bab ii ketentuan kawin hamil dan poligami a. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/bab ii.pdf · ......

19
14 BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. Kawin Hamil 1. Pengertian Kawin Hamil Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia adalah salah satu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi makhluknya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya. Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi hak dan kewajiban serta bertolong menolong antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim. 1 Sedang menurut UU No. 1 tahun 1974 perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 2 Selain itu, perkawinan juga untuk mendirikan suatu keluarga yang sakinah, mawaddah, danwarahmah. Di dalam perkawinan, adanya saling memelihara dan menjaga satu sama lain untuk terjaganya keutuhan keluarga dari hal-hal yang membawa kemudharatan dan menghindarkan dari api neraka. Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dua makna, pertama: wanita hamil dengan akibat oleh suami yang sah, kedua: wanita hamil dengan akibat zina. Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang sudah mengakibatkan kehamilannya. 1 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: At Tahiriyah, 1976, h. 355 2 Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013, h 55

Upload: phamkhuong

Post on 01-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

14

BAB II

KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI

A. Kawin Hamil

1. Pengertian Kawin Hamil

Pernikahan merupakan sunnatullah yang umum dan berlaku pada

semua makhluk-Nya, baik pada manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan. Ia

adalah salah satu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi

makhluknya untuk berkembang biak dan melestarikan hidupnya.

Perkawinan merupakan akad yang menghalalkan pergaulan dan membatasi

hak dan kewajiban serta bertolong menolong antara seorang laki-laki dan

seorang perempuan yang antara keduanya bukan muhrim.1

Sedang menurut UU No. 1 tahun 1974 perkawinan merupakan

ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami

istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan

kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.2

Selain itu, perkawinan juga untuk mendirikan suatu keluarga yang

sakinah, mawaddah, danwarahmah. Di dalam perkawinan, adanya saling

memelihara dan menjaga satu sama lain untuk terjaganya keutuhan

keluarga dari hal-hal yang membawa kemudharatan dan menghindarkan

dari api neraka.

Wanita hamil secara tekstual dapat dipahami dua makna, pertama:

wanita hamil dengan akibat oleh suami yang sah, kedua: wanita hamil

dengan akibat zina.

Istilah perkawinan wanita hamil adalah perkawinan seorang wanita

yang sedang hamil dengan laki-laki sedangkan dia tidak dalam status nikah

atau masa iddah karena perkawinan yang sah dengan laki-laki yang sudah

mengakibatkan kehamilannya.

1Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam, Jakarta: At Tahiriyah, 1976, h. 355

2Ahmad Rofiq, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2013, h 55

Page 2: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

15

Perkawinan terhadap wanita hamil, jika dikaitkan dengan wanita

yang hamil dalam akad yang sah atau di talak oleh suaminya, maka tidak

boleh dinikahi hingga sampai melahirkan anak yang dikandungnya, sesuai

dengan firman Allah QS Ath-Thalaq ayat 4:

(4)

Artinya: Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di

antara perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang

masa iddahnya), Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan

begitu (pula) perempuan-perempuan yang tidak haid. dan

perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah

sampai mereka melahirkan kandungannya. dan barang -siapa yang

bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya

kemudahan dalam urusannya.

Namun, jika wanita tersebut hamil dalam keadaan talaq mati, maka

jumhur ulama berpendapat mengambil iddah terpanjang, sehingga setelah

wanita lewat dari masa iddahnya baru dibolehkan pernikahan.

Masalah perkawinan dengan wanita yang sedang hamil memiliki

berbagai kontroversi penetapan apakah boleh atau tidaknya tentang

pelaksanaan hal tersebut menyangkut perkawinan di luar nikah.

Dalam kompilasi hukum Islam, telah mengatur persoalan

perkawinan dengan wanita hamil dalam pasal 53, yaitu

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah dapat dikawinkan dengan pria yang

menghamilinya.

(2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut dalam ayat (1) dapat

dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.

(3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.3

3Citra Umbara, UU R.I. Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan & Kompilasi Hukum

Islam, Bandung: Citra Umbara, 2012, h 338

Page 3: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

16

Berdasarkan penjelasan di atas sesuai dengan firman Allah dalam

surat An-Nur ayat 3:

Artinya: Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan

yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang

berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau

laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-

orang yang mukmin.

Dari ayat di atas dapat dipahami bahwa wanita hamil di luar nikah

lebih pantas kawin dengan laki-laki yang menghamilinya. Selain itu, ayat di

atas sekaligus mengindikasikan bahwa larangan laki-laki yang baik-baik

untuk menikahi mereka.4

Selain itu, yang menjadi masalah dalam hal yaitu perkawinan yang

terjadi terhadap wanita yang hamil oleh pria yang bukan menghamilinya.

Disini terjadi berbagai pendapat oleh para ulama tentang boleh atau

tidaknya dilangsungkan perkawinan. Dalam kompilasi hukum Islam tidak

menjelaskan tentang permasalahan ini. Yang menjadi dasar persoalan ini

yaitu seorang wanita pezina dengan laki-laki yang baik-baik yang menurut

ayat di atas dipahami terlarang wanita hamil luar nikah kawin dengan laki-

laki yang baik-baik yang bukan menghamilinya.

Perbedaan yang terjadi mengenai ketentuan – ketentuan hukum

perkawinan wanita hamil dalam pendapat para imam mazhab. Pendapat

tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu:

a. Imam Hanafi dan Imam Syafi‟i

Mereka mengatakan wanita hamil akibat zina boleh

melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang menghamilinya atau

dengan laki-laki lain.

4Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 1997, h. 165

Page 4: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

17

Menurut Imam Hanafi:

“Wanita hamil karena zina itu tidak ada iddahnya, bahkan boleh

mengawininya, tetapi tidak boleh melakukan hubungan seks hingga dia

melahirkan kandungannya”.5

Menurut Imam Syafi‟i

“Hubungan seks karena zina itu tidak ada iddahnya, wanita yang hamil

karena zina itu boleh dikawini, dan boleh melakukan hubungan seks

sekalipun dalam keadaan hamil”.6

Menurut mereka wanita zina itu tidak dikenakan ketentuan-

ketentuan hukum perkawinan sebagaimana yang ditetapkan dalam nikah.

Bagi mereka iddah hanya ditentukan untuk menghargai sperma yang ada

dalam kandungan istri dalam perkawinan yang sah, namun sperma hasil

hubungan seks di luar nikah tidak ditetapkan oleh hukum dengan alasan

tidak ditetapkan keturunan anak zina kepada ayah.

Menurut Imam Hanafi meskipun perkawinan wanita hamil dapat

dilangsungkan dengan laki-laki tetapi dia tidak boleh disetubuhi, sehingga

bayi yang dalam kandungan itu lahir. Ini didasarkan kepada sabda Nabi

saw:

ال توطء حامل حىت تضع . . . .”Janganlah kamu melakukan hubungan seks terhadap wanita hamil sampai

dia melahirkan …..”

Menurut Imam Syafi‟i perkawinan wanita hamil itu dapat

dilangsungkan dan dapat pula dilakukan persetubuhan dengannya. Ini

didasarkan pada sabda Nabi saw :

هلا الصداق هبا استحللت من فرجها و الوالد عبد لك”bagi dia maskawinnya, karena kamu telah meminta kehalalannya untuk

mengumpulinya sedang anak itu hamba bagimu . . . “7

5Abdurrahman Al Jusry, Al Fiqh „Ala Mazahibul Arba‟ah, Beirut: Darul Haya‟ At Turb Al

Araby, 1969, h. 521 6Ibid, h 543

7 Abu Daud Sulaiman Sajistani, As Sunan Abi Daud, Mesir : Musthafa Albaby Alhalaby, h

283

Page 5: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

18

Memperhatikan pendapat Imam Syafi‟i, maka seorang wanita hamil

karena hasil melakukan hubungan seks di luar nikah jika dia

melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki, maka kehamilannya

itu tidak mempengaruhi dalam perkawinannya.

Tetapi melihat pendapat Imam Hanafi, meskipun boleh wanita

hamil melangsungkan perkawinan dengan seorang laki-laki, tetapi dia

dilarang melakukan hubungan seksual. Berarti kehamilannya

mempengaruhi terhadap kelangsungan kehidupan rumah tangga.8

b. Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hanbal

Mereka mengatakan tidak boleh melangsungkan perkawinan antara

wanita yang hamil karena perzinaan dengan laki-laki lain sampai dia

melahirkan bayi yang dikandungannya.9

Mereka berpendapat sama halnya dengan yang dikawini dalam

bentuk zina atau syubhat atau kawin pasif, maka dia harus mensucikan diri

dalam waktu yang sama dengan iddah. Dengan alasan sabda Nabi saw:

“tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan hari

akhirat menyiramkan airnya (sperma) kepada tanaman orang lain,

yakni wanita-wanita tawanan yang hamil, tidak halal bagi seorang

yang beriman kepada Allah dan hari akhirat mengumpuli wanita

tawanan perang sampai menghabiskan istibra‟nya (iddah) satu kali

haid”.

Mereka juga beralasan dengan sabda nabi :

“Jangan kamu menggauli wanita hamil sampai dia melahirkan dan

wanita yang tidak hamil sampai haid sat kali”.

Dengan dua hadits di atas, Imam Malik dan Imam Ahmad ber-

kesimpulan bahwa wanita hamil tidak boleh dikawini, karena dia perlu

iddah. Mereka memberlakukan secara umum, termasuk wanita hamil dari

perkawinan yang sah, juga wanita hamil dari akibat perbuatan zina.

8Fathurrahman, Syariah: Jurnal Hukum dan Pemikiran, 2006, h 231

9Ibid, h 233

Page 6: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

19

Bahkan menurut Imam Ahmad, wanita hamil karena zina harus

bertaubat, baru dapat melangsungkan perkawinan dengan laki-laki yang

mengawininya.

Selain empat imam mazhab di atas, ada juga ulama lain yang

memberikan pendapat tentang permasalahan ini, diantaranya :

c. Imam Abu Yusuf dan Ja‟far

Mereka berpendapat tidak boleh menikahi hamil karena zina dan

tidak boleh berhubungan seksual dengannya. Karena wanita tersebut dari

hubungan tidak sah dengan laki-laki lain maka haram menikahinya

sebagaimana haram menikahi wanita hamil dari hubungan yang sah.

Keadaan hamil mencegah bersetubuh, maka juga mencegah akad nikah

sebagaimana hamil yang ada nasabnya. Oleh karena tujuan nikah itu

menghalalkan hubungan kelamin, dan apabila tidak boleh berhubungan

kelamin maka nikah itu tidak ada artinya.10

B. Poligami

1. Pengertian Poligami

Secara etimologi, poligami berasal dari kata poli yang berarti

“banyak” dan gami yang artinya “istri”.11

Dalam bahasa Yunani berasal

dari kata poly yang berarti “banyak” dan gamein yang berarti

“kawin”.12

Sedangkan dalam bahasa inggris poligami berasal dari kata

“polygamy” dan disebut دالزؤجدوتعد dalam hukum Islam yang berarti

beristeri lebih dari seorang wanita.13

Sedangkan secara terminologi,

poligami adalah system perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau

mengawini beberapa lawan jenisnya di waktu yang bersamaan.14

10

Lembaga Studi Islam dan Kemasyarakatan, Problematika Hukum Islam Kontemporer,

Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1996, h 45. 11

Pusat Bahasa, Kamus Besar...h. 885. 12

Bibit Suprapto, Liku-Liku..., h. 71 13

Mahjuddin, Masailul Fiqhiyah, Jakarta: Kalam Mulia, 2003, h.59. 14

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat., h 43. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia .

Page 7: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

20

Menurut tinjauan Antropologi Sosial (Sosio Antropologi) poligami

memang mempunyai pengertian seorang laki-laki kawin dengan banyak

wanita atau sebaliknya. Poligami dapat di bagi 2 macam yaitu:

a. Polyandri yaitu perkawinan antara seorang perempuan dengan

banyaklaki-laki.

b. Poligini yaitu perkawinan antara seorang laki-laki dengan beberapa

orang perempuan.15

Pada perkembangannya istilah poligini jarang sekali dipakai

kecuali di kalangan antropolog saja sehingga istilah poligami secara

langsung menggantikan istilah poligini dan untuk poliandri pada

kenyataanya juga jarang di laksanakan oleh wanita di masyarakat

sekarang.16

Poligami atau beristeri lebih dari satu bukanlah suatu hal yang

barudalam ajaran Islam, melainkan jauh sebelum Islam poligami sudah

terjadi.Sebelum Islam datang, poligami dilakukan tanpa aturan, batasan

dansyarat.17

Poligami sebelum Islam telah ada pada kitab-kitab bangsa

Yunani,Cina, India, Babylonia dan orang Mesir kuno. Agama Yahudi

telah membolehkan berpoligami tanpa batas. Nabi-nabi yang menganut

kitab Taurat memiliki isteri banyak, seperti Daud dan Sulaiman. Mereka

telah mengumpulkan beratus-ratus isteri, ditambah dengan budak-budak

perempuan.18

Demikian pula poligami yang pernah berlaku pada

masyarakat Arab kuno, dimana para pria memiliki kebebasan yang tanpa

batas untuk mengawini atau menceraikan para wanita yang

dikehendaki.Kemudian Sistem itu digantikan oleh Islam dengan sistem

15

Bibit Suprapto, Liku-Liku, h. 71 16

Ibid, h. 72 17

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan Bias Laki-laki dalam Penafsiran,

Yogyakarta: LKiS, 2003, h. 28 18

Abdul Majid Mahmud Mathlub, Al-Wajiz fi Ahkam al-Usrah al-Islamiyah, HaritsFadly

dan Ahmad Khotib, “Panduan Hukum Keluarga Sakinah”, Solo: Era Intermedia, 2005, h. 122

Page 8: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

21

monogami danpoligami yang lebih adil bagi kaum wanita.19

Hukum asal

perkawinan dalam Islam adalah monogami. Islam memandang poligami

yang dilakukan oleh seseorang lebih banyak mendatangkan madharat

dalam keluarganya, karena sebagai manusia biasa tentu akan muncul

watak cemburu dan iri hati dari isteri-isteri dan anak-anaknya,dan hal ini

dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam rumahtangga. Padahal hal

yang diharapkan dalam sebuah keluarga adalah terciptanya keluarga yang

sakinah, mawadahdan rahmah.

Asas monogami ini telah diletakkan oleh Islam sejak 15 abad yang

lalu sebagai salah satu asas perkawinan dalam Islam yang bertujuan untuk

landasan dan modal utama guna membina kehidupan rumah tangga yang

harmonis, sejahtera dan bahagia.20

Dasar kebolehan poligami dalam al-

Quran disebutkan dalam suratan-Nisa‟ ayat 3:

ن الن ساء مث ن وثالث وإن خفتم أال ت قسطوا ف اليتامى فانكحوا ما طاب لكم م ورباع فإن خفتم أال ت عدلوا ف واحدة أو ما ملكت أيانكم ذلك أدن أال ت عولوا

Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jikakamu takut tidak

akan dapat Berlaku adil Maka (kawinilah) seorang saja, atau

budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih

dekat kepada tidak berbuat aniaya.”(Q.S. an-Nisa‟ : 3).

Sebab turunnya ayat ini, diterangkan dalam riwayat Aisyah r.a

isteri Rasulullah saat menjawab pertanyaan Urwah bin zubairr.a. tentang

firman Allah “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil

terhadap(hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu

mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu

senangi”, Aisyah r.a. menjawab:

19Fihris Sa‟adah, Reformasi Pendidikan Wanita Pada Masa Rasulullah SAW, Semarang:

Walisongo Press, 2008, cet. ke-1, h. 19. 20

Masyfuk Zuhdi, Masail, h. 12-13.

Page 9: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

22

غب ف مجا هلا وما هلاويريدان اليتيمة تكن ف حجروليها فري ياابن اخيت, ىدها كما ل الصداق ف هلن قسطواان يينتقصي من صداقهافنهواعن نكا حهن اال

وامروا بنكا ح من سواىن منArtinya: “ Wahai kemenakanku, ayat ini mengenai anak perempuan

yatim, ia dalam penjagaan walinya dan hartanya telah

bercampur dengan harta walinya. Si wali tertarik pada harta

dan kecantikan anak itu, maka ia ingin menikahinya tanpa

membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran

mahar dengan perempuanlain. Maka mereka dilarang

menikahi anak yatim itu kecualimereka berlaku adil kepada

mereka dan mereka memberikanmahar yang layak kepada

mereka dan mereka dianjurkan untukmenikahi wanita lain

yang mereka senangi.”21

Berdasarkan riwayat di atas, dapat disimpulkan mengapa adakaitan

antara perintah memelihara anak yatim perempuan dengan kebolehan

beristeri lebih dari satu sampai dengan empat, karena ayat 3 dari surat an-

Nisa‟ ini sebagai sambungan dari ayat sebelumnya tentang memelihara

harta anak yatim. Pada ayat 2 surat yang sama, telahdijelaskan dan

diperingatkan jangan sampai ada aniaya dan curang terhadap anak yatim,

sebab itu adalah dosa yang amat besar. Daripada melangsungkan niat

jahat, yaitu berlaku semena-mena terhadap anak perempuan yatim yang

ada dalam asuhannya, lebih baik bila menikah saja dengan perempuan

lain, membayar maharnya dengan patut walaupun sampai empat orang.22

Menurut Rasyid Ridha maksud dari ayat tersebut ialah untuk

memberantas atau melarang tradisi orang-orang jahiliyah dalam

memperlakukan anak yatim dan perempuan dengan tidak manusiawi, yaitu

mengawini anak yatim tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya

danbermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah, serta

menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa

menggunakan hartanya. Demikian pula tradisi mengawini istri banyak

21

At-Thabari, Jami‟ al-Bayan fi Ta‟wil al-Qur‟an, Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1992,

jilid 3, h. 574. 22

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam, h. 213.

Page 10: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

23

dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi.23

Rasyid Ridha

juga berpendapat bahwa poligami diperbolehkan dalam keadaan darurat.

Meskipun kedaruratan membolehkan poligami,jaminan untuk tidak akan

muncul kejahatan dan kezaliman harus dipenuhi dahulu.24

Dalam tulisan

Baroroh, dijelaskannya bahwa Rasyid Ridha berpendapat bahwa ayat di

atas membatasi beristeri dengan satu isteri saja.

Rasyid Ridha menjelaskan ada tiga masalah pokok yang berkaitan

dengan ayat di atas, yaitu:

1) Islam tidak menganjurkan apalagi mewajibkan poligami, tetap

menunjukkan bahwa hanya sedikit pelaku poligami yang mampu

berlaku adil dalam hal perasaan.

2) Islam tidak mengharamkan poligami juga tidak longgar dalam

mengaturnya

3) Islam memberikan kemudahan hukum terhadap poligami dengan

persyaratan dan berbagai sebab dan alasan.25

Ath-Thabari menafsirkan ayat tersebut dengan menyatakan bahwa

jika kamu yakin tidak dapat berlaku adil terhadap anak yatim, demikian

juga terhadap perempuan-perempuan lain yang kamu senangi, maka

janganlah kamu kawini mereka kecuali kamu tidak akan berbuat zalim

kepada mereka, namun jika kamu takut berbuat zalim, maka janganlah

kamu kawini mereka walaupun hanya satu orang, akan tetapi, kawinilah

budak-budak yang kamu miliki, karena yang demikian itu lebih

memelihara kamu dari berbuat zalim kepada kaum perempuan.26

Dalam buku Muhammad Haitsam al-Khayyat disebutkan

bahwaath-Thabari berpendapat tentang firman Allah “Maka kawinilah

wanita-wanita(lain) yang kamu senangi,” walaupun redaksinya berbentuk

perintah, namun lebih menunjukkan larangan menikah dan bukan

23

Rasyid Ridha, Tafsir al-Quranil al-Hakim , Beirut: Dar al-Ma‟rifah, 1983, jilid 4, h.348. 24

Ibid, h. 350 25

Umul Baroroh, Poligami dalam Pandangan Mufasir dan Fukaha , dalam Sri Suhandjati

Sukri (ed), Bias Jender Dalam Pemahaman Islam, Yogyakarta: Gama Media, cet. Ke-1, 2002, h.

73-74. 26

At-Thabari, Jami‟ al-Bayan., h. 577

Page 11: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

24

menunjukkan perintah menikah, sebab maksud dari ayat “Dan jika

kamutakut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan

yang yatim (bilamana kamu mengawininya),” maka kemudian kalian

berbuat aniaya terhadap para isteri maupun para wanita, maka janganlah

menikah kecuali pada perkara yang kalian merasa yakin tidak akan timbul

kezaliman.27

Menurut ar-Razi ayat ini ingin berbuat adil kepada perempuan,baik

anak-anak yatim maupun para isteri. Dia merujuk pada sebuah hadits yang

diriwayatkan oleh Akramah bahwa ada seorang laki-laki yang mempunyai

beberapa isteri, dan juga mempunyai beberapa anak yatim perempuan

bersamanya. Ketika dia memakai semua uangnya untuk isteri-isterinya dan

tidak ada yang tersisa maka kemudian dia mengambil uangdari anak-anak

yatim dan memakainya untuk kepentingan dirinya dan isteri-isterinya.

Kemudian Allah menurunkan surat an-Nisa‟ ayat 3, “Danjika kamu takut

tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)perempuan yang yatim

(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)

yang kamu senangi: dua, tiga atau empat” dan juga“jika kamu takut tidak

akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja”.28

Menurut Muhammad Abduh, seperti yang dikutip oleh Siti Musdah

Mulia, pembicaraan poligami yang diungkapkan dalam konteks

pembicaraan anak yatim dan larangan memakan harta mereka walaupun

melalui perkawinan, membawa pada pemahaman bahwa jika kamu

merasayakin tidak dapat menahan diri dari memakan harta anak yatim,

makajanganlah kamu kawini mereka karena Allah membolehkan kamu

kawindengan perempuan lain selain anak yatim sampai empat orang. Akan

tetapi jika kamu takut tidak dapat berlaku adil terhadap mereka, maka

kawinlah dengan seorang saja.

27

Muhammad Haitsam Al-Khayyath, Al-Mar‟ah al-Muslimah wa Qadhaya al-Ashr,

Salafuddin dan Asmu‟i, “Problematika Muslimah di Era Modern”, Surabaya: Erlangga, 2007, h.

224 28

Al-Fakhr ar-Razi, Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-kutub al-„Ilmiyah, 1990, jilid 5, h.140

Page 12: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

25

Kekhawatiran tidak dapat berlaku adil itu menunjukkan keraguan

dan ketidak pastian, sementara kebolehan poligami hanya berlaku jika

seseorang yakin dirinya dapat berlaku adil.29

Menurut Musdah Mulia ayat ini jelas tidak sedang berbicara dalam

konteks perkawinan, melainkan dalam konteks pembicaraan anak yatim.

Islam adalah agama yang membawa misi pembebasan. Pembebasan

tersebut terutama ditujukan kepada tiga kelompok masyarakat, yakni

parabudak, anak yatim, dan perempuan yang selam ini sering diperlakukan

tidak adil dan karenanya mereka disebut sebagai kaum dhu‟afa‟

(kaumlemah) atau mustadh‟afin(yang tertindas). Anak yatim mendapat

perhatian yang tidak kalah pentingnya dari kalangan budak dan perempuan

karena mereka sering menjadi objek penindasan berupa perampasan harta

disebabkan tidak terlindungi oleh walinya. Ketika itu perkawinan yang

dilakukan dengan anak yatim sering dimaksudkan hanya sebagai

kedokuntuk menguasai hartanya. Untuk menghindari perlakuan tidak adil

pada anak-anak yatim, Allah swt memberi solusi agar mengawini

perempuan lain yang disukainya sebanyak dua, tiga, atau empat. Itu pun

jika sanggup berbuat adil, kalau tidak, cukup satu saja.30

Ada persoalan-persoalan di mana manusia tidak dapat berlaku adil

seadil-adilnya, seperti keadilan dalam perasaan cinta, kasih dan hubungan

seksual walaupun mereka sangat menginginkannya. Hal ini seperti yang

dijelaskan Allah dalam surat an-Nisa‟ ayat 129:

Artinya: “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di

antaraisteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin

berbuatdemikian.” (Q.S. an-Nisa‟ : 129).

29

Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat, h. 101-102. 30

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis: Perempuan Pembaru Keagamaan , Bandung:

Mizan Pustaka, 2005, h. 112.

Page 13: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

26

Muhammad bin Sirin pernah berkata “Aku pernah bertanya kepada

Ubadah tentang maksud surat an-Nisa‟ ayat 129 dan ia menjawab,“maksud

ayat ini adalah adil dalam rasa cinta dan hubungan seksual.” Abu Bakar

bin Arabi juga berkata “sangatlah benar pendapat yang mengatakan bahwa

keadilan dalam perasaan cinta tidak dapat dilakukan oleh siapapun karena

hati manusia berada dalam kekuasaan Allah swt. yang dapat mombolak-

balikkannya sesuai dengan kehendak-Nya.”31

Menurut Abdul Nasir Taufiq al-„Atthar al-Qur‟an tidak hanya

menetapkan berlakunya poligami tetapi juga merumuskan batas-batasnya

dengan tiga syarat yaitu menetapkan jumlah isteri, melarang

mengumpulkan wanita-wanita yang masih mempunyai hubungan mahram

dan juga adil antara isteri itu.32

Pertama, pembatasan jumlah isteri. Allah swt. member pembatasan

dalam poligami sebanyak-banyaknya dua, tiga atau empat.Dan tidak boleh

menambah jumlah ini dalam Islam. Jadi, siapa yangkhawatir akan tidak

berlaku adil kalau sampai empat, supaya dicukupkannya sampai tiga saja,

dan kalau tiga itupun masih khawatirakan tidak berlaku adil supaya

dicukupkan dua saja, dan kalau yang dua itupun masih dikhawatirkan akan

tidak adil, maka hendaklah menikah

dengan seorang saja.33

Kedua, haram mengumpulkan wanita yang masih mempunyai

hubungan mahram. Islam melarang seorang laki-laki berpoligami dengan

mengumpulkan dua orang wanita yang kakak-beradik, atau ibu

dananaknya atau seorang wanita dengan saudara ayahnya atau dengan

saudaraibunya.34

31

Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, Lely ShofaImama, et al, “ Fiqih Sunnah”, Jakarta: Pena

Pundi Aksara, cet. ke-1, 2009, h. 611. 32

Abdul Nasir Taufiq al-„Atthar, Ta‟adduduz Zaujati Minan Nawahid Diniyyati Wal

Ijtima‟iyyati Wal Qanuniyyati, Chadidjah, Poligami Ditinjau Dari Segi Agama, Sosial dan

Perundang-undangan, Jakarta: Bulan Bintang, 1976, h 194. 33

Ibid

34Ibid h.198

Page 14: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

27

Ketiga, adil antara isteri-isteri. Setiap isteri berhak mendapatkan

hak-haknya dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa, dan nafkah

berupa makanan, pakaian, dan tempat tinggal dan lain-lain yang

diwajibkan Allah kepada setiap suami. Dan adil ini hukumnya wajib

berdasarkan surat an-Nisa‟ ayat 3, dan juga berdasarkan sunnah Nabi saw

dan ijma‟.35

Rasulullah saw bersabda:

ييلامراتان لو كانت نليو وسلم: مىريره, عن انيب صلي اهلل ع ايب عنساقطما واحد ثقية جاءيوم القيموعلى االخر مهاداح ال

Artinya: ”Barang siapa yang mempunyai dua isteri, lalu ia cenderung

kepada salah seorang di antara keduanya, maka kelak di hari

kiamat ia akan datang dengan bahu yang miring.” (HR. Abu

Dawud).36

2. Alasan, Syarat dan Prosedur Poligami dalam Perundang-undangan

a. Alasan Poligami

Poligami merupakan salah satu persoalan dalam perkawinan yang

paling banyak dibicarakan sekaligus kontroversial. Satu sisi poligami

ditolak dengan berbagai macam argumentasi baik yang bersifat normatif,

psikologis bahkan selalu dikaitkan dengan ketidakadilan jender. Pada sisi

lain, poligami dikampanyekan karena dianggap memiliki sandaran

normatif yang tegas dan dipandang sebagai salah satu alternatif untuk

menyelesaikan fenomena selingkuh dan prostitusi.37

Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia, masalah

poligamidiatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan. Pasal 3 dari Undang-undang tersebut menyatakan bahwa

pada prinsipnya asas perkawinan adalah monogami.38

Seorang pria hanya

boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh

mempunyai seorang suami. Pengadilan dapat member izin kepada seorang

35

Ibid h. 206-207 36

Abu Dawud, Sunan Abi Dawud , Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 1996, h. 108 37

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan , Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi

Kritis Perkembangan Hukum Islam dari fiqih, UU No 1/1974 sampai KHI, Jakarta: Prenada

Media, 2004, h. 156. 38

Umul Baroroh, Bias Jender..., h. 77

Page 15: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

28

suami untuk beristeri lebih dari seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-

pihak yang bersangkutan, serta hukum dan agama yang bersangkutan

mengizinkan. Pengecualian ini hanya khusus berlaku bagi mereka yang

beragama Islam dan Hindu dan tidak berlaku bagi yang beragama

Kristen.39

Selain itu berdasarkan Undang-undang tersebut dijelaskan

bahwa seseorang yang berpoligami harus memiliki alasan yang cukup dan

memenuhi syarat-syarat tertentu.40

Adapun alasan-alasan yang dipedomani oleh Pengadilan untuk

dapat memberi izin poligami, ditegaskan dalam pasal 4 ayat (2) Undang-

undang Perkawinan yang berbunyi: “Pengadilan yang dimaksud dalam

ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan

beristeri lebih dariseorang apabila:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.

2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.”41

Alasan di atas juga terdapat dalam pasal 57 Kompilasi Hukum

Islam yaitu:

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akanberisteri

lebih dari seorang apabila:

1) Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri.

2) Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3) Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.42

Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk

berpoligami meskipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas

yang dianut oleh Undang-undang Perkawinan sebenarnya bukan asas

39

Achmad Ihsan, Hukum Perkawinan Bagi yang Beragama Islam: Suatu Tinjauan dan

Ulasan Secara Sosiologi Hukum, Jakarta: Pradnya Paramita, cet. ke-1, 1986, h. 36. 40

Muhammad Saifullah dan Moh. Arifin (eds), Hukum Islam Solusi Permasalahan

Keluarga, Yogyakarta: UII Press, 2005, h. 30. 41

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 42

Kompilasi Hukum Islam, Surabaya: Arkola , h. 196-197

Page 16: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

29

monogami mutlak, melainkan disebut monogami terbuka atau monogamy

yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan dalam status hokum

darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa

(extraordinary circumstance). Disamping itu lembaga poligami tidak

semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari

hakim(pengadilan).43

b. Syarat Poligami

Selain alasan-alasan di atas, syarat-syarat untuk berpoligami

menurut ketentuan pasal 5 Undang-undang Perkawinan juga harus

dipenuhi, yaitu:

1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan,

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini,

harus dipenuhisyarat-syarat sebagai berikut:

a) Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-

keperluanhidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.

c) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-

isteridan anak-anak mereka.

2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak

mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam

perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang

kurangnya2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang

perlumendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.44

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5

adalah,pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya

salah satuharus ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami.

43

Amiur Nuruddin, dan AzhariAkmalTarigan, Hukum Perdata Islam…, h. 162 44

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, cet. ke-3, 1998,

h. 172.

Page 17: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

30

Sedangkan pasal 5 adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus

dapat dipenuhi suami yang akan melakukan poligami.45

Dalam Kompilasi Hukum Islam, syarat poligami dijelaskan dalam

pasal 55 yang berbunyi:

1) Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas

hanyasampai empat orang isteri.

2) Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus berlaku adil

terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin

dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang.

Syarat yang lain disebutkan dalam pasal 58 ayat (1) Kompilasi

Hukum Islam:

1) Selain syarat utama yang disebut pasal 55 ayat (2) maka untuk

memperoleh izin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat

yang ditentukan pada pasal 5 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 yaitu:

a) Adanya persetujuan isteri.

b) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan

hidupIsteri-isteri dan anak-anak mereka.46

c. Prosedur Poligami

Seorang suami yang hendak beristeri lebih dari seorang harus

mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan di tempat

tinggalnya (pasal 4 ayat (1) dan pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor

9Tahun 1975).47

Dalam kompilasi diatur dalam pasal 56:

1) Suami yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat

izindari Pengadilan Agama.

2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut

tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah

No.9 Tahun 1975.

45

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam…, h. 164. 46

Kompilasi Hukum Islam, h. 196-197

47Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan

Bintang, cet. Ke-4, 2004, h. 64.

Page 18: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

31

3) Perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat

tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan

hukum.48

Dalam hal ini dilibatkan campur tangan Pengadilan Agama karena

poligami tidak lagi tindakan individual affair. Poligami bukan semata-

mata urusan pribadi, tetapi juga menjadi urusan kekuasaan negara yakni

harus ada izin Pengadilan Agama. Tanpa izin Pengadilan Agama

perkawinan dianggap “poligami liar”. Dia tidak sah dan tidak mengikat.

Perkawinan tetap dianggap never existed tanpa izin Pengadilan

Agama,meskipun perkawinan dilakukan dihadapan PPN.49

Setelah

menerima permohonan izin poligami, tugas Pengadilan selanjutnya diatur

dalam pasal 41 PP No. 9/1975:Pengadilan kemudian memeriksa

mengenai:

a) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seseorang suami kawin

lagi.

b) Ada atau tidak adanya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan

maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan

lisan,persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan.

c) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan

hidup isteri-isteri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

1) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani

oleh bendahara tempat bekerja, atau

2) Surat keterangan pajak penghasilan, atau

3) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.

d) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau

janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.50

48

Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, hlm. 173. 49

M. Yahya Harahap, “Materi Kompilasi Hukum Islam”, dalam Moh. Mahfud MD, Sidik

Tono dan Dadan Muttaqien (eds), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata

Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1993, h. 86. 50

Amiur Nuruddin, dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam…, h. 164-165.

Page 19: BAB II KETENTUAN KAWIN HAMIL DAN POLIGAMI A. …eprints.walisongo.ac.id/6722/3/Bab II.pdf · ... Fiqih Islam , Jakarta: At ... Dalam kompilasi hukum Islam tidak menjelaskan tentang

32

Mengenai teknis pemeriksaan dan pemberian izin, dapat

disimpulkan dari pasal 42 dan 43 Peraturan Pemerintah No.9 Tahun

1975,yaitu:

1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada 40 dan

41,Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang

bersangkutan.

2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat

lambatnya30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya surat permohonan

beserta lampiran-lampirannya.

3) Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri

lebih dari seorang apabila Pengadilan berpendapat telah ada

cukupalasan.51

Apabila data-data dan alasan-lasan untuk poligami dari suami

tersebut memang kuat dan sesuai dengan persyaratan, maka pengadilan

harus memberikan keputusan tentang izin bagi suami tersebut untuk

melaksanakan poligami. Apabila memang ternyata tidak memenuhi syarat

dan alasannya kurang kuat maka Pengadilan dapat menolak permohonan

suami tersebut sesuai dengan bunyi pasal 43 PP nomor 9 Tahun 1975.52

Pegawai pencatat perkawinan dilarang untuk melakukan

pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari

seorang sebelum adanya izin Pengadilan (pasal 44 PP No. 9 Tahun

1975).53

51

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, cet.ke- 4, 1976,

h 23. 52

Bibit Suprapto, Liku-Liku…, h. 156. 53

Kutbuddin Aibak, Fiqh Kontemporer, Surabaya: el-KAF, 2009, cet. 2, h. 78.