bab ii landasan teori - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab2/2007-3-00022-ak-bab 2.pdf ·...

28
8 BAB II LANDASAN TEORI II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional II.1.1 Perjanjian Internasional Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi dan perekonomian negara tersebut. Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang - undangan yang jelas. Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan, pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati para pihak dalam perjanjian internasional. Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk: a. ratifikasi (ratification) b. aksesi (accession) c. penerimaan (acceptance) d. penyetujuan (approval)

Upload: ngoque

Post on 12-Mar-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

8

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Perjanjian Perpajakan Internasional

II.1.1 Perjanjian Internasional

Pemajakan internasional tidak terlepas adanya suatu perjanjian bilateral antar dua

negara guna menghindari pemajakan berganda yang dapat menghambat laju investasi

dan perekonomian negara tersebut.

Perjanjian internasional adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada

bidang-bidang tertentu, termasuk perpajakan, oleh karena itu perjanjian internasional

harus dibuat dengan dasar-dasar yang jelas dan kuat, dengan menggunakan instrumen

peraturan perundang - undangan yang jelas.

Perjanjian internasional dilakukan dengan cara: penandatanganan, pengesahan,

pertukaran dokumen perjanjian / nota diplomatik, cara-cara lain sebagaimana disepakati

para pihak dalam perjanjian internasional.

Untuk sahnya sebuah perjanjian harus dibuat dalam bentuk:

a. ratifikasi (ratification)

b. aksesi (accession)

c. penerimaan (acceptance)

d. penyetujuan (approval)

Page 2: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

9

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila

berkenaan dengan: masalah politik, pertahanan, dan keamanan negara, perubahan

wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia, kedaulatan atau hak

berdaulat negara, hak asasi manusia dan lingkungan hidup, pembentukan kaidah hukum

baru, pinjaman dan / atau hibah luar negeri. Pengesahan perjanjian internasional yang

materinya tidak termasuk masalah tersebut, dilakukan dengan Keputusan Presiden

(Keppres).

Pembuatan perjanjian internasional harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. Perjanjian internasional harus berdasarkan kesepakatan dan dilaksanakan dengan

itikad baik.

b. Perjanjian internasional harus berpedoman pada kepentingan nasional dan

berdasarkan prinsip-prinsip kesamaan, saling menguntungkan, dan

memperhatikan, baik hukum nasional maupun internasional yang berlaku.

II.1.1.1 Tahapan Pembuatan Perjanjian Internasional

Tahapan pembuatan perjanjian internasional, adalah sebagai berikut:

A. Penjajakan

Pada tahap pertama, negara yang berkepentingan mengajukan permohonan

kepada pemerintah Indonesia mengutarakan keinginannya untuk mengadakan

suatu perjanjian perpajakan dengan Indonesia. Sebelum permohonan diajukan,

didahului dengan pembicaraan atau penjajakan antara perwakilan negara asing

bersangkutan di Indonesia dengan pihak-pihak yang berwenang di Indonesia

(Departemen Luar Negeri dan Departemen Keuangan). Dapat pula terjadi

permohonan untuk mengadakan perjanjian perpajakan diajukan oleh pihak

Page 3: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

10

Indonesia, yaitu dalam hal justru Indonesia yang merasa berkepentingan untuk

mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang bersangkutan.

Dalam hal negara asing yang mengajukan permohonan kepada pemerintah

Indonesia, permohonan resminya biasanya diajukan oleh duta besarnya masing-

masing kepada Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Departemen Luar

Negeri Republik Indonesia kemudian meneruskan permohonan tersebut kepada

instansi terkait, yaitu Departemen Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak sebagai

instansi yang menangani masalah-masalah perpajakan di Indonesia.

Selanjutnya, Direktorat Jenderal Pajak akan memberikan jawabannya kepada

Departemen Luar Negeri. Departemen Luar Negeri kemudian meneruskan jawaban

tersebut kepada pihak yang mengajukan permohonan. Dalam kaitan ini, yang

memberikan jawaban resminya adalah Departemen Luar Negeri atas nama

Indonesia. Jawaban dapat berisi persetujuan atas permohonan, dapat pula berisi

penolakan kalau dipandang dari segi ekonomi, politik, maupun alasan-alasan

lainnya, kurang dirasakan manfaat bagi Indonesia. Disamping itu, jawabannya

dapat pula berisi penundaan, kalau kondisinya belum memungkinkan bagi

Indonesia untuk mengadakan perjanjian perpajakan dengan negara asing yang

bersangkutan.

B. Perundingan

Apabila permohonan yang diajukan untuk mengadakan perjanjian itu

disetujui oleh pihak Indonesia, tahap selanjutnya yaitu dilakukannya saling surat

menyurat antara kedua belah pihak baik langsung maupun melalui saluran-saluran

diplomatik untuk menentukan kapan perundingan pertama akan diadakan, dimana

Page 4: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

11

tempatnya dan merundingkan masalah-masalah protokoler lainnya. Berdasarkan

kebiasaan-kebiasaan protokoler yang berlaku antar bangsa, tempat perundingan

biasanya diadakan secara bergantian di Indonesia dan di negara asing yang

mengadakan perjanjian dengan Indonesia itu.

Dalam perundingan pertama, biasanya masing-masing delegasi mengajukan

draft kerja (working draft) Konvensi Perpajakan masing-masing sebagai bahan

yang akan dibahas dalam perundingan. Istilah konvensi (convention) biasanya

digunakan bagi perjanjian-perjanjian formal yang bersifat multilateral. Istilah ini

juga meliputi piagam-piagam yang disetujui oleh lembaga-lembaga internasional

seperti misalnya Konvensi Buruh Internasional. Namun pada naskah resmi

perjanjian-perjanjian perpajakan yang diadakan oleh Indonesia dipergunakan

istilah agreement (persetujuan), walaupun perjanjian-perjanjian perpajakan yang

bersangkutan tingkatannya merupakan suatu traktat (treaty), bukan agreement

(persetujuan). Hal tersebut dikarenakan dalam penyusunan perjanjian perpajakan

di Indonesia memakai Model Indonesia yang merupakan campuran antara model

Konvensi Perpajakan yang disusun oleh Organization for Economic Cooperation

and Development (OECD) dan United Nation Model. Disamping itu, yang

dijadikan acuan adalah naskah perjanjian-perjanjian perpajakan yang telah

diadakan oleh masing-masing negara dengan negara lain.

C. Penerimaan.

Setelah beberapa kali pembahasan dan semua materi permasalahan telah

dibahas dan disepakati, proses berikutnya adalah dilakukan pemarafan atas draft

perjanjian perpajakan oleh masing-masing ketua delegasi. Draft perjanjian

Page 5: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

12

perpajakan yang telah diparaf tersebut kemudian oleh masing-masing delegasi

perundingan disampaikan kepada masing-masing pemerintahnya untuk

mendapatkan persetujuan. Di Indonesia, draft tersebut disampaikan ke Menteri

Keuangan, Menteri Luar Negeri dan Sekretariat Negara, dengan dilampiri laporan

singkat mengenai perkembangan yang terjadi dalam perundingan.

D. Penandatanganan

Apabila draft perjanjian tersebut telah mendapat persetujuan dari pemerintah

masing-masing, tahapan proses berikutnya adalah penandatanganan perjanjian oleh

wakil-wakil dari masing-masing negara. Di Indonesia, yang berwenang untuk

menandatangani suatu perjanjian perpajakan adalah Menteri Luar Negeri. Dalam

hal penandatanganan suatu perjanjian perpajakan, wewenang ini bisa dilimpahkan

ke pejabat terkait lain, misalnya Menteri Keuangan atau Duta Besar Indonesia

yang bertugas di negara yang mengadakan perjanjian perpajakan dengan

Indonesia.

Berakhirnya perjanjian internasional adalah apabila terdapat kesepakatan

para pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian, tujuan perjanjian

tersebut telah tercapai, terdapat perubahan mendasar yang mempengaruhi

pelaksanaan perjanjian, salah satu pihak tidak melaksanakan atau melanggar

ketentuan perjanjian, dibuat suatu perjanjian baru yang menggantikan perjanjian

lama, muncul norma-norma baru dalam hukum internasional, objek perjanjian

hilang atau terdapat hal-hal yang merugikan kepentingan nasional.

Page 6: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

13

II.1.1.2 Jenis Atau Penggolongan Perjanjian Internasional.

Mochtar Kusumaatmadja (2003) menyatakan bahwa “Jenis-jenis perjanjian

internasional adalah perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral” (h.122).

Perjanjian bilateral artinya perjanjian antara dua pihak, contohnya: perjanjian

antara Republik Indonesia dengan Republik Rakyat Tiongkok tentang dwi

kewarganegaraan, sedangkan perjanjian multilateral berarti perjanjian antara

banyak pihak. Contohnya: Konvensi Wina atau Konvensi Jenewa.

Sedangkan jika dilihat dari pembuatan kontrak perjanjian dan keterikatan

negara-negara yang terkait dalam perjanjian, dibagi dua;

a. Kontrak perjanjian (treaty contract), dan

b. Perjanjian - perjanjian yang menimbulkan hukum (law making treaties) .

Kontrak perjanjian adalah suatu perjanjian hukum yang mengakibatkan hak

dan kewajiban antara pihak yang mengadakan perjanjian itu. Sedangkan law

making treaties adalah perjanjian hukum yang meletakkan ketentuan dan kaidah

hukum bagi masyarakat internasional sebagai keseluruhan.

II.1.2 Perjanjian Perpajakan Internasional

Agus Setiawan (2006) mendefinisikan “Perjanjian perpajakan internasional di

Indonesia adalah suatu perbuatan hukum yang mengikat negara pada bidang-bidang

perpajakan” (h.16).

Perjanjian perpajakan internasional tersebut bentuknya adalah:

a. Persetujuan penghindaran pajak berganda (tax treaty)

b. Cara penerapan (mode of application)

c. Tata cara persetujuan bersama (mutual agreement procedure)

Page 7: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

14

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) adalah perjanjian penghindaran

pajak berganda antara dua negara bilateral yang mengatur mengenai pembagian hak

pemajakan atas penghasilan yang diperoleh atau diterima oleh penduduk dari salah satu

atau kedua negara pihak pada persetujuan (both contracting states).

Beberapa pasal dalam Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda memerlukan

aturan pelaksanaan yang lebih jelas mengenai ketentuan-ketentuan tersebut (mode of

application), misalnya tentang pasal dividen dan bunga. Sedangkan jika terdapat

perbedaan penafsiran atau penerapan yang bertentangan dengan Persetujuan

Penghindaran Pajak Berganda antara kedua negara, maka diperlukan adanya mutual

agreement procedure.

Contoh mode of application adalah menerangkan tentang adanya beneficial owner.

Beneficial owner adalah pemilik yang sebenarnya dari penghasilan berupa dividen,

bunga atau royalty baik wajib pajak perorangan maupun wajib pajak badan, yang berhak

sepenuhnya untuk menikmati secara langsung manfaat penghasilan-penghasilan

tersebut.

II.2. Hukum Internasional.

II.2.1 Pengertian dan Sumber Hukum Internasional

Sumber hukum internasional menurut piagam Mahkamah Internasional adalah:

a. Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus;

b. Kebiasaan internasional, sebagai bukti dari suatu kebiasaan umum yang telah

diterima sebagai hukum;

c. Prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab;

Page 8: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

15

d. Keputusan pengadilan dari ajaran para sarjana yang paling terkemuka dari

berbagai negara sebagai sumber tambahan untuk menetapkan kaidah hukum.

Hukum internasional dalam arti luas yaitu termasuk pengertian hukum bangsa-

bangsa, sebaliknya arti yang sempit mengatur hubungan antara negara-negara. Hukum

internasional modern sebagai suatu sistem hukum yang mengatur hubungan antara

negara-negara, lahir dengan kelahiran masyarakat yang didasarkan atas negara-negara

nasional. Negara Indonesia merupakan subjek hukum internasional, karena telah

mengikuti dan menandatangani Konvensi Wina.

Konvensi Internasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat antarnegara yang

ikut menandatangani tersebut, hal ini karena:

a. Hukum internasional merupakan bagian dari hukum yang lebih tinggi dari pada

hukum nasional, karena menyangkut kepentingan lebih banyak masyarakat

internasional;

b. Hukum internasional merupakan kehendak negara itu sendiri pada hukum

internasional, dan juga merupakan kehendak bersama;

c. Kenyataan sosial bahwa mengikatnya hukum itu mutlak untuk dapat

terpenuhinya kebutuhan bangsa untuk hidup bermasyarakat.

Oleh karena itu, jika Negara Indonesia mengadakan tax treaty bukanlah semata-

mata keinginan dari negara kita, namun juga karena ada azas timbal balik dan keinginan

yang sama dari negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Page 9: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

16

II.2.2 Pengertian dan Sumber Hukum Pajak Internasional

II.2.2.1. Pengertian Hukum Pajak Internasional

Ottmar Buhler yang terjemahkan oleh Agus Setiawan. (2006)

mendefinisikan, ”Hukum pajak internasional dalam arti sempit adalah kaedah-

kaedah norma hukum perselisihan yang diasarkan pada hukum antar bangsa

(hukum internasional), sedangkan hukum pajak internasional dalam arti luas ialah

kaedah-kaedah hukum antar bangsa ini ditambah peraturan nasional yang

mempunyai objek hukum perselisihan, khususnya tentang perpajakan” (h.5).

Menurut negara-negara Anglo Sakson, hukum pajak internasional dibagi

sebagai berikut:

1. National External Tax Law

National External Tax Law merupakan bagian dari hukum pajak nasional

yang memuat ketentuan-ketentuan mengenai pengenaan pajak yang mempunyai

daya kerja sampai di luar batas-batas negara karena terdapat unsur-unsur asing,

baik mengenai objeknya (sumber ada di luar negeri) maupun mengenai subjeknya

(subjek ada di luar negeri).

2. Foreign Tax Law

Foreign tax law ialah keseluruhan perundang-undangan dan peraturan-

peraturan pajak dari negara-negara yang ada di seluruh dunia.

3. International Tax Law

International tax law dibedakan dalam arti sempit dan arti luas. Hukum pajak

internasional dalam arti sempit merupakan keseluruhan kaedah pajak yang

berdasarkan hukum antar negara seperti traktat-traktat, konvensi, dan lain

sebagainya, dan berdasarkan prinsip-prinsip hukum pajak yang telah lazim

Page 10: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

17

diterima baik oleh negara-negara di dunia, mempunyai tujuan mengatur soal

perpajakan antara negara yang saling mempunyai kepentingan.

II.2.2.2 Sumber-sumber Hukum Pajak Internasional

Sumber-sumber hukum pajak internasional terlalu luas jika ingin dikaji,

sehingga penulis mempersempitnya hanya berkaitan dengan Negara Indonesia,

sumber-sumber hukum tersebut antara lain:

A. Kaedah hukum pajak nasional/unilateral yang mengandung unsur asing,

antara lain :

i. Peraturan Perpajakan Nasional yang mengatur P3B (Pasal 32 A UU PPh)

tentang “pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan

pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan

pencegahan pengelakan pajak”;

ii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 2 UU PPh) tentang: Subjek Pajak

Luar Negeri dan Bentuk Usaha Tetap (BUT);

iii. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 3 UU PPh) tentang: Tidak Termasuk

Subjek Pajak;

iv. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 18 UU PPh) tantang: Hubungan

Istimewa, bilamana terdapat ketidakwajaran dalam perpajakan;

v. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 24 UU PPh) tentang: Kredit Pajak

Luar Negeri;

vi. Peraturan Perpajakan Nasional (Pasal 26 UU PPh) tentang: Pemotongan

Pajak atas Subjek Pajak Luar Negeri yang memperoleh penghasilan dari

Indonesia.

Page 11: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

18

B. Kaedah-kaedah yang berasal dari traktat:

i. Perjanjian Bilateral, yang diwujudkan dengan adanya Perjanjian

Penghindaran Pajak Berganda;

ii. Perjanjian Multilateral, perjanjian ini seperti Konvensi Wina.

C. Keputusan Hakim Nasional atau komisi internasional tentang pajak-pajak

internasional. Hal ini dapat diwujudkan dengan adanya putusan pengadilan

pajak yang menyangkut tentang perpajakan internasional, atau Keputusan

Pengadilan Internasional Den Haag yang memuat soal-soal perpajakan.

II.3. Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

II.3.1 Pengertian Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Mengacu pada pendapat John Hutagaol. (2000) pengertian perjanjian penghindaran

pajak berganda dikemukakan sebagai perjanjian pajak antar kedua negara bilateral yang

mengatur mengenai pembagian hak pemajakan atas penghasilan yang diterima oleh

penduduk dari salah satu atau kedua negara pihak pada persetujuan (Both Contracting

States). Karena itu, perjanjian penghindaran pajak berganda merupakan perjanjian

internasional di bidang perpajakan antar kedua negara guna mengatur hak pemajakan

agar tidak menghambat investasi antara kedua negara dengan prinsip saling

menguntungkan dan dilaksanakan oleh pejabat yang berwenang.

II.3.2 Tujuan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda yang paling utama adalah

mencegah seminimal mungkin terjadinya pemajakan berganda.

Page 12: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

19

Disamping itu, P3B memiliki tujuan lainnya, yaitu:

a. Mencegah timbulnya pengelakan pajak;

b. Memberikan kepastian;

c. Pertukaran informasi;

d. Penyelesaian sengketa di dalam penerapan P3B;

e. Non diskriminasi;

f. Bantuan dalam penagihan pajak;

Tujuan persetujuan penghindaran pajak berganda secara umum adalah sebagai

berikut:

A. Tidak terjadi pemajakan ganda yang memberatkan iklim dunia usaha

Dengan P3B, maka pengenaan pajak atas laba usaha tidak dapat dikenakan di

kedua tempat, yaitu negara sumber atau negara domisili. Laba usaha dikenakan pajak di

tempat di mana mereka berkedudukan.

Dengan adanya ketentuan ini, diharapkan dunia usaha mendapatkan kepastian

hukum, karena membayar pajak hanya dikenakan satu kali yaitu di negara domisili.

B. Peningkatan investasi modal dari luar negeri.

Pemajakan atas investasi berupa bunga dari pinjaman, dividen dari penanaman

saham, royalty dari pemilik hak cipta, jika dikenakan pemajakan yang tinggi, maka

dipastikan penduduk asing akan berpikir ulang bahkan menjadi ragu untuk menanamkan

modal di Indonesia, karena hasil investasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.

C. Peningkatan sumber daya manusia.

Dengan adanya pembebasan pajak atas mahasiswa dan pelatihan karyawan di

negara dimana mereka menempuh pendidikan dan pelatihan, maka dipastikan dapat

meningkatkan kemampuan sumber daya manusia yang lebih memadai. Apabila

Page 13: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

20

penghasilan mahasiswa dan karyawan yang sedang melakukan pendidikan dan pelatihan

dikenakan, maka akan membebani mereka sehingga mereka lebih baik tidak belajar dan

menambah ilmu di luar negeri.

D. Exchange of Information guna mencegah pengelakan pajak.

Dengan adanya informasi yang saling berhubungan antar kedua negara, maka

penduduk yang tidak memenuhi kewajiban perpajakan di kedua negara menjadi jelas

terlihat dan dapat terdeteksi sedini mungkin.

E. Kedudukan yang setara dalam hal pemajakan antar kedua negara.

P3B mengatur adanya pemajakan yang sama dan setara antar kedua negara, dengan

prinsip saling menguntungkan dan tidak memberatkan penduduk asing antar kedua

negara dalam menjalankan usaha. Negara yang mengadakan tax treaty tidak boleh

sewenang-wenang dalam hal pemajakannya.

II.3.3 Azas Pengenaan Pajak Penghasilan

Berlakunya P3B, tidak terlepas dari azas pengenaan pajak sumber, domisili atau

kewarganegaraan, dimana agar tidak terjadinya double taxation, maka diperlukan aturan

yang mengatur tentang P3B itu.

A. Azas domisili atau azas kependudukan (domicile/residence principle)

Azas domisili atau kependudukan, negara akan mengenakan pajak atas suatu

penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila orang

pribadi tersebut merupakan penduduk atau resident atau berkedudukan di negara itu atau

apabila badan yang bersangkutan berkedudukan di negara itu.

Page 14: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

21

Azas ini menerapkan perhitungan penghasilan seluruh dunia untuk dihitung di mana

orang pribadi atau badan berdomisili (world wide income concept).

B. Azas sumber (source principle)

Azas sumber akan mengenakan pajak dimana orang pribadi atau badan

memperoleh penghasilan, dan tidak melihat dimana seseorang atau badan itu

berdomisili. Yang terpenting dalam pengenaan azas sumber adalah jenis penghasilan

bukan subjek pajaknya. Pajak tersebut hanya dikenakan pada subjek pajak di negara

tersebut diperoleh penghasilan. Penentuan sumber penghasilan tergantung dari dua hal

yang pokok, yaitu (a) jenis penghasilan itu sendiri, dan (b) penentuan sumber

penghasilan berdasarkan UU Pajak.

C. Azas nasionalitas atau azas kewarganegaraan. (nationality/citizenship

principle)

Azas kewarganegaraan akan mengenakan pajak apabila penduduk tersebut

merupakan warga negaranya. Setiap penghasilan di seluruh dunia akan dikenakan pajak

bilamana penduduk tersebut menjadi warga negara tersebut.

II.3.4 Metode Penghindaran Pajak Berganda.

Untuk menghindari pemajakan ganda atas penghasilan dari beberapa negara, perlu

diatur mengenai hak pemajakan di negara-negara tersebut berdasarkan azas pengenaan

pajak. Metode hak pemajakan di berbagai negara, untuk menghindari pemajakan ganda,

antara lain:

Page 15: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

22

A. Metode Pemajakan Unilateral

Metode ini mengatur bahwa Negara Republik Indonesia mempunyai kekuatan

hukum di dalamnya yang mengatur masyarakat atau badan internasional, dan ditetapkan

sepihak oleh Negara Indonesia sendiri, dengan kata lain tidak ada yang bisa mengatur

negara kita karena hal itu merupakan kedaulatan negara kita.

Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya PPh pasal 26 UU PPh.

Apabila tidak ada perjanjian tax treaty atau konvensi internasional, maka Negara

Indonesia memiliki hak atau kewenangan internasional atau badan internasional yang

memperoleh pendapatan dari Negara Indonesia.

Seperti hal nya pajak penduduk Indonesia di negara lainnya, yang telah dikenakan

pajak, atas pemajakan tersebut pajak yang telah dibayar dinegara lainnya dapat dijadikan

pengurang, guna menghindari pemajakan ganda, sebagaimana tertuang dalam Pasal 24

UU PPh.

B. Metode Pemajakan Bilateral.

Metode ini dalam penghitungan pemajakannya harus mempertimbangkan

perjanjian ke dua negara (tax treaty). Indonesia tidak dapat sesuka hati menerapkan

jumlah pajak terutang penduduk asing atau badan internasional dua negara yang telah

mengadakan perjanjian.

Penerapan pajak ganda diberlakukan dengan mengurangi jumlah pajak terutang,

misalnya untuk PPh Pasal 23 atas deviden yang semula 15%, dapat dikurangkan menjadi

10%, karena dividen tersebut tentu akan dikenakan pajak lagi di negara dimana mereka

berkedudukan.

Page 16: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

23

C. Metode Pemajakan Multilateral.

Metode ini didasarkan pada konvensi internasional yang ketentuan atau ketetapan

atau keputusan yang dihasilkan untuk kepentingan banyak negara yang ditandatangani

oleh berbagai negara, misalnya Konvensi Wina.

Penerapan metode ini adalah dengan diberlakukannya Pasal 3 UU PPh, dimana

setiap kedutaan asing, organisasi internasional dibawah naungan PBB, dan penduduk

asing yang bekerja di tempat tersebut, bukan subjek pajak di Indonesia, artinya

pemajakannya tetap berada di negara mana mereka berdomisili.

Metode penting lainnya yang dipakai untuk menghindarkan pajak ganda

internasional, berdasarkan penjelasan yang tertuang dalam UN Model Commentary

adalah sebagai berikut:

a. Metode pembebasan/pengecualian pajak (exemption method)

b. Metode kredit pajak (tax credit)

c. Metode lainnya.

A. Metode Pembebasan (Exemption method)

1. Pembebasan subjek pajak (subject exemption)

Metode ini membebaskan perpajakan untuk penduduk atau badan asing yang

berada di Indonesia, metode ini muncul dikarenakan adanya Konvensi Wina pada

tanggal 18 April 1961 yang dihadiri 81 negara diantaranya Indonesia, yang

mengatur tentang kekebalan para diplomat terutama kekebalan perpajakan wakil-

wakil diplomatik.

Undang-undang Pajak Penghasilan Pasal 3 juga menegaskan bahwa yang

tidak termasuk subjek pajak adalah:

a.) Badan perwakilan negara asing;

Page 17: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

24

b.) Pejabat-pejabat perwakilan diplomatik, dan konsulat atau pejabat-pejabat lain

dari negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang

bertempat tinggal besama-sama mereka, dengan syarat bukan warga Negara

Indonesia dan di Indonesia tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain

di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut serta negara yang bersangkutan

memberikan perlakuan timbal balik;

c.) Organisasi-organisasi internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri

Keuangan, dengan syarat:

1) Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;

2) Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan

dari Indonesia selain pemberian kepada pemerintah yang dananya berasal

dari iuran para anggota;

d.) Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional yang ditetapkan dengan

Keputusan Menteri Keuangan dengan syarat bukan warga negara Indonesia

dan tidak menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk

memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Pembebasan objek pajak (object, income exemption) atau full exemption

Metode ini tidak menghitung kembali penghasilan dari luar negeri, termasuk

kerugian atau perpajakannya di negara domisili. Dengan demikian penghasilan

atau laba dari luar negeri dianggap terpisah dan tidak perlu dikenakan pajak lagi,

seperti PPh Final.

Page 18: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

25

3. Pembebasan pajak (tax exemption) atau exemption with progression.

Pada dasarnya metode ini menghitung kembali jumlah penghasilan maupun

kerugian dari luar negeri. Pajak yang dibebaskan sebanding dengan penghasilan

luar negeri dibanding keseluruhan dikalikan pajak terutang atas keseluruhan.

Bilamana dari luar negeri mengalami kerugian, maka kerugian tersebut tetap

diperhitungkan, sehingga akan mengurangi pajak terutang dalam negeri, meskipun

tidak ada pembebasan pajak, karena kerugian secara otomatis telah mengurangi

pajak.

B. Metode Pengkreditan pajak (Tax Credit)

Metode ini pada prinsipnya menghitung kembali jumlah penghasilan dari luar

negeri dan jumlah pajak terutang keseluruhan di negara domisili. Pajak yang telah

dibayar di luar negeri dapat mengurangkan pajak terutang di negara domisili.

Metode ini dibagi dalam tiga macam:

1. Kredit penuh (full credit)

Metode ini memberikan fasilitas kepada wajib pajak domisili untuk

mengkreditkan seluruh pajak yang dibayar di luar negeri, sehingga jika tarif pajak

di luar negeri lebih besar dibandingkan dengan tarif pajak di dalam negeri,

dipastikan akan terjadi restitusi pajak. Dalam hal ini berarti negara domisili ikut

membayar jumlah pajak yang terutang di luar negeri, sebagaimana yang telah

diatur dalam UU PPh Pasal 24 tentang Tax Credit.

2. Kredit Terbatas (Ordinary atau Normal Credit)

Metode ini membatasi pajak yang dibayar di luar negeri, dapat dikreditkan atau

dapat dijadikan sebagai pengurang PPh terutang dalam negeri sebatas pajak yang

Page 19: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

26

dibayar di dalam negeri atau paling tinggi adalah sebesar tarif pajak yang ada di

dalam negeri.

3. Kredit Fiktif

Metode ini dengan memberikan pembebasan pajak untuk mendorong investor

ke dalam negeri, namun untuk menghindari pemajakan di negara investor, maka

dibuatlah kredit fiktif, agar negara domisili mengenakan pajak setelah dikurangi

kredit fiktif ini, sehingga pemajakannya bebas untuk di negara lainnya dan negara

domisili. Metode ini tidak digunakan di Indonesia.

C. Metode lainnya

1. Pembagian Pajak (tax sharing)

Pembagian pemajakan dilakukan dengan cara membagi jumlah pajak yang

terutang antara negara domisili dengan negara sumber.

2. Pembagian Hak Pemajakan (Division of Taxing Power)

Pembagian hak pemajakan adalah dengan menentukan tarif pajak maksimum

atas penghasilan yang diperoleh wajib pajak luar negeri.

3. Pengurangan tarif (Reduction of The Rate)

Metode pengurangan tarif pajak artinya mengurangkan tarif pajak atas

penghasilan neto luar negeri, sehingga jumlah pajak terutang dalam negeri dengan

tarif umum, sedangkan jumlah pajak terutang luar negeri tarifnya dikurangi misal

pengurangan tarifnya 25% atau 50%.

4. Pengurangan Pajak (Reduction of The Tax)

Page 20: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

27

Metode pengurangan pajak artinya dengan mengurangkan jumlah pajak atas

penghasilan netto luar negeri.

5. Pemajakan dengan Jumlah Tetap (Lumpsum or Forfait Taxation)

Metode pemajakan atas penghasilan dari luar negeri dengan jumlah yang tetap.

II.3.5. Model Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda

Untuk mengetahui perpajakan yang terjadi antar berbagai negara, maka penulis

mengklasifikasikannya berdasarkan pendekatan tiga model. Pendekatan ini terkait

dengan negara mana Indonesia mengadakan perjanjian. Untuk negara maju dan negara

berkembang, Indonesia menggunakan model sendiri dalam mengadakan perjanjian

tersebut dengan mengkombinasikan kedua Model UN (United Nations Model) maupun

OECD (Organization for Economic Cooperation and Development).

Model OECD (Organization for Economic Cooperation and Develpoment)

Model OECD merupakan model P3B untuk negara-negara maju, didirikan di Paris,

14 Desember 1960, meliputi 24 negara termasuk Jepang yang masuk tahun 1998. Model

ini lebih mengedepankan pada azas domisili negara yang memberikan jasa atau

menanamkan modal, dimana hak pemajakannya berada di negara domisili.

Model UN (United Nations)

Model UN merupakan model P3B untuk negara-negara berkembang. Model ini

lebih mengedepankan azas sumber penghasilan, karena mereka umumnya yang

menggunakan jasa dan yang menerima modal dari luar negeri, sehingga model ini lebih

menerapkan pemajakan yang berasal dari negara yang memberi penghasilan. Namun

Page 21: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

28

demikian model OECD dan UN tidaklah dapat berdiri sendiri, karena tergantung

kesepakatan kedua negara yang mengadakan perjanjian tersebut.

Model Indonesia

Model ini mengkombinasikan kedua jenis model UN dan OECD, dan yang cocok

digunakan di Indonesia dengan melihat hal-hal yang terkait dengan ketentuan Undang-

Undang PPh dan program pembangunan di Indonesia dan sesuai dengan kesepakatan

kedua pihak dalam perjanjian. Hal-hal yang dapat mendorong perkembangan negara

Indonesia menjadi lebih maju, dapat diatur dalam perjanjian ini, misal penghasilan atas

guru dan peneliti, yang dalam kedua model UN dan OECD tidak diatur, namun dalam

Model Indonesia diatur dalam pasal tersendiri.

II.3.6. Kedudukan Tax Treaty

Mengacu pada pendapat Rachmanto Surahmat (2005) yang mengemukakan bahwa

karena suatu persetujuan pada hakekatnya merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak

yang berbeda, kedudukannya berada diatas Undang-Undang Pajak Nasional masing-

masing negara.

Tax treaty diatur dalam Pasal 32 A UU PPh ”Pemerintah berwenang untuk

melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak

berganda dan pencegahan pengelakan pajak. Berdasakan ketentuan tersebut tertulis

bahwa tax treaty memiliki perlakuan hukum yang khusus (lex specialis), artinya

memiliki aturan tersendiri yang harus dijalankan oleh negara yang terkait dengan

perjanjian internasional.

Page 22: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

29

Pelanggaran atas suatu treaty diselesaikan secara berbeda tergantung pada

tingkatannya. Negara pada pihak lain dalam treaty biasanya mengajukan protes dan

mendesak ditempuhnya prosedur sesuai dengan ketentuan treaty untuk menyelesaikan

masalah tersebut. Dalam P3B, hal ini diatur dalam Pasal 25 tentang Mutual Agreement

Procedure. Alternatif terakhir adalah mengadukannya ke tingkat peradilan internasional,

misalnya International Court for Justice.

Contoh pelanggaran atas treaty adalah dalam hal tindakan sepihak yang dilakukan

oleh salah satu negara atas suatu treaty shopping dalam konteks P3B. Masih menurut

Rachmanto Surahmat, yang dimaksud dengan treaty shopping adalah negara ketiga

memanfaatkan suatu P3B dengan cara menggunakan penduduk dari salah satu negara

pihak pada persetujuan yang berhak menikmati treaty protection. Treaty shopping ini

erat kaitannya dengan masalah transfer pricing karena adanya transaksi antara pihak-

pihak yang mempunyai hubungan istimewa.

Dalam transaksi tersebut, salah satu negara biasanya dirugikan (berupa kehilangan

penerimaan pajak) sebab keuntungannya dialihkan ke negara pajak (tax heaven

countries). Beberapa negara mempunyai aturan-aturan dalam Undang-Undang nasional

untuk mencegah terjadinya treaty shopping ini. Hal ini menunjukkan interaksi antara

Undang-Undang nasional dan hukum internasional.

II.4. Aspek Perpajakan Internasional Undang – Undang Pajak Penghasilan

Setiap undang-undang perpajakan selalu mempunyai aspek internasional, baik

mengenai subjek pajak maupun objek pajak. Aspek internasional dari suatu perundang-

undangan pajak mencerminkan sejauh mana suatu negara menentukan hak

pemajakannya di luar wilayahnya. Aspek internasional ini biasanya menyangkut definisi

Page 23: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

30

subjek pajak luar negeri (non-resident taxpayer), definisi bentuk usaha tetap (BUT),

penentuan penghasilan dari BUT tersebut, metode penghindaran pajak berganda yang

dianut, dan jenis-jenis penghasilan yang diperoleh subjek pajak luar negeri dari sumber-

sumber di dalam negeri yang dikenai pajak penghasilan melalui pemotongan

(withholding), karena sebagian dari aspek perpajakan telah dijelaskan pada sub bab

sebelumnya, maka di dalam sub bab ini akan dijelaskan pengertian dari subjek pajak luar

negeri, definisi dari bentuk usaha tetap, serta pengertian penghasilan atau laba yang

berasal dari bentuk usaha tetap tersebut, yang merupakan aspek dari perpajakan

internasional.

A. Definisi subjek pajak luar negeri

Definisi subjek pajak luar negeri dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-

Undang Pajak Penghasilan, yang berbunyi sebagai berikut:

i. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk uusaha tetap di

Indonesia;

ii. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di

Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, dan badan

yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang

dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari

menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu bentuk usaha

tetap.

Page 24: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

31

B. Definisi Bentuk Usaha Tetap (BUT)

1. Pengertian Bentuk Usaha Tetap menurut Perjanjian Perpajakan.

Ketentuan mengenai bentuk usaha tetap dalam suatu Perjanjian Perpajakan

sangat penting artinya. Karena selain menentukan mengenai ada tidaknya hak

negara sumber untuk mengenakan pajak atas laba usaha (business profits) yang

diterima atau diperoleh perusahaan yang merupakan penduduk (resident) negara

mitranya, juga mengatur mengenai cara pemajakan laba usaha bentuk usaha

tetap.

Pengertian bentuk usaha tetap di dalam perjanjian perpajakan tergantung

kepada pengertian yang diberikan oleh masing-masing perjanjian perpajakan

yang bersangkutan, yang dapat berbeda dari satu perjanjian perpajakan ke

perjanjian perpajakan lainnya. Pada umumnya, dalam perjanjian perpajakan

bentuk usaha tetap diartikan sebagai suatu tempat tertentu di mana seluruh atau

sebagian usaha perusahaan (luar negeri) dijalankan.

2. Pengertian bentuk usaha tetap berdasarkan Undang - undang

Pengertian bentuk usaha tetap diberikan di Pasal 2 ayat (5), yaitu bentuk

usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di

Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu

12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di

Indonesia, dan menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia. Bentuk

usaha itu dapat meliputi:

a) Tempat kedudukan manajemen;

b) Cabang perusahaan;

c) Kantor perwakilan;

Page 25: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

32

d) Gedung kantor;

e) Pabrik;

f) Bengkel;

g) Pertambangan dan penggalian sumber alam, wilayah kerja pengeboran

yang digunakan untuk eksplorasi pertambangan;

h) Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau kehutanan;

i) Proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan;

j) Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau oleh orang lain,

sepanjang dilakukan lebih dari 60 hari dalam jangka waktu 12 bulan;

k) Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang berkedudukannya tidak

bebas;

l) Agen atau karyawan dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan

tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi

atau menanggung resiko di Indonesia.

3. Penghasilan yang dianggap sebagai penghasilan dari bentuk usaha tetap dan

dijadikan dasar pengenaan PPh diatur dalam Pasal 5 ayat (1) adalah:

a) Penghasilan dari usaha atau kegiatan bentuk usaha tetap tersebut dan dari

harta yang dimiliki atau dikuasai;

b) Penghasilan atau laba dari penjualan barang-barang atau barang dagangan

yang dilakukan di negara sumber (yang langsung dilakukan oleh

perusahaan yang merupakan penduduk (resident) di negara mitra kepada

pembeli di negara sumber, tanpa melalui bentuk usaha tetapnya), yang

sama atau jenisnya serupa (the same or similiar kind) seperti yang dijual

bentuk usaha tetap;

Page 26: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

33

c) Penghasilan sebagaimana tersebut dalam Pasal 26 yang diterima atau

diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan yang efektif antara

bentuk usaha tetap dan harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan

yang dimaksud.

Penarikan penghasilan kantor pusat seperti disebutkan dalam butir b dan c di atas

yang menjadi penghasilan bentuk usaha tetap, merupakan penerapan suatu konsep yang

disebut force of attraction rule concept, yang biasanya dianut dalam sistem perpajakan

di kebanyakan negara berkembang untuk mencegah usaha penghindaran pajak oleh

perusahaan luar negeri. Konsep ini didasarkan pada suatu asumsi yang menyatakan

bahwa pada hakikatnya usaha atau kegiatan seperti yang digambarkan dalam butir b dan

c termasuk dalam ruang lingkup usaha atau kegiatan yang dapat dilakukan oleh bentuk

usaha tetap sehingga sudah seharusya penghasilan yang telah dihasilkan merupakan

penghasilan bentuk usaha tetap.

Dalam hal negara sumber berhak mengenakan pajak, yaitu karena perusahaan yang

bersangkutan melakukan kegiatan atau usaha melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,

penghasilan atau laba usaha yang dapat dikenakan pajak hanya terbatas kepada

penghasilan atau laba yang berasal dari (attributable) bentuk usaha tetap.

Pada akhir tahun pajak, penghasilan yang bersangkutan digabungkan dengan

penghasilan bentuk usaha tetap lainnya. Biaya untuk memperoleh, menagih dan

memelihara penghasilan yang berkaitan dengan penghasilan tersebut dibebankan sebagai

biaya bentuk usaha tetap. Pajak Penghasilan Pasal 23 yang telah dipotong yang

dikreditkan oleh bentuk usaha tetap. Begitu juga Pajak Penghasilan Pasal 26 yang telah

dipotong atas penghasilan tersebut, dapat dikreditkan oleh bentuk usaha tetap.

Page 27: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

34

II.5. Peranan Tax Incentive Terhadap Penanaman Modal Asing

Situasi politik dan keamanan yang makin kondusif serta adanya jaminan

pemerintah bagi tumbuh berkembangnya suatu usaha, ternyata tidak cukup mampu

menarik investor asing masuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sebagian besar

calon investor menghendaki suatu kebijakan pemerintah yang mampu mendukung usaha

mereka. Salah satu strategi yang perlu dijalankan dalam rangka memenuhi tuntutan

investor itu adalah dengan mengeluarkan kebijakan berupa pemberian insentif bagi para

investor. Selama ini pemerintah memang telah memberikan sejumlah insentif dalam

bidang perpajakan untuk mendorong tumbuhnya investasi, diantaranya mempercepat

penghapusan sejumlah objek pajak, serta memberikan kelonggaran pajak (tax

allowance). Namun, berbagai insentif tersebut tampaknya belum berhasil mendongkrak

kinerja investasi.

Dengan demikian, diperlukan insentif baru yang lebih mampu menarik investor

mengembangkan usahanya di Indonesia. Seperti di negara-negara lain, Indonesia perlu

menerapkan tax holiday. Tax holiday merupakan bentuk pengecualian dari pengenaan

pajak dan merupakan bentuk insentif yang paling favorit namun harus hati-hati

merencanakan penanaman investasinya. Meski tax holiday sebagai insentif investasi

masih perlu dipelajari efektivitas dan dampaknya terhadap APBN, namun dalam kondisi

yang abnormal seperti saat ini, penerapan tax holiday perlu dipertimbangkan.

Dalam konteks yang lebih luas, penerapan tax holiday merupakan salah satu cara

untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru. Jika

diberlakukan dan dijalankan secara benar, tax holiday bisa menjadi sarana efektif untuk

membangun industri yang kuat. Untuk mendukung investasi pada kelompok industri

prioritas, tax holiday dapat diberikan dalam bentuk pembebasan bea masuk pengadaan

Page 28: BAB II LANDASAN TEORI - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/Bab2/2007-3-00022-AK-Bab 2.pdf · Perjanjian Perpajakan Internasional ... negara guna menghindari pemajakan berganda

35

barang modal dan bahan baku, pembebasan atau keringanan pajak atas keuntungan yang

ditanam kembali, pembebasan pajak bagi investor yang menciptakan nilai tambah

signifikan, serta pembebasan pajak bagi pengusaha yang membuka bidang usaha baru

atau di daerah terpencil.