terhadap pt. emi indonesia - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab4/2007-3-00022-ak-bab...
TRANSCRIPT
57
BAB IV
ANALISIS PENERAPAN TAX TREATY
TERHADAP PT. EMI INDONESIA
IV.1. Jenis dan Model Perjanjian Perpajakan (PT.EMI INDONESIA)
Untuk menghindari pemajakan berganda, PT. EMI Indonesia mengacu pada
perjanjian internasional yang dilakukan antar dua negara yang dibuat secara tertulis
dengan dasar yang jelas dan kuat serta memenuhi syarat–syarat yang berlaku dalam
pembuatan perjanjian internasional.
Dilihat dari segi penggolongan dan jenis perjanjian internasional, tax treaty yang
diacu PT. EMI Indonesia termasuk dalam kategori perjanjian bilateral. Hal ini terbukti
bahwa perjanjian tersebut berlaku antara dua pihak, yaitu misalnya Negara United
Kingdom dengan negara Indonesia. Pada perjanjian bilateral yang dilakukan antara dua
negara tersebut tetap mengacu pada Konvensi Wina.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa jenis perjanjian yang diacu PT.
EMI merupakan perjanjian bilateral karena menyangkut antara Negara Indonesia dengan
United Kingdom. Oleh karena itu, untuk mengadakan suatu perjanjian bilateral,
diperlukan adanya suatu model yang dapat dipergunakan sebagai acuan (pedoman),
khususnya dalam tahapan perundingan dan dalam hal terjadi perbedaan pendapat dalam
pelaksanaan perjanjian.
Terdapat tiga model Tax Treaty yang diterapkan oleh masing-masing negara yang
terkait antara lain; model UN (united nations), yang lebih menerapkan pemajakan yang
berasal dari negara yang memberi penghasilan; model OECD (organization for
58
economic cooperation and development), yang didirikan di Paris, 14 Desember 1960,
meliputi 24 negara; dan model Indonesia yang mengkombinasikan kedua jenis model
UN dan OECD.
Perbandingan Tax Treaty dalam model OECD, dan UN terletak pada:
a. Model UN
Merupakan model yang dikembangkan untuk memperjuangkan kepentingan
negara-negara berkembang, sehingga prinsip sumber penghasilan tergambar
dalam model ini.
b. Model OECD
Merupakan model yang dikembangkan oleh negara-negara Eropa Barat,
prinsip yang digunakan adalah azas pengenaan pajak domisili.
Negara Indonesia dalam kebijakan dibidang persetujuan penghindaran pajak
berganda atau P3B menggunakan campuran antara model UN (united nations) dengan
model OECD (organization for economic cooperation and development), atau yang
dikenal dengan model Indonesia. Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan Negara
Indonesia menjadi lebih maju dapat diatur dalam perjanjian ini, misalnya penghasilan
atas guru dan peneliti, dimana dalam kedua model UN dan OECD tidak diatur, namun
dalam model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri. Model tersebut yang dijadikan
pijakan dalam perundingan antara negara Indonesia dengan United Kingdom.
59
IV.1.1 Pelaksanaan Penerapan Ketentuan Perjanjian Perpajakan
Penarikan penghasilan kantor pusat seperti yang telah dijelaskan dalam objek
pajak bentuk usaha tetap, merupakan penerapan suatu konsep force of attraction
rule, yang biasanya dianut dalam sistem perpajakan di kebanyakan negara
berkembang untuk mencegah usaha penghindaran pajak oleh perusahaan luar
negeri (dalam hal ini Inggris).
Contoh konkrit dari konsep force of attraction ini adalah kantor pusat EMI di
Inggris, yang memproduksi rekaman lagu menjual langsung hasil produksinya
berupa compact disc dan cassette kepada konsumen yang ada di Indonesia tanpa
melalui bentuk usaha tetapnya yang ada di Indonesia (PT. EMI Indonesia).
Kegiatan PT. EMI Indonesia, juga menjual produk yang sama dengan produk yang
dijual kantor pusatnya. Dalam kasus ini, keuntungan yang diperoleh kantor pusat
dari hasil penjualan rekaman yang langsung kepada konsumen di Indonesia tanpa
melalui bentuk usaha tetap tersebut, akan dianggap sebagai keuntungan bentuk
usaha tetap. Sedangkan biaya-biaya yang timbul sehubungan dengan penjualan
hasil rekaman langsung oleh kantor pusat tersebut, dapat dibebankan sebagai biaya
oleh bentuk usaha tetap.
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa salah satu tujuan diadakannya perjanjian
perpajakan, dilihat dari sisi kepentingan negara-negara yang mengadakan
perjanjian, adalah untuk pencegahan penyelundupan pajak. Oleh karena itu untuk
mencegah penyelundupan pajak (prevention of fiscal evasion) terdapat mekanisme
pelaksanaan perjanjian perpajakan yang akan dijabarkan berikut ini.
Apabila Indonesia menerima informasi dari negara mitra (dalam hal ini
Inggris), biasanya informasi tersebut diterima oleh Kantor Pusat Direktorat
60
Jenderal Pajak, dalam hal ini biasanya oleh Direktorat Peraturan Perpajakan.
Selanjutnya apabila informasi tersebut menyangkut informasi mengenai wajib
pajak, informasi tersebut akan diproses oleh Kantor Pelayanan Pajak. Proses nya
dengan melakukan pengecekan terhadap SPT wajib pajak.
Sebaliknya apabila Indonesia membutuhkan informasi dengan negara lain,
baik mengenai ketentuan perundang-undangan perpajakan, maupun informasi
mengenai wajib pajak, Indonesia akan memintanya melalui surat menyurat yang
dilakukan melalui Direktorat Jenderal Pajak. Namun demikian, ada kalanya
permintaan informasi tersebut dilakukan melalui Menteri Keuangan.
IV.2 Pembahasan Tax Treaty PT. EMI Indonesia.
Pengenaan pajak berganda secara internasional pada dasarnya merupakan akibat
dari perbedaan prinsip-prinsip perpajakan internasional yang dianut oleh setiap negara.
Perbedaan prinsip tesebut mengakibatkan konflik jurisdiksi antara satu negara dan
negara lainnya. Walaupun setiap negara mempunyai metode penghindaran pajak
berganda secara unilateral, hal ini tidak sepenuhnya menjamin tidak terjadinya
pengenaan pajak berganda.
Pada dasarnya, pengenaan pajak berganda disebabkan oleh tiga jenis konflik
jurisdiksi yang akan dibahas berikut ini:
a. Konflik antara azas domisili dan azas sumber
Masalah yang umum terjadi dalam pengenaan pajak berganda adalah
bertemunya azas domisili dengan azas sumber. Negara domisili, dalam hal ini
adalah United Kingdom, mengenakan pajak atas seluruh penghasilan yang
diperoleh penduduknya, sedangkan negara sumber yaitu Indonesia
61
mengenakan pajak atas penghasilan yang dihasilkan dari negara tersebut.
Dalam hal ini terjadi konflik antara world-wide income principle dan konsep
kewenangan atas wilayah.
b. Konflik karena perbedaan definisi ”penduduk”
Seseorang pribadi atau badan pada saat yang bersamaan dapat dianggap
sebagai penduduk dari dua negara. Hal ini dapat terjadi karena definisi
”penduduk” kedua negara tersebut berbeda. Keadaan ini memperburuk
pengenaan pajak berganda sebab pajak ”penduduk” tersebut akan dikenakan
dua kali. Konflik mengenai penduduk ganda ini (dual residence) biasanya
terjadi atas orang pribadi, tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi pada suatu
badan hukum.
Dalam Perjanjian Perpajakan Indonesia-Inggris dipakai istilah Fiscal Domicile
yang mengatur mengenai kependudukan seseorang. Dan orang atau badan yang
tercakup dalam perjanjian perpajakan antar kedua negara tersebut adalah
penduduk Indonesia, penduduk Inggris, dan orang atau badan yang pada saat
yang bersamaan dianggap penduduk baik oleh Indonesia maupun Inggris.
c. Perbedaan definisi tentang ”sumber penghasilan”
Sebab ketiga yang dapat menyebabkan pengenaan pajak berganda adalah
apabila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan yang
bersumber dari wilayahnya. Ini berakibat penghasilan yang sama dikenai pajak
di dua negara.
Dalam Bab ini, akan dibahas mengenai beberapa pasal mengenai permasalahan
yang terdapat pada perjanjian penghindaran pajak berganda beserta dengan pembahasan
62
dan solusinya. Contoh yang dibahas dalam perjanjian penghindaran pajak berganda pada
penulisan skripsi ini adalah antara negara Indonesia dengan United Kingdom, dimana
kedua negara tersebut terlibat kerjasama secara ekonomi, sosial dan budaya yang
berkaitan dengan kepentingan pada PT. EMI.
IV.2.1. Persetujuan Penghidaran Pajak Berganda antara Indonesia dengan
Inggris
AGREEMENT
BETWEEN
THE GOVERMENT OF THE REPUBLIC OF INDONESIA
AND
THE GOVERNMENT OF THE UNITED KINGDOM OF GREAT BRITAIN
FOR THE AVOIDANCE OF DOUBLE TAXATION AND THE PREVENTION
OF FISCAL EVASION WITH RESPECT TO TAXES ON INCOME AND ON CAPITAL
Article 2
TAX COVERED
(1) Pajak-pajak yang tunduk dalam persetujuan ini adalah:
a) Indonesia:
i. Pajak pendapatan (income tax)
ii. Pajak perseroan (company tax)
iii. Pajak kekayaan (capital tax)
63
iv. Pajak atas bunga, dividend dan royalty (tax on interest,
dividend and royalty) yang selanjutnya disebut “Pajak
Indonesia”
b) United Kingdom:
i. The income tax
ii. The corporation tax, and
iii. The capital gain tax, yang selanjutnya disebut “United
Kingdom Tax).
(2) Persetujuan ini berlaku pula terhadap setiap pajak yang serupa atau pada
hakekatnya sama yang dikenakan pajak setelah tanggal penandatanganan
persetujuan ini sebagai tambahan terhadap, atau sebagai pengganti dari, pajak-
pajak yang ada dalam perjanjian ini. Pejabat-pejabat yang berwenang dari
kedua negara akan saling memberitahukan satu sama lain mengenai setiap
perubahan penting yang terjadi dalam perundang-undangan pajak masing-
masing.
Penjelasan:
i. Pada ayat (1) menjelaskan bahwa pemungutan pajak dapat dilakukan oleh
pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah atau negara bagian.
ii. Pada ayat (2) menjelaskan menjelaskan pengenaan pajak dikenakan atas
penghasilan dan kekayaan termasuk unsur-unsur yang terkait.
Undang-undang Pajak Penghasilan di Negara Indonesia dalam pasal 4 ayat 1
telah mengenakan atas semua penghasilan dan kekayaan.
64
Article 4
FISCAL DOMICILE
(1) Untuk kepentingan persetujuan ini istilah “penduduk dari negara yang
mengadakan persetujuan” berarti setiap orang atau badan yang, menurut
perundang-undangan negara tersebut, dapat dikenai pajak di negara itu
berdasarkan domisilinya, tempat kediamannya, tempat kedudukan
manajemennya atau dasar lainnya yang sifatnya serupa.
(2) Jika berdasarkan ketentuan-ketentuan pada ayat (1) seseorang menjadi
penduduk di kedua negara, statusnya ditentukan sebagai berikut:
a) Ia akan dianggap sebagai penduduk negara dimana ia mempunyai
tempat tinggal tetap yang tersedia baginya; apabila ia mempunyai
tempat tinggal tetap yang tersedia di kedua negara, ia akan dianggap
sebagai penduduk negara dimana terdapat hubungan-hubungan
pribadi dan ekonomi yang lebih erat;
b) Jika negara dimana pusat kepentingan-kepentingan pokoknya tidak
dapat ditentukan, atau jika ia tidak mempunyai tempat tinggal tetap
yang tersedia baginya di salah satu negara, ia akan dianggap sebagai
penduduk negara dimana ia biasanya berada;
c) Jika ia mempunyai tempat yang biasanya ditinggali di kedua negara,
ia akan dianggap sebagai penduduk negara dimana ia menjadi
warga negara;
d) Jika ia menjadi warga negara di kedua negara atau bukan warga
negara dari kedua negara tersebut, pejabat-pejabat yang berwenang
65
dari kedua negara akan menyelesaikan masalah tersebut
berdasarkan persetujuan bersama.
(3) Apabila berdasarkan ketentuan pada pasal 4 ayat (1), suatu badan mempunyai
tempat kedudukan di kedua negara, ia akan dianggap sebagai penduduk
diamana kedudukan dari manajemen yang sebenarnya berada.
Penjelasan :
i. Seseorang yang memiliki kependudukan di kedua negara, dalam rangka
perpajakan ditentukan dengan: hubungan pribadi dan ekonomi yang paling
kuat ada di negara mana; dimana penduduk itu biasanya berada;
kewarganegaraan; jika ketiga hal tersebut di atas tidak bisa ditangani, maka
ditentukan pejabat yang berwenang dari kedua negara dengan persetujuan
bersama.
ii. Badan hukum yang memiliki penduduk di kedua negara, dalam penentuan
pemajakannya tergantung manajemen perusahaan berada di negara mana.
Permasalahan:
i. Dalam pasal 4 ayat (1), dijelaskan bahwa penghasilan dikenakan berdasarkan
azas domisili, hal ini mengingat adanya negara yang memberikan sumber
penghasilan juga mengenakan pajak dan negara domisili juga mengenakan pajak
oleh karena itu terdapat kata “dapat”, karena kedua negara yang terlibat dalam
perjanjian bisa mengenakan pajak.
Untuk menghindari pemajakan ganda, maka negara sumber memotong pajak dan
diperhitungkan kembali penghasilan dan pajak yang dibayar di negara domisili.
66
ii. Dalam hal seseorang atau badan dianggap sebagai penduduk Indonesia dan
sebagai penduduk negara mitra dalam hal ini Negara Inggris (dual residence
status), beban pajak bagi orang atau badan tersebut akan sangat memberatkan
karena apabila kedua negara sama-sama menganut azas domisili dalam
pengenaan pajaknya, di kedua negara pajak penghasilannya akan dikenakan atas
penghasilan yang diperoleh atau diterima orang atau badan tersebut di seluruh
dunia (world wide income). Hal demikian tidak sesuai dengan tujuan
diadakannya perjanjian perpajakan yang antara lain untuk menghindarkan
terjadinya pajak ganda.
Untuk menghindari adanya pajak ganda sebagai akibat adanya status
kependudukan yang rangkap untuk suatu badan, seperti yang telah disebutkan
dalam Pasal 4 ayat (3) Tax Treaty di atas, badan yang bersangkutan akan
dianggap sebagai penduduk (resident) di negara di mana efektif manajemennya
berada.
Article 5
PERMANENT ESTABLISHMENT
(1) Untuk tujuan perjanjian ini, istilah Bentuk Usaha Tetap, berarti suatu tempat
usaha tertentu dimana seluruh atau sebagian usaha suatu perusahaan
dijalankan.
(2) Istilah ”Bentuk Usaha Tetap” terutama meliputi:
a. Suatu tempat kedudukan manajemen
b. Suatu cabang
67
c. Suatu pabrik
d. Suatu tempat kerja
e. Suatu gudang
f. Sebuah pertanian atau perkebunan
g. Suatu pertambangan, suatu sumur minyak atau gas, suatu tempat
penggalian atau tempat lainnya untuk pengambilan sumber
kekayaan alam.
(3) Istilah ”Pendirian Tetap” juga mencakup:
a. Bangunan, konstruksi, perakitan atau instalasi atau kegiatan
pengawasan yang ada hubungannya dengan proyek tersebut,
asalkan bangunan dan konstruksi serta kegiatan pengawasannya
berlangsung lebih 6 bulan;
b. Pemberian jasa, termasuk jasa konsultan yang diberikan oleh suatu
perusahaan melalui karyawannya atau orang lain yang dipekerjakan
oleh perusahaan untuk keperluan tersebut, sepanjang kegiatan itu
berlangsung untuk proyek yang sama, atau yang berkaitan, di
negara tersebut selama lebih dari 6 bulan dalam kurun waktu 12
bulan.
Permasalahan:
i. Dalam Model Indonesia (Indonesia dengan United Kingdom) sudah
memasukkan unsur gudang sebagai BUT, meskipun dalam model UN dan
OECD serta dalam Undang-undang pajak penghasilan tidak mengaturnya.
Model Indonesia lebih mengedepankan azas sumber penghasilan, dan hal
68
tersebut berguna untuk menghindari pemajakan di negara sumber. Kadang kala
fiskus sulit membedakan antara pabrik, kantor, bengkel atau gudang. Oleh
karena itu sebaiknya dalam pembuatan P3B dimasukkan unsur gudang sebagai
salah satu bentuk BUT.
ii. P3B Indonesia dengan United Kingdom, hanya mengatur tentang jasa
konsultan atau jasa pengawasan sehubungan dengan pendirian bangunan,
konstruksi atau proyek instalasi, dan tidak mengatur tentang jasa-jasa lainnya
yang dilakukan di Indonesia untuk ditetapkan sebagai BUT. Untuk itu
hendaknya pengertian BUT terhadap jasa harus diperluas.
iii. Kegiatan-kegiatan itu berlangsung (untuk dua atau lebih proyek yang sama
atau yang berhubungan) dalam jangka waktu lebih dari 6 bulan dalam suatu
tahun pajak. Time test untuk BUT, hendaknya lebih diperpendek, dan
batasannya sebaiknya bukan dalam suatu tahun pajak, agar tidak menimbulkan
persepsi lain. Hal ini dapat dilihat pada Undang-undang PPh Pasal 2 ayat (5)
dimana batasan pemberian jasa dalam bentuk apapun oleh pegawai atau oleh
orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan, lainnya
dianggap BUT, hal ini tidak melihat tahun pajak.
69
Article 8
BUSINESS PROFITS
(1) Laba perusahaan dari negara pada persetujuan hanya akan dikenakan pajak di
negara itu kecuali jika perusahaan itu menjalankan usaha di negara pihak
lainnya pada persetujuan, melalui suatu bentuk usaha tetap yang berkedudukan
di negara pihak lainnya. Apabila perusahaan tersebut menjalankan usahanya
sebagaimana yang dimaksud diatas, maka laba perusahaan itu dapat dikenaan
pajak di negara lainnya tetapi hanya atas bagian laba yang berasal dari bentuk
usaha tetap tersebut.
(2) Jika suatu perusahaan dari suatu negara pihak pada persetujuan menjalankan
usaha di setiap negara melalui suatu bentuk usaha tetap yang berkedudukan di
negara pihak lainnya, maka yang akan diperhitungkan sebagai laba bentuk
usaha tetap itu oleh masing-masing negara ialah laba yang diperolehnya
seandainya bentuk usaha tetap tersebut merupakan suatu perusahaan lain yang
terpisah dan berdiri sendiri, yang melakukan kegiatan-kegiatan yang sama atau
serupa, dan mengadakan hubungan yang sepenuhnya bebas dengan perusahaan
yang memiliki bentuk usaha tetap itu.
Penjelasan:
i. Laba perusahaan akan dikenakan pajak di negara domisili, kecuali jika ia
menjalankan usaha di negara lainnya berupa BUT, maka pengenaan pajaknya
dikenakan di negara lainnya. Yang dikenakan pajak hanya atas labanya saja yang
diperoleh dari negara sumber penghasilan. Laba tersebut dapat dipeoleh dari:
70
a. BUT tersebut.
b. Penjualan barang-barang atau barang dagangan di negara lainnya,
yang jenisnya serupa seperti yang dijual melalui BUT tersebut.
c. Kegiatan usaha lainnya yang dilakukan di negara lain yang jenisnya
sama saperti yang dilakukan BUT tersebut.
ii. Biaya BUT yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah biaya yang terkait
dengan kegiatan usaha BUT dan harus dilakukan koreksi fiskal sesuai pasal 9
ayat (1) UU PPh dan biaya BUT juga dikoreksi apabila biaya tersebut dibayarkan
kepada kantor pusatnya atau kantor lain milik kantor pusat seperti; royalty,
imbalan jasa manajemen, imbalan jasa lainnya dan bunga kecuali BUT yang
usahanya perbankan.
Article 9
SHIPPING AND AIR TRANSPORT
(1) Laba yang berasal dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam
jalur lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu negara, hanya akan
dikenakan pajak di negara pihak pada persetujuan dimana tempat pimpinan
perusahaan yang sebenarnya berkedudukan atau dioperasikan dibawah The
Indonesia-Europe Freight Conference Arrangement.
(2) Ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini akan berlaku pula terhadap laba yang
diperoleh dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha
71
bersama atau suatu keagenan usaha internasional, tetapi hanya sebesar
keuntungan yang seimbang dengan penyertaan dalam usaha kerjasama itu.
Penjelasan :
laba perusahaan dari kapal atau pesawat udara yang menjalankan operasi dalam
jalur lalu lintas internasional, dikenakan pajak hanya di negara dimana ia
berkedudukan (domisili) atau dimana pimpinan perusahaan yang sebenarnya
berada, dan bila pimpinan kapal tersebut berada di kapal, maka dikenakan pajak di
negara dimana kapal tersebut memiliki pelabuhan atau jika tidak ada pangkalan,
maka di negara dimana perusahaan tersebut berkedudukan (domisili). Negara
Singapore dalam hal ini dapat diuntungkan karena memiliki jalur transit
internasional, sehingga memiliki pangkalan pelabuhan untuk kapal-kapal dalam
jalur internasional.
Permasalahan:
i. Laba yang berasal dari pengoperasian kapal laut atau pesawat udara dalam jalur
lalu lintas internasional oleh perusahaan dari suatu negara, hanya akan
dikenakan pajak di negara itu. Sesuai pasal 15 UU PPh, Indonesia akan
mengenakan pajak atas pembayaran charter kapal atau pesawat yang dibayar
ke Subjek Pajak Luar Negeri (SPLN). Dengan demikian harus ada pengaturan
khusus tentang jalur lalu lintas internasional, misalnya kapal tersebut akan
digunakan untuk mengangkut barang dari Surabaya ke Jakarta, kemudian dari
Jakarta ke Inggris, apakah jalur dari Surabaya ke Jakarta dapat dianggap bagian
dari lalu lintas internasional.
72
ii. Ketentuan-ketentuan ayat (1) pasal ini akan berlaku pula terhadap laba yang
diperoleh dari penyertaan dalam suatu gabungan perusahaan, suatu usaha
bersama atau suatu keagenan usaha internasional, tetapi hanya sebesar
keuntungan yang seimbang dengan penyertaan dalam usaha kerjasama itu.
Laba dari penyertaan usaha bersama atau keagenan internasional tidak akan
dikenakan pajak di negara domisili, hal ini perlu diatur lebih lanjut tentang
bentuk usaha bersama dan agen tersebut, apakah berdiri bebas atau hanya
sebagai agen tunggal, apakah dapat mengadakan kontrak atau tidak. Jika
terbukti sebagai agen tunggal maka dapat dianggap sebagai BUT di Indonesia.
Article 11
DIVIDENS
(1) Dividen yang dibayarkan oleh suatu perseroan yang berkedudukan di United
Kingdom kepada penduduk Negara Indonesia pada persetujuan dapat
dikenakan pajak di Indonesia.
(2) Namun demikian dividen itu dapat juga dikenakan pajak di United Kingdom
sesuai dengan perundang-undangan negara tersebut, akan tetapi pajak yang
dikenakan tidak akan melebihi 15% (ditentukan berdasarkan kesepakatan
antara kedua negara yang bersangkutan).
(3) Istilah ”dividen” sebagaimana digunakan dalam pasal ini berarti penghasilan
dari saham-saham, atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat
hutang, namun turut serta dalam pembagian laba, demikian halnya penghasilan
dari hak-hak perseroan lainnya yang dalam hal pengenaan pajaknya
73
diperlakukan sama sebagai penghasilan dari saham-saham menurut undang-
undang perpajakan negara dimana perseroan yang melakukan pembayaran
berkedudukan.
Penjelasan:
i. Istilah dividen adalah pembagian laba atau keuntungan dari sebuah perusahaan
kepada para pemegang saham. Sedangkan menurut tax treaty adalah penghasilan
dari saham-saham, atau hak-hak lainnya yang bukan merupakan surat-surat
piutang, namun turut serta dalam pembagian laba, demikian halnya penghasilan
dari hak-hak perseroan lainnya yang dalam hal pengenaan pajaknya diperlakukan
sama sebagai penghasilan dari saham-saham menurut undang-undang perpajakan
negara dimana perseroan yang melakukan pembayaran berkedudukan.
ii. Dividen merupakan sistem pemajakan withholding tax, dan merupakan
pengenaan pajak yang menggunakan azas sumber penghasilan, tarif lebih rendah
diterapkan jika terdapat kepemilikan saham paling rendah 10% namun pada
umumnya kepemilikan saham yang ditentukan adalah 25% sesuai metode equity
dalam kepemilikan saham.
iii. Apabila penduduk asing tersebut memiliki usaha berupa BUT di negara sumber
penghasilan dalam hal ini negara Indonesia, maka pemajakannya bukan dividen,
namun berlaku ketentuan penghitungan laba rugi sebagaimana diatur dalam
ketentuan BUT, jika ada laba BUT dan tidak dibagi maka tidak akan dikenakan
pajak, sebaliknya jika ditransfer ke luar negeri maka dikenakan pemajakan
tersendiri sesuai dengan PPh pasal 26 ayat (4) dimana penghasilan kena pajak
dari suatu bentuk usaha tetap di Indonesia dikenakan pajak sebesar 20%, kecuali
74
penghasilan tersebut ditanamkan kembali di Indonesia, yang ketentuannya diatu
lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Article 13
ROYALTIES
(1) Royalti yang berasal dari negara pihak pada persetujuan dan dibayarkan kepada
penduduk dari suatu negara pihak lainnya pada persetujuan dapat dikenakan
pajak di negara lain tersebut.
(2) Namun demikian royalti tersebut dapat juga dikenakan pajak di negara pihak
pada persetujuan dimana royalti itu berasal sesuai dengan perundang -
undangan negara itu, tetapi apabila penerima royalti adalah pemilik royalti
yang menikmatinya, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10% dari
jumlah total kotor royalti. Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara
pihak pada persetujuan dengan mengadakan perjanjian yang saling
menguntungkan dapat mengatur pelaksanaan pengenaan pajak atas royalti
tersebut.
(3) Istilah ”royalty” sebagaimana digunakan dalam pasal ini berati segala jenis
pembayaran yang diterima sebagai balas jasa atas penggunaan, hak
menggunakan setiap hak cipta kesusasteraan, kesenian atau karya ilmiah,
termasuk film-film sinematrogafi dan film-film atau pita-pita untuk siaran
radio, televisi, paten, merk dagang, desain atau model, rencana rumus rahasia
atau cara pengolahan, atau hak menggunakan pelengkapan- perlengkapan
75
industri, perdagangan atau pengetahuan, atau untuk keterangan mengenai
pengalaman di bidang industri, perdagangan atau ilmu pengetahuan.
Penjelasan:
i. Istilah royalti menurut penulis adalah hak yang diterima oleh pemilik hak cipta,
hak paten atau pemberi informasi atas penggunaan hasil cipta atau penggunaan
merek oleh pihak ketiga.
Permasalahan:
i. Ayat (1) diatas menjelaskan bahwa dua negara, yaitu negara sumber dan negara
domisili diberi hak pemajakan atas royalti, dengan kata lain, hak mengenakan
pajak tidak diberikan hanya kepada satu negara. Ayat (2) merupakan
konsekuensi logis dari apa yang diatur dalam ayat (1), bahwa pengenaan pajak
oleh negara sumber dibatasi. Terdapat asumsi lagi, yaitu dalam bagian awal dari
kalimat pertama terdapat syarat bahwa hal itu berlaku sepanjang undang-undang
di negara sumber mengatur pengenaan pajak atas royalti melalui pemotongan.
Beberapa negara memang tidak mengenakan pajak terhadap royalti, sehingga
walaupun terdapat hak pemajakan dalam P3B tetapi undang-undang domestiknya
tidak mengatur hal itu, negara tersebut tidak dapat menerapkannya. Hal ini
mengartikan bahwa, pajak yang dikenakan di negara sumber dengan withholding
tax, sedangkan di negara domisili dengan menghitung kembali penghasilan
tersebut ke dalam laba usaha kantor pusat atau penerima royalti.
76
ii. Untuk menghindari pemajakan ganda, maka tarif withholding tax paling tinggi
pada umumnya 10%, dan sebaik mungkin lebih kecil pengenaannya, agar
pemajakan di negara sumber kredit pajaknya dapat dikreditkan seluruhnya.
Dibawah ini merupakan Tax treaty antara Indonesia dengan United Kingdom yang
menjelaskan tentang royalty netting payment pada 2006.
Tabel IV. 1 Royalty Netting Payment 2006 :
Reported
period
Paid In Amount (USD) Withholding
tax 20%
(without Tax
Treaty)
Withholding
tax10%
(Tax Treaty)
0905-1105 Feb 06 159,142.5 31,828.5 15,914.3
1205-0206 May 06 150,108.4 30,021.7 15,010.8
0306-0506 Aug 06 119,602.4 23,920.5 11,960.2
0606-0806 Nov 06 189,268.1 37,853.6 18,926.8
77
Article 25
ELIMINATION OF DOUBLE TAXATION
(1) Tunduk kepada undang-undang Inggris yang mengatur tentang pengkreditan
pajak atas yang dibayar di luar Inggris (yang tidak akan mengubah prinsip yang
terkandung dalam ketentuan ini):
a. Pajak Indonesia yang dibayar berdasarkan undang-undang di
Indonesia dan sesuai dengan ketentuan persetujuan ini, baik melalui
pembayaran langsung maupun melalui pemotongan atas laba,
penghasilan yang bersumber dari Indonesia (kecuali dalam hal
dividen, pajak atas laba dari mana dividen tersebut dibayar) dapat
dikreditkan terhadap pajak Inggris yang dihitung berdasarkan pajak
atas penghasilan yang sama seperti yang dikenai oleh Indonesia;
b. Dalam hal dividen yang dibayar oleh perusahaan yang berdomisili
di Indonesia kepada perusahaan yang berkedudukan di Inggris dan
yang menguasai baik secara langsung maupun tidak langsung
setidaknya 10% dari hak suara (persentase modal) pada perusahaan
yang membayar dividen, kredit pajak yang diberikan adalah
termasuk pajak atas laba usaha dari perusahaan tempat dividen
tersebut dibayarkan.
Untuk keperluan ayat (1) dari pasal ini, istilah “pajak Indonesia yang terutang “
mencakup pajak yang seharusnya dibayar tetapi dibebaskan atau diberi
keringanan. Keringanan dari pajak Inggris atas penghasilan dari mana pun
sumbernya tidak diberikan berdasarkan ayat ini jika penghasilan tersebut
timbul dalam masa 10 tahun setelah diberikan pembebasan, atau pengurangan,
78
dari pajak Indonesia yang diberikan pertama kali kepada sumber penghasilan
itu.
Pembahasan:
i. Ayat (1)a di atas menyebutkan bahwa jika penghasilan usaha (tidak termasuk
dividen) diperoleh penduduk Inggris dari Indonesia, pajak yang dibayar di
Indonesia dapat dikreditkan di Inggris.
ii. Ayat (1)b mengatur tentang pengkreditan pajak atas dividen yang dibayar oleh
perusahaan Indonesia. Ayat ini menunjukkan metode indirect credit dengan
memperkenankan kredit pajak atas pajak yang dipungut terhadap dividen dan
pajak di tingkat perusahaan yang membayar dividen tersebut. Syarat yang
harus dipenuhi adalah pemegang saham Inggris harus memiliki paling sedikit
10% penyertaan modal di perusahaan Indonesia. Dari ketentuan ini tampak
bahwa Inggris menganut indirect tax credit karena kredit pajak yang diberikan
adalah atas pajak atas dividen dan pajak atas laba usaha yang digunakan untuk
membayar dividen
iii. Metode tax sparing juga diterapkan dalam pasal ini. Dalam ayat (2)
menyebutkan bahwa berdasarkan undang-undang di Indonesia, dividen yang
diterima dari perusahaan di Indonesia dibebaskan dari pajak berdasarkan
insentif yang diberikan oleh pemerintah Indonesia. Dalam hal ini PMA
(Penanaman Modal Asing), yang salah satu pemegang sahamnya adalah
perusahaan yang berdomisili di Inggris, memperoleh fasilitas berupa tax
holiday. Fasilitas pembebasan pajak tersebut juga meliputi pembayaran dividen
kepada pemegang sahamnya, termasuk perusahaan Inggris tersebut.
79
Article 29
EXCHANGE OF INFORMATION
Pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua negara pihak pada persetujuan akan
melakukan tukar-menukar informasi yang diperlukan untuk melaksanakan
ketntuan-ketentuan dalam persetujuan ini atau untuk melaksanakan Undang-
Undang nasional masing-masing negara pihak pada persetujuan mengenai pajak-
pajak yang dicakup dalam persetujuan, sepanjang pengenaan pajak menurut
Undang-Undang negara yang bersangkutan tidak bertentangan dengan persetujuan
ini, khususnya untuk mencegah terjadinya penggelapan atau penyelundupan pajak.
Setiap informasi yang diterima yang diterima oleh salah satu negara akan dijaga
kerahasiannya seperti halnya informasi yang diperoleh berdasarkan Undang-
Undang nasional negara tersebut. Namun, jika informasi tersebut dianggap rahaia
di negara yang mengirimkannya, hal itu hanya boleh diungkapkan kepada orang-
orang yang berkaitan dengan penetapan atau penagihan pajak, pelaksanaan
tuntutan atau penentuan banding sehubungan dengan pajak-pajak yang dicakup
dalam persetujuan ini. Para pejabat yang berwenang melalui konsultasi, dapat
menetapkan syarat, metode, dan tekhnik yang berkaitan dengan masalah-masalah
pertukaran informasi, termasuk jika dipandang, pertukaran informasi yang
menyangkut penghindaran pajak.
Pembahasan:
Dalam pertukaran informasi yang dilakukan oleh kedua negara yang terlibat dalam
perjanjian terdapat faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh negara yang
mengirim informasi, dan oleh negara yang menerima informasi.
80
a. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan oleh negara yang mengirim
(Inggris).
Salah satu faktor yang perlu dijadikan pertimbangan adalah kemampuan
administrasi negara tersebut dalam mengirim informasinya. Hal ini
tergantung pada efektivitas prosedur administrasi yang ada dan
pemanfaatan dari sistem pemotongan pajak (withholding tax), pemanfaatan
data dalam SPT. Dalam hal ini, informasi yang dikirim berupa sebuah
transaksi yang terjadi antar mereka yang berada dalam satu grup di dua
negara, yang mungkin berpengaruh tehadap kewajiban pajak di negara
penerima sehubungan dengan Undang-Undang domestiknya atau dengan
ketentuan dalam persetujuan.
b. Faktor- faktor yang harus dipertimbangkan oleh negara yang menerima
(Indonesia)
Negara yang menerima informasi harus mempertimbangkan
kemampuannya dalam memanfaatkan data yang diterimanya secara rutin,
misalnya kemampuan menggunakan data tersebut dan menghubungkannya
secara efektif dengan wajib pajaknya.
Informasi tersebut diperlukan untuk menentukan kewajiban wajib pajak di
negara yang menerima informasi jika kewajiban tersebut tergantung pada
penghasilan dari seluruh dunia atau kekayaannya.
Sesuai dengan article 31 tax treaty tentang berlakunya persetujuan,
persetujuan ini akan sah berlaku pada hari ke 30 setelah tanggal pertukaran
81
instrumen ratifikasi dan diterapkan pada kedua negara, terhadap pandapatan yang
diterima selama suatu tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 Januari
tahun takwim berikutnya sesudah persetujuan ini sah berlaku.
Berdasarkan article 32 tax treaty tentang berakhirnya persetujuan,
persetujuan ini akan tetap berlaku sampai diakhiri oleh salah satu pihak pada
persetujuan. Masing-masing pihak pada persetujuan dapat mengakhiri berlakunya
persetujuan ini, melalui perwakilan diplomatik, dengan menyampaikan
pemberitahuan tertulis tentang berakhirnya persetujuan sekurang-kurangnya 6
bulan sebelum berakhirnya tahun takwim berikutnya sejak tahun 1977. Dengan
demikian, persetujuan ini tidak akan berlaku lagi bagi kedua negara sehubungan
dengan pendapatan yang diperoleh selama tahun pajak yang dimulai atau setelah 1
Januari tahun takwim berikutnya setelah pemberitahuan tersebut. Dengan
kesaksian para penandatangan yang telah diberi surat kuasa sah untuk ini oleh
masing-masing pemerintahnya telah menandatangani persetujuan ini.
Tax Treaty ini dibuat dalam rangkap dua di Jakarta pada tanggal 13 maret 1974.
IV.2.2. Transaksi Dalam Hubungan Istimewa
Hubungan istimewa di antara wajib pajak dapat terjadi karena
ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
i. Kepemilikan atau penyertaan modal langsung atau tidak langsung
paling rendah 25% pada wajib pajak lain.
ii. Adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan
teknologi
82
Apabila terdapat transaksi internasional yang tidak wajar, misalnya adanya
transfer pricing, untuk penjualan ke Indonesia lebih besar dibandingkan dengan
pembelian yang dilakukan dari Indonesia, sehingga mengakibatkan usaha di
Indonesia mengalami kerugian, maka Direktur Jenderal Pajak akan menghitung
kembali jumlah kewajaran atas penghasilan dan biaya tersebut dalam Pasal 18 UU
PPh.
Maksud diadakannya ketentuan Pasal 18 adalah untuk mencegah terjadinya
penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila
terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan
kurang dari seharusnya. Dalam hal demikian Direktur Jenderal Pajak berwenang
untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan
keadaan seandainya di antara para wajib pajak tersebut tidak terdapat hubungan
istimewa.
Di samping itu Direktur Jenderal Pajak juga berwenang melakukan perjanjian
dengan wajib pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain
untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa, yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi
pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu berakhir.
Perjanjian dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dikenal dengan nama
Advance Pricing Agreement (APA), yang merupakan kesepakatan antara wajib
pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang
dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa
dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik
penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Serta keuntungan
83
dari APA adalah bahwa aparat perpajakan tidak lagi disibukkan dengan penelitian
apakah transaksi yang dipengaruhi oleh hubungan istimewa sudah arm’s length
(atau setidaknya mendekati arm’s length) atau belum. Transfer pricing merupakan
suatu isu pajak yang utama, oleh karena itu sebagian besar negara yang menerima
perjanjian modal Organization of Economic Cooperation and Development
(OECD) dimana salah satunya adalah Negara Inggris, menyatakan bahwa harga-
harga transfer sebaiknya disesuaikan dengan arm’s length standard.
Pernyataan transaksi dalam hubungan istimewa pada PT. EMI Indonesia,
dalam hal perusahaan dalam tahun pajak melakukan transaksi dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa, antara lain dengan pihak:
a. EMI Music UK
b. EMI Electrola Germany
c. EMI Australia
d. EMI Music USA
e. EMI Music Netherlands
f. EMI Medley Denmark
g. EMI Sweden
h. Toshiba EMI Japan
i. EMI Malaysia
j. Virgin Recordse
Dan dalam hal ini PT. EMI Indonesia belum mempunyai perjanjian dengan
Direktur Jenderal Pajak mengenai penentuan harga transfer atas transaksi tersebut
diatas. PT. EMI Indonesia menggunakan metode harga pasar dalam penentuan
harga transfer untuk masing-masing transaksi tersebut. Penentuan harga transfer
84
berdasarkan harga pasar digunakan oleh PT. EMI, karena dengan market basis
dapat mengukur kinerja divisi atau unit dalam satu grup perusahaan, serta
sekaligus dapat merefleksikan keuntungan setiap produk dan menstimulasi divisi
untuk bekerja per basis kompetisi. Basis ini dianggap merupakan tolak ukur untuk
menilai kinerja manajer divisi, karena kemampuannya menghasilkan laba dan
merangsang divisi untuk bekerja secara bersaing.
IV.3 Analisis Laporan Keuangan PT. EMI Indonesia
Dari laporan keuangan PT. EMI Indonesia yang telah disediakan dalam bab
sebelumnya, dalam bab ini akan dijabarkan beberapa akun neraca serta laba rugi pada
akhir tahun 2005 dengan tahun 2006, antara lain:
1. FIXED ASSETS
Movements in 2006
Balance Balance
March 31,2005 Additions Deductions March 31,2006
At cost
Furniture and fittings 736,212 32,678 (105,862) 663,028
Office equipment 415,756 137,634 - 553,390
Motor vehicles 1,937,872 1,238,000 (319,000) 2,856,872
Computer and accessories 1,699,253 77,888 (18,858) 1,758,283
4,789,093 1,486,200 (433,720) 5,831,573
Accumulated depreciation
Furniture and fittings 607,837 101,008 (88,812) 620,033
Office equipment 323,562 103,679 - 427,241
85
Motor vehicles 1,008,643 584,158 (192,729) 1,400,072
Computer and accessories 1,423,737 114,550 (18,858) 1,519,429
3,363,779 903,395 (300,399) 3,966,775
Net book value 1,425,314 1,864,798
2. ACCOUNT PAYABLE
2006 2005
Trade 5,603,786 4,820,818
Other payable 653,926 715,598
6,257,712 5,536,416
3. ACCRUAL AND OTHER LIABILITIES
2006 2005
Provision for returns 1,092,532 807,240
Bonus 552,765 -
Provision for employee benefit 539,702 474,775
Marketing and promotion 164,741 689,550
Professional fees 115,840 138,481
Distribution cost 113,705 338,858
Others 1,151,101 661,680
3,730,386 3,110,584
4. ROYALTIES
2006 2005
Due to affiliated company 2,733,372 4,375,810
Due to third parties 4,039,903 2,826,213
6,773,275 7,202,023
5. SHAREHOLDER’S EQUITY
The share ownership compotition as of March 31, 2006 and 2005 was as follows:
86
Percentage Numbers Amount Amount
Shareholders of ownership of shares (Rupiah) (US$)
EMI Group International B.V. 99% 2,475 577,417 247,500
Delta Holdings B.V 1% 25 5,833 2,500
100% 2,500 583,250 250,000
6. NET REVENUE
2006 2005
Sales of local album 50,938,714 20,333,435
Sales of international albums 24,526,969 32,471,750
Distribution deal sales 23,551,719 32,260,210
Royalties income 2,981,048 474,506
Joint venture revenue 823,058 98,152
102,821,508 85,638,053
Less:
Free goods and discounts (9,518,487) (10,280,807)
Sales return (12,118,932) (11,078,025)
81,184,932 64,279,221
7. COST OF SALES
2006 2005
Distribution deal 12,178,722 18,117,785
Manufacturing and distribution 13,314,333 12,338,444
Royalties and copyrights 19,651,476 12,299,505
Managements charges 1,466,547 1,749,340
Provision for obsolete inventories 772,345 1,255,941
Joint venture costs 48,813 582,623
Recording costs 1,611,825 457,007
Product origination 335,285 321,985
49,379,346 47,122,630
87
8. SELLING AND MARKETING
2006 2005
Promotion 7,549,042 3,925,891
Employee remuneration 1,595,229 1,117,875
Distribution 424,423 363,513
Depreciation 244,331 247,094
Provisions for returns and doubtful accounts 856,889 171,742
Others 355,867 239,410
11,025,781 6,065,525
9. GENERAL AND ADMINISTRATION
2006 2005
Employee remuneration 2,793,569 2,071,411
Professional services 245,752 703,586
Office lease 653,508 630,545
Depreciation 659,064 544,136
Provision (reversal) for advances (159,290) 104,288
Others 1,734,023 1,407,953
5,926,626 5,461,919
10. TAXATION ( in thousand rupiah)
a. Prepaid taxes 2006 2005
Value added tax stickers 2,196,163 1,593,893
Value added tax 348,536 1,127,310
2,544,699 2,721,203
b. Taxes payable
Corporate income tax payable 2,464,396 218,002
Employee income tax-article 21 49,095 35,909
Withholding tax-article 23 195,925 87,602
2,709,416 341,513
88
c. Corporate income tax (benefit) 5,179,119 2,172,605
Deffered (457,601) (211,156)
4,721,518 1,961,449
d. Reconciliation between tax expense and the product of accounting multiplied by the tax
rate:
2006 2005
Income before corporate income tax 15,296,100 5,904,010
Expense (income)that are not deductible/
(assessable) in determinimg taxable profit:
Income subject to final tax-interest ( 461,672) (203,467)
Gain from disposal of assets (41,816) (871)
Benefits in kind 276,881 117,296
Depreciation of fixed asset 316,636 (216,975)
Other non deductible expense 410,598 1,049,482
Temporary differences:
Provision for inventories 772,345 453,078
Provision (reversal) for doubtful accounts 571,597 (47,644)
Provision for returns 285,292 219,386
Provision for employee 64,927 (484,538)
Depreciation of fixed asset (9,533) 406,307
Provision (reversal) for advance (159,290) 104,288
Taxable income subject to tax at standard
Statutory rates 17,322,065 7,300,352
Income tax expense at standard statutory rates 5,179,119 2,172,605
e. Deffered tax assets consist of:
Provision for employee 161,911 142,433
89
Provision for inventories 578,482 346,779
Provision for returns 327,482 242,172
Provision for advances 65,959 113,746
Provision for doubtful accounts 229,613 58,134
Fixed assets 29,313 32,173
Deffered tax assets 1,393,038 935,437
Dari beberapa pos-pos akun dari laporan neraca dan laba/rugi yang
diperbandingkan antara akhir tahun 2005 dengan 2006, menunjukkan:
1. Jumlah rupiah masing-masing aktiva, hutang dan modal serta jumlah total masing-
masing golongan aktiva, hutang, modal pada tanggal 31 Maret 2005 dan 31 maret
2006 dengan perubahan-perubahannya.
2. Dari perubahan (kenaikan dan penurunan) dapat diketahui bahwa:
a. Aktiva lancar naik Rp 13,594,859,- sedangkan hutang lancar hanya naik Rp
3,940,684,-. Hal ini menunjukkan adanya kenaikan modal kerja yang
kemungkinan disebabkan oleh diperolehnya keuntungan, perubahan aktiva tetap
menjadi aktiva lancar melalui proses penjualan ataupun penyusutan dan
penambahan modal saham. Dengan adanya perubahan aktiva lancar yang lebih
baik daripada perubahan hutang lancar menunjukkan adanya perbaikan posisi
keuangan jangka pendek.
b. Aktiva tetap naik sebesar Rp 920,407 dan modal naik sebesar Rp 10,574,582
dimana Rp 583,250 merupakan jumlah saham yang beredar. Adanya kenaikan
dalam sektor modal sendiri menunjukkan bahwa modal sendiri semakin
berperanan sebaliknya modal yang berasal dari kreditor semakin kurang
90
berperan, tetapi keamanan para kreditor semakin terjamin karena perusahaan
makin solvabel.
c. Perubahan dalam jumlah-jumlah rupiah seperti yang diterangkan di atas, nampak
lebih jelas lagi perubahan dalam prosentasenya. Aktiva lancar naik dengan 42%
sedangkan hutang lancar hanya naik 21% berarti perusahaan makin likwid.
Total aktiva naik 41%, modal naik 65%. Hal ini menunjukkan bahwa posisi
keuangan jangka panjang dalam tahun 2006 lebih baik dibandingkan 2005.
3) Dalam neraca dan laba rugi yang diperbandingkan tersebut dapat diketahui pula
prosentase masing-masing pos terhadap jumlah aktiva ataupun jumlah hutang dan
modal. Data tersebut dangat membantu bagi pengambilan keputusan terhadap
perusahaan.
4) Dengan menganalisa Laporan Laba Rugi yang diperbandingkan antara periode 2005
dan 2006 akan diperoleh berbagai kesimpulan yang dapat membantu dalam proses
pengambilan keputusan, disamping itu diketahui tingkat perkembangan dan efisiensi
yang telah dicapai misalnya:
a. Terdapat kenaikan pendapatan bersih sebesar 26% diikuti dengan kenaikan Cost
of Sales sebesar Rp 2,256,716, sehingga laba kotor naik sebesar 86%. Kenaikan
laba kotor tersebut dapat disebabkan oleh adanya perubahan volume penjualan
dan perubahan harga jual.
b. Biaya penjualan naik Rp 4,960,256 atau 82% dan biaya administrasi naik Rp
464.707 atau 8%.
c. Adanya kenaikan penjualan dapat mengakibatkan naiknya laba besih.
91
d. Gross income dalam tahun 2006 mengalami kenaikan sebanyak Rp 14,648,995
(86%), kenaikan gross income ini karena adanya kenaikan net revenue sebesar
Rp 16,905,711 (26%).
e. Ditinjau dari modal kerjanya maka dalam tahun 2006 telah mengalami kenaikan
sebesar Rp 9,654,175.
Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa:
1. Ditinjau dari faktor likwiditas tahun 2006 lebih baik daripada tahun 2005,
karena current ratio tahun 2005 sebesar 173%, sedang dalam tahun 2006
sebesar 203%.
2. Ditinjau dari faktor solvabilitas tahun 2006 lebih solvabel daripada tahun 2005
karena solvabilitas tahun 2006 sebesar 218% sedang tahun 2005 hanya 187%.
3. Ditinjau dari rentabilitas dan efisiensi perusahaan secara keseluruhan, maka
tahun 2006 lebih efesien dibanding dengan 2005. Rentabilitas ekonomis tahun
2006 ada 57% sedangkan tahun 2005 hanya 36%. Rentabilitas modal sendiri
(tanpa memperhatikan beban pajak) dalam tahun 2006 39% dan tahun 2005
24%.
IV.4 Analisis Perhitungan Pajak Penghasilan PT. EMI Indonesia.
Tax treaty hanya mencakup pada Undang–Undang Pajak Penghasilan (UU PPh) dan
tidak berlaku untuk Undang–Undang Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Ketentuan –
ketentuan dalam Undang–Undang PPh yang terkait dengan perpajakan internasional
khususnya yang menyangkut kerja sama antara perusahaan di Indonesia dengan United
Kingdom adalah sebagai berikut :
92
o Pasal 23 UU PPh
(1) Atas penghasilan tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk
apa pun yang dibayarkan atau terutang oleh badan pemerintah, subjek
pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau
perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada wajib pajak dalam
negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib
membayarkan :
a. Sebesar 15% dari jumlah bruto atas :
1) Dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g
2) Bunga sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f
3) Royalti
4) Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotong pajak
penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 ayat (1)
huruf e
b. Sebesar 15% dari jumlah bruto dan besifat final atas bunga
simpanan yang dibayarkan oleh koperasi
c. Sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto atas :
1) Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta
2) Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa
konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah
dipotong pajak penghasilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 21.
93
(2) Besarnya perkiraan penghasilan neto dan jenis jasa lain sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) huruf c ditetapkan dengan keputusan Direktur
Jenderal Pajak
(3) Orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri dapat ditunjuk oleh
Direktur Jenderal Pajak untuk memotong pajak sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
(4) Pemotongan pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilakukan
atas :
a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank
b. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa
guna usaha dengan hak opsi
c. Dividen sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf f
d. Bunga obligasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3)
huruf j
e. Bagian laba sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf i
f. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada
anggotanya.
g. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan
dengan Keputusan Menteri Keuangan yang dibayarkan oleh
koperasi kepada anggotanya.
Dari hasil perhitungan PPh pasal 23 pada PT. EMI terdapat PPh yang dipotong
sebesar Rp.763.439.920. Dari daftar kredit pajak yang tersedia, maka jumlah kredit
pajak PPh Pasal 22 dengan PPh Pasal 23 adalah sebesar Rp. 772,532,007.
94
o Pasal 24 UU PPh
Untuk menghindari terjadinya pajak berganda, maka negara Indonesia
mengatur dalam Pasal 24 tentang pengkreditan pajak luar negeri atas penghasilan
yang diterima atau diperoleh penduduk Indonesia di luar negeri.
Pajak yang dibayar atau terutang di luar negeri terutang pajak atas seluruh
penghasilan, termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam
negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang terutang berdasarkan Undang-
Undang ini dalam tahun pajak yang sama. Ketentuan ini bermanfaat untuk
meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena pemajakan atas
penghasilan yang diterima di luar negeri.
Ketentuan kredit pajak luar negeri adalah sebesar pajak penghasilan yang
dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi perhitungan pajak
yang terutang berdasarkan Undang-Undang PPh. Untuk memberikan perlakuan
pemajakan yang sama antara penghasilan yang diterima dari luar negeri dengan
penghasilan yang diterima di Indonesia, maka besarnya pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri dapat dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia
tetapi tidak boleh melebihi besarnya pajak terutang di Indonesia.
o Withholding Tax PPh Pasal 26
Penghasilan yang diterima oleh Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh
penghasilan dari Indonesia, harus dikenakan pajak, karena negara Indonesia
menganut azas sumber (Source Principle) yaitu siapapun yang memperoleh
penghasilan dari negara Indonesia maka harus dilakukan pemotongan pajak.
95
Pemotongan tersebut merupakan Objek PPh Pasal 26. Subjek Pajak Dalam
Negeri di Indonesia yang melakukan pembayaran kepada Subjek Pajak Luar
Negeri (SPLN) atas penghasilan yang diterima atau berasal dari Indonesia harus
melakukan pemotongan PPh Pasal 26 sebesar 20%.
IV.4.1. Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak dalam Tahun Berjalan
o Pasal 25
(1) Besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan adalah sebesar Pajak
Penghasilan yang terutang menurut Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang lalu dikurangi dengan:
a. Pajak Penghasilan yang dipotong sebagaimana yang dimaksud dalam
pasal 21 dan pasal 2 serta Pajak Penghasilan yang dipungut
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 22; dan
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang
boleh dikreditkan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 24 dibagi
12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
(2) Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri oleh Wajib Pajak
untuk bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT PPh, sama dengan
besarnya angsuran pajak untuk bulan terakhir tahun pajak yang lalu.
Penjelasan:
Ketentuan ini mengatur tentang penghitungan besarnya angsuran perbulan yang
Dibayar PT. EMI dalam tahun berjalan:
96
Penghasilan kena pajak Rp 17,322,065,000
Penghasilan tidak teratur
- laba karena selisih kurs (24,739,142)
- laba karena penjualan aktiva (15,137,077)
Penghasilan teratur kena pajak, dibulatkan Rp 17,282,188,000
PPh badan
- 10% X 50,000,000 5,000,000
- 15% X 50,000,000 7,500,000
- 30% X 17,182,188,000 5,154,656,400
Total PPh Badan Rp 5,167,156,400
Kredit Pajak
- PPh pasal 22 9,092,087
- PPh pasal 23 763,439,920
Total kredit pajak Rp 772,532,007
Dasar penghitungan PPh Pasal 25 Rp 4,394,624,393
PPh pasal 25 bulanan tahun pajak 2006 Rp 366,218,699
Besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri setiap bulan untuk tahun 2006
adalah sebesar Rp 366,218,699.
97
IV.4.2 Fiskal Luar Negeri
Berdasarkan pasal 25 ayat (8), Wajib Pajak Orang Pribadi yang bertolak ke
luar negeri diwajibkan membayar pajak yang ketentuannya diatur dengan peraturan
pemerintah. Peraturan pemerintah yang terakhir adalah PP no.42 tahun 2000.
Pembayaran Fiskal Luar Negeri dan Tata Cara Pengkreditannya berdasarkan
surat edaran Direktur Jenderal Pajak noor SE-27/PJ.41/2000 diatur sebagai berikut:
1. Setiap orang pribadi yang akan bertolak ke Luar Negeri selain mereka
yang dikecualikan, diwajibkan membayar Pajak Penghasilan Pasal 25
(Fiskal Luar Negeri ), sebesar:
a. Rp1.000.000 (satu juta rupiah) bagi setiap orang untuk setiap kali
bertolak ke Luar Negri dengan menggunakan pesawat udara;
b. 500.000 (lima ratus ribu rupiah) bagi setip orang untuk setiap
kali bertolak ke Luar Negeri dengan menggunakan kapal laut.
2. Pembayaran PPh Pasal 25 tersebut dilaksanakan dengan menggunakan
Tanda Bukti Fiskal Luar Negeri (TBFLN) di unit Pelaksana Fiskal Luar
Negeri di Bandar udara atau pelabuhan laut keberangkatan ke luar negeri
maupun tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak.
PT. EMI Indonesia, yang merupakan perusahaan yang bekerja sama dengan
perusahaan asing di luar negeri dan sering bertolak ke luar negeri dalam melaksanakan
operasional perusahaannya wajib untuk membayar fiskal luar negeri. Daftar Surat
Keterangan Fiskal Luar Negeri PT. EMI Indonesia untuk tahun yang berakhir pada 31
Maret 2006 terdapat Total Fiskal Luar Negeri sebesar Rp.24,000,000. Pajak
98
Penghasilan yang wajib dibayar tersebut merupakan angsuran pajak yang dapat
dikreditkan dengan jumlah pajak penghasilan yang terutang pada akhir tahun.
IV.5. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan PT. EMI
Setelah tahun pajak berakhir, sebagai wajib pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakannya harus mengambil SPT (Surat Pemberitahuan) Tahunan Pajak Penghasilan
(SPT Tahunan PPh) ke Kantor Pelayanan Pajak dan harus dikembalikan paling lambat
tanggal 31 Maret setelah akhir tahun takwim. Dalam hal tahun buku tidak sama dengan
tahun takwim, SPT Tahunan paling lambat disampaikan 3 (tiga) bulan setelah tahun
buku berakhir.
PT. EMI Indonesia telah memenuhi kewajiban perpajakannya dengan menyetor
SPT Tahunan PPh pada Tanggal 26 Juni 2006 dengan status kurang bayar sebesar Rp
2.281.279.571 dan ditandatangani oleh Agus Kuswanto selaku Direktur Keuangan PT.
EMI. Laporan keuangan PT. EMI telah diaudit oleh kantor akuntan publik ERNST &
YOUNG, dimana berdasarkan Independent Auditors’ Report tersebut laporan keuangan
PT. EMI telah disajikan dengan wajar dalam semua hal yang material berdasarkan
prinsip dan kriteria Generally Accepted Accounting Principles (GAAP) di Indonesia.
Dalam penyajian SPT juga terdapat lampiran Daftar Pemegang Saham/ Pemilik
Modal yang terdiri dari EMI Group International BV dengan jumlah modal yang disetor
sebesar 99%, serta Delta Holding BV dengan jumlah modal yang disetor sebesar 1%,
Serta Daftar Susunan dan Komisaris antara lain; Arnel Affandi sebagai Managing
Director dan Agus Kuswanto sebagai Director.
99
IV.6 Laporan Koreksi Fiskal PT. EMI
Besarnya pajak penghasilan suatu badan akan menimbulkan suatu masalah. Hal ini
terjadi karena adanya perbedaan interpretasi antara pihak perusahaan dan pihak fiskus.
Dalam menentukan dan atau mengakui penghasilan (pendapatan) dan biaya (beban)
antara akuntansi dan PPh terdapat persamaan dan perbedaan. Perbedaan terdiri dari beda
tetap (permanent difference) dan beda waktu (temporary difference).
Perbedaan waktu adalah perbedaan antara “accounting base” yaitu nilai buku atau
nilai tercatat aktiva dan kewajiban menurut akuntansi dengan “Tax Base” yaitu nilai
buku fiskal yang digunakan untuk menghitung penghasilan kena pajak (rugi fiskal) yang
dilaporkan dalam SPT-PPh. Perbedaan tetap adalah perbedaan pengakuan pendapatan
dan beban antara akuntansi komersial dan fiskal yang selamanya tetap berbeda.
Perbedaan tersebut berpengaruh kepada pos-pos laba rugi yang secara langsung
mempengaruhi besarnya penghasilan kena pajak, dan penjelasan penggolongan
perbedaan tersebut dikelompokkan dalam permanent difference atau dimasukkan dalam
kelompok timing difference. Dalam pembahasan akan disajikan terlebih dahulu nilai pos
yang bersangkutan menurut laporan keuangan perusahaan, lalu koreksi fiskal yang
dilakukan perusahaan.
Koreksi fiskal terdiri dari satu atau dua jenis koreksi. Koreksi yang disebabkan
oleh perbedaan waktu (timing difference) saja, koreksi yang disebabkan oleh perbedaan
tetap (permanent difference) saja, maupun koreksi fiskal karena dipengaruhi oleh
keduanya. Oleh karena itu, dalam pembahasan untuk setiap pos akan dipisahkan antara
selisih yang disebabkan oleh perbedaan waktu dan yang disebabkan oleh perbedaan
tetap.
100
Perhitungan PPh untuk laba usaha dihitung berdasarkan laporan keuangan yang
dibuat perusahaan berasarkan PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan), berupa
neraca dan laporan laba rugi. Untuk keperluan laporan keuangan tersebut perlu
direkonsiliasi menjadi laporan keuangan fiskal, hal ini menimbulkan koreksi-koreksi
fiskal sebagai berikut:
a. Koreksi fiskal positif : koreksi fiskal yang menyebabkan bertambahnya laba
fiskal dibandingkan laba komersial, penyebabnya adalah tidak diakuinya beban
komersial oleh fiskal. Contoh: sumbangan, beban natura.
b. Koreksi fiskal negatif : koreksi yang menyebabkan berkurangnya laba fiskal
dibandingkan laba komersial, penyebabnya adalah diakuinya beban yang lebih
besar oleh fiskal dibandingkan dengan komersial, contoh: beban depresiasi.
Penyebab lainnya adalah pendapatan menurut komersial bukan pendapatan
menurut fiskal, contoh: pendapatan bunga deposito karena sudah dikenakan
PPh final.
Akibat koreksi fiskal tersebut diatas menyebabkan berbedanya jumlah laba
komersial dengan laba fiskal. Dalam perhitungan net income PT. EMI Indonesia untuk
tahun yang berakhir pada 31 maret 2006 terdapat perbedaan antara perhitungan yang
dilakukan secara komersial dan secara fiscal atau terdapat Koreksi Fiskal – Positif /
Negatif. Dalam penyajian secara fiskal nilai yang disajikan sebagai net income sebesar
Rp 596,291,363 sedangkan secara komersial sebesar Rp 903.394.293. Untuk itu terdapat
selisih biaya penyusutan sebesar Rp (307,102,920).
101
Koreksi Fiskal – Positif / Negatif
I. Koreksi fiskal karena beda sementara
Biaya penyusutan (307,102,931)
Provisi (1,534,872,066)
Total Beda Sementara (1,841,974,997)
II. Koreksi fiskal karena beda tetap
Koreksi positif :
Penggantian atau imbalan pekerjaan (290,933,213)
Lain-lain (396,545,246)
Total koreksi positif (687,478,459)
Koreksi negatif :
Pendapatan bunga 461,672,214
Laba/(rugi) penjualan aktiva tetap 41,815,832
Total koreksi negatif 503,488,046
Total Beda Tetap (183,990,413)
Dalam penyajian perkiraan tersebut mencakup jumlah seluruh penyusutan yang
dilakukan oleh perusahaan dengan menggunakan metode saldo menurun (declining
balance method).
Jadi koreksi fiskal yang dilakukan merupakan selisih biaya penyusutan, karena
metode dan besarnya persentase. Metode saldo menurun akan menghasilkan suatu
pengakuan biaya penyusutan yang lebih cepat dibandingkan dengan metode garis lurus.
102
Perbedaan yang terjadi dalam alokasi nilai atau harga perolehan merupakan perbedaan
yang bersifat sementara (timing difference) yang akan terhapus dengan sendirinya dalam
beberapa periode.