bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00022-ak-bab 2.pdf ·...
TRANSCRIPT
8
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional
II.1.1 Perjanjian Internasional
Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua
negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi
dan perekonomian negara tersebut.
Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada
bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional
harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen
peraturan perundang - undangan yang jelas.
Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan,
pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati
para pihak dalam perjanjian internasional.
Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:
a. ratifikasi (ratification)
b. aksesi (accession)
c. penerimaan (acceptance)
d. penyetujuan (approval)
9
Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila
berkenaan dengan: masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan
wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak
berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum
baru, pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang
materinya tidak termasuk masalah tersebut, dilakukan dengan Keputusan Presiden
(Keppres).
Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan
itikad baik.
b. Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan
berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntungkan, dan
memperhatikan, baik hukum nasional maupun internasional yang berlaku.
II.1.1.1 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional
Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagai berikut:
A. Penjajakan
Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan permohonan
kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan
suatu perjanjian perpajakan dengan Indonesia. Sebelum permohonan diajukan,
didahului dengan pembicaraan atau penjajakan antara perwakilan negara asing
bersangkutan di Indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia
(Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi
permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak
10
Indonesia, yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa berkepentingan untuk
mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.
Dalam hal negara asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah
Indonesia, permohonan resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masing-
masing kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Departemen Luar
Negeri Republik Indonesia kemudian meneruskan permohonan tersebut kepada
instansi terkait, yaitu Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai
instansi yang menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia.
Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan jawabannya kepada
Departemen Luar Negeri. Departemen Luar Negeri kemudian meneruskan jawaban
tersebut kepada pihak yang mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang
memberikan jawaban resminya adalah Departemen Luar Negeri atas nama
Indonesia. Jawaban dapat berisi persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi
penolakan kalau dipandang dari segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan
lainnya, kurang dirasakan manfaat bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya
dapat pula berisi penundaan, kalau kondisinya belum memungkinkan bagi
Indonesia untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang
bersangkutan.
B. Perundingan
Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan perjanjian itu
disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu dilakukannya saling surat
menyurat antara kedua belah pihak baik langsung maupun melalui saluran-saluran
diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama akan diadakan, dimana
11
tempatnya dan merundingkan masalah-masalah protokoler lainnya. Berdasarkan
kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa, tempat perundingan
biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di negara asing yang
mengadakan perjanjian dengan Indonesia itu.
Dalam perundingan pertama, biasanya masing-masing delegasi mengajukan
draft kerja (working draft) Konvensi Perpajakan masing-masing sebagai bahan
yang akan dibahas dalam perundingan. Istilah konvensi (convention) biasanya
digunakan bagi perjanjian-perjanjian formal yang bersifat multilateral. Istilah ini
juga meliputi piagam-piagam yang disetujui oleh lembaga-lembaga internasional
seperti misalnya Konvensi Buruh Internasional. Namun pada naskah resmi
perjanjian-perjanjian perpajakan yang diadakan oleh Indonesia dipergunakan
istilah agreement (persetujuan), walaupun perjanjian-perjanjian perpajakan yang
bersangkutan tingkatannya merupakan suatu traktat (treaty), bukan agreement
(persetujuan). Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian perpajakan
di Indonesia memakai Model Indonesia yang merupakan campuran antara model
Konvensi Perpajakan yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation
and Development (OECD) dan United Nation Model. Disamping itu, yang
dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian perpajakan yang telah
diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.
C. Penerimaan.
Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi permasalahan telah
dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan pemarafan atas draft
perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi. Draft perjanjian
12
perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh masing-masing delegasi
perundingan disampaikan kepada masing-masing pemerintahnya untuk
mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut disampaikan ke Menteri
Keuangan, Menteri Luar Negeri dan Sekretariat Negara, dengan dilampiri laporan
singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam perundingan.
D. Penandatanganan
Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah
masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah penandatanganan perjanjian oleh
wakil-wakil dari masing-masing negara. Di Indonesia, yang berwenang untuk
menandatangani suatu perjanjian perpajakan adalah Menteri Luar Negeri. Dalam
hal penandatanganan suatu perjanjian perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan
ke pejabat terkait lain, misalnya Menteri Keuangan atau Duta Besar Indonesia
yang bertugas di negara yang mengadakan perjanjian perpajakan dengan
Indonesia.
Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan
para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian
tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi
pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar
ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian
lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian
hilang atau terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.
13
II.1.1.2 Jenis Atau Penggolongan Perjanjian Internasional.
Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyatakan bahwa “Jenis-jenis perjanjian
internasional adalah perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral” (h.122).
Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, contohnya: perjanjian
antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi
kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral berarti perjanjian antara
banyak pihak. Contohnya: Konvensi Wina atau Konvensi Jenewa.
Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan keterikatan
negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua;
a. Kontrak perjanjian (treaty contract), dan
b. Perjanjian - perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties) .
Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak
dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law
making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah
hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.
II.1.2 Perjanjian Perpajakan Internasional
Agus Setiawan (2006) mendefinisikan “Perjanjian perpajakan internasional di
Indonesia adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang
perpajakan” (h.16).
Perjanjian perpajakan internasional tersebut bentuknya adalah:
a. Persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty)
b. Cara penerapan (mode of application)
c. Tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure)
14
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran
pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak
pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu
atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states).
Beberapa pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda memerlukan
aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of
application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat
perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual
agreement procedure.
Contoh mode of application adalah menerangkan tentang adanya beneficial owner.
Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen,
bunga atau royalty baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak
sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan
tersebut.
II.2. Hukum Internasional.
II.2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Internasional
Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah Internasional adalah:
a. Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;
b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah
diterima sebagai hukum;
c. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;
15
d. Keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari
berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.
Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsa-
bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara-negara. Hukum
internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara
negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat yang didasarkan atas negara-negara
nasional. Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah
mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina.
Konvensi Internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antarnegara yang
ikut menandatangani tersebut, hal ini karena:
a. Hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi dari pada
hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih banyak masyarakat
internasional;
b. Hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum
internasional, dan juga merupakan kehendak bersama;
c. Kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat
terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat.
Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty bukanlah semata-
mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada azas timbal balik dan keinginan
yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
16
II.2.2 Pengertian dan Sumber Hukum Pajak Internasional
II.2.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional
Ottmar Buhler yang terjemahkan oleh Agus Setiawan. (2006)
mendefinisikan, ”Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-
kaedah norma hukum perselisihan yang diasarkan pada hukum antar bangsa
(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah
kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang
mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan” (h.5).
Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi
sebagai berikut:
1. National External Tax Law
National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional
yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai
daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,
baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya
(subjek ada di luar negeri).
2. Foreign Tax Law
Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-
peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.
3. International Tax Law
International tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak
internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang
berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain
sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim
17
diterima baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal
perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.
II.2.2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional
Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji,
sehingga penulis mempersempitnya hanya berkaitan dengan Negara Indonesia,
sumber-sumber hukum tersebut antara lain:
A. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing,
antara lain :
i. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)
tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan
pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan
pencegahan pengelakan pajak”;
ii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek Pajak
Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);
iii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk
Subjek Pajak;
iv. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tantang: Hubungan
Istimewa, bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan;
v. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak
Luar Negeri;
vi. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan
Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari
Indonesia.
18
B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:
i. Perjanjian Bilateral, yang diwujudkan dengan adanya Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda;
ii. Perjanjian Multilateral, perjanjian ini seperti Konvensi Wina.
C. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak
internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan
pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan
Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.
II.3. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)
II.3.1 Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Mengacu pada pendapat John Hutagaol. (2000) pengertian perjanjian penghindaran
pajak berganda dikemukakan sebagai perjanjian pajak antar kedua negara bilateral yang
mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh
penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Contracting
States). Karena itu, perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian
internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan
agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling
menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.
II.3.2 Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang paling utama adalah
mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda.
19
Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:
a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak;
b. Memberikan kepastian;
c. Pertukaran informasi;
d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B;
e. Non diskriminasi;
f. Bantuan dalam penagihan pajak;
Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda secara umum adalah sebagai
berikut:
A. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha
Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di
kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di
tempat di mana mereka berkedudukan.
Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian
hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.
B. Peningkatan investasi modal dari luar negeri.
Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman
saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka
dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan
modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
C. Peningkatan sumber daya manusia.
Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di
negara dimana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat
meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila
20
penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan
dikenakan, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar dan
menambah ilmu di luar negeri.
D. Exchange of Information guna mencegah pengelakan pajak.
Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka
penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas
terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.
E. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.
P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan
prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua
negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh
sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.
II.3.3 Azas Pengenaan Pajak Penghasilan
Berlakunya P3B, tidak terlepas dari azas pengenaan pajak sumber, domisili atau
kewarganegaraan, dimana agar tidak terjadinya double taxation, maka diperlukan aturan
yang mengatur tentang P3B itu.
A. Azas domisili atau azas kependudukan (domicile/residence principle)
Azas domisili atau kependudukan, negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila orang
pribadi tersebut merupakan penduduk atau resident atau berkedudukan di negara itu atau
apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.
21
Azas ini menerapkan perhitungan penghasilan seluruh dunia untuk dihitung di mana
orang pribadi atau badan berdomisili (world wide income concept).
B. Azas sumber (source principle)
Azas sumber akan mengenakan pajak dimana orang pribadi atau badan
memperoleh penghasilan, dan tidak melihat dimana seseorang atau badan itu
berdomisili. Yang terpenting dalam pengenaan azas sumber adalah jenis penghasilan
bukan subjek pajaknya. Pajak tersebut hanya dikenakan pada subjek pajak di negara
tersebut diperoleh penghasilan. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal
yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri, dan (b) penentuan sumber
penghasilan berdasarkan UU Pajak.
C. Azas nasionalitas atau azas kewarganegaraan. (nationality/citizenship
principle)
Azas kewarganegaraan akan mengenakan pajak apabila penduduk tersebut
merupakan warga negaranya. Setiap penghasilan di seluruh dunia akan dikenakan pajak
bilamana penduduk tersebut menjadi warga negara tersebut.
II.3.4 Metode Penghindaran Pajak Berganda.
Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari beberapa negara, perlu
diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan
pajak. Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan ganda,
antara lain:
22
A. Metode Pemajakan Unilateral
Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan
hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan
sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur
negara kita karena hal itu merupakan kedaulatan negara kita.
Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh pasal 26 UU PPh.
Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau konvensi internasional, maka Negara
Indonesia memiliki hak atau kewenangan internasional atau badan internasional yang
memperoleh pendapatan dari Negara Indonesia.
Seperti hal nya pajak penduduk Indonesia di negara lainnya, yang telah dikenakan
pajak, atas pemajakan tersebut pajak yang telah dibayar dinegara lainnya dapat dijadikan
pengurang, guna menghindari pemajakan ganda, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24
UU PPh.
B. Metode Pemajakan Bilateral.
Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan
perjanjian ke dua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan
jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah
mengadakan perjanjian.
Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi jumlah pajak terutang,
misalnya untuk PPh Pasal 23 atas deviden yang semula 15%, dapat dikurangkan menjadi
10%, karena dividen tersebut tentu akan dikenakan pajak lagi di negara dimana mereka
berkedudukan.
23
C. Metode Pemajakan Multilateral.
Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan
atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani
oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.
Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana
setiap kedutaan asing, organisasi internasional dibawah naungan PBB, dan penduduk
asing yang bekerja di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya
pemajakannya tetap berada di negara mana mereka berdomisili.
Metode penting lainnya yang dipakai untuk menghindarkan pajak ganda
internasional, berdasarkan penjelasan yang tertuang dalam UN Model Commentary
adalah sebagai berikut:
a. Metode pembebasan/pengecualian pajak (exemption method)
b. Metode kredit pajak (tax credit)
c. Metode lainnya.
A. Metode Pembebasan (Exemption method)
1. Pembebasan subjek pajak (subject exemption)
Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang
berada di Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya Konvensi Wina pada
tanggal 18 April 1961 yang dihadiri 81 negara diantaranya Indonesia, yang
mengatur tentang kekebalan para diplomat terutama kekebalan perpajakan wakil-
wakil diplomatik.
Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 3 juga menegaskan bahwa yang
tidak termasuk subjek pajak adalah:
a.) Badan perwakilan negara asing;
24
b.) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain
dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang
bertempat tinggal besama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara
Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain
di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan
memberikan perlakuan timbal balik;
c.) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan, dengan syarat:
1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;
2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan
dari Indonesia selain pemberian kepada pemerintah yang dananya berasal
dari iuran para anggota;
d.) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia
dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2. Pembebasan objek pajak (object, income exemption) atau full exemption
Metode ini tidak menghitung kembali penghasilan dari luar negeri, termasuk
kerugian atau perpajakannya di negara domisili. Dengan demikian penghasilan
atau laba dari luar negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan pajak lagi,
seperti PPh Final.
25
3. Pembebasan pajak (tax exemption) atau exemption with progression.
Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan maupun
kerugian dari luar negeri. Pajak yang dibebaskan sebanding dengan penghasilan
luar negeri dibanding keseluruhan dikalikan pajak terutang atas keseluruhan.
Bilamana dari luar negeri mengalami kerugian, maka kerugian tersebut tetap
diperhitungkan, sehingga akan mengurangi pajak terutang dalam negeri, meskipun
tidak ada pembebasan pajak, karena kerugian secara otomatis telah mengurangi
pajak.
B. Metode Pengkreditan pajak (Tax Credit)
Metode ini pada prinsipnya menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar
negeri dan jumlah pajak terutang keseluruhan di negara domisili. Pajak yang telah
dibayar di luar negeri dapat mengurangkan pajak terutang di negara domisili.
Metode ini dibagi dalam tiga macam:
1. Kredit penuh (full credit)
Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk
mengkreditkan seluruh pajak yang dibayar di luar negeri, sehingga jika tarif pajak
di luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tarif pajak di dalam negeri,
dipastikan akan terjadi restitusi pajak. Dalam hal ini berarti negara domisili ikut
membayar jumlah pajak yang terutang di luar negeri, sebagaimana yang telah
diatur dalam UU PPh Pasal 24 tentang Tax Credit.
2. Kredit Terbatas (Ordinary atau Normal Credit)
Metode ini membatasi pajak yang dibayar di luar negeri, dapat dikreditkan atau
dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas pajak yang
26
dibayar di dalam negeri atau paling tinggi adalah sebesar tarif pajak yang ada di
dalam negeri.
3. Kredit Fiktif
Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong investor
ke dalam negeri, namun untuk menghindari pemajakan di negara investor, maka
dibuatlah kredit fiktif, agar negara domisili mengenakan pajak setelah dikurangi
kredit fiktif ini, sehingga pemajakannya bebas untuk di negara lainnya dan negara
domisili. Metode ini tidak digunakan di Indonesia.
C. Metode lainnya
1. Pembagian Pajak (tax sharing)
Pembagian pemajakan dilakukan dengan cara membagi jumlah pajak yang
terutang antara negara domisili dengan negara sumber.
2. Pembagian Hak Pemajakan (Division of Taxing Power)
Pembagian hak pemajakan adalah dengan menentukan tarif pajak maksimum
atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri.
3. Pengurangan tarif (Reduction of The Rate)
Metode pengurangan tarif pajak artinya mengurangkan tarif pajak atas
penghasilan neto luar negeri, sehingga jumlah pajak terutang dalam negeri dengan
tarif umum, sedangkan jumlah pajak terutang luar negeri tarifnya dikurangi misal
pengurangan tarifnya 25% atau 50%.
4. Pengurangan Pajak (Reduction of The Tax)
27
Metode pengurangan pajak artinya dengan mengurangkan jumlah pajak atas
penghasilan netto luar negeri.
5. Pemajakan dengan Jumlah Tetap (Lumpsum or Forfait Taxation)
Metode pemajakan atas penghasilan dari luar negeri dengan jumlah yang tetap.
II.3.5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda
Untuk mengetahui perpajakan yang terjadi antar berbagai negara, maka penulis
mengklasifikasikannya berdasarkan pendekatan tiga model. Pendekatan ini terkait
dengan negara mana Indonesia mengadakan perjanjian. Untuk negara maju dan negara
berkembang, Indonesia menggunakan model sendiri dalam mengadakan perjanjian
tersebut dengan mengkombinasikan kedua Model UN (United Nations Model) maupun
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).
Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Develpoment)
Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju, didirikan di Paris,
14 Desember 1960, meliputi 24 negara termasuk Jepang yang masuk tahun 1998. Model
ini lebih mengedepankan pada azas domisili negara yang memberikan jasa atau
menanamkan modal, dimana hak pemajakannya berada di negara domisili.
Model UN (United Nations)
Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini
lebih mengedepankan azas sumber penghasilan, karena mereka umumnya yang
menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih
menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang memberi penghasilan. Namun
28
demikian model OECD dan UN tidaklah dapat berdiri sendiri, karena tergantung
kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.
Model Indonesia
Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD, dan yang cocok
digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan Undang-
Undang PPh dan program pembangunan di Indonesia dan sesuai dengan kesepakatan
kedua pihak dalam perjanjian. Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan negara
Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini, misal penghasilan atas
guru dan peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD tidak diatur, namun dalam
Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri.
II.3.6. Kedudukan Tax Treaty
Mengacu pada pendapat Rachmanto Surahmat (2005) yang mengemukakan bahwa
karena suatu persetujuan pada hakekatnya merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak
yang berbeda, kedudukannya berada diatas Undang-Undang Pajak Nasional masing-
masing negara.
Tax treaty diatur dalam Pasal 32 A UU PPh ”Pemerintah berwenang untuk
melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak
berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Berdasakan ketentuan tersebut tertulis
bahwa tax treaty memiliki perlakuan hukum yang khusus (lex specialis), artinya
memiliki aturan tersendiri yang harus dijalankan oleh negara yang terkait dengan
perjanjian internasional.
29
Pelanggaran atas suatu treaty diselesaikan secara berbeda tergantung pada
tingkatannya. Negara pada pihak lain dalam treaty biasanya mengajukan protes dan
mendesak ditempuhnya prosedur sesuai dengan ketentuan treaty untuk menyelesaikan
masalah tersebut. Dalam P3B, hal ini diatur dalam Pasal 25 tentang Mutual Agreement
Procedure. Alternatif terakhir adalah mengadukannya ke tingkat peradilan internasional,
misalnya International Court for Justice.
Contoh pelanggaran atas treaty adalah dalam hal tindakan sepihak yang dilakukan
oleh salah satu negara atas suatu treaty shopping dalam konteks P3B. Masih menurut
Rachmanto Surahmat, yang dimaksud dengan treaty shopping adalah negara ketiga
memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara
pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Treaty shopping ini
erat kaitannya dengan masalah transfer pricing karena adanya transaksi antara pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa.
Dalam transaksi tersebut, salah satu negara biasanya dirugikan (berupa kehilangan
penerimaan pajak) sebab keuntungannya dialihkan ke negara pajak (tax heaven
countries). Beberapa negara mempunyai aturan-aturan dalam Undang-Undang nasional
untuk mencegah terjadinya treaty shopping ini. Hal ini menunjukkan interaksi antara
Undang-Undang nasional dan hukum internasional.
II.4. Aspek Perpajakan Internasional Undang – Undang Pajak Penghasilan
Setiap undang-undang perpajakan selalu mempunyai aspek internasional, baik
mengenai subjek pajak maupun objek pajak. Aspek internasional dari suatu perundang-
undangan pajak mencerminkan sejauh mana suatu negara menentukan hak
pemajakannya di luar wilayahnya. Aspek internasional ini biasanya menyangkut definisi
30
subjek pajak luar negeri (non-resident taxpayer), definisi bentuk usaha tetap (BUT),
penentuan penghasilan dari BUT tersebut, metode penghindaran pajak berganda yang
dianut, dan jenis-jenis penghasilan yang diperoleh subjek pajak luar negeri dari sumber-
sumber di dalam negeri yang dikenai pajak penghasilan melalui pemotongan
(withholding), karena sebagian dari aspek perpajakan telah dijelaskan pada sub bab
sebelumnya, maka di dalam sub bab ini akan dijelaskan pengertian dari subjek pajak luar
negeri, definisi dari bentuk usaha tetap, serta pengertian penghasilan atau laba yang
berasal dari bentuk usaha tetap tersebut, yang merupakan aspek dari perpajakan
internasional.
A. Definisi subjek pajak luar negeri
Definisi subjek pajak luar negeri dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-
Undang Pajak Penghasilan, yang berbunyi sebagai berikut:
i. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk uusaha tetap di
Indonesia;
ii. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan
yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha
tetap.
31
B. Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT)
1. Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Perpajakan.
Ketentuan mengenai bentuk usaha tetap dalam suatu Perjanjian Perpajakan
sangat penting artinya. Karena selain menentukan mengenai ada tidaknya hak
negara sumber untuk mengenakan pajak atas laba usaha (business profits) yang
diterima atau diperoleh perusahaan yang merupakan penduduk (resident) negara
mitranya, juga mengatur mengenai cara pemajakan laba usaha bentuk usaha
tetap.
Pengertian bentuk usaha tetap di dalam perjanjian perpajakan tergantung
kepada pengertian yang diberikan oleh masing-masing perjanjian perpajakan
yang bersangkutan, yang dapat berbeda dari satu perjanjian perpajakan ke
perjanjian perpajakan lainnya. Pada umumnya, dalam perjanjian perpajakan
bentuk usaha tetap diartikan sebagai suatu tempat tertentu di mana seluruh atau
sebagian usaha perusahaan (luar negeri) dijalankan.
2. Pengertian bentuk usaha tetap berdasarkan Undang - undang
Pengertian bentuk usaha tetap diberikan di Pasal 2 ayat (5), yaitu bentuk
usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia, dan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk
usaha itu dapat meliputi:
a) Tempat kedudukan manajemen;
b) Cabang perusahaan;
c) Kantor perwakilan;
32
d) Gedung kantor;
e) Pabrik;
f) Bengkel;
g) Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran
yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;
h) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;
i) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;
j) Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain,
sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
k) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang berkedudukannya tidak
bebas;
l) Agen atau karyawan dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi
atau menanggung resiko di Indonesia.
3. Penghasilan yang dianggap sebagai penghasilan dari bentuk usaha tetap dan
dijadikan dasar pengenaan PPh diatur dalam Pasal 5 ayat (1) adalah:
a) Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari
harta yang dimiliki atau dikuasai;
b) Penghasilan atau laba dari penjualan barang-barang atau barang dagangan
yang dilakukan di negara sumber (yang langsung dilakukan oleh
perusahaan yang merupakan penduduk (resident) di negara mitra kepada
pembeli di negara sumber, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya), yang
sama atau jenisnya serupa (the same or similiar kind) seperti yang dijual
bentuk usaha tetap;
33
c) Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan yang efektif antara
bentuk usaha tetap dan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan
yang dimaksud.
Penarikan penghasilan kantor pusat seperti disebutkan dalam butir b dan c di atas
yang menjadi penghasilan bentuk usaha tetap, merupakan penerapan suatu konsep yang
disebut force of attraction rule concept, yang biasanya dianut dalam sistem perpajakan
di kebanyakan negara berkembang untuk mencegah usaha penghindaran pajak oleh
perusahaan luar negeri. Konsep ini didasarkan pada suatu asumsi yang menyatakan
bahwa pada hakikatnya usaha atau kegiatan seperti yang digambarkan dalam butir b dan
c termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan oleh bentuk
usaha tetap sehingga sudah seharusya penghasilan yang telah dihasilkan merupakan
penghasilan bentuk usaha tetap.
Dalam hal negara sumber berhak mengenakan pajak, yaitu karena perusahaan yang
bersangkutan melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
penghasilan atau laba usaha yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas kepada
penghasilan atau laba yang berasal dari (attributable) bentuk usaha tetap.
Pada akhir tahun pajak, penghasilan yang bersangkutan digabungkan dengan
penghasilan bentuk usaha tetap lainnya. Biaya untuk memperoleh, menagih dan
memelihara penghasilan yang berkaitan dengan penghasilan tersebut dibebankan sebagai
biaya bentuk usaha tetap. Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dipotong yang
dikreditkan oleh bentuk usaha tetap. Begitu juga Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah
dipotong atas penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh bentuk usaha tetap.
34
II.5. Peranan Tax Incentive Terhadap Penanaman Modal Asing
Situasi politik dan keamanan yang makin kondusif serta adanya jaminan
pemerintah bagi tumbuh berkembangnya suatu usaha, ternyata tidak cukup mampu
menarik investor asing masuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagian besar
calon investor menghendaki suatu kebijakan pemerintah yang mampu mendukung usaha
mereka. Salah satu strategi yang perlu dijalankan dalam rangka memenuhi tuntutan
investor itu adalah dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian insentif bagi para
investor. Selama ini pemerintah memang telah memberikan sejumlah insentif dalam
bidang perpajakan untuk mendorong tumbuhnya investasi, diantaranya mempercepat
penghapusan sejumlah objek pajak, serta memberikan kelonggaran pajak (tax
allowance). Namun, berbagai insentif tersebut tampaknya belum berhasil mendongkrak
kinerja investasi.
Dengan demikian, diperlukan insentif baru yang lebih mampu menarik investor
mengembangkan usahanya di Indonesia. Seperti di negara-negara lain, Indonesia perlu
menerapkan tax holiday. Tax holiday merupakan bentuk pengecualian dari pengenaan
pajak dan merupakan bentuk insentif yang paling favorit namun harus hati-hati
merencanakan penanaman investasinya. Meski tax holiday sebagai insentif investasi
masih perlu dipelajari efektivitas dan dampaknya terhadap APBN, namun dalam kondisi
yang abnormal seperti saat ini, penerapan tax holiday perlu dipertimbangkan.
Dalam konteks yang lebih luas, penerapan tax holiday merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru. Jika
diberlakukan dan dijalankan secara benar, tax holiday bisa menjadi sarana efektif untuk
membangun industri yang kuat. Untuk mendukung investasi pada kelompok industri
prioritas, tax holiday dapat diberikan dalam bentuk pembebasan bea masuk pengadaan
35
barang modal dan bahan baku, pembebasan atau keringanan pajak atas keuntungan yang
ditanam kembali, pembebasan pajak bagi investor yang menciptakan nilai tambah
signifikan, serta pembebasan pajak bagi pengusaha yang membuka bidang usaha baru
atau di daerah terpencil.