kabupaten/Kota; 3) Berfungsi untuk melayani penumpang dan barang

antar Kecamatan dalam Kabupaten/Kota terhadap kebutuhan modal transportasi laut dan/atau perairannya;

4) Memiliki kondisi teknis pelabuhan yang terlindung dari gelombang dengan luas daratan dan perairan tertentu;

5) Volume kegiatan bongkar muat.

Tabel 2.1. Kriteria pelabuhan yang dapat diusahakan secara komersial

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki fasilitas dermaga V

Sub kriteria : - Ukuran lebih besar dari yang eksisting - Alat bongkar muat dengan kapasitas besar

- Memiliki peralatan bongkar muat sesuai dengan jenis muatan kapal

- Memiliki jalan untuk lalu lintas kendaraan pengangkut dan penumpang yang sangat lebar.

- Sistim pengamanan yang ketat

2. Kriteria tingkat 1 : Memiliki Gudang

V

Sub kriteria : - Memiliki gudang yang khusus untuk

setiap jenis muatan - Memiliki gudang terbuka - Memiliki gudang tertutup - Pengamanan gudang

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki Lapangan Penumpukan V

Sub kriteria : - Memiliki ukuran minimal untuk

lapangan penumpukan curah

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 15

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki ukuran minimal untuk

lapangan penumpukan kontainer - Fasilitas lampu penerangan - Pengamanan - Pemagaran - Memiliki Pos jaga

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki terminal penumpang

V

Sub kriteria : - Memiliki tempat tunggu yang nyaman dan ber ac

- Memiliki tempat masuk dan keluar yang tertata rapih dan teratur untuk masuk keluar penumpang

- Memiliki tempat tunggu khusus (lounge)

- Memiliki tempat pembelian tiket - Memiliki pengamanan yang baik

5. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas pemadam kebakaran

V

Sub kriteria : - Memiliki kendaraan pemadam

kebakaran yang ukuran paling besar - Memiliki kendaraan pemadam

kebakaran ukuran kecil - Memilki ambulance - Mempunyai personil pemadam

kebakaran yang terlatih - Sistim komunikasi keadaan darurat

apabila terjadi kebakaran

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas bunker

V

Sub kriteria : - Memililki bunker yang terpisah antara

kepentingan umum dengan kepentingan khusus

- Memiliki ukuran yang sangat besar untuk memenuhi kebutuhan, termasuk cadangan dalam jangka waktu 1 bulan.

- Sistem pengamanan pada bunker - Pengaturan pelayanan bongkar muat

7. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas gudang untuk barang berbahaya dan beracun

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 16

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal Sub kriteria :

- Lokasi tersendiri dan khusus Jarak kurang lebih 3 mill dari tepi pantai

- Sistim pengamanan daerah B3 - Monitoring daerah B3

8. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan SBNP

V

Sub kriteria : - Memiliki workshop khusus dan lengkap - Memiliki lapangan tempat peletakan SBNP

- Berada di dalam pelabuhan

9. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kawasan perkantoran

V

Sub kriteria : - Kawasan perkantoran satu atap - Berada di dalam kawasan pelabuhan - Ukuran kantor yang besar - Memiliki taman dan pepohonan - Keamanan terpadu

10. Kriteria tingkat 1 : Memiliki instalasi air bersih, listrik dan perhotelan

V

Sub kriteria : - Memiliki instalasi pembangkit air tawar

(jenis Reverse Osmosis) - Memiliki instalasi pembangkit ari tawar

(jenis Fresh water generator) - Mempunyai gardu listrik PLN khusus

pelabuhan - Memiliki generator listrik kapasitas

besar untuk seluruh kawasan pelabuhan - Memiliki hotel yang dikelola oleh

pelabuhan

11. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas umum lainnya

V

Sub kriteria : - Food Court - Rumah Sakit - Tempat ibadah - Taman

12. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kolam pelabuhan untuk sandar dan olah gerak kapal

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 17

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal Sub kriteria :

- Ukuran kolam pelabuhan minimal 2 x LOA kapal yang diijinkan

- Memiliki kedalaman minimal sesuai draft kapal yang diijinkan

- Ukuran tempat sandar minimal 2 x LOA kapal yang bersandar

- Memiliki kedalaman minimal sesuai draft kapal yang diijinkan

13. Kriteria tingkat 1 : Dikelola oleh badan usaha pelabuhan yang memiliki kompetensi di bidang kepelabuhanan

V

Sub kriteria : - Badan usaha adalah perusahaan

minimal dari Perusahaan terbatas (PT) - Memiliki SDM yang bersertifikat untuk

melakukan kegiatan pelabuhan - Memiliki pengalaman pengaturan

kepelabuhanan sekurang-kurangnya 5 tahun, minimal pada pelabuhan yang setara dengan pelabuhan yang akan dikelola.

- Memiliki ijin badan usaha yang sesuai dengan kegiatan usahanya dan berhubungan dengan kegiatan yang dikelolanya.

14. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas telekomunikasi

V

Sub kriteria : - Telepon umum dan kemampuannya

untuk interlokal dan internasional - Pelayanan Faxcimile umum - Pelayanan Internet (hot spot)

15. Kriteria tingkat 1 : Didukung oleh SDM di bidang kepelabuhanan yang bersertifikat

V

Sub kriteria : - Minimal dari pendidikan sekolah

pelayaran yang terakreditasi - Memiliki sertifikat dengan pendidikan

training yang diselenggarakan oleh badan pelatihan yang terakreditasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 18

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki senior expert minimal 1

orang dan Junior jumlahnya sesuai kebutuhan dalam mengelola setiap kegiatan pelabuhan

- Setiap 2 tahun melakukan training, drilling dan exercise dengan bidang yang dimiliki oleh SDM tersebut

Tabel 2.2. Kriteria pelabuhan yang dapat diusahakan secara non komersial

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Non Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki fasilitas tambat V

Sub kriteria : - Untuk ukuran kapal sesuai dengan

ukuran pelabuhan - Fasilitas tambat selalu dalam kondisi

terawat - Mudah untuk melakukan penambatan - Perlengkapan tambat sesuai spesifikasi

standar keselamatan kapal

2. Sub kriteria : - Memiliki prosedur pengangkutan

penumpang dan barang - Melayani route kecamatan dala kabupaten/kota

- Fasilitas pusat informasi untuk pelayanan tiket penumpang dan barang

- Memiliki tempat khusus naik turun penumpang dan barang untuk tujuan antar kecamatan dan kabupaten/kota

- Melayani penumpang yang cacat

V

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kondisi perairan yang terlindung dari gelombang

V

Sub kriteria : - Memiliki breakwater - Ketinggian breakwater minimal 2 kali

dari tinggi gelombang - Konstruksi penahan gelombang sesuai

dengan keadaan pelabuhan - Memiliki fasilitas lego jangkar

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 19

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Non Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki perangkat Pemantauan

gelombang 4. Kriteria tingkat 1 :

Volume kegiatan bongkar muat berskala kecil

V

Sub kriteria : - Memiliki pelayanan bongkar muat

dengan ukuran kecil - Memiliki sarana dan prasarana bongkar

muat - Memiliki SDM khusus untuk menangani

kegiatan ini - Memiliki prosedur bongkar muat berskala kecil

5. Kriteria tingkat 1 : Tidak dilalui jalur pelayaran transportasi laut reguler

V

Sub kriteria : - Mempunyai jalur pelayaran transportasi tersendiri

- Mempunyai tanda SBNP tersendiri - Memiliki pandu khusus - Adanya pengawasan lalu lintas pelayaran yang khusus

6. Kriteria tingkat 1 : Kedalaman minimal pelabuhan -1,5 Mlws

V

Sub kriteria : - Tidak memiliki gelombang yang

melebihi syarat kapal saat berada pada kolam pelabuhan maupun daerah sandar

- Pemberian tanda kedalaman pada daerah pelabuhan

- Arus laut yang direduksi kecepatannya melalui konstruksi tertentu

- Monitoring terhadap sedimentasi

7. Kriteria tingkat 1 : Berperan sebagai tempat pelayanan penumpang di daerah terpencil, terisolasi, perbatasan, daerah terbatas yang hanya didukung oleh moda transportasi laut

V

Sub kriteria : - Ketersediaan alur menuju kedaerah

terpencil, terisolasi, perbatasan dan daerah terbatas

- Ketersediaan olah gerak kapal

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 20

No. Kriteria Pelabuhan Yang Dapat Diusahakan Secara Non Komersial

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Area pelabuhan untuk naik turun

penumpang dan bongkar muat barang - Ketersediaan SBNP - Ketersediaan Telekomunikasi

2. Kriteria trayek angkutan laut dan lintas penyeberangan

Meliputi : a. Kriteria trayek angkutan laut b. Kriteria lintas penyeberangan

Serta dilandasi oleh beberapa peraturan-peraturan sebagai berikut : 1) UU No. 17 Tahun 2008

Dalam Bab I tentang Ketentuan Umum disebutkan definisi trayek, yaitu rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Pasal 2 butir (g) : pelayaran diselenggarakan berdasarkan asas keterpaduan; Pasal 9 a) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan

dilaksanakan secara terpadu, baik intra-maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.

b) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).

c) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.

d) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri disusun dengan memperhatikan: (1) pengembangan pusat industri, perdagangan,

dan (2) pariwisata; (3) pengembangan wilayah dan/atau daerah;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 21

(4) rencana umum tata ruang; (5) keterpaduan intradanantarmoda transportasi;

dan (6) perwujudan Wawasan Nusantara.

e) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut.

f) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.

g) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan: (1) kelaiklautan kapal; (2) menggunakan kapal berbendera Indonesia

dan diawaki oleh warga negara Indonesia; (3) keseimbangan permintaan dan tersedianya

ruangan; (4) kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang

disinggahi; (5) tipe dan ukuran kapal sesuai dengan

kebutuhan. h) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan

tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah.

Pasal 11 a) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri

dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.

b) Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

c) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk angkutan laut lintas batas dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 22

Pasal 22 ayat 2 butir t :

Penetapan lintas angkutan penyeberangan dilakukan dengan mempertimbangkan jaringan trayek angkutan laut, sehingga mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intramoda.

Pasal 50-55 :

Angkutan perairan dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda, dan dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dilaksanakan antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha angkutan multimoda dan penyedia jasa moda lainnya.

Pasal 68 butir c:

Pelabuhan memiliki peran sebagai tempat kegiatan alih moda transportasi.

Pasal 96 ayat 2:

Pembangunan pelabuhan laut harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan dan memperhatikan keterpaduan intra dan antarmoda transportasi,

2) PP 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di Perairan Dalam Pasal 6 disebutkan bahwa kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi kriteria: a) menyinggahi beberapa pelabuhan secara tetap

dan teratur dengan berjadwal; dan b) kapal yang dioperasikan merupakan kapal

penumpang, kapal peti kemas, kapal barang umum, atau kapal Ro-Ro dengan pola trayek untuk masing- masing jenis kapal.

Pasal 62 ayat 1 PP 20 Tahun 2010: Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur dalam lintas penyeberangan.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 23

Pasal 62 ayat 2 : Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh: a) Menteri, untuk lintas penyeberangan antarprovinsi; b) gubernur, untuk lintas penyeberangan antar

kabupaten/kota; dan c) bupati/walikota, untuk lintas penyeberangan dalam

kabupaten/kota.

Pasal 62 ayat 3 : Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya dalam menetapkan lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mempertimbangkan: a) pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan

jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan; b) fungsi sebagai jembatan; c) hubungan antara dua pelabuhan yang digunakan

untuk melayani angkutan penyeberangan, antara pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan terminal penyeberangan, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;

d) tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;

e) rencana tata ruang wilayah; dan f) jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat

mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan intra-dan antarmoda.

Pasal 62 ayat (4): Penetapan lintas penyeberangan selain mempertimbangkan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) harus memenuhi persyaratan: a) sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional; b) adanya kebutuhan angkutan; c) rencana dan/atau ketersediaan terminal

penyeberangan atau pelabuhan; d) ketersediaan kapal penyeberangan dengan

spesifikasi teknis kapal sesuai fasilitas pelabuhan pada lintas yang akan dilayani; dan

e) potensi perekonomian daerah.

Pasal 62 ayat (5) : Lintas penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), untuk seluruh wilayah Republik Indonesia, digambarkan dalam peta lintas penyeberangan dan diumumkan oleh Menteri.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 24

Pasal 71:

Kegiatan pelayaran-perintis yang dilakukan di daerah yang masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditentukan berdasarkan kriteria: a) belum dilayani oleh pelaksana kegiatan

angkutan laut, angkutan sungai dan danau atau angkutanpenyeberangan yang beroperasi secara tetap dan teratur;

b) secara komersial belum menguntungkan; atau c) tingkat pendapatan perkapita penduduknya

masih rendah.

3) Nomor PM. 26 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Angkutan Penyeberangan

Bab I Ketentuan Umum

Pasal 1 ayat (5)

Lintas Penyeberangan adalah suatu alur perairan dilaut, selat, teluk, sungai dan/atau danau yang ditetapkan sebagai Lintas Penyeberangan.

Bab II Angkutan

Pasal 2 a) Penetapan Lintas Penyeberangan dilakukan dengan

memperhatikan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang telah ada maupun yang direncanakan dan tersusun dalam kesatuan tatanan transportasi nasional.

b) Lintas Penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi untuk menghubungkan simpul pada jaringan jalan dan/ atau jaringan jalur kereta api.

Pasal 3 a) Berdasarkan fungsi Lintas Penyeberangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Lintas Penyeberangan digolongkan: (1) lintas penyeberangan antar negara; (2) lintas penyeberangan antar provinsi; (3) lintas penyeberangan antar kabupaten /kota dalam

provinsi; dan (4) lintas penyeberangan dalam kabupaten / kota.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 25

Pasal 5 ayat (2) Peta Lintas Penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) meliputi kegiatan : a) inventarisasi lintas; b) pembuatan peta lintas; dan c) pengesahan peta lintas.

Pasal 6 ayat (2)

Penyusunan rencana penetapan Lintas Penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mewujudkan keterpaduan pelayanan transportasi secara nasional.

Pasal 7 ayat (1) Penetapan Lintas Penyeberangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan berdasarkan pertimbangan : a) pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur

kereta api yang terputus oleh laut, selat, teluk, sungai dan /atau danau;

b) melayani lintas dengan tetap dan teratur berdasarkan jadwal yang ditetapkan;

c) berfungsi sebagai jembatan bergerak; d) hubungan antara dua pelabuhan yang digunakan untuk

melayani angkutan penyeberangan, antara pelabuhan yang digunakan untuk melayani angkutan penyeberangan dan terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;

e) tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;

f) rencana tata ruang wilayah; dan g) jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai

optimalisasi keterpaduan angkutan intra antarmoda.

Pasal 8 a) Penetapan Lintas penyeberangan selain

mempertimbangkan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7, harus memenuhi persyaratan: (1) sesuai dengan rencana induk pelabuhan nasional; (2) adanya kebutuhan angkutan (demand); (3) rencana dan/atau ketersediaan terminal

penyeberangan atau pelabuhan; (4) ketersediaan kapal (supply) dengan spesifikasi

teknis kapal sesuai fasilitas pelabuhan pada lintas yang akan dilayani; dan

(5) potensi perekonomian daerah.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 26

b) Setelah memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditentukan spesifikasi teknis Lintas Penyeberangan berdasarkan hasil analisis dan evaluasi mengenai: (1) kondisi daerah pelayaran; (2) perkiraan kapasitas lintas; (3) kemampuan pelayanan alur; dan (4) spesifikasi teknis kapal dan pelabuhan.

4) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Amandement SOLAS 1974 tentang Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port Facility Sacurity / ISPS Code) di wilayah Indonesia

5) Amandement SOLAS 1974, Amandement BAB V (Safety Of Navigation) R.19- Carriage of AIS

6) Amandement Bab XI (Maritime Safety) , XI-1 Peningkatan Keselamatan Maritim, R.3 mengenai ID Number dan R.5 mengenai CSR dan XI-2 Aturan baru mengenai Keselamatan Maritim, aturan baru tentang keamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (ISPS Code) yang terdiri dari Part A mengenai Ketentuan Mandatory dan Part B mengenai Petunjuk dan Tindakan Mandatory).

Tabel 2.3 Kriteria trayek angkutan laut

No. Kriteria Trayek Angkutan Laut Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Tidak dilakukan dalam jaringan trayek tertentu

V

Sub kriteria : - Memiliki trayek tersendiri - Memiliki standar minimal pelayanan - Memiliki pengaturan waktu

keberangkatan dan tiba - Memiliki penataan trayek untuk tujuan

tertentu

2. Kriteria tingkat 1 : Rute dilakukan berdasarkan permintaan pengirim barang

V

Sub kriteria : - Mempunyai pelayanan rute pengiriman

barang dengan tujuan yang dapat dipilih - Pelayanan 24 jam - Ketepatan waktu

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 27

No. Kriteria Trayek Angkutan Laut Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Penyediaan pelayanan pengangkutan

barang setiap waktu pengiriman sesuai permintaan

3. Kriteria tingkat 1 : Dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional

V

Sub kriteria : - Memilki ruang lingkup usaha sesuai

dengan kebutuhan pekerjaan ini - Mempunyai pengalaman pekerjaan oleh

perusahaan minimal 5 tahun - Lokasi perusahaan berada didaerah

pelabuhan - Kinerja perusahaan dalam kondisi baik

4. Kriteria tingkat 1 : Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan

V

Sub kriteria : - Adanya data base untuk setiap laporan - Format laporan yang seragam dan

informatif - Selalu online dalam update data - Komunikasi teratur dari penyelenggara

kegiatan dengan penghubung yang akan membawa data ke Menteri

5. Kriteria tingkat 1 : Tidak menyinggahi pelabuhan secara teratur dan berjadwal

V

Sub kriteria : - Berfungsi sebagai jembatan

penyeberangan yang bergerak - Mempunyai kebebasan berlabuh yang

tidak secara teratur dan tidak berjadwal - Kemampuan menyelenggarakan trayek

sesuai permintaan

6.

Kriteria tingkat 1 : Tidak mengangkut penumpang V

Sub kriteria : - Khusus pengangkutan barang - Kecepatan bongkar muat - Memiliki area penumpukan barang - Pengawasan barang yang diangkut dan

terhadap non barang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 28

No. Kriteria Trayek Angkutan Laut Aspek Legal

Aspek Non

Legal 7. Kriteria tingkat 1 :

Trayek tidak tetap dan tidak teratur hanya dapat mengangkut muatan barang curah kering dan curah cair, barang sejenis, atau barang tidak sejenis tetapi untuk menunjang kegiatan tertentu. Ketentuan ini tidak berlaku bagi pelayaran rakyat.

V

Sub kriteria : - Pengelompokan Jenis muatan - Kemampuan menangani jenis muatan - Memiliki Sistem prosedur penanganan

muatan - Dapat menentukan pelabuhan yang

dapat disinggahi dari jenis muatan tertentu.

8. Kriteria tingkat 1 : Muatan pada trayek tidak tetap dan tidak teratur wajib dilengkapi dengan syarat-syarat perjanjian pengangkutan yang bersifat tetap dan berlaku umum.

V

Sub kriteria : - Memiliki format syarat-syarat perjanjian

pengangkutan yang bersifat tetap dan berlaku umum secara seragam

- Kemampuan mendata barang yang diangkut dan dituangkan secara cepat kedalam surat perjanjian

- Mempunyai informasi tertulis mengenai proses keluarnya perjanjian pengangkutan

Tabel 2.4 Kriteria lintas penyeberangan

No. Kriteria Lintas Penyeberangan Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki jaringan trayek V

Sub kriteria : - Memiliki trayek tersendiri - Memiliki standar minimal pelayanan - Memiliki pengaturan waktu keberangkatan

dan tiba

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 29

No. Kriteria Lintas Penyeberangan Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki penataan trayek untuk tujuan

tertentu - Menetapkan trayek tetap dan teratur

2. Kriteria tingkat 1 : Kewenangan dalam menetapkan trayek tetap dan teratur

V

Sub kriteria : - Untuk lintas penyeberangan antar provinsi

yang ditetapkan oleh Menteri - Untuk lintas penyeberangan antar

kabupaten/kota yang ditetapkan oleh gubernur

- Untuk lintas penyeberangan dalam kabupaten/kota ditetapkan oleh bupati/walikota

- Mempunyai pelayanan rute dengan jarak tertentu dan memiliki peta lintas

- Memiliki database lintas lewat inventarisasi

- Tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya

- Pelayanan 24 jam - Ketepatan waktu

V

V

V

V

V

V V

3. Kriteria tingkat 1 : Kewenangan pemerintah pusat dan daerah dalam menangani dan mendukung terselenggaranya lintas penyebrangan

V

Sub kriteria : - Pengembangan jaringan jalan dan/ atau

jaringan jalur kereta api - Fungsi sebagai jembatan - Menentukan dan menetapkan daerah

pelabuhan yang akan dijadikan tempat untuk melayani angkutan pelabuhan

- Memiliki dan menyesuaikan dengan tata ruang wilayah dan menyesuaikan dengan rencana induk pelabuhan nasional

- Memiliki perencanaan dan penerapan keterpaduan angkutan intra dan antarmoda

V V

V

V

V

4. Kriteria tingkat 1 : Kegiatan dilaporkan kepada Menteri setiap 3 bulan

V

Sub kriteria : - Adanya data base untuk setiap laporan - Format laporan yang seragam dan

informatif

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 30

No. Kriteria Lintas Penyeberangan Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Selalu online dalam update data - Komunikasi teratur dari penyelenggara

kegiatan dengan penghubung yang akan membawa data ke Menteri

5. Kriteria tingkat 1 : Fasilitas moda lintas penyeberangan

V

Sub kriteria : - Menyediakan kapal dengan spesifikasi

teknis kapal sesuai pelabuhan - Kapal yang dapat digunakan memiliki

kelaik an dan kelayakan laut - Memiliki kenyamanan dalam ruang

penumpang - Memiliki perangkat keselamatan - Kecepatan kapal yang dapat disesuaikan

dengan kebutuhan - Proses bongkar muat kendaraan dan

penumpang yang memadai - Ketersediaan terminal penyeberangan atau

pelabuhan - Ketersediaan fasilitas terminal

penyeberangan atau pelabuhan seperti untuk bongkar muat kendaraaan dan penumpang, ruang tunggu, tempat pembelian tiket yang nyaman dan teratur serta bersih

- Memiliki perangkat informasi keberangkatan dan kedatangan yang memudahkan para penumpang untuk memantau

- Pengamanan atas kapal dan terminal yang memenuhi standar minimal keamanan.

- Tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan, prinsip angkutan penyeberangan yang tidak mengangkut barang lepas

- Menjadi jaringan trayek angkutan laut untuk mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar dan intermodal.

V

V

V

V

V

V

V

V

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 31

3. Kriteria pelabuhan yang dapat dioperasikan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu

a. PP 61 Tahun 2009 tentang kepelabuhanan Dalam Pasal 97 ayat (1) dijelaskan bahwa pengoperasian pelabuhan dilakukan sesuai dengan frekuensi kunjungan kapal, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang. Selanjutnya pada pasal (2) dijelaskan pula bahwa pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat ditingkatkan secara terus menerus selama 24 (dua puluh empat) jam dalam 1 (satu) hari atau selama waktu tertentu sesuai kebutuhan. Selanjunya dalam ayat 3 dijelaskan, bahwa peningkatan pengoperasian pelabuhan menjadi pelabuhan yang beroperasi selama 24 jam dapat dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut : a) Adanya peningkatan frekuensi kunjungan kapal,

bongkar muat barang, dan naik turun penumpang; b) Tersedianya fasilitas keselamatan pelayaran,

kepelabuhanan, dan lalu lintas angkutan laut.

Pada Pasal 98 ayat (3) disebutkan bahwa pengajuan izin pengoperasian pelabuhan sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 97 ayat (2) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a) Kesiapan kondisi alur; b) Kesiapan pelayanan pemanduan bagi perairan

pelabuhan yang sudah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu;

c) Kesiapan fasilitas pelabuhan; d) Kesiapan gudang dan/atau fasilitas lain di luar

pelabuhan; e) Kesiapan keamanan dan ketertiban; f) Kesiapan sumber daya manusia operasional sesuai

kebutuhan; g) Kesiapan tenaga kerja bongkar muat dan naik turun

penumpang atau kendaraan; h) Kesiapan sarana transportasi darat; i) Rekomendasi dari syahbandar pada pelabuhan

setempat.

b. Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/PMK.04/2009 Tentang Pelayanan Kepabeanan 24 (Dua Puluh Empat) Jam Sehari Dan 7 (Tujuh) Hari Seminggu Pada Kantor Pabean Di Pelabuhan Tertentu

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 32

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 504/PMK.04/2009 menetapkan pelayanan kepabeanan selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu pada 4 (empat) kantor pabean di pelabuhan tertentu, yaitu : 1) Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A

Tanjung Priok; 2) Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai

Tipe Madya Pabean Belawan; 3) Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai

Tipe Madya Pabean Tanjung Perak; 4) Kantor pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai

Tipe A2 Makassar.

Selain menetapkan 4 (empat) lokasi kantor pelayanan bea dan cukai yang beroperasi selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, Surat Keputusan ini juga menetapkan beberapa hal, yaitu : 1) Jam kerja kantor pabean di pelabuhan tertentu

dalam rangka pelayanan kepabeanan; 2) Penugasan pejabat/pegawai dengan giliran kerja

(shift) dan/atau kerja lembur; 3) Pelimpahan tugas dan wewenang kepala kantor

pabean; 4) Pelimpahan penyelesaian pelayanan kepabeanan

yang beluim dapat diselesaikan.

Pengoperasian pelabuhan 24/7 perlu didukung oleh : 1) Ketersediaan dan kesiapan kondisi alur selama 24/7 2) Ketersediaan sarana bantu navigasi pelayaran

selama 24/7 3) Ketersediaan telekomunikasi pelayaran selama

24/7 4) Ketersediaan jasa pemanduan meliputi kapal

pandu, kapal tunda, dan kapal kepil selama 24/7 5) Ketersediaan pelayanan meteorologi selama 24/7 6) Ketersediaan pelayanan CIQ selama 24/7 7) Ketersediaan fasilitas tambat peti kemas yang

dioperasikan selama 24/7 8) Ketersediaan gudang dan lapangan penumpukan

yang dioperasikan selama 24/7 9) Kesiapan SDM operasional sesuai kebutuhan

selama 24/7 10) Kesiapan TKBM selama 24/7 11) Kesiapan sarana transportasi darat selama 24/7 12) Ketersediaan fasilitas listrik, air, telepon dan

telekomunikasi selama 24/7

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 33

13) Ketersediaan fasilitas perbankan selama 24/7 14) Kesiapan keamanan dan ketertiban selama 24/7

Tabel 2.5. Kriteria pelabuhan yang dapat dioperasikan 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Ketersediaan dan kesiapan kondisi alur selama 24/7

V

Sub kriteria : - Harus memiliki alur eksisting yang mampu menangani arus lalu lintas pada alur masuk dan keluar

- Memiliki kedalaman alur yang sesuai dengan kapasitas kemampuan pelabuhan menerima kapal yang masuk

- Memiliki sarana bantu navigasi yang memadai

- Monitoring sepanjang alur terhadap sedimentasi dan kerangka kapal akibat kandas, adanya konstruksi bawah laut serta sampah-sampah

- Pelayanan Pandu

2. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan dan kesiapan pelayanan pemanduan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Jumlah personil Pandu untuk pelayanan 24 jam

- Setiap Pandu memiliki sertifikat keahlian dibidang pandu yang terakreditasi

- Sarana telekomunikasi untuk pelayanan Pemanduan

- Tersedianya Shift jaga Pandu untuk pelayanan Pemanduan

- Pengaturan terhadap kapal yang datang dan yang sedang sandar untuk bongkar muat penumpang atau barang

- Memiliki kantor pengawasan pelayanan pandu di pelabuhan

3. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan sarana bantu navigasi pelayaran selama 24/7

V

Sub kriteria : - Merupakan perlengkapan standar pelabuhan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 34

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Sarana bantu navigasi dalam keadaan baik dan beroperasi

- Penempatan sesuai titik koordinat pada rencana induk pelabuhan yang sudah disetujui oleh Distrik Navigasi (Disnav)

- Perawatan sarana bantu navigasi - Memiliki bengkel perbaikan sarana bantu navigasi dipelabuhan

- Kemampuan beroperasi sarana bantu navigasi dengan kegiatan rutinitasnya selama 24/7

- Memiliki kantor pengawasan sarana bantu navigasi di pelabuhan

4. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan telekomunikasi pelayaran selama 24/7

V

Sub kriteria : - Memiliki pembangkit listrik yang mampu menangani perangkat telekomunikasi pada saat digunakan dalam kegiatan rutinitasnya

- Radio Telekomunikasi memiliki kehandalan yang tinggi dalam penggunaannya

- Memiliki cadangan radio telekomunikasi - Melakukan perawatan terhadap radio komunikasi

- Operator radio yang memiliki sertifikat radio

- Memiliki chanel khusus untuk telekomunikasi

- Lokasi pusat radio telekomunikasi berada dipelabuhan

5. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan pelayanan meteorology selama 24/7

V

Sub kriteria : - Memiliki pembangkit listrik yang mampu menangani perangkat jaringan pada saat digunakan dalam kegiatan rutinitasnya

- Memiliki jaringan radio untuk pelayanan meteorology

- Memiliki jaringan faxcimile untuk pelayanan meteorology

- Meimiliki jaringan telepon untuk pelayanan meteorology

- Memiliki jaringan internet untuk pelayanan meteorology

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 35

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki jaringan satelit untuk pelayanan meteorology

- Memiliki kantor pelayanan meteorology di pelabuhan

6. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan pelayanan bea cukai, imigrasi dan karantina selama 24/7

V

Sub kriteria : - Jumlah personil bea cukai, imigrasi dan

karantina yang memadai selama pelayanan 24/7

- Memiliki shift jaga waktu operasi dalam selang beberapa jam

- Koordinasi dengan pelabuhan saat kedatangan maupun keberangkatan kapal dari pelabuhan

- Memiliki kantor di pelabuhan - Penyediaan perangkat pindai seperti X-

Ray Scanner, metal detector dll. - Memiliki kapal patroli dan pelayanan

dilaut untuk kondisi tertentu

7. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan fasilitas tambat peti kemas yang dioperasikan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Memiliki areal bongkar muat di dermaga

selama 24/7 - Kemampuan pengaturan sandar kapal

untuk bongkar muat, apabila dermaga tersebut melayani segala jenis bongkar muat muatan barang selama 24/7

- Ketersediaan alat bongkar muat container seperti Crane khusus yang fix selama 24/7

- Ketersedian alat bongkar muat container mobile selama 24/7

8. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan gudang dan lapangan penumpukan yang dioperasikan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Luasan tersedia eksisting sesuai rencana

induk pelabuhan - Daya tampung yang besar - Lampu penerangan yang memadai - Sistem penataan letak barang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 36

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Ventilasi udara yang baik bagi gudang

dan penerangan - Penerangan bagi gudang yang memadai - Pengamanan yang ketat - Penerangan bagi lapangan penumpukan - Pagar keliling - Pos penjagaan

9. Kriteria tingkat 1 : Kesiapan SDM operasional di pelabuhan sesuai kebutuhan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang diperlukan selama

operasi - Tersedianya shift jaga pada saat operasi

kegiatan berlangsung - Koordinasi yang baik antar pimpinan dan

bawahan yang bertugas - Memiliki laporan kegiatan baik

kedatangan dan keberangkatan kapal - Pengamanan Pelabuhan yang ketat - Monitoring kendaraan yang keluar masuk

ke pelabuhan - Monitoring orang yang keluar masuk

pelabuhan

10. Kriteria tingkat 1 : Kesiapan tenaga kerja bongkar muat selama 24/7

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang dibutuhkan untuk

pelaksanaan bongkar muat selama 24/7 - Shift jaga tenaga kerja bongkar muat - Operator kendaraan untuk bongkar muat - Kantor tenaga kerja bongkar muat

11. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan sarana transportasi darat untuk menunjang kegiatan kepelabuhanan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Disesuaikan dengan kondisi besar

kecilnya dan berat muatan - Disesuaikan dengan kapasitas

penumpang yang dapat diangkut didalam pelabuhan

- Untuk barang digunakan Truk Container, Truk bak, truk box dll

- Untuk penumpang digunakan bus

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 37

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 12. Kriteria tingkat 1 :

Ketersediaan fasilitas perbankan di pelabuhan selama 24/7

V

Sub kriteria : - Memiliki penunjuk arah menuju ke Bank

disuatu Pelabuhan - Minimal pelayanan ATM dari beberapa

bank - Keamanan di ruangan ATM yang

terjamin - Kantor Cabang Bank tertentu - Kantor Cabang Bank tertentu melayani

pengambilan, pemasukan, pengiriman dan penukaran uang

- Kantor Cabang Bank tertentu memiliki pelayanan ke customer disesuaikan dengan tingkat kesibukan kunjungan ke bank suatu pelabuhan, termasuk ruang tunggu yang nyaman

- Keamanan proses transaksi di kantor cabang tersebut

13. Kriteria tingkat 1 : Kesiapan petugas keamanan dan ketertiban selama 24/7

V

Sub kriteria : - Jumlah personil pengamanan yang

mencukupi - Memiliki penggantian Shift penjagaan - Setiap personilnya telah mengikuti

latihan PAM dan bersertifikat - Paham pada proses pengamanan

pelabuhan - Memiliki SOP Pengamanan - Memiliki PFSP untuk Pelabuhan

Internasional

14. Kriteria tingkat 1: Pengadaan aspek non teknis operasional seperti penyediaan Gudang / depo diluar pelabuhan yang dibuka selama 24/7

V

Sub kriteria : - Penyelenggara pengadaan memiliki

perijinan usaha - Penyelenggara pengadaan memiliki kerja

sama dengan pelabuhan - Memiliki ketentuan luas yang layak

digunakan untuk gudang.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 38

No. Kriteria Pelabuhan yang dapat

dioperasikan 24 Jam Dalam Sehari dan 7 Hari Dalam seminggu

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki kriteria gudang tertutup dan

terbuka - Memiliki keamanan yang memadai - Mempunyai jarak yang tidak terlalu jauh

dari pelabuhan max 10 km. - Dilengkapi peralatan bongkar muat - Mempunyai moda transportasi

pengangkutan dari gudang/ depo menuju ke pelabuhan

4. Kriteria terminal yang dapat melayani angkutan peti kemas, angkutan curah cair, curah kering, kapal penumpang dan kapal Ro-Ro

a. UU No. 17 Tahun 2008 Pasal 90 ayat 3 butir d, bahwa salah satu penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang adalah penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas.

Pasal 20 : Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.

Pasal 90 : 1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas

penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.

2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang.

3) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas: a) penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga

untuk bertambat; b) penyediaan dan/atau pelayanan pengisian

bahan bakar dan pelayanan air bersih;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 39

c) penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;

d) penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;

e) penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;

f) penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;

g) penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;

h) penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau

i) penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.

b. Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

Pasal 99 Pelabuhan laut dapat ditingkatkan kemampuan pengoperasian fasilitas pelabuhan dari fasilitas untuk melayani barang umum (general cargo) menjadi untuk melayani angkutan peti kemas dan/atau angkutan curah cair atau curah kering. Pasal 100 1) Penetapan peningkatan kemampuan pengoperasian

fasilitas pelabuhan untuk melayani peti kemas dan/atau angkutan curah atau curah kering sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

2) Persyaratan untuk melayani angkutan peti kemas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) memiliki sistem dan prosedur pelayanan; b) memiliki sumber daya manusia dengan

jumlah dan kualitas yang memadai; c) kesiapan fasilitas tambat permanen untuk

kapal generasi pertama; d) tersedianya peralatan penanganan bongkar

muat peti kemas yang terpasang dan yang bergerak (container crane);

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 40

e) lapangan penumpukan (container yard) dan gudang container freight station sesuai kebutuhan;

f) keandalan sistem operasi menggunakan jaringan informasi on line baik internal maupun eksternal;

g) volume kargo yang memadai.

3) Persyaratan untuk melayani angkutan curah cair dan/atau curah kering sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) memiliki sistem dan prosedur pelayanan b) memiliki sumber daya manusia dengan

jumlah dan kualitas yang memadai; c) kesiapan fasilitas tambat permanen sesuai

dengan jenis kapal; d) tersedianya peralatan penanganan bongkar

muat curah; e) kedalaman perairan yang memadai; dan f) keandalan sistem operasi menggunakan

jaringan informasi on line baik internal maupun eksternal.

c. KM 54 Tahun 2002 tentang Penyelenggaraan Pelabuhan Laut

Pasal 22 disebutkan bahwa pelabuhan laut dapat ditingkatkan kemampuan pengoperasian fasilitas pelabuhan dari fasilitas melayani barang secara konvensional menjadi fasilitas pelabuhan untuk melayani peti kemas dan angkutan curah cair maupun curah kering.

Pasal 23 ayat 2 menjelaskan kriteria fasilitas pelabuhan dari fasilitas melayani barang secara konvensional menjadi fasilitas pelabuhan untuk melayani peti kemas: 1) Fasilitas yang terdapat di terminal penumpang

secara Memiliki sistem dan prosedur pelayanan; 2) memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan

kualitas yang memadai; 3) Kesiapan fasilitas tambat permanen dengan

panjang minimal 100 meter dan kedalaman minimal -5 mLWS;

4) Tersedianya peralatan penanganan bongkar muat peti kemas yang terpasang dan yang bergerak antara lain 1 (satu) unit gantry crane dan peralatan penunjang yang memadai;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 41

5) Lapangan penumpukan minimal seluas 2 Ha dan gudang CFS sesuai kebutuhan;

6) Kehandalan sistem operasi menggunakan jaringan informasi on line baik internal maupun eksternal;

7) Pelabuhan telah dioperasikan 24 jam; 8) Volume kargo sekurang-kurangnya telah mencapai

50.000 TEU’s.

Fasilitas yang terdapat di terminal penumpang secara pokok dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar, yaitu: 1) Fasilitas pelayanan dan penumpang kapal

Daerah kedatangan atau keberangkatan untuk menaikkan atau menurunkan penumpang. a) Fasilitas parkir untuk mobil, sepeda motor (roda

2), dan pejalan kaki. b) Fasilitas untuk menaikkan dan menurunkan

penumpang, misal halte dan taxi area c) Loket penjualan tiket dan cek bagasi d) Loket kesehatan (karantina) e) Fasilitas pengambilan bagasi f) Ruang untuk pergerakan penumpang g) Ruang tunggu dan istirahat h) Fasilitas penunjang pelayanan, seperti telepon

umum dan restoran. i) Fasilitas informasi jadwal dan rute perjalanan j) Fasilitas untuk pengantar dan penjemput k) Fasilitas penumpang keberangkatan seperti

fasilitas penghubung(mobil, banberjalan).

2) Fasilitas pengelola terminal a) Kantor untuk personil pengelola b) Kantor untuk personil imigrasi dan bea cukai c) Kantor untuk personil kesehatan dan karantina d) Kantor untuk personil keamanan.

Berdasarkan SNI 10-4838-1998 mengenai Persyaratan Termnal Penumpang di Pelabuhan Laut,Terminal penumpang terdiri dari terminal penumpang domestik. Gedung terminal penumpang harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1) Tata ruang yang menjaminkelancaran arus naik turun

penumpang 2) Sirkulasi udara dan cahaya yang cukup 3) Kemudahan perpindahan penumpang antarmoda 4) Dilengkapi dengan tanda tanda petunjuk dan tanda

tanda grafis

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 42

5) Perbandingan yang digunakan untuk luas gedung terminal ialah 1,2 m2/orang

6) Secara umum dengan mempertimbangkan efisiensi perencanaan, pembangunan dan pengoperasiannya, ukuran luas terminal dibedakan menjadi : a) Terminal besar ukuran 2000 m2 dan 4000 m2 b) Terminal sedang ukuran 500 m2 dan 1000 m2 c) Terminal kecil ukuran 300 m2

7) Luas gedung terminal dan luas lapangan parkir diatur dengan perbandingan1:2

8) Perbandingan pada fasilitas parkir yang terdiri dari jalan lingkungan,

9) Tempat parkir dan pertamanan diatur sebagai 1:1:0,5

10) Kegiatan angkutan penumpang dengan kendaraan darat sedapat mungkin langsung ke jalan akses yang ada.

d. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Amandemen SOLAS 1974 tentang Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port Facility Sacurity / ISPS Code) di wilayah Indonesia

e. Amandement SOLAS 1974, Amandement BAB V (Safety Of Navigation) R.19- Carriage of AIS

f. Amandement Bab XI (Maritime Safety) , XI-1 Peninkatan Keselamatan Maritim, R.3 mengenai ID Number dan R.5 mengenai CSR dan XI-2 Aturan baru mengenai Keselamatan Maritim, aturan baru tentang keamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (ISPS Code) yang terdiri dari Part A mengenai Ketentuan Mandatory dan Part B mengenai Petunjuk dan Tindakan Mandatory)

Tabel 2.6. Kriteria terminal yang dapat melayani angkutan peti kemas.

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Peti Kemas

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki system dan prosedur pelayanan V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 43

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Peti Kemas

Aspek Legal

Aspek Non

Legal Sub kriteria :

- Bentuk sistim dan prosedur pelayanan dalam bentuk dokumen tertulis

- Untuk setiap bagian pelayanan memiliki prosedur pelayanan dalam bentuk dokumen tertulis.

- Memiliki buku saku dari system prosedur yang merupakan ringkasan dari dokumen tertulis .

- Sosialisasi sistim dan prosedur pelayanan - Simulasi sistim dan prosedur pelayanan

2. Kriteria tingkat 1 : Memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang diperlukan dapat dipenuhi - Kualitas personil dalam menangani angkutan

peti kemas berupa sertifikat keahlian. - Memiliki shift penggantian petugas jaga untuk

melayani angkutan peti kemas - Memiliki kantor personil pelayanan angkutan

peti kemas

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kesiapan fasilitas tambat permanen untuk kapal Peti Kemas

V

Sub kriteria : - Memiliki tempat sandar khusus kapal peti kemas - Alat bongkar muat yang permanen - Operator bongkar muat kontainer yang terlatih

dan bersertifikat - Memiliki peralatan tambat yang sesuai dengan jenis kapal peti kemas

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki peralatan penanganan bongkar muat peti kemas yang terpasang dan bergerak

V

Sub kriteria : - Sistim peralatan yang handal dalam masalah

bongkar muat - Kapasitas alat bongkar muat peti kemas yang

memadai - Peralatan penanganan bongkar muat selalu

dilakukan perawatan - Memiliki operator yang terlatih dan

bersertifikat.

5. Kriteria tingkat 1 : Memiliki lapangan penumpukan dan gudang CFS sesuai kebutuhan

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 44

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Peti Kemas

Aspek Legal

Aspek Non

Legal Sub kriteria :

- Berada di area pelabuhan - Memiliki luas yang sesuai dengan rencana

induk pelabuhan - Tersedianya fasilitas penerangan pada malam

hari - Pemagaran sekeliling lapangan penumpukan - Pengamanan lapangan penumpukan - Mempunyai pos penjagaan

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki keandalan system operasi menggunakan jaringan informasi online baik internal maupun eksternal

V

Sub kriteria : - Tersedianya jaringan network komputer internal - Mempunyai jaringan network komputer

external berupa saluran internet dari salah satu provider

- Memiliki website pada internet sebagai pusat informasi dan komunikasi

- Teruji keandalan system operasi jaringan

7. Kriteria tingkat 1 : Memiliki volume penampungan peti kemas yang memadai

V

Sub kriteria : - Memiliki luasan dan ketinggian maksimum

untuk menumpuk kontainer pada area penumpukan sesuai jumlah tumpukan yang diperbolehkan untuk container

- Kemudahan dalam pemindahan kontainer dari satu tempat ke tempat lain

- Akses dari dermaga ke lapangan penumpukan berupa jalan aspal atau coran semen dan memiliki ketahanan beban yang diijinkan

8 Tersedianya alur masuk kapal dengan kedalaman tertentu

Sub kriteria : - Monitoring kegiatan lalu lintas kapal didaerah

tersebut- Menjadwalkan waktu inspeksi kedalam air dalam jangka waktu tertentu

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 45

Tabel 2.7. Kriteria terminal yang dapat melayani angkutan curah cair / curah kering

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Curah Cair/Curah Kering

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki system dan prosedur pelayanan V

Sub kriteria : - Bentuk sistim dan prosedur pelayanan dalam

bentuk dokumen tertulis - Untuk setiap bagian pelayanan memiliki

prosedur pelayanan dalam bentuk dokumen tertulis.

- Memiliki buku saku dari system prosedur yang merupakan ringkasan dari dokumen tertulis .

- Sosialisasi sistim dan prosedur pelayanan - Simulasi sistim dan prosedur pelayanan

2. Kriteria tingkat 1 : Memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang diperlukan dapat dipenuhi - Kualitas personil dalam menangani angkutan

curah cair/kering berupa sertifikat keahlian. - Memiliki shift penggantian petugas jaga untuk

melayani angkutan curah cair/kering - Memiliki kantor personil pelayanan angkutan

curah cair/kering

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kesiapan fasilitas tambat permanen yang sesuai untuk jenis kapal yang mengangkut curah cair/curah kering

V

Sub kriteria : - Memiliki tempat sandar khusus kapal curah

cair/kering - Alat bongkar muat yang permanen - Operator bongkar muat curah cair/kering yang terlatih dan bersertifikat

- Memiliki peralatan tambat yang sesuai dengan jenis kapal curah cair/kering

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki peralatan penanganan bongkar muat curah.

V

Sub kriteria : - Sistim peralatan yang handal dalam masalah

bongkar muat - Kapasitas alat bongkar muat peti kemas yang

memadai

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 46

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Angkutan Curah Cair/Curah Kering

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Peralatan penanganan bongkar muat selalu

dilakukan perawatan - Memiliki operator yang terlatih dan

bersertifikat. 5. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki kedalaman perairan yang memadai untuk sandar kapal

V

Sub kriteria : - Memiliki layout data kedalaman air untuk

sandar kapal - Monitoring kedalaman berkala, untuk

mengetahui perlu atau tidak pengerukan apabila terjadi sedimentasi

- Pelayanan ukuran kapal yang masuk berdasarkan kedalaman sandar pelabuhan

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki keandalan system operasi menggunakan jaringan informasi online baik internal maupun eksternal

V

Sub kriteria : - Tersedianya jaringan network komputer internal - Mempunyai jaringan network komputer

external berupa saluran internet dari salah satu provider

- Memiliki website pada internet sebagai pusat informasi dan komunikasi

- Teruji keandalan system operasi jaringan

Tabel 2.8. Kriteria terminal yang dapat melayani Kapal Penumpang

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Penumpang

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki system dan prosedur pelayanan V

Sub kriteria : - Bentuk sistim dan prosedur pelayanan dalam

bentuk dokumen tertulis - Untuk setiap bagian pelayanan memiliki

prosedur pelayanan dalam bentuk dokumen tertulis.

- Memiliki buku saku dari system prosedur yang merupakan ringkasan dari dokumen tertulis .

- Sosialisasi sistim dan prosedur pelayanan - Simulasi sistim dan prosedur pelayanan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 47

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Penumpang

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 2 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang diperlukan dapat dipenuhi - Kualitas personil dalam menangani angkutan

penumpang berupa sertifikat keahlian. - Memiliki shift penggantian petugas jaga untuk

melayani angkutan penumpang - Memiliki kantor personil pelayanan angkutan

penumpang

3 Kriteria tingkat 1 : Memiliki kesiapan fasilitas tambat permanen untuk kapal Penumpang

V

Sub kriteria : - Memiliki tempat sandar khusus kapal

penumpang - Alat bongkar muat yang permanen - Operator bongkar muat dan naik turun penumpang yang terlatih dan bersertifikat

- Memiliki peralatan tambat yang sesuai dengan jenis kapal penumpang.

4 Kriteria tingkat 1 : Memiliki peralatan penanganan turun naik penumpang

V

Sub kriteria : - Sistim peralatan yang handal dalam masalah

bongkar muat - Kapasitas alat bongkar muat dan turun naik

penumpang yang memadai - Peralatan penanganan bongkar muat selalu

dilakukan perawatan - Memiliki operator yang terlatih dan

bersertifikat.

5 Kriteria tingkat 1 : Memiliki kedalaman perairan yang memadai untuk sandar kapal

V

Sub kriteria : - Memiliki layout data kedalaman air untuk

sandar kapal - Monitoring kedalaman berkala, untuk

mengetahui perlu atau tidak pengerukan apabila terjadi sedimentasi

- Pelayanan ukuran kapal yang masuk berdasarkan kedalaman sandar pelabuhan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 48

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Penumpang

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 6 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki keandalan system operasi menggunakan jaringan informasi online baik internal maupun eksternal

V

Sub kriteria : - System operasi yang digunakan dibuat oleh

perusahaan yang terkenal dan mempunyai kinerja yang baik

- Dapat melakukan operasi sepanjang proses pekerjaan dengan pekerjaan input dan output data yang mempunyai akses cepat.

- Dapat menangani kegiatan input,proses data maupun output data secara bersamaan dalam jaringan

- Mampu menyimpan data untuk kegiatan 5 tahun

- System jaringan dapat melakukan update system secara otomatis melalui jaringan internet.

- Memiliki struktur pelayanan informasi yang dapat dimodifikasi melalui system operasi yang digunakan

- Sanggup melakukan tindakan keputusan pada saat operator memasukan data untuk suatu kasus tertentu

- Dapat menampilkan sistem prosedur semua kegiatan dan mampu mengingatkan dengan alarm pada computer apabila terjadi perubahan yang ekstrim dari suatu data input atau data yang sudah expire

- Melakukan penjualan tiket dengan bantuan system operasi

7 Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas ruang tunggu, keberangkatan dan kedatangan yang memadai

V

Sub kriteria : - Ruangan memiliki ukuran standar untuk dapat

menunggu dengan nyaman - Dilengkapi dengan informasi kedatangan dan

keberangkatan, berupa display monitor komputer atau televisi

- Memiliki mini kantin - Pelayanan pembelian tiket dan tempat transit

yang memadai - Memiliki toilet tersendiri - Mempunyai uangan ibadah

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 49

Tabel 2.9. Kriteria terminal yang dapat melayani Kapal Ro Ro

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Ro Ro

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki system dan prosedur pelayanan V

Sub kriteria : - Bentuk sistim dan prosedur pelayanan dalam

bentuk dokumen tertulis - Untuk setiap bagian pelayanan memiliki

prosedur pelayanan dalam bentuk dokumen tertulis.

- Memiliki buku saku dari system prosedur yang merupakan ringkasan dari dokumen tertulis .

- Sosialisasi sistim dan prosedur pelayanan - Simulasi sistim dan prosedur pelayanan

2 Kriteria tingkat 1 : Memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai

V

Sub kriteria : - Jumlah personil yang diperlukan dapat dipenuhi - Kualitas personil dalam menangani angkutan

kendaraan dan penumpang berupa sertifikat keahlian.

- Memiliki shift penggantian petugas jaga untuk melayani angkutan kendaraan dan penumpang

- Memiliki kantor personil pelayanan angkutan kendaraan dan penumpang

3 Kriteria tingkat 1 : Memiliki kesiapan fasilitas tambat permanen untuk kapal ro-ro

V

Sub kriteria : -Memiliki tempat sandar khusus kapal ro-ro - Alat bongkar muat yang permanen - Operator bongkar muat ro-ro yang terlatih dan

bersertifikat - Memiliki peralatan tambat yang sesuai dengan

jenis kapal ro ro

4 Kriteria tingkat 1 : Memiliki peralatan penanganan turun naik penumpang dan kendaraan

V

Sub kriteria : - Sistim peralatan yang handal dalam masalah

turun naik penumpang dan barang - Kapasitas alat bongkar muat dan turun naik

penumpang yang memadai - Peralatan penanganan bongkar muat selalu

dilakukan perawatan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 50

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Ro Ro

Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Memiliki operator yang terlatih dan

bersertifikat. 5 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki kedalaman perairan yang memadai untuk sandar kapal

V

Sub kriteria : - Memiliki layout data kedalaman air untuk

sandar kapal - Monitoring kedalaman berkala, untuk

mengetahui perlu atau tidak pengerukan apabila terjadi sedimentasi

- Pelayanan ukuran kapal yang masuk berdasarkan kedalaman sandar pelabuhan

6 Kriteria tingkat 1 : Memiliki keandalan system operasi menggunakan jaringan informasi online baik internal maupun eksternal

V

Sub kriteria : - System operasi yang digunakan dibuat oleh

perusahaan yang terkenal dan mempunyai kinerja yang baik

- Dapat melakukan operasi sepanjang proses pekerjaan dengan pekerjaan input dan output data yang mempunyai akses cepat.

- Dapat menangani kegiatan input,proses data maupun output data secara bersamaan dalam jaringan

- Mampu menyimpan data untuk kegiatan 5 tahun

- System jaringan dapat melakukan update system secara otomatis melalui jaringan internet.

- Memiliki struktur pelayanan informasi yang dapat dimodifikasi melalui system operasi yang digunakan

- Sanggup melakukan tindakan keputusan pada saat operator memasukan data untuk suatu kasus tertentu

- Dapat menampilkan sistem prosedur semua kegiatan dan mampu mengingatkan dengan alarm pada computer apabila terjadi perubahan yang ekstrim dari suatu data input atau data yang sudah expire

- Melakukan penjualan tiket dengan bantuan system operasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 51

No. Kriteria Terminal Yang Dapat Melayani Kapal Ro Ro

Aspek Legal

Aspek Non

Legal 7 Kriteria tingkat 1 :

Memiliki fasilitas ruang tunggu, keberangkatan dan kedatangan yang memadai

V

Sub kriteria : - Ruangan memiliki ukuran standar untuk dapat

menunggu dengan nyaman - Dilengkapi dengan informasi kedatangan dan

keberangkatan, berupa display monitor komputer atau televisi

- Memiliki mini kantin - Pelayanan pembelian tiket dan tempat transit

yang memadai - Memiliki toilet tersendiri - Mempunyai ruangan ibadah

8 Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas parkir dan tempat antrian kendaraan saat akan masuk atau keluar Kapal

V

Sub kriteria : - Ketersedian area parkir dan tempat antrian

kendaraan dengan ukuran yang memadai - Memiliki rencana induk untuk pengembangan

Ketersediaan area parkir dan tempat antrian yang diukur berdasarkan lonjakan penumpang

- Ketahanan beban jalan terhadap berbagai macam kendaraan, terutama kendaraan besar yang mengangkut beban yang sangat berat

- Mempunyai tempat istirahat berupa ruangan beratap dan sederhana untuk penumpang atau para pengemudi

5. Kriteria wilayah tertentu di daratan (dry port) yang dapat berfungsi sebagai pelabuhan;

a. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Dalam UU No, 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, pasal 77 menyebutkan bahwa suatu wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta memenuhi persyaratan kelayakan teknis dan lingkungan.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 52

Dalam Pasal 74 UU No. 17 Tahun 2008 disebutkan bahwa 1) Rencana peruntukan wilayah daratan

berdasar pada kriteria kebutuhan: fasilitas pokok dan fasilitas penunjang.

2) Rencana peruntukan wilayah perairan berdasar pada kriteria kebutuhan: fasilitas pokok dan fasilitas penunjang.

b. PP 61 Tahun 2009 Tentang Kepelabuhanan

Pasal 17 : 1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu

sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.

2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.

3) Dalam penetapan oleh Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat: a) titik koordinat geografis lokasi pelabuhan; b) nama lokasi pelabuhan; dan c) letak wilayah administratif.

Pasal 18 1) Lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri

berdasarkan permohonan dari Pemerintah atau pemerintah daerah.

2) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilengkapi persyaratan yang terdiri atas: a) Rencana Induk Pelabuhan Nasional; b) rencana tata ruang wilayah provinsi; c) rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota; d) rencana Daerah Lingkungan Kerja dan

Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan; e) hasil studi kelayakan mengenai:

(1) kelayakan teknis; (2) kelayakan ekonomi; (3) kelayakan lingkungan; (4) pertumbuhan ekonomi dan

perkembangan sosial daerah setempat; (5) keterpaduan intra-dan antarmoda; (6) adanya aksesibilitas terhadap

hinterland (7) keamanan dan keselamatan pelayaran;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 53

(8) pertahanan dan keamanan. f) rekomendasi dari gubernur dan

bupati/walikota.

Dalam bagian Kelima tentang Penetapan Lokasi, Pembangunan dan Pengoperasian Wilayah Tertentu di Daratan Yang Berfungsi Sebagai Pelabuhan, khususnya pada pasal 105 dan 106 dijelaskan sebagai berikut:

Pasal 105: 1) Suatu wilayah tertentu di daratan dapat ditetapkan

sebagai lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan berdasarkan permohonan.

2) Permohonan penetapan wilayah tertentu di daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan utama yang akan menjadi pelabuhan induknya kepada Menteri.

Pasal 106 ayat 1: Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (2), Menteri dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak diterima permohonan melakukan penelitian terhadap: 1) ketersediaan jalur yang menghubungkan ke

pelabuhan laut yang terbuka untuk perdagangan luar negeri;

2) potensi wilayah di bidang produksi dan perdagangan yang telah dikembangkan; dan

3) kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah provinsi dan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.

Pasal 107: 1) Pembangunan wilayah tertentu di daratan yang

telah ditetapkan sebagai lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (3) dapat dilakukan setelah mendapat izin.

2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan utama yang menjadi pelabuhan induknya kepada Menteri.

3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a) memiliki izin penetapan wilayah tertentu di

daratan sebagai lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan dari Menteri;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 54

b) menguasai tanah dengan luas tertentu sebagai Daerah Lingkungan Kerja; dan

c) memiliki prasarana dan sarana sehingga dapat berfungsi sebagai pelabuhan yang berlokasi di daratan.

4) Berdasarkan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri melakukan penelitian atas persyaratan permohonan pembangunan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak diterima permohonan secara lengkap.

5) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) belum terpenuhi, Menteri mengembalikan permohonan kepada penyelenggara pelabuhan untuk melengkapi persyaratan.

6) Permohonan yang dikembalikan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dapat diajukan kembali kepada Menteri setelah persyaratan dilengkapi.

7) Dalam hal berdasarkan hasil penelitian persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (6) telah terpenuhi, Menteri memberikan izin kepada penyelenggara pelabuhan utama yang menjadi pelabuhan induknya untuk melaksanakan pembangunan wilayah tertentu di daratan yang berfungsi sebagai pelabuhan.

Pasal 108

1) Pengoperasian pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (7) dilakukan setelah diperolehnya izin.

2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh penyelenggara pelabuhan utama yang menjadi pelabuhan induknya kepada Menteri.

3) Pengajuan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus memenuhi persyaratan: a) pembangunan pelabuhan telah selesai

dilaksanakan sesuai dengan izin pembangunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 107 ayat (7);

b) keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran;

c) tersedianya pelaksana kegiatan kepelabuhanan;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 55

d) memiliki sistem dan prosedur pelayanan; dan e. tersedianya sumber daya manusia di bidang teknis pengoperasian pelabuhan yang memiliki kualifikasi dan kompetensi yang dibuktikan dengan sertifikat.

Tabel 2.10. Kriteria Wilayah tertentu di Daratan (dry port) Yang dapat Berfungsi Sebagai Pelabuhan

No. Kriteria Wilayah tertentu di Daratan

(dry port) Yang dapat Berfungsi Sebagai Pelabuhan

Aspek Legal Detail

1. Kriteria tingkat 1 : Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota

V

Sub kriteria : - Memiliki lay out tata ruang wilayah propinsi, rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota update

- Memiliki rencana induk pengembangan - Memiliki dokumen pertanahan, status tanah merupakan hak milik

- Memiliki dokumen perijinan - Memiliki koordinat lokasi di daratan

2. Kriteria tingkat 1 : Memenuhi persyaratan kelayakan teknis dan lingkungan

V

Sub kriteria : - Memiliki dokumen UKP/UPL atau

AMDAL - Teruji dan terukur secara visual - Penataan area dry port dan dampaknya terhadap lingkungan

- Memiliki saluran pembuangan air yang lancar

3. Kriteria tingkat 1 : Memperhatikan rencana induk pelabuhan nasional

V

Sub kriteria : - Memiliki lay out rencana induk pelabuhan nasional

- Memiliki rencana induk dry port - Memahami rencana induk pelabuhan

nasional - Monitoring setiap perubahan tahun dan informasi perubahan fasilitas prasarana maupun sarana sesuai rencana induk nasional

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 56

No. Kriteria Wilayah tertentu di Daratan

(dry port) Yang dapat Berfungsi Sebagai Pelabuhan

Aspek Legal Detail

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki tanah sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan Pelabuhan

V

Sub kriteria : - Memiliki rencana induk pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi pelabuhan dan zonasi daerah lingkungan kerja serta daerah lingkungan kepentingan pelabuhan

- Memiliki luasan daerah lingkungan kerja dan daerah lingkungan pelabuhan yang memadai sesuai peruntukannya

5. Kriteria tingkat 1 : Memenuhi persyaratan kelayakan ekonomi

V

Sub kriteria : - Lokasi merupakan tempat dilakukan kegiatan perekonomian

- Keteraturan pemasukan dan pengeluaran keuangan dari sistem yang ada didalam area kegiatan

- Lokasi pelabuhan ataupun dry port selalu dalam keadaan aktif dengan kegiatan perekonomian

- Keamanan yang memadai

6. Kriteria tingkat 1 : Mendukung pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat

V

Sub kriteria : - Lokasi merupakan tempat dilakukan kegiatan perekonomian

- Memiliki aktifitas dalam dan luar pelabuhan ataupun dry port

- Selalu memiiliki dampak pertumbuhan ekonomi dan perkembangan sosial daerah setempat

- Prospek yang sebelumnya sudah diadakan studi kelayakan memiliki kesesuaian dengan perkembangan yang ada

7. Kriteria tingkat 1 : Memiliki aksesibilitas terhadap hinterland pelabuhan

V

Sub kriteria : - Sumber daya manusia dari pelabuhan beberapa personil diperoleh dari daerah sekitanya.

- Adanya dana CSR

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 57

No. Kriteria Wilayah tertentu di Daratan

(dry port) Yang dapat Berfungsi Sebagai Pelabuhan

Aspek Legal Detail

- Diperbolehkannya melalui perijinan resmi, masyarakat sekitar untuk berjualan

- Memberikan sosialisasi mengenai keamanan pelabuhan yang bersifat nasional maupun internasional jika complay dengan ISPS Code

- Mengadakan kegiatan sosial, keagamaan pada hari-hari raya agama

8. Kriteria tingkat 1 : Didukung oleh keterpaduan intra dan antar moda

V

Sub kriteria : - Memiliki jaringan intra dan antar moda - Keterpaduan jaringan intra dan antar moda berkelanjutan

- Informasi pergerakan intra dan antar moda yang aktif

- Memiliki klasifikasi jenis, tipe intra dan antra moda

- Intra dan antar moda diusahakan oleh perusahaan yang bergerak disalah satu moda

- Manajemen keterpaduan intra dan antar moda yang terstruktur

9. Kriteria tingkat 1 : Mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota

V

Sub kriteria : - Memiliki ijin usaha yang dasarnya adalah dari rekomendasi gubenur dan bupati/walikota

- Dokumen yang memiliki data online, sehingga mudah untuk dilihat dari segi legalitasnya.

- Memiliki dasar dan tujuan penggunaan dry port

- Memiliki studi kelayakan yang menjadikan diperolehnya rekomendasi dari gubernur

10. Kriteria tingkat 1 : Daerah hinterlandnya merupakan wilayah di bidang produksi dan perdagangan yang telah dikembangkan

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 58

No. Kriteria Wilayah tertentu di Daratan

(dry port) Yang dapat Berfungsi Sebagai Pelabuhan

Aspek Legal Detail

Sub kriteria : - Dasar perencanaan awal dari dry port didasarkan pada daerah hinterland yang merupakan wilayah di bidang produksi dan perdagangan

- Wilayah dibidang produksi dan perdagangan meliputi barang-barang yang memiliki kebutuhan akan angkutan untuk distribusi nasional dan ekspor

- Produksi dan perdagangan memiliki tingkat aktifitas pergerakan moda yang aktif

- Ketergantungan menggunakan pegerakan intra moda dan antar moda

6. Kriteria terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri a. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran

Pasal 102 ayat 1 UU no. 17 Tahun 2008 menyebutkan bahwa untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal khusus.

Pasal 103: Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam pasal 102 ayat 1 ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat, wajib memiliki DLKr dan DLKP, ditempatkan instansi pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai kebutuhan.

Pasal 104 ayat 1:

Terminal khusus hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal: 1) Pelabuhan terdekat tidak dapat menampung

kegiatan pokok tersebut 2) Berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis

operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 59

Pasal 104 ayat 2:

Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus wajib dipenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan izin dari menteri.

Pasal 111 ayat 3 : Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan luar negeri. Selanjutnya dalam ayat 4 disebutkan bahwa terminal khusus tertentu wajib memenuhi persyaratan: 1) Aspek administrasi; 2) Aspek ekonomi; 3) Aspek keselamatan dan keamanan pelayaran; 4) Aspek teknis fasilitas kepelabuhanan; 5) Fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi

instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi dan karantina;

6) Jenis komoditi khusus.

b. PP 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

Pasal 8

Pelabuhan khusus nasional/internasional ditetapkan dengan kriteria: 1) bobot kapal 3000 DWT atau lebih; 2) panjang dermaga 70M’ atau lebih; 3) kedalaman di depan dermaga –5 M LWS atau

lebih; 4) menangani pelayanan barang-barang berbahaya

dan beracun (B3); 5) melayani kegiatan pelayanan lintas Propinsi dan

Internasional.

Pasal 149

1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri pelabuhan utama dan terminal khusus tertentu dapat ditetapkan sebagai pelabuhan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.

2) Penetapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan:

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 60

a) pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;

b) kepentingan perdagangan internasional; c) kepentingan pengembangan kemampuan

angkutan laut nasional; d) posisi geografis yang terletak pada lintasan

pelayaran internasional; e) Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang

diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;

f) fasilitas pelabuhan; g) keamanan dan kedaulatan negara; dan h) kepentingan nasional lainnya.

c. PM.No 51 Tahun 2011 tentang Terminal Khusus Dan Terminal Untuk Kepentingan Sendiri

Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.

Terminal Untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri

Pasal 33

1) Untuk menunjang kelancaran perdagangan luar negeri, terminal khusus yang dibangun dan dioperasikan untuk menunjang kegiatan usaha yang hasil produksinya untuk diekspor dapat ditetapkan sebagai terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri.

2) Penetapan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan atas pertimbangan: a) pertumbuhan dan pengembangan ekonomi

nasional; b) kepentingan perdagangan internasional; c) kepentingan pengembangan kemampuan

angkutan laut nasional;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 61

d) posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;

e) Tatanan Kepelabuhanan Nasional yang diwujudkan dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional;

f) fasilitas terminal khusus; g) keamanan dan kedaulatan negara; dan h) kepentingan nasional lainnya.

3) Penetapan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (1) dilakukan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

4) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi: a) aspek administrasi:

(1) rekomendasi dari gubernur, bupati/walikota; dan

(2) rekomendasi dari pejabat pemegang fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan.

b) aspek ekonomi: (1) menunjang industri tertentu; (2) arus barang minimal 10.000 ton/tahun;

dan (3) arus barang ekspor minimal 50.000

ton/tahun. c) aspek keselamatan dan keamanan pelayaran:

(1) kedalaman perairan minimal -6 meter L WS;

(2) luas kolam cukup untuk olah gerak minimal 3 (tiga) unit kapal;

(3) Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; (4) stasiun radio operasi pantai; (5) prasarana, sarana dan sumber daya

manusia pandu bagi terminal khusus yang perairannya telah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu; dan

(6) kapal patroli apabila dibutuhkan. d) aspek teknis fasilitas kepelabuhanan:

(1) dermaga beton permanen minimal l (satu) tambatan;

(2) gudang tertutup; (3) peralatan bongkar muat; (4) PMK1 (satu) unit;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 62

(5) fasilitas bunker, dan (6) fasilitas pencegahan pencemaran.

e) fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan

f) jenis komoditas khusus.

d. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2003 tentang Pemberlakuan Amandemen SOLAS 1974 tentang Pengamanan Kapal dan Fasilitas Pelabuhan (International Ships and Port Facility Sacurity / ISPS Code) di wilayah Indonesia

e. Amandement SOLAS 1974, Amandement BAB V (Safety Of Navigation) R.19- Carriage of AIS

f. Amandement Bab XI (Maritime Safety) , XI-1 Peningkatan Keselamatan Maritim, R.3 mengenai ID Number dan R.5 mengenai CSR dan XI-2 Aturan baru mengenai Keselamatan Maritim, aturan baru tentang keamanan kapal dan Fasilitas Pelabuhan (ISPS Code) yang terdiri dari Part A mengenai Ketentuan Mandatory dan Part B mengenai Petunjuk dan Tindakan Mandatory)

Tabel 2.11. Kriteria terminal khusus yang terbuka untuk perdagangan luar negeri

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

A. ASPEK ADMINISTRASI

1. Kriteria tingkat 1 : Memperoleh rekomendasi dari gubernur , bupati/walikota

V

Sub kriteria : - Memiliki ijin usaha yang dasarnya adalah dari rekomendasi gubenur dan bupati/walikota

- Dokumen yang memiliki data online, sehingga mudah untuk dilihat dari segi legalitasnya.

- Memiliki dasar dan tujuan penggunaan dryport - Memiliki studi kelayakan yang menjadikan

diperolehnya rekomendasi dari gubernur - Memiliki Amdal dalam usaha perlindungan

lingkungan - Memiliki kesesuaian dengan peruntukan lahan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 63

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

2. Kriteria tingkat 1 : Memperoleh rekomendasi dari pejabat pemegang fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan

V

Sub kriteria : - Memiliki dokumen pengajuan dan

kelengkapannya guna memperoleh rekomendasi dari pejabat pemegang fungsi keselamatan pelayaran di pelabuhan.

- Mempunyai bukti fisik sarana dan prasana pelabuhan

- Dokumen rekomendasi ditampilkan dalam website sebagai informasi legalitas

- Dokumen rekomendasi ditampilkan diruang tamu, kantor dan pertemuan

B. ASPEK EKONOMI

1. Kriteria tingkat 1 : Menunjang industri tertentu

V

Sub kriteria : - Fasilitator akses perdagangan ke dalam dan

luar negeri - Meningkatkan pertumbuhan industri utama

dan penunjang - Meningkatkan daya saing industri dalam hal

distribusi hasil industri - Meningkatkan efesiensi industri dalam hal

pengadaan barang

2. Kriteria tingkat 1 : Mendukung pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional

V

Sub kriteria : - Sebagai rantai transportasi distribusi barang nasional dan internasional

- Mampu mendistribusikan barang dalam skala besar

Penunjang peningkatan efesiensi distribusi barang nasional

- Penggerak ekonomi nasional dalam hal distribusi barang

3. Kriteria tingkat 1 : Melayani kegiatan lintas batas provinsi dan internasional

V

Sub kriteria : - Terkait dengan sistem transportasi lokal dalam distribusi barang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 64

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

- Mampu mengakomodir distribusi jenis barang hasil industri dan alam

- Mempunyai kesesuaian terminal khusus dengan hasil industri/ barang antar propinsi dan internasional

- Lokasi terminal khusus terletak pada posisi yang strategis

4. Kriteria tingkat 1 : Mampu melayani arus barang di terminal khusus minimal 10.000 ton per tahun

V

Sub kriteria : - Ketersediaan dan kehandalan fasilitas untuk pelayanan terhadap kapal

- Terminal khusus yang dapat mengakomodir tipe dan besaran kapal

- Pelayanan pelabuhan dapat beroperasi selama 24 jam

- Pelabuhan mempunyai kemampuan untuk melakukan keselamatan dan keamanan terhadap kapal

5. Kriteria tingkat 1 : Melayani arus barang ekspor minimal 50.000 ton/tahun

V

Sub kriteria : - Ketersediaan dan kehandalan fasilitas untuk pelayanan terhadap kapal

- Terminal khusus yang dapat mengakomodir tipe dan besaran kapal

- Pelayanan pelabuhan dapat beroperasi selama 24 jam

- Pelabuhan mempunyai kemampuan untuk melakukan keselamatan dan keamanan terhadap kapal

6. Kriteria tingkat 1 : Posisi terminal khusus secara geografis terletak pada lintasan pelayaran internasional

V

Sub kriteria : - Perencanaan lokasi pelabuhan pada daerah yang geografis

- Perencanaan tipe dan besaran pelabuhan terkait dengan lintasan pelayaran

- Perencanaan fasilitas pelabuhan dalam mendukung operasional pelabuhan

- Perencanaan SDM dan SOP pelayanan terhadap kapal dan barang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 65

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

C. ASPEK KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN

1. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kedalaman dermaga minimal -6 mLWS

V

Sub kriteria : - Memiliki dermaga tidak dalam lokasi yang mempunyai sedimentasi tinggi

- Memiliki perencanaan untuk menjaga kedalaman perairan di dermaga

- Memiliki fasilitas dan peralatan untuk menjaga kedalaman perairan

- Memiliki SDM dan SOP dalam menjaga kedalaman perairan

2. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kolam pelabuhan yang cukup untuk olah gerak kapal minimal 3 unit kapal

V

Sub kriteria : - Pelabuhan memiliki perencanaan DLKr yang cukup untuk olah gerak kapal

- Pelabuhan memiliki sarana dan fasilitas yang baik untuk olah gerak kapal

- Memiliki kedalaman yang cukup untuk olah gerak kapal

- Memiliki SDM, SOP dan standard terkait kolam pelabuhan

3. Kriteria tingkat 1 : Ketersediaan SBNP dan SROP

V

Sub kriteria : - Memiliki kecukupan, kehandalan dan jenis SBNP & SROP

- Memiliki SDM, SOP dan standar terkait SBNP & SROP

- Memiliki perencanaan penggunaan dan penggantian SBNP & SROP

- Memiliki perencanaan perawatan SBNP & SROP

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki prasarana, sarana dan SDM pandu bagi terminal khusus yang perairannya telah ditetapkan sebagai perairan wajib pandu

V

Sub kriteria : - Memiliki kecukupan, kehandalan dan besar HP kapal pandu

- Memiliki SDM, SOP dan standar terkait kapal pandu

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 66

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

- Memiliki perencanaan penggunaan dan penggantian kapal pandu

- Memiliki perencanaan perawatan kapal pandu 5. Kriteria tingkat 1 :

Mampu melayani bobot kapal 3000 DWT atau lebih

V

Sub kriteria : - Memiliki dermaga yang mampu melayani kapal 3000 DWT atau lebih

- Memiliki sarana pelabuhan (gudang, alat bongkar muat dll) yang memadai

- Memiliki SDM, SOP untuk pelayanan kapal 3000 DWT atau lebih

- Memiliki fasilitas keselamatan dan keamanan untuk kapal 3000 DWT atau lebih

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki kapal patroli

V

Sub kriteria : - Memiliki kecukupan, kehandalan dan jenis kapal patroli

- Memiliki SDM terlatih untuk kapal patroli - Memiliki perencanaan pengadaan, perawatan dan penggantian kapal patroli

- SOP dan standard kapal patroli - Memiliki sistim pengamanan yang tercukupi dari arah laut dengan kapal patroli

7. Kriteria tingkat 1 : Memiliki SOP pengamanan

V

Sub kriteria : - SOP pengamanan dibuat sesuai standar internasional

- SOP pengamanan mencakup seluruh kegiatan pengamanan pelabuhan

- SOP pengamanan mencakup hanya kegiatan utama pengamanan pelabuhan

- SOP pengamanan perlu dilakukan masukan dari seluruh pihak terkait dan memperhatikan kearifan lokal

- SOP pengamanan perlu dilakukan peninjauan secara berkala

8. Kriteria tingkat 1 : Complay ISPS Code

V

Sub kriteria : - Memiliki sarana dan prasarana pelabuhan sesuai dengan ISPS Code

- Memiliki SDM yang mencukupi dan terlatih sesuai dengan ISPS Code

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 67

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

- Memiliki SOP pengamanan sesuai dengan ISPS Code

- Melakukan pembaruan dan pelatihan SDM secara kontinyu sesuai ISPS Code

D ASPEK TEKNIS FASILITAS KEPELABUHANAN

1. Kriteria tingkat 1 : Memiliki dermaga beton permanen minimal satu tambatan dengan panjang minimal 70 meter

V

Sub kriteria : - Panjang dermaga dirancang untuk mampu melayani kapal sesuai norma standar pelayanan

- Jumlah tambatan yang ada dapat melayani kapal tambat pada pelabuhan

- Kolam dermaga harus dapat mengkomodir olah gerak kapal

- Kedalam kolam dermaga dapat dimasuki oleh kapal dengan ukuran min 3000 DWT

- Fasilitas Dermaga harus dapat sesuai dengan jenis muatan kapal

- Fasilitas keselaamatan pelaayaran terdapat pada dermaga tersebut

2. Kriteria tingkat 1 : Mampu menangani barang-barang berbahaya dan beracun (B3)

V

Sub kriteria : - Pelabuhan memiliki fasilitas dan sarana penanganan barang berbahaya dan beracun

- Pelabuhan memiiki SDM yang terlatih dan mencukupi dalam penanganan barang berbahaya dan beracun

- Pelabuhan memiliki SOP dan standar dalam penanganan barang berbahaya dan beracun

- Pelabuhan memiliki fasilitas penampungan barang berbahaya dan beracun

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki peralatan bongkar muat

V

Sub kriteria : - Jumlah peralatan bongkar muat harus memenuhi standar pelayanan

- Jenis peralatan bongkar muat harus memenuhi standar pelayanan

- Kesesuaian peralatan bongkar muat dengan jenis muatan

- Memiliki SDM yang bersertifikasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 68

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

- Memiliki SOP dalam operasional peralatan bongkar muat

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas pencegahan pencemaran

V

Sub kriteria : - Fasilitas pencegahan pencemaran harus sesuai dengan jenis pencemaran dari muatan dan kapal

- Jumlah fasilitas pencegahan pencemaran mampu menangani pencemaran yang terjadi

- Lokasi fasilitas pencegahan pencemaran dirancang strategis

- Memiliki SOP penanggulangan pencemaran di pelabuhan

- Memiliki SDM yang bersertifikasi

5 Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas gudang tertutup

V

Sub kriteria : - Kapasitas gudang tertutup dapat menampung seluruh muatan

- Lokasi gudang tertutup dapat diakses mudah oleh alat transportasi

- Fasilitas gudang tertutup dilengkapi dengan fasilitas pemadam kebakaran dan dilengkapi fasilitas keamanan

- Memiliki SOP dalam operasionalnya - Jenis gudang tertutup di pelabuhan sesuai dengan jenis muatan

- Fasilitas gudang tertutup harus dimiliki oleh pelabuhan

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki fasilitas bunker

V

Sub kriteria : - Fasilitas bunker wajib dimiliki oleh pelabuhan - Fasilitas bunker dapat ditangani oleh pihak lain diluar pelabuhan

- Kapasitas bunker dapat melayani kebutuhan kapal

- Jenis BBM disediakan untuk seluruh kebutuhan

- Memiliki SDM sesuai kompetensinya - Memiliki SOP fasilitas bunker di pelabuhan

E ASPEK LAIN 1. Kriteria tingkat 1 :

Memiliki fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 69

No. Kriteria Terminal Khusus Yang Terbuka Untuk Perdagangan Luar Negeri

Aspek Legal Detail

bea cukai, imigrasi, dan karantina;

Sub kriteria : - Tersedia kantor dan penunjang pelayanan pelabuhan

- Memiliki SDM yang memiliki kompetensi untuk setiap pelayanan

- Tersedia fasilitas penunjang pelayanan pelabuhan

- Memiliki SOP untuk setiap pelayanan pelabuhan

2. Kriteria tingkat 1 : Menangani jenis komoditi khusus

V

Sub kriteria : - Terminal khusus dirancang dan dapat mengakomodir jenis muatan khuus

- Memiliki fasilitas dan peralatan untuk pelayanan kapal dan komoditi khusus

- Memiliki lokasi/ area untuk penyimpanan komoditi khusus

- Memiliki SDM dan SOP untuk penanganan komoditi khusus

7. Kriteria alur pelayaran yang dapat dikomersilkan a. UU no 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.

Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran

Pasal 102

1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar DaerahLingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal khusus.

2) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 70

Pasal 103

Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102ayat (1): 1) ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat; 2) wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan

Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan 3) ditempatkan instansi Pemerintah yang

melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.

Pasal 104

1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal: a) pelabuhan terdekat tidak dapat menampung

kegiatan pokok tersebut; dan b) berdasarkan pertimbangan ekonomis dan

teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.

2) Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan izin dari Menteri.

3) Izin pengoperasian terminal khusus diberikan untuk jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan berdasarkanUndang-Undang ini.

Dalam pasal 187 ayat 1 disebutkan bahwa alur dan perlintasan terdiri atas: 1) alur-pelayaran di laut; dan 2) alur-pelayaran sungai dan danau.

Pasal 187 ayat (2) : Alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1)dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang berwenang.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 71

Pasal 188

1) Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.

2) Badan usaha dapat diikut sertakan dalam sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran.

3) Untuk penyelenggaraan alur pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib menetapkan alur pelayaran, menetapkan system rute, menetapkan tata cara berlalu lintas dan menetapkan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.

Pasal 189:

1) Untuk membangun dan memelihara alur-pelayaran dan kepentingan lainnya dilakukan pekerjaan pengerukan dengan memenuhi persyaratan teknis.

2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) keselamatan berlayar; b) kelestarian lingkungan; c) tata ruang perairan; dan d) tata pengairan untuk pekerjaan di sungai dan

danau.

Pasal 190

1) Untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayarpada perairan tertentu, Pemerintah menetapkan system rute yang meliputi: a) skema pemisah lalu lintas di laut; b) rute dua arah; c) garis haluan yang dianjurkan; d) rute air dalam; e) daerah yang harus dihindari; f) daerah lalu lintas pedalaman; dan g) daerah kewaspadaan.

2) Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat(1) didasarkan pada: a) kondisi alur-pelayaran; dan b) pertimbangan kepadatan lalu lintas.

3) Sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusdicantumkan dalam peta laut dan buku petunjukpelayarandan diumumkan oleh instansi yangberwenang.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 72

Pasal 191

Tata cara berlalu lintas di perairan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 192

Setiap alur- pelayaran wajib dilengkapi dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran.

b. PP No 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian

Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman,lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.

Alur dan Perlintasan adalah bagian dari perairan yang dapat dilayari sesuai dimensi/spesifikasi kapal di laut,sungai, dan danau.

Pasal 6

1) Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.

2) Penyelenggaraan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat(1) meliputi perencanaan, pembangunan,pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan.

3) Badan usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan,pengoperasian, dan pemeliharaan alur-pelayaran yang menuju ke terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha.

4) Penyelenggaraan alur-pelayaran oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.

c. Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayaran di Laut

Alur-Pelayaran di Laut adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari kapal angkutan laut.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 73

Pasal 4:

Penyelenggaraan alur-pelayaran di laut dilakukan untuk : 1) ketertiban lalu lintas kapal; 2) memonitor pergerakan kapal; 3) mengarahkan pergerakan kapal; dan 4) pelaksanaan hak lintas damai kapal-kapal asing.

Pasal 5:

1) Penyelenggaraan alur-pelayaran di laut dilaksanakan oleh Pemerintah.

2) Penyelenggaraan alur-pelayaran di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a) perencanaan; b) pembangunan; c) pengoperasian; d) pemeliharaan; dan e) pengawasan.

Pasal 6:

1) Kegiatan perencanaan alur-pe1ayaran di laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2)huruf a meliputi : a) rencana pembangunan alur-pelayaran di laut; b) penataan alur-pelayaran di laut.

2) Rencana pembangunan alur-pelayaran di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disusun berdasarkan: a) Rencana Induk Peabuhan Nasional; b) perkembangan dimensi kapal dan jenis kapal; c) kepadatan lalu lintas; d) kondisi geografis;dan e) efisiensi jarak pelayaran.

3) Penataan alur-pelayaran di laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilakukan untuk: ketertiban lalu lintas kapal; a) keselamatan dan keamanan bernavigasi; dan b) perlindungan lingkungan maritim.

Pasal 7 :

Pada kegiatan perencanaan alur-pe1ayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut:

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 74

1) penataan jalur-jalur sempit; 2) titik mati (point of no return); 3) lebar alur satu arah; 4) lebar dalam belokan-belokan alur; 5) lebar alur dua arah; 6) daerah olah gerak.

Pasal 8:

Pada penataan jalur-jalur sempit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf a garis mengemudi lurus yang ditandai cukup dengan kepanjangan minimal 5 (lima) kali panjang kapal terbesar pada kedua ujung jalur.

Pasal 9:

Pada titik mati (point of no return) sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 7 huruf b. meliputi :

1) penyediaan jalur-jalur darurat ke luar alur, khususnya bagi alur- alur yang panjang dan lalu lintas padat.

2) jarak antara "titik mati" ke pintu masuk pelabuhan untuk kapal-kapal besar dibuat sependek mungkin.

Pasal 18:

1) Badan usaha dapat diikutsertakan dalam pembangunan, pengoperasian, dan pemeliharaan alur-pelayaran di laut yang menuju ke terminal khusus yang dikelola oleh badan usaha.

2) Penyelenggaraan alur-pe1ayaran di laut oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah mendapat izin dari Menteri.

Tabel 2.12 .Kriteria alur pelayaran yang dapat dikomersilkan

No. Kriteria Alur Pelayaran Yang Dapat Dikomersilkan Aspek Legal

Aspek Non

Legal 1. Kriteria tingkat 1 :

Penataan jalur-jalur sempit

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 75

No. Kriteria Alur Pelayaran Yang Dapat Dikomersilkan Aspek Legal

Aspek Non

Legal Sub kriteria :

- Memiliki potensi pergerakan moda transportasi laut

- Lokasi pelabuhan memiliki akses untuk dilakukan pergerakan moda transportasi laut

- Lokasi pelabuhan mempunyai akses sebagai tempat pergerakan roda ekonomi

- Lokasi pelabuhan sebagai tempat utama pemindahan barang cair atau curah

- Dilengkapi dengan sarana bantu navigasi dan telekomunikasi pelayaran

- Perlindungan lingkungan maritim - Pemahaman kondisi jalur dan penyesuaian terhadap belokan-belokan alur

- Memenuhi syarat kedalaman, lebar, bebas hambatan, aman dan selamat untuk dilayari

- Memiliki ijin operasional - Memiliki Pandu

2. Kriteria tingkat 1 : Daerah olah gerak kapal

V

Sub kriteria : - Memenuhi syarat kedalaman, lebar, bebas hambatan, aman dan selamat untuk dilayari

- Ukuran dan lokasi mengikuti perencanaan pelabuhan pada rencana induk

- Monitoring kedalaman terhadap sedimentasi dan adanya kerangka kapal

- Gelombang dan arus perairan pelabuhan yang tenang

3. Kriteria tingkat 1 : Penyediaan jalur darurat ke luar alur

V

Sub kriteria : - Memenuhi syarat kedalaman, lebar, bebas hambatan, aman dan selamat untuk jalur darurat ke luar alur

- Ukuran dan lokasi mengikuti perencanaan pelabuhan pada rencana induk

- Monitoring kedalaman terhadap sedimentasi dan adanya kerangka kapal

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 76

No. Kriteria Alur Pelayaran Yang Dapat Dikomersilkan Aspek Legal

Aspek Non

Legal - Gelombang dan arus perairan pelabuhan yang tenang

4. Kriteria tingkat 1 : Pemeriksaan kedalaman alur

V

Sub kriteria : - Memiliki prosedur pemeriksaan kedalaman alur

- Mempunyai peralatan untuk mengukur kedalaman yang akurat

- SDM yang terlatih dan memiliki sertifikat

- Memiliki lay out kedalaman eksisting

5. Kriteria tingkat 1 : Pengadaan pengerukan alur

V

Sub kriteria : - Memiliki prosedur pemeriksaan kedalaman alur

- Mempunyai peralatan untuk pengerukan alur

- SDM yang terlatih dan memiliki sertifikat

- Memiliki keandalan peralatan keruk untuk alur

6. Kriteria tingkat 1 : Pemeliharaan rambu rambu navigasi

V

Sub kriteria : - Memiliki lay out dan koordinat peletakan sarana bantu navigasi

- Mempunyai bentuk standar sarana rambu navigasi

- Memiliki jumlah sarana bantu sesuai ketentuan untuk kondisi suatu pelabuhan

- Monitoring sarana bantu navigasi dan perawatannya

- Memiliki bengkel untuk perbaikan sarana bantu navigasi

7. Kriteria tingkat 1 : Pengadaan pembersihan alur laut akibat kapal karam atau bangunan laut lainnya

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Monitoring keadaan alur - Mempunyai perangkat untuk melakukan pembersihan alur

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 77

No. Kriteria Alur Pelayaran Yang Dapat Dikomersilkan Aspek Legal

Aspek Non

Legal - SDM yang mampu mengatasi keadaan alur

- Memiliki prosedur pelaksanaan pembersihan alur

8. Kriteria tingkat 1 : Penyediaan alat monitoring perubahan kedalaman alur dan penyelam

V

Sub kriteria : - Selalu tersedia dan siap digunakan saat operasi

- Perangkat dikategorikan handal dan memiliki keakuratan pengukuran

- SDM yang terlatih dan memiliki sertifikat untuk mengoperasikan perangkat

- SDM penyelam merupakan orang yang terlatih dan bersertifikat menangani segala kondisi didaerah alur

9. Kriteria tingkat 1 : Memiliki koordinat lokasi

V

Sub kriteria : - Memiliki layout alur - Koordinat yang digunakan adalah

koordinat geografis - Memiliki toleransi koordinat yang

tergantung dari jenis GPS yang digunakan

- Data keberadan alur ditampillkan dalam website sebagai legalitas keberadaan lokasi

8. Kriteria badan usaha yang dapat bergerak di bidang pencucian tangki kapal

a. UU No. 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran tidak mengatur secara khusus mengenai badan usaha yang dapat bergerak di bidang pencucian tangki kapal. Namun demikian UU No 17 Tahun 2008 megatur mengenai penyelenggaraan perlindungan maritim. Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 78

Pasal 226 UU 17 Tahun 2008 (1) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim

dilakukan oleh pemerintah (2) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui: a) Pencegahan dan penanggulangan pencemaran

dari pengoperasian kapal; dan b) Pencegahan dan penanggulangan pencemaran

dari kegiatan kepelabuhanan 3) Selain pencegahan dan penanggulangan

sebagaimana pada ayat (2) perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap: a. Pembuangan limbah di perairan; dan b. Penutuhan kapal

b. PP No 21 Tahun 2010 Tentang Perlindungan lingkungan maritim Tangki kapal adalah ruangan terutup yang merupakan bagian darikonstruksi tetap kapal yang dipergunakan untuk menempatkan atau mengangkut cairan dalam bentuk curah termasuk tangki samping (wing tank), tangki bahan bakar (fuel tank), tangki tengah (center tank), tangki air balas (water ballast tank) atau tangki dasar ganda (double bottom tank), tangki endap (slop tank) tangki minyak kotor (sludge tank), dan tangki dalam (deep tank), tangki bilga (bilge tank), dan tanki yang dipergunakan untuk memuat bahan cair beracun secara curah.

Pasal 16 :

1) Pencucian tangki kapal dapat dilakukan oleh: a) Awak kapal b) Badan usaha yang bergerak di bidang

pencucian tangki kapal (3) Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf b wajib memiliki izin usaha dan izin kerja. (4) Izin usaha sebagaimana dimaksud apda ayat (3)

diberikan oleh Menteri setelah memeuhi persyaratan: a) Administrasi

(1) Akte Pendirian perusahaan (2) Nomor pokok wajib pajak (3) Surat keterangan domisili

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 79

b) Teknis (1) Memiliki tenaga pencuci tangki kapal yang

berpengalaman paling sedikit 2 (dua) orang (2) Memiliki atau menguasai peralatan dan

perlengkapan pencucian tangki kapal yang terdiri atas: (a) Pompa cairan (b) Blower (c) Kompresor udara (d) Detektor gas (e) Pakaian tahan api dan

perlengkapannya (f) Masker gas (g) Lampu pengaman (h) Sepatu karet (i) Peralatan pemadam kebakaran

jinjing (j) Alat pelokalisir minyak (k) Bahan penyerap (l) Cairan pengurai minyak (m) Kapal kerja (n) Sarana penampung limbah

c. KM 4 tahun 2005 tentang Pencegahan pencemaran dari kapal

Pasal 22

1) Pembersihan tangki kapal yang tidak dilakukan oleh awak kapal harus dilaksanakan oleh badan usaha yang bergerak di bidang pembersihan tangki kapal yang memenuhi persyaratan

2) Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi: a) Memiliki Surat Ijin Usaha Pendirian

Perusahaan (SIUP) dari instansi terkait b) Rekomendasi peralatan tanki cleaning dari

Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup

c) Memiliki tenaga pembersih tanki yang berpengalaman sebanyak 2 orang

d) Memiliki dan/atau menguasai perlengkapan pembersihan tangki yang terdiri atas: (1) Pompa cairan 2 unit (2) Blower 2 unit (3) Kompresor udara 2 unit

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 80

(4) Detektor gas 2 unit (5) Pakaian tahan api dan

perlengkapannya 2 unit (6) Masker gas 2 unit (7) Lampu pengaman 5 unit (8) Penyemprot air (butterworth) 2 unit (9) Sepatu karet 10 unit (10) Peralatan pemadam kebakaran jinjing

2 unit e) Memiliki dan/atau menguasai peralatan

penanggulangan pencemaran, yakni oil boom, dispersant dan absorbent.

f) Memiliki dan/atau menguasai 1 (satu) unit kapal tunda

g) Memiliki dan/atau menguasai 1 (satu) unit tongkang penampung

d. MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan :

1) International Convention for the Prevention of Pollution from Ships 1973. Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.

2) Protocol of 1978 Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 81

Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.

Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :

a) Protocol I Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.

Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.

Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan : (1) Mengenai identifikasi kapal yang terlibat

melakukan pencemaran. (2) Waktu, tempat dan jenis kejadian (3) Jumlah dan jenis bahan pencemar yang

tumpah (4) Bantuan dan jenis penyelamatan yang

dibutuhkan

Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.

b) Protocol II mengenai Arbitrasi Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 82

mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.

Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :

Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983

Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah ulai berlaku 6 April 1987

Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991

Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) diberlakukan 27 September 2003

Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988

Annex VI Pencemaran udara belum diberlakukan

Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78 (1) Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah

suatu negara (2) Memberlakukan Annexexes I dan II –

Administrasi hukum / maritim (3) Memberlakukan optimal Annexes dan

melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 83

(4) Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim

(5) Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim

(6) Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim

(7) Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.

(8) Memberitahu IMO – Administration maritim

(9) Memeriksa kapal – Administrasi maritim (10) Memonitor pelaksanaan – Administrasi

maritim (11) Menghindari penahanan kapal –

Administrasi kapal (12) Laporan kecelakaan – Administrasi maritim

/ hukum (13) Menyediakan laporan dokumen ke IMO

(Article 11) – Administrasi maritim (14) Memeriksa kerusakan kapal yang

menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.

(15) Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.

e. Peraturan Menteri No. 13 tentang ganti kerugian akibat pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 4

Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman bagi para pihak

yang terlibat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan penghitungan dan pembayaran ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan tertentu akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 3

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan

melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 84

lain atau masyarakat dan/atau lingkungan hidup atau negara wajib: 1) melakukan tindakan tertentu; dan/atau 2) membayar ganti kerugian.

Pasal 4

Kewajiban melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: 1) pencegahan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup; 2) penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup;dan/atau 3) pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Pasal 5

1) Kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b meliputi: a) kerugian karena tidak dilaksanakannya

kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;

b) kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;

c) kerugian untuk pengganti biaya verifikasi pengaduan, inventarisasi sengketa lingkungan, dan biaya pengawasan pembayaran ganti kerugian dan pelaksanaan tindakan tertentu;

d) kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi lingkungan hidup; dan/atau

e) kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

2) Kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menjadi kerugian yang: a) bersifat tetap; dan b) bersifat tidak tetap.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 85

(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai denganhuruf d merupakan kerugian yang bersifat tetap.

(4) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakan kerugian yang bersifat tidak tetap.

Tabel 2.13. Kriteria badan usaha yang dapat bergerak di bidang pencucian tangki kapal

No. Kriteria Badan Usaha Yang Dapat

Bergerak Di Bidang Pencucian Tangki Kapal

Aspek Legal

Aspek Non legal

1. Kriteria tingkat 1 : Memiliki Surat Ijin Usaha Pendirian Perusahaan (SIUP) dari instansi terkait

V

Sub kriteria : - Memenuhi persyaratan tenaga kerja yang

bersertifikat dan terlatih - Perusahaan nasional, NPWP dan

mempunyai kantor - Memenuhi persyaratan peralatan

pencucian tank - Memenuhi persyaratan memiliki

penyimpanan sementara - Memenuhi persyaratan memiliki SOP

pencucian tangki - Memenuhi persyaratan memiliki SOP

dan peralatan penanggulangan bencana

2. Kriteria tingkat 1 : Mendapat Rekomendasi peralatan tanki cleaning dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup

V

Sub kriteria : - Memenuhi persyaratan memiliki amdal - Memenuhi persyaratan pengolahan

limbah - Memenuhi persyaratan kompetensi

tenaga kerja - Memenuhi persyaratan peralatan

pencucian tangki - Memenuhi persyaratan memiliki SOP

pencucian tangki

3. Kriteria tingkat 1 : Memiliki tenaga pembersih tanki yang berpengalaman sebanyak 2 orang

V

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 86

No. Kriteria Badan Usaha Yang Dapat

Bergerak Di Bidang Pencucian Tangki Kapal

Aspek Legal

Aspek Non legal

Sub kriteria : - Tenaga pembersih tangki memiliki

sertifikasi kompetensi dari lembaga berwenang

- Jumlah tenaga kerja harus sesuai dengan volume pekerjaan yang dilakukan

- Tenaga pembersih dilengkapi dengan peralatan keselamatan yang memadai dalam proses pencucian tangki

- Secara periodik pekerja melakukan drilling terhadap kecelakaan pekerjaan

- Seluruh pekerja memahami resiko pekerjaan yang terjadi

- Dilakukan pemeriksaan kesehatan terhadap pekerja

- Tatacara pekerjaan diatur dalam SOP

4. Kriteria tingkat 1 : Memiliki dan/atau menguasai perlengkapan pembersihan tangki minimal:

V

Sub kriteria : - Perlengkapan keselamatan pekerja

tersedia dalam jumlah cukup dan tersedia dengan kondisi baik

- Perlengkapan pembersihan tangki tersedia dalam jumlah cukup dan tersedia dengan baik

- Perlengkapan pembersihan tangki harus sesuai dengan jenis limbah yang terdapat pada tangki

- Limbah harus dilakukan pengolahan sebelum dibuang kelaut

- Lokasi pembuangan limbah mengikuti aturan yang telah ditetapkan instansi berwenang

- Penggunaan peralatan mengikuti SOP yang dibuat

- Perlengkapan ukur limbah mempunyai sertifikasi kelaikan dan keakuratan dalam pengukuran

5. Kriteria tingkat 1 : Memiliki dan/atau menguasai peralatan penanggulangan pencemaran, yakni oil boom, dispersant dan absorbent.

V

Sub kriteria : - Perusahaan pencucian tangki kapal

memiliki atau sewa peralatan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 87

No. Kriteria Badan Usaha Yang Dapat

Bergerak Di Bidang Pencucian Tangki Kapal

Aspek Legal

Aspek Non legal

penanggulangan bencana dibuktikan dengan dokumen resmi

- Memiliki tempat penampungan limbah, baik milik sendiri maupun sewa dibuktikan dengan dokumen resmi

- Memiliki peralatan pendukung untuk penanggulangan bencana

- Peralatan dilengkapi dengan manual SOP dan manual

- Memiliki SDM yang mempunyai kwalifikasi dalam penanganan penanggulangan bencana

- Memiliki SDM yang mempunyai kwalifikasi penggunaan peralatan dan bahan untuk penanggulangan bencana

6. Kriteria tingkat 1 : Memiliki dan/atau menguasai 1 (satu) unit kapal tunda

V

- Sub kriteria : - Perusahaan pencucian tangki kapal

memiliki atau sewa berupa kapal tunda untuk penanggulangan bencana dibuktikan dengan dokumen resmi

- Memiliki kapal tunda dengan daya mesin yang sesuai dengan kebutuhan

- Kapal tunda harus dalam keadaan laik laut

- Memiliki SDM yang mempunyai kwalifikasi dalam penanganan kapal tunda

- Penggunaan kapal tunda dilengkapi dengan SOP dan manual book

- Kapal tunda dilengkapi dengan peralatan keselamatan dan keamanan untuk penanggulangan bencana

- Memiliki SDM untuk menangani/ operator kapal tunda

7. - Kriteria tingkat 1 : - Memiliki dan/atau menguasai 1 (satu)

unit tongkang penampung (sarana penampung limbah)

V

Sub kriteria : - Penguasaan tongkang dibuktikan dengan

surat kepemilikan atau penyewaan - Kapasitas tongkang harus dapat

menampung limbah yang dihasilkan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 88

No. Kriteria Badan Usaha Yang Dapat

Bergerak Di Bidang Pencucian Tangki Kapal

Aspek Legal

Aspek Non legal

- Tongkang yang digunakan harus dalam keadaan laik laut

- Tongkang yang digunakan dilengkapi dengan peralatan pengolah limbah

- Tongkang dilengkapi dengan SOP untuk tatacara pekerjaan

- Tongkang diawaki oleh awak yang mempunyai kompetensi dan bersertifikasi

8. Kriteria tingkat 1 : Memahami AMDAL dan pencegahan penggunaan bahan pencucian yang berbahaya

V

Sub kriteria : - Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi

amdal/ penanganan limbah dari instansi berwenang

- Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi menguasai peralatan dan bahan untuk pencucian tangki

- Dilakukan safety induction dan drilling secara periodik terhadap karyawan perusahaan pencuci tangki kapal

- Memiliki SOP dalam melakukan pekerjaan pencucian tangki kapal

- Karyawan memiliki pengetahuan mengenai pekerjaan, bahaya yang terjadi dan penggunaan peralatan & bahan pencucian tangki kapal

9, Kriteria tingkat 1 : Memiliki Sertifikasi ahli pencucian tangki kapal dan K3

V

Sub kriteria : - Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi

K3 dari instansi berwenang - Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi

pencucian tangki kapal dari instansi berwenang

- Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi amdal/ penanganan limbah dari nstansi berwenang

- Memiliki tenaga ahli dengan sertifikasi menguasai peralatan dan bahan untuk pencucian tangki

- Perusahaan jasa pencucian tangki kapal harus dilengkapi dengan tenaga ahli yang mempunyai sertifikasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 89

No. Kriteria Badan Usaha Yang Dapat

Bergerak Di Bidang Pencucian Tangki Kapal

Aspek Legal

Aspek Non legal

10. Kriteria tingkat 1 : Memahami lokasi pencucian tangki kapal yang direkomendasikan

V

Sub kriteria : - Lokasi pencucian tangki kapal ditentukan

dengan izin dari instansi berwenang - Lokasi pencucian tangki kapal tidak

mengganggu alur pelayaran - Lokasi pencucian tangki kapal tidak

boleh mengganggu lingkungan alam sekitarnya

- Lokasi pencucian tangki kapal mempunyai tinggi gelombang dan kekuatan angin yang kecil

- Lokasi pencucian tangki kapal dilengkapi dengan fasilitas penyimpan limbah

- Lokasi pencucian tangki kapal dilengkapi peralatan pengolah limbah

- Lokasi pencucian dilengkapi tanda-tanda khusus

- Lokasi pencucian dilengkapi dengan SOP

11. Kriteria tingkat 1 : Memahami dan mengetahui cara pembuangan kerak atau lumpur

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan kerak atau lumpur

sesuai dengan lokasi yang ditentukan instansi berwenang

- Memiliki amdal untuk pembuangan kerak atau lumpur untuk volume tertentu

- Mendapat izin dari instansi berwenang untuk pembuangan kerak atau lumpur

- Mempunyai SOP untuk tatacara pembuangan kerak atau lumpur

- Membuat laporan untuk pembuangan kerak atau lumpur

- Memiliki tenaga kerja yang cukup dan mempunyai keahlian yang bersertifikasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 90

9. Kriteria lokasi perairan yang dapat ditetapkan sebagai pembuangan limbah dari kapal di laut a. UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan melalui pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; serta pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan. Dalam ayat 3 pasal 226 dijelaskan bahwa perlindungan lingkungan maritime juga dilakukan terhadap pembuangan limbah di perairan dan penutuhan kapal.

Dalam pasal 235 ayat 1 dijelaskan bawah setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan peralatan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan. Dalam ayat 2 disebutkan bahwa setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan bahan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan. Untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran, maka diperlukan reception facilities di beberapa pelabuhan.

Pasal 236 menjelaskan bahwa Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan,dan pengelola terminal khusus wajib menanggulangi pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian pelabuhan.

Pasal 237 ayat 1 menyebutkan bahwa untuk menampung limbah yang berasal dari kapal di pelabuhan, Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan Pengelola Terminal Khusus wajib dan bertanggung jawab menyediakan fasilitas penampungan limbah.

Pasal 239 ayat 1 disebutkan bahwa pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada loksi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan memenuhi persyaratan tertentu.

b. PP No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 59, bahwa untuk menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan (menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di Pelabuhan) dan menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di Pelabuhan, Otoritas Pelabuhan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 91

dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dalam setiap penyelenggaraan kegiatan di pelabuhan harus melakukan pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan.

c. PP No. 21 Tahun 2010 tentang Perlindungan Lingkungan Maritim. Dalam pasal 1 dijelaskan bahwa penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan adalah segala tindakan yang dilakukan secara cepat, tepat dan terpadu serta terkoordinasi untuk mengendalikan, mengurangi, dan membersihkan tumpahan minyak atau bahan cair beracun dari pelabuhan ke periaran untuk meminimalisasi kerugian masyarakat dan kerusakan lingkungan laut.

Pasal 33:

1) Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan.

2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diperbolehkan di alur pelayarn, kawasan lindung, kawasan suaka alam, taman nasional, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, sempadan pantai, kawasan terumbu karang, kawasan mangrove, kawasan perikanan dan budidaya, kawasan pemukiman dan daerah lain yang sensitif terhadap pencemaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

d. Peraturan Menteri Perhubungan No. 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi Pasal 1 dijelaskan mengenai definisi pengerukan dan reklamasi. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan. Daerah buang adalah lokasi yang digunakan untuk tempat penimbunan hasil kerja keruk.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 92

Dalam pasal 5 ayat 5 Permenhub No. 52 Tahun 2011:

Lokasi pembuangan hasil keruk (dumping area) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dengan persyaratan tidak diperbolehkan di: 1) alur-pelayaran; 2) kawasan lindung; 3) kawasan suaka alam; 4) taman nasional; 5) taman wisata alam; 6) kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan; 7) sempadan pantai; 8) kawasan terumbu karang; 9) kawasan mangrove; 10) kawasan perikanan dan budidaya; 11) kawasan pemukiman; dan 12) daerah lain yang sensitif terhadap pencemaran

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 6:

1) Lokasi pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dilakukan melalui kajian yang paling sedikit memuat penjelasan: a) lokasi pembuangan telah memenuhi

ketentuan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (5);

b) kedalaman lebih dari 20 (dua puluh) meter Lws;

c) jarak dari garis pantai lebih dari 12 (dua belas) Mil.

2) Lokasi pembuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf d dilakukan studi lingkungan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup.

e. MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan : 1) International Convention for the Prevention of

Pollution from Ships 1973. Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 93

berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.

2) Protocol of 1978 Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and PollutionPrevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.

Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.

Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai :

a) Protocol I Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.

Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.

Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan : (1) Mengenai identifikasi kapal yang terlibat

melakukan pencemaran. (2) Waktu, tempat dan jenis kejadian (3) Jumlah dan jenis bahan pencemar yang

tumpah

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 94

(4) Bantuan dan jenis penyelamatan yang dibutuhkan

Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.

b) Protocol II mengenai Arbitrasi Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.

Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :

Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983

Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah.Mulai berlaku 6 April 1987

Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991

Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) diberlakukan 27 September 2003

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 95

Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988

Annex VI Pencemaran udara belum diberlakukan

Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78 (1) Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah

suatu negara (2) Memberlakukan Annexexes I dan II –

Administrasi hukum / maritim (3) Memberlakukan optimal Annexes dan

melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.

(4) Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim

(5) Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim

(6) Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim

(7) Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.

(8) Memberitahu IMO – Administration maritim (9) Memeriksa kapal – Administrasi maritim (10) Memonitor pelaksanaan – Administrasi

maritim (11) Menghindari penahanan kapal –

Administrasi kapal (12) Laporan kecelakaan – Administrasi maritim

/ hukum (13) Menyediakan laporan dokumen ke IMO

(Article 11) – Administrasi maritim (14) Memeriksa kerusakan kapal yang

menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.

(15) Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 96

f. Peraturan Menteri No. 13 tentang ganti kerugian akibat pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 4 Peraturan Menteri ini bertujuan memberikan pedoman bagi para pihak yang terlibat dalam penyelesaian sengketa lingkungan hidup untuk mencapai kesepakatan dalam melakukan penghitungan dan pembayaran ganti kerugian serta untuk melaksanakan tindakan tertentu akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Pasal 3

Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau masyarakat dan/atau lingkungan hidup atau negara wajib: 1) melakukan tindakan tertentu; dan/atau 2) membayar ganti kerugian.

Pasal 4

Kewajiban melakukan tindakan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a meliputi: 1) pencegahan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup; 2) penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan

lingkungan hidup;dan/atau 3) pemulihan fungsi lingkungan hidup.

Pasal 5

1) Kerugian lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3huruf b meliputi: a) kerugian karena tidak dilaksanakannya

kewajiban pengolahan air limbah, emisi, dan/atau pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun;

b) kerugian untuk pengganti biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta pemulihan lingkungan hidup;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 97

c) kerugian untuk pengganti biaya verifikasi pengaduan, inventarisasi sengketa lingkungan, dan biaya pengawasan pembayaran ganti kerugian dan pelaksanaan tindakan tertentu;

d) kerugian akibat hilangnya keanekaragaman hayati dan menurunnya fungsi lingkungan hidup; dan/atau

e) kerugian masyarakat akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

2) Kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikelompokkan menjadi kerugianyang: a) bersifat tetap; dan b) bersifat tidak tetap.

3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf

a sampai dengan huruf d merupakan kerugian yang bersifat tetap.

4) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e merupakankerugian yang bersifat tidak tetap.

Tabel 2.14. Kriteria lokasi perairan yang dapat ditetapkan sebagai pembuangan limbah dari kapal di laut

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

1. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di alur pelayaran

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 98

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

2. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan lindung

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

3. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan suaka alam atau taman nasional

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 99

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

4. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di taman wisata alam

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

5. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 100

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

6. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di sempadan pantai

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

7. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan terumbu karang

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 101

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

8. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan mangrove

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

9. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada di kawasan perikanan dan budidaya

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 102

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

10. Kriteria tingkat 1 : Kedalaman lebih dari 20 mLWS

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

11. Kriteria tingkat 1 : Jarak dari garis pantai lebih dari 12 mil

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 103

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

12. Kriteria tingkat 1 : Memiliki koordinat lokasi area pembuangan limbah

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

13. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada pada gelombang dan arus laut yang ekstrim

V

- Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 104

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat

Ditetapkan Sebagai Pembuangan Limbah Dari Kapal Di Laut

Aspek Legal Detail

14. - Kriteria tingkat 1 : - Memiliki area lego jangkar kapal saat

membuang limbah

V

- Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

15. Kriteria tingkat 1 : Memiliki tanda lokasi pembuangan limbah

V

Sub kriteria : - Lokasi pembuangan diatur dalam lokasi

yang telah ditentukan - Lokasi pembuangan aman bagi

keselamatan pelayaran, manusia dan kerusakan alam

- Jenis limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Banyaknya limbah yang dapat dibuang diatur dengan peraturan

- Perijinan dan pelaporan diperlukan untuk pembuangan limbah

- Pengawasan lokasi pembuangan limbah diatur dengan SOP

- Penetapan instansi pengawas dan wewenangnya

- Penetapan ambang mutu lingkungan dilokasi pembuangan

- Penyediaan fasilitas dan SDM dalam penganggulangan kerusakan lingkungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 105

10. Kriteria lokasi perairan yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan atau instalasi di laut.

Kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air termasuk ke dalam aspek kenavigasian untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran. Dasar hukum penyusunan kriteria badan usaha yang dapat melakukan kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air dapat diuraikan sebagai berikut.

a. UU No. 17 Tahun 2008 Pada pasal 1 butir 55 UU No. 17 tahun 2008 disebutkan bahwa salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya. Sedangkan pasal 1 butir 51 menyebutkan bahwa pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air. Sesuai dengan UU No. 17 tahun 2008 tentang pelayaran pasal 204 ayat 1 bahwa kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri. Oleh sebab itu diperlukan kriteria badan usaha yang dapat melakukan kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air, karena menyangkut masalah perlindungan lingkungan maritim.

b. PP No. 5 Tahun 2010 tentang Kenavigasian Pasal 1 butir 25 Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka atau rintangan bawah air atau benda lainnya. Sedangkan butir 26: Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air. Pasal 1 butir 27 :Badan Usaha adalah

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 106

badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.

Pasal 126 ayat 1 : Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.

Pasal 126 ayat 2 Pelaksanaan kegiatan salvage harus memenuhi persyaratan teknis yang meliputi metode kerja,. kelengkapan peralatan dan tenaga kerja.

Pasal 128 ayat 1 : Kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air hanya dapat dilakukan oleh badan usaha yang khusus didirikan untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air.

Pasal 128 ayat 2 dan 3 : Badan usaha untuk kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air wajib memiliki izin usaha dan izin usaha diberikan oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan administrasi dan teknis.

Persyaratan administrasi: 1) akte pendirian perusahaan; 2) Nomor Pokok Wajib Pajak; dan 3) surat keterangan domisili.

Persyaratan teknis: 1) memiliki tenaga penyelam yang bersertifikat; 2) memiliki paling sedikit 1 (satu) unit kapal kerja; 3) memiliki peralatan kerja, paling sedikit berupa

peralatan scuba, peralatan potong, dan peralatan penyelaman.

Pasal 92

1) Dalam perairan dapat dibangun bangunan atau instalasi selain untuk keperluan alur-pelayaran.

2) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit harus memenuhi persyaratan: a) penempatan, pemendaman, dan penandaan; b) tidak menimbulkan kerusakan terhadap

bangunan atau instalasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-Pelayaran;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 107

c) memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan;

d) memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut; dan

e) berada di luar perairan wajib pandu. 3) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat (2) pemilik bangunan atau instalasi wajib menempatkan sejumlah uang di bank Pemerintah sebagai jaminan untuk menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang tidak digunakan lagi oleh pemilik yang besarannya ditetapkan oleh Menteri.

4) Membangun, memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau instalasi yang berada di perairan harus mendapat izin dari Menteri.

Pasal 94 1) Pada setiap bangunan atau instalasi di laut wajib

dipasang Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran. 2) Pemasangan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemilik bangunan setelah mendapat persetujuan dari Menteri.

3) Menteri menetapkan zona keamanan dan keselamatan berlayar pada setiap bangunan atau instalasi.

4) Lokasi bangunan atau instalasi, spesifikasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, dan zona keamanan dan keselamatan berlayar diumumkan dengan mencantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk pelayaran serta disiarkan melalui stasiun radio pantai.

Pasal 96

1) Bangunan atau instalasi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2) atau yang tidak digunakan wajib dibongkar.

2) Pembongkaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh pemilik bangunan atau instalasi paling lama 14 (empat belas) hari kerja sejak dinyatakan tidak memenuhi syarat atau tidak digunakan lagi.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 108

c. Permenhub No. 52 Tahun 2011 tentang Pengerukan dan Reklamasi Pasal 1 butir 7 didefinsikan bangunan atau isntalasi adalah setiap konstruksi baik berada di atas dan/atau di bawah permukaan perairan.

d. Permenhub No. PM 68 Tahun 2011 tentang Alur Pelayarn di Laut Dalam Bab VII dijelaskan mengenai bangunan atau instalasi di perairan. Pasal 39: 1) Dalam perairan dapat dibangun bangunan atau

instalasi selain untuk keperluan alur-pelayaran. 2) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) meliputi: a) jembatan; b) pipa; c) kabel.

3) Bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit wajib memenuhi persyaratan: a) penempatan, pemendaman, dan penandaan; b) tidak menimbulkan kerusakan terhadap

bangunan atau instalasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas Telekomunikasi-Pelayaran;

c) memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan;

d) memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut; dan

e) berada di luar perairan wajib pandu. 4) Selain persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat (3) pemilik bangunan atau instalasi wajib menempatkan sejumlah uang di bank Pemerintah sebagai jaminan untuk menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang tidak digunakan lagi oleh pemilik yang besarannya ditetapkan oleh Direktur Jenderal.

5) Membangun, memindahkan, dan/ atau membongkar bangunan atau instalasi yang berada di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat izin dari Direktur Jenderal.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 109

e. MARPOL Convention 73/78 Consolidated Edition 1997 yang memuat peraturan : 1) International Convention for the Prevention of

Pollution from Ships 1973. Mengatur kewajiban dan tanggung jawab Negara-negara anggota yang sudah meratifikasi konvensi tersebut guna mencegah pencemaran dan buangan barang-barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal. Konvensi-konvensi IMO yang sudah diratifikasi oleh Negara anggotanya seperti Indonesia, memasukkan isi konvensi-konvensi tersebut menjadi bagian dari peraturan dan perundang-undangan Nasional.

2) Protocol of 1978 Merupakan peraturan tambahan “Tanker Safety and Pollution Prevention (TSPP)” bertujuan untuk meningkatkan keselamatan kapal tanker dan melaksanakan peraturan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut yang berasal dari kapal terutama kapal tanker dengan melakukan modifikasi dan petunjuk tambahan untuk melaksanakan secepat mungkin peraturan pencegahan pencemaran yang dimuat di dalam Annex konvensi.

Karena itu peraturan dalam MARPOL Convention 1973 dan Protocol 1978 harus dibaca dan diinterprestasikan sebagai satu kesatuan peraturan.

Protocol of 1978, juga memuat peraturan mengenai : a) Protocol I

Kewajiban untuk melaporkan kecelakaan yang melibatkan barang beracun dan berbahaya.

Peraturan mengenai kewajiban semua pihak untuk melaporkan kecelakaan kapal yang melibatkan barang-barang beracun dan berbahaya. Pemerintah Negara anggota diminta untuk membuat petunjuk untuk membuat laporan, yang diperlukan sedapat mungkin sesuai dengan petunjuk yang dimuat dalam Annex Protocol I.

Sesuai Article II MARPOL 73/78 Article III “Contents of report” laporan tersebut harus memuat keterangan :

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 110

(1) Mengenai identifikasi kapal yang terlibat melakukan pencemaran.

(2) Waktu, tempat dan jenis kejadian (3) Jumlah dan jenis bahan pencemar yang

tumpah (4) Bantuan dan jenis penyelamatan yang

dibutuhkan

Nahkoda atau perorangan yang bertanggung jawab terhadap insiden yang terjadi pada kapal wajib untuk segera melaporkan tumpahan atau buangan barang atau campuran cairan beracun dan berbahaya dari kapal karena kecelakaan atau untuk kepentingan menyelamatkan jiwa manusia sesuai petunjuk dalam Protocol dimaksud.

b) Protocol II mengenai Arbitrasi Berdasarkan Article 10”setlement of dispute”. Dalam Protocol II diberikan petunjuk menyelesaikan perselisihan antara dua atau lebih Negara anggota mengenai interprestasi atau pelaksanaan isi konvensi. Apabila perundingan antara pihak-pihak yang berselisih tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut, salah satu dari mereka dapat mengajukan masalah tersebut ke Arbitrasi dan diselesaikan berdasarkan petunjuk dalam Protocol II konvensi.

Selanjutnya peraturan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut oleh berbagai jenis bahan pencemar dari kapal dibahas daam Annex I s/d V MARPOL 73/78, berdasarkan jenis masing-masing bahan pencemar sebagai berikut :

Annex I Pencemaran oleh minyak Mulai berlaku 2 Oktober 1983

Annex II Pencemaran oleh Cairan Beracun (Nuxious Substances) dalam bentuk Curah .Mulai berlaku 6 April 1987

Annex III Pencemaran oleh barang Berbahaya (Hamful Sub-Stances) dalam bentuk Terbungkus Mulai berlaku 1 Juli 1991

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 111

Annex IV Pencemaran dari kotor Manusia /hewan (Sewage) diberlakukan 27 September 2003

Annex V Pencemaran Sampah Mulai berlaku 31 Desember 1988

Annex VI Pencemaran udara belum diberlakukan

Peraturan MARPOL Convention 73/78 yang sudah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia, baru Annex I dan Annex II, dengan Keppres No. 46 tahun 1986.

TUGAS DAN TANGGUNG JAWAB NEGARA ANGGOTA MARPOL 73/78 (1) Menyetujui MARPOL 73/78 – Pemerintah

suatu negara Memberlakukan Annexexes I dan II – Administrasi hukum / maritim

(2) Memberlakukan optimal Annexes dan melaksanakan – Administrasi hukum / maritim.

(3) Melarang pelanggaran – Administrasi hukum / maritim

(4) Membuat sanksi – Administrasi hukum / maritim

(5) Membuat petunjuk untuk bekerja – administrasi maritim

(6) Memberitahu Negara-negara yang bersangkutan – administrasi maritim.

(7) Memberitahu IMO – Administration maritim

(8) Memeriksa kapal – Administrasi maritim (9) Memonitor pelaksanaan – Administrasi

maritim (10) Menghindari penahanan kapal –

Administrasi kapal (11) Laporan kecelakaan – Administrasi maritim

/ hukum (12) Menyediakan laporan dokumen ke IMO

(Article 11) – Administrasi maritim (13) Memeriksa kerusakan kapal yang

menyebabkan pencemaran dan melaporkannya – Administrasi maritim.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 112

(14) Menyediakan fasilitas penampungan yang sesuai peraturan – Administrasi maritim.

Tabel 2.15. Kriteria lokasi perairan yang dapat dimanfaatkan untuk bangunan atau instalasi di laut.

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Bangunan Atau

instalasi Di Laut

Aspek Legal

Aspek Non legal

1. Kriteria tingkat 1 : Memenuhi persyaratan penempatan, pemendaman dan penandaan

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Memiliki koordinat lokasi yang telah

ditetapkan - Memiliki bentuk peta kontur dasar laut - Mempunyai struktur lapisan tanah dasar

laut yang sesuai dengan standar konstruksi yang diijinkan

- Mempunyai gelombang dan arus yang memenuhi syarat untuk bangunan atau instalasi di laut

2. Kriteria tingkat 1 : Tidak menimbulkan kerusakan terhadap bangunan atau instalasi SBNP dan fasilitas telekomunikasi pelayaran.

V

Sub kriteria : - Bangunan dan instalasi di laut pada saat peletakannya harus dilakukan survey dan kajian

- Memperhatikan kondisi perairan baik gelombang dan arus laut yang terjadi.

- Bentuk konstruksi yang kuat dan tidak mengganggu bangunan, instalasi SBNP dan fasilitas telekomunikasi pelayaran

- Memiliki pengaman apabila terjadi pergeseran karena gelombang atau arus

- Memiliki jadwal dan pelaksanaan perawatan

- Mempunyai tanda sinyal pada bangunan atau instlasi bawah air

3. Kriteria tingkat 1 : Memperhatikan ruang bebas dalam pembangunan jembatan

V

Sub kriteria : - Memiliki Studi kelayakan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 113

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Bangunan Atau

instalasi Di Laut

Aspek Legal

Aspek Non legal

- Mempunyai layout daerah yang akan dibangun jembatan

- Mempunyai alternative peletakan jembatan

- Memilki gambar konstruksi 4. Kriteria tingkat 1 :

Memperhatikan koridor pemasangan kabel laut dan pipa bawah laut

V

Sub kriteria : - Mempunyai layout pemasangan kabel laut

dan pipa bawah laut - Mempunyai gambar konstruksi - Spesifikasi material dan prilaku material - Penahan pergerakan kabel dan pipa

bawah laut - Penandaan letak koridor maupun kabel

laut dan pipa bawah laut

5. Kriteria tingkat 1 : Berada di luar perairan wajib pandu

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi - Secara visual dapat terlihat posisi kabel

dan pipa lewat tanda peletakan

6. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada dalam alur pelayaran

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi - Secara visual dapat terlihat posisi kabel

dan pipa lewat tanda peletakan

7. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada dalam lingkungan perairan pelabuhan

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi - Secara visual dapat terlihat posisi kabel

dan pipa lewat tanda peletakan

8. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada pada daerah rawan gelombang dan arus laut yang ekstrim.

V

` Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 114

No. Kriteria Lokasi Perairan Yang Dapat Dimanfaatkan Untuk Bangunan Atau

instalasi Di Laut

Aspek Legal

Aspek Non legal

- Secara visual dapat terlihat posisi kabel dan pipa lewat tanda peletakan

9. Kriteria tingkat 1 : Tidak berada pada daerah terumbu karang yang dilestarikan

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi - Secara visual dapat terlihat posisi kabel

dan pipa lewat --tanda peletakan

10. Kriteria tingkat 1 : Memiliki koordinat lokasi pembangunan

V

Sub kriteria : - Memiliki layout pelabuhan - Mempunyai koordinat lokasi - Secara visual dapat terlihat posisi kabel

dan pipa lewat tanda peletakan

E. HASIL STUDI TERDAHULU

1. Studi Kriteria di Bidang Transportasi Laut, tahun 2009 Studi ini menghasilkan 5 (lima) rancangan kriteria sebagai berikut: a. Rancangan Kriteria Daerah Yang Layak Dilayani Oleh

Pelayaran Perintis dan Penempatan Kapal Yang Sesuai; b. Rancangan Kriteria Hirarkhi Pelabuhan Laut (Utama,

Pengumpul dan Pengumpan); c. Rancangan Kriteria Pembentukan Pangkalan dan Kelas

Penjaga Laut dan Pantai (Sea And Coast Guard) serta kompetensi Sumber daya Manusianya (Human Resources);

d. Rancangan Kriteria Pembentukan dan Kelas Distrik Navigasi dan kompetensi Sumberdaya manusianya (Human Resources);

e. Rancangan Kriteria kelas Syahbandar dan Standar Kompetensi Sumber daya manusianya (Human Resources); Hasil studi adalah rancangan standar tersebut dapat disusun menjadi 7 rancangan standar yang diajukan kepada Badan Standardisasi Nasional untuk disyahkan sebagai Standar Nasional Indonesia di Bidang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 115

Transportasi Laut. Tujuh (7) rancangan standar yang dapat disusun tersebut, antara lain sebagai berikut. 1) Sistem dan Prosedur Kedatangan dan Keberangkatan

Kapal; 2) Sistem dan Prosedur Pengawasan Perijinan

Memuat Barang Di Atas Deck; 3) Sistem dan Prosedur Pendaftaran Kapal; 4) Sistem dan Prosedur Kepelautan/Penyijilan; 5) Sistem dan Prosedur Sertifikasi Keselamatan

Kapal; 6) Sistem dan Prosedur Sertifikasi Pembangunan dan

Pengoperasian Pelabuhan; 7) Sistem dan Prosedur Penanganan Kecelakaan

Kapal.

Pelaksanaan beberapa sistem dan prosedur di bidang transportasi laut memerlukan adanya koordinasi dan harmonisasi antar unit kerja di lingkungan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut.

2. Studi Penetapan Kriteria di Bidang Transportasi Laut, Tahun 2010 Hasil yang diharapkan dari studi ini adalah tersusunnya 10 (sepuluh) rancangan penetapan kriteria di bidang transportasi laut. Hasil studi adalah 10 (sepuluh) rancangan kriteria di bidang transportasi laut, yaitu : a. Kriteria klasifikasi pelayanan pelabuhan; b. Kriteria trayek tetap dan teratur dan tidak tetap dan tidak

teratur; c. Kriteria lokasi pelabuhan utama hub internasional; d. Kriteria lokasi pelabuhan utama internasional; e. Kriteria lokasi pelabuhan pengumpul; f. Kriteria lokasi pelabuhan pengumpan regional; g. Kriteria lokasi pelabuhan pengumpan lokal; h. Kriteria pemeriksa dan penguji keselamatan dan

keamanan kapal; i. Kriteria daerah pelayaran kapal pelayaran rakyat; j. Kriteria SDM kepala/pimpinan otoritas pelabuhan.

3. Studi penyusunan kriteria di bidang pelayaran, 2012

Pada tahun 2012, Puslitbang Perhubungan Laut bekerja sama dengan PT. Arenco Centra juga melakukan yang menghasilkan 10 konsep kriteria sebagai berikut:

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 116

a. Kriteria pelabuhan utama yang berfungsi sebagai pelabuhan hub internasional adalah sebagai berikut: 1) Kedekatan dengan jalur pelayaran internasional

dan nasional, karena setiap pelabuhan akan berkembang berdasarkan faktor kedekatan terhadap jalur pelayaran baik nasional (ALKI) dan jalur pelayaran Internasional;

2) Ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai, dengan panjang dermaga minimal 350 meter atau yang dapat melayani kapal dengan panjang diatas 200 meter, kedalaman minimal 14 MLWS, luas penumpukan minimal 15 hektar dan alat bongkar muat yang memadai;

3) Kegiatan utama pelabuhan, yakni melayani angkutan peti kemas nasional dan internasional serta volume bongkar muat yang ditangani diatas 34 juta ton;

4) Pelabuhan harus comply terhadap ISPS Code; 5) Mempertimbangkan MP3EI; 6) Mempertimbangan Rencana Induk kepelabuhanan

nasional, dan aspirasi daerah; 7) Memiliki akses ke sistem jaringan transportasi

primer.

b. Kriteria pelabuhan utama yang berfungsi sebagai pelabuhan internasional adalah sebagai berikut: 1) Kedekatan dengan jalur pelayaran internasional

dan nasional, karena setiap pelabuhan akan berkembang berdasarkan faktor kedekatan terhadap jalur pelayaran baik nasional (ALKI) dan jalur pelayaran Internasional;

2) Ketersediaan fasilitas pendukung yang memadai, dengan panjang dermaga minimal 250 meter atau yang dapat melayani kapal dengan panjang diatas 200 meter, kedalaman minimal 11 s/d 14 MLWS, luas penumpukan minimal 10 hektar dan alat bongkar muat yang memadai;

3) Kegiatan utama pelabuhan, yakni melayani angkutan peti kemas nasional dan internasional serta volume kegiatan bongkar muat yang dilayani antara 25 juta ton s/d 34 juta ton;

4) Pelabuhan harus comply terhadap ISPS Code; 5) Mempertimbangkan MP3EI; 6) Mempertimbangan Rencana Induk kepelabuhanan

nasional, dan aspirasi daerah;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 117

7) Memiliki akses ke sistem jaringan transportasi primer.

c. Kriteria pelabuhan yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpul adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan utama pelabuhan adalah sebagai

pengumpan agkutan peti kemas nasional dan volume bongkar muat yang ditanganinya berkisar antara 17 juta ton hingga 25 juta ton;

2) Memiliki fasilitas pendukung, yakni memiliki dermaga dengan panjang minimal 150 meter dan dapat melayani kapal dengan panjang antara 156 s/d 209 meter serta draft kolam pelabuhan antara 5 MLWS s/d 8 MLWS;

3) Lokasi pelabuhan dekat dengan jalur pelayaran nasional;

4) Memiliki akses ke sistem jaringan jalan kolektor; 5) Pengembangan pelabuhan mempertimbangkan

aspirasi Pemerintah Daerah.

d. Kriteria pelabuhan yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan regional sama halnya dengan pelabuhan pengumpul, tetapi dibedakan oleh ukuran parameternya, sebagai berikut: 1) Kegiatan utama pelabuhan adalah sebagai

pengumpan pelabuhan utama dan pengumpul serta volume bongkar muat yang ditangani antara 8 juta hingga 17 juta ton;

2) Pelabuhan tersebut harus didukung oleh fasilitas yang memadai yang dapat melayani kapal dengan ukuran panjang antara 103 hingga 156 meter serta draft kolam pelabuhan antara 5 MLWS s/d 8 MLWS;

3) Lokasi pelabuhan dekat dengan jalur pelayaran antara pulau;

4) Memiliki akses ke jaringan transportasi yang bersifat kolektor;

5) Mempertimbangkan aspirasi daerah.

e. Kriteria pelabuhan yang berfungsi sebagai pelabuhan pengumpan lokal adalah sebagai berikut: 1) Kegiatan utama pelabuhan pengumpan lokal adalah

melayani kebutuhan masyarakat disekitarnya dengan volume bongkar muat yang ditangani sangat rendah, yakni kurang dari 8 juta ton.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 118

2) Memiliki fasilitas pendukungnya yang tidak terlalu besar, karena pelabuhan pengumpan lokal cukup menyediakan dermaga yang melayani kapal dengan panjang kurang dari 103 meter dan kedalaman kolam kurang dari -5 MLWS.

3) Berada pada lokasi yang tidak dilalui oleh pelayaran reguler kecuali keperintisan;

4) Memiliki akses ke jaringan transportasi lokal; 5) Mempertimbangkan aspirasi daerah.

f. Kriteria badan usaha yang melakukan kegiatan salvage

dan pekerjaan bawah air secara teknis adalah: 1) Memiliki SDM penyelam yang kompeten,

profesional dan dibuktikan dengan sertifikat dengan jumlah minimal 4 orang penyelam dalam satu tim dan 1 orang tenaga ahli di bidang pekerjaan bawah air;

2) Menguasai metode kerja pelaksanaan salvage dan pekerjaan bawah air yang dibuktikan dengan sertifikat;

3) Memiliki peralatan kerja, yang terdiri dari 1 set peralatan selam, 3 set peralatan scuba, 1 kompresor selam, 2 set peralatan survei, 2 set peralatan las bawah air, 2 set peralatan potong bawah air dan 1 set alat pneumatic, yang memenuhi standar nasional atau internasional;

4) Memiliki minimal 1 unit kapal kerja.

g. Kriteria perusahaan yang dapat menyelenggarakan SROP (Stasiun Radio Operasi Pantai) dan VTS (Vessel Traffic Services) harus memenuhi persyaratan administrasi dan teknis. Persyaratan administrasi meliputi Akte Pendirian Perusahaan, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), surat keterangan domisili perusahaan, izin usaha pokok dari instansi yang berwenang serta surat keterangan laik operasi dari Direktur Jenderal Pos dan Telekomunikasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika

h. Kriteria perusahaan yang dapat menyelenggarakan SROP secara teknis adalah: 1) Memiliki SDM yang berkompeten yang dibuktikan

dengan sertifikat keahlian serta SDM yang sehat jasmani dan rohani;

2) Memiliki peralatan sesuai dengan spesifikasi teknis yang dipersyaratkan;

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 119

3) Melampirkan dokumen teknis tentang denah rencana lokasi SROP serta gambar instalasi SROP.

i. Kriteria perusahaan yang dapat menyelenggarakan VTS adalah sebagai berikut: 1) Memiliki SDM yang kompeten dengan pendidikan

minimum SMA jurusan IPA atau SMK jurusan elektro serta SDM berpendidikan ANT III, aktif berbahasa Inggris, mampu mengoperasikan VTS serta sehat jasmani dan rohani;

2) Memiliki peralatan yang sesuai dengan spesifikasi, andal dan memadai;

3) Melampirkan dokumen hasil survei mengenai gambar dan lokasi instalasi VTS.

j. Kriteria perairan pandu kelas I adalah sebagai berikut: 1) Jumlah gerakan kapal per hari lebih dari 11 kapal; 2) Ukuran kapal yang dilayani lebih dari 30.000 GT; 3) Panjang kapal lebih dari 150 meter; 4) Draft kapal lebih dari 9 meter; 5) Jenis kapal yang dilayani adalah tanker dan kapal

curah cair; 6) Jenis muatan yang dibawa kapal dominan

merupakan barang berbahaya dan barang curah cair;

7) Panjang alur perairan lebih dari 80 mil; 8) Banyaknya tikungan adalah lebih besar atau sama

dengan 15; 9) Lebar alur perairan lebih kecil atau sama dengan

250 meter; 10) Kedalaman perairan kurang dari 7 MLWS; 11) Rintangan berupa kerangka, kabel laut, karang,

batu, gosong, pasir atau lumpur; 12) Kecepatan arus lebih besar atau sama dengan 8

knot; 13) Kecepatan angin lebih besar atau sama dengan 19

knot; 14) Tinggi ombak lebih dari 2,4 meter; 15) Ketebalan kabut mencapai 80%; 16) Jenis tambatan adalah mouring bouy dan dermaga

apung; 17) Kecukupan dan keandalan SBNP antara 10 s/d

30%.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 120

k. Kriteria perairan pandu kelas II dari sisi internal adalah sebagai berikut: 1) Jumlah gerakan kapal per hari antara 8-11 kapal; 2) Ukuran kapal yang dilayani antara 15.000 s/d

30.000 GT; 3) Panjang kapal yang dilayani 100 s/d 150 dari

meter; 4) Draft kapal antara 7 – 9 meter; 5) Jenis kapal yang dilayani adalah kapal container; 6) Jenis muatan yang dibawa kapal dominan adalah

container; 7) Panjang alur perairan >60 s/d 80 mil; 8) Banyaknya tikungan 11 s/d 14; 9) Lebar alur perairan >250 s/d 350 meter; 10) Kedalaman perairan >7 s/d 11 MLWS; 11) Rintangan berupa arus pusar, dan lumpur; 12) Kecepatan arus 6 s/d 7 knot; 13) Kecepatan angin 13 s/d 18 knot; 14) Tinggi ombak lebih dari 1>1,9 s/d 2,4 meter; 15) Ketebalan kabut mencapai antara 60 s/d 70%; 16) Jenis tambatan adalah breast dolphin, konstruksi

kayu; 17) Kecukupan dan keandalan SBNP 40% s/d 50%.

l. Kriteria perairan pandu kelas III adalah sebagai berikut:

1) Jumlah gerakan kapal per hari antara 4-7 kapal; 2) Ukuran kapal yang dilayani antara 5.000 s/d

<15.000 GT; 3) Panjang kapal yang dilayani 70 s/d <100 meter; 4) Draft kapal 5 s/d 7 meter; 5) Jenis kapal yang dilayani adalah kapal penumpang; 6) Jenis muatan yang dibawa kapal dominan adalah

penumpang; 7) Panjang alur perairan >40 s/d 60 mil; 8) Banyaknya tikungan 7 s/d 10; 9) Lebar alur perairan > 350 s/d 450 meter; 10) Kedalaman perairan >11 s/d 13 MLWS; 11) Rintangan berupa tonggak dan sero terapung; 12) Kecepatan arus 4 s/d 5 knot; 13) Kecepatan angin 8 s/d 12 knot; 14) Tinggi ombak >1,5 s/d 1,9 meter; 15) Ketebalan kabut 40 s/d 50%; 16) Jenis tambatan adalah beton atau baja; 17) Kecukupan dan keandalan SBNP 60 s/d 70%.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 121

m. Kriteria perairan pandu luar biasa adalah sebagai berikut: 1) Jumlah gerakan kapal per hari antara 1-3 kapal. 2) Ukuran kapal yang dilayani < 5.000 GT. 3) Panjang kapal yang dilayani <70 meter. 4) Draft kapal <5 meter. 5) Jenis kapal yang dilayani adalah kapal general

cargo. 6) Jenis muatan yang dibawa kapal dominan adalah

barang umum dan curah kering. 7) Panjang alur perairan 10 s/d 40 mil. 8) Banyaknya tikungan maksimum 6. 9) Lebar alur perairan di atas 450 meter. 10) Kedalaman perairan lebih dari 13 MLWS. 11) Rintangan berupa jaring kapal ikan, sampa/kotoran

dan kapal ikan. 12) Kecepatan maksimum 3 knot. 13) Kecepatan angin maksimum 7 knot. 14) Tinggi ombak maksimum 1,5 meter. 15) Ketebalan kabut maksimum 30%. 16) Jenis tambatan adalah beton atau baja. 17) Kecukupan dan keandalan minimum 80%.

n. Persyaratan sarana dan prasarana yang harus dimiliki pelabuhan

Tabel 2.16. Persyaratan Sarana dan Prasarana Pada Pelabuhan

No Sarana dan Prasarana Kelas I Kelas II Kelas III

1. Jumlah Kapal Tunda

Minimal 2 unit dengan jumlah daya minimal 4000 DK

2 unit minimal 1600 DK

1 unit minimal 800 DK

2. Jumlah Kapal Pandu min 2 unit, kecepatan min 12 knots

Min 1 unit kecepatan min 10 knot

Min 1 unit kecepatan min 7 knot

3. Jumlah Kapal Kepil Min 2 unit, kecepatan min 7 knots

Min 1 unit, kecepatan min 7 knots

Min 1 unit, kecepatan min 7 knots

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 122

No Sarana dan Prasarana Kelas I Kelas II Kelas III

4. Stasiun pandu/menara pengawas/kantor

350 m2 200s/d 300 m2 150 s/d 200 m2

5. VHF handy talky Sesuai jumlah personil pandu

Sesuai jumlah personil pandu

Sesuai jumlah personil pandu

6. Baju renang (life jacket)

Sesuai jumlah personil pandu

Sesuai jumlah personil pandu

Sesuai jumlah personil pandu

7. Kendaraan dan rumah

Sesuai kebutuhan Sesuai kebutuhan

Sesuai kebutuhan

o. Kriteria pelabuhan yang wajib dilengkapi dengan reception facilities secara spesifik adalah sebagai berikut: 1) Semua pelabuhan, terminal dan dermaga dimana

minyak mentah dimuat ke dalam tanker minyak yang mana tanker tersebut mempunyai prioritas untuk segera melakukan ballast tidak lebih dari 72 jam atau lego jangkar pada perairan pelabuhan (DLKR dan atau DLKP) atau yang menempuh perjalanan minimal 1200 mil laut.

2) Semua pelabuhan, terminal dan dermaga di mana minyak selain minyak mentah curah dimuat pada tingkat rata-rata lebih dari 1000 metrik ton perhari.

3) Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang mempunyai halaman untuk perbaikan kapal atau fasilitas tank cleaning dan atau jenis pengusahaan tank cleaning.

4) Semua pelabuhan, terminal dan dermaga yang menangani kapal-kapal harus di lengkapi pula dengan tangki sludge.

5) Semua pelabuhan yang berhubungan dengan air kotor berminyak dan jenis-jenis residu lainnya, yang tidak dapat dibuang sesuai ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 123

6) Semua pelabuhan untuk pemuatan kargo curah dan yang berhubungan dengan residu minyak yang tidak dapat dibuang sesuai dengan ketentuan peraturan 9 Annex I MARPOL 73/78 dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

7) Pelabuhan, terminal dan dermaga perbaikan kapal yang melakukan kegiatan perbaikan dan pembersihan tangki kapal tanker pengangkut bahan kimia.

p. Daerah pelayaran untuk kapal pelayaran rakyat kurang dari GT 7 adalah: 1) Daerah pelayaran untuk membuka keterisolasian. 2) Daerah yang aksesibilitasnya sulit untuk dijangkau

kapal berukuran lebih besar lagi. 3) Daerah yang menghubungkan antar pulau. 4) Daerah pelayaran pada gugusan pulau-pulau kecil.

q. Kriteria Lokasi Penempatan Sarana Bantu Navigasi

Pelayaran 1) Berada pada lokasi bangunan tertentu, di darat

maupun di perairan, berdasarkan pertimbangan teknis kenavigasian;

2) Lokasi penempatan SBNP tidak berada di alur pelayaran;

3) Mempertimbangkan kondisi geologis; 4) Lokasi SBNP harus bebas dari bangunan dan

pepohonan; 5) Harus mempertimbangkan hasil survei verifikasi

data lapangan.

r. Kriteria Terminal Peti Kemas adalah sebagai berikut: 1) Berada di tempat atau daerah yang memiliki

potensi di bidang produksi dan perdagangan yang telah dikembangkan

2) Pelabuhan telah dioperasikan 24 jam 3) Memiliki fasilitas dermaga dan lapangan

penumpukan yang memadai (dapat disandari kapal generasi ke-4), yakni dengan panjang dermaga minimal 350 meter, lebar apron minimal 8 meter, kedalaman minimal -11 MLWS dan lapangan penumpukan minimal 6 hektar.

4) Comply terhadap ISPS Code 5) Memiliki peralatan bongkar muat yang modern,

yakni minimal 4 container crane (CC) dengan kapasitas 40 ton, transtainer (TT) dengan kapasitas

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 124

minimal 35 ton dengan perbandingan 1 unit CC dilayani oleh 3 TT, straddle carrier dengan kapasitas 30 s/d 35 ton dengan perbandingan 1 unit CC dilayani oleh 3-5 straddle carrier, forklift, reach stacker, side loader, head truck dan chasis.

6) Arus peti kemas minimal 50.000 TEUS per tahun 7) Memiliki kemudahan akses untuk jalan raya, jalan

kereta api dan bandara. 8) Didukung oleh SDM yang berkualitas dan

teknologi informasi.

s. Kriteria Terminal Konvensional Peti Kemas adalah sebagai berikut: 1) Memiliki sistem dan prosedur pelayanan untuk

penanganan peti kemas 2) Memiliki fasilitas tambat permanen yang dapat

disandari kapal peti kemas minimal generasi pertama, yakni 1700 TEUS. (Saat ini, kapal ini merupakan kapal kontainer domestik terbesar di Indonesia).

3) Memiliki sumber daya manusia dengan jumlah dan kualitas yang memadai.

4) Menyediakan peralatan bongkar muat peti kemas, antara lain mobile crane, ship gear, top loader, reach stacker, head truck/trailer sesuai kebutuhan.

5) Lapangan penumpukan minimal 72.000 m2 dan gudang CFS sesuai kebutuhan.

6) Didukung oleh sistem informasi dengan jaringan on line.

7) Memiliki volume cargo yang memadai, minimal 2000 TEUS.

4. Konektivitas Transportasi dalam Sislognas dan MP3EI

Percepatan pembangunan infrastruktur transportasi menjadi kunci sukses implementasi Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Setidaknya ada tiga hal yang perlu mendapat kejelasan terlebih dahulu agar infrastruktur transportasi bisa secepatnya dibangun dengan kualitas yang prima.

Pertama, kawasan pertumbuhan atau wilayah yang menjadi sentra kegiatan ekonomi sesuai fokus yang ditetapkan untuk setiap koridor pembangunan dalam MP3EI. Peta wilayah ini harus dikukuhkan dengan sebuah tata ruang yang baik dan masterplan pembangunan masing- masing wilayah. Tata ruang

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 125

menjadi basis pembuatan masterplan setiap provinsi. Hanya dengan tata ruang dan masterplan yang baik, berbagai target dalam MP3EI bisa dicapai.

Kedua, menetapkan moda transportasi yang tepat untuk menunjang percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi. Untuk Jawa, moda transportasi yang tepat adalah kereta api dan jalan raya untuk transportasi darat. Demikian pula Sumatera, wilayah yang juga padat penduduk. Sedangkan Kalimantan dan pulau lainnya yang jarang penduduk, jalan raya adalah prioritas dibanding kereta api.

5. Konektivitas Global

Indonesia sebagai Negara Maritim dengan total panjang garis pantai seluas 54.716 kilometer terbentang sepanjang Samudera India, Selat Malaka, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, Laut Sulawesi, Laut Maluku, Samudera Pasifik, Laut Arafura, Laut Timor, dan wilaya kecil lainnya. Melekat dengan kepulauan Indonesia terdapat beberapa alur laut yang berbobot strategis ekonomi dan militer global, yaitu Selat Malaka (yang merupakan SLoC), Selat Sunda (ALKI 1), Selat Lombok dan Selat Makasar (ALKI 2), dan Selat Ombai Wetar (ALKI 3), sebagian besar pelayaran dunia melewati dan memanfaatkan alur-alur tersebut sebagai jalur pelayarannya.

MP3EI mengedepankan upaya memaksimalkan pemanfaatan SloC maupun ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia) tersebut diatas. Indonesia bisa meraih banyak keuntungan dari modalitas maritim untuk mengakselerasikan pertumbuhan di berbagai kawasan di Indonesia (khususnya Kawasan Timur Indonesia), membangun daya saing maritim, serta meningkatkan ketahanan dan kedaulatan ekonomi nasional. Untuk memperoleh manfaat dari posisi strategis nasional, upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia perlumemanfaatkan keberadaan SLoC dan ALKI sebagai jalur laut bagi pelayaran internasional.

Dalam rangka penguatan konektivitas nasional yang memperhatikan posisi geo-strategis regional dan global, perlu ditetapkan pintu gerbang konektivitas global yang memanfaatkan secara optimal keberadaan SloC dan ALKI tersebut diatas sebagai modalitas utama percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Konsepsi tersebut akan menjadi tulang punggung yang membentuk postur konektivitas nasional dan sekaligus diharapkan berfungsi

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 126

menjadi instrumen pendorong dan penarik keseimbangn ekonomi wilayah, yang tidak hanya dapat mendorong kegiatan ekonomi yang lebih merata ke seluruh wilayah Indonesia, tetapi dapat juga menciptakan membangun kemandirian dan daya saing ekonomi nasional yang solid. Gambar dibawah memperlihatkan konsep pintu gerbang pelabuhan dan bandar udara dimasa depan.

Gambar 2.4. Konektivitas Global Pelabuhan dan Bandar Udara

6. Kebijakan Penguatan Konektivitas

Maksud dan tujuan penguatan konektivitas nasional adalah sebagai berikut: a. Menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi utama

untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman, melalui inter-modal supply chains systems.

b. Mempeluas pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan aksesibilitas dari pusat-pusat pertumbuhan ekonomi ke wilayah belakangnya (hinterland)

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 127

c. Menyebarkan manfaat pembangunan secara luas (pertumbuhan yang inklusif dan keadilan) melalui peningkatan konektivitas dan pelayanan dasar ke daerah tertinggal, terpencil dan perbatasan dalam rangka pemerataan pembangunan.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu diintegrasikan beberapa komponen konektivitas yang saling berhubungan kedalam satu perencanaan terpadu. Beberapa komponen dimaksud merupakan pembentuk postur konektivitas secara nasional, yang meliputi:

a. Sistem Logistik Nasional (SISLOGNAS); b. Sistem Transportasi Nasional (SISTRANAS) c. Pengembangan Wilayah (RPJMN dan RTRWN) d. Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK/ICT) Rencana dari masing-masing komponen tersebut telah selesai disusun, namun dilakukan secara terpisah. Oleh karena itu, penguatan konektivitas nasional berupaya untuk mengintegrasikan keempat komponen tersebut. Tabel dibawah ini memperlihatkan keempat komponen penguatan konektivitas tersebut.

Tabel 2.17. Komponen Konektivitas

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 128

7. Rencana Aksi MP3EI

“Visi Indonesia 2025, yakni mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan”

Pencapaian visi dilakukan dengan rencana aksi dari MP3EI dengan mempertimbangkan koridor ekonomi Indonesia dan konektivitas untuk seluruh koridor tersebut dengan memperhatikan sistim logistik nasional yang didukung oleh iptek dan inovasi. Keterkaitan antara MP3EI dan Sislognas terlihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2.5. Sislognas dan MP3EI

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 129

Peluncurkan Masterplan Percepatan dan Perluasan Pengembangan Ekonomi (MP3EI) terdapat ada 3 (tiga) strategi pokok, dimana strategi tersebut adalah:

a. Strategi pertama adalah pengembangan potensi melalui 6 koridor ekonomi yang dilakukan dengan cara mendorong investasi BUMN, Swasta Nasional dan FDI dalam skala besar di 22 kegiatan ekonomi utama. Penyelesaian berbagai hambatan akan diarahkan pada kegiatan ekonomi utama sehingga diharapkan akan terjadi peningkatan realisasi investasi untuk memacu pertumbuhan ekonomi di 6 koridor ekonomi.

Berdasarkan potensi yang ada, maka sebaran sektor fokus dan kegiatan utama di setiap koridor ekonomi, diantaranya sebagai berikut, yakni

Gambar 2.6. Peta Koridor Ekonomi Indonesia

Pembangunan koridor ekonomi di Indonesia dilakukan berdasarkan potensi dan keunggulan masing-masing wilayah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai negara yang terdiri atas ribuan pulau dan terletak di antara dua benua dan dua samudera, wilayah kepulauan indonesia memiliki sebuah konstelasi yang unik dan tiap kepuluan besarnya memiliki peran strategis masing-masing yang ke depannya akan menjadi pilar

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 130

utama untuk mencapai visi Indonesia 2025. Dengan memperhitungkan berbagai potensi dan peran strategis masing-masing pulau besar dan sesuai dengan letak dan kedudukan geografis masing-masing pulau, telah ditetapkan 6 (enam) koridor ekonomi seperti yang terdapat dalam gambar diatas. a. Koridor Ekonomi Sumatera, memiliki tema pembangunan

sebagai sentra produksi dan pengolahan hasil bumi dan lumbung energi nasional, seperti: Kelapa Sawit, Karet, Batubara, Besi-Baja dan JSS.

b. Koridor Ekonomi Jawa, memiliki tema pembangunan sebagai pendorong industri dan jasa nasional, seperti: Industri Makanan Minuman, Tekstil, Permesinan, Transportasi, Perkapalan, Alutsista, Telematika, Perbankan dan Jasa Keuangan serta Metropolitan Jadebotabek.

c. Koridor Ekonomi Kalimantan, memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil tambang & lumbung energi nasional, seperti: Kelapa Sawit, Batubara, Alumina/Bauksit, Migas, Perkayuan dan Besi-Baja.

d. Koridor Ekonomi Sulawesi, memiliki tema pembangunan sebagai pusat produksi dan pengolahan hasil pertanaian, perkebunan, perikanan, migas dan pertambangan nasional, seperti: Pertanian Pangan, Kakao, Perikanan, Nikel, dan Migas.

e. Koridor Ekonomi Bali-Nusa Tenggara, memiliki tema pembangunan sebagai pintu gerbang pariwisata dan pendukung pangan nasional, seperti: Pariwisata, Peternakan dan Perikanan.

f. Koridor Ekonomi Papua- Maluku , memiliki tema pembangunan sebagai pusat pengembangan pangan, perikanan, energi dan pertambangan nasional, seperti: Food Estate, Tembaga, Peternakan, Perikanan, Migas dan Nikel.

Pengembangan MP3EI berfokus pada 8 (delapan) program utama, yaitu: pertanian, pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata, telematika dan pengembangan kawasan strategis. Program utama dalam 6 (enam) koridor yang termuat pada MP3EI dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 131

Tabel 2.18. Program Utama dalam 6 (enam ) Koridor

Kedelapan program utama tersebut terdiri dari 22 kegiatan ekonomi utama yang disesuaikan dengan potensi dan nilai strategisnya masing-masing di koridor yang bersangkutan. Berikut ini adalah pemetaan untuk kegiataan-kegiatan ekonomi utama dari masing-masing koridor.

Untuk mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama, telah diindikasikan nilai investasi yang akan dilakukan di keenam koridor ekonomi tersebut sebesar sekitar IDR 4.012 Trilliun. Dari jumlah tersebut, Pemerintah akan berkontribusi sekitar 10% dalam bentuk pembangunan ifrastruktur dasar, seperti jalan, pelabuhan laut, pelabuhan udara serta rel kereta api dan pembangkit listrik. Sedangkan sisanya diupayakan akan dipenuhi dari swasta maupun BUMN dan campuran.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 132

b. Strategi kedua

memperkuat konektivitas nasional melalui sinkronisasi rencana aksi nasional untuk merevitalisasi kinerja sektor riil. Untuk itu akan ditetapkan jadwal penyelesaian masalah peraturan nasional dan infrastruktur utama nasional. Menurut laporan Menko Perekonomian, berdasarkan hasil diskusi dengan para pemangku kepentingan, khususnya dunia usaha, teridentifikasi sejumlah regulasi dan perijinan yang memerlukan debottlenecking yang meliputi, penyelesaian peraturan pelaksanaan undang-undang, menghilangkan tumpang tindih antar peraturan yang sudah ada baik ditingkat pusat dan daerah, maupun antara sektor/lembaga, merevisi atau menerbitkan peraturan yang sangat dibutuhkan untuk mendukung strategi MP3EI (seperti Bea keluar beberapa komoditi), memberikan insentif kepada kegiatan-kegiatan utama yang sesuai dengan strategi MP3EI, mempercepat dan menyederhanakan proses serta memberikan kepastian perijinan.

Sementara elemen utama dari strategi kedua adalah, menghubungkan pusat-pusat pertumbuhan utama untuk memaksimalkan pertumbuhan berdasarkan prinsip keterpaduan, bukan keseragaman. Memperluas pertumbuhan dengan menghubungkan daerah tertinggal dengan pusat pertumbuhan melalui inter-modal supply chain systems. Menghubungkan daerah terpencil dengan infrastruktur & pelayanan dasar dalam menyebarkan manfaat pembangunan secara luas.

c. Strategi ketiga

Pengembangan Center of Excellence di setiap koridor ekonomi. Dalam hal ini akan didorong pengembangan SDM dan IPTEK sesuai kebutuhan peningkatan daya saing. Percepatan transformasi inovasi dalam ekonomi yang dilakukan melalui pengembangan modal manusia berbasis ilmu pengetahuan, teknologi, dan inovasi secara terencana dan sistematis. Memasukkan unsur Sistem Inovasi Nasional (SINAS) dan berbagai upaya transformasi inovasi dalam kegiatan ekonomi. Sedangkan inisiatif strateginya, revitalisasi Puspitek sebagai Science andTechnologyPark. Pengembangan Industrial Park, pembentukan klaster inovasi daerah untuk pemerataan pertumbuhan. Pengembangan industri strategis pendukung konektivitas, penguatan aktor inovasi (SDM dan Inovasi). MP3EI merupakan dokumen

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 133

rencana pembangunan dimana arahnya tidak pernah bergeser, tetap berpatokan pada Visi Indonesia 2025. Yakni mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 dan 8 besar dunia pada tahun 2045 melalui pertumbuhan ekonomi tinggi yang inklusif dan berkelanjutan.

8. Pembangunan Konektivitas Maritim di Indonesia

Dalam sistim transportasi, diperlukan adanya armada dan pelabuhan yang baik. Ukurannya disesuaikan dengan keperluan, lalu lintas penduduk dan angkutan barang. Di setiap pulau besar, perlu sejumlah pelabuhan besar bertaraf internasional. Perlu kebijakan agar kapal barang dari berbagai pelabuhan besar tidak perlu harus ke Tanjung Priok lebih dahulu, melainkan bisa langsung ke luar negeri. Di Sumatera dan Kalimantan perlu ada pelabuhan eksporimpor CPO, produk perkebunan, dan produk pertambangan

Semua pelabuhan besar saat ini, termasuk Tanjung Priok, dibangun 25 tahun lalu. Jika tidak segera diperluas dan dipermodern, pelabuhan Indonesia akan semakin ketinggalan. Malaysia kini memiliki sejumlah pelabuhan besar dan canggih yang melebihi Tanjung Priok dan Tanjung Perak. Secara umum, infrastruktur trasportasi di negeri jiran itu jauh lebih baik dibanding Indonesia. Tidak itu saja, pemerintah mesti menambah armada kapal untuk mengantisipasi kenaikan jumlah penumpang antar pulau, khususnya Indonesia Timur.

Kegiatan semuanya ini membutuhkan dana besar. Dalam 14 tahun ke depan, kebutuhan dana infrastruktur Rp 1.700 triliun atau lebih dari Rp 115 triliun per tahun. Swasta, dalam dan luar negeri, diimbau ikut terlibat lewat public private partnership (PPP). Namun, perlu modul model PPP untuk setiap moda transportasi yang bisa dijadikan rujukan. Pihak swasta pun tertarik untuk berpartisipasi. Bagi swasta, keterlibaan pemerintah dalam setiap proyek infrastruktur transportasi adalah jaminan. Hal ini ada keterkaitan soal pembebasan lahan. Selain penyertaan pemerintah dan swasta, perusahaan yang membangun infrastruktur transportasi bisa menjual obligasi kepada masyarakat Indonesia. Belajar dari negara lain, penjualan obligasi untuk pembangunan infrastruktur transportasi mendapat dukungan penuh masyarakat.

Dalam sistem logistik nasional untuk moda transportasi laut, telah dibentuk sesuai dengan yang tercantum dalam MP3EI,

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 134

dengan adanya pelabuhan yang berskala internasional sebagai koneksi jaringan global sementara untuk jaringan lokal dan nasional telah ditentukan sesuai dengan arahan yang terdapat dalam Sislognas dan MP3EI. Gambar dibawah memperlihatkan jaringan sistem logistik lokal, nasional dan internasional.

Gambar 2.7. Jaringan Sistem Logistik Lokal, Nasional dan Internasional

9. Capaian Sislognas Tahap I (2011-2015)

Sedangkan capaian yang akan dicapai dalam Sislognaas Tahap I sampai dengan tahun 2015 adalah sebagai berikut: a. Penetapan dan pengembangan pelabuhan hub international

di Kuala Tanjung dan Bitung, dan Pelabuhan Udara Internasional di Jakarta, Kuala Namu dan Makassar.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 135

b. Terbangunnya Pelabuhan Kalibaru sebagai perluasan Pelabuhan Tanjung Priok.

c. Beroperasinya short sea shipping di jalur Pantura dan Jalintim Sumatera

d. Peningkatan peran kargo kereta api di Jawa dan Sumatera e. Pembangunan sistim otomasi dan informasi logistik nasional

yang terintegrasi secara elektronik (INALOG) f. Peningkatan kapasitas angkut armada kapal perintis dan

nasional untuk transportasi penumpang dan kargo di kawasan Indonesia Timur

g. Peningkatan ketersediaan, kualitas dan kapasitas angkutan laut antar pulau melalui pemberdayaan pelayaran nasional dan pelayaran rakyat

h. Terbangunnya logistic center untuk melayani consolidated container bagi LCL cargo ekxportir UKM

i. Beroperasinya model sistem 24/7 kargo udara di Bandara Soekarno Hatta

j. Terwujudnya beberapa penyedia jasa logistik nasional sebagai pemain logistik kelas dunia

k. Revitalisasi BUMN Niaga sebagai tradng house komoditas pokok dan strategis serta komoditas unggulan ekspor

l. Meningkatnya peran BUMN dalam logistik pedesaan m. Terselenggaranya sistem pendidikan dan pelatihan profesi

logistik nasional yang berstandar internasional n. Terwujudnya pusat distribusi regional komoditas pokok dan

strategis pada setiap koridor ekonomi. o. Sinkronnya regulasi dan kebijakan yang mendorong

efesiensi kegiatan ekspor impor. p. Penetapan tarif pelayanan jasa logistik dengan denominasi

Rupiah q. Efektifnya pengoperasian Dry Port.

Terlihat dalam pencapaian pada tahap ini, khususnya untuk moda transportasi laut adalah pembangunan pelabuhan hub internasional di Kuala Tanjung dan Kuala Bitung, Pembangunan Pelabuhan Kalibaru sebagai perluasan Pelabuhan Tanjung Priok, beroperasinya short sea shipping pada jalur Pantura Pulau Jawa dan jalur Jalintim Pulau Sumatera, Peningkatan kapasitas dan kualitas armada perintis, angkutan pulau dan pemberdayaan pelayaran nasional dan pelayaran rakyat, serta efektifnya pengoperasian dry port.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 136

10. Pembangunan Pelabuhan di Indonesia

Pembangunan pelabuhan di Indonesia dalam rangka MP3EI sampai dengan tahun 2030, dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 2.19. Pembangunan Pelabuhan di Indonesia dalam rangka MP3EI

Wilayah Daftar Pelabuhan

Propinsi NAD, Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Kepulauan Riau

Belawan/ Kuala Tanjung, Dumai, Teluk Bayur, Pekanbaru, Batam, Pembuangan, Sibolga, Aceh, Bintan dan Teluk Tapang.

Propinsi Sumatera Selatan Palembang, Panjang, Jambi, Bengkulu, Teluk Semangka serta bangka Belitung.

Kalimantan Barat Pontianak dan Teluk Air

Kalimantan Timur - Selatan Balikpapan, Samarinda, Banjarmasin serta Sangkulirang.

Sulawesi Selatan - Tengah Makasar, Pare-Pare, serta Luwuk dan sekitarnya

Jawa Tanjung Priok dan sekitarnya, Tanjung Perak dan Sekitarnya, Tanjung Emas, Pelabuhan Ratu, Balongan/Cirebon, Cilacap, Jepara serta 13 lokasi lainnya

Bali – Nusa Tenggara Tanah Ampo

Wilayah Timur Lainnya Bitung, Jayapura, Merauke, Amon, Sorong dan Halmahera

Sumber: Kementerian Perhubungan

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 137

11. Pembagunan Industri Perkapalan

Sebagai negara maritim yang mempunyai wilayah perairan yang cukup luas, Indonesia tentunya memerlukan sarana transportasi kapal untuk menjangkau pulau-pulau-pulau dan menghubungkan daratan yang satu ke daratan yang lainnya. Disinilah peran kapal sangat dibutuhkan, tidak hanya sebagai sarana transportasi penumpang dan barang, namun juga untuk mendukung sistem pertahanan di wilayah perairan Indonesia.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, industri perkapalan di Indonesia menunjukan perkembangan yang cukup baik. Pada bulan Maret 2010, Indonesia telah memiliki armada sebanyak 9.309 unit kapal atau 11,95 juta Gross Tonnage atau meningkat sebanyak 3.268 unit kapal atau 54,1 persen dibandingkan dengan bulan Maret 2005 yang hanya memiliki 6.041 unit kapal atau 5,67 Gross Tonnage. Peningkatan ini merupakan dampak dari diberlakukannya asas cabotage yaitu angkutan dalam negeri 100 persen diangkut oleh Kapal Berbendera Indonesia seperti yang tertuang dalam Inpres No. 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

Dalam skala nasional, tantangan utama yang dihadapi oleh industri perkapalan adalah meningkatkan kapasitas industri galangan kapal nasional dalam membuat kapal. Hal ini merupakan konsekuensi dari diberlakukannya asa cabotage yang dinilai oleh sejumlah kalangan terlalu cepat dan kurang sejalan dengan kemampuan industri dalam negeri untuk membuat kapal. Dalam skala internasional, tantangan utama yang dihadapi adalah meningkatkan peranan Indonesia dalam pembangunan kapal dunia. Gambar dibawah memperlihatkan peningkatan unit kapal dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2010.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 138

Gambar 2.8. Peningkatan Kapasitas Unit Kapal

Strategi yang dilakukan untuk menjawab tantangan tersebut berupa: a. Peningkatan pendayagunaan kapal hasil produksi dalam

negeri b. Peningkatan kapasitas dan kemampuan industri perkapalan c. Pengembangan industri pendukung perkapalan, berupa

komponen dan peralatan perkapalan d. Peningkatan dukungan sektor perbankan terhadap industri

perkapalan.

Regulasi dan kebijakan untuk dapat mendukung pengembangan kegiatan ekonomi utama perkapalan di Pulau Jawa, sama halnya dengan Pulau Sumatera, diperlukan dukungan regulasi terkait sebagai berikut: a. Meningkatkan jumlah dan kemampuan industri galangan

kapal nasional dalam pembangunan kapal sampai dengan kapasitas 50.000 DWT, sementara galangan kapal yang memiliki fasilitas produksi berupa building berth/ graving dock yang mampu membangun atau mereparasi kapal sampai dengan kapasitas 300.000 DWT diarahkan pengembangannya di luar Jawa dan Sumatera.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 139

b. Memberikan prioritas bagi pembuatan dan perbaikan di dalam negeri untuk kapal-kapal dibawah 50.000 DWT

c. Meninjau kembali Kepres No. 22 Tahun 1998 tentang impor kapal niaga dan kapal ikan dalam keadaan baru dan bukan baru, dalam rangka pendayagunaan industri galangan kapal nasional beserta industri pendukungnya.

d. Memberikan prioritas bagi pembuatan kapal-kapal penunjang eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas yang sudah mampu dibuat di dalam negeri, kecuali untuk jenis kapal tipe C.

e. Menetapkan tingkat suku bunga dan kolateral yang wajar untuk pinjaman dari bank komersial serta pemberian pinjaman lunak yang di fasilitasi oleh Pemerintah

f. Melakukan penataan dukungan finansial yang kuat dari sejumlah lembaga keuangan di dalam negeri untuk pembiayaan produksi pengadaan kapal nasional dalam rangka memenuhi ketentuan asas cabotage

g. Menata ulang kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari hulu hingga hilir di industri perkapalan dalam rangka memangkas ongkoas produksi

h. Menata ulang kebijakan penetapan Bea Masuk Ditanggung Pemerintah (BM DPT) bagi industri perkapalan, dimana BM DPT hanya ditujukan bagi komponenperkapalan yang belum diproduksi di Indonesia.

Konektivitas infrastruktur, sebagai upaya pengembangan industri perkapalan di Pulau Jawa memerlukan konektivitas infrastruktur berupa: a. Pembangunan dermaga, fasilitas break water, jalur akses

utama dan jalur akses terminal pada pelabuhan-pelabuhan yang dimanfaatkan untuk kegiatan industri perkapalan

b. Penyediaan pembangkit tenaga listrik c. Penyediaan instalasi pengolahan air bersih dan fasilitas

pengolahan limbah

Sementara untuk penguatan SDM dan IPTEK, dilakukan upaya pengembangan kegiatan ekonomi utama perkapalan perlu juga didukung oleh pengembangan SDM dan IPTEK, berupa: a. Peningkatan kemampuan SDM perkapalan dalam membuat

desain kapal melalui pembangunan sekolah khusus di bidang perkapalan untuk meningkatkan kemampuan produksi industri shaft, propellers, steering gear, deck machinery di dalam negeri.

b. Pengembangan pendidikan untuk menunjang peningkatan kemampuan industri bahan baku komponen kapal

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 140

c. Peningkatan fasilitas yang dimiliki oleh laboratorium uji perkapalan agar sesuai dengan standar International Maritime Organization (IMO)

d. Pengadaan pelatihan secara periodik yang ditujukan kepada tenaga kerja di industri perkapalan

12. Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut

Pelayaran merupakan bagian dari sarana transportasi laut sebagaimana amanat Undang-Undang No.17 Tahun 2008 menjadi suatu yang sangat strategis bagi wawasan nasional serta menjadi sarana vital yang menunjang tujuan persatuan dan kesatuan nasional.

Pelayaran atau angkutan laut merupakan bagian dari transportasi yang tidak dapat dipisahkan dengan bagian dari sarana transportasi lainnya dengan kemampuan untuk menghadapi perubahan ke depan, mempunyai karakteristik karena mampu melakukan pengangkutan secara massal. Dapat menghubungkan dan menjangkau wilayah satu dengan yang lainnya melalui perairan, sehingga mempunyai potensi kuat untuk dikembangkan dan peranannya baik nasional aupun internasional sehingga mampu mendorong dan menunjang pembangunan nasional demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan mandat Pancasila serta Undang - Undang Dasar 1945.

13. Angkutan Laut

Pengertian angkutan laut dalam Pasal 1 Kepmen 33 Tahun 2001, adalah: Angkutan laut adalah setiap kegiatan angkutan dengan menggunakan kapal untuk mengangkut penumpang, barang dan atau hewan dalam satu perjalanan atau lebih dari satu pelabuhan ke pelabuhan lain yang diselenggarakan oleh perusahaan angkutan laut.

Jenis angkutan laut dalam Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Bab II Pasal 2, meliputi: (a) angkutan laut dalam negeri; (b) Angkutan Laut Luar Negeri; (c) Pelayaran rakyat; (d) Angkutan laut khusus dan (e) Angkutan laut perintis.

Untuk angkutan laut dalam negeri seperti yang diatur dalam Bab II Pasal 3 Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, adalah: (a) Oleh perusahaan angkutan laut nasional; (b) Dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan (c) Untuk

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 141

menghubungkan pelabuhan laut antar pulau atau angkutan laut lepas pantai di wilayah perairan Indonesia.

14. Perusahaan Angkutan Laut Nasional

Sedangkan perusahaan pelayaran nasional, menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 7:

Perusahaan Angkutan Laut Nasional adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum Indonesia (Indonesian national shipping company) yang melakukan kegiatan angkutan laut di dalam wilayah perairan Indonesia dan atau dari dan ke pelabuhan di luar negeri. Perusahaan angkutan laut nasional dapat berupa badan hukum yang keseluruhan sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia (WNI) atau badan hukum Indonesia maupun dalam bentuk kerjasama dengan asing (PMA/joint venture) asalkan telah memenuhi persyaratan yang diatur dalam UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran, Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut khususnya dalam Pasal 20 serta peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan:

Pasal 20 km 33 tahun 2001: a. Perusahaan angkutan laut nasional atau badan hukum

Indonesia atau warga negara Indonesia dapat melakukan kerjasama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk (usaha patungan joint venture) dengan membentuk satu perusahaan angkutan laut nasional.

b. Perusahaan angkutan laut patungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib memiliki kapal berbendera Indonesia yang laik laut sekurang-kurangnya 1 (satu) unit ukuran GT.5000 (lima ribu).

c. Ketentuan persyaratan untuk memperoleh izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 butir a,c,d,e dan f berlaku pula terhadap persyaratan pendirian perusahaan angkutan laut yang melakukan usaha patungan (joint venture).

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 142

15. Perusahaan Angkutan Laut Asing

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 8:

Perusahaan Angkutan Laut Asing adalah perusahaan angkutan laut berbadan hukum asing (foreign shipping company) yang kapal-kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia. Sedangkan menurut UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran:

Pasal 11, ayat 4 dan 5 UU no 17 Tahun 2008: a. Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan

kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.

b. Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia.

16. Kapal Berbendera Indonesia

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 1 angka 11:Kapal Berbendera Indonesia adalah kapal yang memiliki kebangsaan Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.Menurut Pasal 158 UU nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran: a. Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat

didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Menteri.

b. Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu: c. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7

(tujuh GrossTonnage); d. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang

didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan

e. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.

f. Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 143

g. Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar.

h. Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran.

17. Izin usaha angkutan laut untuk perusahaan nasional

Persyaratan untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut nacional secara umum dapat dilihat pada pasal 29 UU RI No.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran yaitu:

Pasal 29 UU nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran: a. Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurangkurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).

b. Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.

Persayaratan khusus dan tata cara untuk mendapatkan izin usaha pelayaran diatur dalam KM nomor 33 tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut khususnya pada Bab III.

18. Izin usaha angkutan laut untuk perusahaan Asing

Sesuai Pasal 45 Kepmenhub No. KM 33 Tahun 2001, bahwa: Perusahaan angkutan laut asing yang kapalnya melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional yang memenuhi persyaratan sebagai agen umum.

Perusahaan angkutan laut nasional yang dapat ditunjuk sebagai agen umum diwajibkan: a. Menyampaikan PKKA kepada Dirjen Hubla

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 144

b. Menyampaikan pemberitahuan status trayek tetap dan teratur atau liner dan tidak teratur

c. Mengurus kepentingan kapal yang diageni selama berada di Pelabuhan Indonesia

d. Bertanggung jawab terhadap penyelesaian semua tagihan yang berkaitan dengan kegiatan kapal keagenannya selama berada di Pelabuhan Indonesia

e. Menyampaikan laporan kegiatan kapal-kapal keagenan secara berkala.

Untuk kapal asing yng digunakan untuk angkutan laut dalam negeri wajib dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan diberikan dispensasi syarat bendera (DSB). Pengunaan PKKA dan DSB dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

19. Pemberitahuan Keagenan Kapal Asing (PKKA)

Menurut Keputusan Menteri Perhubungan No. KM 33 Tahun 2001 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut, Pasal 50:PPKA adalah Pemberitahuan Keagenan Kapal Asing. Kewajiban penggunaan PPKA untuk kapal asing diatur sesuai dengan Pasal 5 ayat 2 KM 33 tahun 2001, yang berbunyi sebagai berikut:

”Penggunaan kapal asing untuk angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 4 ayat (1), sebelum dioperasikan oleh perusahaan angkutan laut nasional selambat-lambatnya 14 (empat belas) hari kerja wajib dilaporkan dan diterima Direktur Jenderal menurut contoh pada lampiran I Keputusan ini, untuk selanjutnya dapat diberikan kelonggaran syarat bendera (dispensasi) menurut contoh pada Lampiran II Keputusan ini.” Kapal asing yang tidak memenuhi persyaratan PPKA ini dilarang beroperasi di wilayah perairan Indonesia dan tidak diberikan pelayanan di pelabuhan Indonesia.

STUDI PENYUSUNAN KONSEP KRITERIA DI BIDANG PELAYARAN

Laporan Akhir II - 145

Gambar 2.9. Izin Kapal Asing Dengan Pemberitahuan Keagenan Kapal Asing (PKKA)

Gambar 2.10. Izin Kapal Asing Dengan Dispensasi Syarat Bendera (DSB).