bab ii kajian pustaka - perpustakaan digital...

56
II-1 BAB II KAJIAN PUSTAKA Industri Jasa Konstruksi 2.1.1 Peran Industri Jasa Konstruksi Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan suatu bangsa. Industri jasa konstruksi memiliki peran dominan dalam membentuk lingkungan terbangun (built environment) dari suatu negara. Industri jasa konstruksi sangat penting dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk industri jasa konstruksi seperti berbagai bangunan infrastruktur merupakan kebutuhan mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat (Henriod, 1984). Menurut Parikesit dan Suraji (2005), kerangka industri (usaha) jasa konstruksi merupakan salah satu bagian dari kerangka teoritis sektor kontruksi selain kerangka perdagangan (pengusahaan/pasar/demand) suatu produk konstruksi, dimana modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumberdaya manusia, teknologi dan model proses bisnis serta informasi pasar, akses pasar, sistem transaksi dan penjaminan kualitas. Industri jasa konstruksi juga telah menjadi salah satu industri penting dari perekonomian nasional. Di berbagai negara, industri jasa konstruksi mampu berkontribusi terhadap GFCF ( Gross Fixed Capital Formation) sampai 70-80% dan 5-9% GDP ( Gross National Product ). Pentingnya industri jasa konstruksi bagi ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988; World Bank, 1984): 1. Produk Domestik Bruto (PDB). Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, industri konstruksi berkontribusi 3-8% terhadap PDB.

Upload: danghuong

Post on 16-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-1

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Industri Jasa Konstruksi

2.1.1 Peran Industri Jasa Konstruksi

Industri jasa konstruksi memiliki arti penting dan strategis dalam pembangunan suatu

bangsa. Industri jasa konstruksi memiliki peran dominan dalam membentuk

lingkungan terbangun (built environment) dari suatu negara. Industri jasa konstruksi

sangat penting dalam kontribusinya pada proses pembangunan, dimana hasil produk

industri jasa konstruksi seperti berbagai bangunan infrastruktur merupakan kebutuhan

mutlak pada proses pembangunan dan peningkatan kualitas hidup masyarakat

(Henriod, 1984). Menurut Parikesit dan Suraji (2005), kerangka industri (usaha) jasa

konstruksi merupakan salah satu bagian dari kerangka teoritis sektor kontruksi selain

kerangka perdagangan (pengusahaan/pasar/demand) suatu produk konstruksi, dimana

modalitas dari sektor konstruksi adalah kapital, sumberdaya manusia, teknologi dan

model proses bisnis serta informasi pasar, akses pasar, sistem transaksi dan

penjaminan kualitas.

Industri jasa konstruksi juga telah menjadi salah satu industri penting dari

perekonomian nasional. Di berbagai negara, industri jasa konstruksi mampu

berkontribusi terhadap GFCF ( Gross Fixed Capital Formation) sampai 70-80% dan

5-9% GDP ( Gross National Product ). Pentingnya industri jasa konstruksi bagi

ekonomi nasional dapat dilihat dari beberapa indikator berikut (Hillebrandt, 1988;

World Bank, 1984):

1. Produk Domestik Bruto (PDB).

Studi oleh Turin and Edmonds (Hillebrandt, 1985) mengindikasikan bahwa

kontribusi industri konstruksi terhadap PDB berkisar antara 3-10%, umumnya

akan lebih rendah di negara berkembang dan lebih tinggi di negara maju. Menurut

Bank Dunia (1984), di negara-negara berkembang, industri konstruksi

berkontribusi 3-8% terhadap PDB.

Page 2: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-2

Industri konstruksi Indonesia telah tumbuh sejak awal tahun 1970an. Data dari

Biro Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kontribusi industri jasa konstruksi

meningkat dari 3,9% di tahun 1973 menjadi di atas 8% di tahun 1997. Pada tahun

1998 kontribusi industri konstruksi nasional terhadap PDB mengalami penurunan

dan berlanjut sampai tahun 2002 hingga menjadi sekitar 6%. Mulai tahun 2003,

kontribusi industri jasa konstruksi terhadap PDB mulai menunjukkan tren yang

membaik. Data tahun 2005 menunjukkan industri jasa konstruksi tehadap PDB

meningkat kembali menjadi 6,35%.

2. Kontribusi terhadap investasi, yang diukur dari pembentukkan aset tetap

(fixed capital formation); dan jumlah penyerapan tenaga kerja.

Industri jasa konstruksi berkontribusi 60% dari pembentukan aset tetap. Pada

sektor tenaga kerja, industri konstruksi berkontribusi 10% dari total tenaga kerja

nasional. Pertumbuhan penyerapan tenaga kerja pada sektor konstruksi dari awal

tahun 1970-an hingga 1997 di atas pertumbuhan tenaga kerja nasional. Setelah

peiode krisis ekonomi, penyerapan tenaga kerja pada sektor industri konstruksi

telah menunjukkan peningkatan, sejalan dengan mulai meningkatnya kembali

kontribusi industri konstruksi terhadap PDB.

Sebagian besar dari produk industri jasa konstruksi adalah barang investasi

(Hillebrandt, 1988; Wells, 1986; World Bank, 1984) yang diperlukan untuk

memproduksi barang, jasa atau fasilitas seperti: fasilitas untuk produksi lebih lanjut,

seperti bangunan pabrik; pembangunan atau peningkatan infrastruktur ekonomi,

seperti jalan raya, pelabuhan, jalan kereta; dan investasi sosial, seperti rumah sakit,

sekolah. Dengan demikian, permintaan terhadap produk industri jasa konstruksi

sangat berfluktuasi. Investasi dapat ditunda atau dipercepat, tergantung dari kondisi

ekonomi dan kebijakan pemerintah. Dalam kondisi depresi ekonomi uang dialami

Indonesia pada tahun 1977, industri jasa konstruksi mengalami dampak yang paling

besar. Setelah menikmati pertumbuhan sebesar 12,8% di tahun 1996, industri jasa

konstruksi tumbuh hanya sebesar 6,4% di tahun 1997, dan bahkan mengalami

kontraksi hampir 40% di tahun 1998 (Biro Pusat Statistik, 1998).

Page 3: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-3

Data BPS (1994) yaitu Tabel input output BPS mengindikasikan industri jasa

konstruksi memiliki indeks penyebaran 1,24 dan indeks sensitifitas 1,23. Indeks

penyebaran menunjukan keterkaitan kebelakang (backward linkage) yaitu kesempatan

untuk menciptakan investasi bagi sektor lain disebabkan oleh permintaan pada salah

satu sektor ekonomi. Indeks sensitifitas mengukur keterkaitan ke depan, yang

menunjukkan penyediaan input oleh salah satu sektor ekonomi bagi sektor ekonomi

lainnya. Indeks di atas 1,0 menunjukkan stimulan di atas rata-rata, yang berarti

industri jasa konstruksi dapat mendorong pertumbuhan bagi sektor ekonomi lainnya.

2.1.2 Peluang Industri Jasa Konstruksi

Dengan dimulainya era globalisasi sebagai konsekuensi ditandatangani perjanjian

GATT, WTO, APEC oleh Pemerintah Indonesia, termasuk ratifikasi perubahan

AFTA dari semula tahun 2003 dipercepat menjadi tahun 2002 merupakan peluang

sekaligus tantangan bagi industri jasa konstruksi. Peluang industri jasa konstruksi ke

depan bergantung pada pasar konstruksi yang secara umum, terdiri atas pasar

konstruksi domestik dan pasar konstruksi global.

A. Pasar Konstruksi Domestik

Pada pasar konstruksi domestik, pemerintah Indonesia akan melakukan investasi

besar-besaran untuk pembangunan infrastruktur dimana Departemen Pekerjaan

Umum mengelola dana 38 trilyun untuk 2008 sebagai upaya mendukung

pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pertumbuhan ekonomi Indonesia terbukti pada

semua sektor dipengaruhi oleh banyak faktor sehingga meningkat secara uphill

stedy growth. Faktor utama yang membuka peluang perubahan dan berbagai

percepatan pada pembangunan antara lain adalah UU No. 22 Tahun 1999 tentang

Otonomi Daerah,UU No. 25 Tahun 1999 tentang Keseimbangan Fiskal dan

Keuangan Daerah dan UU No. 28 Tahun 1999 tentang Desentralisasi. Otonomi

Daerah telah memberi wewenang dan pemberdayaan daerah untuk lebih berperan

dalam pembangunan nasional secara langsung baik berupa pembangunan

bangunan infrastruktur maupun pembangunan ideologi – politik – ekonomi –

sosial – budaya – pertahanan - keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Faktor penentu permintaan konstruksi secara agregat terbukti adalah investasi

Page 4: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-4

dalam hal ini diwakili oleh pertumbuhan Gross Domestic Capital Foundation

antara tahun 1999-2003 yang dilakukan oleh para stakeholders swasta dan

pemerintah sehingga dapat menimbulkan pertumbuhan pada PDB Nasional.

Investasi dipengaruhi oleh pertumbuhan penduduk yang dengan waktu mendorong

atau menjadi driver peningkatan kebutuhan investasi.

Peluang pasar konstruksi domestik lain terdapat pada sektor perminyakan dan gas

yang menunjukkan kebutuhan pembangkit listrik dengan menggunakan batu bara

sebesar 10.600 MW (biaya ± US$ 7-8,5 Milyar).

B. Pasar Konstruksi Global

Pertumbuhan pasar konstruksi global akan terus meningkat khususnya di negara-

negara penghasil minyak, khususnya kawasan Timur Tengah dan negara-negara

Asia, seperti Cina dan India. Bahkan permintaan negara-negara Timur Tengah dan

Afrika serta Aljazair kepada Indonesia untuk terlibat dalam pasar konstruksi

mereka juga sangat besar dengan penawaran kontrak USD 50 billion.

Pasar konstruksi negara-negara teluk sangat besar untuk 5-10 tahun ke depan.

Kawasan ini akan mengerjakan lebih dari 2.100 proyek yang sedang direncanakan

dan sedang berjalan dengan total nilai lebih dari USD1.000 billion (Berger, 2006

diacu dari Suraji et.all, 2007). Distribusi pasar konstruksi di Timur Tengah

ditunjukkan pada Gambar berikut.

GULF PROJECTS - US$ BILLION

Kuwait, 211, 21%

Bahrain, 27, 3%

Qatar, 115, 11%

Oman, 33, 3%

Iran, 97, 10%

UAE, 294, 29%

Saudi, 201, 20%

Iraq, 28, 3%

Gambar 2. 1 Distribusi Pasar Konstruksi di Timur Tengah (Berger, 2006)

Page 5: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-5

Di Asia, pasar konstruksi sampai tahun 2010 (Singapore ERC Report, 2003) akan

terus semakin besar. Cina merupakan negara dengan pasar konstruksi terbesar

(US$ 1,2 trillion), diikuti oleh Indonesia (US$ 120 billion), kemudian India (US$

114 billion) kemudian Thailand (US$ 71 billion).

Pasar konstruksi di sektor perminyakan dan gas khususnya di Timur Tengah akan

membangkitkan kebutuhan sumberdaya yang besar. Kebutuhan tenaga ahli jasa

konstruksi secara keseluruhan sebesar 533 juta manhour. Pada kondisi puncak

dibutuhkan 111 juta manhour, sedangkan tenaga terampil jasa konstruksi

dibutuhkan 10 milyar manhour (peak 2 milyar manhour) (Nazirin, 2006).

2.1.3 Kendala Industri Jasa Konstruksi

Struktur usaha jasa konstruksi terdiri dari 100.686 badan usaha kontraktor dan 3.525

badan usaha konsultan. Kelembagaan terkait industri jasa konstruksi meliputi 26

asosiasi profesi, 19 asosiasi terakreditasi dan 19.479 insinyur profesional yang

teregistrasi. Kondisi pasar konstruksi Indonesia menunjukkan pasar konstruksi

terbesar kedua di Asia setelah Cina dengan besaran pasar $120 billion (2010),

sedangkan analisis kebutuhan pembangunan terkait konstruksi menunjukkan besaran

pasar 186.911 triliun rupiah (2011). Namun demikian, pasar tersebut ditengarahi 65%

dikuasai oleh pelaku asing besar, terjadi ketidakseimbangan struktur pasar dan

industri, kondisi entry-exit mudah, asimetri informasi pasar dan transaksi lemah.

Perilaku bisnis konstruksi menunjukkan fokus pengadaan publik, biaya transaksi

besar, efesiensi rendah, kerjasama lemah, persaingan tidak sehat, KKN dan broker

serta rent seeking terjadi, manajemen bisnis lemah. Kinerja industri jasa konstruksi

menunjukkan kompetensi tenaga kerja konstruksi rendah, daya saing rendah,

pertumbuhan rendah, sustainabilitas rendah, serta kecakapan kerja atau workmanship

rendah.

Page 6: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-6

Analisis industri jasa konstruksi, terkait dengan variabel-variabel antara lain:

konsentrasi, karakteristik produk, biaya, dan penelitian dan pengembangan (research

and development) yang terangkum dalam analisis Structure-Conduct-Performance

(Shy, 1995). Struktur pasar jasa konstruksi merupakan sebuah deskripsi dari perilaku-

perilaku badan-usaha konstruksi dalam industri atau pasar konstruksi.

Jumlah badan usaha jasa konstruksi di Indonesia sejak tahun 1998 mengalami

kenaikan. Tahun 1998 tercatat 28.738 badan usaha jasa konstruksi yang tersebar di

seluruh Indonesia. Jumlah badan usaha jasa konstruksi mengalami penurunan pada

tahun 1999 menjadi 25.086 badan usaha jasa konstruksi. Geliat badan usaha jasa

konstruksi mulai tampak pada tahun 2000, di tahun ini jumlah badan usaha jasa

konstruksi mengalami peningkatan menjadi 30.137 buah. Sampai dengan tahun 2002,

badan usaha jasa konstruksi terus mengalami kenaikan sampai dengan 36.341. Secara

kuantitatif, industri ini memiliki potensi sangat besar dengan jumlah kurang lebih

100.000 badan usaha jasa konstruksi kecil, menengah, dan besar. Namun demikian,

secara hipotetif kinerja para pelaku industri ini masih sering dikeluhkan oleh

konsumen industri jasa konstruksi. Permasalahan utama industri jasa konstruksi

nasional adalah belum terwujudnya profesionalitas pelaku usaha jasa konstruksi.

Beberapa indikator kondisi ini adalah tidak adanya kode etik bisnis konstruksi;

rendahnya kualitas proses dan produk; citra buruk korupsi dan kolusi sektor

konstruksi; resiko ekonomis yang besar dalam bisnis konstruksi; keterlambatan akibat

birokrasi penyelenggaraan proyek; fragmentasi antar pihak pelaku; dan ketiadaan data

serta informasi yang akurat mengenai kondisi riil industri konstruksi. Beberapa hal ini

dapat terjadi akibat disparitas idealisasi dan implementasi sistem regulasi dan

kebijakan pemerintah, serta perilaku oligopolis dan rendahnya kompetensi dalam

bisnis konstruksi.

Pada tahun 1998 (berdasarkan laporan LPJK) jumlah perusahaan konstruksi asing di

Indonesia sebesar 446 buah baik konsultan maupun kontraktor. Jumlah terbanyak

yaitu badan usaha jasa konstruksi dari negara Jepang, yang banyak menanam

modalnya di Indonesia terutama untuk komoditas elektronika dan konstruksi. Jumlah

badan usaha jasa konstruksi nasional di Indonesia pada tahun 1998 sekitar 4.043 buah

(baik besar, menengah, maupun kecil), atau dengan kata lain jumlah badan usaha jasa

konstruksi asing di Indonesia menduduki 11% pasar industri konstruksi Indonesia.

Page 7: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-7

Pada tahun 2003 berdasarkan survei Engineering News Report, di Indonesia terdapat

44 badan usaha jasa konstruksi asing yang termasuk dalam kategori badan usaha jasa

konstruksi terbaik dunia. Berdasarkan negara asal, Jepang merupakan negara dengan

jumlah badan usaha jasa konstruksi terbanyak 16 badan usaha, disusul kemudian oleh

Amerika Serikat 9 badan usaha, dan Cina 4 badan usaha (Engineering News Report).

Secara nasional, nilai proyek di pasar konstruksi relatif kecil bila dibandingkan

dengan jumlah badan usaha jasa konstuksi. Penelitian yang dilakukan oleh Badan

Pembinaan Konstruksi dan Investasi (Bapekin) menunjukkan bahwa pada tahun 2002,

volume pangsa konstruksi nasional mencapai Rp.156 triliun yang terdiri dari APBN

Rp.20,84 triliun, APBD Rp.5,987 triliun, BUMN/BUMD Rp.21,141 triliun, swasta

Rp.58,666 triliun, dan dana mega proyek migas yang dicanangkan pemerintah sebesar

Rp.50 triliun. Dari jumlah tersebut, 30 persennya masih dikuasai pasar konstruksi di

Jakarta dan propinsi yang ada di Pulau Jawa dan diperebutkan sekitar 97.000

kontraktor besar, kecil, dan menengah (Bisnis Indonesia 21 Oktober 2003). Dari

sejumlah kontraktor tersebut, 2,8 persennya adalah kontraktor skala besar yang

berdomisili di Jakarta. Meskipun jumlahnya sedikit tetapi menguasai pangsa pasar

konstruksi yang besar.

Untuk tahun 2003, potensi pasar (nilai proyek) nasional yang diperebutkan

masyarakat jasa konstruksi mencapai Rp.100 triliun yang terdiri atas 19 % merupakan

proyek APBN, 9% APBD, dan sisanya 72% melalui sektor swasta dan BUMN.

Melihat nilainya yang relatif terbatas,masyarakat konstruksi perlu terus meningkatkan

kemampuan dan profesionalisme. Pada tahun 2003, asosiasi yang diregistrasi LPJK

Nasional adalah 97.000 yang relatif tidak sebanding dengan potensi pasar konstruksi

yang ada. Banyaknya badan usaha jasa konstruksi yang baru disebabkan oleh relatif

mudahnya proses untuk menjadi kontraktor, sedangkan aspek profesionalisme sering

relatif kurang diperhatikan.

Dari uraian di atas, struktur pasar konstruksi di Indonesia relatif lebih mendekati pasar

persaingan monopolistik dimana memiliki karakteristik dominan sebagai berikut:

output konstruksi memiliki jenis yang bermacam-macam dan terdiferensiasi

(differentiated products); terdapat banyak badan usaha tetapi hanya terdapat beberapa

badan usaha jasa konstruksi yang menguasai pasar konstruksi di Indonesia sedangkan

Page 8: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-8

total keseluruhan badan usaha jasa konstruksi sangat banyak (free entry of new brand-

producing firms).

Demikianlah yang terjadi di Indonesia. Pasar proyek-proyek besar dimana

membutuhkan investasi awal (biaya tetap) yang tinggi pasti dikuasai oleh beberapa

badan usaha konstruksi yang relatif sedikit jumlahnya. Sebaliknya, pasar proyek-

proyek kecil akan diperebutkan oleh perusahaan-perusahaan konstruksi kecil yang

relatif banyak jumlahnya. Perusahaan-perusahaan konstruksi kecil akan berusaha

bersaing antar mereka untuk mendapatkan proyek-proyek konstruksi kecil melalui

diferensiasi mereka. Diferensiasi konstruksi dapat dilakukan melalui penelitian dan

pengembangan (research and development), pengiklanan, strategi harga, strategi

pemasaran, informasi, dan lain-lain.

Di era global, perusahaan-perusahaan di berbagai sektor dituntut mampu bersaing,

tidak hanya di tingkat domestik dengan perusahaan-perusahaan lokasl, tetapi juga

perusahaan internasional. Secara umum, studi Bapekin (2004) tentang daya saing

konstruksi Indonesia menunjukkan karakteristik daya saing input, proses, output, dan

sistem manajemen yang relatif masih rendah. Penilaian kinerja pada tingkat meso dan

mikro level menunjukkan bahwa kinerja perusahaan-perusahaan konstruksi adalah

56,2% dari kinerja maksimum, kinerja tenaga kerja konstruksi adalah 67,2% dari

kinerja maksimum, dan kinerja industri konstruksi adalah 61,7% (Bapekin, 2003).

Selanjutnya, penilaian daya saing input, proses, output, dan sistem manajemen dari

badan usaha-badan usaha jasa konstruksi di Indonesia menunjukkan nilai rata-rata

masih di bawah 55% dari perusahaan konstruksi “benchmark” (Bapekin, 2004).

Distorsi transformasi konstruksi Indonesia akan menghadapkan sektor konstruksi

Indonesia terhadap berbagai resiko, seperti pertumbuhan rendah, profitabilitas kecil,

sustainabilitas tidak tercapai, daya saing rendah, dan produktivitas rendah. Peran

sektor konstruksi sebagai “construction driven socio-economic development” akan

menjadi tidak berhasil. Resiko tersebut akan berdampak pada mutu produk dan jasa,

serta kompetensi usaha dan tenaga kerja konstruksi akan semakin tertinggal dengan

negara-negara lain. Kondisi ini akan menyebabkan industri jasa konstruksi Indonesia

tidak sehat, selanjutnya tidak semakin konstruktif tetapi menuju destruktif.

Page 9: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-9

Gelombang globalisasi dengan paket liberalisasi perdagangan jasa konstruksi akan

membuat Indonesia semakin tinggi ketergantungannya terhadap asing. Dominasi

asing di ranah domestik akan semakin tidak terkendali dan bangsa ini tidak akan

memiliki kebanggan dan nasionalisme. Berbagai infrastruktur dan properti akan

banyak dibuat oleh industri jasa konstruksi asing. Bangsa ini akan semakin

mengalami boros devisa. Keamanan dalam negeri (national security) menjadi lebih

rentan. Secara empiris, daya saing pelaku usaha jasa konstruksi nasional, baik pada

tingkat badan usaha maupun sumberdaya manusia masih di bawah pelaku usaha jasa

konstruksi negra-negara berkembang lain. Daya saing tinggi dari pelaku usaha jasa

konstruksi diperlukan dalam rangka menghadapi kompetisi global di ranah domestik

dan internasional akibat dari liberalisasi perdagangan barang dan jasa, termasuk jasa

konstruksi, baik tingkat regional melalui skema AFAS-ASEAN maupun internasional

melalui skema GATS-WTO. Secara prinsip tujuan ini akan berkaitan dengan

peningkatan kapasitas (capacity building) untuk mencapai kemampuan (competency)

yang tinggi, sehingga berkinerja (competitive).

Sesuai dengan karakteristiknya, usaha dan pengusahaan di sektor jasa konstruksi

memiliki resiko kegagalan yang sangat tinggi, baik dari sisi proses maupun produk

konstruksi bagi masyarakat pengguna (consumers) maupun pemanfaat (user). Resiko

kegagalan konstruksi dan bangunan dapat berkaitan dengan kegagalan

penyelenggaraan konstruksi dari sisi keterlambatan, pembengkakan biaya, dan mutu

produk konstruksi, kecelakaan konstruksi, kerusakan tata ruang, dan kerusakan

lingkungan, serta kerugian ekonomi. Oleh karena itu, perlindungan kepentingan

masyarakat ini merupakan hal yang dijamin oleh undang-unang (UU Perlindungan

Konsumen No. 8 Tahun 1999). Di samping itu, upaya ini perlu dilakukan sebagai

bagian dari mendorong pihak-pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan konstruksi

memberikan akuntabilitas publik tinggi dari proses dan produk konstruksi. Secara

faktual, pelaku industri jasa konstruksi di Indonesia tidak saja berasal dari domestik

tetapi juga internasional. Kehadiran industri konstruksi asing, baik melalui skema

pinjaman untuk pengadaan proyek-proyek pemerintah maupun penanaman modal

asing (PMA) telah meningkatkan persaingan di pasar konstruksi domestik. Kebijakan

pembinaan konstruksi perlu dikaitkan dengan upaya menjadikan industri konstruksi

nasional dapat menguasai pasar konstruksi domestik. Tindakan keberpihakan

(affirmative actions) kepada usaha mikro, kecil, dan menengah oleh pihak pemerintah

Page 10: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-10

pada industri konstruksi domestik dapat dilakukan dengan memberikan peluang dan

akses kepada permodalan dan kemitraan (partnering) untuk proyek-proyek konstruksi

pemerintah skala tertentu. Di samping itu, kebijakan ini juga terkait dengan upaya

menciptakan kepemilikan saham dalam industri konstruksi nasional dikuasai oleh

badan usaha atau orang perseorangan warga negara Indonesia.

Perkembangan usaha di sektor konstruksi membutuhkan berbagai sumberdaya dan

cara-cara (modalities). Teknologi merupakan salah satu komponen penting dari usaha

jasa konstruksi. Peningkatan daya saing industri jasa konstruksi nasional akan sangat

membutuhkan dukungan teknologi konstruksi. Oleh karena itu, kebijakan ini akan erat

kaitannya dengan penerapan teknologi mutakhir di dunia pada proyek-proyek

konstruksi di Indonesia. Di samping itu, inventarisasi terhadap teknologi domestik

dan teknologi tepat guna perlu dilakukan agar dapat dimanfaatkan seluas-luasnya.

Kebijakan ini sesungguhnya tidak saja diarahkan untuk mendorong pelaku sektor

konstruksi menerapkan teknologi-teknologi yang sudah ada dan baru tetapi juga

menjadi mitra dalam riset dan pengembangan teknologi konstruksi.

Sejalan dengan perbaikan indikator makro ekonomi, pemerintah dapat berperan

penting dalam mendorong pertumbuhan sektor konstruksi baik dari adanya kegiatan

pembangunan properti maupun infrastruktur. Kegiatan konstruksi akan sangat

tergantung dari proporsi besarnya pendapatan pengguna. Ketersediaan pinjaman dan

tingkat bunga yang kompetitif akan mendorong permintaan (demand) sektor

konstruksi. Di samping itu, pelaku industri jasa konstruksi ini, misalnya kontraktor

dangat tergantung dari dana pinjaman untuk menjaga aliran tunai (cashflow) dari

proyek konstruksinya. Oleh karena itu, usaha di sektor jasa konstruksi jelas

membutuhkan pembiayaan atau kapital. Pemerintah perlu mendorong partisipasi

sektor keuangan untuk memberikan akses terhadap pelaku usaha di sektor konstruksi.

Lembaga perbankan dan pembiayaan swasta juga didorong untuk juga mampu

menyerap kebutuhan pembiayaan konstruksi. Pemerintah juga dapat mendorong

penyerapan pembiayaan UKM oleh industri konstruksi nasional.

Kompetensi tenaga kerja konstruksi merupakan persyaratan mutlak bagi peningkatan

saya saing industri jasa konstruksi nasional. Oleh karena itu, kebijakan pembinaan

konstruksi ini diarahkan untuk meningkatkan profesionalitas tenaga kerja konstruksi

Indonesia yang ditandai dengan pemberlakukan sertifikasi keahlian dan keterampilan,

Page 11: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-11

baik tingkat nasional maupun internasional. Pemerintah dapat memfasilitasi dan

mendorong asosiasi profesi dan kelembagaan terkait di sektor konstruksi dalam

menetapkan bakuan kompetensi, penyelenggaraan konvensi dan proses sertifikasi

tenaga ahli dan tenaga terampil sektor konstruksi. Kebijakan ini diharapkan dapat

mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja konstruksi nasional yang bersertifikat

keahlian dan keterampilan.

Daya saing pelaku usaha di industri jasa konstruksi akan sangat dipengaruhi oleh

kesehatan perusahaan. Oleh karena itu, revitalisasi transformasi konstruksi juga

berkaitan dengan upaya menjadikan badan usaha jasa konstruksi sehat secara finansial

berdasarkan parameter kondisi keuangan organisasi usaha. Upaya ini diarahkan agar

badan usaha jasa konstruksi memiliki ukuran-ukuran kesehatan keuangan yang tinggi.

Liquidity ratio tersebut dapat direpresentasikan, misalnya dari perbandingan nilai aset

sekarang (current asset) dengan jumlah pertanggungan (liabilities). Activity ratio

dapat dinyatakan, misalnya, nilai perbandingan dari jumlah penjualan (sales) terhadap

nilai aset tetap (fixed asset). Profitability ratio merupakan batas keuntungan bersih

(net profit margin) yang dihitung dengan membandingkan pendapatan bersih (net

income) dan penjualan (sales). Sedangkan growth ratio dapat dinyatakan sebagai

pendapatan bersih (net income) yang dihitung berdasarkan persentase pertumbuhan

keuntungan tahunan (annual percentage growth in profit). Badan usaha jasa

konstruksi perlu didorong untuk memperbesar nilai aset, peningkatan penjualan,

pertumuhan nilai keuntungan tahunan dan mengurangi jumlah pertanggungan.

Leverage ratio merupakan perbandingan, misalnya, jumlah keseluruhan utang

dibandingkan jumlah keseluruhan aset perusahaan.

Persaingan usaha di industri jasa konstruksi menuntut badan usaha jasa konstruksi,

kontraktor dan konsultan, memiliki manajemen produksi berkualitas tinggi. Kebijakan

ini berkaitan dengan upaya mendorong badan usaha jasa konstruksi untuk melakukan

proses produksi dengan efektif dan efesien. Di samping itu, badan usaha jasa

konstruksi didorong dan dibina agar secara berkelanjutan dapat meningkatkan

kapasitas produksi; memiliki perangkat inventori yang andal; satuan kerja yang

profesional; mengutamakan kualitas proses dan produk

Kepuasan pelanggan (clients, consumers, dan user satisfaction) merupakan sasaran

dari penyelenggaraan proyek konstruksi. Keluaran (output) dan hasil guna (outcome)

Page 12: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-12

produk konstruksi akan dirasakan oleh masyarakat pemakai dan pemanfaat produk

konstruksi. Revitalisasi transformasi perlu diarahkan agar pelaku usaha konstruksi

dapat menyediakan produk konstruksi yang prima agar dapat mengurangi keluhan

(complaint) dan tuntutan (claim) dari pemakai dan pemanfaat, misalnya, adanya cacat

bangunan, ketidaktepatan ukuran, ketidaktahanan bangunan, dan timbulnya kerusakan

dini bangunan.

Industri jasa konstruksi merupakan salah satu sektor ekonomi yang dapat menyerap

tenaga kerja cukup besar, khususnya tenaga tidak terampil (unskilled labour).

Penggunaan teknologi berbasis tenaga kerja (labour based technology) pada

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur pedesaan, misalnya jalan pedesaan,

irigasi pedesaan, dan jaringan air bersih untuk masyarakat desa akan sangat

menguntungkan untuk memberikan perluasan kerja sekaligus meningkatkan

pendapatan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan ini akan terkait dengan tindakan

keberpihakan (affirmative actions) terhadap pengembangan kontrak-kontrak skala

kecil untuk kontraktor skala kecil (petty and small scale contractor) bagi pelaksanaan

pembangunan infrastruktur pedesaaan.

Pengusahaan industri jasa konstruksi membutuhkan ketersediaan informasi dan akses

informasi yang terpercaya dan koordinasi antar lembaga yang baik. Asosiasi profesi

dan badan usaha didorong untuk dapat memberikan layanan informasi, misalnya

program sertifikasi, pendidikan profesi, data kecelakaan konstruksi, dan profil badan

usaha jasa konstruksi.

Secara ringkas, isu-isu utama terkait dengan industri jasa konstruksi Indonesia adalah

sangat beragam. Isu-isu tersebut akan memiliki dampak terhadap konstruksi Indonesia

pada tataran makro, meso, dan mikro dari konstruksi Indonesia. Dampak yang terjadi

sesungguhnya memiliki penyebab. Dengan mengenali dampak dan penyebab akan

mempermudah bagi stakeholder jasa konstruksi Indonesia untuk merumuskan agenda

atau upaya strategis ke depan. Selanjutnya isu-isu utama, dampak, dan penyebab

dijelaskan dalam bentuk tabel di bawah ini.

Page 13: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-13

Tabel 2. 1 Isu Utama, Dampak, dan Penyebab (LPJKN, 2007)

No. Isu Utama Dampak Penyebab

1 Dirty, dangerous, difficult Bad image No commitment

2 Peran terhadap GFCF rendah Hidup tidak efesien Tidak menarik investasi

3 Distribusi manfaat tidak seimbang Ketidakadilan tinggi Unfair practice

4 Value for money rendah Cost-effectiveness rendah Lack of control

5 For the sake of projects Kualitas input dan produk rendah Lack of proper supply

6 Tidak memiliki kebanggaan Kreatifitas kurang berkembang Non sense of belonging

7 Kelemahan marketing Produk tidak dikenal Keterbatasan kapasitas

8 Diplomasi tidak optimal Posisi tawar rendah Tidak percaya diri

9 Kerjasama internasional lemah Ketiadaan partnership Berkutat di dalam

10 Networking tidak terjadi Kemandulan berinteraksi Inward looking

11 Permodalan lemah Ekspansi kurang Dukungan lembaga keuangan rendah

12 Fasilitas pemerintah kurang Tidak progressive Kemauan politik rendah

13 Kapasitas rendah Produktivitas rendah Stagnasi pertumbuhan

14 Kesulitan mengakses pasar Keterbatasan peluang Tidak berdaya

15 Penguasaan teknologi rendah Tidak punya keunggulan Keterbatasan Penelitian dan Pengembangan

16 Public intrust tinggi Ketiadaan harmonisasi Fairness rendah

17 Kompetensi tenaga kerja konstruksi rendah Kurang inovasi kreatif Pendidikan lemah

18 Capacity building tidak terjadi Tidak berdaya Komitmen maju rendah

19 Hubungan pemerintah swasta tidak sinkron Berjalan sendiri-sendiri Koordinasi lemah

20 Regulasi yang tidak harmonis dan tumpang tindih Sasaran tidak tercapai Over reality

21 Reciprocity antar stakeholder tidak terjadi Persatuan lemah Mementingkan diri sendiri

22 Supply chain antar pelaku Efesiensi dan efektifitas rendah Ketimpangan struktur

23 Kartel dan monopoli Harga tidak wajar Kesempatan tidak terbuka

24 Saling memangsa Kekuatan bersama rendah Perebutan hegemoni

25 Hubungan stakeholders lemah Kerjasama tidak kokoh Tanpa visi bersama

26 Dukungan mass media rendah

Partisipasi masyarakat rendah Keterbatasan perhatian

27 Ketidakseimbangan supply-demand Distorsi kompetisi No entry-exit barriers

28 Market information assimetry Monopoli Ketertutupan informasi

29 Kepatuhan hukum rendah Tidak tertib dan teratur Low enforcement rendah

Page 14: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-14

No. Isu Utama Dampak Penyebab

30 Usia layanan hasil konstruksi pendek Manfaat rendah Kualitas rendah

31 Ketidaksetaraan posisi antara pemilik-penyedia Eksploitasi Oligopoli monopsoni

32 Barriers to entry Persaingan tidak sehat Ketidakwajaran

33 Ketidakpatuhan tata ruang Kerusakan lingkungan Konsistensi rendah

Berdasarkan tabel di atas dapat disimpulkan bahwa beberapa isu utama, dampak, dan

penyebab terkait dengan permasalahan masih lemahnya kompetensi tenaga kerja

konstruksi sehingga menciptakan berbagai situasi yang kurang menguntungkan bagi

perkembangan dunia usaha jasa konstruksi.

2.1.4 Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia

Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna

menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun

untuk masyarakat, seperti dinyatakan dalam pasal 1 UU No 13 tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan. Selanjutnya UU tersebut menyebutkan bahwa Ketenagakerjaan

adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum,

selama, dan sesudah masa kerja. Berkaitan dengan buruh, UU tersebut menyebutkan

bahwa Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau

imbalan dalam bentuk lain dan Tenaga Kerja Konstruksi adalah setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan di bidang Jasa Konstruksi guna menghasilkan jasa

perencanaan, pemborongan dan pengawasan pekerjaan konstruksi, baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.

Berbagai definisi dan standar atau acuan untuk mengukur kompetensi tenaga kerja

termasuk tenaga kerja konstruksi. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan menetapkan, yang dimaksud kompetensi kerja adalah kemampuan

kerja setiap individu yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan, dan sikap

kerja, sesuai dengan standar yang ditetapkan.

Page 15: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-15

A. UNESCO

Ketiga aspek kemampuan kerja setiap individu tersebut sejalan dengan substansi

kompetensi umum menurut UNESCO, yaitu:

a) Pengetahuan (knowledge): memahami dan menguasai pengetahuan

dibidangnya.

b) Keterampilan (skill): terampil/produktif melaksanakan pekerjaan dalam

bidangnya.

c) Sikap (attitude): memiliki sikap profesional berlandaskan etika, moral, dan

kemandirian.

B. Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI)

Konvensi Nasional Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) mendefinisikan

kompetensi kerja bukan saja kemampuan kerja setiap individu, tetapi mencakup

juga kemauan kerja setiap individu. Selengkapnya SKKNI menetapkan standar

kompetensi kerja setiap individu meliputi kemampuan dan kemauan setiap

individu untuk melakukan jenis pekerjaan (x) sebanyak (y) kali, dengan kualitas

(z), dan selesai dalam waktu (t). Kompetensi kerja SKKNI tersebut meliputi 3

(tiga) aspek yaitu kognitif, psikomotorik, dan afektif. Selanjutnya kompetensi

kerja menurut SKKNI tersebut dibagi atas 6 tingkatan atau lapis kompetensi

dengan karakteristik kompetensi seperti tertera pada tabel 2.2.

Page 16: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-16

Tabel 2. 2 Kompetensi Kerja menurut Konvensi Nasional SKKNI

(Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia)

Evaluasi Refleksi original Kepribadian 6

Sintesa Gerakan terampil Kebiasaan 5

Analisis Gerakan melatih diri Konsep diri 4

Aplikasi Gerakan selaras konsep teori Pengakuan diri 3

Memahami Gerakan dasar yang disadari Tanggap 2

Mengetahui Gerakan menirukan Kesadaran menerima 1 KOGNITIF PSIKOMOTORIK AFEKTIF LAPIS

C. Hirata dan Spencer

Hirata (1999) menyatakan kompetensi adalah karakteristik atau kemampuan

individu yang menghasilkan kinerja yang tinggi dan efisien dalam pekerjaan dan

situasi tertentu. Dimana menurut Spencer (1993) terdapat 5 (lima) karakteristik

kompetensi kerja setiap individu yaitu:

1. Motives, yaitu sesuatu yang mendorong dan mengarahkan individu untuk

melakukan tindakan tertentu dalam mencapai tujuan.

2. Traits, yaitu karakteristik fisik dan respon konsisten individu terhadap situasi

atau informasi tertentu.

3. Self-concept, yaitu sikap, nilai, dan citra diri individu.

4. Knowledge, yaitu informasi yang dimiliki individu dalam bidang tertentu.

5. Skill, yaitu kemampuan individu untuk melakukan aktivitas fisik maupun

mental.

Kelima karakteristik kompetensi tersebut di atas dapat dibagi atas 2 bagian

kompetensi. Pertama, bagian kompetensi yang mudah dikenali dan relatif

merupakan kompetensi permukaan seseorang, seperti knowledge dan skill. Kedua,

bagian kompetensi jauh di dalam diri seseorang dan merupakan central

personality seseorang seperti self-concept, traits, dan motive.

P

AK

KOMPETENSI KERJA

Page 17: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-17

D. Persatuan Insinyur Indonesia (PII)

Sesuai uraian berbagai pengertian kompetensi di atas, berkembang pengertian

kompetensi profesional. Persatuan Insinyur Indonesia (PII) menyatakan

kompetensi profesional adalah kemampuan kerja individu yang telah teruji dan

diakui komunitas profesinya dalam melaksanakan kerja profesional. Kompetensi

profesional PII meliputi 3 (tiga) aspek (gambar 2.2), yaitu aspek attitude (sikap

kerja), aspek knowhow (kemampuan), dan aspek knowledge (pengetahuan).

ATTITUDE (SIKAP KERJA)

ResponsibilityLiabilityAccountabilityIntegrity

KNOWLEDGE (PENGETAHUAN)

Specific Technical IssuesSpecific Legal & Practice IssuesEnvironmental Issues

KNOWHOW (KEMAMPUAN)

Language & CommunicationInterpersonal SkillTechnical SkillManagement & Business Skill

Gambar 2. 2 Kompetensi Profesional Persatuan Insinyur Indonesia (PII)

E. Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI)

Himpunan Ahli Teknik Tanah Indonesia (HATTI) membedakan Kompetensi

Tenaga Kerja Konstruksi (Tenaga Ahli) atas 2 (dua) kompetensi, Kompetensi

Dasar dan Kompetensi Keahlian.

1. Kompetensi Dasar, meliputi:

a. Mematuhi Kode Etik HATTI

b. Menjalankan Pedoman Perilaku Profesional Geoteknik

c. Menerima “legal responsibility” dan ”legal liability” seorang

profesional

Page 18: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-18

2. Kompetensi Keahlian, meliputi:

a. Menguasai teori dasar geoteknik

b. Menguasai keahlian praktis geoteknik

c. Berpengalaman melakukan pekerjaan professional di bidang geoteknik

d. Memahami perkembangan ilmu dan keahlian geoteknik

Berikut Ikhtisar Bakuan Kompetensi Sub Bidang Geoteknik HATTI.

Tabel 2. 3 Ikhtisar Bakuan Kompetensi Sub Bidang Geoteknik

No. KELOMPOK KUALIFIKASI G0 G1 G2

UMUM 1 Kode Etik Profesi ● ● ● 2 Kemampuan Manajerial ● ● 3 Kemampuan Komunikasi ● ● 4 Kewirausahaan ● ●

INTI1 Sifat indeks tanah ● ● ● 2 Sifat mekanika tanah ● ● ● 3 Sifat hidrolis tanah ● ● ● 4 Pengujian tanah di laboratorium ● ● ● 5 Pengujian tanah di lapangan ● ● ● 6 Teori tekanan tanah ● ● 7 Sifat kompaksi tanah ● ● 8 Sifat-sifat khusus ● 9 Pondasi dangkal ● ●

10 Pondasi dalam ● ● 11 Sistem penahan tanah dangkal/sederhana ● ● 12 Sistem penahan tanah dalam/kompleks ● 13 Stabilitas lereng sederhana ● ● 14 Stabilitas lereng kompleks ● 15 Kontrol air tanah ● 16 Konstruksi khusus ● 17 Teknik khusus ● 18 Keahlian geoteknik khusus ●

PENUNJANG1 Pengetahuan aplikasi komputer ● ● ● 2 Pengetahuan peralatan geoteknik ● ● ●

F. Kompetensi Tenaga Kerja Kontraktor (Pelaksana Konstruksi)

Bagi penyedia jasa kontraktor, Tenaga Kerja Konstruksi-nya dititikberatkan pada

permasalahan pokok kontraktor, harus mendukung kegiatan utama perusahaan

yaitu bisnis jasa pelaksanaan konstruksi. Kegiatan utama kontraktor meliputi

kegiatan pemasaran, pelaksanaan konstruksi, dan penyerahan pekerjaan. Pekerjaan

Page 19: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-19

kontraktor mempunyai karakteristik: keras, mobilitas tinggi, bekerja di bawah

tekanan, penuh negosiasi/ adu argumentasi, tempo kerja yang tinggi, kualitas

pelayanan tinggi, kompetitif, dan tuntutan kualitas produk konstruksi yang tinggi.

PT. Pembangunan Perumahan (Persero) (2003) menetapkan kompetensi Tenaga

Kerja Konstruksi profesional kontraktor adalah perpaduan antara kemampuan

teknis yang tinggi dengan kepribadian yang ideal, dan dibagi menurut aspek

bidang teknis dan aspek bidang kepribadian (attitude). Bidang teknis tenaga kerja

konstruksi harus memiliki penguasaan di bidang teknis operasionil, sesuai dengan

tugas pekerjaan dan fungsinya dalam struktur organisasi perusahaan. Di samping

penguasaan teknis, maka tenaga kerja konstruksi harus mempunyai perilaku kerja

yang sesuai dengan karakteristik pekerjaan kontraktor yang mendukung

keberhasilan individu dalam melakukan tugasnya.

Berkaitan peluang dan tantangan industri konstruksi Indonesia di masa depan, tenaga

kerja konstruksi Indonesia dituntut untuk dapat memenuhi berbagai kriteria atau

kompetensi. Soekirno,2006 menyatakan bahwa tenaga kerja konstruksi Indonesia di

masa depan harus mempunyai 10 kompetensi:

1. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus memiliki kompetensi kerja dengan

karakteristik kompetensi yang spesifik, sesuai lingkup kerja dan tangggung jawab.

2. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, bukan saja harus memiliki pengetahuan

(knowledge), dan keterampilan (skill) yang sesuai dengan lingkup tugas dan

tanggung jawabnya, tetapi juga mempunyai sikap kerja (attitude) profesional

berlandaskan etika, moral, dan kemandirian.

3. Tenaga Kerja Konstruksi ndonesia, harus memiliki kemampuan kerja dan

kemauan kerja untuk menghasilkan produk konstruksi yang berkualitas dan

berkelas dunia.

4. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mampu berpikir dan berwawasan

global, tetapi tetap bertindak dengan konteks nasional.

5. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kemampuan dan kemauan

bersaing di tingkat lokal maupun global.

6. Disamping kemampuan dan kemauan, Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia harus

mampu dan mau bekerja sama membentuk jejaring secara lokal maupun global

untuk mewujudkan cita-cita masa depan konstruksi Indonesia.

Page 20: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-20

7. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi profesional:

kompetensi teknis, pengembangan tim kerja dan kerjasama tim, kepemimpinan

dan kedisiplinan kerja, perhatian pada pelayanan, dan kemampuan berkomunikasi.

8. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi untuk

mengedepankan pembangunan berkelanjutan (sustainable development secara

nasional).

9. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, khususnya di lingkungan usa konstruksi harus

mempunyai kompetensi manajemen dan bisnis (management and business).

10. Tenaga Kerja Konstruksi Indonesia, harus mempunyai kompetensi berkaitan

aspek legal konstruksi maupun aspek legal yang terkait.

Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi

Tenaga Kerja, Kompetensi, dan Sertifikasi

Kajian Pengembangan Kapasitas Profesional Unit Sertifikasi Independen dan

Lembaga Diklat Bidang Jasa Konstruksi yang dilakukan BPKSDM Departemen

Pekerjaan Umum (BPKSDM, 2007), menyatakan bahwa penggunaan berbagai istilah

yang terkait dalam Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Kerja terkadang

memiliki pemaknaan yang berbeda-beda. Dalam seluruh metoda yang terkait dengan

pemberian kepercayaan atau mandat (creditials) kepada suatu organisasi atau

perseorangan dalam melakukan aktivitas profesinya, dikenal beberapa istilah, yaitu

antara lain sertifikasi profesi, akreditasi, registrasi dan lisensi. Istilah-istilah ini

berasal dari bahasa asing yang setelah digunakan di Indonesia dan terkadang

mengandung makna yang berbeda dengan aslinya.

A. Licensure, Lisensi

Penggunaan istilah ”Lisensi” dalam konteks Sistem Akreditasi dan Sertifikasi

Tenaga Kerja, berbeda dengan definisi ”Licensure” yang biasa digunakan di luar

negeri, yaitu ”a mandatory process by which a governmental agency grants time-

limited permission to an individual to engage in a given occupation after

verifying that he or she has met predetermined and standardized criteria”

(Mickie S. Rops, CAE article). Proses licensure ini dilakukan sebagai salah satu

alat untuk melindungi kepentingan masyarakat umum. Sedangkan di Indonesia,

Page 21: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-21

istilah ”lisensi” yang digunakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)

memiliki arti ”pendelegasian pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi profesi

kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP).” Di sini terlihat bahwa terdapat

perbedaan mendasar penggunaan istilah. Di luar negeri, ”Licensure” diberikan

oleh Pihak Pemerintah; sedang di Indonesia, ”lisensi” dikeluarkan oleh BNSP,

yaitu suatu badan independen.

B. Professional Certification, Sertifikasi Profesi

Professional Certification didefinisikan sebagai ”a voluntary process by which a

non-governmental entity grants a time-limited recognition to an individual after

verifying that he or she has met predetermined and standardized criteria”

(Mickie S. Rops, CAE article). Di Indonesia, istilah Sertifikasi Profesi digunakan

pada dua peraturan perundangan. Pada PP No 23/2004 tentang Pembentukan

Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), dinyatakan bahwa ”BNSP

merupakan badan independen yang bertanggung jawab langsung kepada

Presiden, dengan tugas “menyelenggarakan sertifikasi profesi melalui uji

kompetensi”. Dan pada UU 18/1999 tentang Jasa Konstruksi, dinyatakan bahwa

”Tenaga kerja yang melaksanakan pekerjaan keteknikan yang bekerja pada

perencana/pengawas/pelaksana konstruksi harus memiliki sertifikat

keterampilan/ keahlian kerja.” Jadi, di Indonesia proses sertifikasi profesi

adalah suatu hal yang wajib dilalui oleh seorang tenaga kerja (ahli maupun

trampil) agar dapat melakukan kegiatan profesinya, dan proses ini dilaksanakan

oleh suatu badan independen, bukan oleh pihak Pemerintah.

Di samping itu, yang dimaksud dengan sertifikasi, menurut PP No.28 Tahun 2000

tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi adalah “a. proses penilaian

untuk mendapatkan pengakuan terhadap klasifikasi dan kualifikasi atas

kompetensi dan kemampuan usaha di bidang jasa konstruksi yang berbentuk

usaha orang perseorangan atau badan usaha; atau b. proses penilaian kompetensi

dan kemampuan profesi keterampilan kerja dan keahlian kerja seseorang di

bidang jasa konstruksi menurut disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu

dan atau kefungsian dan atau keahlian tertentu”. Selanjutnya, pengertian pada

bagian b mengenai sertifikasi tenaga kerja konstruksi di atas diikuti dalam

Pedoman Akreditasi, Sertifikasi,dan Registrasi untuk Sertifikasi Keahlian dan

Page 22: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-22

Keterampilan Kerja yang dikeluarkan oleh Dewan Pengurus LPJK Nasional

dalam SK No. 70 Tahun 2001, SK No. 71 Tahun 2001, SK No. 112 Tahun 2004,

SK No. 113 Tahun 2004, dan SK No. 95 Tahun 2005.

C. Accreditation, Akreditasi

Accreditation adalah ”a voluntary process by which a nongovernmental entity

grants a time-limited recognition to an organization after verifying that it has met

predetermined and standardized criteria”(Mickie S. Rops, CAE article). Proses

accreditation, walaupun bukan merupakan suatu kewajiban namun sering kali

menjadi suatu hal yang sangat perlu untuk dilalui., misalnya dalam hal akreditasi

badan-badan pendidikan termasuk perguruan tinggi, karena akan berdampak

kerugian (misalnya tidak mendapatkan dana bantuan pendidikan, dll) pada badan

yang tidak memiliki akreditasi.

Di Indonesia, istilah ”Akreditasi” juga digunakan pada sistem pendidikan dan

istilah ini memiliki definisi yang pada umumnya sama. Namun pada jasa

konstruksi, akreditasi memiliki arti yang agak berbeda. Istilah ”Akreditasi” yang

digunakan pada PP No. 28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa

Konstruksi adalah sebagai berikut: ”Akreditasi adalah suatu proses penilaian

yang dilakukan oleh Lembaga terhadap: a. asosiasi perusahaan jasa konstruksi

dan asosiasi profesi jasa konstruksi atas kompetensi dan kinerja asosiasi untuk

dapat melakukan sertifikasi anggota asosiasi; atau b. institusi pendidikan dan

pelatihan jasa konstruksi atas kompetensi dan kinerja institusi tersebut untuk

dapat menerbitkan sertifikat keterampilan kerja dan atau sertifikat keahlian

kerja.” Jadi akreditasi adalah pelimpahan wewenang LPJK kepada badan lain

untuk menjalankan salah satu wewenangnya, yaitu dalam sistem serifikasi tenaga

kerja konstruksi.

Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Indonesia

A. Kerangka Hukum Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Indonesia

Sistem sertifikasi tenaga kerja di Indonesia diatur dengan 2 dasar kerangka hukum

yaitu, pertama, yang terlebih dahulu dilahirkan UU Jasa Konstruksi No.18 Tahun

Page 23: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-23

1999 yang dilengkapi PP No.28, No.29, dan No.30 yang kesemuanya khusus

mengatur tentang sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi baik tenaga ahli

maupun tenaga terampil di Indonesia. Kedua, UU Ketenagakerjaan No.13 Tahun

2003 yang dilengkapi dengan PP No.23 Tahun 2004 dan PP No.31 Tahun 2006

yang kesemuanya pada dasarnya mengatur tentang sistem sertifikasi tenaga kerja

terampil di Indonesia, namun karena lahir belakangan dan menghindari

pelanggaran atas UU Jasa Konstruksi, pada PP No.23 Tahun 2004 Pasal 18 diberi

aturan tambahan bahwa pelaksanaan sertifikasi yang telah dilakukan berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku dapat tetap dilaksanakan oleh

lembaga yang bersangkutan.

Adanya 2 kerangka hukum yang sangat kuat yang mengatur sistem sertifikasi

tenaga kerja khususnya tenaga kerja konstruksi di Indonesia, menyebabkan

banyak aturan-aturan pelaksana yang saling tumpang tindih, sehingga

menimbulkan kebingungan bagi tenaga kerja konstruksi, dan menyebabkan

kekacauan organisasi dalam penentuan siapa yang lebih berhak menjadi leader

dalam pelaksanaan sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Namun

kondisi saat ini antara dua sektor Dep. PU dan Dep. Naker masih kondusif dengan

seringnya berkoordinasi dalam pengaturan ketenagakerjaan konstruksi, dan sikap

Dep. Naker yang menyerahkan pengaturannya ke Dep PU. Namun dalam jangka

panjang, tentunya dibutuhkan pengaturan ketenagakerjaan yang komprehensif dan

seragam pada seluruh sektor pembangunan.

Pada Tabel 2.4, perbandingan antara UU Jasa Konstruksi dan peraturan-peraturan

pelengkapnya yang mana Departemen PU sebagai pembinanya, dengan UU

Ketenagakerjaan dan peraturan-peraturan pelengkapnya yang mana Departemen

Nakertrans sebagai pembinanya. Pada Gambar 2.3 perbandingan 2 (dua)

kebijakan hukum sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia. Dari

kedua perbandingan tersebut dapat dilihat ada cukup banyak aturan-aturan yang

tumpang tindih dan bertolak belakang, meskipun tidak sedikit juga yang sejalan

dan saling melengkapi. (BPKSDM, 2007).

Page 24: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

Tabel 2. 4 Pengaturan Tenaga Kerja Konstruksi Berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagakerjaan (BPKSDM, 2007)

Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi

Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan

Peraturan

Sertifikasi UUJK No.18/1999 Pasal 33

Tugas Lembaga (LPJK) melakukan registrasi tenaga kerja konstruksi, yang meliputi klasifikasi, kualifikasi, dan sertfikasi keterampilan dan keahlian kerja

Sertifikasi kompetensi dilaksanakan oleh Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP)

UUNaker No.13/2003 Pasal

18

Bertolak Belakang. Adanya dua lembaga yang berbeda dalam menerbitkan sertifikasi kompetensi dengan syarat minimum sertifikasi yang berbeda pula.

Pelaksana Sertifikasi

PP No.28/2000 Pasal 15 dan 19

Pelaksanaan sertifikasi keterampilan dan keahlian kerja dapat dilakukan oleh asosiasi profesi atau institusi diklat yang telah mendapat akreditasi dari Lembaga (LPJK)

BNSP dapat memberikan lisensi kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) yang memenuhi persyaratan yang ditetapkan untuk melaksanakan sertifikasi kompetensi kerja

PP No.23/2004 Pasal 4;

PP No.31/2006 Pasal 14

Bertolak Belakang. Pelaksanaan sertifikasi di serahkan kepada lembaga yang berbeda dalam mengeluarkan sertifikasi.

Pelaksana Pelatihan

Kerja

Pelatihan kerja diselenggarakan oleh lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah memiliki tanda daftar atau lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota

UU Naker No.13/2003 Pasal

14 PP No.31/2006 Pasal 12 ayat 1

Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai pelaksanaan pelatihan kerja.

Akreditasi Lembaga Pelatihan

Kerja

Lembaga pelatihan kerja swasta yang telah memperoleh izin dan lembaga pelatihan kerja pemerintah yang telah terdaftar dapat memperoleh akreditasi dari lembaga akreditasi (Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan kerja).

UUNaker No.13/2003 Pasal

16 PP No.31/2006 Pasal 12 ayat 2

Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja

Page 25: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi

Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan

Peraturan

Lembaga Koordinasi Pelatihan

Kerja

Koordinasi pelatihan kerja dilakukan oleh Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja Nasional (LKPKN)

PP No.31/2006 Pasal 20

Melengkapi. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja

Registrasi Tenaga Kerja

PP No.28/2000 Pasal 17

Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat sertifikat

keterampilan kerja atau sertifikat keahlian kerja wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh

Lembaga (LPJK)

Melengkapi dan Bertolak Belakang. Mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU mengenai Registrasi Tenaga Kerja namun kewajiban registrasi setelah mendapatkan sertifikasi tidak ada didalam kebijakan BNSP

Sertifikat Kompetensi

PP No.28/2000 Pasal 15

Sertifikat keterampilan dan/atau keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja terampil dan ahli

yang telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan dan atau keterampilan tertentu

Sertifikat kompetensi kerja diberikan oleh BNSP kepada

lulusan pelatihan dan/atau tenaga kerja berpengalaman setelah lulus

uji kompetensi

PP No.31/2006 Pasal 14 ayat 4

Melengkapi dan Bertolak Belakang. Saling mengisi kekurangan peraturan yang dimiliki oleh Dep. PU dan Depnaker mengenai Sertifikat Kompetensi namun syarat minimum pemberian sertifikat berbeda.

Keanggotaan LPJK, BNSP,

Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan

UUJK No.18/1999 Pasal 33

Lembaga (LPJK) beranggotakan wakil-wakil dari asosiasi perusahaan jasa konstruksi, asosiasi profesi jasa konstruksi, pakar dan perguruan tinggi yang berkaitan dengan bidang jasa

Keanggotaan BNSP terdiri dari unsur Pemerintah dan unsur masyarakat. Keanggotaan dari unsur Pemerintah sebanyak-banyaknya 10 (sepuluh) orang

PP No.23/2004 Pasal 6

Tumpang Tindih. Adanya peran ganda keanggotaan , khususnya peran yang dimiliki oleh pemerintah, asoasi pfofesi, dan pakar didalam melaksanakan sitem sertifikasi

Page 26: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

Yang Diatur Dep. Pekerjaan Umum Dep. Tenaga Kerja & Transmigrasi

Keterangan UU dan Peraturan Tentang Tentang UU dan

Peraturan Kerja konstruksi, dan instansi

pemerintah yang terkait. Keanggotaan Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja (LALPK) terdiri dari unsur asosiasi lembaga pelatihan kerja, asosiasi perusahaan, asosiasi profesi atau pakar di bidang pelatihan kerja, dan instansi pemerintah yang terkait

Kepmen No.225/2003

Pasal 5

Sifat Lembaga`

PP No.28/2000 Pasal 25

Lembaga (LPJK) mempunyai sifat nasional, independen, mandiri, dan terbuka yang dalam kegiatannya bersifat nirlaba

BNSP merupakan lembaga yang independen dalam melaksanakan tugasnya dan bertanggung jawab kepada Presiden

PP No.23/2004 Pasal 2

Tumpang Tindih. Sifat lembaga yang sama-sama independent didalam melaksanakan sistem sertifikasi

Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja yang selanjutnya disebut lembaga akreditasi merupakan lembaga yang bersifat independen, serta ditetapkan oleh Menteri

Kepmen No.225/2003

Pasal 2 ayat 1 dan Pasal 15

Posisi/Letak Lembaga

PP No.28/2000 Pasal 24

Lembaga jasa konstruksi didirikan di tingkat nasional dan di tingkat daerah untuk melaksanakan kegiatan pengembangan jasa konstruksi

Sekretariat BNSP dibentuk dan berada di lingkungan instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan

PP No.23/2004 Pasal 10 Tumpang Tindih. Adanya

overlapping posisi/Letak lembaga dalam melaksanakan tugas lembaga/ overlapping wilayah kerja. Lembaga Akreditasi Lembaga

Pelatihan Kerja berdomisili di Jakarta

Kepmen No.225/2003 Pasal 2 ayat 2

Page 27: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

SERTIFIKASI KETERAMPILAN SERTIFIKASI KEAHLIAN

LPJK

Meng-AkreditasiInstitusi Diklat dan/atau BSK Asosiasi

Profesi

Institusi Diklat dan/atau BSK Asosiasi

Profesi(ACCREDITED)

Examination, Assessment

TENAGA TERAMPIL

CertifiedTENAGA TERAMPIL

Meng-AkreditasiBSA Profesi

BSA Profesi(ACCREDITED)

Examination, Assessment

TENAGA AHLI

CertifiedTENAGA AHLI

Registrasi Registrasi

SISTEM SERTIFIKASI LPJK

SERTIFIKASI KETERAMPILAN

SISTEM SERTIFIKASI SISLATKERNAS

LKPKN(Lembaga Koordinasi Pelatihan Kerja Nasional)

LALPK(Lembaga Akreditasi Lembaga Pelatihan Kerja)

Meng-AkreditasiLembaga Pelatihan Kerja

(LPK)

LPK(Mendapatkan IZIN terlebih dahulu, kemudian

bisa di-AKREDITASI)

Training and ExaminationTENAGA TERAMPIL

Sertifikat PelatihanTENAGA TERAMPIL

Instansi Pemerintah Bidang Ketenagakerjaan Kab./Kota

(Dinas Tenaga Kerja)

Memberikan IZIN pendirianLembaga Pelatihan Kerja (LPK)

Tenaga TerampilBer-Sertifikat Pelatihan

dan/atauMemiliki Pengalaman

BNSP

Me-LisensiLembaga Sertifikasi Profesi

(LSP)

LSP(LICENSED)

Competence AssessmentTENAGA TERAMPIL

(Menggunakan SKKNI)

Sertifikat KompetensiTENAGA TERAMPIL

Gambar 2. 3 Pengaturan Tenaga Kerja Konstruksi Berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan UU Ketenagakerjaan (BPKSDM, 2007)

Page 28: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-28

B. Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK

Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi (LPJK) merupakan lembaga yang

dimaksud dalam UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi. LPJK didirikan

di Jakarta pada tanggal 9 Agustus 1999 dengan Pemerintah sebagai inisiator dan

fasilitator. LPJK beranggotakan unsur-unsur dari Asosiasi Perusahaan Jasa

Konstruksi, Asosiasi Profesi Jasa Konstruksi, Pakar dan Perguruan Tinggi yang

berkaitan dengan bidang jasa konstruksi serta Instansi Pemerintah terkait. LPJK

didirikan di tingkat Nasional (LPJK Nasional) dan tingkat Daerah (LPJK Daerah).

LPJK Nasional berkedudukan di ibukota negara dan LPJK Daerah berkedudukan

di ibukota daerah yang bersangkutan.

LPJK memiliki 5 (lima) tugas utama yang termaktub dalam UU No. 18 Tahun

1999 dan salah satunya berkaitan dengan peningkatan kompetensi tenaga kerja

konstruksi yaitu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta melakukan

registrasi tenaga kerja. Dalam melaksanakan tugasnya tersebut, LPJK dapat

mendelegasikan wewenang pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi kepada

Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat melalui suatu proses yang disebut akreditasi.

Kemudian, Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat sertifikat keterampilan

kerja atau sertifikat keahlian kerja dari Asosiasi Profesi terakreditasi dan Institusi

Diklat terakreditasi tersebut wajib mengikuti registrasi yang dilakukan oleh LPJK.

Dari studi literatur mengenai bentuk pembinaan jasa konstruksi dengan program

sertifikasi, didapat sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi yang dilakukan oleh

LPJK seperti pada Gambar 2.4.

Secara umum, pengaturan yang dilakukan oleh LPJK sehubungan dengan

pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi, sebagai berikut:

1) Klasifikasi dan Kualifikasi SKA dan SKTK

Sertifikasi tenaga kerja konstruksi menurut PP No.28 Tahun 2000 dibedakan

atas sertifikasi keterampilan kerja dan sertifikasi keahlian kerja. Sertifikat

keterampilan kerja diberikan kepada tenaga kerja terampil yang telah

memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin keilmuan/keterampilan tertentu,

sementara sertifikat keahlian kerja diberikan kepada tenaga kerja ahli yang

Page 29: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-29

telah memenuhi persyaratan berdasarkan disiplin

keilmuan/kefungsian/keahlian tertentu. Sertifikasi keterampilan kerja dan

sertifikasi keahlian kerja dilakukan melalui klasifikasi dan kualifikasi tenaga

kerja konstruksi, yang mana jenis-jenis klasifikasi dan kualifikasi tersebut

ditetapkan oleh LPJK. Saat ini klasifikasi keahlian (SKA) dan keterampilan

(SKT) yang telah ditentukan LPJK dalam bentuk bidang/sub-bidang,

sementara kualifikasi dibedakan atas 3-4 tingkat kedalaman kompetensi,

seperti pada Tabel 2.5 dibawah ini.

Tabel 2. 5 Klasifikasi dan Kualifikasi SKA dan SKTK yang ditetapkan LPJK

No. Tenaga Kerja

Industri Konstruksi

Klasifikasi Kualifikasi Bidang Sub-Bidang

1. Tenaga Ahli 1. Arsitektur 1. Arsitek 2. Desain Interior 3. Arsitek Lansekap

1. Ahli Utama 2. Ahli Madya 3. Ahli Muda 4. SKA - P 2. Sipil 1. Teknik Sipil

2. Struktur 3. Transportasi 4. Sumber Daya Air 5. Geoteknik 6. Geodesi

3. Mekanikal 1. Teknik Mesin 2. Sistem Tata Udara dan Refrigerator 3. Sistem Plumbing 4. Sistem Transportasi dalam Gedung

4. Elektrikal 1. Teknik Tenaga Listrik 2. Teknik Elektronika dan

Telekomunikasi 5. Tata

Lingkungan 1. Teknik Lingkungan 2. Wilayah dan Perkotaan

6. Lain-lain 1. Manajemen 2. Quantity Surveyor 3. Penilai

2. Tenaga Terampil 1. Arsitek - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya

1. Tingkat I (tertinggi)

2. Tingkat II 3. Tingkat III 4. SKT - P

2. Sipil - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya

3. Mekanikal - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya

4. Elektrikal - Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya

5. Tata Lingkungan

- Pelaksana/Pengawas/Juru Gambar/dst.nya

6. Lain-lain - Mandor/Estimator

Page 30: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-30

2) Badan-Lembaga Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK

Pelaksanaan sertifikasi tenaga kerja konstruksi dilakukan oleh Badan

Sertifikasi Asosiasi (BSA) dan/atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK)

Asosiasi Profesi atau Badan Sertifikasi Keterampilan (BSK) Institusi

Pendidikan dan Pelatihan (Institusi Diklat) yang telah mendapat akreditasi dari

LPJK. Asosiasi Profesi yang BSA/BSK-nya telah diakreditasi dapat

melakukan sertifikasi tenaga ahli dan tenaga terampil, sedangkan Institusi

Diklat yang BSK-nya telah diakreditasi hanya dapat melakukan sertifikasi

tenaga terampil. Kemudian, Tenaga kerja konstruksi yang telah mendapat

sertifikat keterampilan kerja atau sertifikat keahlian kerja wajib mengikuti

registrasi yang dilakukan oleh LPJK.

3) Standar Kompetensi

Menurut SK Dewan Pengurus LPJK No. 70 Tahun 2001 Pasal 12, suatu BSA

untuk mendapatkan akreditasi dari LPJK disyaratkan mempunyai standar

dasar pendidikan keahlian sebagai salah satu persyaratan kelayakan program

sertifikasi. Sedangkan suatu BSK Institusi Diklat dan BSK Asosiasi Profesi

sebelum mendapatkan akreditasi dari LPJK, menurut SK Dewan Pengurus

LPJK No. 112 Tahun 2001 Pasal 19 dan SK Dewan Pengurus LPJK No. 95

Tahun 2005 Pasal 18, disyaratkan menyampaikan Standar Kompetensi

Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) atau Standar Kompetensi Kerja

lainnya, Standar Latihan Kerja (SLK) dan Materi Uji Keterampilan (MUK)

yang akan dipergunakan sebagai acuan sertifikasi sebagai salah satu kelayakan

program sertifikasi.

Dengan demikian, setiap Asosiasi Profesi dan Institusi Diklat yang akan

mengajukan akreditasi bebas menentukan standar kompetensi yang akan

digunakan dalam pelaksanaan program sertifikasinya. Adanya ketidaktegasan

aturan mengenai standar kompetensi yang digunakan memungkinkan

pelaksanaan program sertifikasi untuk suatu klasifikasi bidang/sub bidang

yang sama menggunakan standar kompetensi yang berbeda. Keberagaman ini

lebih besar terjadi pada sertifikasi keahlian dibandingkan dengan sertifikasi

keterampilan kerja, karena pada umumnya untuk sertifikasi keterampilan kerja

menggunakan SKKNI. Walaupun demikian, penggunaan standar kompetensi

Page 31: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-31

yang berbeda-beda tersebut telah berusaha dikendalikan dengan adanya

persyaratan pembakuan standar kompetensi dan adanya penilaian terhadap

standar kompetensi yang digunakan dalam program sertifikasi BSA/BSK pada

saat akreditasi oleh LPJK (BPKSDM, 2007).

Sebagai gambaran permasalahan sehubungan dengan beragamnya standar

kompetensi yang ada di Indonesia adalah Departemen PU telah menerbitkan

standar kompetensi untuk tenaga ahli dan tenaga terampil bidang jasa

konstruksi. Melalui Kepmen PU No.340/KPTS/M/2007 diterbitkan 53 Standar

Kompetensi Kerja tenaga terampil bidang jasa konstruksi, dan 23 Standar

Kompetensi Kerja tenaga ahli bidang jasa konstruksi. Adapun klasifikasi dan

kualifikasi SKA dan SKT yang ditetapkan LPJK dengan standar kompetensi

untuk tenaga ahli dan tenaga terampil bidang jasa konstruksi yang diterbitkan

Departemen PU terdapat ketidakcocokan satu sama lain, hal tersebut

menunjukkan tidak ada koordinasi dalam penyusunan standar kompetensi

tenaga kerja konstruksi, sehingga menyebabkan ketidakjelasan akan standar

kompetensi mana yang dipakai dan dijadikan acuan dalam mensertifikasi

tenaga kerja konstruksi.

Page 32: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-32

Gambar 2. 4 Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut LPJK

Page 33: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-33

C. Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi menurut BNSP

Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) dibentuk berdasarkan PP No. 23

Tahun 2004, adalah lembaga independen yang bertanggung jawab langsung

kepada Presiden, dengan tugas menyelenggarakan sertifikasi tenaga kerja melalui

uji kompetensi. Dengan tugas seperti itu, pada dasarnya BNSP adalah lembaga

pengendali mutu/kualitas tenaga kerja di Indonesia. Keberadaan BNSP kurang

lebih sama dengan Badan Standardisasi Nasional (BSN). Apabila BSN

mengendalikan mutu barang dan jasa, maka BNSP mengendalikan mutu tenaga

kerjanya. Ke dua badan ini akan saling melengkapi, sehingga peningkatan mutu

dan produktivitas nasional Indonesia akan dapat dilakukan lebih cepat. Hal ini

penting untuk peningkatan daya saing indonesia di pasar global.

Pembentukan BNSP merupakan bagian integral dari pengembngan sistem dan

kelembagaan paradigma baru pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam

pengembangan SDM berbasis kompetensi. Dalam pengembangan SDM berbasis

kompetensi, ada tiga pilar utama yang harus dibangun secara sinerjik, yaitu

pengembangan standar kompetensi nasional, pengembangan pendidikan, pelatihan

berbasis kompetensi, serta pengembagan sistem kelembagaan sertifikasi

kompetensi yang independen.

Pembentukan BNSP dimulai dari SKB Menteri Tenaga Kerja, Menteri Pendidikan

Nasional dan Menteri Perdagangan serta Ketua Umum Kadin Indonesia pada

bulan Mei tahun 2000. Dalam melaksanakan tugasnya, BNSP dapat

mendelegasikan pelaksanaan uji kompetensi dan sertifikasi kompetensi profesi

tersebut kepada Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) melalui pemberian lisensi.

Dalam upaya pengaturan pelaksanaan sertifikasi kompetensi profesi, BNSP telah

mengeluarkan beberapa pedoman sebagai acuan kerja bagi BNSP meliputi,

antara lain:

1) BNSP 201 Rev.1 Penilaian Kesesuaian Persyaratan Umum LSP

2) BNSP 202 Rev.1 2006 Pedoman Penyiapan & Lisensi LSP

3) BNSP 203 Pedoman Penyelenggaraan Pelatihan Asesor Lisensi 2007

4) BNSP 204 Kriteria Asesor Lisensi

Page 34: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-34

5) BNSP 205 Kriteria Lembaga Penyelenggara Pelatihan Asesor Lisensi

6) BNSP 206 Persyaratan Umum TUK

7) BNSP 207 Persyaratan Pembentukan LSP Cabang

8) BNSP 208 Pedoman Prosedur Lisensi LSP

9) BNSP 301 Pedoman Pelaksanaan Uji Kompetensi

10) BNSP 302 Penerbitan Sertifikat

11) BNSP 401 Pembentukan Badan Koordinasi SP

Secara umum, pada BNSP, badan-lembaga sertifikasi tenaga kerja konstruksi

yang melaksanakan uji kompetensi dinamakan Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP)

yaitu Lembaga pelaksana kegiatan sertifikasi profesi yang mendapatkan lisensi

dari BNSP. LSP merupakan organisasi tingkat nasional yang berkedudukan di

wilayah Republik Indonesia. LSP dapat memiliki cabang yang berkedudukan di

kota lain. Dalam mekanisme sertifikasi kompetensi BNSP, LSP Pusat dapat

menetapkan LSP Cabang di Daerah. Kemudian LSP Cabang dengan berkoordinasi

dengan BNSP menugaskan Asesor Kompetensi untuk melakukan pengujian di

Tempat Uji Kompetensi (TUK).

Berikut ditunjukkan mekanisme sertifikasi kompetensi yang dilakukan oleh BNSP

pada Gambar 2.5.

Page 35: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

Gambar 2. 5 Mekanisme Sertifikasi Kompetensi BNSP

Page 36: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-36

Sistem Sertifikasi Tenaga Kerja Konstruksi di Negara Lain Berikut disampaikan hasil kajian dan review yang dilakukan BPKSDM (2007) di

negara lain (Malaysia, Singapura, dan Australia) sebagai benchmarking mulai dari

tentang bagaimana sistem sertifikasi di negara-negara tersebut berjalan, hingga

kapasitas apa saja yang harus dimiliki sebuah lembaga pelatihan (training providers)

untuk bisa melakukan pelatihan dan sertifikasi tenaga terampil.

A. Malaysia

Pemerintah Malaysia melalui Board of Engineers Malaysia (BEM), yang didirikan

pada tahun 1972, dan bertujuan untuk mengatur kegiatan registrasi engineer agar

dapat bersaing di masyarakat. Fungsi dari Board of Engineers Malaysia (BEM)

adalah:

Maintaining the Register

Processing Application for Registration

Assessment of Academic Qualifications

Regulating the Conduct and Ethics of the Engineering Profession

Fixing the Scale of Fees

Publication

Promotion of Continued Learning Education

Sistem Sertifikasi Tenaga Ahli di Malaysia dapat dilihat pada Gambar 2.6 di

berikut.

Page 37: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-37

Gambar 2. 6 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Malaysia

B. Singapura

Pemerintah Singapura melalui Institution of Engineering Singapore (IES), yaitu

suatu badan nasional yang bekerjasama dengan pemerintah, berusaha untuk

mengembangkan dan meningkatkan profession of engineering di Singapura.

Pada Gambar 2.7 berikut dapat dilihat Sistem Sertifikasi Tenaga Ahli di

Singapura, yang dilakukan unit atau Tim di bawah Intitution of Engineering

Singapura)

Page 38: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-38

Gambar 2. 7 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Singapura

Page 39: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-39

C. ASEAN Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services

Di era globalisasi yang mengarah kepada perdagangan bebas, keberadaan MRA

dirasakan sangat penting. Perjanjian Saling Mengakui atau Mutual Recognition

Agreement (MRA) merupakan fasilitas atau bentuk akhir dari mata rantai/proses

perdagangan internasional dimana tercapai suatu kesepakatan antar negara untuk

saling mengakui dan saling bekerjasama dalam bidang-bidang yang telah

disepakati. Kesepakatan tersebut tertuang dalam bentuk Memorandum of

Understanding (MOU) sebagai wujud dari kepercayaan bersama dalam hal

kemampuan teknis.

ASEAN Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services

merupakan Perjanjian Saling Mengakui dalam hubungan kerjasama regional

negara-negara ASEAN yaitu Indonesia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos,

Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, dan Vietnam, dalam bidang

engineering services. Adapun tujuan MRA ini untuk memfasilitasi mobilitas

engineering services professionals di seluruh negara-negara ASEAN, serta untuk

memudahkan pertukaran informasi dengan dasar tujuan to promote adoption of

best practices on standards and qualifications antar sesama negara-negara di

ASEAN.

Dalam Memorandum of Understanding (MOU) yang tertuang dalam ASEAN

Mutual Recognition Agreement (MRA) for Engineering Services, untuk bisa

teregistrasi sebagai Professional Engineer dalam tenaga ahli tersebut harus :

1. Mengikuti dan lulus program sertifikasi dari lembaga yang telah

diakreditasi oleh ASEAN;

2. Telah lulus sebagai tenaga ahli oleh tim penilai ASEAN

3. Memiliki pengalaman selama 7 tahun

4. Telah menangani sebagai penanggung jawab pekerjaan pada pekerjaan

yang besar.

5. Mematuhi kebijakan Continuing Professional Development (CPD).

6. Setiap professional engineers harus;

i. Mematuhi kebijakan kode etik professional engineers

ii. Bertanggung jawab

Page 40: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-40

Dilihat dari persyaratan yang dimiliki dalam ASEAN Mutual Recognition

Agreement (MRA) for Engineering Services kriteria tersebut sudah setara dengan

SKA muda atau madya bila dibandingkan dengan sistem SKA yang dimiliki oleh

Indonesia. Hal ini dilihat dari syarat pengalaman yang harus dimiliki oleh seorang

professional engineer adalah 7 tahun.

Dengan telah dilakukannya MRA oleh negara-negara yang tergabung dalam

ASEAN mengenai pengaturan Engineering Services, maka pengaturan tenaga

kerja konstruksi di Indonesia juga sudah perlu mengacu kepada hal tersebut.

Sehingga tenaga kerja konstruksi nasional yang memenuhi bakuan kompetensi

yang telah disepakati bersama (ASEAN), dapat melakukan kegiatan profesinya di

semua negara-negara ASEAN tersebut.

D. Australia

Pemerintah Australia melalui Institution of Engineers Australia (IEAust), yaitu

sebuah badan nasional yang bekerjasama dengan pemerintah, industri dan badan

pendidikan, berusaha untuk memajukan bidang pendidikan teknik dan praktek

konstruksi di Australia dan sistem sertifikasi yang digunakan IEAust adalah

seperti Gambar 2.8 berikut.

Page 41: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-41

Gambar 2. 8 Sistem Akreditasi dan Sertifikasi Tenaga Ahli di Australia

Page 42: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-42

Sistem Pengukuran Kinerja

2.3.1 Kinerja dan Indikator Kinerja

A. Kinerja

Secara singkat kinerja dapat diartikan sebagai tingkat pencapaian kegiatan

dibandingkan terhadap tujuan atau target yang hendak dicapai. Pengertian lain

yang sejalan dengan definisi kinerja yang diuraikan oleh beberapa pakar berikut.

1. Kinerja mengacu pada sesuatu yang terkait dengan kegiatan melakukan

pekerjaan, dalam hal ini meliputi hasil yang dicapai kerja tersebut (Otley,

1999).

2. Kinerja adalah kontribusi individu terhadap pelaksanaan dari tugas yang

harus dikerjakan di dalam menyelesaikan proyek konstruksi (Liu and

Walker, 1998).

3. Kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan

tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi

ekonomi (Armstrong dan Baron, 1998).

Kinerja merupakan suatu konstruk (construct) yang bersifat multidimensional,

pengukurannya juga bervariasi tergantung pada kompleksitas faktor-faktor yang

membentuk kinerja. Beberapa pihak berpendapat bahwa kinerja mestinya

didefinisikan sebagai hasil kerja itu sendiri (outcomes of work), karena hasil kerja

memberikan keterkaitan yang kuat terhadap tujuan-tujuan strategik organisasi,

kepuasan pelanggan, dan kontribusi ekonomi (Rogers, 1994).

Dari definisi di atas dapat diketahui pula bahwa kinerja dapat merupakan kinerja

individu maupun kinerja organisasi. Di samping itu, kinerja menunjukkan dua hal

utama yaitu seberapa besar usaha yang dilakukan oleh individu atau organisasi

untuk mencapai tujuan atau target yang telah ditetapkan dan sejauh mana hasilnya

dibandingkan dengan tujuan atau target tersebut. Uraian di atas ditampilkan dalam

bentuk matriks yang memberikan informasi posisi kinerja yang akan diukur.

Page 43: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-43

Tabel 2. 6 Matriks Kinerja

Individu Organisasi

Output √ √

Proses √ √

Outcome √ √

Dalam hal kinerja merupakan suatu konstruk multidimensional yang mencakup

banyak faktor yang mempengaruhi, pada sistem pengukuran kinerja tradisional,

kinerja hanya dikaitkan dengan faktor personal, namun dalam kenyataannya,

kinerja sering diakibatkan oleh faktor-faktor lain di luar faktor personal seperti

sistem, situasi, kepemimpinan, atau tim. Proses pengukuran kinerja individual

harus diperluas dengan pengukuran kinerja tim dan efektivitas manajernya. Hal itu

karena yang dilakukan individu merupakan refleksi perilaku anggota grup dan

pimpinan. Dengan demikian, kinerja organisasi pada dasarnya merupakan

tanggung jawab setiap individu yang bekerja dalam organisasi.

B. Indikator Kinerja

Konsep dasar indikator kinerja adalah suatu ukuran kuantitatif dan/atau kualitatif

yang menggambarkan tingkat pencapaian suatu tujuan atau target yang telah

ditetapkan. Oleh sebab itu indikator kinerja harus merupakan sesuatu yang dapat

diukur dan dihitung, serta dapat digunakan sebagai dasar untuk menilai atau

melihat tingkat kinerja baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan maupun

setelah kegiatan selesai.

Penetapan indikator kinerja merupakan proses identifikasi dan klasifikasi

indikator kinerja melalui sistem pengumpulan dan pengolahan data/informasi

untuk menentukan capaian tingkat kinerja kegiatan/ program. Penetapan indikator

kinerja tersebut dapat didasarkan pada kelompok menurut masukan (input),

keluaran (output), hasil (outcome), manfaat (benefit) dan dampak (impact) serta

indikator proses jika diperlukan untuk menunjukkan proses manajemen kegiatan

yang telah terjadi.

Dengan demikian indikator tersebut dapat digunakan untuk evaluasi baik dalam

tahap perencanaan(ex-ante), tahap pelaksanaan (on-going) atau pun tahap setelah

Page 44: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-44

kegiatan itu selesai dan berfungi (ex-post). Perlu dicatat bahwa untuk indikator

kinerja input dan output dapat dinilai sebelum kegiatan yang dilakukan selesai.

Sedangkan untuk indikator outcomes, benefit dan impact mungkin baru diperoleh

setelah beberapa waktu kegiatan berlalu.

Pada umumnya KPI itu memiliki 4 tingkatan yaitu KPI Eksak (Exact), Proksi

(Proxy), Aktivitas (Activity), dan Proyek (Project). Dapat dilihat pada Gambar

2.9 berikut.

Gambar 2. 9 Empat Jenis Indikator Kinerja

Indikator kinerja memiliki dimensi lain yaitu indikator kinerja makro dan indikator

kinerja mikro. Antara indikator kinerja makro dengan mikro harus terdapat hubungan

yang selaras dan konsisten karena kinerja makro merupakan agregat dari kinerja

mikro. Kinerja tiap-tiap unit kerja (mikro) apabila digabungkan secara bersama-sama

akan membentuk kinerja organisasi secara keseluruhan (makro). Pada umumnya

publik dan pihak ketiga akan lebih tertarik untuk mengukur kinerja makro karena

lebih bersifat strategik dan global. Sementara itu, manajemen membutuhkan indikator

kinerja mikro untuk mengelola kinerja organisasi dengan baik.

Dalam mengembangkan indikator kinerja, harus diperhatikan berbagai aspek agar

indikator kinerja yang dihasilkan tidak memberikan gambaran kinerja yang terdistorsi.

Page 45: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-45

Sistem pengukuran kinerja yang efektif dan tidak terdistorsi diperoleh melalui desain

indikator kinerja yang baik. Beberapa syarat indikator kinerja yang baik antara lain:

1. Konsistensi terhadap waktu dan juga konsisten antarunit.

2. Dapat diperbandingkan terhadap waktu dan juga konsisten antarunit.

3. Jelas dan sederhana agar mudah dipahami.

4. Dapat dikontrol oleh manajemen.

5. Fleksibel karena indikator kinerja dipengaruhi oleh perubahan faktor lingkungan.

6. Komprehensif dan dapat merefleksikan semua aspek yang diukur

7. Fokus pada sesuatu yang diukur.

8. Relevan dengan kebutuhan dan kondisi agar manajemen mampu berkonsentrasi

pada kinerja yang membutuhkan prioritas.

9. Realistis. Indikator kinerja dan target kinerja yang ditetapkan harus didasarkan

pada harapan yang realistis sehingga memungkinkan untuk dicapai.

Adapun langkah-langkah dalam menyusun indikator kinerja, antara lain:

1. Menentukan jenis program

2. Menentukan outcome yang diharapkan dan masyarakat sasaran

3. Menentukan tujuan dan indikator efektivitas

4. Menentukan output dan indikator efisiensi

2.3.2 Manajemen berbasis Kinerja

Manajemen berbasis kinerja merupakann suatu metode untuk mengukur kemajuan

program atau aktivitas yang dilakukan organisasi sektor publik dalam mencapai hasil

atau outcome yang diharapkan oleh klien, pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam

Performance Managemen Handbook Departemen Energi USA, manajemen berbasis

kinerja didefinisikan sebagai berikut :

” Performance based management is a systematic approach to performance

improvement through an ongoing process of establishing strategic performance

objectives; measuring performace; collecting, analyzing, reviewing, and reporting

performance data; and using that data to drive performance improvement”

Page 46: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-46

Berdasarkan definisi tersebuit, kata kunci manajemen berbasis kinerja, yaitu

• Proses yang sistematik

• Untuk memperbaiki kinerja

• Melalui proses berkelanjutan dan berjangka panjang

• Meliputi penetapan sasaran kinerja strategic

• Mengukur kinerja

• Mengumpulkan, menganalisis, menelaah, dan melaporkan data kinerja

• Menggunakannya untuk perbaikan kinerja secara berkelanjutan.

Manajemen kinerja adalah proses yang sistematik, artinya untuk memperbaiki kinerja

diperlukan langka-langkah atau tahap-tahap yang terencana dengan baik. Proses

perbaikan kinerja bukan merupakan kerja jangka pendek, melainkan merupakan

proses evolutif yang berjangka panjang. Manajemen berbasis kinerja tersebut pada

akhirnya akan berdampak pada perbaikan budaya kinerja. Budaya merupakan produk

suatu tradisi yang panjang. Perubahan budaya memerlukan waktu yang lama.

Demikian juga melakukan perubahan budaya kinerja memerlukan perencanaan yang

matang, holistic dan jangka panjang.

Manajemen berbasis kinerja dilakuakn secara berkelanjutan dan berjangka panjang

yang meliputi kegiatan penetapan sasaran-sasaran kinerja strategic, pengukuran

kinerja pengumpulan data kinerja dan pelaporan kinerja. Data kinerja dan pelaporan

kinerja memberikan umpan balik (feedback) untuk melalukan perbaikan kinerja.

Dengan demikian, manajemen berbasis kinerja menghendaki dilakukannya perbaikan

kinerja secara berkelanjutan (continuous performance improvement)

Manajemen berbasis kinerja membutukan alat yang disebut pengukuran kinerja.

Pengukuran kinerja digunakan sebagai dasar untuk melakukan penilaian kinerja, yaitu

untuk menilai sukses atau tidaknya suatu organisasi, program, atau kegiatan. Dengan

kata lain pengukuran kinerja merupakan elemen pokok manajemenberbasis kinerja.

Jika sebelumnya kita sudah mengetahui makna manajemen berbasis kinerja, maka

pertanyaannya sekarang ada apa makna kinerja dan pengukuran kinerja itu ?

Pertanyaan ini sangat penting diajukan karena ada pernyataan ” if you can’t define

performance, you can’t measure or manage it.”

Page 47: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-47

Fokus manajemen kinerja pada salah satu komponen tersebut akan membepngaruhi

pendekatan manajemen kinerja yang dipilih. Manajemen kinerja mungkin akan

berfokus pada : a) pelakunya (pegawai), b) perilaku (proses), atau hasilnya. Perbedaan

penekanan ini akan mempengaruhi pendekatan manajemen kinerja yang dipilih,

apakah berfokus pada orangnya prosesnya (means), ataukah hasil (ends). Gambar

2.10. menunjukkan berbagai pendekatan manajemen kinerja.

Gambar 2.10 Model Pendekatan Manajemen Kinerja

2.3.3 Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kemajuan pekerjaan terhadap

tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan, termasuk informasi atas efesiensi

penggunaan sumberdaya dalam menghasilkan barang dan jasa, kualitas barang dan

jasa, perbandingan hasil kegiatan dengan target, dan efektivitas tindakan dalam

mencapai tujuan (Robertson, 2002).

Salah satu bentuk kebutuhan pengukuran kinerja adalah kebutuhan pengukuran

kinerja operasi manufaktur maupun operasi non manufaktur dan pengukuran tersebut

berbentuk suatu sistem yang terdiri atas beberapa sub sistem. Globerson (1985)

menyatakan bahwa suatu pengukuran kinerja adalah suatu cara sistematik untuk

mengevaluasi masukan (input), keluaran (output), transformasi (transformation) dan

produktifitas (productivity) dalam operasi manufaktur ataupun operasi non

manufaktur (Globerson, 1985).

Manajemen Kinerja Berfokus

Pada Pelaku (Performance)

Manajemen Kinerja Berfokus

Pada Perilaku (Proses)

Manajemen Kinerja Berfokus

Pada Hasil (Output)

Pelaku (Pegawai)

Perilaku (Proses)

Hasil (Outcome/Result)

Page 48: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-48

Bentuk lain kebutuhan pengukuran kinerja dalam sebuah organisasi publik, seperti

menurut U.S General Accounting Office (GAO) dalam buku “Performance

Measurement and Evaluation: Definitions and Relationships” (GAO/GGD-98-26),

sistem pengukuran kinerja (performance measurement system) adalah: “Performance

measurement system is the ongoing monitoring and reporting of program

accomplishments, particularly progress towards preestablished goals. It is typically

conducted by program or agency management. Performance measures may address

the type or level of program activities conducted (process), the direct products and

services delivered by a program (outputs), and/or the results of those products and

services (outcomes). A program” may be any activity, project, function, or policy that

has an identifiable purpose or set of objectives.”

Dari beberapa pengertian pengukuran kinerja di atas, penting untuk ditentukan apakah

tujuan pengukuran adalah untuk menilai hasil kinerja (performance outcome) ataukah

menilai perilaku (personality). Oleh karena itu, suatu organisasi seharusnya

membedakan antara outcome (hasil), perilaku (proses), dan alat pengukur kinerja yang

tepat (John Isaac Mwita, 2000). Pengukuran kinerja paling tidak harus mencakup tiga

variabel penting yang harus dipertimbangkan, yaitu

1. Perilaku (proses),

2. Output (produk langsung suatu aktivitas/program), dan

3. Outcome (value added atau dampak aktivitas/program)

Perilaku, hasil, dan nilai tambah merupakan variabel yang tidak dapat dipisahkan dan

saling tergantung satu dengan lainnya. Pengukuran kinerja meliputi aktivitas

penetapan serangkaian ukuran atau indikator kinerja yang memberikan informasi

sehingga memungkinkan bagi unit kerja sektor publik memonitor kinerjanya dalam

menghasilkan output dan outcome terhadap masyarakat (pelanggan).

Pengukuran kinerja sektor publik dalam beberapa hal berbeda dengan sektor swasta

(Mahmudi, 2007). Di sektor swasta, tujuan utama organisasi lebih jelas yaitu

menghasilkan laba yang dapat diukur dengan ukuran (indikator) finansial. Berbeda

halnya dengan sektor publik , kehadirannya dalah untuk memperbaiki kehidupan

masyarakat dengan cara memberikan pelayanan terbaik yang hal itu seringkali sulit

diukur dengan ukuran finansial.

Page 49: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-49

Pengukuran kinerja sektor publik

Pengukuran kinerja di sektor publik bermanfaat untuk membantu manajer unit kerja

dalam memonitor dan memperbaiki kinerja dan berfokus pada tujuan organisasi

dalam rangka memenuhi tuntutan akuntabilitas (pertanggungjawaban) publik. Hal ini

berkaitan dengan adanya tekanan terhadap organisasi sektor publik, khususnya

organisasi pemerintah baik pusat dan daerah serta perusahaan milik pemerintah, dan

organisasi sektor publik lainnya untuk memperbaiki kinerjanya dan membuat sistem

akuntabilitas berbasis hasil (result-based accountability system).

Menurut Mahmudi, 2007, maksud dan tujuan dilakukannya pengukuran kinerja di

sektor publik adalah:

- Mengetahui tingkat ketercapaian tujuan organisasi

- Menyediakan sarana pembelajaran pegawai

- Memperbaiki kinerja periode berikutnya

- Memberikan pertimbangan yang sistematik dalam pembuatan keputusan

pemberian reward dan punishment

- Memotivasi pegawai

- Menciptakan akuntabilitas publik

Dengan kata lain, pengukuran kinerja merupakan alat untuk menilai kesuksesan

organisasi. Dalam konteks organisasi sektor publik, kesuksesan organisasi itu akan

digunakan untuk legitimasi dan dukungan publik. Masyarakat akan menilai

kesuksesan organisasi sektor publik melalui kemampuan organisasi dalam

memberikan pelayanan publik yang relatif murah dan berkualitas. Mengukur

kesuksesan sektor publik tidak semudah mengukur kesuksesan perusahaan bisnis.

Untuk mengukur sukses atau tidaknya suatu organisasi sektor publik perlu diketahui

beberapa hal penting berikut:

- Apa yang sebenarnya akan diukur?

- Skala atau ukuran apa yang akan digunakan?

- Berapa toleransi kesalahan (margin of error) yang dapat diterima?

- Siapa yang akan mengukur?

- Untuk siapa informasi kinerja tersebut dan apa yang akan mereka lakukan dengan

laporan hasil kinerja tersebut?

Page 50: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-50

Sebagai ilustrasi, ukuran kesuksesan pelayanan transportasi bukan hanya sekedar

ukuran kuantitatif seperti jumlah kilometer jalan yang dibangun atau bertambahnya

jumlah penumpang yang terangkut, tapi juga ukuran kualitatif seperti kualitas jalan.

Ilustrasi lain yang merupakan gambaran hasil yang diinginkan publik, misalnya untuk

suatu program pengentasan kemiskinan. Ukuran keberhasilan program tersebut

bukanlah banyaknya kegiatan seminar tentang kemiskinan yang telah dilakukan, atau

dana yang telah dikucurkan, namun hasil program itu apakah benar-benar mampu

menurunkan angka kemiskinan, berapa besar kontribusi program tersebut dalam

menurunkan tingkat kemiskinan.

2.3.4 Konsep dan Perkembangan Balanced Scorecard

Balanced Scorecard (BSC) merupakan konsep manajemen kinerja kontemporer yang

mulai banyak diaplikasikan pada organisasi sektor publik, termasuk organisasi

pemerintahan. Pada awalnya BSC diterapkan pada organisasi bisnis, terutama

perusahaan-perusahaan besar di Amerika Serikat. BSC dinilai cocok untuk organisasi

sektor publik karena BSC tidak hanya menekankan pada aspek kuantitatif-finansial,

tetapi aspek kualitatif dan nonfinansial. Hal tersebut sejalan dengan sektor publik

yang menempatkan laba bukan sebagai ukuran (indikator) kinerja utama, namun

pelayanan yang cenderung bersifat kualitatif dan nonfinansial. Meskipun konsep ini

lahir di dunia bisnis, organisasi sektor publik juga dapat mengadopsi konsep BSC

dengan beberapa modifikasi (Mahmudi, 2007). Sebagai ilustrasi, pengalaman sukses

BSC untuk mendongkrak kinerja organisasi tidak hanya dialami oleh perusahaan

swasta, tetapi juga oleh beberapa pemerintahan daerah, misalnya City of Charlotte,

Amerika Serikat.

Dalam perkembangannya, BSC tidak hanya sekadar alat pengukuran kinerja, tetapi

sebagai sistem manajemen strategik perusahaan yang digunakan untuk

menterjemahkan visi, misi, tujuan, dan strategi ke dalam sasaran strategik dan inisiatif

strategic yang komprehensif, koheren, dan terukur. Perkembangan BSC telah

mengalami beberapa generasi.

Page 51: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-51

A. BSC Generasi Pertama

Balanced Scorecard (BSC) pertama kali muncul pada tahun 1992, dalam artikel

yang ditulis oleh Kaplan dan Norton dalam majalah Harvard Business Review

edisi Januari-Februari 1992 (BSC Generasi Pertama). Pada generasi pertama ini,

BSC digunakan sebagai alat untuk pengukuran kinerja organisasi melalui empat

perspektif ukuran (indikator) kinerja, yang digambarkan dalam Gambar berikut.

Gambar 2.11 BSC Generasi Pertama: BSC sebagai alat pengukuran kinerja

Dengan menggunakan kerangka BSC, kinerja organisasi diukur melalui empat

kartu skor yang berimbang. Evaluasi kinerja dilakukan dengan cara

membandingkan rencana skor yang hendak diwujudkan dengan hasil kinerja yang

sesungguhnya dicapai. Kartu skor tersebut memiliki sifat berimbang, artinya

terdapat keseimbangan ukuran (indikator) kinerja yaitu antara ukuran (indikator)

finansial dengan nonfinansial, antara ukuran (indikator) kinerja masa lampau,

masa kini, dan masa depan, antara ukuran (indikator) internal dengan eksternal,

dan antara kinerja jangka pendek dengan jangka panjang.

Page 52: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-52

Walaupun BSC Generasi Pertama telah membuat keterkaitan antara empat

perspektif, namun BSC Generasi Pertama masih menimbulkan kesulitan terutama

terkait dengan:

- Pemilihan atau penentuan ukuran (indikator) kinerja serta

- Pengelompokan ukuran (indikator) kinerja ke setiap perspektif.

B. BSC Generasi Kedua

Pada tahun 1996, Kaplan dan Norton merevisi BSC yang telah mereka bangun

sebelumnya. Perubahan BSC Generasi Kedua cukup signifikan bila dibandingkan

dengan BSC Generasi Pertama.

- Dalam BSC Generasi Kedua, BSC sebagai elemen utama sistem manajemen

strategik digunakan untuk mengimplementasikan strategi. Konsekuensi

perubahan tersebut adalah perubahan metodologi perancangan BSC.

- Dalam BSC Generasi Kedua mulai dikembangkan hubungan atau kaitan

strategik (strategic linkage) antara berbagai ukuran (indikator) kinerja dengan

sasaran strategik (strategic objectives), bukan sekadar keterkaitan

antarperspektif saja (BSC Generasi Pertama).

Model BSC Generasi Kedua telah membuat sasaran strategik (strategic

objectives) dan kaitan strategik (strategic linkage) sehingga manajemen dapat

mengetahui bahwa adanya hubungan kausalitas yang menyebabkan ukuran

(indikator) kinerja satu akan mempengaruhi ukuran (indikator) kinerja yang lain

dan memudahkan dilakukannya komunikasi strategi.

BSC Generasi Kedua lebih komprehensif dibandingkan BSC Generasi Pertama,

tetapi model tersebut masih menimbulkan beberapa kesulitan terutama:

- Ketika organisasi harus menentukan model kaitan strategik (strategic linkage)

antar ukuran (indikator) kinerja dalam keempat perspektif.

- Manajemen mengalami kesulitan dalam menentukan prioritas tujuan strategik

dan target yang mendukung pencapaian visi dan misi organisasi.

Beberapa kelemahan tersebut mendorong terus dilakukannya penyempurnaan

BSC sehingga muncul BSC Generasi Ketiga.

Page 53: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-53

C. BSC Generasi Ketiga

BSC Generasi Ketiga merupakan perbaikan model dengan penekanan pada

peningkatan fungsi dan relevansi strategi. Pengembangan itu berakar pada

masalah yang terkait dengan penentuan target dan validitas pemilihan sasaran

strategik. Untuk mengatasinya maka perlu dilakukan pengecekan terhadap

pernyataan tujuan, ukuran (indikator) kinerja yang dipilih, dan penetapan target

kinerja. Relevansi strategi dan target kinerja menjadi isu penting dalam

kenyataannya banyak organisasi yang memiliki visi, misi, dan strategi yang bagus,

tetapi organisasi tersebut masih gagal atau kinerjanya rendah. Kegagalan

seringkali disebabkan organisasi tidak berfokus pada strategi. Dapat disimpulkan

bahwa BSC Generasi Ketiga digunakan sebagai alat untuk:

- Pemfokus strategi (strategy focused) dimana sangat powerful dalam mengatasi

masalah terjadinya keterputusan antara visi, misi, sasaran strategi, inisiatif

strategi, ukuran (indikator) kinerja, target kinerja, anggaran, dan pelaksanaan

anggaran.

- Pemetaan strategi (strategy mapping). Seberapa akurat, detail, dan aktual peta

strategi akan memepengaruhi tingkat kesuksesan yang akan dicapai.

Gambar 2.12 BSC Generasi Ketiga: BSC sebagai alat manajemen strategik untuk

menterjemahkan visi dan misi

Page 54: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-54

Lebih lanjut, yang dilakukan BSC Generasi Ketiga sebagai alat manajemen

strategik adalah manajemen menjabarkan inisiatif strategik ke dalam program dan

anggaran (Gambar ). Sangat mungkin terjadi anggaran yang disusun manajemen

tidak terkait dengan pencapaian visi, misi, dan tujuan organisasi. Dalam kerangka

BSC, antara masing-masing tahapan dalam sistem manajemen strategik tidak

terjadi keterputusan (missing link).

Gambar 2.13 Balanced Scorecard sebagai alat sistem manajemen strategik

2.3.5 Balanced Scorecard untuk Organisasi Sektor Publik

Meskipun pada awalnya didesain untuk organisasi bisnis yang bergerak di sektor

swasta, namun pada perkembangnnnya BSC dapat diterapkan pada organisasi sektor

public dan organisasi nonprofit lainnya. Perbedaan utama organisasi sektor publik

dengan sektor swasta terutama adalah pada tujuannya (bottom line). Sektor swasta

(bisnis/komersial) bertujuan untuk mencari laba (profit maximization), sedangkan

Page 55: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-55

sektor publik bersifat nonprofit motive yaitu maksimisasi pelayanan publik (public

service maximization).

Kaplan dan Norton memberikan gambaran bahwa memimpin organisasi seperti pilot

menjalankan pesawat terbang. Dalam menjalankan pesawat terbang, pilot

membutuhkan informasi yang lengkap mengenai tekanan udara, ketinggian,

kecepatan, keadaan bahan bakar, tujuan penerbangan, beban, dan ukuran (indikator)

lainnya. Jika hanya mengandalkan satu ukuran (indikator) saja maka dapat berakibat

fatal. Demikian pula dengan organisasi, jika organisasi hanya mengandalkan satu

ukuran (indikator) saja, misalnya indicator keuangan saja, dan mengabaikan ukuran

(indikator) lainnya maka organisasi akan mengalami kegagalan. BSC memberikan

kerangka bagi manager untuk melihat kinerja organisasi dari empat perspektif yaitu

perspektif pelanggan, finansial, proses internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan.

Kerangka tersebut tidak terbatas untuk organisasi bisnis, akan tetapi organisasi sektor

public dapat menggunakannya dengan penempatan tumpuan (leverage) yang berbeda.

Tumpuan pada organisasi bisnis adalah perspektif finansial, sedangkan tumpuan pada

organisasi publik adalah perspektif pelanggan karena pelayanan publik merupakan

bottom line organisasi (Tabel ).

Tabel 2.7 Perbandingan Kerangka Balanced Scorecard sektor swasta dengan sektor publik

PERSPEKTIF SEKTOR SWASTA SEKTOR PUBLIK

Pelanggan Bagaimana pelanggan melihat kita? Bagaimana masyarakat pengguna pelayanan publik melihat kita?

Keuangan Bagaimana kita melihat pemegang saham?

Bagaimana kita meningkatkan pendapatan dan mengurangi biaya? Bagaimana kita melihat pembayar pajak?

Proses Internal Keunggulan apa yang harus kita miliki? Bagaimana kita membangun keunggulan?

Pertumbuhan dan Pembelajaran

Bagaimana kita harus memperbaiki dan menciptakan nilai?

Bagaimana kita terus melakukan perbaikan dan menambah nilai bagi pelanggan dan stakeholders?

Dalam suatu organisasi terdapat struktur pengendalian manajemen yang salah satu

bentuknya adalah pusat pertanggungjawaban. Pusat pertanggungjawaban dapat

dibedakan atas pusat pelayanan/pendukung (support centre) dan pusat misi. Adanya

konsep pusat pertanggungjawaban memberikan konsekuensi adanya berbagai level

strategi. Organisasi perlu membuat keterkaitan antara strategi organisasi dengan

struktur pusat pertanggungjawaban karena setiap unit organisasi beroperasi dengan

Page 56: BAB II KAJIAN PUSTAKA - Perpustakaan Digital ITBdigilib.itb.ac.id/files/disk1/628/jbptitbpp-gdl-elizarosma-31393-3... · Industri Jasa Konstruksi ... bangunan infrastruktur maupun

II-56

strategi yang berbeda-beda. Strategi yang berbeda akan berimplikasi pada ukuran

(indikator) kinerja yang berbeda. Jenis tingkatan strategi organisasi pada dasarnya

dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:

1. Strategi organisasi pusat/induk, terkait dengan tiga hal utama:

a. Strategi pengarahan, misalnya pertumbuhan, stabilitas, atau pilihan keluar dari

bisnis saat ini

b. Strategi portofolio, misalnya strategi untuk masuk ke berbagai industri atau

pasar produk tertentu

c. Strategi induk, misalnya sistem alokasi sumberdaya, koordinasi aktivitas di

antara berbagai unit organisasi

Ukuran (indikator) kinerja untuk mengukur sukses atau tidaknya strategi pusat

adalah ukuran (indikator) kinerja makro. Dalam organisasi sektor publik, ukuran

kinerja makro misalnya tingkat pertumbuhan ekonomi, angka harapan hidup,

tingkat investasi, PDB, tingkat inflasi, serta ukuran (indikator) kinerja lainnya

yang biasanya termasuk dalam ukuran indeks pembangunan manusia (IPM).

2. Strategi unit bisnis atau unit pelayanan

Level strategi yang kedua adalah strategi tingkat unit kerja. Unit kerja ini dapat

berwujud unit bisnis atau unit pelayanan, misalnya departemen atau dinas. Strategi

unit kerja dipengaruhi oleh dua aspek yaitu:

a. Misi unit kerja, misalnya misi departemen pendidikan adalah untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa

b. Keunggulan bersaing jika berupa unit bisnis, atau keunggulan pelayanan jika

merupakan unit pelayanan.

Berbeda halnya dengan strategi pusat, ukuran (indikator) kinerja strategi unit

bisnis atau unit pelayanan yang digunakan untuk mengukur kesuksesan adalah

ukuran (indikator) kinerja mikro yang bisa bervariasi antara satu unit dengan unit

lainnya.