bab ii landasan teori ii.1 perpajakan ii.1.1 definisi pajakthesis.binus.ac.id/asli/bab2/2011-2-00047...
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Perpajakan
II.1.1 Definisi Pajak
Definisi atau pengertian pajak menurut Dr. Soeparman Soemahamidjaja
dalam buku “Perpajakan Indonesia” karangan Waluyo (2008, h3),
“Pajak adalah iuran wajib berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa
berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang
dan jasa-jasa kolektif dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Menurut Prof. Dr. Rochmat Soemitro,SH. dalam buku “Perpajakan”
karangan Mardiasmo (2006, h1) dan dalam buku “Perpajakan Indonesia” karangan
Waluyo (2008, h3),
“Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang
dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang
langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang
melekat pada pengertian pajak adalah :
a. Pajak dipungut dan diatur pelaksanaannya berdasarkan undang-undang serta
sifatnya dapat dipaksakan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan
(kontraprestasi) individual oleh pemerintah.
c. Pajak digunakan pemerintah untuk mendanai segala jenis biaya dan
pengeluaran – pengeluaran yang menunjang jalannya roda pembangunan dan
pemerintahan.
d. Pajak selain memiliki tujuan budgetair, juga bertujuan mengatur.
II.1.2 Jenis Pajak
Dalam buku “Perpajakan” (2010, h5), Mardiasmo mengelompokkan Jenis
Pajak menurut :
1. Golongannya
Berdasarkan golongannya, jenis pajak yang berlaku di Indonesia terdiri
dari :
a. Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib
Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain.
Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai.
2. Sifatnya
Berdasarkan sifatnya, jenis pajak yang berlaku di Indonesia dibedakan
menjadi:
a. Pajak Subjektif, yaitu pajak yang memperhatikan keadaan diri Wajib
Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak Objektif, yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan
Nilai.
3. Lembaga Pemungutnya
Secara umum, pajak yang berlaku di Indonesia dibedakan menjadi :
a. Pajak Pusat
Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat dan
digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh Pajak
Pusat yaitu :
1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan
kemampuan ekonomis yang berasal baik dari Indonesia maupun
dari luar Indonesia yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dengan demikian maka penghasilan itu dapat berupa keuntungan
usaha, gaji, honorarium, hadiah, dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas
konsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak di dalam Daerah
Pabean. Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang
mengkonsumsi Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan
Pajak Pertambahan Nilai. Pada dasarnya, setiap barang dan jasa
adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak, kecuali ditentukan
lain oleh Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai.
Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah tunggal yaitu sebesar 10%.
Dalam hal ekspor, tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 0%.
Yang dimaksud dengan Pabean adalah wilayah Republik Indonesia
yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara diatasnya.
3. Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)
Selain dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, atas barang-barang kena
pajak tertentu yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM.
Tarif Pajak Penjualan atas Barang Mewah ditetapkan paling
rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus
persen).
4. Bea Materai
Bea Materai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen, seperti
surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat
berharga, dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas
jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan.
b. Pajak Daerah.
Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah baik
di tingkat Propinsi maupun Kabupaten atau Kota, untuk membiayai
rumah tangga daerah. Contoh Pajak Daerah yaitu:
1. Pajak Bumi dan Bangunan
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau
pemanfaatan tanah dan/atau bangunan.
2. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan.
3. Pajak Kendaraan Bermotor
PKB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan dan/atau
pemanfaatan kendaraan bermotor.
4. Pajak Reklame, dll.
II.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Mardiasmo (2006, h7) mengemukakan beberapa Sistem Pemungutan Pajak,
yaitu :
a. Official Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi wewenang kepada
pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang
Wajib Pajak. Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
fiskus.
2) Wajib pajak bersifat pasif.
3) Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
b. Self Assesment System
Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada wajib pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya:
1) Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada wajib
pajak sendiri,
2) Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan
sendiri pajak yang terutang,
3) Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
c. With Holding System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang
kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh
Wajib Pajak. Penunjukkan pihak ketiga ini bisa dilakukan dengan
Undang - Undang Perpajakan, Keputusan Presiden, dan peraturan lainnya
untuk memotong dan memungut pajak, menyetorkan, dan
mempertanggung-jawabkan melalui sarana perpajakan yang tersedia.
Ciri-cirinya: wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang
ada pada pihak ketiga yaitu pihak lain selain fiskus dan wajib pajak.
“Sistem Pemungutan Pajak yang diterapkan di Indonesia sejak awal Tahun
1984 yaitu Self Assesment System. Sejak diberlakukannya Self Assesment System
dalam Perpajakan Indonesia, Wajib Pajak diberi kepercayaan penuh untuk
menghitung, menyetor dan melaporkan sendiri Pajak – Pajak yang menjadi
kewajibannya”. Namun masih banyak Wajib Pajak yang belum memenuhi
Kewajiban Perpajakannya menurut Hanantha Bwoga (2005, h1).
Agar pemungutan pajak tidak menimbulkan hambatan atau perlawanan,
menurut Mardiasmo (2006, h2), maka pemungutan pajak harus memenuhi syarat
sebagai berikut:
1. Pemungutan Pajak harus adil (Syarat Keadilan)
Sesuai dengan tujuan hukum, yakni mencapai keadilan, Undang -
Undang dan pelaksanaan pemungutan harus adil. Adil dalam perundang-
undangan diantaranya mengenakan pajak secara umum dan merata.
Sedang adil dalam pelaksanaannya yakni dengan memberikan hak bagi
wajib pajak untuk mengajukan keberatan, penundaan dalam pembayaran,
dan mengajukan banding kepada Majelis Pertimbangan Pajak.
Pemungutan pajak tidak dapat terlepas dari aspek keadilan. Dengan
ditanamkannya keadilan maka dapat menciptakan keseimbangan sosial
yang sangat penting untuk kesejahteraan masyarakat.
2. Pemungutan Pajak harus berdasarkan Undang - Undang (Syarat Yuridis)
Di Indonesia, pajak diatur dalam UUD 1945 pasal 23 ayat (2). Hal
ini memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan, baik bagi
Negara maupun bagi warganya. Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan yang diterapkan di Indonesia diatur oleh Undang – Undang
No. 6 Tahun 1983.
Undang – Undang tersebut telah mengalami beberapa kali
penyempurnaan, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang – Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 2008.
3. Tidak mengganggu perekonomian (Syarat Ekonomi)
Pemungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi
maupun perdagangan, sehingga tidak menimbulkan kelesuan
perekonomian masyarakat.
4. Pemungutan Pajak harus efisien (Syarat Finansial)
Sesuai fungsi budgeter, biaya pemungutan pajak harus dapat
ditekan sehingga lebih rendah dari hasil pemungutannya.
5. Sistem Pemungutan Pajak harus sederhana
Sistem pemungutan yang sederhana akan memudahkan masyarakat
dalam memenuhi kewajiban perpajakannya.
II.1.4 Tarif Pajak
Penetapan Tarif Pajak harus didasarkan pada asas keadilan. Untuk
penghitungan pajak yang terutang digunakan Tarif Pajak. Yang dimaksud dengan
Tarif Pajak adalah tarif yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak terutang
(pajak yang harus dibayar). Besarnya Tarif Pajak dapat dinyatakan dalam
persentase. Menurut Erly Suandy (2005, h71) ada 4 macam tarif pajak:
a. Tarif Tetap
Tarif pajak yang jumlah nominalnya tetap walaupun Dasar
Pengenaan Pajaknya berbeda/berubah, sehingga jumlah pajak yang
terutang selalu tetap.
Contoh: Bea Materai untuk cek dan bilyet giro, berapapun
nominalnya dikenakan satu bea saja yakni Rp 6.000,-
b. Tarif Sebanding / Proporsional
Tarif pajak yang persentasenya tetap, tetapi jumlah pajak yang
terutang akan berubah secara sebanding / proporsional dengan Dasar
Pengenaan Pajaknya. Contoh: untuk penyerahan Barang Kena Pajak
didalam daerah pabean akan dikenakan PPN sebesar 10%.
c. Tarif Progresif
Tarif pajak yang presentasenya semakin besar jika Dasar Pengenaan
Pajaknya meningkat. Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai
dengan perubahan tarif dan perubahan dasar pengenaan pajaknya.
Contoh: Undang-Undang PPh pasal 36 tahun 2008 Pasal 17 ayat (1).
Menurut kenaikan presentase tarifnya, Tarif Progresif dibagi:
1. Tarif Progresif: Kenaikan presentase semakin besar.
2. Tarif Progresif Tetap: Kenaikan presentase tetap.
3. Tarif Progresif Degresif: Kenaikan presentase semakin kecil.
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Dalam Negeri adalah:
Tabel II.1
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Bagi Wajib Pajak Orang Dalam Negeri
Sumber: UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (1)
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Sampai dengan Rp.50juta 5 %
Rp.50juta sampai dengan Rp 250juta 15%
Rp 250juta sampai dengan Rp 500juta 25%
Diatas Rp 500juta 30%
Lapisan Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri adalah:
Tabel II.2
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Untuk Wajib Pajak Badan Dalam Negeri – BUT
Lapisan Penghasilan
Kena Pajak
Tarif Pajak
Tahun 2009
Tarif Pajak
Tahun 2010
Tarif Tunggal 28% 25%
Sumber: UU PPh No. 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat (2) dan (2a)
d. Tarif Degresif : Tarif pajak yang persentasenya semakin kecil jika Dasar
Pengenaan Pajaknya meningkat.
Jumlah pajak yang terutang akan berubah sesuai dengan perubahan tarif dan
perubahan Dasar Pengenaan Pajaknya.
II.1.5 Timbul dan Hapusnya Utang Pajak
Menurut Mardiasmo dalam buku “Perpajakan”, ada dua ajaran yang mengatur
timbulnya utang pajak (2006, h8):
a. Ajaran Formil
Utang pajak timbul karena dikeluarkannya Surat Ketetapan Pajak oleh
fiskus. Ajaran ini diterapkan pada Official Assesment System.
b. Ajaran Materiil
Utang pajak timbul karena berlakunya Undang - Undang. Seseorang
dikenai pajak karena suatu keadaan dan perbuatan. Ajaran ini diterapkan
pada Self Assesment System.
Hapusnya utang pajak dapat disebabkan beberapa hal:
1) Pembayaran
2) Kompensasi
3) Daluwarsa
4) Pembebasan dan penghapusan
II.2 Pajak Pertambahan Nilai
II.2.1 Definisi – Definisi terkait Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Penjelasan atas UU No. 42 Tahun 2009, “Pajak Pertambahan Nilai
adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah Pabean yang dikenakan
secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi.”
Definisi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menurut Djoko Muljono yaitu
“Pajak penjualan yang dipungut atas dasar nilai tambah yang timbul pada setiap
transaksi” (2008, h1).
Dalam bahasa Inggris, Pajak Pertambahan Nilai disebut Value Added Tax
(VAT) atau Goods and Services Tax (GST). Pajak Pertambahan Nilai termasuk
jenis pajak tidak langsung, maksudnya pajak tersebut disetor oleh pihak lain
(pedagang) yang bukan penanggung pajak atau dengan kata lain, penanggung
pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung pajak yang ia tanggung.
Menurut Waluyo (2009, h2) Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan
atas Barang Mewah merupakan Pajak yang dikenakan atas konsumsi di dalam
negeri (di dalam Daerah Pabean), baik konsumsi barang maupun konsumsi jasa.
Berdasarkan definisi – definisi yang dipaparkan diatas, dapat disimpulkan
bahwa barang yang tidak dikonsumsi di dalam Daerah Pabean (diekspor)
dikenakan pajak dengan tarif 0 % (nol persen). Sebaliknya, atas impor barang
dikenakan pajak yang sama dengan produksi barang dalam negeri. Sesuai dengan
pertimbangan keadaan ekonomi, sosial dan budaya, tidak semua barang dan jasa
dikenakan pajak.
Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan
Nilai ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha
Kena Pajak yang disingkat PKP. Yang dimaksud dengan Pengusaha Kena Pajak
menurut Undang - Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 1 angka 15 yaitu “Pengusaha
yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena
Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.”
Penetapan Wajib Pajak untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
diatur dalam Undang - Undang No. 28 Tahun 2007 Pasal 2 angka 2 yang
menyatakan, “Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak
berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya,
wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat
kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak”.
Dalam penghitungan Pajak Pertambahan Nilai yang harus disetor oleh
Pengusaha Kena Pajak, dikenal istilah Pajak Keluaran dan Pajak Masukan.
Menurut UU No. 8 Tahun 1983 yang sebagaimana telah diubah terakhir
dengan UU No. 42 Tahun 2009, “Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai
yang dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak pada waktu pembelian Barang Kena
Pajak, penerimaan Jasa Kena Pajak, atau impor Barang Kena Pajak. Pajak
Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut oleh Pengusaha Kena
Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak”.
Menurut UU No. 42 Tahun 2009,“Pajak Masukan adalah Pajak Pertambahan
Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak karena perolehan
Barang Kena Pajak dan/atau perolehan Jasa Kena Pajak dan/atau pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean dan/atau
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan/atau impor Barang
Kena Pajak. Pajak Keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai terutang yang wajib
dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena
Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, ekspor
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau ekspor Jasa Kena Pajak”.
II.2.2 Dasar Hukum
Undang – Undang yang mengatur ketentuan penerapan Pajak Pertambahan
Nilai di Indonesia yaitu UU No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Yang telah mengalami
beberapa perubahan dengan UU No. 11 Tahun 1994 dan UU No. 18 Tahun 2000.
Dasar hukum terbaru yang digunakan untuk Penerapan Pajak Pertambahan
Nilai di Indonesia yaitu UUNo. 42 Tahun 2009 Tentang Perubahan ketiga atas
Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
II.2.3 Karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
Karakteristik yang dimiliki oleh Pajak Pertambahan Nilai menurut Waluyo
(2009, h4) dan Mardiasmo (2006, h253) yaitu :
a. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Tidak Langsung
Karakter ini memberikan suatu konsekuensi yuridis bahwa antara pemikul
beban pajak dengan penanggung jawab atas pembayaran pajak ke Kas Negara
berada pada pihak yang berbeda. Pemikul beban pajak ini secara nyata
berkedudukan sebagai pembeli Barang Kena Pajak atau Penerima Jasa Kena
Pajak. Oleh karena itu apabila terjadi penyimpangan pemungutan Pajak
Pertambahan Nilai, pihak yang akan dimintai pertanggung jawabannya oleh
administrator pajak yaitu Pengusaha Kena Pajak yang menjadi Penjual Barang
Kena Pajak.
Sebagai Pajak Tidak Langsung, pengertian Pajak Pertambahan Nilai
dapat dirumuskan berdasarkan dua sudut pandang sebagai berikut :
1) Sudut pandang ekonomi dimana beban pajak dialihkan kepada pihak lain
yaitu pihak yang akan mengkonsumsi barang atau jasa yang menjadi objek
pajak.
2) Sudut pandang yuridis dimana tanggung jawab pembayaran pajak kepada
Kas Negara tidak berada ditangan pihak yang memikul beban pajak. Sudut
pandang secara yuridis ini membawa konsekuensi filosofis bahwa dalam
Pajak Tidak Langsung apabila pembeli atau penerima jasa telah membayar
pajak yang terutang kepada penjual atau pengusaha jasa, pada hakikatnya
sama dengan telah membayar pajak tersebut ke Kas Negara.
Dalam Jurnal Perpajakan Indonesia, Volume 1, Nomor 3 Bulan
Oktober, Untung Sukardji menyatakan bahwa “sudah banyak pihak yang
melupakan atau tidak peduli lagi terhadap legal karakter Pajak Pertambahan
Nilai sebagai Pajak Tidak Langsung. Supaya supremasi hukum dapat
ditegakkan dan dijunjung tinggi, maka Pajak Pertambahan Nilai sebagai Pajak
Tidak Langsung harus dipahami melalui nuansa yuridis, bukan nuansa
ekonomis”(2001, h37). Sehingga bila suatu saat terjadi penyimpangan
pemungutan Pajak Pertambahan Nilai, dengan pemahaman ini maka pihak
fiskus tidak dapat bertindak sewenang – wenang kepada pihak pembeli atau
penerima jasa.
b. Pajak Pertambahan Nilai merupakan Pajak Objektif
Yang dimaksud dengan Pajak Objektif adalah suatu jenis pajak yang
pada saat timbulnya kewajiban pajak ditentukan oleh faktor objektif, yaitu
adanya taatbestand. Adapun yang dimaksud dengan taatbestand adalah
keadaan, peristiwa atau perbuatan hukum yang dapat dikenakan pajak yang
juga disebut dengan nama Objek Pajak. Sebagai Pajak Objektif, timbulnya
kewajiban untuk membayar Pajak Pertambahan Nilai ditentukan oleh adanya
Objek Pajak. Kondisi Subjektif Subjek Pajak tidak menentukan pengenaan
Pajak Pertambahan Nilai. Pajak Pertambahan Nilai tidak membedakan anatar
konsumen yang berupa orang pribadi maupun badan, berpenghasilan tinggi
maupun rendah. Sepanjang mereka mengkonsumsi barang atau jasa yang
menjadi Objek Pajak maka mereka diperlakukan sama.
c. Multi Stage Levy Tax
Multi Stage Levy Tax merupakan karakteristik Pajak Pertambahan Nilai
yang dikenakan pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
Setiap penyerahan barang yang menjadi Objek Pajak Pertambahan Nilai
mulai dari tingkat pabrikan (Manufacture) kemudian ditingkat pedagang besar
(wholesaler) dalam berbagai bentuk ataupun nama, sampai dengan tingkat
pedagang eceran (retailer) dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
d. Non – Kumulatif
Yang dimaksud dengan non – kumulatif disini menjelaskan bahwa
mekanisme pemungutan Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan pada nilai
tambah dari Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak.
Pajak Pertambahan Nilai tidak bersifat kumulatif meskipun memiliki
karakteristik Multy Stage Levy Tax karena Pajak Pertambahan Nilai mengenal
adanya mekanisme pengkreditan Pajak Masukan. Oleh karena itu, Pajak
Pertambahan Nilai yang dibayar bukan merupakan unsur harga pokok barang
atau jasa.
e. Single Tariff ( Tarif Tunggal )
Pajak Pertambahan Nilai di Indonesia hanya menerapkan satu jenis tarif
yaitu 10% (sepuluh persen) untuk penyerahan BKP dalam negeri dan 0% (nol
persen) untuk ekspor BKP.
f. PPN Terutang yang akan dibayarkan kepada Kas Negara dihitung
menggunakan Indirect Subtraction Method/Credit Method/Invoice Method.
Yaitu dimana penghitungan Pajak Pertambahan Nilai Terutang
didasarkan pada nilai uang dari sebuah transaksi yang telah diakui yang tertera
pada Faktur Penjualan maupun Faktur Pembelian.
g. Dikenakan atas Konsumsi Dalam Negeri
Pajak Pertambahan Nilai hanya dikenakan atas Barang atau Jasa Kena
Pajak yang dikonsumsi di dalam negeri, termasuk Barang Kena Pajak yang
diimpor dari luar negeri. Tetapi untuk ekspor Barang Kena Pajak tidak
dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Prinsip ini menggunakan prinsip tempat
tujuan (destination principle) yaitu pajak dikenakan di tempat barang atau jasa
akan dikonsumsi.
h. Pajak Pertambahan Nilai bersifat Netral
Netralitas ini dapat dibentuk karena adanya 2 (dua) faktor, yaitu :
1. PPN dikenakan atas konsumsi barang atau jasa.
2. PPN dipungut menggunakan prinsip tempat tujuan.
II.2.4 Tarif Pajak Pertambahan Nilai
Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai,
yaitu sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas ekspor
Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen). Sesuai Peraturan Pemerintah, Tarif
Pajak Pertambahan Nilai dapat diubah menjadi serendah – rendahnya 5% (lima
persen) dan setinggi – tingginya 15% (lima belas persen). Hal tersebut diatur
dalam Undang – Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 7.
Menurut Undang – Undang No 18 Tahun 2000 Pasal 9 ayat (1) yang
kemudian disisipkan pada Pasal 8A ayat (1) Undang – Undang No. 42 Tahun
2009, cara menghitung Pajak Pertambahan Nilai terutang adalah dengan
mengalikan Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu jumlah Harga Jual, Penggantian,
Nilai Impor, Nilai Ekspor atau Nilai Lain yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dengan Tarif Pajak.
II.2.5 Subjek Pajak Pertambahan Nilai
Subjek Pajak Pertambahan Nilai menurut Untung Sukardji (2007, h65)
disebut juga Pengusaha Kena Pajak, yaitu pengusaha yang :
a. Melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
yang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
b. Mengekspor BKP yang dapat dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
c. Menyerahkan aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk diperjual
belikan.
d. Melakukan bentuk kerjasama operasi yang apabila menyerahkan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
Sedangkan Pengusaha yang Bukan Pengusaha Kena Pajak menurut
Mardiamo (2006, h258), yaitu :
a. Pengusaha Kecil yaitu pengusaha yang selama satu tahun buku
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak
dengan jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan bruto tidak lebih dari
Rp. 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
b. Pengusaha yang semata – mata menyerahkan barang dan/atau jasa yang
tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai.
II.2.6 Objek dan Non Objek Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Undang – Undang No. 42 Tahun 2009 Pasal 4 ayat (1), Pajak
Pertambahan Nilai dikenakan atas:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
b. Impor Barang Kena Pajak;
c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan
oleh Pengusaha;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah
Pabean di dalam Daerah Pabean;
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah
Pabean;
f. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak;
atau
h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Disamping dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, untuk Penyerahan Barang
Kena Pajak yang tergolong mewah, yang dilakukan oleh Pengusaha yang
menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau
pekerjaannya dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah, dikenakan
pula Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan hanya 1 (satu) kali pada
waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh Pengusaha
yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong
mewah.
Yang dimaksud dengan Penyerahan Barang Kena Pajak menurut Undang –
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat (1), adalah:
a. Penyerahan hak atas Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian;
b. Pengalihan Barang Kena Pajak karena suatu perjanjian sewa beli dan/atau
perjanjian sewa guna usaha (leasing);
c. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada pedagang perantara atau melalui
juru lelang;
d. Pemakaian sendiri dan/atau pemberian cuma-cuma atas Barang Kena
Pajak;
e. Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang menurut
tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat
pembubaran perusahaan;
f. Penyerahan Barang Kena Pajak dari Pusat ke Cabang atau sebaliknya
dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak antar Cabang;
g. Penyerahan Barang Kena Pajak secara konsinyasi; dan
h. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka
perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang
penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada
pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak.
Yang tidak termasuk dalam pengertian penyerahan Barang Kena Pajak
menurut UU Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 1A ayat (2), adalah:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak kepada makelar sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang-undang Hukum Dagang;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak untuk jaminan utang-piutang;
c. Penyerahan Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam Undang –
Undang ini dalam hal Pengusaha Kena Pajak melakukan pemusatan
tempat pajak terutang;
d. Pengalihan Barang Kena Pajak dalam rangka penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha dengan syarat pihak
yang melakukan pengalihan dan yang menerima pengalihan adalah
Pengusaha Kena Pajak; dan
e. Barang Kena Pajak berupa aktiva yang menurut tujuan semula tidak
untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran
perusahaan, dan yang Pajak Masukan atas perolehannya tidak dapat
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Undang – Undang Pajak
Pertambahan Nilai.
Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang –
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat (2) dan
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000, adalah barang
tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut:
a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung
dari sumbernya;
b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan,
warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang
dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman
yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering;
d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.
Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai menurut Undang –
Undang Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A ayat (3), adalah jasa
tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
a. Jasa pelayanan kesehatan medis;
b. Jasa pelayanan sosial;
c. Jasa pengiriman surat dengan perangko;
d. Jasa keuangan;
e. Jasa asuransi;
f. Jasa keagamaan;
g. Jasa pendidikan;
h. Jasa kesenian dan hiburan;
i. Jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan;
j. Jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam
negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan
udara luar negeri;
k. Jasa tenaga kerja;
l. Jasa perhotelan;
m. Jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan
pemerintahan secara umum;
n. Jasa penyediaan tempat parkir;
o. Jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam;
p. Jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan
q. Jasa boga atau catering.
II.2.7 Dasar Pengenaan Pajak
Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009
Pasal 8A ayat (1), yang merupakan Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga
Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang dipakai sebagai
dasar untuk menghitung pajak yang terutang.
Harga Jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak, tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-undang ini dan
potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.
Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau seharusnya diminta oleh pengusaha karena penyerahan Jasa Kena Pajak,
ekspor Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, tetapi
tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut menurut Undang-Undang
ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak, atau nilai berupa
uang yang dibayar atau seharusnya dibayar oleh Penerima Jasa karena
pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan/atau oleh penerima manfaat Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud karena pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean.
Nilai Impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea
masuk ditambah pungutan berdasarkan ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai kepabeanan dan cukai untuk impor Barang
Kena Pajak, tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas
Barang Mewah yang dipungut menurut Undang-Undang ini.
Nilai Ekspor ialah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta
atau yang seharusnya diminta oleh eksportir. Nilai Ekspor dapat diketahui dari
dokumen ekspor, misalnya harga yang tercantum dalm Pemberitahuan Ekspor
Barang (PEB).
II.3 Ketentuan – Ketentuan Terkait Penerapan dan Pelaporan Pajak Pertambahan
Nilai
II.3.1 Ketentuan Mengenai Pajak Terutang
II.3.1.1 Saat dan Tempat Pajak Terutang
Terutangnya Pajak menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai
No. 42 Tahun 2009 Pasal 11 ayat 1 yaitu terjadi pada saat :
1. Penyerahan Barang Kena Pajak
2. Impor Barang Kena Pajak
3. Penyerahan Jasa Kena Pajak
4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean
5. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean
6. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
7. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
8. Ekspor Jasa Kena Pajak.
Tempat terutang Pajak menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan
Nilai No. 42 Tahun 2009 Pasal 12 yaitu :
1. Tempat tinggal atau tempat kedudukan;
2. Tempat kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain selain tempat tinggal atau
tempat kedudukan;
3. Tempat kegiatan usaha dilakukan.
II.3.1.2 Pajak Terutang yang tidak dipungut
Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009
Pasal 16b ayat (1), Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau
dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun
selamanya, untuk:
a. Kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah
Pabean;
b. Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena
Pajak tertentu;
c. Impor Barang Kena Pajak tertentu;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar
Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan
e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di
dalam Daerah Pabean.
II.3.2 Pengkreditan Pajak Masukan
II.3.2.1 Pajak Masukan yang dapat dikreditkan
Menurut Waluyo, “Pajak yang telah dibayar oleh Pengusaha Kena Pajak
pada waktu perolehan atau impor Barang Kena Pajak atau penerimaan Jasa
Kena Pajak dapat dikreditkan dengan Pajak Keluaran yang dipungut Pengusaha
Kena Pajak pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak.
Pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran tersebut harus dilakukan
dalam Masa Pajak yang sama.” (2009, h83)
Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan atas
perolehan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan
langsung dengan kegiatan usaha dan memenuhi syarat bahwa pengeluaran
tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang Pajak Pertambahan
Nilai.
II.3.2.2 Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan
Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Tahun 2009
Pasal 9 ayat (8), Pajak Masukan tidak dapat dikreditkan untuk:
a. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum
Pengusaha dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
b. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak
mempunyai hubungan langsung dengan kegiatan usaha;
c. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor berupa sedan dan
station wagon, kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan;
d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha
dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak;
e. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Faktur
Pajaknya tidak memenuhi ketentuan Perundang – Undangan (cacat)
atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib
Pajak pembeli Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak;
f. Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud atau pemanfaatan
Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean yang Faktur Pajaknya tidak
memenuhi ketentuan Perundang – Undangan (cacat);
g. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak;
h. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak
Masukannya tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa
Pajak Pertambahan Nilai, yang ditemukan pada waktu dilakukan
pemeriksaan; dan
i. Perolehan Barang Kena Pajak selain barang modal atau Jasa Kena
Pajak sebelum Pengusaha Kena Pajak berproduksi sebagaimana
dimaksud dalam Undang – Undang ini.
II.3.3 Faktur Pajak
Faktur Pajak yang dimaksud oleh Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.
PER-13/PJ./2010 Pasal 1 angka 2 adalah bukti pungutan Pajak yang dibuat oleh
Pengusaha Kena Pajak atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak.
II.3.3.1 Penerbitan Faktur Pajak
Menurut Undang – Undang Pajak Pertambahan Nilai No. 42 Pasal 9 ayat
(13), Pengusaha Kena Pajak wajib membuat Faktur Pajak untuk setiap:
a. Penyerahan Barang Kena Pajak
b. Penyerahan Jasa Kena Pajak
c. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud
d. Ekspor Jasa Kena Pajak
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-13/PJ./2010 Pasal
1 angka 4, Pengusaha Kena Pajak dapat membuat 1 (satu) satu Faktur Pajak
Gabungan yang meliputi seluruh penyerahan yang dilakukan kepada pembeli
Barang Kena Pajak atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama selama 1
(satu) bulan kalender.
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-159/PJ./2006 Pasal
2 ayat (1) dan (2), Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dalam hal pembayaran
diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan
Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
b. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi
sebelum akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak;
c. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan
pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
d. Pada saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan
sebagian tahap pekerjaan; atau
e. Pada saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan
kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai.
Sedangkan Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat:
a. Pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang Kena
Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak, dalam hal pembayaran baik sebagian
atau seluruhnya terjadi setelah berakhirnya bulan penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak; atau
b. Pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena
Pajak dalam hal pembayaran baik sebagian atau seluruhnya terjadi
sebelum berakhirnya bulan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
penyerahan Jasa Kena Pajak.
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-13/PJ./2010 Pasal
2 ayat (1) dan (2), Faktur Pajak Standar harus dibuat paling lambat:
a. Saat penyerahan BKP dan/atau JKP;
b. Saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran
terjadi sebelum penyerahan BKP dan/atau JKP;
c. Saat penerimaan pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian
tahap pekerjaan; atau
d. Saat Pengusaha Kena Pajak rekanan menyampaikan tagihan kepada
Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai.
Dan Faktur Pajak Gabungan harus dibuat paling lambat pada akhir bulan
penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak.
Menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER-159/PJ./2006 Pasal
1 ayat (3), dalam Faktur Pajak harus mencantumkan keterangan tentang
penyerahan BKP dan/atau JKP yang sedikitnya memuat:
a. Nama, alamat, dan NPWP yang menyerahkan BKP dan/atau JKP;
b. Nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP dan/atau JKP;
c. Jenis barang/jasa, jumlah Harga Jual/Penggantian, dan potongan harga;
d. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut;
e. Pajak Penjualan atas Barang Mewah yang dipungut;
f. Kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak dan
g. Nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.
II.3.3.2 Faktur Pajak Cacat
Faktur Pajak Cacat menurut Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER
– 159/ PJ./2006 Pasal 5 ayat (2) yaitu Faktur Pajak Standar yang tidak diisi
secara lengkap, jelas, benar, dan/atau tidak ditandatangani oleh pejabat/kuasa
yang ditunjuk oleh Pengusaha Kena Pajak untuk menandatanganinya.
Pajak Pertambahan Nilai yang tercantum dalam Faktur Pajak Cacat
merupakan Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan oleh Pengusaha Kena
Pajak. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No. PER –
159/ PJ./2006 Pasal 5 ayat (3).
II.3.4 Kawasan Perdagangan Bebas
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 45/PMK.
03/2009 Pasal 1 angka 1, “Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas
adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang terpisah dari daerah pabean sehingga bebas dari
pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang
mewah, dan cukai”.
Seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang – Undang
Nomor 1 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas Bab V Pasal 9 ayat (1), “Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan
Bebas mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mengembangkan usaha-usaha di
bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi,
maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata
dan bidang-bidang lainnya”.
II.3.5 Wajib Pungut
Yang dimaksud wajib pungut menurut Keputusan Menteri Keuangan
Republik Indonesia No. 563/KMK.03/2003 Pasal 2 ayat (2) yaitu Pemungut
Pajak Pertambahan Nilai yang melakukan pembayaran atas penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak Rekanan
Pemerintah atas nama Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah, wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak
Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang.
Pengusaha Kena Pajak Rekanan Pemerintah menurut Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No. 563/KMK.03/2003 Pasal 1 ayat (2) adalah
Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau
Jasa Kena Pajak kepada Bendaharawan Pemerintah atau Kantor Perbendaharaan
dan Kas Negara.
Pihak – pihak yang ditetapkan sebagai Pemungut Pajak Pertambahan Nilai
menurut Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No.
547/KMK.04/2000 Pasal 1 ayat (1) yaitu Kantor Perbendaharaan dan Kas
Negara, Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten
atau Kota, Pertamina, Kontraktor Kontrak Bagi Hasil dan Kontrak Karya di
bidang Minyak, Gas Bumi, Panas Bumi dan Pertambangan Umum lainnya,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Bank Milik Negara,
Bank Milik Daerah dan Bank Indonesia.
II.3.6 Peraturan Perpajakan Terkait Tenaga Listrik
Listrik, kecuali untuk perumahan dengan daya di atas 6.600 (enam ribu enam
ratus) watt merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis
menurut Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 yang telah dirubah, terakhir
dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 Pasal 1 angka 1 huruf h.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 Pasal 2 ayat (2), listrik
yang merupakan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis, kecuali
untuk perumahan dengan daya di atas 6600 (enam ribu enam ratus) watt
dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.