bab ii landasan teori ii.1 pengantar pajak ii.1.1 ...thesis.binus.ac.id/asli/bab2/2011-1-00022-ak...

32
6 BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1. Pengertian Pajak Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi : Definisi pajak yang terkenal dalam dunia akademik dikemukakan oleh Prof. Rochmat Soemitro dalam buku Mardiasmo (2009:1) yaitu : Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mend ap at jasa timbal b alik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk memb ay ar p engeluar an umum. Dari definisi di atas terlihat bahwa pajak harus berdasarkan Undang-undang yang disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR sehingga pajak merupakan ketentuan berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa semata. Pembayar pajak tidak akan mendapat imbalan langsung. Manfaat dari pajak akan dirasakan oleh seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak. Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Surkadji (2005:9), pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan baik tidak mendapatkan prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah memb iay ai pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

Upload: nguyenthien

Post on 06-Mar-2019

219 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

6

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1 Pengantar Pajak

II.1.1. Pengertian Pajak

Pengertian pajak dapat diterangkan melalui beberapa definisi :

Definisi pajak yang terkenal dalam dunia akademik dikemukakan oleh Prof. Rochmat

Soemitro dalam buku Mardiasmo (2009:1) yaitu :

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang

dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik yang langsung dapat

ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Dari definisi di atas terlihat bahwa pajak harus berdasarkan Undang-undang yang

disusun dan dibahas bersama antara pemerintah dan DPR sehingga pajak merupakan

ketentuan berdasarkan kehendak rakyat, bukan kehendak penguasa semata. Pembayar

pajak tidak akan mendapat imbalan langsung. Manfaat dari pajak akan dirasakan oleh

seluruh masyarakat baik yang membayar pajak maupun yang tidak membayar pajak.

Menurut Prof. Dr. P.J.A. Adriani dalam buku Surkadji (2005:9), pajak adalah

iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib pajak

membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan baik tidak mendapatkan prestasi

kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah membiayai

pengeluaran-pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk

menyelenggarakan pemerintahan.

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

7

Menurut Fieldman yang diterjemahkan oleh Waluyo (2005:8), pajak adalah

prestasi yang dipaksakan sepihak oleh dan terutang kepada penguasa (menurut norma-

norma yang ditetapkannya secara umum), tanpa adanya kontraprestasi, dan semata-mata

digunakan untuk menutup pengeluaran-pengeluaran umum.

Undang-undang perpajakan sendiri tidak memberikan definisi pajak sampai

dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007, definisinya sebagai

berikut :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak

mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Definisi versi Undang-undang Ketetapan Umum Perpajakan (KUP) Undang-

undang Nomor 28 Tahun 2007, ini nyaris hampir sama dengan definisi Rochmat

Soemitro. Kata-kata “iuran” diganti dengan kata “kontribusi” yang nadanya lebih

bersifat positif karena mengandung makna partisipasi masyarakat. Kemudian ada

tambahan “bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat” yang membuat kata pajak lebih

bernilai positif karena untuk tujuan kemakmuran rakyat melalui penyediaan barang dan

jasa publik seperti pertahanan, keamanan, pendidikan, kesehatan, jalan raya, dan fasilitas

umum lainnya.

Menurut Erly, S (2009: 11) Dari definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa pajak

memiliki ciri-ciri:

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

8

1. Pajak peralihan dari orang/badan ke pemerintah.

2. Pajak dipungut berdasarkan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksaannya,

sehingga dapat dipaksakan.

3. Dalam Pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi lansung

secara individual yang diberikan pemerintah.

4. Pajak dipungut Negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila dari

pemasukannya masih terdapat surplus, dipergunakan untuk membiayai investasi

public.

6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari

pemerintah.

7. Pajak dapat dipungut secara lansung atau tidak langsung.

II.1.2. Azas Pengenaan Pajak

Menurut Suhartono (2007: 75) Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh

negara sebagai asas dalam menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak,

khususnya untuk pengenaan pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering

digunakan oleh negara sebagai landasan untuk pengenaan pajak adalah:

Asas domisili, atau disebut juga asas kependudukan berdasarkan asas ini negara

mengenakan pajak atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi

atau badan, apabila untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan

penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan darimana penghasilan

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

9

yang dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi negara yang menganut asas ini,

dalam sistem pengenaan pajak terhadap penduduknya akan menggabungkan asas

domisli (kependudukan) dengan konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang

diperoleh Negara itu maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri.

Asas sumber, negara menganut asas sumber akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan hanya apabila

penghasilan yang dikenakan pajak itu diperoleh atau diterima oleh orang pribadi atau

badan yang bersangkutan dari sumber-sumber dari negara itu.

Dalam asas ini, tidak terjadi persoalan mengenai siapa dan apa status dari orang

atau badan yang memperoleh penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan

pengenaan pajak adalah objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu.

Contoh : Tenaga kerja asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang

didapat di Indonesia akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.

Asas kebangsaan, atau asas nasionalitas dan disebut juga asas kewarganegaraan.

Dalam asas ini, yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan

dari orang atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah

menjadi persoalan darimana penghasilan yang dikenakan pajak berasal. Seperti halnya

dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdsarkan asas nasionalitas ini dilakukan

dengan cara menggabungan asas nasionalitas dengan konsep pengenaan pajak atas luar

negeri.

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

10

Perbedaan di Indonesia yaitu ketentuan-ketentuan yang dimuat dalam Undang-

undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor

10 Tahun 1994, dan perubahan terakhir yaitu Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007

khususnya yang mengatur mengenai subjek pajak dan objek pajak, dapat disimpulkan

bahwa Indonesia menganut asas domisili dan asas sumber sekaligus dalam sistem

perpajakannya.

Menurut Wirawan,B,I (2009:30) Indonesia juga menganut asas kewarganegaraan

yang parsial, yaitu khusus dalam ketentuan yang mengatur mengenai pengecualian

subjek pajak untuk orang pribadi.

II.1.3. Pengelompokan dan Tarif Pajak

Safri, N (2005:23) mendefinisikan Pengelompokkan Pajak terdiri dari Pajak

Tidak Langsung dan Pajak Tidak Langsung :

Pajak Langsung adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa

diserahkan/dialihkan kepada pihak lain.

Contoh : Pajak Penghasilan (PPh).

Pajak Tidak Langsung adalah Pajak yang beban pajaknya dapat

dipindahkan/dialihkan kepada pihak lain.

Contoh : Pajak pertambahan Nilai (PPN).

Sukardji (2006:25), dalam hal ini perbedaan pajak langsung dan pajak tidak

langsung, dapat dibedakan menjadi tiga yaitu :

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

11

a. Penangung jawab pajak (‘taxpayer’), adalah orang yang secara formil yuridis

diharuskan melunasi pajak, bila padanya terdapat faktor/kejadian yang

menimbulkan sebab dikenakan pajak.

b. Pemikul beban pajak adalah orang yang menurut maksud pembuat Undang-

undang harus memikul beban pajak (‘destinaris’).

c. Penanggung pajak adalah orang yang dalam faktanya dalam arti ekonomis

memikul beban pajak.

Jika ketiga unsur tersebut terdapat pada seseorang atau badan, maka pajak

tersebut adalah pajak langsung. Kemudian jika terpisah, artinya unsure-unsur tersebut

terdapat dari lebih satu orang, maka pajak tersebut adalah pajak tidak langsung.

Dengan demikian, secara ekonomi pajak langsung menurut pengertian ekonomi

adalah pajak yang beban pajaknya tidak bisa digeserkan/dialihkan kepada pihak lain dan

pajak tidak langsung adalah pajak yang beban pajaknya dapat dipindahkan/dialihkan

kepada pihak lain.

Wirawan B. Ilyas dan Richard Burton (2009:17) mengemukakan tarif Pajak

Pertambahan Nilai adalah tarif Proporsional adalah tarif pemungutan pajak yang

menggunakan persentase tetap tanpa memerhatikan jumlah yang dijadikan dasar

pengenaan pajak. Dengan demikian, semakin besar jumlah pajak terutang (yang harus

dibayar).

Tarif ini diterapkan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7 ayat 1

tentang tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang menggunakan tarif proporsional

yaitu10% (sepuluh persen), dan menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 7

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

12

ayat 3 tetang tarif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dapat diubah menjadi paling

rendah 5 % (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen) yang perubahan

tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Contoh tarif proporsional : Tuan Alex melakukan suatu transaksi (penjualan) suatu

Barang Kena Pajak (BKP) sebagai berikut :

Jumlah Penjualan Tarif BesarnyaPajak

Rp. 500.000 X 10% Rp. 50.000

Rp. 1.000.000 X 10% Rp. 100.000

Rp. 5.000.000 X 10% Rp. 500.000

Rp. 10.000.000 X 10% Rp. 1.000.000

II.1.4. Fungsi Pajak

Menurut Supramono (2008:12), pajak mempunyai peranan yang sangat penting

dalam kehidupan bernegara, khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan karena

pajak merupakan sumber pendapatan negara untuk membiayai semua pengeluaran

termasuk pengeluaran pembangunan. Berdasarkan hal diatas maka pajak mempunyai

beberapa fungsi, yaitu:

• Fungsi anggaran (budgetair)

Sebagai sumber pendapatan negara, pajak berfungsi untuk membiayai

pengeluaran-pengeluaran negara. Untuk menjalankan tugas-tugas

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

13

rutin negara dan melaksanakan pembangunan, negara membutuhkan

biaya. Biaya ini dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Dewasa ini

pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai,

belanja barang, pemeliharaan, dan lain sebagainya. Untuk

pembiayaan pembangunan, uang dikeluarkan dari tabungan

pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri dikurangi pengeluaran

rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun harus ditingkatkan

sesuai kebutuhan pembiayaan pembangunan yang semakin meningkat

dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.

• Fungsi mengatur (regulerend)

Pemerintah bisa mengatur pertumbuhan ekonomi melalui

kebijaksanaan pajak. Dengan fungsi mengatur, pajak bisa digunakan

sebagai alat untuk mencapai tujuan. Contohnya dalam rangka

menggiring penanaman modal, baik dalam negeri maupun luar negeri,

diberikan berbagai macam fasilitas keringanan pajak. Dalam rangka

melindungi produksi dalam negeri, pemerintah menetapkan bea

masuk yang tinggi untuk produk luar negeri.

• Fungsi stabilitas

Dengan adanya pajak, pemerintah memiliki dana untuk menjalankan

kebijakan yang berhubungan dengan stabilitas harga sehingga inflasi

dapat dikendalikan, Hal ini bisa dilakukan antara lain dengan jalan

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

14

mengatur peredaran uang di masyarakat, pemungutan pajak,

penggunaan pajak yang efektif dan efisien.

• Fungsi redistribusi pendapatan

Pajak yang sudah dipungut oleh negara akan digunakan untuk

membiayai semua kepentingan umum, termasuk juga untuk

membiayai pembangunan sehingga dapat membuka kesempatan

kerja, yang pada akhirnya akan dapat meningkatkan pendapatan

masyarakat

II.1.5. Sistem Pemungutan Pajak

Mardiasmo (2008 :25) mengemukakan “ Sistem Pemungutan Pajak “ adalah

• Self Assesment

Adalah suatu sistem pemungutan pajak dimana wajib pajak menetukan sendiri

jumlah pajak yang terutang.

Contohnya : Dalam sistem ini masyarakat (Wajib Pajak) bersifat pasif dan

menunggu dikeluarkannya suatu ketetapan pajak oleh fiskus. Besarnya utang

pajak seseorang baru dikeluarkan, misalnya Pajak Petambahan Nilai (PPN),

Pajak Penghasilan (PPh), dan Pajak Penjualan atas Barang mewah (PPnBM).

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

15

• Official Assesment System

Adalah suatu sistem pemungutan yang memiliki wewenang kepada pemerintah

(fiskus) untuk menetukan besarknya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Dalam sistem ini pihak fiskus masih cukup dominan untuk menghitung

dan menetapkan utang pajak. Sistem ini umumnya diterapkan terhadap jenis

pajak yang melibatkan masyarakat luas di mana masyarakat selaku subyek pajak

atau wajib pajak dipandang belum mampu disertahi tanggung jawab untuk

menghitung dan menetapkan pajak. Contoh pajak yang masih menggunakan

sistem ini adalah Pajak Bumi dan Bangunan.

• With Holding System

Adalah system pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga

(bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menetukan

besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.

Tanggung jawab ada pada pihak ketiga (hal ini dapat dilihat dalam Pajak

Penghasilan (PPh) dimana pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana

pensiun, dan sebagainya yang kepadanya diserahi tanggung jawab untuk

memotong pajak terhadap penghasilan yang mereka bayarkan).

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

16

II.2. Pengantar Pajak Pertambahan Nilai

II.2.1. Pengertian Pajak Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Mardiasmo (2008:270) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah

Pajak yang dikenakan atas setiap pertambahan nilai dari barang atau jasa dalam

peredarannya dari produsen ke konsumen. Dalam bahasa Inggris, Pajak Pertambahan

Nilai (PPN) disebut Value Added Tax (VAT) atau Goods and Services Tax (GST).

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) termasuk jenis pajak tidak langsung, maksudnya

pajak tersebut disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan penanggung pajak atau

dengan kata lain, penanggung pajak (konsumen akhir) tidak menyetorkan langsung

pajak yang ia tanggung.

Menurut Rusdji (2007:95) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut

berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1983 merupakan pajak yang dikenakan

terhadap pertambahan nilai (Value Added) yang timbul akibat dipakainya faktor-faktor

produksi setiap jalur.

Menurut B.Ilyas dan Suhartono (2007:115), Pajak Pertambahan Nilai adalah

pajak yang dikenakan terhadap nilai tambah suatu barang atau jasa dari kegiatan

ekonomi di suatu Negara, yang didalam Undang-undang disebut daerah pabean.

Mekanisme pemungutan, penyetoran, dan pelaporan Pajak Pertambahan Nilai

(PPN) ada pada pihak pedagang atau produsen sehingga muncul istilah Pengusaha Kena

Pajak yang disingkat PKP. Dalam perhitungan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang

harus disetor oleh Pengusaha kena Pajak (PKP), dikenal istilah pajak keluaran dan pajak

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

17

masukan. Pajak keluaran adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut ketika

Pengusaha Kena Pajak (PKP) menjual produknya, sedangkan pajak masukan adalah

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dibayar ketika Pengusaha Kena Pajak (PKP)

membeli, memperoleh, atau membuat produknya.

Indonesia menganut sistem tarif tunggal untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN),

yaitu sebesar 10% (sepuluh persen) . Dasar hukum utama yang digunakan untuk

penerapan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) di Indonesia adalah Undang-undang Nomor 8

Tahun 1983 berikut revisinya, yaitu Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994 dan

Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000, dan terakhir revisi Undang-undang Nomor 42

Tahun 2009.

Bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang melakukan penjualan eceran di mana

penjualan dilakukan kepada komsumen akhir yang tidak diketahui identitasnya dan

biasanya jumlah transaksinya banyak dengan volume kecil, maka sangat tidak efektif

untuk membuat faktur pajak sesuai ketentuan dalam Pasal 13 ayat (5) UU PPN di mana

faktur pajak paling sedikit harus memuat :

1. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan

Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

2. nama, alamat, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena

Pajak / Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

3. jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian, dan potongan harga

4. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut.

5. kode, nomor seri, dan tanggal pembuatan Faktur Pajak.

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

18

6. nama dan tanda tangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak.

Selama ini, Pengusaha Kena Pajak (PKP) pedagang pengecer ini bisa

menggunakan Faktur Pajak sederhana tanpa harus memuat semua informasi di atas. Nah,

mulai 1 April 2010 nanti tidak ada lagi Faktur Pajak sederhana dan PKP pedagang

eceran terpaksa membuat faktur pajak yang tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 13 ayat

(5) Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Bagi pembeli, hal ini tidak ada

masalah karena pembeli dari pedagang eceran biasanya adalah konsumen akhir dan

bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga tidak perlu untuk mengkreditkan pajak

masukannya

II.2.2. Dasar Hukum Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Pandiangan (2003:86), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang merupakan

pajak tidak langsung di Indonesia yang dikelola Direktorat Jenderal Pajak Departemen

Keuangan, mulai berlaku sejak 1 April 1985. Dasar hukum pengenaannya adalah

berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 Dengan berlakunya Undang-undang

ini, maka Pajak Penjualan Pajak 1951 digantikan oleh Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

atau disebut juga Pajak Konsumsi. sejak diberlakukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

melalui Undang-undang Tahun 1998, telah dilakukan dua kali perubahan yaitu Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1994 dan terakhir Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.

Dalam Ketentuan pasal 1 Undang-undang Nomor 18 tahun 2000 dan versi treakhir yaitu

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang dimaksud :

1. Daerah Pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat,

perairan, dan ruang udara diatasya serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi

Eksklusif dan Landas Kontinen tentang Kepabeanan.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

19

2. Barang adalah barang berwujud, yang menurut sifat atau hukumnya dapat

berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak dan barang tidak berwujud.

3. Barang Kena Pajak (BKP) adalah barang sebagaimana dimaksud dalam angka 2

yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-undang ini.

4. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) adalah setiap kegiatan penyerahan

Barang Kena Pajak

5. Jasa adalah setiap kegiatan pelayanan berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan

hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas atau kemudahan atau hak

tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang

karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk pemesanan.

6. Jasa kena Pajak (JKP) adalah jasa yang dikenakan pajak berdasarkan Undang-

undang ini.

7. Perdagangan adalah kegiatan usaha membeli dan menjual, termasuk kegiatan

menukar barang, tanpa mengubah bentuk dan/atau sifatnya.

8. Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik

yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi

perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik

Negara atau daerah dengan nama dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,

dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi

sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap.

9. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam

kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang,

mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

20

berwujud dari luar Daerah Pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan

jasa di luar Daerah Pabean,

10. Pengusaha Kena Pajak (PKP) adalah pengusaha yang melakukan penyerahan

Barang Kena Pajak (BKP) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak (PKP) yang

dikenai pajak berdasarkan Undang-undang ini.

11. Menghasilkan adalah kegiatan mengolah melalui proses mengubah bentuk atau

sifat suatu barang dari bentuk aslinya menjadi barang baru atau mempunyai daya

guna baru, atau kegiatan mengolah sumber daya alam termasuk menyuruh orang

pribadi atau badan lain melakukan kegiatan tersebut.

12. Dasar Pengenaan Pajak adalah Jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,

Nilai Ekspor, atau nilai lainnya yang dipakai sebagai dasar untuk menghitung

pajak yang terutang.

13. Pembeli adalah Orang Pribadi atau badan yang menerima atau seharusnya

menerima penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau

seharusnya membayar harga Barang Kena Pajak (BKP) tersebut.

14. Faktur Pajak adalah bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha Kena

Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau

penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP).

II.2.3. Subjek pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 dan versi terakhir

Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 3A sebagai berikut:

Pasal 3A ayat (1) :

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

21

Pengusaha yang melakukan penyerahan sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) huruf a, huruf c, huruf f, huruf g dan huruf h, kecuali pengusaha

kecil yang abtasannya ditetapkan oleh menteri keuangan, wajib melaporkan

usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena pajak dan wajib

memungut, menyetor, dan melaporkan Pajak pertambahan Nilai dan Pajak

Penjualan atas Barang Mewah yang terutang

Pasal 3 Ayat (1a) :

Pengusaha kecil sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat memilih untuk

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 3 ayat (2) :

Pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha

Kena Pajak wajib melaksanakan ketenutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 3 ayat (3) :

Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang Kena Pajak Tidak

Berwujud dari luar Daerah pabean sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)

huruf d dan/atau yang memanfaatkan Jasa kena Pajak dari luar Daerah Pabean

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf e wajib memungut,

menyetor, dan mealporkan Pajak Pertambahan Nilai yang terutang yang

perhitungan dan tata caranya diatur dengan Peraturan Menteri keuangan.

II.2.4. Objek Pajak Pertambahan Nilai

Herlina, R (2008:24) mengemukakan “ Objek Pajak Pertambahan Nilai “ adalah:

Objek atau sasaran dalam pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah

“Penyerahan”, yang biasanya dikatakan penjualan, namun tidak semua proses penjualan

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

22

dikenakan pajak. Dalam Pasa 4 Undang-undang No. 42 Tahun 2009 menjelaskan

tentang objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan atas:

a. Penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

Pengusaha.

b. Impor Barang Kena Pajak.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh

pengusaha.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di

dalam Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah

Pabean;

f. Ekspor Barang Kena Pajak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

g. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak.

h. Ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

II.2.5. Barang dan Jasa yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4A :

Ayat (2) yaitu Jenis barang yang tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai adalah

barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut :

a. Barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil lansung dari

sumbernya

b. Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak

c. Makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung,

dan sejenisnya, meliputi makan dan minuman baik yang dikonsumsi di temapt

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

23

maupun tidak, termasuk makan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa

boga atau catering

d. Uang, emas batangan, dan surat berharga.

Ayat (3) yaitu : Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah

jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut :

a. Jasa Pelayanan kesehatan medis.

b. Jasa Pelayanan sosial.

c. Jasa pengiriman surat dengan perangko.

d. Jasa keuangan.

e. Jasa Asuransi.

f. Jasa keagamaan.

g. Jasa pendidikan.

h. Jasa kesenian dan hiburan.

II.2.6. Kelemahan dan Kelebihan Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Mardiasmo (2008:269) Kelemahan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

adalah :

1. Adanya Pajak Berganda.

2. Tidak mendorong ekspor, dan belum dapat mengatasi penyelundupan.

Kelebihan pajak Pertambahan Nilai :

1. Mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda.

2. Netral dalam perdagangan dalam dan luar negeri.

3. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas perolehan Barang Modal dapat diperoleh

kembali pada bulan perolehan, sesuai dengan tipe konsumsi (‘consumption

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

24

type VAT’) dan metode pengurangan tidak langsung (‘indirection subtraction

method’). Dengan demikian sangat membantu likuiditas perusahaan.

4. Ditinjau dari masuk pendapatan negara, Pajak Pertambahan Nilai mendapat

predikat sebagai “ money maker” karena konsumen selaku pemikul beban

pajak tidak merasa

dibebani oleh pajak tersebut sehingga memudahkan fiskus untuk

memungutnya.

II.2.7. Saat dan Tempat Terutang Pajak Pertambahan Nilai

Saat Terutang Pajak Pertambahan Nilai sesuai dengan Undang-undang Nomor 42

Tahun 2009 Pasal 11 ayat (1) yaitu :

a. Penyerahan Barang Kena Pajak.

b. Impor Barang Kena Pajak.

c. Penyerahan Jasa Kena Pajak.

d. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean.

Maksudnya adalah Orang pribadi atau badan memanfaatkan barang Kena Pajak

Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean atau memanfaatkan

Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean, terutangnya pajak

terjadi pada saat orang pribadi atau badan tersebut mulai memanfaatkan Barang Kena

Pajak Tidak Berwujud atau Jasa Kena Pajak tersebut di dalam Daerah Pabean.

e. Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean.

f. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, atau

g. Ekspor Jasa Kena Pajak.

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

25

II.3. Perhitungan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai

II.3.1. Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif

dengan Dasar Pengenaan Pajak.

Dasar Pengenaan Pajak adalah jumlah Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor,

Nilai Ekspor, atau Nilai Lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan

yangdipakai sebagai dasar untuk menghitung pajak yang terutang.

a. Harga Jual

Harga jual adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau

seharusnya diminta oleh penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak

(BKP), tidaktermasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut

menurut Undang-undang dan potongan harga dan potongan harga yang

dicantumkan dalam faktur.

b. Pembeli

Pembeli adalah orang pribadi atau badan yang menerima tau seharusnya

menerima

penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan yang membayar atau seharusnya

membayar harga Barang Kena Pajak (BKP).

c. Penggantian

Penggantian adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta

atau

seharusnya diminta oleh pemberi jasa karena penyerahan Jasa Kena Pajak

(JKP), tidak termasuk pajak yang dipungut menurut Undang-undang dan

potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur Pajak.

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

26

d. Penerima Jasa

Penerima jasa adalah orang pribadi atau badan yang menerima atau

seharusnya

menerima penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP) dan yang membayar atau

seharusya membayar penggantian atas Jasa Kena Pajak (JKP).

e. Nilai Impor

Nilai impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan bea

masuk ditambahkan pungutan lainnya yang dikenakan pajak berdasarkan

ketentuan dalam peraturan perundang-undangan Pabean untuk impor Barang

Kena Pajak (BKP), tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang

dipungut Undang-undang.

f. Nilai Ekspor

Nilai ekspor adalah nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta

atas

seharusya diminta oleh eksportir.

g. Nilai Lain

Dasar Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dapat ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan hanya untuk menjamin rasa keadilan dalam

hal:

a. Harga Jual, Nilai Penggantian, Nilai Impor, dan Nilai Ekspor sukar

ditetapkan.

b. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang dibutuhkan oleh masyarakat

banyak,seperti air minum, listrik dan sejenisnya.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

27

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 75/PMK.03/2010 tanggal 31

maret 2010 telah menetapkan Nilai Lain sebagai Dasar Pengenaan Pajak untuk beberapa

penyerahan Barang Kena Pajak dan Jasa Kena Pajak, yaitu:

1. Untuk pemakaian sendiri Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak

adalah Harga Jual atau Penggantian, setelah dikurangi laba kotor.

2. Untuk pemberian cuma-Cuma Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena

Pajak adalah Harga Jual atau penggantian setelah dikurangi harga laba

kotor.

3. Untuk penyerahan media rekaman suara atau gambar adalah perkiraan

harga jual rata-rata.

4. Untuk penyerahan film cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul

film.

5. Untuk Penyerahan produk hasil tembakau adalah sebesar harga jual

eceran.

6. Untuk Barang Kena Pajak berupa persediaan dan/atau aktiva yang

menurut tujuan semula tidak untuk diperjualbelikan, yang masih tersisa

pada saat pembubaran perusahaan, adalah harga pasar wajar.

7. Untuk penyerahan Barang kena Pajak dari pusat ke cabang adalah harga

pokok penjualan atau ahrga perolehan.

8. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara

atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

9. Untuk penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) kepada pedagang perantara

atau melalui juru lelang adalah harga lelang.

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

28

10. Untuk penyerahan jasa pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen)

dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya ditagih atau

11. Untuk penyerahan jasa biro perjalanan atau jasa pariwisata adalah 10%

(sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau jumlah syang seharusnya

ditagih

II.3.2. Tarif Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Djoko Muljono (2008:6) :

Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang berlaku saat ini adalah 10% (sepuluh

persen). Sedangkan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas ekspor Barang Kena

Pajak (BKP) adalah 0% (nol persen). Pengenaan tarif 0% (nol persen) bukan berarti

pembebasan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), tetapi Pajak Masukan yang

telah dibayar dari barang yang diekspor dapat dikreditkan.

Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan atau peningkatan

kebutuhan dana untuk pembangunan, dengan Peraturan Pemerintah tarif Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan

setinggi-tingginya 15% (lima belas persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.

II.3.3. Penyetoran Pajak Pertambahan Nilai

Pembayaran atau penyetoran Pajak Pertambahan Nilai dilakukan dengan

menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP). Menurut Peraturan Direktur Jenderal Pajak

Nomor PER-148/PJ./2007 tentang Pelaksanaan Modul Penerimaan Negara, pengertian

Surat Setoran Pajak (SSP) adalah Surat yang oleh Wajib Pajak (WP) digunakan untuk

melakukan pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang ke kas negara melalui

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

29

Kantor Pos atau Bank Pemerintah atau Bank Swasta atau tempat pembayaran lain sesuai

dengan Keputusan Direktorat Jenderal Pajak, dan ditunjuk oleh Menteri Keuangan.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.103/2007,

penyetoran Pajak Pertambahan Nilai paling lambat dilakukan tanggal 15 bulan

berikutnya setelah masa pajak berakhir.

II.3.4. Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai dihitung sendiri oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP),

harus dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan disampaikan kepada

Kantor Pelayanan Pajak setempat selambat-lambatnya 20 hari setelah Masa Pajak

berakhir. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN)

berfungsi sebagai sarana bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk melaporkan dan

mempertanggung jawabkan perhitungan jumlah pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang

sebenarnya terutang dan sarana untuk melaporkan tentang pengkreditan Pajak Masukan

terhadap Pajak Keluaran dan untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak

dalam suatu Masa Pajak. Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT

Masa PPN) bentuk Formulir 1107 pada tahun 2007 dan 2008, namun pada tahun 2009

yang digunakan adalah sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-

29/PJ/2008 tentang Bentuk, Isi, dan Tata Cara Penyampaian Surat Pemberitahuan Masa

Pajak Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) dalam Bentuk Formulir Kertas (Hard Copy)

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

30

dengan formulir 1108 bagi Pengusaha Kena Pajak yang Dikukuhkan di Kantor

Pelayanan Pajak Dalam Rangka Pengolahan Data dan Dokumen di Pusat Pengolahan

Data dan Dokumen Perpajakan, maka untuk PKP yang dikukuhkan di Kantor Pelayanan

Pajak sebagaimana diatur dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak, SPT Masa PPN

bentuk Formulir 1108 wajib digunakan bagi PKP yang menyampaikan SPT dalam

bentuk formulir kertas (‘hard copy’).

II.3.5. Pemungut Pajak Pertambahan Nilai

Menurut Winston, M (2009:96) Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 yang

terdapat pada Pasal 1 angka 27 merumuskan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai

adalah Bendaharawan Pemerintah, Badan, atau instansi pemerintah yang ditunjuk oleh

Menteri Keuangan untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak terutang oleh

Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dan atau Jasa

Kena Pajak (JKP) kepada Bendaharawan Pemerintah, badan atau instansi pemerintah

tersebut.

II.4. Faktur Pajak, Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

II.4.1. Faktur Pajak

Untuk melakukan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) harus

menggunakan sarana Faktur Pajak. Faktur pajak merupakan bukti pungutan pajak atau

penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti pungutan pajak yang dibuat oleh Pengusaha

Kena Pajak (PKP) yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

31

penyerahan Jasa Kena Pajak (JKP), bukti atau pungutan pajak karena impor Barang

Kena Pajak (BKP) yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Bea Cukai, dasar hukum

dari Faktur Pajak adalah Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak Pertambahan

Nilai Pasal 13 sebagai berikut :

Faktur Pajak dibedakan menjadi tiga jenis yaitu :

1. Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana diatur dalam Pasal 13 Undang-undang Nomor 42

Tahun 2009 Pajak pertambahan Nilai, dan Keputusan Direktorat jenderal Pajak

Nomor PER-159/PJ/2006 tentang saat Pembuatan, Bentuk, Ukuran, Pengadaan,

Tata Cara Penyampaian, dan Tata Cara Pembetulan faktur Pajak Sederhana.

Sesuai dengan Pasal 13 ayat 5 Faktur Pajak Standar memuat beberapa hal

yaitu :

a. Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) yang menyerahkan Barang

Kena Pajak (BKP) dan Jasa Kena pajak (JKP).

b. Nama. Alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) pembeli Barang Kena

Pajak (BKP) dan atau penerima Jasa Kena pajak (JKP).

c. Jenis barang dan jasa, jumlah harga jual atau penggantian, dan potongan harga;

d. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang dipungut;

e. Pajak Penjualan barang Mewah (PPNBM) yang dipungut;

f. Kode, Nomor Seri, dan tanngal pembuatan Faktur Pajak, dan

g. Nama, jabatan, dan tanda tangan, yang berhak menandatatangani Faktur Pajak.

Faktur Pajak harus diisi dengan lengkap, jelas, dan benar baik formal

maupun materiil dan ditandatangani oleh pejabat yang ditunjuk oleh Pengusaha

Kena Pajak (PKP) untuk ditandatanganinya.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

32

Menurut Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 13, Saat Pembuatan

Faktur Pajak Standar, paling lambat :

1. Akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan dalam hal pembayaran

diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan.

2. Saat penerimaan pembayaran dalam hal pembayaran terjadi sebelum

akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan :

3. Pada saat penerimaan pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran

terjadi sebelum penyerahan :

4. Pada saat Pengusaha Kena Pajak (PKP) rekanan menyampaikan tagihan

kepada Bendaharawan Pemerintah sebagai Pemungut Pajak Pertambahan

Nilai (PPN).

Dokumen lain sebagai Faktur Pajak Standar :

1. Faktur Pajak Sederhana

Faktur Pajak Sederhana diatur dalam KEP-524/PJ/2000 yang telah diubah

terakhir dengan PER-97/PJ/2005. Faktur Pajak Sederhana paling sedikit harus

memuat :

Nama, alamat, Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), yang menyerahkan

Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP). Jenis dan kuantum Barang

Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP atau JKP) yang diserahkan.

Jumlah Harga Jual atau Penggantian yang sudah termasuk Pajak

Pertambahan Nilai (PPN) atau besarnya Pajak pertambahan Nilai (PPN) yang

dicantumkan secara terpisah, Tanggal Pembuatan Faktur pajak Sederhana.

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

33

2. Faktur Pajak Gabungan

Faktur Pajak Gabungan merupakan faktur Pajak Sederhana yang cara

penggunaanya diperkenankan kepada Pengusaha Kena Pajak (PKP) atas

beberapa kali penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP)

kepada pembeli atau penerima jasa yang sama dilakukan dalam satu Masa Pajak,

dan ahrus dibuat selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan

terjadinya penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP).

Dalam hal pembayaran sebelum Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak

(BKP/JKP) atau terdapat pembayaran sebelum Faktur Pajak Gabungan tersebut

dibuat, maka untuk pembayaran tersebut dibuat faktur Pajak tersendiri pada saat

diterima pembayaran. Tanggal penyerahan/pembayaran pada Faktur Pajak diisi

dengan tanggal awal penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak (BKP/JKP)

sampai dengan tanggal terakhir dari Masa Pajak yang dibuat Faktur Pajak

Gabungan, dengan melampirkan daftar tanggal penyerahan masing-masing

Faktur Penjualan.

II.4.2. Pajak masukan dan Pajak Keluaran

Pengertian Pajak Masukan dan Pajak Keluaran

Berdasarkan pasal 1 angka 24 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Masukan

adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh Pengusaha kena

Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dan

pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean dan atau

pemanfaatan Jasa kena Pajak di luar Daerah Pabean dan atau impor Barang Kena Pajak.

Page 29: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

34

Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 24 memiliki

perbedaan yang tidak diubah pengertiaannya atau sama.

Sedangkan Pengertian Pajak Keluaran berdasarkan pasal 1 angka 25 Undang-

undang Nomor 18 Tahun 2000, Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai

terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan

Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak.

Perubahan terakhir Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Angka 25 memiliki

perbedaan dalam arti Pajak Keluaran merupakan Pajak Pertambahan Nilai terutang yang

wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang melakukan penyerahan Barang Kena

Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor Barang Kena Pajak Berwujud , dan/atau

ekspor Jasa Kena Pajak.

Mekanisme Pengkreditan Pajak Masukan

Pada dasarnya semua pajak masukan dikreditkan, antara lain yaitu :

a. Pajak Masukan dalam suatu Masa Pajak dikreditkan dengan Pajak Keluaran

untuk Masa Pajak yang sama.

b. Dalam hal belum ada Pajak Keluaran dalam suatu Masa Pajak, maka Pajak

Masukan tetap dapat dikreditkan.

c. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Keluaran lebih besar daripada

jumlah Pajak Masukan, maka selisihnya merupakan Pajak pertambahan Nilai

(PPN) yang wajib dibayar Pengusaha Kena Pajak (PKP).

d. Apabila dalam suatu Masa Pajak, jumlah Pajak Masukan lebih besar daripada

jumlah Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan Pajak Masukan

yang dapat diminta atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya.

Page 30: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

35

e. Pajak Masukan yang dapat dikreditkan adalah Pajak Masukan untuk

perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang berhubungan

langsung dengan kegiatan usaha melakukan penyerahan kena pajak.

Meskipun berhubungan langsung dengan kegiatan usaha menghasilkan

penyerahan kena pajak, dalam hal-hal tertentu tidak tertutup kemungkinan Pajak

Masukan tersebut tidak dapat dikreditkan, misalnya :

• Transaksi menggunakan Faktur Pajak Sederhana.

• Transaksi menggunakan Faktur Pajak standar namun tidak memenuhi

ketentuan (Faktur Pajak Cacat).

• Masa pengkreditan Pajak Masukan telah melewati jangka waktu 3 (tiga) bulan

sejak berakhirnya Masa Pajak diterbitkannya Faktur Pajak.

Terdapat Pajak Masukan yang tidak dapat dikreditkan, Kriteria Pajak Masukan

yang tidak dapat dikreditkan diatur dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pasal

9 ayat 8 dan pasal 16B ayat 3 Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai, rinciannya

sebagai berikut :

1. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak sebelum Pengusaha

dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak.

2. Perolehan barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang tidak mempunyai

hubungan langsung dengan kegiatan usaha.

3. Perolehan dan pemeliharaan kendaraan bermotor sedan, jeep, station wagon,

dan van kecuali merupakan barang dagangan atau disewakan.

Page 31: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

36

4. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena

Pajak dari luar Daerah Pabean sebelum Pengusaha dikukuhkan sebagai

Pengusaha Kena Pajak.

5. Perolehan barang Kena Pajak atua Jasa Kena Pajak yang bukti pungutannya

berupa Faktur Pajak Sederhana.

6. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak ayng Faktur Pajaknya

tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (5)

Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai (Faktur Pajak Cacat).

7. Pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud atau pemanfaatan Jasa Kena

Pajak dari luar Daerah Pabean dan Faktur Pajaknya tidak memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 Pajak

Pertambahan Nilai Pasal 13 ayat 6 (Faktur Pajak Cacat).

8. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya

ditagih dengan penerbitan ketetapan pajak.

9. Perolehan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang Pajak Masukannya

tidak dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai,

yang ditemukannya pada waktu pemeriksaan.

10. Pajak Masukan yang dibayar untuk perolehan Barang Kena Pajak dan atau

perolehan Jasa Kena Pajak yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan

Pajak Pertambahan Nilai

Page 32: BAB II LANDASAN TEORI II.1 Pengantar Pajak II.1.1 ...thesis.binus.ac.id/Asli/Bab2/2011-1-00022-AK 2.pdf · penduduk atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan

37

II.4.3 Perbandingan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai (SPT

PPN) 1107 dengan Surat Pemberitahuan (SPT) 1108

Bentuk penyajian, dan cara pengisian Surat Pemberitahuan Masa Pajak

Pertambahan Nilai (SPT Masa PPN) 1107 lebih mudah/sederhana jika dibandingkan

dengan pengisian, dan pembuatan Surat Pemberitahuan Masa Pajak Pertambahan Nilai

(SPT Masa PPN) 1108.

Perbandingan efisiensi pembuatan laporan jga jauh lebih efisiensi Surat

Pemberitahuan 1107 dibandingkan Surat Pemberitahuan 1108.

Cara pengisian Surat Pemberitahuan 1108 dan cara pelaporannya mewajibkan

seluruh lembaran harus dilaporkan, walaupun dalam lembaran tidak ada transaksi Pajak

Pertambahan nilai (PPN) yang dilaporkan.

Ketentuan-ketentuan SPT PPN 1108 jauh lebih sulit dilaksanakan seperti

ketentuan Ukuran Kertas, Lebar, penggunaan Huruf dan Besarnya Garis di SPT PPN

1108 bisa diterima/ditolak suatu SPT yang dilaporkan yang semestinya tidak terlalu

dipermasalahkan sepanjang bentuk dan isinya tidak dirubah.