bab ii perbaikan daskndsand

31
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Konsumsi Oksigen Maksimal (VO 2 max) Kondisi fisik merupakan unsur yang sangat penting disetiap cabang olahraga. Oleh karena itu latihan kondisi fisik perlu mendapat perhatian yang serius direncanakan dengan matang dan sistematis sehingga tingkat kebugaran jasmani dan kemampuan fungsional alat-alat tubuh lebih baik. Apabila kondisi fisik baik, maka (Subarjah, 2012): 1) Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung, 2) Terjadi peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan, dan komponen kondisi fisik lainnya, 3) Akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi gerak kearah yang lebih baik,

Upload: m-faddhil-wasi-pradipta

Post on 14-Nov-2015

18 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

cncskanckancslkacn

TRANSCRIPT

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori1. Konsumsi Oksigen Maksimal (VO2max)Kondisi fisik merupakan unsur yang sangat penting disetiap cabang olahraga. Oleh karena itu latihan kondisi fisik perlu mendapat perhatian yang serius direncanakan dengan matang dan sistematis sehingga tingkat kebugaran jasmani dan kemampuan fungsional alat-alat tubuh lebih baik. Apabila kondisi fisik baik, maka (Subarjah, 2012):1) Akan ada peningkatan dalam kemampuan sistem sirkulasi dan kerja jantung,2) Terjadi peningkatan dalam kekuatan, kelentukan, stamina, kecepatan, dan komponen kondisi fisik lainnya,3) Akan meningkatkan efektifitas dan efisiensi gerak kearah yang lebih baik,4) Waktu pemulihan akan lebih cepat, serta5) Respon bergerak lebih cepat apabila dibutuhkan.Dalam meningkatkan kondisi fisik setiap komponen harus dikembangkan. Daya tahan kardiorespirasi merupakan salah satu komponen kondisi fisik. Daya tahan kardiorepirasi adalah kesanggupan sistem jantung, paru dan pembuluh darah untuk berfungsi secara optimal pada keadaan istirahat dan kerja dalam mengambil oksigen dan mengeluarkannya ke jaringan yang aktif sehingga dapat digunakan pada proses metabolisme tubuh. Komponen ini sangat penting dimiliki oleh setiap atlet atau olahragawan karena sistem jantung, paru, dan pembuluh darah berfungsi memasok oksigen ke otot untuk menghasilkan tenaga dan kemudian mengeluarkan sisa hasil metabolisme keluar tubuh melalui paru seperti karbondioksida (CO2). Dengan kemampuan daya tahan kardiorespirasi yang tinggi maka kualitas aktivitas yang berat dan gerakan-gerakan yang berulang-ulang seorang atlet tidak akan mengalami kelelahan yang berlebihan dalam waktu yang cukup lama (Hariyanta et al., 2014; Sutyantara et al., 2014; Anam, 2010; Indrayana, 2012).VO2max merefleksikan daya tahan kardiorespirasi seseorang serta mekanisme oksidatif dari otot yang melakukan aktivitas. VO2max merupakan jumlah maksimal oksigen yang dapat dikonsumsi selama aktivitas fisik yang intens sampai akhirnya terjadi kelelahan. Karena VO2max dapat membatasi kapasitas kardiovaskuler seseorang, maka VO2max dianggap sebagai indikator terbaik dari ketahanan aerobik. Selama menit-menit pertama latihan, konsumsi oksigen meningkat hingga akhirnya tercapai keadaan steady state dimana konsumsi oksigen sesuai dengan kebutuhan latihan. Konsumsi oksigen lalu turun secara bertahap bersamaan dengan penghentian latihan karena kebutuhan oksigen ikut berkurang (Sutyantara et al., 2014; Anam, 2010; Indrayana, 2012).VO2max dinyatakan sebagai volume total oksigen yang digunakan per menit (ml/menit). Semakin banyak massa otot seseorang, semakin banyak pula oksigen (ml/menit) yang digunakan selama latihan maksimal. Untuk menyesuaikan perbedaan ukuran tubuh dan massa otot, VO2max dapat dinyatakan sebagai jumlah maksimum oksigen dalam mililiter, yang dapat digunakan dalam satu menit per kilogram berat badan (ml/menit/kg) (Sherwood, 2012).a. Faktor-faktor yang menentukan VO2max1) Jumlah hemoglobin dalam sel darah merahPada sebagian besar individu, jumlah hemoglobin dalam darah sekitar 15 gram/ 100 ml darah. Setiap gram hemoglobin dapat mengikat sekitar 1,34 ml oksigen. Jadi, 15 gram hemoglobin dalam 100 ml darah dapat membawa oksigen sekitar 20 ml setelah melewati paru-paru. Kemampuan jaringan untuk mengambil oksigen dari darah disebut sebagai ekstraksi oksigen (Olivia, 2012; Ganong, 2001; Vander et al., 2001; NISMAT, 2007).2) Jumlah otot yang terlibat dalam latihan dan kemampuan otot untuk memanfaatkan oksigen yang dipasokSemakin besar massa otot rangka yang diberikan beban kerja, semakin besar potensi untuk meningkatkan ambilan oksigen tubuh. Otot yang terbiasa terhadap latihan memiliki kemampuan yang lebih besar/baik untuk mengekstraksi oksigen dari darah karena otot-otot tersebut menggunakan oksigen dengan cepat dan memiliki lebih banyak kapiler-kapiler pembuluh darah (Olivia, 2012; Ganong, 2001; Vander et al., 2001; NISMAT, 2007).3) Curah Jantung (Cardiac Output)Curah jantung adalah volume darah yang dipompa oleh jantung dalam satu menit. Curah jantung merupakan hasil kali stroke volume dengan denyut jantung. Volume sekuncup (stroke volume) adalah volume darah yang dipompa keluar dari ventrikel kanan atau kiri per menit. Denyut jantung adalah jumlah kontraksi jantung per menit. Curah jantung pada individu dalam keadaan istirahat rata-rata sekitar 5 liter/menit. Detak jantung individu tidak terlatih dalam keadaan normal adalah sekitar 72 kali per menit, sehingga volume sekuncupnya sekitar 70 mililiter. Volume sekuncup akan meningkat dengan olahraga dan curah jantung maksimal pada individu yang sangat terlatih bisa mencapai 40 liter/menit. Kemampuan untuk menghasilkan curah jantung yang tinggi merupakan penentu utama untuk memiliki nilai ambilan oksigen maksimal yang tinggi (Olivia, 2012).b. Faktor-faktor yang mempengaruhi VO2maxFaktor-faktor yang mempengaruhi VO2max menurut Rexhepi et al. (2014) yaitu:1) GenetikVO2max dipengaruhi oleh faktor internal tubuh meliputi hal-hal yang diatur oleh genetik manusia. Contoh gen yang mempengaruhi VO2max adalah ACE, PPARA, PPARD, PPARG, PPARGC1A, TFAM, UCP2 dan ACTN3. Gen-gen tersebut berpengaruh terhadap sistem jantung, pernafasan dan otot individu, contohnya adalah denyut jantung, curah jantung, metabolisme otot. Gen ACTN3 dapat mempengaruhi komponen otot sehingga berefek secara langsung terhadap VO2max. Polimorfisme gen ACTN3 mempengaruhi kapasitas VO2max karena terjadi perubahan proses metabolisme otot (Egorova et al., 2014).2) Jenis KelaminVO2max laki-laki lebih tinggi daripada perempuan. Hal ini disebabkan karena konsentrasi hemoglobin dalam darah pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan (Olivia, 2012)3) UmurNilai VO2max mencapai puncak pada usia 18-20 tahun. Nilai ini akan berkurang secara bertahap (1% per tahun) setelah usia 25 tahun. Pada orang yang aktif secara fisik, penurunan terjadi 5% per dekade, sedangkan pada orang dengan gaya hidup sedenter, penurunan VO2max mencapai 10% per dekade (Strijk et al., 2010).4) Komposisi TubuhKomposisi tubuh sangat mempengaruhi kadar VO2max seseorang. Komposisi tubuh biasanya diukur dengan Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai IMT normal untuk orang Indonesia adalah 18,5-24,9 (Thakur et al., 2010; DEPKES RI, 2005).5) Teknik LatihanLatihan fisik dapat meningkatkan nilai VO2max. Namun begitu, VO2max ini tidak terpaku pada nilai tertentu, tetapi dapat berubah sesuai tingkat dan intensitas aktivitas fisik. Latihan fisik yang efektif bersifat endurance (daya tahan) dan meliputi durasi, frekuensi, dan intensitas tertentu, dengan demikian dapat dikatakan bahwa kegiatan dan latar belakang latihan seorang dapat mempengaruhi nilai VO2maxnya (Sharkey, 2013).2. Pengukuran VO2maxVO2max dapat dinilai dengan berbagai teknik, secara langsung ataupun tidak langsung (Jorgi et al., 2011). VO2max dapat diukur secara langsung di dalam laboratorium atau secara tidak langsung dengan diprediksi menggunakan banyak metode (ACSM, 2008). Pengukuran langsung yaitu dengan menggunakan spirometer sirkuit terbuka atau tertutup (untuk mengumpulkan gas metabolik atau gas yang diekspirasikan) selama latihan dengan treadmill dan ergocycle di laboratorium ACSM, 2008). Pengukuran tidak langsung adalah suatu metode pengukuran VO2max melalui metode estimasi (prediction). Pengukuran tidak langsung telah dikembangkan ke berbagai bentuk tes (Nieman, 2011). Ada tiga jenis tes yang umum untuk menilai VO2max, yaitu tes di lapangan (field test), tes dengan kekuatan sub maksimal (sub maximal exercise testing), dan tes dengan kekuatan maksimal (maximal exercise testing) (ACSM, 2008).Pada tes di lapangan (field test), subjek melakukan suatu latihan dengan jarak tertentu atau melakukan latihan menurut waktu yang ditetapkan untuk memprediksi VO2max. Tes ini umumnya menuntut upaya maksimal untuk memperoleh hasil terbaik dalam menentukan kebugaran kardiorespirasi. Metode pengujian meliputi berjalan, berjalan dan berlari, berlari, bersepeda, berenang, dan lain-lain (ACSM, 2008). Pada tes dengan beban kerja submaksimal (submaximal exertion) dapat menggunakan tes langkah (step test) atau tes dengan tahapan tunggal maupun multi-protokol untuk memprediksi kapasitas aerobik maksimal atau VO2max. Variabel tertentu diukur dari test ini (biasanya respon denyut jantung), dari hasil tersebut dapat diestimasi nilai VO2max. Metode pengujian mencakup tes langkah (step test), treadmill, bersepeda, dan lain-lain (ACSM, 2008). Tes dengan beban kerja maksimal (maximal exertion) menggunakan tes olahraga yang berjenjang dan progresif untuk mengukur kelelahan. Dengan demikian, tes ini menggunakan tenaga semaksimal mungkin. Tes ini menetukan nilai VO2max bukan sekedar memprediksi nilai VO2max. Tes ini dilakukan dengan atau tanpa pengumpulan gas metabolik dan dilakukan di laboratorium (ACSM, 2008).Metode field test relatif jauh lebih murah dan mudah untuk dilakukan pada sampel dengan kelompok besar. Peralatan yang dibutuhkan tidak terlalu banyak dan lebih cepat untuk dikerjakan dibandingkan dengan metode ergometer siklus dan uji treadmill karena satu orang mampu meneliti beberapa subjek penelitian dalm satu waktu (Barker et al., 2013; Magutah, 2013).Multi-Stage 20-m Shuttle Run Fitness Test (20mMSFT), atau yang biasa dikenal dengan beep test merupakan tes di lapangan (field test) yang banyak digunakan untuk mengukur kapasitas aerobik dengan memprediksi level konsumsi oksigen maksimal (VO2mas) dan performa (Paradisis, 2014). Sebagai tes yang menuntut ruangan yang terbatas, 20mMSFT dapat dilakukan di dalam ruangan yang terkontrol dari kondisi lingkungan, dan tidak tergantung pada strategi self-pacing. Sebuah tinjauan sistematis baru-baru ini menyimpulkan 20mMSFT merupakan metode field test yang paling dapat diandalkan dan valid untuk memperkirakan kebugaran aerobik seseorang (Barker et al., 2013).Kinerja dari metode 20mMSFT biasanya dinyatakan dalam lap, tingkat (level) atau jarak yang mampu ditempuh (Barker et al., 2013). Pada metode ini, sampel diminta untuk berlari dari satu penanda ke penanda lain yang diberi jarak terpisah sejauh 20 meter dan menyesuaikan dengan bunyi atau irama yang sudah direkam sebelumnya. Sampel diminta untuk mengikuti irama selama mungkin. Tes dihentikan ketika sampel gagal mencapai penanda yang tepat dalam waktu yang telah ditentukan sebanyak dua kali atau tidak lagi bisa mempertahankan kecepatannya. Kemudian peneliti mencatat jumlah lap yang telah ditempuh oleh sampel (Mahar et al., 2006).Meskipun tes tersebut merupakan tes kebugaran dari sistem energi aerobik, ada berbagai faktor lain yang dapat mempengaruhi kinerja dalam tes dan penting untuk dipertimbangkan. Beberapa faktor tersebut diantaranya efisiensi berlari dan teknik berputar atau berbelok, kapasitas anaerobik, motivasi dan dinamika sosial, keterampilan motorik dan kemampuan kognitif (terutama pada anak-anak), perbedaan lingkungan, pakaian, permukaan, pengenalan, petunjuk serta maksud dan konteks pengujian (TPFP, 2011).

Gambar X. Lintasan pada Multi-Stage 20-m Shuttle Run Fitness Test (20mMSFT) (TPFP, 2011)3. Gen ACTN3Protein -actinin merupakan bagian dari protein pengikat aktinin yang berhubungan dengan distrofin. Pada manusia, terdapat dua gen yang mengkode -actinin pada otot rangka yaitu gen ACTN2 yang terdapat pada semua jenis serat otot (tipe lambat dan tipe cepat) dan ACTN3 yang hanya terdapat pada serat otot tipe cepat (Yang et al., 2003). Gen ACTN3 merupakan salah satu gen yang sering diteliti yang berhubungan dengan performa atlet elit (Eynon et al., 2012). Gen ini juga dikenal sebagai gen atlet karena alel X dan R diketahui mempengaruhi kecepatan serta daya tahan atlet elit (Kothari et al., 2011). Gen ACTN3 mengkode protein pengikat -actinin-3, yaitu salah satu komponen utama dari garis Z dalam otot rangka manusia yang bertanggung jawab untuk menghasilkan kecepatan dan kontraksi yang kuat misalnya dalam berlari dan angkat beban (Eynon et al., 2012; Orysiak et al., 2014). Protein -actinin-3 diekspresikan oleh gen ACTN3 yang terletak pada lengan panjang kromosom 11q13.2. -actinin berinteraksi dengan sejumlah protein otot termasuk kunci regulator metabolisme glikogen fosforilase (GPh) (Quinlan, 2010). Sebuah Single Nucleotide Polymorphism (SNP atau polimorfisme nukleotida tunggal) teridentifikasi dalam gen ACTN3 (transisi C-to-T pada nukleotida 1747 pada ekson 16), dimana arginin (R) digantikan dengan kodon stop prematur (X) pada posisi asam amino 577. SNP R577X (rs1815739) menyebabkan terbentuknya dua versi ACTN3 yaitu alel R dan alel X. Alel R merupakan versi fungsional gen, sedangan alel X merupakan perubahan urutan yang menyebabkan produksi dari protein fungsional terhenti (Kothari et al., 2011; Jastrzebski et al., 2014). Perbedaan antara kelompok genotipe (menggunakan alel R dan X) ditentukan dengan menggunakan tiga level (kelompok genotipe RR, RX, dan XX) (Delmonico et al., 2007).

Gambar X. Lokasi Gen ACTN3 (Mayne, 2006)Penelitian terhadap perbandingan frekuensi genotipe dan alel ACTN3 telah dilakukan pada berbagai populasi di seluruh dunia. Pada penelitian yang dilakukan di Asia, prevalensi polimorfisme gen ACTN3 pada populasi Iran menunjukkan angka RR 23,81%, RX 64,76% dan XX 11,24% (Fattahi et al., 2012). Penelitian pada populasi di India Utara memiliki prevalensi RR 22%, RX 61% dan XX 35%. Sedangkan terhadap populasi Jawa, prevalensi polimorfisme gen ACTN3 menunjukkan angka RR 17%, RX 58%, dan XX 25% (Goel et al., 2007).Masing-masing alel menyampaikan kepada host-nya keuntungan tertentu. Sementara alel R tidak muncul untuk meningkatkan kemampuan berlari, alel X meningkatkan kinerja individu dalam kegiatan yang membutuhkan daya tahan yang tinggi (Goel et al., 2007).4. PCR-RFLPPolymerase Chain Reaction (PCR) adalah teknik ilmiah dalam biologi molekuler untuk memperkuat satu atau beberapa salinan dari bagian DNA menjadi beberapa kali lipat, menghasilkan ribuan sampai jutaan salinan urutan DNA tertentu (Joshi et al., 2011). PCR dapat dilakukan dengan menggunakan sumber DNA dari berbagai jaringan dan organisme, termasuk darah perifer, kulit, rambut, air liur, dan mikroba. Hanya dengan jumlah yang sedikit dari DNA yang diperlukan dalam melakukan PCR untuk menghasilkan salinan yang akan dianalisis menggunakan metode laboratorium konvensional. Karena alasan ini, PCR dianggap sebagai tes yang sensitif (Garibyan et al., 2013). Ada tiga langkah utama yang terlibat dalam teknik PCR, dimana setiap siklus memiliki tiga pola temperatur yang berbeda. Pola pertama suhu 94 C (denaturasi), yang kedua adalah 45-55 C (penyelarasan primer spesifik) dan pola yang ketiga adalah 72 C (ekstensi akhir). Amplifikasi untaian asam nukleat spesifik, bahkan munculnya jutaan molekul DNA lainnya dapat dilakukan dengan menggunakan enzim polimerase DNA tahan panas dan primer spesifik. Primer adalah urutan pendek DNA atau RNA (oligonukleotida) yang memulai sintesis DNA untuk untai cetakan DNA. Total durasi reaksi PCR adalah sekitar dua jam, hal ini tergantung pada kondisi tertentu reaksi. (Rodrguez, 2012). PCR membutuhkan beberapa komponen dasar, yaitu (Rahman et al., 2013; NCBI, 2013):a. Template DNA, atau cDNA yang berisi daerah atau situs fragmen DNA yang akan diamplifikasib. Dua primer, yang menentukan awal dan akhir dari daerah yang harus diperkuat.c. Taq polymerase, yang menyalin daerah atau situs yang akan diperkuatd. Nukleotida, unit tunggal dari basa-basa A, T, G dan C yang penting dalam pembentukan blok pada rantai DNA baru.e. Buffer, yang menyediakan lingkungan kimia yang cocok untuk DNA-Polymerase.Prinsip dasar PCR sederhana. Satu molekul DNA digunakan untuk menghasilkan dua salinan molekul DNA, kemudian empat, delapan, dan seterusnya. Penggandaan terus menerus tersebut dilakukan oleh protein tertentu yang dikenal sebagai polimerase, enzim yang mampu berikatan dengan DNA individu membentuk sebuah penghalang untuk membentuk untaian molekul panjang (Joshi et al., 2011).PCR-restriction fragment length polymorphism (PCR-RFLP) merupakan analisis berbasis yang juga dikenal sebagai penggandaan urutan polimorfik yang diperkuat atau Cleaved Amplified Polymorphic Sequence (CAPS) yang merupakan teknik yang populer untuk analisis genetik. Teknik tersebut telah diterapkan untuk mendeteksi variasi intraspesies maupun antarspesies. Keuntungan dari teknik ini adalah tidak memakan biaya yang tinggi serta alat yang canggih. Selain itu, desain analisis PCR-RFLP umumnya mudah dan dapat dicapai dengan menggunakan program yang relatif tersedia (Rasmussen, 2012). Kerugian dari teknik ini yaitu membutuhkan endonuklease yang spesifik dan sulit mengidentifikasi variasi yang tepat dari beberapa SNP yang mempengaruhi daerah pengenalan enzim restriksi yang sama. Selain itu, karena PCR-RFLP terdiri dari beberapa langkah termasuk langkah pemisahan elektroforesis sehingga relatif memakan waktu (Rasmussen, 2012).Genomik DNA diekstraksi dari darah dengan EDTA menggunakan QIAGEN DNA mini kit. Amplifikasi gen ACTN3 menggunakan primer ACTN3-F: 5-CTGTTGCCTGTGGTAAGTGGG-3 untuk primer forward dan ACTN3-R: 5-TGGTCACAGTATGCAGGAGGG-3 untuk primer reverse. Fragmen yang diperkuat dilakukan pemendekan oleh enzim DdeI (Kothari et al., 2011). Pada varian RR akan diperoleh 2 pita (205 bp dan 86 bp), varian XX akan diperoleh 3 pita (86 bp, 97 bp dan 108 bp) dan varian RX akan diperoleh 4 pita (86bp, 97bp, 108bp dan 205bp) (Mills et al., 2001).

Gambar X. Analisis ringkas RFLP Gen ACTN3 (Mayne, 2006).5. Sprint Interval TrainingInterval training merupakan salah satu sistem latihan interval yang dilakukan dengan pengulangan intensitas tinggi diikuti oleh periode istirahat atau aktivitas rendah (Andiana et al., 2011; Gibala et al., 2012). Selama ini latihan interval dengan istirahat aktif dianggap memiliki banyak keuntungan antara lain, menghemat waktu, membakar kalori lebih banyak, meningkatkan kekuatan, kecepatan serta daya tahan (Andiana et al., 2011).Komponen penting dalam latihan ini adalah terdapat perbandingan antara periode aktif dan periode istirahat (work : rest ratio) untuk meningkatkan kemampuan aerobik, periode aktif dengan jangka waktu normal 1-3 menit dengan intensitas tinggi yang diikuti periode pemulihan kurang lebih 1-3 menit. Interval training mampu meningkatkan kapasitas aerobik dengan perbandingan work : rest ratio 1:1 atau 1:2. Selama periode istirahat, atlet dapat menghentikan latihan atau menurunkan intensitas latihan sampai dengan maksimal 60% dari denyut jantung sebelum melakukan pengulangan selanjutnya (Birch et al., 2005).High-intensity Interval Training (HIIT) merupakan salah satu bentuk dari latihan interval. Periode latihan intensif dapat berkisar 5 detik sampai 8 menit, dan dilakukan 80% sampai 95% dari perkiraan denyut jantung maksimal seseorang. Periode pemulihan dapat berlangsung sama selama periode latihan dan biasanya dilakukan pada 40% sampai 50% dari perkiraan denyut jantung maksimal seseorang. Latihan ini berlanjut dilakukan secara bergantian dengan total periode selama 20 sampai 60 menit (ACSM, 2012).Bentuk latihan HIIT dapat berupa latihan lari (sprint interval atau interval running) atau renang (interval swimming) dapat pula dilakukan dalam program weight training maupun circuit training (Subarjah, 2012).Ketika mengembangkan program HIIT, ada beberapa komponen yang harus dipertimbangkan, yaitu (ACSM, 2012) :a) Durasi, dapat diterjemahkan dengan jarak lari yang ditempuh (Rahim, 2011).b) Intensitas, yaitu beban latihan dengan waktu (tempo) untuk jarak tersebut (Rahim, 2011).c) Frekuensi interval kerjad) Lama interval pemulihan, masa istirahat diantara untuk tiap kali ulangan adalah 45 detik dan untuk setiap setnya adalah 3-5 menit (Rahim, 2011).Dengan pelatihan interval ini memungkinkan meningkatnya intensitas latihan tanpa mengalami kelelahan, karena adanya istirahat atau pemulihan (Sutisna, 2013).6. Hubungan Polimorfisme Gen ACTN3 terhadap Perubahan VO2maxACTN3 merupakan protein struktural yang terdapat pada semua jenis serat otot tipe IIA (serat glikolisis kontraksi oksidatif cepat) dan IIX (serat kontraksi glikolisis cepat) yang bertanggung jawab untuk membentuk kekuatan yang besar dengan otot-otot dalam upaya jangka pendek, misalkan pada lari jarak dekat (Holdys et al., 2010). Penelitian yang dilakukan MacArthur et al., (2007) menyebutkan bahwa polimorfisme R577X menyebabkan perpindahan jalur metabolisme otot dari anaerobik ke arah jalur aerobik pada serat tipe IIX. Perpindahan jalur tersebut dibuktikan dengan adanya peningkatan jumlah kadar dua enzim marker aerobik, yaitu NADH-TR (NADH-Tetrazolium Reductase) dan succinate dehydrogenase pada polimorfisme gen ACTN3 dengan genotip XX dibandingkan tipe RR. Jalur aerobik memiliki tingkat konsumsi oksigen yang lebih tinggi dibandingkan jalur anaerobik. Hal ini menyebabkan otot membutuhkan suplai oksigen yang lebih banyak sebagai sumber metabolisme. Sebaliknya, polimorfisme gen ACTN3 genotip RR memiliki kadar enzim aerobik yang rendah, sehingga membutuhkan oksigen yang lebih sedikit sebagai sumber energi kontraksi. (Hoeger et al., 2011; MacArthur et al., 2007).Pada penelitian lain yang dilakukan oleh Pimenta et al. (2013) pada atlet sepak bola di Brazil, hasil uji dari kecepatan, kekuatan, serta daya tahan dibandingkan dengan polimorfisme gen ACTN3. Hasil dari penelitian tersebut menyatakan bahwa individu dengan polimorfisme gen ACTN3 tipe RR memiliki potensi kecepatan dan kekuatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu dengan polimorfisme gen ACTN3 tipe RX dan XX. Namun, pada individu dengan polimorfisme gen ACTN3 tipe XX memiliki kapasitas aerobik tertinggi (Pimenta et al., 2013).Fakta bahwa nilai VO2max yang lebih tinggi tercatat pada individu dengan genotipe XX, yang ditandai dengan kurangnya ACTN3 di serat otot. Terdapat konsistensi dengan mekanisme pengembangan kebugaran fisik terhadap jenis aerobik dalam kurangnya predisposisi untuk menghasilkan tenaga yang besar oleh otot (Holdys et al., 2010).Sprint interval training (SIT) merupakan salah satu bentuk dari High-Intensity Interval Training (HIIT) yang mampu meningkatkan VO2max dan fungsi jantung secara konsisten apabila dilakukan secara teratur dan mempergunakan otot-otot besar (Setiawati, 2014).B. Kerangka TeoriC. Kerangka KonsepD. HipotesisTerdapat pengaruh polimorfisme gen ACTN3 terhadap perubahan VO2max pasca intervensi Sprint Interval Training (SIT) pada mahasiswa UKM Olahraga Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto.