bab ii konsep kasih sayang dalam islam a ...yaitu ar-rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata...

23
17 BAB II KONSEP KASIH SAYANG DALAM ISLAM A. Pengertian dan Dasar Kasih Sayang 1. Pengertian Kasih Sayang Menurut Abdullah Nashih Ulwan, kasih sayang dapat diartikan kelembutan hati dan kepekaan perasaan sayang terhadap orang lain. 1 Dalam Al-Qur`an, kasih sayang dipresentasikan dalam kata Ar- Rahmah (kasih sayang). Kasih sayang merupakan sifat Allah yang paling banyak diungkapkan dalam al-Qur`an dalam bentuk kata yang berbeda yaitu Ar-Rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata Ar-Rahim yang berarti pengasih dan penyayang yang menunjukkan sifat-sifat Allah. Kata rahman dan rahim merupakan sifat Allah yang paling banyak diungkapkan dalam Al-Quran, yaitu sebanyak 114 kali. 2 Menurut Jalaluddin, penyebutan sebanyak itu bermakna bahwa Allah memberikan kepada manusia sifat-sifat-Nya sendiri untuk menjadi potensi yang dapat dikembangkan. Kemudian dalam hubungannya dengan sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang ini, Allah memerintahkan agar manusia bersifat pengasih dan penyayang, jika mereka ingin memperoleh kasih sayang dari Allah. 3 Baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim pada dasarnya memiliki pengertian yang sama, akan tetapi Ar-Rahman cenderung pada sifat kasih sayang Allah di akhirat, sedangkan Ar-Rahim cenderung pada sifat kasih sayang Allah di dunia. Selain itu ada bentuk kata lain dalam Al-Quran yang mempunyai arti kasih sayang yaitu Mahabbah, Ar-rahmah dan mawaddah. Mahabbah merupakan bentuk kata yang berasal dari kata hubb yang artinya cinta atau 1 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam; Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 11. 2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 21, hlm. 25. 3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, hlm. 214. 17

Upload: lamdung

Post on 03-Feb-2018

236 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

17

BAB II

KONSEP KASIH SAYANG DALAM ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Kasih Sayang

1. Pengertian Kasih Sayang

Menurut Abdullah Nashih Ulwan, kasih sayang dapat diartikan

kelembutan hati dan kepekaan perasaan sayang terhadap orang lain.1

Dalam Al-Qur`an, kasih sayang dipresentasikan dalam kata Ar-

Rahmah (kasih sayang). Kasih sayang merupakan sifat Allah yang paling

banyak diungkapkan dalam al-Qur`an dalam bentuk kata yang berbeda

yaitu Ar-Rahman yang biasanya dirangkaikan dengan kata Ar-Rahim yang

berarti pengasih dan penyayang yang menunjukkan sifat-sifat Allah. Kata

rahman dan rahim merupakan sifat Allah yang paling banyak

diungkapkan dalam Al-Quran, yaitu sebanyak 114 kali.2

Menurut Jalaluddin, penyebutan sebanyak itu bermakna bahwa

Allah memberikan kepada manusia sifat-sifat-Nya sendiri untuk menjadi

potensi yang dapat dikembangkan. Kemudian dalam hubungannya dengan

sifat Maha Pengasih dan Maha Penyayang ini, Allah memerintahkan agar

manusia bersifat pengasih dan penyayang, jika mereka ingin memperoleh

kasih sayang dari Allah.3

Baik Ar-Rahman maupun Ar-Rahim pada dasarnya memiliki

pengertian yang sama, akan tetapi Ar-Rahman cenderung pada sifat kasih

sayang Allah di akhirat, sedangkan Ar-Rahim cenderung pada sifat kasih

sayang Allah di dunia.

Selain itu ada bentuk kata lain dalam Al-Quran yang mempunyai

arti kasih sayang yaitu Mahabbah, Ar-rahmah dan mawaddah. Mahabbah

merupakan bentuk kata yang berasal dari kata hubb yang artinya cinta atau

1 Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam; Pendidikan Sosial Anak, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1996), Cet. 3, hlm. 11.

2 M. Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 2000), Cet. 21, hlm. 25.

3 Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), Cet. 2, hlm. 214.

17

18

mencintai, baik dalam konteks ke-Tuhanan (cinta Allah kepada makhluk-

Nya dan cinta makhluk kepada Allah), maupun konteks kemanusiaan.

Sedangkan Ar-rahmah dan mawaddah, keduanya memiliki arti

yang sama, yaitu kasih sayang, namun Ar-rahmah cenderung pada kasih

sayang yang bersifat ukhrawi, sedangkan mawaddah cenderung pada

kasih sayang yang bersifat duniawi.

Sedangkan dalam Asmaul Husna, banyak sekali nama-nama Allah

yang menunjukkan sifat- sifat kasih sayang sayang-Nya, antara lain Ar-

Rahman, Ar-Rahim, Al-Latif, Al-Hakim, dan Al-Ghafur. Semuanya

memiliki arti yang berbeda secara lughawi namun secara ma`nawi

memiliki arti yang sama, yaitu menunjukkan sifat-sifat kasih sayang Allah.

Baik secara umum maupun dalam Islam, tidak ada definisi yang

baku tentang kasih sayang. Yang ada hanya contoh- contoh praktis tentang

sifat kasih sayang ini. Barangkali ini merupakan sebuah seruan untuk

terjun langsung dalam dataran praksis, bukan hanya sekedar teoritis.

2. Dasar Kasih Sayang

Kasih sayang merupakan salah satu sifat mulia yang ditanamkan

Allah kepada manusia, dan karena sifat inilah Allah akan mengampuni

dosa manusia yang mau bertaubat dengan sungguh- sungguh sebagai

wujud kasih sayangnya. Firman Allah:

)12:االانعام ( كتب على نفسه الرحمة ليجمعنكم الىيوم القيامة الريب فيه

"Dia allah telah menetapkan atas dirinya kasih sayang. Dia sungguh-sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan terhadapnya" (Q. S. Al- An’am:12).4

4 Soenarjo, Al- Quran dan Terjemahnya, (Semarang: Thoha Putra, 1989), hlm. 188.

Allah menerangkan sebagian dari sifat- Nya, dengan keterangan bahwa manusia akan senang taat kepada- Nya. Sesungguhnya Allah Ta`ala bahwa Dia adalah penguasa langit dan bumi, telah mewajibkan atas Dzat- Nya yang Maha Tinggi untuk memberikan kasih sayang kepada makhluk- Nya dengan melimpahkan nikmat- nikmat- Nya kepada mereka, baik yang lahir maupun yang batin. Di antara tuntutan kasih sayang ini adalah dia akan mengumpulkan manusia pada hari kiamat, hari yang tidak diragukan lagi kedatangannya karena dalil- dalilnya sangat jelas, untuk mengadakan perhitungan dan memberikan balasan atas segala amal. Lihat

19

Dalam ayat lain disebutkan:

مل منع نم هة انمحفسه الرلى نكم عبر بكت هفأن لحاصده وعب من ابت هالة ثمءا بجوس كم

محيرر54: االانعام( غفو(

“Tuhanmu telah menetapkan atas diri-Nya kasih sayang yaitu bahwasanya barang siapa yang berbuat kejahatan di antara kamu lantaran kebodohan, kemudian ia bertaubat setelah mengerjakannya dan mengadakan perbaikan, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q. S. Al- An`am: 54).5

Allah telah menjadikan kasih sayang sebagai bagian dari

penciptaan bumi dan segala isinya. Seperti yang terdapat dalam hadis Nabi

saw.:

جعل اهللا الرحمة : سمعت رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم يقول : عن أىب هريرة قال

فمن ذالك , وأنزل ىف األرض جزأ واحدا , مئة جزء فأمسك عنده تسعة وتسعني جزأ

ى تتح لقالخ ماحرتء يزالج هبصية أن نيشا جلدهو نا عهافرح سالفر فعرواه مسلم(ر(

“Dari Abi Hurairah, ia berkata: saya mendengar Rasulullah saw. berkata: Allah menciptakan rasa kasih sayang itu menjadi seratus bagian. Sembilan puluh sembilan daripadanya disimpan di sisi- Nya, sedangkan satu bagian diturunkan ke bumi. Dengan kasih sayang yang satu bagian itulah para makhluk saling berkasih sayang, sehingga sehingga kuda pun mengangkat kakinya karena takut anaknya terinjak.” (H. R. Muslim).6

Rasulullah bersabda:

Ahmad Musthafa Al- Maraghi dalam Tafsir Al- Maraghi, Terj. Bahrun Abu Bakar dkk, Juz 7, (Semarang: Toha Putra, 1987), Cet. 1, hlm. 142.

5 Ibid, hlm. 195. 6 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, Shahih Muslim, Juz II, (Beirut: Dar Kutub al- Ilmiyah, t.

th), hlm. 1809.

20

من ال يرحم الناس ال يرحم اهللا , قال رسول اهللا : قال , عن أبى جرير بن عبذ اهللا

) رواه مسلم(عز وجل

“Dari abu Jarir Ibnu Abdillah, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda, Barang siapa yang tidak mengasihi manusia maka tidak akan dikasihi oleh Allah azza wajalla.” (H. R. Muslim).7 Dalam hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah saw. sangat

menyayangi anak kecil, seperti salah satu hadis berikut:

تقبلون الصبيان: م فقال عن عا ئشة قالت جاء أعربى إىل النىب صلىاهللا عليه وسل

ملهقبا نة , فممحالر قلبك من عزإن كان اهللا ن لكأم ىب صلىاهللا عليه وسلم أوفقال الن

) رواه مسلم(

“Dari Aisyah, beliau berkata: Ada seorang Arab dusun yang datang kepada Nabi saw., sambil berkata: engkau menciun anak-anak itu, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka. Lalu Nabi saw. menjawab: Apakah dayaku, jika Allah telah mencabut kasih sayang dari hatimu.” (H. R. Muslim).8 Begitulah baik dalam Al-Quran maupun hadis, kasih sayang

merupakan bagian terpenting dari diturunkannya Islam ke dunia, dan yang

pasti karena kasih sayanglah risalah Islam sampai kepada kita.

Selain dasar-dasar dari Al-Quran dan hadis di atas, kita bisa

mengambil dasar filosofis, bahwa pada dasarnya manusia dilahirkan atas

dasar kasih sayang, dengan membawa potensi kasih sayang, dan

membutuhkan kasih sayang. Potensi dan kebutuhan tersebut menjadikan

manusia berusaha memberi dan memperoleh kasih sayang dengan

berbagai cara. Di samping itu sebagai makhluk sosial, dan dalam

7 Ibid. 8 Ibid.

21

berinteraksi sosial, kasih sayang merupakan dasar utama yang harus

dipegang dalam pergaulan sehari-hari – baik antara individu dengan

individu, ataupun individu dengan masyarakat.

B. Kasih Sayang Sebagai Fitrah

Semua makhluk ciptaan Allah di dunia ini memiliki kondisi dan

potensi masing- masing. Begitu juga manusia, dalam kapasitasnya sebagai

makhluk yang paling sempurna – dengan akal, perasaan, dan nafsu yang

dimilikinya. Manusia adalah satu-satunya makhluk ciptaan Allah yang

mampu mewujudkan bagian tertinggi dari kehendak Allah dan menjadikan

adanya sejarah. Selain itu manusia juga makhluk kosmis yang sangat penting,

karena dilengkapi dengan semua pembawaan dan syarat-syarat yang

diperlukan sebagai makhluk.9

Di sisi lain, manusia merupakan puncak ciptaan dan makhluk Allah

yang paling tinggi, yang memiliki keistimewaan dengan status dan

tanggungjawabnya sebagai khalifah Allah di bumi. Atas dasar itu manusia

dipercaya untuk memikul amanat berupa tugas untuk menciptakan tata

kehidupan yang bermoral dan berkebudayaan dengan akal dan perasaan yang

dimilikinya.

Dalam fitrah manusia sebagai makhluk yang mempunyai perasaan,

salah satu potensi yang dimiliki oleh manusia adalah potensi rasa kasih sayang

yang ada pada dirinya sejak lahir. Kasih sayang adalah fitrah karena

merupakan bagian dari kebutuhan manusia. Fitrah ini merupakan kemuliaan

yang ditanamkan oleh Allah dalam setiap hati manusia yang kadarnya sama.

Hanya saja, berkembang atau tidaknya fitrah ini tergantung seberapa besar

fitrah ini diasah dalam fase-fase berikutnya.

9 Syarat yang dimaksud menyatakan bahwa manusia sebagai kesatuan jiwa- raga

dalam hubungan timbal balik dengan dunia dan antara sesama manusia. Di samping itu, ada unsur lain yang membuat dirinya dapat mengatasi dirinya sendiri dan dunia sekitarnya, yaitu unsur jasmani dan jiwa. (lih. Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2002), Cet. 2, hlm. 234.

22

Bagi orang tua, menyayangi dan mencintai anak merupakan fitrah

yang agung dan mulia yang diberikan oleh Allah – terutama ibu – dalam

mendidik anak-anak nya. Rasulullah saw. bersabda:

ليس منا من ال يرحم صغيرنا : قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : عن ابن عباس قال

)رواه مسلم(ويعرف حق كبيرنا

“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Bukan termasuk golongan kami, orang yang tidak mengasihi (orang yang) lebih kecil, dan (orang yang) tidak mengetahui hak orang yang lebih besar.” (H. R. Muslim).10

Fitrah ini – seperti juga fitrah-fitrah yang lain – juga memerlukan

bimbingan dan latihan. Jika tidak, maka akan mengalami salah penyesuaian.

Sejak dini, jika anak telah diajarkan atas dasar kasih sayang, maka pada tahap

berikutnya secara konsisten anak akan mengaplikasikannnya – bahkan tanpa

disadarinya. Sedangkan sebaliknya, jika sejak dini anak tidak diajarkan

bagaimana berinteraksi dengan dan atas dasar kasih sayang, maka sudah dapat

diduga apa yang akan terjadi selanjutnya.

C. Bentuk- Bentuk Kasih Sayang dalam Islam.

Islam dengan keuniversalannya merupakan agama yang paling lengkap

menjelaskan tentang semua aspek dalam kehidupan - termasuk kasih sayang.

Ada beberapa bentuk perwujudan kasih sayang yang dijelaskan dalam Al-

Qur`an, yaitu shilaturrahim (silaturrahmi), ukhuwah (persaudaraan), dan

akhlakul karimah (akhlak yang mulia).

1. Shilaturrahim (silaturrahmi).

10 Jalaluddin Abu Bakar As- Suyuthi, Al- Jami` Al- Shaghir, Juz 1-2 (Mesir: Darul

Kutub Al- Ilmiyah, t. th.), hlm. 471.

23

Silaturrahmi, yang dalam Islam biasa disebut shilaturrahim, adalah

kata majemuk yang diambil dari dua kata, shilat dan rahim. Kata shilat

berakar dari kata washal, yang berarti menyambung dan menghimpun.

Sedangkan kata rahim, pada mulanya berarti kasih sayang yang kemudian

berkembang sehingga berarti pula peranakan (kandungan), karena anak

yang di kandung selalu mendapatkan curahan kasih sayang.11 Salah bukti

yang paling konkret tentang shilaturrahim yang berintikan rasa kasih

sayang adalah pemberian yang tulus tanpa mengharapkan balasan yang

diberikan oleh orang tua, terutama ibu kepada anak.

Menurut Azyumardi Azra, secara harfiyah silaturrahmi berarti

menghubungkan kasih sayang. Hubungan kasih sayang yang sarat dengan

nilai-nilai persaudaraan dan kesetiakawanan baik antara sesama muslim,

maupun antara sesama manusia.12

Silaturrahmi merupakan keutamaan dalam Islam dan bagian

penting dari agama Islam. Silaturrahmi merupakan sarana yang paling

ampuh untuk mewujudkan persaudaraan menuju persatuan. Silaturrahmi

mencakup hal-hal yang mendorong suatu pergaulan yang harmonis antara

individu dengan individu, dan individu dengan masyarakat.

Silaturrahmi merupakan unsur penting dalam membina ukhuwah

Islamiyah. Seseorang yang mempraktekkan nilai silaturrahmi secara lebih

luas, maka dengan sendirinya akan terbina persaudaraan. Dari silaturrahmi

akan terjadi ta`aruf atau saling mengenal. Perkenalan dapat menciptakan

suatu masyarakat yang damai, kerjasama dan toleransi, sehingga akan

terbuka pergaulan yang saling membantu. Ada pepatah mengatakan, “tak

kenal maka ta sayang”. Pepatah ini memang sangat benar bila dikaitkan

dengan manfaat silaturrahmi.

Dalam tradisi Islam, ada satu tradisi yang biasa dinamakan halal

bihalal. Menurut pakar-pakar hukum Islam, halal bihalal dalam tinjauan

11 Quraish Shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 317. 12 Tata Septayuda, Manfaat Bersilaturrahmi, Majalah Gontor Edisi 7, Nopember,

(Gontor, 2004), hlm. 8.

24

hukum adalah adanya hubungan yang halal. 13 Dengan demikian, dalam

konteks ini halal bihalal akan menjadikan sikap yang tadinya haram atau

berdosa, menjadi halal atau tidak berdosa lagi. Namun jika kita lihat dari

konteks ini, maka halal bihalal akan sedikit bergeser dari makna

shilaturrahmi.

Meskipun demikian, baik shilaturrahim maupun halal bihalal

keduanya mengandung unsur maaf-memaafkan, untuk kemudian berbuat

baik terhadap orang yang pernah melakukan kesalahan. Halal bihahal

bukan saja menuntut seseorang untuk memaafkan orang lain, tetaapi juga

agar berbuat baik kepada siapapun. Itulah landasan filosofis dalam setiap

aktivitas manusia yang dimaksud dalam Al- Quran, yang juga dijadikan

sebagai landasan filosofis bagi siapa saja yang melakukan halal bihalal

agar kembali pada tujuan semula, yakni menyambung tali silaturrahmi.

Dalam tradisi kaum sufi, silaturrahmi ini disebut dengan

ziarah.mereka sangat menganjurkan – bahkan menjadi ajaran utama bagi

kaum sufi, sebab hakikat dari shilaturrahmi adalah menjalin dan

menebarkan kasih sayang. Menebarkan kasih sayang itulah yang menjadi

dari ajaran kaum sufi, baik kasih sayang kita kepada Allah, sesama

manusia, maupun sesama makhluk.14

Silaturrahmi merupakan bagian yang sangat penting dalam

kehidupan. Sebagai amalan, shilaturrahmi dapat dilakukan dengan

berbagai cara, misalnya dengan bertemu dan saling mendoakan sesuai

dengan maknanya yang berarti menghubungkan kasih sayang. Bagi orang

mukmin silaturrahmi adalah keniscayaan, karena ia berkomunikasi dan

berinteraksi dengan orang lain, masyarakat dan lingkungannya.

13 Sedangkan menurut tinjauan bahasa, kat halal diambil dari kata halla atau halala yang mempunyai beberapa bentuk dan makna sesui dengan rangkaian katanya. Makna- makna tersebut antara lain menyelesaikan masalah atau kesulitan, meluruskan benang kusut, mencairkan yang membeku, atau melepaskan ikatan yang membelenggu. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam tinjauan kebahasaan, kata halal bihalal ini memberikan pengertian bahwa seakan- akan ada keinginan untyuk mengubah hubungan yang tadinya keruh menjadi jernih, dari yang beku menjadi cair, dari yang terikat menjadi terlepas, dan dari yang putus menjadi tersambung kembali. Lihat Quraish shihab, Membumikan Al- Quran, hlm. 318.

14 Hamim Thohari, Shilarurrahmi dalam Perspektif Tasawwuf, (Gontor: Majalah Gontor, Edisi. 7, Nopember 2004), hlm. 10.

25

Banyak manfaat yang bisa kita peroleh dalam bersilaturrahmi.

Rasulullah saw. Bersabda:

من أحب أن يبسط له فى : أن رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم قال, عن أنس بن مالك

)رواه مسلم ( فليصل رحمه, وينسأ له فى أثره, رزقه

“Dari Anas Ibnu Malik, sesungguhnya Rasululah saw. telah bersabda: Barang siapa yang ingin diperbanyak rezekinya, dan dipanjangkan usianya, hendaklah ia menyambung silaturrahmi.” (H. R. Muslim).15

Silaturrahmi merupakan salah satu pembuka rezeki. Artinya,

dengan memperbanyak shilaturrahmi berarti memperbanyak kenalan dan

teman. Dengan banyak kenalan, akan memudahkan jaringan bisnis

(networking). Networking merupakan bagian penting dalam bisnis dan

ternyata networking sendiri dalam Islam adalah shilaturrahmi. Selain itu,

aktivitas silaturrahmi juga bisa mendatangkan rezeki yang tidak disangka-

sangka bagi siapapun yang melakukannya. Misalnya dari obrolan yang

santai, bisa berlanjut pada urusan bisnis dan kerjasama. Inilah silaturrahmi

yang berbuah memperluas rezeki, tentunya ini tidak lepas dari unsur niat

yang ikhlas mengharap keridlaan Allah.

Pada tahap selanjutnya, silaturrahmi dapat memperpanjang usia –

tentu saja dalam arti luas. Orang yang banyak bersilaturrahmi adalah orang

yang hidupnya optimis, karena mempunyai banyak teman dan saudara.

Networking merupakan pengembangan makna luas dari silaturrahmi.

Kalau sudah masuk dalam jaringan kerja, berarti akan menghasilkan

rezeki. Jadi, sikap optimisme dengan saling mendoakan bisa

menumbuhkan ketenangan hidup, dan selanjutnya memperpanjang usia.

Tentu saja itu hanya sebuah dorongan, bukan berarti umur akan

bertambah dari enam puluh tahun menjadi tujuh puluh tahun, dan

15 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1981.

26

sebagainya. Tetapi maksudnya ketika silaturrahmi sering memberikan

kebaikan pada orang lain, sebab tidak mungkin bersilaturrahmi kemudian

tidak memberikan manfaat bagi diri kita dan bagi orang lain. Inilah

pentingnya silaturrahmi dalam Islam, yaitu mengahapus permusuhan.

Kontekstualisasi dari silaturrahmi ini bisa dilakukan kapanpun dan

di manapun, baik dalam konteks individu, keluarga, masyarakat, bahkan

dalam konteks berbangsa dan bernegara.

2. Ukuwah (persaudaraan).

Ukhuwah pada mulanya berarti “persamaan dan keserasian dalam

banyak hal”- baik persaudaraan karena keturunan maupun persaudaraan

karena persamaan sifat- sifat.16 Ukhuwah berasal dari kata dasar akh yang

berarti saudara, teman akrab atau sahabat. Bentuk jamak dari akh dalam

Al- Quran ada dua macam. Pertama, ikhwan yang biasanya digunakan

untuk persaudaraan dalam arti tidak sekandung. Kedua, ikhwah yang

digunakan untuk makna persaudaraan satu keturunan. Dalam Al- Quran,

hubungan aantar kaum mukmin disebut ikhwah bukan ikhwan, yang

berarti bahwa orang mukmin bukan sekedar teman bagi mukmin yang lain,

namun lebih dari itu adalah saudara. 17 Namun dalam ayat lain juga

disebutkan sebagai ikhwan.18 Struktur kata uhuwah sama dengan kata

bunuwah dari kata ibnun yang artinya anak laki-laki. Akh dapat berarti

saudara, bentuk jamaknya ikhwah, dapat pula berarti kawan, bentuk

jamaknya ikhwan.

Sepengetahuan kita, ukhuwah sering di sandingkan dengan kata

islamiyah yang berarti persaudaraan sesama muslim, yang merupakan

salah satu pokok ajaran Islam yang mengajarkan persamaan. Konsep ini

merupakan satu tawaran bagi ummat manusia (dibedakan dari konsep

16 Persaudaraan karena sifat-sifat ini antara lain ditunjukkan dalam firman Allah

dalam surat Al- Isra ayat 27 yang berbicara tentang persaudaraan (persamaan) sifat-sifat manusia yang boros dengan setan. (Lihat Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 357).

17 Kata ikhwah dalam Al-Quran semuanya digunakan untuk saudara seketurunan kecuali dalam sutat Al- Hujurat ayat 10.

18 Q. S. Al- Hujurat ayat 103.

27

ummah) untuk merujuk kemanusiaan. Konsep ukhuwah yang dinukil

dalam Al-Quran ini mengandung perluasan makna sebagai persamaan dan

keserasian dalam banyak hal.19

Kalau kita mengartikan ukhuwah dalam arti persamaan, maka

paling tidak kita akan menemukan ukhuwah tersebut tercermin dalam

beberapa hal yaitu:20

a. Ukhuwah fi al- Ubudiyyat, yang mengandung arti persamaan dalam

ciptaan dan ketundukan kepada Allah sebagai Pencipta. Persamaan

seperti ini mencakup persamaan antara sesama makhluk ciptaan Allah.

b. Ukhuwah fi Al- Insaniyyat, yang mengandung pengertian bahwa

manusia memiliki persamaan dalam asal keturunan (dari Adam dan

Hawa). Persamaan ini menjadikan manusia memiliki dasar

persaudaraan kemanusiaan dalam ruang lingkup yang luas dan

permanen. Luas dalam arti universal (tidak terbatas pada letak

geografis, bahasa, suku dan sebagainya), dan permanen dalam arti

berlaku sepanjang zaman selama masih hidup.

c. Ukhuwah fi al- Wahdaniyyat wa an –Nasab, yang meletakkan dasar

persamaan pada unsur bangsa dan hubungan pertalian darah.

d. Ukhuwah fi Din al- Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan

(agama) yang dianut, yaitu Islam. Dasar persamaan ini menempatkan

kaum muslimin sebagai saudara, karena memiliki akidah yang sama.

Komunitas muslim yang memiliki identitas sama atas dasar persamaan

akidah seperti ini dikenal sebagai ummah. Jaadi, merekaa yang seiman,

adalah bersaudara.

Menurut Quraish Shihab, ukhuwah Islamiyah mengarah pada arti

yang lebih luas dari sekadar persaudaraan sesama muslim. Konsep

ukhuwah islamiyah lebih diartikan sebagai persaudaraan yang bersifat

Islam, atau persaudaraan secara Islam.21 Tampaknya, apa yang

diungkapkan oleh Quraish Shihab tersebut bisa lebih diterima, terutama

19 Jalaluddin, hlm. 210. 20 Ibid, hlm. 212. 21 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, hlm. 358.

28

dalam kaitannya dengan amanat yang dibebankan kepada manusia yang

bertugas sebagai khalifah di bumi dan bertanggungjawab dalam

pengelolaan kehidupan di bumi.

Uhkuwah Islamiyah, seperti halnya hubungan persaudaraan antar

anggota keluarga tertentu, sebagai suatu komunitas tentu mengandung

nilai-nilai pengikat tertentu, yang tumbuh dari keyakinan dogmatis

maupun yang tumbuh secara naluriah atau fitriyah. Tetapi meskipun ada

pengikat yang kuat, masing-masing pasti memiliki ciri khas, watak, dan

latar belakang yang berbeda.

Seperti diketahui, perbedaan sudah merupakan kodrat manusia.

Padahal dalam memelihara kehidupan, sebagai khalifah manusia dituntut

untuk membina kerukunan. Dan kerukunan perlu ditopang oleh unsur

persamaan dan persaudaran dalam arti luas. Keduanya hanya mungkin

berjalan secara harmonis, bila didasarkan atas rasa kasih sayang yang

sekaligus menjadi identitasnya. Dalam konteks inilah, kasih sayang sangat

diperlukan bagi tugas kekhalifahan manusia dalam memakmurkan bumi.

Persaudaraan antara sesama muslim merupakan ikatan kasih

sayang. Kasih sayang antar sesama muslim merupakan indikator keimanan

seseorang, seperti hadis Nabi “tidak sempurna iman seseorang hingga ia

mau mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri”.

Selain kasih sayang, unsur pengikat yang dalam upaya

menumbuhkan ukhuwah Islamiyah adalah keimanan atas Allah SWT dan

Rasul-Nya, Muhammad SAW. ikatan akidah inilah yang paling kuat

daripada ikatan darah atau keturunan, dan merupakan pondasi yang kokoh

dalam membangun ukhuwah Islamiyah. Rasa dan keyakinan satu Tuhan,

satu Rasul dan sati iman, akan menumbuhkan rasa kasih sayang yang

kemudian diwujudkan dalam sikap dan perilaku sehari-hari.22

Ukhuwah yang benar akan melahirkan perasaan-perasaan mulia

dan sikap positif untuk saling menolong antar satu dengan yang lain. Oleh

22 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 1994), Cet. 1, hlm.

231.

29

karena itu, Islam mewajibkan persaudaraan di jalan Allah. Ketentuan-

ketentuan dan keharusannya telah dijelaskan dalam beberapa ayat dan

hadis, antara lain:

كميواخ نيا بولحة فا صون اخومنؤا المم15: احلجرات(ان(

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, maka damaikanlah di antara kedua saudaramu.” (Q. S. Al- Hujurat: 10).23

كباخي كدضع دشن35: القصص(س(

“Kami akan membantumu dengan saudaramu.” (Q.S. Al-Qashash: 35).24

إخوانا واذكرو نعمة اهللا عليكم إذ كنتم اعداء فألف بين قلوبكم فأصبحتم بنعمته

)103: آل عمران(

“Dan ingatlah akan nikmat-nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah menjinakkan antara hatimu, lalu jadilah kamu, karena nikmat Allah sebagai orang-orang yang bersaudara.” (Q. S. Ali Imran: 103).25

ال يؤمن احدكم حتى يحب : عن أنس بن مالك عن النبى صلى اهللا عليه وسلم قال

)رواه مسلم(ألخيه ما يحب لنفسه

“Dari Anas Bib Malik, Rasulullah saw. bersabda: Tidak sempurna iman seseorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (H. R. Muslim).26

23 Soenarjo, hlm. 846. 24 Ibid, hlm. 615. 25 Ibid, hlm. 93. 26 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 67.

30

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa kasih sayang merupakan

bagian dari keimanan seseorang. Orang yang tidak mengasihi saudaranya

direpresentasikan sebagai orang yang tidak sempurna imannya – walaupun

kuat ibadahnya.

Rasulullah saw. mengibaratkan mukmin satu dengan yang lainnya

bagaikan satu bangunan dan satu tubuh, yang saling menunjang antara satu

bagian dengan baagian yang lainnya. Jika kehilangan satu bagian saja,

maka tubuh atau bangunan tersebut tidak akan sempurna dan kokoh. Atau

jika satu bagian dari tubuh menderita sakit, maka bagian tubuh yang lain

juga akan merasakan sakit. Rasulullah saw. bersabda:

قال رسول اهللا صلىاهللا عليه وسلم مثل المؤمنين فى توادهم : العن النعمان بن بشير ق

وتراحمهم وتعاطفهم كمثل الجسد إذاشتكى منه عضو تداعى له سائر الجسد بالسهر

)رواه مسلم(والحمى

“Dari Nu`man Ibnu Basyir, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Perumpamaan bagi orang-orang yang beriman dalam saling mencintati, saling mengasihi, dan saling tolong menolong seperti sebatang tubuh. Kalau ada salah satu anggota tubuh yang terkena penyakit, maka seluruh batang tubuh ikut menderita tidak dapat tidur dan menderita panas.” (H. R. Muslim).27 Dalam hadis lain disebutkan:

الموءمن للموءمن كالبنيان , قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم : قال , عن أبى موسى

)رواه مسلم ( يشذ بعضه بعضا

“Dari Abu Musa, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: Orang mukmin dengan mukmin yang lain bagaikan saatu bangunan yang saling menguatkan antara satu dengan yang lain.” (H. R. Muslim).28

27 Ibid, hlm. 1999. 28 Ibid.

31

Di samping itu masih banyak lagi ayat dan hadis yang secara

implisit menjelaskan tentang pentingnya ukhuwah dalam bersosialisasi di

manapun dan dengan siapapun.

Faktor lain yang juga bisa menunjang lahirnya ukhuwah – dalam

arti luas maupun sempit, di antaranya adalah persamaan. Semakin banyak

persamaan, semakin kokoh pula persaudaraan. Persamaan dalam rasa dan

cita merupakan faktor dominan yang menciptakan persaudaraan hakiki.

Di samping itu, keberadaan manusia sebagai makhluk sosial juga

berpengaruh dalam melahirkan persaudaraan.

Manusia bisa memenuhi segala kebutuhannya bila mau hidup

bermasyarakat. Dengan bermasyarakat, manusia berusaha mewujudkan

keinginannya. Persatuan, ikatan batin, saling membantu daan kebersamaan

merupakan prasyarat dari timbulnya ukhuwah (persaudaraan) dan kasih

sayang yang menjadi landasan bagi terciptanya tata kemasyarakatan yang

baik dan harmonis.29

Memang harus diakui, bahwa realisasi ukhuwah Islamiyah tidaklah

semudah membalikkan telapak tangan. Perlu telah yang lebih mendalam

mengenai faktor-faktor yang bisa menghambatnya. Faktor-faktor tersebut

antara lain,30 adanya fanatisme buta dan rasa bangga diri yang berlebihan.

Bahkan faktor ini terkadang sampai pada penilaian benar-salah yang

mengakibatkan ketegangan ataupun kesenjangan.

Faktor lain adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, dan kurang

adanya silatirrahmi dan dialog-dialog untuk mencari titik-titik

kemaslahatan yang diinginkan. Lebih dari itu, faktor penghambat utama

adalah tingkat akhlak yang masih relatif rendah, sehingga sering timbul

sikap tahasud, saling mencela, dan ghibah.

Hambatan yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan

rasa kasih sayang terhadap sesama. Hal inilah yang memunculkan sikap

29 MA. Sahal Mahfudh, Nuansa Fiqih Sosial, hlm. 228. 30 Ibid, hlm. 233.

32

tidak menghargai, mementingkan diri sendiri, dan pada gilirannya

melahirkan kompetensi yang kurang sehat dan fanatisme kelompok.

Upaya untuk mengatasi hambatan-hambatan tersebut sebenarnya

dapat dilakukan oleh semua pihak, untuk menjadikan ukhuwah sebagia

potensi yang sangat bermanfaat, bukan saja bagi perseorangan maupun

kelompok, tetapi bagi seluruh kehidupan berbangsa dan bernegara.

Bagimana menghilangkan, atau paling tidak meminimalisir porsi

sektarianisme dalam berbagai aspek kehidupan, bagaimana meningkatkan

akhlakul karimah, dan bagaimana melembagakan silaturrahim dan dialog

untuk mencari titik maslahah bagi semua pihak, merupakan pekerjaan

rumah yang harus diselesaikan, bukan hanya oleh kalangan tertentu

(pemerintah dan sebagainya), tetapi juga merupakan tugas seluruh

masyarakat.

Menarik untuk dicermati, bahwa ternyata Al- Quran dan hadis

tidak pernah menjelaskan secara eksplisit tentang definisi ukhuwah

Islamiyah, tetapi metode yang digunakan adalah dengan memberikan

contoh- contoh yang nyata tentang ukhuwah itu.31 Ini berarti, Islam lebih

menekankan ukhuwah Islamiyah pada persoalan praksis daripada sekedar

teoritis. Dengan demikian, praktik yang sebenarnya dari ukhuwah

Islamiyah akan menunjukkan pada manusia hasil- hasil yang konkret

dalam kehidupan. Dan untuk memantapkannya, yang dibutuhkan bukan

sekadar ukhuwah yang menyangkut perbedaan persepsi, tetapi lebih dari

itu bagaimana langkah- langkah bersama yang dilakukan sebagai tindakan

yang lebih reflektif dari makna ukhuwah Islamiyah yang sebenarnya.

Demikian juga ukhuwah yang menimbulkan sikap saling

pengertian, saling melengkapi kekurangan dengan dasar keikhlasan demi

kemaslahatan, merupakan potensi yang selalu didambakan oleh semua

ummat. Tentu saja dalam hal ini masing-masing harus berada pada

porsinya sesuai dengan potensi yang dimiliki, dengan segala kelebihan dan

31 Baca surat Al- Hujurat ayat 11-12.

33

kekurangannya. Dengan demikian, ukuwah – secara universal - akan

berjalan selaras, serasi, dan seimbang.

2. Akhlakul Karimah (akhlak yang mulia)

Konsep Akhlak dalam Islam

Satu lagi ajaran Islam yang tidak kalah penting, yaitu akhlak.

Akhlak merupakan realisasi dari ajaran Islam. Terminologi ini dalam

bahasa Inggris lebih dikenal dengan moral atau ethic.32 Baik moral, akhlak

maupun etika merupakan segmen yang terpenting bagi manusia pada

umumnya, sebab manusia merupakan makhluk yang mempunyai tata

krama, sopan santun, dan beradab dalam setiap aktivitasnya selama

manusia itu masih hidup. Oleh karena itu, akhlak meliputi seluruh aspek

kehidupan.

Al-Ghazali memberikan pengertian tentang akhlak, yaitu sifat dan

perilaku yang konstan dan meresap dalam jiwa, darinya tumbuh

perbuatan- perbuatan yang wajar dan mudah tanpa memerlukan pikiran

dan pertimbangan.33

Dari pengertian di atas, akhlak menurut Al-Ghazali harus

mencakup dua syarat, yaitu:

a. Perbuatan itu harus konstan. Artinya, harus dilakukan berulang kali

dalam bentuk yang sama, sehingga dapat menjadi kebiasaan.

b. Perbuaatan yang konstan itu harus tumbuh dengan sendirinya, sebagai

wujud reflektif dari jiwa tanpa pertimbangan dan pemikiran – seperti

tekanan-tekanan, pengaruh, ajakan, dan sebagainya.

Sedangkan F. Gabriele dalam Ensiklopedia of Islam sebagaimana

dikutip M. Abdurrahman, menyebutkan bahwa akhlak atau moral yang

sering kita sebut dengan adab, berasal dati terminologi arab yang berarti

adat istiadat, kebiasaan, etika atau sopan santun. Inilah tatanan yang

32 Muhammad Abdurrahman, Pendidikan di Alaf Baru; Rekontruksi Atas Moralitas

Pendidikan, Edisi 7, (Yogyakarta: Prismasophie, 2002), hlm. 75 33 Zainuddin dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al- hazali, (Jakarta: Bumi Aksara,

1991), Cet. 1, hlm. 102.

34

seringkali digunakan manusia dalam berinteraksi dengan sesama manusia.

Istilah tersebut dalam bahasa Latin disebut urbanitas yang berarti

“kehalusan” atau “kebaikan” yang digunakan sebagai tata krama dalam

bergaul.34 Nilai-nilai akhlak sangat diperlukan untuk membina manusia

agar dapat membedakannya dengan makhluk yang lain.

Dalam terminologi Islam, sebenarnya tidak ada istilah moral, yang

ada hanya akhlak. Dalam ajaran Islam, akhlak tidak bisa dipisahkan dari

keimanan. Keimanan merupakan pengakuan hati, sementara akhlak adalah

refleksi dari iman yang berupa perilaku, ucapan atau sikap. Dengan kata

lain, akhlak adalah abstraksidari keimanan yang tercermin dari sikap dan

perilaku sebagai bukti keimanan yang dilakukan dengan kesadaran dan

hanya karena Allah.

Senada dengan hal tersebut, dalam Al-Quran juga sering

disebutkan setelah ada pernyatan “orang-orang yang beriman”, sering

diikuti dengan kata “beramal saleh”. Dalam hal ini dapat kita ambil

pengertian bahwa amal saleh adalah manifestasi dari akhlak yang

merupakan perwujudan dari keimanan seseorang.

Persoalan iman akan berpengaruh pada setiap persoalan manusia

yang erat kaitannya dengan keimanan.35. Mukmin yang berbuat baik,

digambarkan sebagai manusia yang sempurna keimanannya. Namun, bagi

orang-orang yang hanya menggunakan simbol muslim, belum tentu

mencapai arah ketinggian akhlak yang Islami. Inilah yang membedakan

antara muslim dan mukmin dalam segala hal.

Dalam pemahaman tentang akhlak, ada dua istilah yang sering kita

dengar yaitu akhlakul karimah atau akhlakul mahmudah (Keduanya

memiliki pemahaman yang sama, yaitu akhlak yang terpuji dan mulia),

dan akhlakul madzmumah (akhlak yang buruk).

34 Muhammad Abdurrahman, hlm. 74. 35 Dalam hal ini Rasulullah saw. bersabda yang artinya “Orang mukmin yang

sempurna imannya adalah yang terbaik akhlaknya.” (H. R. Turmudzi). Di samping itu, Allah juga berfirman “Sesungguhnya engkau (Muhammad) mempunyai akhlak yang amat tinggi.

35

Dalam rangka menghayati akhlak yang sudah dipahami, diperlukan

pengalaman- pengalaman melalui aplikasi dalam berbagai keadaan dan

kesempatan ketika berinteraksi dengan makhluk yang lain. Semakin

banyak pengalaman, maka semain banyak pula dorongan- dorongan untuk

lebih banyak lagi berbuat kebaikan, dan pada gilirannnya akan terjadi

internalisasi akhlak dalam diri individu secara otomatis.

Perlu kita ketahui, bahwa akhlak adalah persoalan awal yang

dibenahi oleh Rasulullah saw. Beliau telah banyak memberikan contoh

akhlak yang mulia dalam berbagai kesempatan. Dalam hal ini rasulullah

saw adalah contoh pemilik akhlak terbaik bagi umatnya, sebagaimana

hadis:

كان رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم أحسن الناش خلقا : عن أنس بن مالك قال

)رواه مسلم(

“Dari Anas Ibnu Malik, ia berkata: bahwasanya Rasulullh saw. adalah sebaik-baik manusia dalam akhlaknya.” (H.R. Muslim).36

Ini merupakan bukti bahwa agama Islam yang dibawa Rasulullah

saw. benar-benar mementingkan masalah akhlak sebagai faktor utama bagi

setiap muslim sebelum mempelajari dan memahami kewajiban-kewajiban

yang lain.

Dalam pandangan Islam, akhlakul karimah adalah tingkah laku

yang mulia, yang dilakukan oleh manusia dengan kemauan dan niat yang

mulia, dan untuk tujuan yang mulia. Prinsip-prinsip akhlak yang dibawa

oleh Islam bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia yang mencakup

perilakunya dalam berinteraksi dengan individu maupun dengan kelompok

masyarakat.

Persoalan akhlak merupakan persoalan yang sudah dibawa manusia

sejak lahir dan menjadi ukuran bagi perilaku manusiayang menjadi

pembenar bagi sifat-sifat tertentu, dan mencela sifat-sifat yang lain. Akan

36 Abu Muslim Ibnu Hajjaj, hlm. 1805.

36

tetapi kemampuan sifat pembawaan ini berbeda antara satu individu

dengan individu yang lain. Dalam hal ini, yang kemudian berbicara adalah

kesadaran dari masing-masing manusia dalam menilai dan

menginterpretasikan tingkat kebenaran akhlak tertentu, baik atau buruk.

Akhlak yang baik akan mendapat pujian, dan akhlak yang tidak baik akan

mendapat cercaan. Kebaikan akhlak seseorang merupakan cerminan dari

tingkat keimanannya.

Akhlak berkaitan dengan ajaran, sekumpulan peraturan dan

ketetapan baik secara lisan maupun tulisan yang berkaitan dengan

bagaimana manusia harus hidup dan bersikap. Lebih dari itu, akhlak bukan

saja tindakan yang nyata, tetapi meliputi perasaan, pemikiran, dan niat

yang baik dalam membangun interaksi yang berhubungan dengan bain dan

buruk, benar dan salah, serta apa yang boleh dan yang tidak boleh

dilakukan.

M. Abdullah Darraz mengklasifikasikan akhlak dalam beberapa

kategori, yaitu:37

a. Akhlak Fardliyyah (individu)

b. Akhlak Usariyah (kekeluargaan)

c. Akhlak Ijtimaiyah (kemasyarakatan)

d. Akhlak Daulah (negara)

e. Akhlak Diniyah (agama).

Semua kategori ini menjadi bidang dan ruang lingkup akhlak Islam

yang dimulai dari pembinaan pribadi keluarga, masyarakat, sampai pada

pembentukan sebuah negara, peradaban, dan sebagainya. Oleh karena itu,

adalah tugas setia orang mukallaf untuk menjaga akhlaknya yang akan

membedakannya dengan makhluk yang lain.

37 Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Keluarga dan

Masyarakat, Terj. Shihabuddin, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), Cet. 3.

37

Pendidikan Akhlak dalam Islam

Pendidikan akhlak merupakan dimensi pendidikan Islam yang

paling penting, karena merupakan tujuan akhir dari tujuan pendidikan

agama Islam itu sendiri, yaitu terciptanya generasi muslim yang

berakhlakul karimah.

M. Omar Toumy Asy-Syaibani menyatakan bahwa tujuan

pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi nilai-nilai akhlak hingga

mencapai tingkat akhlakul karimah.38 Tujuan ini sama dengan tujuan yang

ingin dicapai oleh misi kerasulan, yaitu membimbing manusia agar

berakhlak mulia. Kemudian akhlak mulia yang dimaksud tercermin dalam

sikap dan tingkah laku individu – baik dalam hubungannya dengan Allah,

diri sendiri, sesama manusia dan sesama makhluk, serta lingkungannya.

Manusia secara fitrah memiliki potensi yang mengacu pada tiga

kecenderungan utama, yaitu yang benar, yang baik, dan yang indah.

Maksudnya, manusia pada dasarnya cenderung untuk menyukai hal-hal

yang benar, yang baik, dan yang indah.39 Atas dasar sudut pandang ini,

terlihat bahwa pada dasarnya manusia merupakan makhluk yang memiliki

nilai- nilai akhlak (senang yang baik dan membenci yang buruk).

Kecenderungan ini merupakan bawaan, sehingga sewaktu-waktu

kecenderungan itu akan muncul. Walaupun demikian, oleh karena

pengaruh lingkungan terkadang kecenderungan itu sering tidak tampak.

Dalam hal ini, media yang paling tepat dalam rangka mengasah

kecenderungan tersebut adalah pendidikan. Pendidikan ditujukan pada

upaya pembentukan manusia sebagai pribadi yang ber- akhlakul karimah.

Tujuan pendidikan dititikberatkan pada upaya pengenalan nilai- nilai yang

baik kemudian menginternalisasikannya, serta mengaplikasikannya dalam

sikap dan perilaku melalui pembiasaan, tentu saja dengan Al-Quran

sebagai pijakan dan sumber utamanya.

38 Jalaluddin, hlm. 92. 39 M. Quraish Shihab, Wawasan Al- Quran, (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 69.

38

Dimensi moral dan spiritual merupakan salah satu dimensi

pendekatan yang efektif dalam upaya pembentukan akhlak dan

kepribadian peserta didik. Diharapkan melalui pendekatan ini, akhlak dan

kepribadian peserta didik dapat selaras dengan fitrahnya. Melalui

pendekatan yang didasarkan pada nilai- nilai moral- spiritual, peserta didik

disadarkan akan nilai-nilai asasi kemanusiaan yang dimilikinya, yatu

sebagai makhluk yang bermoral, makhluk yang dapat membedakan yang

baik dan yang buruk, yang benar dan yang salah, serta mampu

mempertahankan nilai-nilai tersebut secara konsisten.

Pembinaan akhlak merupakan faktor penting dalam pendidikan.

Keutamaan akhlak dinilai sebagai sebagai sasaran utama pendidikan Islam.

Agar arah sasaran tersebut sesuai dengan target, ada beberapa prinsip yang

perlu dipahami tentang akhlak yang dijadikan sebagai acuan dasar, yaitu:40

a. Akhlak merupakan faktor yang diperoleh dan dapat dipelajari.

b. Akhlak akan lebih efektif jika dipelajari dan dibentuk melalui teladan

dan pembiasaan yang baik.

c. Akhlak sejalan dengan fitrah dan akal sehat (common sense) manusia,

yaitu cenderung kepada yang baik.

d. Akhlak dipengaruhi oleh faktor waktu, tempat, situasi dan kondisi

lingkungan.

e. Akhlak merupakan tujuan akhir dari ajaran Islam, yaitu mencapai

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat.

f. Akhlak yang mulia (akhlakul karimah) merupakan realisasi dari ajaran

Islam.

g. Akhlak brintikan tanggungjawab terhadap amanta Allah, terutama

dalam hubungannya dengan tugas manusia sebagai khalifah di bumi.

Sejalan dengan prinsip-prinsip di atas, maka pendidikan akhlak

seharusnya dikembalikan pada tujuan awal Islam diturunkan, yaitu sebagai

rahmatan lil alamin.

40 Muhammmad Abdurrahman, hlm. 78.

39

Dalam upaya pendidikan akhlak ini, orang tualah pihak pertama

yang harus bertanggung jawab memasukkan pendidikan akhlak sejak dini

kepada anak-anaknya. Kemudian guru – dalam batas-batas tertentu – juga

mempunyai tanggung jawab yang sama dalam upaya menanamkan akhlak

kepada anak didiknya di sekolah.41

Persoalan akhlak merupakan persoalan praktis artinya,

berhubungan langsung dengan nilai baik-buruk dan benar-salah dari sikap

dan tingkah laku manusia. Barangkali indikator yang nyata dari berhasil

atau tidaknya pendidikan akhlak, dapat kita lihat dalam fenomena-

fenomena yang terjadi akhir-akhir ini.

Diakui atau tidak, akhlak dan moralitas merupakan solusi terhadap

masalah- masalah sosial yang muncul dalam masyarakat. Oleh karena itu,

akhlak merupakan bagian yang signifikan dan tidak dapat dipisahkan dari

semua aspek kehidupan manusia.

Itulah sebabnya lembaga pendidikan sekolah memiliki otoritas dan

peran penting dalam membentuk manusia yang memilki sense of social

yang tinggi. Paling tidak, orang yang memilki latar belakang pendidikan

tidak turut ambil bagian dalam menciptakan masalah sosial. Untuk itu,

sekolah harus mempunyai komitmen yang tinggi, istiqamah, dan ikhlas

dalam mendidik akhlak anak- anak didiknya.

Demikian pentingnya pendidikan akhlak, sehingga Islam-pun

menempatkan akhlak sebagai tujuan utama pendidikan Islam.

41 Tanggungjawab itu didasarkan pada pandangan bahwa sekolah merupakan salah

satu tempat yang strategis dalam upaya pembentukan akhlak individu (Ghazali Darussalam, 2000), di sekolah pula individu diberi peluang untuk membentuk sebuah komunitas kecil yang menjadi embrio sebuah masyarakat yang sebenarnya (John Dewey, 2000). Sekolah juga merupakan tempat berlangsungnya proses pemupukan norma-norma, sikap, dan nilai-nilai kepada masyarakat (Robert Dreeben, 2000). Lihat M. Abdurrahman, hlm. 124.