kriminalisasi poligami dalam hukum keluarga di dunia islam...

83
Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: DINDA CHOERUL UMMAH 1110044100005 PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014 M

Upload: lynhan

Post on 12-Aug-2019

232 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam

(Studi Komparatif Undang-undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu

Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

DINDA CHOERUL UMMAH

1110044100005

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2014 M

Page 2: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum
Page 3: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum
Page 4: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum
Page 5: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

v

ABSTRAK

Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam

(Studi Komparatif Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library reseach), yaitu

penelitian yang dilakukan dengan jalan menelaah bahan-bahan pustaka baik berupa

buku, jurnal, maupun sumber lainnya. Teknik dalam penelitian ini adalah studi

kepustakaan, sedang pengumpulan datanya adalah menggunakan data primer dan

sekunder. Pendekatan penelitian digunakan adalah pendekatan normatif serta

filosofis, yaitu pendekatan dengan melihat persoalan yang dikaji dengan

berlandaskan pada teks-teks Al-Qur’an, Al-Hadis serta pendapat ulama yang

berkaitan dengan poligami. Pendekatan filosofis dengan memahami masalah

tersebut dengan hikmah-hikmah dan tujuan yang terkandung dalam suatu

penetapan hukum.

hasil dari penelitian ini adalah pengetahuan perbandingan hukum keluarga

Islam ini sangat penting di Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan

sesuatu hal yang orang lain di Negara lain telah menyelesaikan masalah itu

puluhan tahun sebelumnya. Meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret

umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim, namun

keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu topik hangat

masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika kriminalisasi poligami di

Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat bagaimana sebagian negara

Muslim lain memberlakukannya, kemudian dikomparasikan satu sama lain dalam

konteks doktrin Hukum Islam konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai

salah satu citra dinamisasi dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara

Muslim modern. Seperti halnya di Negara Tunisia yang penduduknya hampir 97%

memeluk Agama Islam tetapi dalam hal poligami negara tunisia ini mutlak

melarang dan menerapkan sanksi hukum terhadap pelaku poligami dengan

kurungan penjara selama 1 tahun dan denda 240.000 Malim. Pemerintah Indonesia

meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang

harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin berpoligami. Sampai saat ini undang-

undang perkawinan belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang berpoligami

tanpa seizin pengadilan agama, adapun rencana pemberlakuan sanksi hukumnya

termuat dalam rancangan undang-undang hukum materiil Pengadilan Agama

(RUU HMPA) tahun 2008), ng hingga saat ini masih belum diputuskan.

Page 6: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat, hidayah,

dan kenikmatan, terutama nikmat jasmani berupa kesehatan sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam tak lupa kita sanjungkan kepada

jungjungan kita, tauladan kita, yaitu baginda Nabi agung Muhammad SAW yang

telah membawa kita dari zaman jahiliyyah menuju zaman ilmiah seperti sekarang ini,

mudah-mudahan kita semua akan menjadi salah satu bagian dari ummat beliau yang

akan mendapatkan syafaatnya di hari kiamat nanti. Aamiin.

Dalam penulisan skripsi ini tidak sedikit hambatan dan kesulitan yang penulis

jumpai tapi syukur alhamdulillah berkat rahmat dan hidayah-Nya, kesungguhan kerja

keras, do’a, serta bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak

langsung, segala kesulitan dapat diatasi dengan sebaik-baiknya pada akhirnya skripsi

ini dapat terselesaikan.

Oleh karena itu sudah sewajarnya penulis pada kesempatan ini ingin

mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat,

MA.

2. Bapak Dr. Phil. JM. Muslimin, MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 7: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

vii

3. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA., dan Ibu Hj. Rosdiana, M.A., selaku

Ketua Program Studi dan Sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Segenap Bapak dan Ibu dosen, pada lingkungan Program Studi Ahwal

Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang

telah memberikan banyak ilmu selama penulis duduk di bangku kuliah.

5. Bapak Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah

meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran selama membimbing skripsi.

6. Pimpinan dan staf Perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,

perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum atas pelayanan dan penyediaan buku-

bukunya.

7. Ayahanda dan Ibunda tercinta Bapak H. Muchobar HAS dan Hj. Oyok Masruhah

yang telah banyak membantu penulis baik berupa materi dan spirit utamanya

do’a serta tak bosan-bosan memberikan semangat tuk terus belajar, yang pada

akhirnya penulis dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi.

8. H. Ahmad Tahsinul Faiz Syarofi, S.S.I. seseorang yang selalu memberikan

semangat serta pengalaman tentang “Apa Arti Hidup” semoga harapan kita kan

tercapai.

9. Teman-teman Peradilan Agama dan sahabatku Aidah Nur’arafah, Fadhilatunnisa,

Sahro Batubara, Iku Den Yu’fa, Occa, teh Eni, ka Lia, ka Ayu, yang selalu

menemani dan membantu penulis dalam suka dan duka serta tak pernah bosan

dalam memberikan motivasi pada penulis.

Page 8: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

viii

Semoga amal baik mereka dibalas dengan balasan yang berlipat ganda oleh

Allah SWT, dan penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat khususnya

bagi penulis dan umumnya bagi pembaca yang budiman. Kritik serta saran atas

kekurangan dalam penulisan skripsi ini penulis akan bertanggung jawab sepenuhnya

sebagai penyempurna atas karya ilmiah ini.

Page 9: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI .................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI .......................................................................................................... xi

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................................ 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 9

D. Tinjauan Pustaka ......................................................................................... 10

E. Metode Penelitian ........................................................................................ 12

F. Sistematika Penulisan .................................................................................. 14

BAB II: POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA ISLAM DI INDONESIA

DAN TUNIASIA

A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami ......................................... 15

1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami ........................................... 15

2. Sekilas Tentang Poligami ...................................................................... 15

B. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

Page 10: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

x

1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia .......................... 18

2. Poligami di Indonesia ............................................................................ 19

3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia .............. 23

a. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan .................................... 23

b. PP No. 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 ...................................................................................... 25

c. Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan

dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil ...................................... 27

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP

NO. 10 Tahun 1983 ......................................................................... 32

e. Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI) ....................................................................................... 36

f. KUHPer (BW) .................................................................................. 38

C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia

1. Sekilas tentang Negara Tunisia ............................................................. 39

2. Poligami di Tunisia ............................................................................... 42

3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia ................... 44

BAB III: KOMPARASI PEMBERLAKUAN SANKSI POLIGAMI ANTARA

INDONESIA DAN TUNISIA

A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia .................................. 47

1. Poligami dalam UUD No. 1 Tahun 1974 .............................................. 47

Page 11: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

xi

2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975 .................................................. 49

3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990 .... 49

4. Poligami dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI) ........................................................................................... 51

B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia ..................................... 57

C. Komparasi Sanksi Poligami Antara Indonesia dan Tunisia ........................ 61

BAB IV: PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................................................. 66

B. Saran-saran .................................................................................................. 69

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................... 70

Page 12: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan hubungan cinta, kasih sayang dan kesenangan.

Sarana bagi terciptanya kerukunan dan kebahagiaan. Tujuan ikatan perkawinan

adalah untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Maka untuk

menegakkan keluarga yang bahagia dan menjadi sendi dasar dari susunan

masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

Setiap orang mendambakan keluarga yang bahagia. Kebahagiaan harus

didukung oleh rasa cinta kepada pasangan. Cinta yang sebenarnya menuntut agar

seseorang tidak mencintai orang lain kecuali pasangannya. Cinta dan kasih

sayang merupakan jembatan dari suatu pernikahan dan dasar dalam pernikahan

adalah memberikan kebahagiaan. Namun kenyataannya dalam menjalani

kehidupan perkawinan pasti selalu ada permasalahan-permasalahan yang muncul

yang mana hal ini dapat memicu timbulnya keinginan suami untuk melakukan

poligami. Persoalan yang muncul biasanya mencakup tiga hal yaitu kekurangan

ekonomi, hubungan keluarga yang kurang harmonis, seks dan perselingkuhan.1

Poligami merupakan salah satu pembahasan penting yang mendapatkan

perhatian khusus. Karena itu tidak mengherankan jika pembahasan masalah

poligami diletakkan di awal surat An-Nisa`[4] ayat ketiga. Sebagaimana bisa

1Repository.usu.ac.id/Latar Belakang Masalah Perkawinan, artikeldiakses pada 19 November 2013.

Dari http://repository.usu.ac.id/bitstream.html.

Page 13: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

2

dilihat pada ayat ketiga dan merupakan satu-satunya ayat dalam at-tanzil yang

membicarakan masalah ini, akan tetapi para mufasir dan para ahli fiqih,

terkadang seringkali telah mengabaikan keterkaitan erat asbabun nuzul dengan

kontek sosial historis serta sosiologis atas masalah poligami.

Beberapa pemikir muslim kontemporer, seperti Muhammad Abduh

seorang ulama reformis dari Mesir berpendapat bahwa praktek poligami adalah

suatu tindakan yang dilarang atau diharamkan jika tujuannya untuk kesenangan

dan hanya pemenuhan kebutuhan seksual.Sebab, jika manusia mempertuturkan

hasrat biologis ini harkat manusia tidak berbeda dengan sikap binatang.2

Poligami mengandung pandangan yang kontroversial.Poligami

merupakan masalah problematik tersendiri, krusial dan kontroversial dalam

masyarakat modern di berbagai negara khususnya Indonesia. Para fuqaha klasik

Imam Syafi‟i dan Abu Hanifah berpendapat bahwa laki-laki boleh berpoligami

secara mutlak tanpa persyaratan apapun.Bagi as-Syafi‟i poligami diperbolehkan

secara mutlak selama jumlahnya tidak melebihi empat orang, tidak

menyinggung tentang keadilan maupun hak isteri terhadap suaminya kecuali

penggiliran isteri-isteri, nafkah dan warisan.Ulama Hanafiah, berpendapat

bahwa keadilan suami pada isteri lebih ditekankan pada masalah lahiriah, seperti

pembagian giliran, makanan, dan pergaulan.Akan tetapi suami tidak dituntut

2Anif Rahmawati, ”Kriminalisasi Praktek poligami di Indonesia”. Artikel diakses pada 19 November

2013 dari http://Aneifrahmawati.blogspot.com/2011_11_archive.html.

Page 14: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

3

berlaku adil dalam hal yang berkaitan kepuasan psikis, misalnya dalam

hubungan seks.

Dalam konteks Negara Indonesia, masalah poligami diatur dalam

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan di Indonesia. Pasal 3

dari Undang-undang tersebut bahwa pada prinsipnya asas perkawinan di

Indonesia adalah monogami. Selanjutnya pasal 4 menyatakan bahwa pengadilan

yang memutus boleh tidaknya seorang suami beristeri lebih dari satu, apabila

memenuhi syarat tertentu. Izin poligami akan diberikan oleh pengadilan apabila:

1. Isteri tidak menjalankan kewajiban sebagai isteri

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan

3. Isteri tidak bisa memberikan keturunan

Pemerintah Indonesia meregulasi prosedur poligami dengan persyaratan

alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh para pihak yang ingin

berpoligami melihat dari kenyataan perilaku masyarakat yang berubah sehingga

ketentuan poligami di Indonesia diperketat agar ketika seseorang hendak

melakukan poligami akan lebih berfikir ulang daripada konsekuensinya.

Sebelum pemberlakuan UU Perkawinan No. 1/1974 di Indonesia,

seorang laki-laki muslim cukup mudah untuk melakukan perkawinan poligami.

Ia hanya diminta untuk melaporkan perkawinan barunya kepada petugas

pencatat perkawinan dan bersikap adil kepada para istrinya. Secara substansial

Hukum Perkawinan merubah keadaan ini, namun sesungguhnya masih bersifat

Page 15: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

4

mendua.Di satu sisi, prinsip yang menyatakan bahwa perkawinan yang

merupakan institusi monogami dianggap telah mendasari ketentuan-ketentuan

hukum tersebut (Pasal 3); dan memang salah satu tujuan utama dari UU

Perkawinan adalah untuk menekan tingkat perkawinan poligami. Di sisi lain,

UU tersebut memperkenankan laki-laki untuk mempunyai lebih dari seorang

istri jika ia mampu memenuhi persyaratan dari sejumlah ketentuan UU tersebut,

diperbolehkan oleh agamanya, dan memperoleh izin dari Pengadilan Agama.3

Ketentuan yang sama tetap dipertahankan dalam Kompilasi Hukum

Indonesia (KHI) yang ditetapkan pada tahun 1991. Pengadilan dalam hal ini

memainkan peran penting dalam pemberian izin kepada suami untuk

berpoligami. Meskipun demikian baik UU No. 1 /1974 maupun KHI tidak

mencantumkan sanksi hukum terhadap pihak yang melakukan pelanggaran.

Sanksi poligami baru dapat ditemui dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun

1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974, disebutlkan bahwa pelaku poligami

tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.Sanksi hukum

juga dikenakan kepada petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan

seorang suami yang akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman

kurungan maksimal 3 bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.

Selain itu, hukuman yang relatif berat dijatuhkan bagi Pegawai Negeri

Sipil yang berpoligami di luar ketentuan yang ditetapkan. Disebutkan dalam

3Ibid., hal. 3

Page 16: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

5

Surat Edaran No.48/SE/1990 tentang Petunjuk Pelaksanaan PP No. 45/1990

tentang perubahan atas PP No. 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian

Pegawai Negeri Sipil, bahwa PNS dan atau atasan/pejabat, kecuali Pegawai

Bulanan di samping pensiunan, dijatuhi salah satu hukuman disiplin berat

berdasarkan PP No.30/1980 tentang Peraturan Disiplin PNS.

Meskipun kini perkawinan poligami telah dan agaknya akan menjadi hal

yang jarang terjadi di Indonesia, namun efektifitas hukum yang mengatur

poligami kelihatannya masih diragukan. Di antara faktor penyebabnya adalah

sanksi hukum atas pelanggaran UU ini, denda Rp. 7.500,- atau kurungan 3

bulan, sudah dianggap tidak sesuai kondisi saat ini. Hukuman tersebut tidak

cukup keras mencegah pelanggaran hukum tersebut. Selain itu masih terjadinya

dualisme hukum di Indonesia: Hukum Islam tradisional versus hukum negara,

mengakibatkan para pelaku poligami lebih memilih berlindung pada hukum

Islam tradisional yang mengabsahkan poligami tanpa khawatir akan dijatuhi

hukuman seperti yang diberlakukan oleh Hukum Islam “produk negara”.

Sedangkan pemberlakuan sanksi bagi PNS meskipun cukup berat namun

disayangkan hanya untuk kalangan terbatas.4

Walaupun sudah diatur dalam berbagai peraturan, nampaknya

masyarakat Indonesia belum mematuhi peraturan ini sebagaimana meskinya.

4Ibid., hal. 5.

Page 17: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

6

Namun kenyataannya dilapangan, masih banyak orang Islam yang melakukan

poligami liar dengan berbagai alasan dan kepentingan.5

Salah satu trend reformasi hukum keluarga di Dunia Islam modern

adalah diberlakukannya sanksi hukum (kriminalisasi). Keberanjakan dari hukum

klasik yang cenderung tidak memiliki sanksi hukum, misalnya, beralih kepada

aturan-aturan dan hukum produk negara yang tidak saja membatasi dan

mempersulit, namun bahkan melarang dan mengkategorikan suatu masalah

seputar hukum keluarga sebagai perbuatan kriminal. Seperti

dalam hal poligami, meskipun kriminalisasi poligami belum menjadi potret

umum dari hukum/undang-undang yang berlaku di negara-negara Muslim,

namun keberadaannya semakin dipertimbangkan dan tetap menjadi salah satu

topik hangat masyarakat Muslim Dunia saat ini. Adalah menarik jika

kriminalisasi poligami di Indonesia juga dapat ditelaah lebih dekat, dan melihat

bagaimana sebagian negara Muslim lain memberlakukannya, kemudian

dikomparasikan satu sama lain dalam konteks doktrin Hukum Islam

konvensional, antar negara, dan posisinya sebagai salah satu citra dinamisasi

dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga Negara Muslim modern.6

5 Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum Nasional),

Jakarta , PT. Wahana Semesta Intermedia, cet. Kedua, hal. 166. 6 Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. Artikel diakses pada 19 November 2013

dari http://publik-syariah.blogspot.com/2011/04/Kriminalisasi-trend-reformasi.html.

Page 18: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

7

Pengetahuan perbandingan hukum keluarga Islam ini sangat penting di

Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang orang lain di

Negara lain telah menyelesaikan masalah itu puluhan tahun sebelumnya.

Walaupun agak distinctive, apa yang ditetapkan di Indonesia bukanlah

sesuatu hal yang baru. Di beberapa negara Muslim, praktik poligami juga masih

boleh dilakukan dengan beberapa pembaharuan dalam praktik atau

pemberlakuannya. Di Mesir misalnya, poligami masih diperbolehkan untuk

dilakukan sesuai ketentuan dan syarat yang telah diberlakukan.7

Turki dan Tunisia adalah dua di antaranegara-negara berpenduduk

mayoritas beragama Islam yang melakukan pelarangan terhadap kaum prianya

melakukan poligami. Melalui Majallah al-ahwal-Sykhsiyyah No. 66 tahun 1956

(dimodifikasi pada tahun 1959,1964,1981 dan 1993), Tunisia melarang praktik

poligami secara mutlak. Dan, melalui UU civil Turki Tahun 1926, Turki juga

secara jelas melarang praktik poligami.8 Namun tidak diberlakukannya sanksi

hukum. Berbeda dengan Negara Tunisia. Negara Tunisia mutlak melarang

poligami dan diberlakukannya sanksi hukum terhadap pelaku poligami. Inilah

yang menarik dari Negara Tunisia. Apa yang melatar belakangi negara Tunisia

melakukan sanksi terhadap pelaku poligami yang memang bukan isu baru dalam

wacana dan perdebatan hukum islam.

7 Asep Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-Undangan

Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, Jakarta, Kencana, 2003, Cet. Pertama, hal. 33. 8 Ibid., hal. 34.

Page 19: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

8

Untuk itu penulis tertarik dengan masalah tersebut di atas maka penulis

akan menuangkan dalam bentuk karya ilmiah dengan judul “Kriminalisasi

Poligami Dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi Komparatif

Undang-Undang Hukum Keluarga Indonesia_Tunisia)”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Meniadakan adanya kajian yang menjadi luas dan tidak terbatas,

disebabkan terlalu banyaknya negara Islam yang ada di dunia ini, maka

penulis membatasi permasalahan dan akan menjelaskan mengenai

kriminalisasi terhadap pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia. Berdasarkan

latar belakang dan permasalahan di atas, maka penulis dapat menarik

beberapa rumusan masalah untuk menemukan jawaban-jawaban di atas:

“Dalam teks syari‟ah maupun fiqh terdapat perbedaan untuk berpoligami,

sekalipun tingkat kebebasan dan kemutlakannya berbeda di kalangan ulama.

Dalam peraturan hukum keluarga Tunisia mutlak dilarang dan menerapkan

sanksi hukum terhadap pelaku poligami, sedang dalam peraturan

perundangan Indonesia diperbolehkan dengan syarat-syarat yang ketat. Untuk

inilah penulis ingin menelusuri lebih jauh analisis perbandingan terhadap

peraturan perundangan Hukum keluarga Tunisia dan Indonesia”.

Page 20: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

9

2. Perumusan Masalah

Rumusan tersebut di atas dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan

sebagai berikut:

a. Bagaimana poligami menurut Hukum Perkawinan Islam di Indonesia dan

Tunisia?

b. Bagaimana bentuk sanksi pelaku poligami di Indonesia dan Tunisia?

c. Apa perbedaan dan persamaan sanksi poligami di Indonesia dan Tunisia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui poligami menurut hukum perkawinan Islam di

Indonesia dan Tunisia

b. Untuk mengetahui bentuksanksi pelaku poligami di Indonesia dan

Tunisia

c. Untuk mengetahui perbedaan dan persamaan sanksi poligami di

Indonesia dan Tunisia

2. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi peneliti/penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar strata

satu (S1) dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang

ini.

Page 21: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

10

b. Penulisan skripsi ini diharapkan mampu mengembangkan ilmu

pengetahuan, menambah khazanah keilmuan dibidang hukum islam

khususnya bidang perkawinan.

c. Penelitian ini diharapkan akan menjadi pelengkap penelitian-penelitian

sebelumnya.

d. Memberikan sumbangan kepada mahasiswa atau siapa saja yang konsen

dengan permasalahan ini.

D. Tinjauan Pustaka

Setelah penyusun melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap

karya-karya ilmiah (skripsi) yang ada, terdapat beberapa skripsi yang membahas

aturan poligami namun hanya terdapat satu yang membahas poligami dalam

hukum keluarga di dunia muslim tentunya mempunyai hubungan dengan judul

skripsi ini. Di antaranya adalah :

1. Aris Munandar, Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam (Studi

Perbandingan Hukum Keluarga Indonesia-Turki), Fakultas Syariah dan

Hukum, 2007.

Skripsi ini lebih ditekankan dalam hal perbandingan poligami di negara

Indonesia_Turki dengan studi perbandingan hukum keluarga Indonesia No 1

Tahun 1974 (Indonesia : The Law On Marrieg 1974). Dan Turkey : Fifty

Years of Personal Reform 1915-1965 (Turki : 50 Tahun Pembaharuan

Hukum Tentang Pribadi 1915-1965) .

Page 22: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

11

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu skripsi ini lebih menekankan dalam hal

kriminalisasi terhadap pelaku poligami yang dikomparasikan dengan negara

Tunisia.

2. Arifin, Kontroversi atas Wacana Revisi Aturan Poligami di Indonesia,

Fakultas Syariah dan Hukum, 2008.

Skripsi ini membahas Kontroversi publik antara yang pro dan kontra

terhadap aturan poligami di indonesia

Perbedaan dengan skripsi ini yaitu melihat dari adanya pro dan kontra dari

aturan poligami dan dari kenyataan poligami di Masyarakat Indonesia

sehingga perlunya melihat aturan hukum di negara muslim lainnya yakni

penulis khususkan mengenai negara Tunisia yang mutlak melarang poligami.

3. Eri Prima, Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia,

Fakultas Syariah dan Hukum, 2010.

Skripsi ini menekankan pada Aturan Poligami di Indonesia ditinjau dari

Perspektif Feminisme. Yakni dalam aturan yang ada, peluang untuk berpoligami

masih terbuka walau tidak terlalu besar. Namun pada kenyataan di lapangan

masihmelahirkan kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga.

Perbedaan dengan skripsi ini yakni skripsi ini lebih menekankan pada hal

aturan sanksi hukum terhadap pelaku poligami di Indonesiayang di

komparasikan dengan negara Tunisia.

Page 23: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

12

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa aspek metode penelitian yang

akan digunakan yaitu:

1. Jenis Penelitian

Penelitian skripsi ini sepenuhnya menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library Reseach) yaitu dengan meneliti berbagai buku, majalah,

surat kabar, artikel dan tulisan-tulisan ilmiah lainnya yang ada hubungannya

dengan judul yang dibahas dalam skripsi ini.

2. Data Penelitian

a. Sumber Data

Undang-undang perkawinan di Indonesia Nomor 1 Tahun 1974,

Kompilasi Hukum Islam. Dan The Code Of Personal Status and

Supplementari Laws 1956-1981 ( Tunisia: Kitab Undang-undang Hak

Pribadi dan Hukum-hukum Tambahan 1956-1981).

b. Jenis Data

Ada dua jenis data yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini.

1) Data Primer: yaitu data yang berasal dari al-Qur‟an, kitab hadis, dan

buku-buku yang membahas masalah poligami dan aturan poligami.

2) Data Sekunder: yaitu data yang berupa dokumen-dokumen yang

terdapat dalam majalah, surat kabar, jurnal ilmiah, dan artikel yang

relevan dengan tema dalam skripsi ini.

Page 24: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

13

c. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penulisan skripsi ini adalah studi

naskah atau pustaka, yaitu dengan mengumpulkan data yang membahas

tentang poligami, Undang-undang poligami, serta sanksi poligami di

negara Indonesia-Tunisia.

d. Teknik Pengolahan Data

Setelah data terkumpul dari berbagai sumber maka penulis akan

memaparkan data tersebut, kemudian penulis analisa. Secara teknis

penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman Penulisan Skripsi

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta” tahun

2007 cet.1.

e. Analisis data

Adapun analisis yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis

komparatif. Penelitian Komparatif adalah penelitian yang bersifat

membandingkan. Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan

persamaan dan perbedaan dua atau lebih fakta-fakta dan sifat-sifat objek

yang diteliti berdasarkan kerangka pemikiran tertentu.

Page 25: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

14

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini untuk mempermudah memahami isi skripsi,

maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam empat bab yang masing-masing

bab terdiri dari sub bab. Adapun sistematikanya sebagai berikut:

Bab Pendahuluan. Yang terdiri atas uraian latar belakang masalah,

pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II Sekilas tentang kriminalisasi praktik poligami, Poligami dalam

hukum keluarga Islam di Indonesia, Poligami dalam hukum keluarga di Tunisia.

Bab III Berisi tentang sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia,

Sejarah terbentuknya aturan poligami di Tunisia, Komparasi sanksi poligami

antara Indonesia dan Tunisia.

Bab IV Kesimpulan dan penutup.

Page 26: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

15

BAB II

POLIGAMI DALAM HUKUM KELUARGA

ISLAM DI INDONESIA DAN TUNIASIA

A. Sekilas Tentang Kriminalisasi Praktik Poligami

1. Pengertian Kriminalisasi Praktik Poligami

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kriminalisasi berarti proses

yang memperlihatkan perilaku yang semula tidak dianggap sebagai peristiwa

pidana, tetapi kemudian digolongkan sebagai peristiwa pidana oleh

masyarakat.9 Dengan demikian kriminalisasi praktik poligami di sini

dipahami sebagai sikap yang mengategorikan praktik/perbuatan poligami

sebagai sebuah tindak pidana (crime), yang diancam dengan bentuk pidana

tertentu, baik pidana kurungan maupun pidana denda.10

2. Sekilas Tentang Poligami

Poligami berasal dari bahasa Yunani. Kata ini merupakan penggalan

dari dua kata yakni “poli” atau “polus” yang artinya banyak, dan kata

“gamein” atau “gamos” yang artinya kawin atau perkawinan [Webster:1974).

Jika digabungkan akan berarti suatu perkawinan yang banyak. Kalau

dipahami dari definisi ini, maka sah untuk mengatakan bahwa arti poligami

adalah perkawinan banyak.

9 Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta, 2001. hal. 600.

10 Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana (Jakarta: Rineka Cipta,1991), hal. 5.

Page 27: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

16

Ada istilah lain yang maknanya mendekati makna poligami yaitu

“poligini”. Kata ini berasal dari “poli” atau “polus” artinya banyak dan “gini”

atau “gene” artinya istri, jadi poligini artinya beristeri banyak. Dalam bahasa

arab, poligami disebut ta’addud az-zaujat.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan poligami atau poligini adalah

suatu sistem perkawinan di mana seorang pria mengawini lebih dari seorang

isteri dalam waktu yang bersamaan.11

Poligami memang bukan isu baru dalam wacana dan perdebatan

hukum Islam. Namun karena aturan-aturannya terus berkembang di beberapa

negara, termasuk di Indonesia, dan karena perbedaan cara pandang dari para

ulama dan ahli hukum terkait dengan hukumnya, isu poligami menjadi

menarik dan penting untuk didiskusikan.

Poligami merupakan salah satu bentuk pernikahan yang diatur dalam

hukum Islam. Mengacu pada hukum Islam (fiqh), poligami merupakan bentuk

pernikahan yang diperbolehkan. Mayoritas ulama memperbolehkan

pernikahan poligami, dan pandangan kebolehan pernikahan poligami ini

didasarkan pada ayat al-Qur‟an yang menyatakan bahwa seorang muslim

laki-laki boleh melakukan pernikahan dengan satu, dua, tiga, dan empat

wanita yang baik, seperti tercantum dalam ayat keempat Surat an-Nisa:

11

Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam danal Hukum Nasional), hal.

139.

Page 28: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

17

إن وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فاوكحوا ما طاب لكم مه الىساء مثىى وثلاث ورباع ف

اذلك أدوى ألا تعولواحدة أو ما ملكت أيماوكم خفتم ألا تعدلوا فو

“Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap

(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah

perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu

khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau

hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat

agar kamu tidak berbuat zalim”.

Ayat tersebut dipahami sebagai sebuah aturan kebolehan pernikahan

poligami, meskipun turunnya ayat tersebut dilatari oleh praktik pernikahan

yang dilakukan laki-laki dengan motivasi penguasaan harta anak dan atau

perempuan yatim. Tidak menghendaki adanya pernikahan dengan motivasi

tersebut, Allah menurunkan ayat tersebut untuk menghalangi praktik tersebut.

Namun, ayat tersebut kemudian dipahami sebagai sebuah dasar pembolehan

praktik pernikahan poligami secara umum. Meskipun beberapa kalangan

menafsirkan kebolehan dengan penekanan pada kalimat berikutnya yang

menyinggung tentang keadilan yang harus dipenuhi suami, mayoritas ulama

menganggap keharusan berlaku adil tersebut tidak terlalu penting mengingat

keadilan merupakan hal yang sangat abstrak. Para ulama Sunni-Malikiyah,

Syafi‟iyah, Hanabilah, dan Hanafiyah, menegaskan bahwa dalam poligami

Page 29: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

18

tidak disyaratkan keadilan hati dan cinta. Terlebih, keadilan dalam masalah

nafkah juga tidak ditekankan.

Namun, sejalan dengan perkembangan zaman dan cara berfikir

tentang perlindungan hak-hak individu manusia, aturan poligami yang

ditemukan dalam buku-buku fikih mengalami penafsiran ulang dan

pembaharuan baik di Indonesia maupun di negara muslim lainnya.12

B. Poligami dalam Hukum Keluarga Islam di Indonesia

1. Sekilas Gambaran Umum Hukum Islam di Indonesia

Negara Indonesia adalah merupakan negara kesatuan yang berbentuk

Republik dengan kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar13

. Pancasila adalah dasar ideal negara dan

Undang-undang Dasar 1945 adalah dasar struktural negara yang

menggambarkan bahwa negara Indonesia adalah negara yang menghargai dan

menghormati kehidupan beragama.

Sampai saat sekarang ini di negara Republik Indonesia berlaku

berbagai sistem hukum, yaitu sistem hukum adat, hukum Islam serta hukum

Barat (baik itu civil law maupun common law atau hukum anglo sakson).

Indonesia adalah salah satu negara yang secara konstitusional tidak

menyatakan diri sebagai negara Islam tetapi mayoritas penduduknya

12

Asep Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-Undangan

Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, hal. 29-30 13

Pasal 1 UUD 1945

Page 30: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

19

menganut agama Islam. Secara sosiologis, hukum Islam dapat dikatakan telah

berlaku di Indonesia, sebab sebagian hukum Islam telah hidup dan

berkembang di masyarakat sejak zaman kerajaan-kerajaan Islam, kemudian

berlaku pada masa penjajahan kolonial Belanda hingga zaman kemerdekaan.

Secara yuridis, sebagian hukum Islam telah dilaksanakan. Namun, perlu

diketahui penerapan prinsip berangsur-angsur dalam pengundangan hukum

Islam di Indonesia.14

2. Poligami di Indonesia

Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim terbesar, menerapkan

hukum poligami relatif lebih longgar dibandingkan negara-negara muslim

lain.15

Ini disebabkan karena masih adanya praktik kawin bawah tangan yang

biasa dikenal dengan nikah siri, yakni nikah yang hanya dilaksanakan secara

Islam, tetapi tidak dicatat di KUA. Nikah seperti ini dianggap sah menurut

agama tetapi tidak memiliki kekuatan hukum.16

Masyarakat menganggap

perkawinan ini sah secara agama, meskipuntidak sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Di Indonesia

dalam hal poligami dibatasi dengan ketat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menggunakan istilah

“poligami” yang sudah populer dalam masyarakat. Menurut Undang-Undang

14

Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam ( Bandung:

Pustaka Al-Fikriis) 2009, hal. 183-184. 15

Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 9-10. 16

H.M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH, 2013), hal. 211.

Page 31: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

20

perkawinan ini adalah perkawinan yang bersifat monogami, namun demikian

beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan tidak bertentangan

dengan hukum agama yang dianutnya. Beristeri lebih dari satu orang dapat

dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang

ditetapkan oleh undang-undang. Perkawinan lebih dari satu orang dapat

dilaksanakan apabila ada izin dari Pengadilan Agama terlebih dahulu. Dalam

pasal 4 dan 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

dijelaskan bahwa seorang pria yang bermaksud kawin lebih dari satu orang

harus ada alasan-alasan yaitu (1) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya

sebagai istri; (2) istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan; (3) istri tidak dapat melahirkan keturunan. Tidak dijelaskan

secara rinci apakah ketentuan tersebut ini bersifat kumulatif atau alternatif.

Oleh karena itu, penggunaan-penggunaan alasan tersebut diserahkan kepada

hakim.17

Apabila alasan-alasan sebagaimana tersebut di atas sudah terpenuhi,

maka Pengadilan Agama juga harus meneliti apakah ada atau tidaknya syarat-

syarat tertentu secara kumulatif yaitu (1) persetujuan dari istri atau istri-

istrinya, kalau ada harus diucapkan di muka majelis hakim; (2) kemampuan

dari material dari orang bermaksud menikah lebih dari satu orang; (3)

jaminan berlaku adil terhadap istri-istrinya apabila ia sudah menikah, jaminan

17

Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, hal. 9-10.

Page 32: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

21

berlaku adil ini dibuat dalam persidangan majelis hakim. Apabila syarat-

syarat ini sudah terpenuhi secara kumulatif, maka barulah Pengadilan Agama

memberi izin kepada pemohon untuk melaksanakan perkawinan lebih dari

satu orang. Apabila perkawinan lebih dari satu orang tidak dilaksanakan

sebagaimana ketentuan tersebut di atas, maka perkawinan tersebut tidak

berdasarkan hukum dan kepada pelakunya dapat dikenakan sanksi

sebagaimana tersebut dalam pasal 44 dan 45 undang-undang perkawinan.

Poligami atau perkawinan lebih dari satu orang merupakan suatu hal

yang sangat ditakuti oleh setiap kaum wanita. Pelaksanaan poligami atau

kawin lebih dari satu orang tanpa dibatasi oleh peraturan yang membatasinya

secara ketat, maka akan menimbulkan hal-hal yang bersifat negatif dalam

menegakkan rumah tangganya. Biasanya hubungan dengan isteri muda

(madunya istri tua) menjadi tegang, sementara itu anak-anak yang berlainan

ibu itu menjurus kepada pertentangan yang membahayakan kelangsungan

hidupnya, hal ini terjadi biasanya kalau ayah meninggal dunia. Agar hal-hal

yang bersifat negatif itu tidak terjadi dalam rumah tangga orang-orang yang

kawin lebih dari satu orang, maka undang-undang perkawinan ini membatasi

secara ketat pelaksanaan perkawinan yang demikian itu, dengan

mengantisipasi lebih awal membatasi kawin lebih dari satu orang itu dengan

alasan-alasan dan syarat-syarat tertentu. Undang-undang perkawinan

Page 33: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

22

memberikan suatu harapan bahwa perkawinan yang dilaksanankan itu betul-

betul membawa manfaat kepada mereka yang melaksanakannya.18

3. Poligami dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia

a. UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Kendatipun UUP perkawinan menganut asas monogami. Seperti

yang terdapat dalam pasal 3 yang menyatakan, seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang istri dan seorang wanita hanya boleh memiliki

seorang suami. Namun pada bagian yang lain dinyatakan bahwa dalam

keadaan tertentu poligami dibenarkan. Klausul kebolehan poligami

didalam UUP sebenarnya hanyalah pengecualian dan untuk itu pasal-

pasalnya mencantumkan alasan-alasan yang membolehkan tersebut.19

Dalam Pasal 4 UUP dinyatakan, seorang suami yang akan beristri

lebih dari seorang apabila:

1) Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.

2) Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3) Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Dengan adanya bunyi pasal-pasal yang membolehkan untuk

poligami kendatipun dengan alasan-alasan tertentu, jelaslah bahwa asas

18

Ibid., hal. 10. 19

Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan

Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI. Jakarta: Kencana, 2004, hal. 161.

Page 34: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

23

yang dianut UU perkawinan bukanlah asas monogami mutlak melainkan

disebut monogami terbuka atau meminjam bahasa Yahya Harahap,

monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status

hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa

(extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga poligami tidak

semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari hakim

(pengadilan).20

Oleh sebab itu pada pasal 3 ayat 2 di katakan bahwa:

“Pengadilan dapat memberi izin kepada sorang suami untuk

beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan”.

Dengan ayat ini, jelas sekali UUP telah melibatkan Pengadilan

Agama sebagai institusi yang cukup penting untuk mengabsahkan

kebolehan poligami bagi seorang. Di dalam penjelasan pasal 3 ayat 2

tersebut dinyatakan bahwa:

“Pengadilan dalam memberikan putusan selain memeriksa apakah

syarat yang tersebut pada pasal 4 dan 5 telah dipenuhi harus mengingat

pula apakah ketentuan-ketentuan hukum perkawinan dari calon suami

mengizinkan adanya poligami”.

Berkenaan dengan pasal 4 di atas setidaknya menunjukan ada tiga

alasan yang dijadikan dasar mengajukan permohonan poligami.

20

Ibid., hal. 162.

Page 35: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

24

Ternyata UU Perkawinan juga memuat syarat-syarat untuk

kebolehan poligami. Seperti yang termuat dalam pasal 5 ayat 1 UUP,

syarat-syarat yang dipenuhi bagi seorang suami yang ingin melakukan

poligami ialah:

1) Adanya persetujuan dari istri.

2) Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup

istri-istri dan anak-anak mereka.

3) Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri dan

anak-anak mereka.

Untuk membedakan persyaratan yang ada di pasal 4 dan 5 adalah,

pada pasal 4 disebut dengan persyaratan alternatif yang artinya satu harus

ada untuk dapat mengajukan permohonan poligami. Sedanagkan pasal 5

adalah persyaratan komulatif dimana seluruhnya harus dapat dipenuhi

suami yang akan melakukan poligami.

Pada pasal 5 ayat 2 kembali di tegaskan bahwa:

Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak

diperlukan bagi seorang suami apabila istri-istrinya tidak mungkin

dimintai persetujuanya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian,

atau tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua)

tahun, atau karena sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari

hukum pengadilan.

Page 36: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

25

b. PP No 9 Tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974

Menyangkut prosedur melaksanakan poligami aturannya dapat

dilihat dalam PP No. 9 th 1975. Pada pasal 40 dinyatakan bahwa:

Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari

seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis pada

pengadilan.Sedangkan tugas pengadilan diatur dalam pasal 41 PP No. 9 th

1975 sebagai berikut:

Pengadilan kemudian memeriksa mengenai:

1) Ada atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami

kawin lagi.

2) Ada atau tidak adanya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan

maupun tertulis, apabila persetujuan itu merupakan persetujuan

lisan, persetujuan itu harus di ucapkan di depan sidang pengadilan.

3) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin

keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperlihatkan:

a) Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang

ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja.

b) Surat keterangan pajak penghasilan.

c) Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh pengadilan.

Page 37: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

26

4) Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil

terhadap istri-istri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau

janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk

itu.

Berikutnya pada pasal 42 juga dijelaskan keharusan pengadilan

memanggil para istri untuk memberikan kejelasan atau kesaksian. Di

dalam pasal ini juga dijelaskan bahwa pengadilan diberi waktu selam 30

hari untuk memeriksa permohonan poligami setelah diajukan oleh suami

lengkap dengan persyaratannya.21

Pengadilan agama memiliki wewenang untuk memberikan izin

kepada seseorang untuk melakukan poligami. Hal ini dinyatakan di dalam

pasal 43 yang berbunyi:

Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi

pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan

putusan yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang.

Selain menjelaskan tentang prosedur permohonan untuk beristri

lebih dari seorang dalam PP ini juga diatur tentang ketentuan pidana bagi

yang melanggar pasal-pasal tersebut diatas. Pasal 45 menyebutkan:

21

Pasal 42 ayat 2 PP No. 9 tahun 1975: Pemeriksaan pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim

selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.

Page 38: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

27

Barang siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3,

10 atau 40 peraturan pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda

setinggi-tingginya Rp 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).

c. Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan

dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil

Secara umum pernikahan dan perceraian bagi seluruh warga negara

Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 dan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1975. Selain itu

khusus bagi warga negara Indonesia yang berstatus sebagai Pegawai

Negeri Sipil yang akan melangsungkan perkawinan dan perceraian juga

harus tunduk pada ketentuan lain, ketentuan yang dimaksud adalah

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 tahun 1983 tentang

Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil, dan Peraturan

Pemerintah Republik Indonesia Nomor 45 tahun 1990 tentang perubahan

atas PP No. 10 Tahun 1983.

Dalam penjelasan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia

Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi

Pegawai Negeri Sipil, dijelaskan Pegawai Negeri Sipil adalah unsur

aparatur negara, abadi negara, dan abadi masyarakat yang harus menjadi

tauladan yang baik bagi masyarakat dalam tingkah laku, tindakan, dan

ketaatan kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Page 39: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

28

Untuk dapat melaksanakan kewajiban yang demikian itu, maka

Pegawai Negeri Sipil harus ditunjang oleh kehidupan berkeluarga yang

serasi, sehingga setiap Pegawai Negeri Sipil dalam melaksanakan tugasnya

tidak akan banyak terganggu oleh masalah-masalah dalam keluarganya.

Sehubungan dengan contoh dan tauladan yang diberikan oleh

Pegawai Negeri Sipil kepada bawahan dan masyarakat, maka kepada

Pegawai Negeri Sipil dibebankan ketentuan disiplin yang tinggi. Untuk

melakukan perkawinan dan perceraian Pegawai Negeri Sipil harus terlebih

dahulu memperoleh izin dari pejabat yang bersangkutan. Pegawai Negeri

Sipil Pria yang akan beristri lebih dari seorang dan Pegawai Negeri Sipil

wanita yang akan menjadi istri kedua/ketiga/keempat dari seorang yang

bukan Pegawai Negeri Sipil diharuskan memperoleh izin terlebih dahulu

dari pejabat. Demikian juga Pegawai Negeri Sipil yang akan melakukan

perceraian harus memperoleh izin terlebih dahulu dari pejabat. Sedangkan

Pegawai Negeri Sipil yang tidak diizinkan untuk menjadi istri kedua,

ketiga, keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah ini pengertian Pegawai Negeri Sipil

selain sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun

1974 tentang pokok-pokok kepegawaian termasuk juga pegawai bulanan

disamping pegawai pensiun, pegawai bank milik Negara, Pegawai Badan

Usaha Milik Negara, Pegawai Bank Milik Daerah, Pegawai Badan Usaha

Page 40: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

29

Milik Daerah, dan Kepala Desa, perangkat desa serta petugas yang

menyelenggarakan urusan pemerintah desa. Dalam PP tersebut pasal yang

mengatur tentang poligami terdapat dalam pasal 4, 9, 10 dan 1122

.

disebutkan:

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristeri lebih dari seorang, wajib

memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi isteri kedua/

ketiga/keempat dari Pegawai Negeri Sipil.

3) Pegawai Negeri Sipil wanita yang akan menjadi isteri

kedua/ketiga/keempat dari bukan Pegawai Negeri Sipil, wajib

memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

4) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (3)

diajukan secara tertulis.

5) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (4),

harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan

izin untuk beristeri lebih dari seorang atau untuk menjadi isteri

kedua/ketiga/keempat.

22

www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 09 Januari 2014.

Page 41: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

30

Pasal 9

1) Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristeri lebih dari

seorang atau untuk menjadi isteri kedua/ketiga/keempat sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 4 wajib memperhatikan dengan seksama alasan-

alasan yang dikemukakan dalam surat permintaan izin dan

pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan.

2) Apabila alasan-alasan dan syarat-syarat yang dikemukakan dalam

permintaan izin tersebut kurang meyakinkan, maka Pejabat harus

meminta keterangan tambahan dari isteri Pegawai Negeri Sipil yang

mengajukan permintaan izin atau dari pihak lain yang dipandang dapat

memberikan keterangan yang meyakinkan.

3) Sebelum mengambil keputusan, Pejabat memanggil Pegawai Negeri

Sipil yang bersangkutan sendiri atau bersama-sama dengan isterinya

untuk diberi nasehat.

Pasal 10

1) Izin untuk beristeri lebih dari seorang hanya dapat diberikan oleh

Pejabat apabila memenuhi sekurang kurangnya salah satu syarat

alternatif dan ketiga syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam

ayat (2) dan ayat (3) Pasal ini.

2) Syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah

a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri;

Page 42: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

31

b) isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan; atau

c) isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

3) Syarat kumulatif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah

a) Ada persetujuan tertulis dari isteri;

b) Pegawai Negeri Sipil pria yang bersangkutan mempunyai

penghasilan yang cukup untuk membiayai lebih dari seorang isteri

dan anak anaknya yang dibuktikan dengan surat keterangan pajak

penghasilan;dan

c) ada jaminan tertulis dari Pegawai Negeri Sipil yang bersangkutan

bahwa ia akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya.

Izin untuk beristeri lebih dari seorang tidak diberikan oleh Pejabat

apabila :

d) bertentangan dengan ajaran/peraturan agama yang dianut Pegawai

Negeri Sipil yang bersangkutan;

e) tidak memenuhi syarat alternatif sebagaimana dimaksud dalam ayat

(2) dan ketiga syarat kumulatif dalam ayat (3);

f) bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

g) alasan yang dikemukakan bertentangan dengan akal sehat; dan/atau

h) ada kemungkinan mengganggu pelaksanaan tugas kedinasan.

Page 43: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

32

Pegawai Negeri Sipil yang melangsungkan perkawinan pertama

atau Pegawai Negeri Sipil yang telah menjadi duda/janda yang

melangsungkan perkawinan lagi wajib memberitahukannya secara tertulis

kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam waktu selambat-lambatnya

1 (satu) tahun setelah perkawinan itu dilangsungkan (PP No. 10 Tahun

1983 pasal 2)23

. Sedangkan Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristri

lebih dari seorang, wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya

permintaan izin harus diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis

kepada pejabat melalui saluran hierarki dan harus mencantumkan alasan

lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang.

d. Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas PP

No 10 Tahun 1983

Dalam penjelasan PP No. 45 tahun 1990 terdapat beberapa alasan

mengapa PP tersebut harus diubah diantaranya: dalam pelaksanaannya ada

beberapa peraturan yang tidak jelas, PNS tertentu yang seharusnya terkena

PP No 10 Tahun 1983 dapat menghindar baik secara sengaja maupun

tidak, terhadap ketentuan tersebut. Disamping itu adakalanya pejabat tidak

dapat mengambil tindakan yang tegas karena ketidak jelasan rumusan

23

Ahmad Sutarmadi dan Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga, (Jakarta:

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2006), hal. 44.

Page 44: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

33

ketentuan PP No. 10 Tahun 1983.24

Dalam PP ini aturan tentang poligami

diatur dalam pasal 4, 9, 12, dan 15.

Pasal 4

1) Pegawai Negeri Sipil pria yang akan beristri lebih dari seorang, wajib

memperoleh izin lebih dahulu dari Pejabat.

2) Pegawai Negeri Sipil wanita tidak diizinkan untuk menjadi istri

kedua/ketiga/keempat

3) Permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan secara

tertulis.

4) Dalam surat permintaan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (3),

harus dicantumkan alasan yang lengkap yang mendasari permintaan

izin untuk beristri lebih dari seorang.

Pasal 9

Pejabat yang menerima permintaan izin untuk beristri lebih dari

seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib

memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan dalam

surat pemintaan izin dan pertimbangan dari atasan Pegawai Negeri Sipil

yang bersangkutan.

24

Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam (Jakarta: Pt Raja Grafindo

Persada, 2004), Cet 1, hal. 496.

Page 45: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

34

Pasal 12

Pemberian atau penolakan pemberian izin untuk melakukan

perceraian atau sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan untuk beristri

lebih dari seorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1),

dilakukan oleh Pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-

lambatnya tiga bulan terhitung mulai ia menerima permintaan izin

tersebut."

Pasal 15

1) Pegawai Negeri Sipil yang melanggar salah satu atau lebih kewajiban/

ketentuan Pasal 2 ayat (1), ayat (2), Pasal 3 ayat (1), Pasal 4 ayat (1),

Pasal 14, tidak melaporkan perceraiannya dalam jangka waktu

selambat-lambatnya satu bulan terhitung mulai terjadinya perceraian,

dan tidak melaporkan perkawinannya yang kedua/ketiga/keempat dalam

jangka waktu selambat-lambatnya satu tahun terhitung sejak

perkawinan tersebut dilangsungkan, dijatuhi salah satu hukuman

disiplin berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980

tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil;

2) Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2)

dijatuhi hukuman disiplin pemberhentian tidak dengan hormat sebagai

Pegawai Negeri Sipil;

Page 46: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

35

3) Atasan yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (2), dan Pejabat yang

melanggar ketentuan Pasal 12, dijatuhi salah satu hukuman disiplin

berat berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang

Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil."

Pegawai Negeri Sipil Pria yang akan beristeri lebih dari seorang,

wajib memperoleh izin dahulu dari pejabat caranya permintaan izin harus

diajukan oleh yang bersangkutan secara tertulis kepada pejabat melalui

saluran hierarki oleh yang bersangkutan, dan harus mencantumkan alasan

lengkap yang mendasari keinginan beristri lebih dari seorang (PP No. 45

Tahun 1990 pasal 4 ayat 1,3,4, sedangkan Pegawai Negeri Sipil wanita

tidak diizinkan untuk mempunyai istri kedua/ketiga/keempat (PP No. 45

Tahun 1990 pasal 4 ayat2).

Setiap atasan yang menerima permintaan izin dari Pegawai Negeri

Sipil dalam lingkungannya, baik untuk melakukan perceraian atau untuk

beristri lebih dari seorang wajib memberikan pertimbangan dan

meneruskan kepada pejabat melalui saluran hierarki dalam jangka waktu

selambat-lambatnya tiga bulan, mulai tanggal ia meneria permintaan izin

tersebut. Sedangkan pemberian atau penolakan pemberian izin untuk

melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang dilakukan oleh

pejabat secara tertulis dalam jangka waktu selambat-lambatnya tiga bulan

terhitung dari menerima permintaan dimaksud.

Page 47: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

36

Sebelum mengambil keputusan pejabat yang menerima permintaan

izin untuk melakukan perceraian atau untuk beristri lebih dari seorang

wajib memperhatikan dengan seksama alasan-alasan yang dikemukakan

dalam surat izin. Jika alasan yang dikemukakan kurang meyakinkan maka

pejabat tersebut harus meminta keterangan tambahan dari istri/suami

Pegawai Negeri Sipil yang mengajukan permintaan izin itu atau dari pihak

yang lain yang dipandang dapat memberikan keterangan meyakinkan.

Untuk memberikan rasa adil maka Pegawai Negeri Sipil yang

melanggar ketentuan yang dimuat dalam PP No 45 Tahun 1990 akan

dijatuhi salah satu disiplin berat dalam PP No. 30 Tahun 1980 tentang

Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil tergantung faktor pelanggarannya.

Khusus bagi Pegawai Negeri Sipil wanita yang melanggar ketentuan pasal

4 ayat 2 (menjadi istri kedua/ketiga/keempat) dijatuhi disiplin

pemberhentian tidak hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil.

e. Instruksi Presiden No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam

(KHI)

KHI memuat masalah poligami ini pada bagian IX dengan judul,

beristri lebih dari satu orang yang diungkap dari pasal 55 sampai 59.25

Pasal 55 dinyatakan:

25

Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan

Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI., hal. 167.

Page 48: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

37

1. Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya

sampai empat orang istri.

2. Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus mampu berlaku

adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.

3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin

dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Lebih lanjut dalam KHI pasal 56 dijelaskan:

1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat izin

dari Pengadilan Agama.

2. Pengajuan permohonan izin dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan

menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun

1975.

3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat

tanpa izin dari pengadilan agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada pasal 57 dijelaskan:

Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada suami yang akan beristri

lebih dari seorang apabila:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibanya sebagai istri.

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat

disembuhkan.

3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan

Page 49: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

38

Pasal 58 menegaskan:

(1) Selain syarat utama yang disebut

Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya

wewenang Pengadilan Agamadalam memberikan keizinan. Sehingga bagi

istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk

berpoligami, persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama.26

Lebih lengkap bunyi pasal tersebut sbb:

Dalam hal istri tidak dapat memberikan persetujuan dan permohonan izin

untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan

yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat

menetapkan tentang memberikan izin setelah memeriksa dan mendengar

istri yang bersangkutan dipersidangan Pengadilan Agama, dan terhadap

penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding ataupun kasasi.

f. KUHPer (BW)

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur adanya

perkawinan poligami karena asas dalam KUHPer adalah monogami.

Seperti yang telah dijelaskan dalam pasal 27 bab perkawinan disebutkan

26

Ibid., hal. 168.

Page 50: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

39

“Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan

mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan

hanya satu orang laki-laki sebagai sumainya”.27

Sebenarnya pasal ini hampir sama dengan pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan yeng memberikan definisi tentang perkawinan. perkawinan

ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai

suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga yang

bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa). Definisi ini

sebenarnya memberikan pemahaman perkawinan adalah akad antara

seorang pria dan wanita yang disimpulkan ini prinsip monogami.

C. Poligami Dalam Hukum Keluarga Islam di Tunisia

1. Sekilas tentang Negara Tunisia

Tunisia merupakan salah satu negara yang terletak di Afrika Utara,

sebelah Barat berbatasan dengan Algeria, Utara dan Timur dengan

Mediterania dan selatan Libya. Tunisia termasuk kepulauan Karkunna untuk

daerah Timur, sementara di bagian Tenggara termasuk kepualauan Djerba.

Tunisia mempunyai penduduk 7.424.000 (data tahun 1986), dan hampir 97%

memeluk agama Islam. Negara yang memiliki luas wilayah 163.610 km

memperoleh kemerdekaan pada tahun1956. Tunisia merupakan negara

27

Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Jakarta: PT. Pradya Pramitra,

1996), hal. 8.

Page 51: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

40

berbentuk republik yang dipimpin oleh seorang Presiden. Dengan presiden

pertama Habib Bourguiba, yang membawahi 23 propinsi. Sebelumnya,

Tunisia merupakan wilayah Otonom dari Pemerintahan Turki Usmani dan

pada tahun 1883 menjadi negara persemakmuran Perancis berdasarkan

perjanjian la marsa, dan pada tahun 1956 Tunisia memperoleh status

merdeka.28

Mayoritas masyarakatnya (sekitar 98 %) adalah muslim Sunni,

bermazhab Maliki dan sebagian Hanafi, karena itu dalam persoalan perdata,

kedua mazhab tersebut sama-sama dipergunakan. Namun banyak di antara

berbagai dinasti yang pernah berkuasa di Tunisia baik asing maupun asli

Tunisia memiliki keyakinan yang berbeda-beda, seperti Dinasti Syi‟ah

Fatimiyah sekitar abad X. Setelah dinasti ini tumbang, praktisi kaum Syi‟ah

menjadi kelompok minoritas. Demikian pula mazhab Hanafi yang

membentuk minoritas kecil di Tunisia, namun memberi pengaruh penting di

negeri ini sampai protektorat Perancis datang pada tahun 1883.29

Langkah nasionalisme bangsa Tunisia dipelopori gerakan kalangan

elit intelektual yang dikenal dengan Young Tunisans, yang bertujuan

mengasimilasi (memadukan) peradaban Perancis sampai akhirnya mereka

28

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih (Jakarta: Ciputat Press, 2003),

hal. 83. 29

Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”.

Page 52: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

41

dapat mengatur negara mereka sendiri. Mereka menggerakkan semangat

egalitarisme, namun Perancis tidak menanggapinya secara serius. Langkah

yang lebih serius dalam gerakan dasar nasionalis yang terjadi hanya sesaat

sebelum dan sesudah Perang Dunia I dalam sebuah gerakan yang dipimpin

oleh Abd al-Aziz Thaalbi. Langkah ketiga datang pada tahun 1930-an saat

seorang pengacara muda, Habib Bourguiba, memutuskan hubungan dengan

DESTOUR PARTY dan memproklamasikan Neo-Destour. Prancis mengakui

otonomi Tunisia pada tahun 1955 dan kemerdekaannya pada Maret 1956.

Pada tahun 1957 negara Tunisia memilih Bourguiba sebagai presiden

pertamanya.30

Setelah merdeka pada 20 Maret 1956, Tunisia segera menyusun

berbagai pembaharuan dan kodifikasi hukum berdasarkan mazhab Maliki dan

Hanafi. Upaya pembaharuan ini didasarkan pada penafsiran liberal terhadap

Syariah, terutama yang berkaitan dengan hukum keluarga. Lahirlah Majallat

al-Ahwal asy-Syakhsiyyah yang kontroversial. Di bawah kepemimpinan

Presiden Habib Bourguiba Tunisia menjadi negara Arab pertama yang

melarang poligami. Majallat itu sendiri mencakup materi hukum

perkawinan, perceraian, dan pemeliharaan anak, yang berbeda dengan

ketetapan hukum Islam klasik. Pada perkembangan selanjutnya, Majallat atau

Undang-Undang Status Personal tahun 1956 ini telah mengalami beberapa

30

Ibid., hal. 40.

Page 53: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

42

kali perubahan, penambahan, dan modifikasi lebih jauh melalui amandemen

Undang-undang sampai dengan tahun 1981. Selanjutnya pemerintah Tunisia

pada saat itu membentuk sebuah komite di bawah pengawasan Syeikh al-

Islam yaitu Muhammad Ju„ayad untuk memberlakukan undang-undang

secara resmi. Syekh Universitas Zaituna juga ikut berpartisipasi dalam komite

tersebut. Dengan menggunakan sumber-sumber yang diperoleh, dari hasil-

hasil komite Lai‟hat, hukum keluarga ala Mesir, Yordania, Syiria, dan Turki

Utsmani. Komite tersebut mengajukan rancangan undang-undang hukum

keluarga kepada pemerintah, dan akhirnya diberlakukanlah undang-undang

tersebut pada tahun 1956.31

2. Poligami di Tunisia

Pasal 18 Undang-undang Hukum Keluarga Tunisia menyatakan

bahwa beristri lebih dari seorang adalah perbuatan yang dilarang. Demikian

pula, undang-undang ini secara tegas menyatakan bahwa seorang pria yang

telah menikah, dan nikahnya belum putus secara hukum, menikah lagi, dapat

diancam hukuman penjara satu (1) tahun atau denda setinggi-tingginya

240.000 Malim.

Adapun dasar larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia,

menurut John L. Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana

perbudakan, merupakan instituti yang selamanya tidak dapat diterima

31

Ibid.,hal. 41.

Page 54: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

43

mayoritas umat manusia di manapun; (2) Ideal al-Qur‟an tentang perkawinan

adalah monogami. Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh

tentang ayat poligami dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, al-

Qur‟an (IV:3) memberi izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi

oleh al-Qur‟an sendiri (IV:129). Dengan demikian, ideal al-Qur‟an adalah

monogami, lebih dari itu, syarat yang diajukan, supaya suami berlaku adil

terhadap istri-istrinya, adalah suatu kondisi yang sangat sulit, bahkan tidak

mungkin dapat terealisasi dengan sepenuhnya.32

Sebelum kehadiran hukum ini para kadi di Tunisia terdiri dari kadi-

kadi bermazhab Hanafi dan bermazhab Maliki, meskipun rakyat pada

umumnya menganut mazhab Maliki. Namun sekarang hukum baru yang

bercorak eklektik ini justru dinyatakan berlaku bagi semua orang Islam (dan

lebih lanjut telah diterima oleh dan dinyatakan berlaku bagi orang-orang

Yahudi), sehingga semua mahkamah dijadikan satu jenis dan semua jurisdiksi

peradilan berada di tangan pengadilan-pengadilan nasional. Presiden

Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang berlaku

di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati nurani

manusia—misalnya tentang poligami dan perceraian yang sekarang diatur

dengan hukum baru itu, dan juga semua masalah yang muncul dalam

kehidupan modern saat ini.” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan

32

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikh, hal. 84.

Page 55: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

44

jiwa dan menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama

sehingga mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai

manusia. Pernyataan ini jelas jauh berbeda dengan pandangan-pandangan dari

kalangan Salaf.33

Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping

seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para

istri, Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil

kepada mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya

sekedar sebuah desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum

bagi poligami, dalam artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat

diizinkan kecuali dan sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana

para istri diperlakukan dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan

ekonomi modern sepertinya sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil.

Ketika kondisi dasar poligami tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara

singkat menyatakan “poligami adalah dilarang.34

3. Poligami dalam Regulasi Perundang-undangan di Tunisia

Hukum keluarga Tunisia telah direformasi dan dikodifikasi setelah

negeri itu memperoleh kemerdekaan. Pada akhir tahun empat puluhan,

beberapa ahli hukum terkemuka Tunisia berfikir bahwa dengan melakukan

33

Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. 34

Ibid., hal. 5.

Page 56: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

45

fusi terhadap mazhab Hanafi dan Mazhab Maliki, sebuah ketentuan hukum

baru mengenai hukum keluarga dapat dikembangkan yang disesuaikan

dengan perkembangan situasi dan kondisi sosial Tunisia. Sekelompok ahli

hukum mengajukan catatan perbandingan antara dua sistem hukum, Hanafi

dan Maliki, dan dipublikasikan dibawah judul Laihat Majallat al Ahkam al

Syar’iyyah (Draft Undang-Undang Hukum Islam). Akhirnya, pemerintah

membentuk sebuah komite dibawah pengawasan Syekh Islam, Muhammad

Ja‟it, guna merancang Undang-Undang secara resmi.

Bersumber dari Laihat dan Undang-Undang Hukum keluarga Mesir,

Jordania, Syiria dan Turki Usmani, panitia tersebut mengajukan Rancangan

Undang-Undang Hukum Keluarga kepada Pemerintah. Rancangan tersebut

akhirnya diundangkan di bawah judul Majallah al Ahwal al Syahsiyyah

(Code of Personal Status) 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan

keseluruh wilayah Tunisia pada tanggal 1 januari 1957.Undang-undang

tersebut berisi tentang perkawinan diantaranya mengenai (usia untuk

menikah, perjanjian perkawinan, poligami, pernikahan yang tidak sah

(invalid), perceraian, talak tiga (Tripel Divorce), nafkah bagi isteri,

pemeliharaan anak), hukum waris, ketentuan wasiat (Bequest).Namun, dalam

perjalannya, undang-undang ini mengalami modifikasi dan perubahan

(amandemen) beberapa kali, yaitu melalui UU No. 70/1958, UU No. 41/1962,

Page 57: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

46

UU No. 1/1964, UU No. 77/1969, dan terakhir, menurut catatan Tahir

Mahmood, mengalami amandemen pada tahun 1981 melalui UU No. 1/1981.

Perlu dicatat pula bahwa walaupun secara umum berlandaskan

mazhab Maliki, UU ini memasukkan pula beberapa prinsip yang berasal dari

mazhab-mazhab hukum Islam lain. Lagi pula, jika dibanding dengan negara-

negara Arab lain, reformasi bidang hukum yang diintroduksikan di Tunisia

lebih revolusioner.35

35

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih , hal. 85-86.

Page 58: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

47

BAB III

KOMPARASI PEMBERLAKUAN SANKSI POLIGAMI ANTARA

INDONESIA DAN TUNISIA

A. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Indonesia

Sejarah terbentuknya aturan poligami di Indonesia tidak lepas dari

sejarah pembentukan aturan tentang perkawinan, hal ini disebabkan poligami

merupakan bagian integral dari perkawinan yang tidak dapat dipisahkan antara

yang satu dengan yang lainnya. Di Indonesia aturan poligami termuat dalam

Undang-Undang No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin

perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun

1990 tentang perubahan atas PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah

Inpres No 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI).

1. Poligami dalam UUD No. 1 Tahun 1974

Lahirnya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

yang berlaku bagi semua warga negara RI tanggal 02 Januari 1974 untuk

sebagian besar telah memenuhi tuntutan Masyarakat Indonesia. Tuntutan ini

sudah dikumandangkan sejak Kongres perempuan Indonesia pertama tahun

1928 yang kemudian dikedepankan dalam kesempatan-kesempatan lainnya,

berupa harapan perbaikan kedudukan wanita dan perkawinan. Masalah-

masalah yang menjadi pusat perhatian pergerakan wanita waktu itu adalah

Page 59: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

48

masalah: (1) perkawinan paksa; (2) poligami (3) Talak yang sewenang-

wenang.36

Tahun 1950 pemerintah RI telah berusaha memenuhi dengan

membentuk panitia yang membuat RUU Perkawinan kemudian dibahas

dalam sidang DPR pada tahun 1958/1959, tapi tidak berhasil berwujud

undang-undang.

Tahun 1973 pemerintah kembali mengajukan RUU tersebut kepada

DPR dan setelah mendapatkan tanggapan pro dan kontra akhirnya dicapailah

satu konsensus yang membawa pengaruh pada sidang-sidang selanjutnya

sehingga tercapai kata mufakat di antara Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

Setelah mendapat persetujuan dari DPR, pemerintah mengundangkan

undang-undang perkawinan tanggal 02 januari 1974.

Pada 01 April 1975, setelah satu tahun 3 bulan undang-undang

perkawinan diundangkan, lahir peraturan pemerintah No. 9 tahun 1975 yang

memuat peraturan pelaksana undang-undang perkawinan tersebut. Dan

dengan demikian, mulai 1 oktober 1975 undang-undang nomor 1 tahun 1974

itu telah dapat berjalan secara efektif.

Pasal 3 ayat (2) RUU ini menyatakan bahwa, pengadilan dalam

lingkungan peradilan umum, selanjutnya dalam undang-undang ini disebut

pengadilan dapat memberi izin pada seorang suami untuk beristeri lebih dari

36

Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan Pasang Surut

(Malang: UIN-Malang Press, 2008), hal.127-128.

Page 60: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

49

seorang, apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Berdasarkan rumusan pasal (3) ayat 2 dan menjelaskan pasal 73 ayat 2 RUU

perkawinan ini jelas jelas bahwa masalah perkawinan akan menjadi

wewenang pengadilan umum.37

2. Poligami dalam PP No. 9 Tahun 1975

PP No. 9 tahun 1975 mengatur tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun

1974. Dalam hal ini, PP No 9 tahun 1975 berperan penting dalam menyokong

pelaksanaan UU Perkawinan. PP No 9 tahun 1975 diundangkan pada tanggal

1 april 1975 yang bertujuan untuk melancarkan pelaksanaan undang-undang

tersebut secara efektif.

PP ini memuat beberapa bab yang memuat pasal-pasal yang masih

berkaitan erat dengan perkawinan. Namun, PP ini lebih spesifik mengatur

tentang prosedural perkawinan itu dan dijelaskan secara spesifik dan

terperinci.

3. Poligami dalam PP No. 10 Tahun 1983 dan PP No. 45 Tahun 1990

PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur tentang izin perkawinan dan

perceraian Pegawai Negeri Sipil . PP No. 10 tahun 1983 ini mengatur secara

terperinci tentang prosedur perkawinan dan perceraian dikalangan Pegawai

37

Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam, Hk. Barat,

dan Hk. Adat) dalam Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut Lembaga Peradilan Agama Hingga

Lahirnya Peradilan Syriat Islam Aceh (Jakarta : Kencana, 2010), hal. 83.

Page 61: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

50

Negeri Sipil (PNS).38

PP ini dibuat sebagai pelaksana dari undang-undang

perkawinan. Dalam PP ini diatur Pegawai Negeri Sipil yang berniat bercerai

atau menikah lagi harus memperoleh izin dari atasannya, pegawai negeri juga

dilarang “hidup bersama diluar nikah” bila dilanggar sangsinya

pemecatan.39

PP ini terbit tanggal 21 April 1983.

Sedangkan PP No. 45 tahun 1990 terbit pada tanggal 6 september

1990 yang bertujuan memperkuat PP No. 10 tahun 1983. PP ini dinilai tidak

banyak manfaatnya, karena dalam salah satu pasalnya menyebutkan bahwa

Pegawai Negeri Sipil perempuan dilarang sama sekali menjadi istri kedua,

ketiga, dan keempat hal ini dianggap memperlemah posisi pegawai

perempuan bila dihadapkan pada situasi harus menjadi istri kedua suatu hal

yang sering tak terhindarkan.40

Pada tanggal 5 desember 2006 Presiden berencana memberlakukan

PP No. 10 tahun 1983 dan PP No.45 tahun 1990 untuk seluruh masyarakat,

tak hanya Pegawai Negeri Sipil, rencana rencana ini ditentang oleh sejumlah

tokoh Islam. presiden kemudian minta agar masalah perkawinan dan

poligami ini dikembalikan ke UU dan PP yang ada.

38

Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi Kasus Hukum

Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan, 1993), hal . 359. 39

Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006), hal. 110. 40

Nurhayati, Pasang Surut Aturan Poligami, hal. 110.

Page 62: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

51

4. Poligami dalam Inpres No 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum

Islam (KHI)

Kebutuhan akan adanya KHI bagi pengadilan agama sudah lama

menjadi catatan dalam sejarah Departemen Agama. Usaha dalam penyusunan

KHI adalah merupakan bagian upaya kita dalam rangka mencari pola fikih

yang bersifat khas Indonesia atau fiqih yang bersifat kontekstual, maka proses

ini telah berlangsung lama sekali sejalan dengan perkembangan hukum Islam

di Indonesia. Menurut Bustanul Arifin seorang ketua Hakim Agung

mengatakan bahwa ide-ide Kompilasi Hukum Islam timbul setelah berjalan

dua setengah tahun Mahkamah Agung membina bidang teknik yudistial

Pengadilan Agama.

Dari upaya-upaya tersebut ada beberapa tahapan-tahapan sehingga

lahirnya KHI:

a. Periode awal sampai tahun 1945

Pada zaman penjajahan VOC kedudukan Hukum Islam dalam

bidang kekeluargaan diakui bahkan dikumpulkan dalam sebuah peraturan

yang dikenal dengan frever Compendium (1760 M). Selain itu telah dibuat

pula kumpulan hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah

Cirebon, Semarang, Makasar.

Di Indonesia kita mengenal adanya hukum adat dimana hukum

adat menjadi sebuah patokan sehingga timbulnya hukum Islam.

Page 63: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

52

Belakangan aliran hukum adat yang dipelopori oleh Voller Hoven, Ferhar

dan juga Snouck Hourgrounye, menentang teori Receptie In Complexu.

Dengan teori resepsinya yang menyatakan bahwa hukum Islam baru

diberlakukan bagi pribumi apabila sudah diterima oleh hukum adat.

Mereka berhasil memasukan prinsip teori itu kedalam UUD Hindia

Belanda yang baru (IS-Indisches Staatregeling 1919) dalam pasal 134 ayat

2 yang berbunyi:

Dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan

diselesaikan oleh hakim agama Islam, apabila keadaan tersebut telah

diterima oleh hukum adat mereka dan sejauh tidak ditentukan oleh

ordonansi.

Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 membentuk sebuah

komisi untuk meninjau kedudukan dan wewenang dari priesterrad.

Diketuai oleh wakil penasehat urusan pribumi dan Islam, dua orang bupati,

dua orang penghulu, seorang tokoh pergerakan Islam dan juri Belanda

(Terhater). Setelah bekerja selama empat tahun maka pada tahun 1926

komisi itu menyampaikan hasil kerjanya, berupa sebuah rancangan

ordonansi tentang penghoeleogerecht (pengadilan penghulu) yang baru

diumumkan dengan stb. 1931 No. 153.

Kemudian pada saat yang bersamaan penguasa Hindia Belanda

melakukan tindakan yang dapat diambil manfaatnya oleh Al-Tasyrifil

Page 64: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

53

Munakahat yaitu mempertegas kebiasaan pencatatan nikah, talak, rujuk

(NTR) dengan adanya berbagai ordonansi.

b. Periode 1945 sampai dengan tahun 1985

Pemerintah Republik Indonesia menemukan kenyataan bahwa

hukum Islam yang berlaku itu tidak tertulis dan terserak-serak di berbagai

kitab yang sering berbeda tentang hal yang sama antara satu dnegan yang

lain. Pada tanggal 22 November 1946 di Linggarjati (Cirebon) oleh

presiden RI ditetapkan UU No. 22 tahun 1946 tentang penyatuan

pencatatan NTR (Nikah, Talaq, Cerai) menggantikan ordonansi-ordonansi

perkawinan yang sebelumnya. Ini merupakan undang-undang pertama

dalam sejarah kemerdekaan, yang jelas menyangkut pelaksanaan syariat

Islam, sekalipun belum memasuki materi hukum perkawinannya sendiri.

Pada saat itu dipisahlah fungsi penghulu selaku kepala pencatat nikah

dengan hakim atau ketua pengadilan agama dengan penetapan menteri No.

6 tahun 1947 atas usul konferensi jawatan urusan agama se-Jawa dan

Madura tanggal 12-16 Desember 1947 di Yogyakarta. Setelah pengakuan

kedaulatan dengan terbentuknya RIS serta Negara kesatuan. Pelaksanaan

UU No.22 tahun 1946 tentang pencatatan NTR ini. Diberlakukan untuk

seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954.

Pada tahun 1970 dalam pola pembangunan nasional sementara

berencana disebutkan adanya lingkungan peradilan yang harus didasarkan

Page 65: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

54

pada kriteria zakelijk yaitu (a) Umum (b) Agama dan (c) Militer yang

kemudian ditambah dengan saran MPRS tentang diadakannya peradilan

administrasi dan pokok fikiran yang disusun oleh para praktisi hukum.

Penyusuan perundang-undangan semasa orde lama itu ternyata dapat

bertahan sampai orde baru, sehingga lahirnya UU No. 14 tahun 1970 yang

menegaskan adanya empat lingkungan peradilan.

Proses penyusuan undang-undang perkawinan 1974 merupakan

sebuah uji coba bagi pemerintah orde baru dan Golkar tentang pandangan

dan penilaian mereka terhadap Islam. maka setelah presiden Soeharto

menegaskan pendiriannya (Isra Mi‟raj di Masjid Istiqlal 26 agustus 1973)

bahwa tidak mungkin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan

yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang

ada di Indonesian dan bahwa tidak benar RUU perkawinan yang diajukan

oleh pemerintah itu bertentangan dnegan agama Islam. Maka tidak ada lagi

perbedaan pandangan diantara anggota yang beragama Islam baik ia

Golkar, PPP, PDI, atau ABRI.

Menjelang akhir tahun 1987 telah terbentuk instansi Peradilan

Agama di seluruh Indonesia (kecuali Timor Timur). Sesuai dengan

pemekaran daerah tingkat II, dan hampir di semua ibukota propinsi sudah

dibentuk Pengadilan Tinggi Agama yang secara fisik sekitar 92% telah

menempati gedungnya sendiri. Adapun penyusunan RUU Peradilan

Page 66: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

55

Agama sampai pada pengesahan di Forum DPR merupakan hasil kerja

sama yang kompak sekali antara Departemen Agama, Mahkamah Agung

dan Departemen Kehakiman suatu suasana yang tidak mungkin

terbayangkan dapat tejadi pada masa orde lama.

c. Periode 1985 sampai sekarang

Periode ini dimulai sejak ditandatangani surat keputusan bersama

ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama RI tentang penunjukan

pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam melalui Yurisprudensi

No. 07/KMA/1985 DAN No. 25 tahun 1985 tanggal 25 Maret 1985 di

Yogyakarta.

Di dalam bukunya Bustanul Arifin mengatakan bahwa ide KHI

timbul setelah berjalan dua setengah tahun Mahkamah Agung membina

bidang teknis yustisial peradilan agama. Berdasarkan keterangan tersebut

telah tampak bahwa ide untuk mengadakan KHI ini memang baru muncul

sekitar tahun 1985 dan kemunculannya ini merupakan hasil kompromi

antara pihak Mahkamah Agung dengan Departemen Agama. Tugas

pembinaan ini didasarkan pada UU No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan

pokok kekuasaan kehakiman pasal 11 ayat 1 yang mengatakan bahwa

orgnaisasi administrasi dan keuangan pengadilan dilakukan oleh

departemen masing-masing. Sedangkan pembinaan teknis yustisial

dilakukan oleh MA. Selama pembinaan teknis yustisial Peradilan Agama

Page 67: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

56

oleh Mahkamah Agung terasa adanya beberapa kelemahan antara lain soal

hukum Islam yang diterapkan di lingkungan Peradilan Agama yang

cenderung simpang siur disebabkan oleh perbedaan pendapat ulama dalam

hampir setiap persoalan.

Melalui keputusan bersama ketua Mahkamah Agung dan Menteri

Agama tanggal 21 Maret 1985 No. 07/KMA/1985 No. 25 tahun 1985

tentang penunjukkan pelaksanaan proyek pembangunan hukum Islam

melalui yurisprudensi dimulailah kegiatan proyek dimaksud yang

berlangsung untuk jangka waktu dan tahun. Menurut lampiran surat

keputusan bersama tanggal 21 maret 1985 ditentukan bahwa tugas-tugas

proyek tersebut adalah untuk melaksanakan usaha pembangunan hukum

Islam melalui yurisprudensi dengan jalan kompilasi hukum. Sasarannya

mengkaji kitab yang digunakan sebagai landasan putusan-putusan hakim

agar sesuai dengan perkembangan masyarakat Indonesia untuk menuju

hukum nasional. seperti yang sudah diketahui Kompilasi Hukum Islam

(KHI), terdiri atas tiga buku. Buku I tentang perkawinan, Buku II tentang

kewarisan, Buku III tentang perwakafan.

Keberanian KHI mengambil alih aturan tersebut merupakan

langkah maju secara dinamis, aktualisasi hukum Islam di bidang poligami,

keberanian untuk mengaktualkan dan membatasi kebebasan poligami

Page 68: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

57

didasarkan atas alasan ketertiban umum.41

Hukum poligami adalah boleh,

dan kebolehan itupun harus ditelusuri sejarah digantungkan, pada situasi

dan kondisi masa permulaan Islam.42

B. Sejarah Terbentuknya Aturan Poligami di Tunisia

Latar belakang terjadinya reformasi dan kodifikasi hukum Islam di

Tunisia, tidak banyak berbeda dengan proses yang terjadi di Mesir dan negara-

negara Timur Tengah lain. Sebelum dominasi Turki Usmani di Tunisia, sebagian

besar umat Islam Tunisia mengikuti ketentuan-ketentuan hukum Islam menurut

mazhab Maliki. Akan tetapi setelah secara resmi pemerintah Turki mengadopsi

mazhab Hanafi untuk wilayah Tunisia, akhirnya mazab Hanafi pun berpengaruh

juga di Tunisia. Konsekuensinya kasus-kasus tertentu harus diputuskan menurut

sistem hukum yang dianut oleh para pihak yang mengajukan perkara ke

pengadilan. Karena itu, dalam lembaga peradilan terdapat dua majlis hakim,

yaitu dari mazhab Hanafi dan dari mazhab Maliki yang berwenang terhadap

yurisdiksi masing-masing.

Sejak tahun 1883, Tunisia berada dalam dominasi politik Prancis, yang

ternyata berpengaruh pula dalam bidang hukum. Selama periode ini, budaya

hukum di Tunisia mengalami pem-Barat-an secara luas. Hukum perdata, hukum

pidana, hukum dagang dan hukum Acara yang berlaku sampai tahun 1956

41

Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi hukum Islam Dalam Tata Hukum

Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2000), hal.101. 42

Ibid.,hal. 101.

Page 69: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

58

menggambarkan secara jelas prinsip-prinsip yurisprudensi dan Hukum Perdata

Prancis. Alam kemerdekaan membawa Tunisia mempunyai kesempatan

memodifikasi beberapa ketentuan hukum pra kemerdekaan di samping membuat

hukum-hukum baru, baik hukum perdata maupun hukum pidana.43

Ada sejumlah alasan pembentukan dan pemberlakuan UU baru Tunisia tersebut,

yaitu:

1) Untuk menghindari pertentangan antara pemikir mazhab Hanafi dan Maliki;

2) Untuk penyatuan pengadilan menjadi pengadilan nasional, sehingga tidak ada

lagi perbedaan antara Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri;

3) Untuk membentuk undang-undang modern, sebagai referensi para hakim;

4) Untuk menyatukan pandangan masyarakat secara keseluruhan yang

diakibatkan adanya perbedaan dari mazhab klasik;

5) Untuk memperkenalkan undang-undang baru yang sesuai dengan tuntutan

modernitas;

Undang-Undang Tunisa tersebut berlaku bagi semua warga negara

Tunisia, khususnya setelah tercapai kesepakatan dengan Perancis pada 1 Juli

1957.dari berbagai pembaharuan yang terdapat dalam UU baru ini, ada dua hal

yang (awalnya) mendapat respon negatif dari sejumlah kalangan, yaitu larangan

poligami dan keharusan perceraian di pengadilan.

43

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam Modern : Studi

Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-kitab fikih, hal. 85.

Page 70: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

59

Berkaitan dengan kriminalisasi poligami di Tunisia, pasal 18

menyatakan:

1) Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan

pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan

hukuman penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau

kedua-duanya.

2) Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3

Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan

kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan

hukuman yang sama.

3) Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai hukuman,

menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman yang

sama.

UU mengenai Status Perorangan tahun 1957 Tunisia di atas secara tegas

menetapkan bahwa poligami dilarang. Larangan ini konon mempunyai landasan

hukum pada ayat lain dalam Alquran, yang menyatakan bahwa seorang laki-laki

wajib menikah dengan seorang istri jika dia yakin tidak mampu berbuat adil

kepada istri-istrinya (Q.S. an-Nisa [4] : 3). Ternyata, baik dari pengalaman

maupun pernyataan wahyu (Q.S. an-Nisa [4]: 129), keadilan yang dimaksud

tidak akan dapat dipenuhi. Akan tetapi perlu ditambahkan bahwa para fuqaha’

salaf, dengan alasan cukup masuk akal, menyatakan bahwa Alquran tidak dapat

Page 71: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

60

begitu saja dianggap bertentangan dengan diri sendiri; dan, karena itu, keadilan

yang dituntut oleh “ayat poligami” tersebut harus ditafsirkan sebagai hal-hal

yang dapat dilakukan oleh suami, dan bukan perasaan batin (cinta)nya.44

Pelarangan poligami ini terkait dengan prinsip pernikahan yang

diperdebatkan kalangan ulama Tunisia dan para pembaharu di negeri itu.

Menurut para pembaharu Tunisia, prinsip pernikahan dalam Islam adalah

monogami, bukan poligami. Praktik poligami di Tunisia, menurut para

pembaharu Tunisia, selalu menyuguhkan fenomena kehidupan yang tidak

menyenangkan. Banyak kaum perempuan dan anak-anak yang terlantar. Karena

itu, beberapa negara Islam seperti Maroko, Aljazair, dan Mesir memperketat

praktik poligami. Tunisia bahkan secara tegas melarangnyadan menghukum

pelakunya dengan hukuman penjara dan atau denda dengan sejumlah uang.45

Tunisia dapat dianggap contoh terdepan bagaimana, pasca 1945,

pembaruan cenderung lebih didasarkan pada hal yang dinyatakan sebagai hak

negara Muslim, lewat penguasanya, untuk berijtihad. Tunisia menghapus hak

poligami melalui Pasal 18 UU Status Personal Tunisia 1956, yang didasarkan

pada penafsiran ulang Surat an-Nisa ayat 3. Tunisia menyamakan keadilan tidak

saja dengan nafkah (topangan finansial), namun juga dengan cinta dan kasih

sayang. Dinyatakan pula bahwa hanya Nabi saw. yang dapat berlaku adil kepada

44

Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. 45

Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam (Bandung: Pustaka

Al-Fikriis, 2009), hal. 110.

Page 72: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

61

dua orang istri dengan cara demikian; oleh karena itu, dalam kondisi sekarang,

anggapan tak terbantahkannya adalah bahwa seorang suami muslim tidak

mungkin memenuhi persyaratan Alquran.

Apa yang dilakukan oleh Tunisia dengan menerapkan UU tersebut,

menurut Atho Mudzhar sebagaimana dikutip Fauzul Iman, bukan berarti telah

keluar dari hukum Islam, akan tetapi lebih dilihat dari apa yang

melatarbelakangi lahirnya UU tersebut.46

C. Komparasi Sanksi Poligami Antara Indonesia dan Tunisia

Dari uraian di atas dapat diperoleh pemahaman bahwa langkah

kriminalisasi poligami di dua negara muslim Indonesia dan Tunisia di atas telah

menunjukkan suatu keberanjakan Hukum Keluarga dari aturan doktrin hukum

Islam konvensional. Pemberlakuan sanksi hukum menjadi salah satu ciri dalam

UU hukum keluarga di negara-negara Muslim modern.

Salah satu langkah reformasi Hukum Keluarga di negara-negara Muslim

modern adalah meninjau kembali sejumlah ketentuan hukum Islam klasik yang

dianggap sudah tidak relevan dengan kondisi sosial dan tuntutan perubahan

modern. Demikian pula halnya dalam masalah poligami. Aturan fikih

konvensional yang menjadi referensi selama berabad-abad kini ditinjau kembali

46

Ibid., hal. 5.

Page 73: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

62

dan digantikan dengan produk legislasi yang tampaknya diarahkan pada upaya

mengangkat status wanita dan merespon tuntutan dan perkembangan zaman.47

Begitupun di Negara Indonesia yang dikenal sebagai negara muslim

terbesar, dalam hal poligami sangat diperketat dengan sejumlah alasan yang

disusun dalam Undang-undang. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan

asalkan dipenuhi beberapa alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh

undang-undang. Asas yang dianut UU Perkawinan di Indonesia yakni asas

monogami. Menurut Yahya Harahap monogami yang tidak bersifat mutlak.

Poligami ditempatkan di status hukum yang darurat (emergency law), atau dalam

keadaan yang luar biasa (extra ordinary circumstance). Di samping itu lembaga

poligami tidak semata-mata kewenangan penuh suami tetapi atas dasar izin dari

hakim (pengadilan). Hal ini bertujuan mengatur, membatasi dan berusaha lebih

melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada dalam

posisi yang lebih lemah.

Dalam hal sanksi Sampai saat ini, UU Nomor 1 Tahun 1974 memang

belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang menikah lagi tanpa izin

Pengadilan Agama (PA).48

Ada ketentuan sanksi yang khusus diatur hanya untuk

kalangan tertentu yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil)/atasan ketentuan inidiatur

dalam Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU

47

Ibid., hal. 32. 48

Lia Noviana, Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat

Islam,ejournal.umum.ac.id/.../1184_umum_Screntific_journal. Diakses pada 09 januari 2014 jam

18:59

Page 74: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

63

No.1/1974, disebutkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat

dijatuhi hukuman denda Rp. 7.500,-.49

Sanksi hukum juga dikenakan kepada

petugas pencatat yang melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang

akan berpoligami tanpa izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3

bulan atau denda maksimal Rp. 7.500,-.50

Ketentuan sanksi baru akan ditetapkan dalam draf Rancangan Undang-

Undang tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang

masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010. RUU

itu memuat ketentuan pidana (pasal 143-153) hukuman pidana tersebut mulai

dari 6 bulan hingga 3 tahun dan denda mulai dari Rp 6 juta hingga Rp 12 juta.51

Sedangkan di Tunisia, poligami menjadi barang terlarang bagi pria.

Ketentuan yang melarang poligami di Tunisia diatur dalam Undang-Undang

Status Perorangan (The Code of Personal Status) tahun 1956 pasal 18. Dalam

pasal ini dinyatakan dengan tegas bahwa poligami dalam bentuk apapun dan

dengan alasan apapun dinyatakan sebagai hal yang terlarang dan siapa yang

melanggarnya maka ia dapat dipenjara selama 1 tahun atau denda 24.000 Francs.

Presiden Bourguiba secara terang-terangan menyatakan bahwa “ide-ide yang

berlaku di masa lampau, pada saat sekarang ternyata bertentangan dengan hati

nurani manusia” Ia menyatakan bahwa Islam telah membebaskan jiwa dan

49

Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 1975 Pasal 45 ayat (1) 50

Peraturan Pemerinta Pasal 45 ayat (2) 51

Nasional.Kompas, “Program Legislasi Nasional”, artikel ini diakses pada 24 februari 2014 dari

http//:Nasional.Kompas.Com.

Page 75: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

64

menyuruh manusia untuk meninjau kembali hukum-hukum agama sehingga

mereka dapat menyesuaikannya dengan kemajuan yang dicapai manusia.

Selain itu, para reformis di Tunisia menegaskan bahwa di samping

seorang suami harus memiliki kemampuan finansial untuk menghidupi para istri,

Alquran juga mensyaratkan pelaku poligami harus dapat berlaku adil kepada

mereka. Aturan Alquran ini juga harus ditafsirkan, tidak hanya sekedar sebuah

desakan moral, namun merupakan preseden kondisi hukum bagi poligami, dalam

artian bahwa tidak satupun perkawinan kedua dapat diizinkan kecuali dan

sampai terbukti dapat berlaku sama (egaliter) dimana para istri diperlakukan

dengan adil. Namun melihat kondisi sosial dan ekonomi modern sepertinya

sikap adil merupakan suatu hal yang mustahil. Ketika kondisi dasar poligami

tidak dapat terpenuhi Hukum Tunisia secara singkat menyatakan “poligami

adalah dilarang.

Tabel Komparasi poligami

No Komparasi Indonesia Tunisia

1

Poligami Diperketat dengan

persyaratan alternatif dan

komulatif yang ditentukan

dalam UU

Mutlak dilarang

2 Sanksi Hanya berlaku untuk

PNS/TNI/POLRI

Berlaku untuk semua warga

Tunisia

3

UUD yang

mengatur

PP No. 9 tahun 1975 tentang

pelaksanaan UU No. 1/1974

Pasal 45

Majallah al-ahwal al-

syahsiyyah (code of personal

status) 1956 Pasal 18

4

Hukuman Denda Rp 7.500,- dan

kurungan penjara maks. 3

bulan

Denda 240.000 Maliin dan

kurungan penjara selama satu

tahun

Page 76: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

65

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari Uraian yang telah penulis paparkan pada bab-bab sebelumnya,

maka sebagai akhir dari bagian penelitian ini penulis akan menarik kesimpulan

untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.

Pertama, Poligami menurut aturan hukum di Indonesia dibatasi dengan

ketat. Beristeri lebih dari satu orang dapat dibenarkan asalkan dipenuhi beberapa

alasan dan syarat tertentu yang ditetapkan oleh undang-undang. Asas yang

dianut UU Perkawinan di Indonesia yakni asas monogami. Menurut Yahya

Harahap monogami yang tidak bersifat mutlak. Poligami ditempatkan di status

hukum yang darurat (emergency law), atau dalam keadaan yang luar biasa (extra

ordinary circumstance). Hal ini bertujuanmengatur, membatasi dan berusaha

lebih melindungi dan menjamin hak-hak kaum perempuan yang sering berada

dalam posisi yang lebih lemah.Pemerintah Indonesia meregulasi prosedur

poligami dengan persyaratan alternatif dan kumulatif yang harus dipenuhi oleh

para pihak yang ingin berpoligami melihat dari kenyataan perilaku masyarakat

yang berubah sehingga ketentuan poligami di Indonesia diperketat agar ketika

Page 77: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

66

seseorang hendak melakukan poligami akan lebih berfikir ulang daripada

konsekuensinya.

Sedangkan di Negara Tunisia, Poligami mutlak dilarang. Adapun dasar

larangan poligami yang digunakan Pemerintah Tunisia, menurut John L.

Esposito, adalah: (1) bahwa poligami, sebagaimana perbudakan, merupakan

instituti yang selamanya tidak dapat diterima mayoritas umat manusia di

manapun; (2) Asas mendasar Al-Qur‟an tentang perkawinan adalah monogami.

Di sini, menurut Esposito, pandangan Muhammad Abduh tentang ayat poligami

dirujuk oleh pemerintah Tunisia. Menurut Abduh, Al-Qur‟an (IV:3) memberi

izin utuk beristeri 4 orang secara serius telah dibatasi oleh Al-Qur‟an sendiri

(IV:129). Praktik poligami di Tunisia, menurut para pembaharu Tunisia, selalu

menyuguhkan fenomenakehidupan yang tidak menyenangkan. Banyak kaum

perempuan dan anak-anak yang terlantar. Karena itu, Tunisia secara tegas

melarang praktik poligami dan menghukum pelakunya dengan hukuman penjara

dan atau denda dengan sejumlah uang.

Kedua, Di Indonesia, ketentuan poligami termuat dalam Undang-Undang

No 1 tahun 1974, PP No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian

bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS), PP No. 45 tahun 1990 tentang perubahan atas

PP No 10 tahun 1983, dan yang selanjutnya adalah Inpres No 1 tahun 1991

tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI). Sedangkan di Tunisia Ketentuan yang

melarang poligami diatur dalam Majallah al Ahwal al Syahsiyyah (Code of

Page 78: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

67

Personal Status) 1956, berisi 170 pasal, 10 buku dan diundangkan keseluruh

wilayah Tunisia pada tanggal 1 januari 1957.UU mengenai Status Perorangan

tahun 1957 pasal 18 secara tegas menetapkan bahwa poligami dilarang dan

menerapkan sanksi hukum terhadap pelaku poligami.

Ketiga, sampai saat ini, di Indonesia UU Nomor 1 Tahun 1974 memang

belum mengatur sanksi pidana bagi suami yang menikah lagi tanpa izin

Pengadilan Agama. ketentuan sanksi di Indonesia hanya berlaku untuk kalangan

tertentu yakni PNS (Pegawai Negeri Sipil)/atasan. ketentuan ini diatur dalam

Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No.1/1974,

disebutkan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan dapat dijatuhi hukuman

denda Rp. 7.500,-. Sanksi hukum juga dikenakan kepada petugas pencatat yang

melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan berpoligami tanpa

izin Pengadilan dengan hukuman kurungan maksimal 3 bulan atau denda

maksimal Rp. 7.500,-.Sedangkan di Tunisia aturan sanksi poligami berlaku bagi

seluruh warga Tunisia, aturan ini diatur dalam pasal 18 yang menyatakan, (1)

Poligami dilarang, siapa saja yang telah menikah sebelum perkawinan

pertamanya benar-benar berakhir, lalu menikah lagi, akan dikenakan hukuman

penjara selama satu tahun atau denda sebesar 240.000 malim atau kedua-duanya.

(2) Siapa yang telah menikah, melanggar aturan yang terdapat pada UU No. 3

Tahun 1957 yang berhubungan dengan aturan sipil dan kontrak pernikahan

kedua, sementara ia masih terikat perkawinan, maka akan dikenakan hukuman

Page 79: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

68

yang sama. (3) Siapa yang dengan sengaja menikahkan seseorang yang dikenai

hukuman, menurut ketentuan yang tak resmi, ia bisa juga dikenakan hukuman

yang sama.

B. Saran-saran

Sebagai catatan akhir maka penulis akan memberikan saran:

Aturan poligami di Indonesia atau dalam hal ini aturan perkawinan ke depan

diharapkan bisa menampung semua aspirasi berbagai pihak terutama pihak

perempuan.

Masalah denda atau hukuman bagi pelanggar aturan poligami perlu ditinjau

kembali, selama ini denda atau hukuman bagi pelaku poligami yang tidak

sesuai dengan syarat dan ketentuan yang berlaku terlalu kecil. Sedangkan

kalau kita perhatikan praktik poligami banyak sisi negatifnya, karena

poligami sering menimbulkan masalah dalam keluarga, selain itu sebagai

negara hukum kepastian hukum harus ada dan supermasi hukum harus benar-

benar ditegakkan dan hukum bukan hanya sebagai hiasan belaka.

Pengetahuan Perbandingan Hukum Keluarga Islam ini sangat penting di

Indonesia, karena seringkali kita memperdebatkan sesuatu hal yang oranglain

di Negara lain telah menyelesaikan masalah ini puluhan tahun.

RUU MPA yang sudah mengatur tentang Kriminalisasi Poligami hendaklah

segera diajukan untuk disahkan menjadi Undang-Undang, sebagai

kelengkapam UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Page 80: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

69

Daftar Pustaka

Abdul Manan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006)

Ahmad Sutarmadi, Mesraini, Administrasi Pernikahan dan Manajemen Keluarga,

(Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2006

Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1991.

Anif Rahmawati,”Kriminalisasi Praktek poligami di Indonesia”, Artikel diakses

pada 19 November

2013darihttp://Aneifrahmawati.blogspot.com/2011_11_archive.html.

Asep Muhammad Amin Suma, Himpunan Undang-Undang Perdata Islam, (Jakarta:

Pt Raja Grafindo Persada, 2004), Cet Pertama

Dadan Muttaqien, dkk, Peradilan Agama dan Kompilasi hukum Islam Dalam Tata

Hukum Indonesia, (Yogyakarta: UII Press, 2000).

Djalil Basiq, Peradilan Agama di Indonesia: Gemuruhnya Politik Hukum (Hk. Islam,

Hk. Barat, dan Hk. Adat) da;am Rentang Sejarah Bersama Pasang Surut

Lembaga Peradilan Agama Hingga Lahirnya Peradilan Syriat Islam

Aceh. (Jakarta : Kencana, 2010)

H.M. Nurul Irfan, Nasab & Status Anak dalam Hukum Islam, (Jakarta: AMZAH,

2013)

Kitab Undang-Undang Dasar 1945

Page 81: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

70

Lia Noviana, Persoalan Praktik Poligami dalam Masyarakat Islam,

ejournal.umum.ac.id/.../1184_umum_Screntific_journal. Diakses pada 09

januari 2014 jam 18:59

M. Atho Mudzhar dan Khairuddin Nasution, Hukum Keluarga di Dunia Islam

Modern : Studi Perbandingan dan Keberanjakan UU Modern dari Kitab-

kitab fikih

Nunuy Nurhayati, “Pasang Surut Aturan Poligami, Tempo, (Desember 2006).

Nuruddin, Amir dan Akma, Azhari. Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974 sampai KHI.

Jakarta: Kencana, 2004

Repository.usu.ac.id/Latar Belakang Masalah Perkawinan, artikeldiakses pada 19

November 2013, dari http://repository.usu.ac.id/bitstream.html

Saeupuddin Jahar,dkk, Hukum Keluarga, Pidana&Ekonomi, Kajian Perundang-

Undangan Indonesia, fikih dan Hukum Internasional, Jakarta, Kencana,

2003, Cet. Pertama

Subekti dan Tjicrosudibyo, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.

Pradya Pramitra, 1996)

Sudirman Tebba, Perkembangan Mutakhir Hukum Islam di Asia Tenggara: Studi

Kasus Hukum Keluarga dan Pengkodifikasiannya, (Bandung: Mizan,

1993)

Page 82: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum

71

Supriyadi, Dedi dan Mustofa. Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Islam.

Bandung: Pustaka Al-Fikriis, 2009

Tim Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi III, Balai Pustaka, Jakarta,

2001.

Yayan Sopyan, Islam Negara (Transformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional), Jakarta , PT. Wahana Semesta Intermedia, cet. Kedua

Zaki Saleh, “Kriminalisasi Trend Reformasi Hukum Islam”. Artikel diakses pada 19

November 2013 dari http://publik-

syariah.blogspot.com/2011/04/Kriminalisasi-trend-reformasi.html

Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama di Indonesia dalam Rentang Sejarah dan

Pasang Surut (Malang: UIN-Malang Press, 2008), h.127-128

Nasional.Kompas.Com/read/.../sitemap.artikel ini diakses pada 24 februari 2014, dari

http//:Nasional.Kompas.com

www.hukumonline.com, diakses pada tanggal 09 Januari 2014

Page 83: Kriminalisasi Poligami dalam Hukum Keluarga di Dunia Islam ...repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/45048/1/DINDA... · v ABSTRAK . Kriminalisasi Poligami Dalam Hukum