bab ii kajian pustaka 2.1 pertumbuhan ekonomi 2.1.1 ... - …
TRANSCRIPT
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pertumbuhan Ekonomi
2.1.1 Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi berarti perkembangan kegiatan ekonomi yang menyebabkan
barang dan jasa yang ada dalam masyarakat bertambah dari satu periode ke periode yang lain
serta kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang
sebagai masalah dalam makro ekonomi untuk jangka panjang. Selain itu, pertumbuhan
ekonomi dipengaruhi oleh bertambahnya investasi, teknologi yang berkembang, dan
meningkatnya kesempatan kerja (Laili, 2007).
Sektor ekonomi merupakan salah satu sektor yang paling penting untuk mengukur
kesejahteraan suatu negara. Suatu negara dapat dianggap sejahtera salah satunya dapat dilihat
melalui angka pertumbuhan ekonomi negara tersebut. Pada umumnya jika angka pertumbuhan
ekonomi bergerak pada arah yang positif, maka dapat dikatakan negara tersebut sejahtera, dan
begitu juga sebaliknya. Akan tetapi, pergerakan pertumbuhan ekonomi kearah positif tidak
selamanya menggambarkan bahwa negara tersebut sejahtera, ada beberapa faktor lain yang
memiliki pengaruh dalam pengukuran tingkat kesejahteraan suatu negara seperti misalnya
angka inflasi, situasi politik, dan sebagainya.
Menurut Prof. Simon Kuznets, mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kenaikan
jangka panjang dalam kemampuan suatu negara untuk menyediakan semakin banyak jenis
barang-barang ekonomi kepada penduduknya. Kemampuan ini tumbuh sesuai dengan
kemajuan teknologi, dan penyesuaian kelembagaan dan idiologis yang diperlukannya. Definisi
tersebut mempunyai 3 (tiga) komponen: pertama, pertumbuhan ekonomi suatu bangsa terlihat
dari meningkatnya secara terus-menerus persediaan barang; kedua, teknologi maju merupakan
faktor dalam pertumbuhan ekonomi yang menentukan derajat pertumbuhan kemampuan dalam
penyediaan aneka macam barang kepada penduduk; ketiga, penggunaan teknologi secara luas
dan efisien memerlukan adanya penyesuaian di bidang kelembagaan dan idiologi sehingga
inovasi yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan umat manusia dapat dimanfaatkan secara tepat
(Jhingan, 2000).
Dalam kebijakan makro ekonomi pemerintah berusaha memuluskan siklus usaha
dengan tujuan mencegah pengangguran kronis dan kemacetan pertumbuhan serta menekan
inflasi. Peranan dan fungsi pemerintah dalam tataran nasional dan pada tataran wilayah pada
dasarnya tidak berbeda besar, yang berbeda adalah lingkup dan cakupannya, yang satu secara
nasional dan yang kedua secara regional. Tujuan kebijakan makro ekonomi diarahkan kepada
tiga sasaran, yaitu menciptakan (1) kemantapan (stabilitas), perekonomian, (2) keseimbangan
(alokasi) sumber daya untuk mencapai efisien ekonomi dan (3) keadilan, (distribusi
pendapatan) antara golongan penduduk menurut pendapatan, yang dicapai melalui penciptaan
program-program pembangunan (Adisasmita, 2013).
2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi
Teori pertumbuhan ekonomi yang relevan dengan penelitian ini adalah teori
pertumbuhan ekonomi Schumpeter yang dikenal dengan Teori Schumpeter. Menurut Sukirno
(2006), teori ini menekankan pada inovasi yang dilakukan oleh para pengusaha dan
mengatakan bahwa kemajuan teknologi sangat ditentukan oleh jiwa kewirausahaan dalam
masyarakat yang mampu melihat peluang dan berani mengambil risiko membuka usaha baru,
maupun memperluas usaha yang telah ada. Dengan pembukaan usaha baru dan perluasan
usaha, tersedia lapangan kerja tambahan untuk menyerap angkatan kerja yang bertambah setiap
tahunnya.
Menurut Arsyad (2010), teori Schumpeter ini pertama kali dikemukakan oleh Joseph
Alois Schumpeter dalam bukunya yang berbahasa Jerman pada tahun 1911 yang dikemudian
pada tahun 1934 diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Theory of Economic
Development. Kemudian diulas lebih dalam teorinya mengenai proses pembangunan dan faktor
utama yang menentukan pembangunan dalam bukunya yang diterbitkan pada tahun 1939
dengan judul Business Cycle. Salah satu pendapat Schumpeter yang menjadi landasan teori
pembangunannya adalah adanya keyakinan bahwa sistem kapitalisme merupakan system yang
paling baik untuk menciptakan pembangunan ekonomi yang pesat. Namun, Schumpeter
meramalkan bahwa dalam jangka panjang sistem kapitalisme akan mengalami stagnasi.
Pendapat ini sama dengan pendapat kaum klasik.
Menurut Schumpeter, faktor utama yang menyebabkan perkembangan ekonomi adalah
proses inovasi dan pelakunya adalah para inovator atau pengusaha. Kemajuan ekonomi suatu
masyarakat hanya bisa diterapkan dengan adanya inovasi oleh para pengusaha. Dan kemajuan
ekonomi tersebut dapat dimaknai sebagai peningkatan output total masyarakat. Dalam
membahas perkembangan ekonomi, Schumpeter membedakan pengertian pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan ekonomi, meskipun keduanya merupakan sumber peningkatan
output masyarakat. Menurut Schumpeter, pertumbuhan ekonomi adalah peningkatan output
masyarakat yang disebabkan oleh semakin banyaknya jumlah faktor produksi yang digunakan
dalam proses produksi, tanpa adanya perubahan dalam teknologi produksi itu sendiri.
Misalnya, kenaikan ouput yang disebabkan oleh pertumbuhan stok modal ataupun penambahan
faktor-faktor produksi tanpa adanya perubahan pada teknologi produksi yang lama.
Pembangunan ekonomi adalah kenaikan output yang disebabkan oleh adanya inovasi
yang dilakukan oleh para pengusaha. Inovasi di sini bukan hanya berarti perubahan yang besar
dalam hal teknologi, inovasi dapat juga direpresentasikan sebagai penemuan produk baru,
pembukuan pasar baru, dan sebagainya. Inovasi tersebut menyangkut perbaikan kuantitatif dari
sistem ekonomi itu sendiri yang bersumber dari kreativitas para pengusahanya. Peran
pengusaha sangat vital dalam mewujudkan produk yang inovatif. Karena pada hakekatnya
mesin, alat kerja dana tau semua benda tidak akan berfungsi secara maksimal bila tidak ada
yang menggunakannya atau mengoperasikannya. Manusia yang memungkinkan inovasi dapat
terjadi dengan segala macam bentuknya. Menurut Schumpeter, pembangunan ekonomi akan
berkembang pesat dalam lingkungan masyarakat yang menghargai dan merangsang setiap
orang untuk menciptakan hal-hal yang baru (inovasi), lingkungan yang paling cocok untuk itu
adalah lingkungan masyarakat yang menganut paham laissez-faire, bukan dalam masyarakat
sosialis ataupun komunis yang cenderung mematikan kreativitas penduduknya. Dalam
masyarakat yang menganut mekanisme pasar, besarnya insentif yang akan diterima seseorang
karena adanya penemuan- penemuan baru lebih besar dibandingkan dengan insentif yang
diterima oleh masyarakat sosialis.
Pembanguan ekonomi berawal pada suatu lingkungan sosial, politik, dan teknologi
yang menunjang adanya kreativitas para pengusaha. Adanya lingkungan yang menunjang
kreativitas akan mampu melahirkan beberapa pengusaha perintis yang mencoba menerapkan
ide-ide baru mereka dalam kehidupan ekonomi. Mungkin tidak semua pengusaha perintis
tersebut akan menuai sukses dalam inovasinya. Bagi pengusaha perintis yang menuai sukses
dalam inovasinya tersebut, dia akan memperoleh keuntungan monopoli atas buah
kreativitasnya, karena di mata konsumen belum ada pengusaha lain yang melakukan terobosan
seperti yang dia lakukan. Namun perlu diingat bahwa posisi monopoli tersebut tidak akan
bertahan lama, karena hal yang senatiasa menyertai inovasi adalah adanya imitasi. Seorang
innovator akan terus-menerus berada di atas apabila dia selalu melakukan improvisasi atas
inovasi-inovasinya terdahulu. Posisi monopoli ini akan menghasilkan keuntungan di atas
keuntungan normal yang diterima oleh para pengusaha yang tidak melakukan inovasi.
Keuntungan monopolistis ini merupakan imbalan bagi para inovator dan sekaligus juga
merupakan rangsangan bagi para calon inovator. Sehingga, hasrat untuk berinovasi seringkali
terdorong oleh adanya harapan memperoleh keuntungan tersebut.
Menurut Schumpeter, inovasi mempunyai tiga pengaruh yaitu (1) diperkenalkannya
teknologi baru, (2) menimbulkan keuntungan lebih (keuntungan monopolistis) yang
merupakan sumber dana penting bagi akumulasi modal, dan (3) inovasi akan selalu diikuti oleh
timbulnya proses peniruan yaitu adanya pengusaha-pengusaha lain yang meniru teknologi baru
tersebut. Proses peniruan tersebut pada akhirnya akan diikuti oleh investasi oleh para peniru
tersebut. Proses peniruan ini akan berpengaruh pada dua hal yaitu (1) menurunnya keuntungan
monopolistis yang dinikmati oleh para inovator, dan (2) adanya penyebaran teknologi baru
(technological dissemination) di dalam masyarakat sehingga teknologi tersebut tidak lagi
menjadi monopoli bagi pencetusnya.
2.2 Peran Pemerintah
Pengertian Peran menurut Cohen (2009) adalah suatu perilaku yang diharapkan oleh
orang lain dari seseorang yang menduduki status tertentu. Menurut Thoha (2002), peranan
merupakan serangkaian perilaku yang diharapkan dilakukan oleh seseorang. Penghargaan
semacam itu merupakan suatu norma yang dapat mengakibatkan terjadinya suatu peranan.
Dalam bahasa organisasi, peranan diperoleh dari uraian jabatan. Adapun uraian jabatan itu
merupakan dokumen tertulis yang memuat persyaratan-persyaratan dan tanggung jawab atas
suatu pekerjaan.
Menurut Suhady dalam Riawan (2005), pemerintah (government) ditinjau dari
pengertiannya adalah the authoritative direction and administration of the affairs of
men/women in a nation state, city, etc. Pemerintahan dapat juga diartikan sebagai the governing
body of a nation, state, city, etc yaitu lembaga atau badan yang menyelenggarakan
pemerintahan negara, negara bagian, atau kota dan sebagainya. Pengertian pemerintah dilihat
dari sifatnya yaitu pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh kekuasaan yaitu kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Pemerintah dalam arti sempit hanya
meliputi cabang kekuasaan eksekutif saja (Riawan, 2005).
Menurut Sumarni (2013), perlunya peran dan fungsi pemerintah dalam perekonomian,
yaitu sebagai berikut.
1) Pembangunan ekonomi dibanyak negara umumnya terjadi akibat intervensi pemerintah baik secara langsung maupun tidak langsung. Intervensi pemerintah diperlukan dalam perekonomian untuk mengurangi dari kegagalan pasar (market failure) seperti kekakuan harga monopoli dan dampak negatif kegiatan usaha swasta contohnya pencemaran lingkungan.
2) Mekanisme pasar tidak dapat berfungsi tanpa keberadaan aturan yang dibuat pemerintah. Aturan ini memberikan landasan bagi penerapan aturan main, termasuk pemberian sanksi bagi pelaku ekonomi yang melanggarnya.
Peranan pemerintah menjadi lebih penting karena mekanisme pasar saja tidak dapat
menyelesaikan semua persoalan ekonomi. Untuk menjamin efisiensi, pemerataan dan stabilitas
ekonomi, peran dan fungsi pemerintah mutlak diperlukan dalam perekonomian sebagai
pengendali mekanisme pasar. Dalam rangka untuk pengembangan LPD di provinsi Bali, peran
pemerintah yang efektif dan optimal diwujudkan sebagai fasilitator, regulator dan katalisator.
1) Peran pemerintah sebagai fasilitator, sebagai fasilitator, pemerintah memiliki peran dalam
memfasilitasi LPD untuk mencapai tujuan pengembangan usaha yang dimiliki oleh LPD.
Peran pemerintah sebagai fasilitator adalah menciptakan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan pembangunan untuk menjembatani berbagai kepentingan masyarakat dalam
mengoptimalkan pembangunan daerah dalam hal ini melalui pengembangan LPD. Sebagai
fasilitator, pemerintah dapat memberi kesempatan kepada pihak lain yang berkompeten
serta mendorong inovasi untuk meningkatkan pelayanan LPD. Peranan pemerintah
khususnya pemerintah provinsi Bali sebagai fasilitator sangat penting dalam kegiatan
pengembangan LPD. Memfasilitasi tidak diartikan sebagai pemberian prasarana dan sarana
fisik maupun subsidi langsung, namun pemerintah harus memberikan bimbingan teknis dan
non teknis secara terus menerus kepada LPD yang sifatnya mendorong dan
memberdayakan LPD agar mereka dapat merencanakan, membangun, dan mengelola LPD
secara profesional.
2) Peran pemerintah sebagai regulator, adalah membuat kebijakan-kebijakan yang berbentuk
peraturan daerah (perda) sehingga mempermudah usaha LPD dalam mengembangkan
usahanya. Sebagai regulator, pemerintah berfungsi untuk menjaga kondisi lingkungan
usaha tetap kondusif untuk melakukan investasi yang dilakukan dengan membuat
kebijakan tentang aturan-aturan persaingan usaha. Pemerintah adalah pihak yang mampu
menerapkan aturan agar kehidupan dapat berjalan baik dan dinamis. Pemerintah, terutama
pemerintah daerah bertugas menyiapkan arah untuk menyeimbangkan penyelengaraa
pembangunan ekonomi masyarakat melalui LPD dengan cara membuat peraturan peraturan
yang terkait dengan perencanaan, pelaksanaan dan pengembangan LPD.
3) Peran pemerintah sebagai katalisator, yakni membantu mempercepat proses
berkembangnya LPD. Membantu memberdayakan LPD. Dari data dilapangan ditemukan
bahwa banyak LPD yang tidak sehat dan bahkan macet, kondisi ini tentunya tidak
menguntungkan bagi semua pihak. Oleh karena itu, pemerintah daerah harus turun tangan
ikut membantu menyelesaikan masalah yang ada.
2.3 Modal Sosial
2.3.1 Konsep Modal Sosial
Awal pemikiran para pakar ekonomi tentang modal sosial, telah dimulai pada abad ke
18, ketika Adam Smith memunculkan konsep modal sosial sebagai ‘kontrak sosial’ masyarakat
sipil yang akan menentukan kemajuan pembangunan ekonomi. Unsur penting dari kontrak
sosial ini adalah antara lain yang mereka sebut sebagai; karakteristik jaringan sosial, pola-pola
imbal-balik dan kewajiban-kewajiban bersama. Dari pemikiran-pemikiran kelompok ini pula,
berbagai kajian dan merupakan konsep modern dari modal sosial di abad berikutnya, menjadi
memiliki dasar teoritis yang kuat. Sebagai contoh; Karl Marx dan Engles yang mengemukakan
konsep keterikatan yang memiliki ikatan solidaritas, yang menggambarkan tentang
kemungkinan munculnya pola hubungan dan kerjasama yang kuat ketika suatu kelompok
berada dalam suatu tekanan negara atau kelompok lain (Woolcock, 1998).
Coleman (1998) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah aspek struktur sosial yang
memudahkan bagi tindakan-tindakan perseorangan atau pelaku perseroan/lembaga dalam
struktur sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa modal sosial itu bukanlah entitas tunggal, tetapi
adalah entitas majemuk dengan dua elemen mendasar yaitu; 1) modal sosial mencakup
beberapa aspek struktur sosial, dan 2) modal sosial itu memfasilitasi timdakan tertentu dari
pelaku (aktor) baik sebagai individu maupun lembaga didalam struktur tersebut. Dalam hal ini
artinya; sama dengan jenis modal yang lainnya, modal sosial juga bersifat produktif, yang
membuat pencapaian tujuan individu atau lembaga akan tidak terwujud tanpa keberadaan
modal sosial tersebut. Selanjutnya, Putnam (1993) mendefinisikan bahwa modal sosial adalah
penampilan organisasi sosial, seperti kepercayaan, resiproritas, jaringan yang dapat
memperbaiki efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi
keuntungan bersama.
Sementara, Fukuyama (1995), mengatakan bahwa modal sosial adalah kemampuan
yang timbul akibat dari adanya kepercayaan, dalam sebuah komunitas masyarakat. Fukuyama
(1999) menyampaikan bahwa belum tentu norma-norna dan nilai-nilai bersama yang
dipedomani tersebut sebagai acuan sikap, tingkah laku, dan bertindak tersebut otomatis
menjadi modal sosial, tetapi kadang kala hanya sebagai norma-norma dan nilai-nilai bersama
yang dibangkitkan oleh rasa saling percaya. Artinya, rasa saling percaya ini adalah merupakan
harapan-harapan akan terjadinya keteraturan-keteraturan, kejujuran dan perilaku koperatif
yang muncul dari dalam sebuah komunitas masyarakat yang perilaku sehari-harinya didasari
oleh norma-norma atau nilai-nilai yang dianut bersama oleh para anggotanya. Norma-norma
tersebut dapat berisi pernyataan-pernyataan yang berisi nilai-nilai luhur, kebajikan dan
keadilan.
Pengertian modal sosial menurut Cox Eva (1995) adalah suatu rangkaian proses
hubungan antar manusia yang ditopang oleh jaringan, norma-norma dan kepercayaan sosial
yang memungkinkan efisien dan efektifnya koordinasi dan kerjasama untuk keuntungan dan
kebajikan bersama. Sementara, Narayan (dalam Suharto, 2007) menyatakan bahwa modal
sosial adalah aturan-aturan, norma-norma, kewajiban-kewajiban, hal timbal-balik, dan
kepercayaan yang mengikat dalam hubungan sosial, struktur sosial, dan pengaturan-pengaturan
kelembagaan masyarakat yang memungkinkan para anggota untuk mencapai hasil sebagai
sasaran individu dan masyarakat mereka. Sementara, Cohen dan Prusak, (2001)
mendefinisikan bahwa modal sosial adalah stok dari hubungan yang aktif pada suatu
masyarakat. Setiap pola hubungan yang terjadi diikat oleh kepercayaan, kesalingpengertianan,
dan nilai-nilai bersama, yang mengikat anggota kelompok untuk membuat kemungkinan aksi
bersama yang dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Inayah (2012), mendefinisikan bahwa
modal sosial adalah sumberdaya yang muncul dari hasil interaksi dalam suatu komunitas, baik
antar individu maupun antar institusi yang melahirkan ikatan emosional berupa; kepercayaan,
hubungan-hubungan timbal balik, jaringan-jaringan sosial, nilai-nilai dan norma-norma yang
mambentuk struktur masyarakat yang berguna untuk koordinasi dan kerjasama dalam
mencapai tujuan bersama.
Berdasarkan pada konsepsi yang diutarakan oleh para pakar modal sosial di atas, disini
dapat ditarik suatu pemahaman bahwa dimensi dari modal sosial itu adalah memberikan
penekanan pada kebersamaan masyarakat untuk mencapai tujuan dalam rangka memperbaiki
kualitas hidupnya dan senantiasa melakukan perubahan dan penyesuaian secara
berkesinambungan. Dan dalam proses perubahan dan upaya mencapai tujuan tersebut,
masyarakat senantiasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma yang dipedomani sebagai
aturan bersikap, bertindak dan bertingkah-laku serta dalam menjalin hubungan dengan pihak
lain baik di dalam kelompok maupun di luar kelompok masyarakat. Pada hakikatnya modal
sosial sebagai nilai kapital, yang berasal dari perbaikan kinerja ekonomi yang didapatkan dari
jaringan kepercayaan yang tinggi. Dua hal penting dalam hal ini adalah penekanan pada
jaringan sebagai aspek sosial dan penekanan pada peningkatan nilai pada masa yang akan
datang sebagai aspek kapital atau modal. Penekanan pada aspek sosial sangat tepat untuk dapat
menguraikan kinerja ekonomi secara luas.
2.3.2 Indikator Modal Sosial
Pada hakekatnya, keberadaan modal sosial memang berbeda dengan modal-modal
lainnya, seperti modal finansial atau modal manusia. Modal sosial bersifat kumulatif dan
bertambah dengan sendirinya (Putnam, 1993). Oleh sebab itu modal sosial tidak akan habis
jika dipergunakan, melainkan dapat saja semakin meningkat. Rusaknya modal sosial lebih
sering disebabkan bukan karena dipakai, tetapi karena tidak dipergunakan. Indikator Modal
Sosial sangat luas cakupannya. Dalam kajian ini, mengkolaborasi indikator modal sosial yang
dikemukakan oleh Hasbullah (2006) yang menyebutnya sebagai unsur-unsur pokok modal
sosial. Selanjutnya dikatakan bahwa telaah modal mosial terletak pada bagaimana kemampuan
masyarakat dalam suatu entitas kelompok untuk berpartisipasi membangun suatu jaringan
untuk mencapai tujuan bersama. Kerjasama tersebut diwarnai oleh suatu pola interaksi imbal-
balik yang saling menguntungkan, dan dibangun di atas kepercayaan yang ditopang oleh
norma-norma dan nilai sosial yang positif dan kuat. Sementara Ridell dalam Ayu Wimba
(2015), mengatakan terdapat tiga parameter modal sosial, yaitu: (1) jaringan, (2) kepercayaan,
dan (3) norma-norma.
Dengan memadukan konsep kedua pakar di atas, dan dengan mengutamakan
kesesuaian dengan kondisi di daearh penelitian maka yang dinyatakan sebagai indikator dalam
kajian ini adalah; 1) partisipasi dalam jaringan, 2) saling bertukar kebaikan, 3) kepercayaan, 4)
norma-norma, 5) nilai-nilai dan 6) tindakan proaktif. Uraian mendetail tentang keenam unsur
pokok ini, dipaparkan seperti berikut ini.
1) Partisipasi dalam Jaringan
Modal Sosial tidak hanya dibangun oleh satu individu, melainkan akan terletak pada
kecendrungan yang tumbuh dalam satu kelompok masyarakat untuk bersosialisasi dalam
wujud partisipasi sebagai bagian penting dari nilai-nilai yang melekat (Hasbullah, 2006).
Artinya modal sosial terletak pada kemampuan sekelompok orang atau masyarakat dalam suatu
asosiasi atau perkumpulan dalam melibatkan diri dalam suatu jaringan hubungan sosial.
Hubungan sosial ini dilakukan dalam berbagai variasi jalinan sosial yang didasari oleh prinsip
kesukarelaan, kesamaan, kebebasan, dan keberadaban.
Sedangkan Putnam (1993) menyatakan bahwa Jaringan adalah infrasuktur dinamis dari
modal sosial yang berwujud jaringan-jaringan kerjasama antar manusia atau individu. Jaringan
tersebut memfasilitasi terjadinya komunikasi dan interaksi yang memungkinkan tumbuhnya
kepercayaan yang memperkuat kerjasama. Masyarakat yang sehat, cenderung memiliki
jaringan- jaringan sosial yang kokoh. Dalam kehidupan sehari-hari, orang bertemu satu sama
lainnya. Pertemuan ini memungkinkan terjadinya inter-relasi yang kental, baik bersifat formal
maupun informal (Onyx, 1996).
2) Saling Bertukar Kebaikan.
Pengertian saling bertukar kebaikan adalah kerjasama yang bersifat mutual dalam suatu
entitas kelompok, biasanya diwarnai oleh kecendrungan saling menukar kebaikan antar
individu dalam suatu kelompok atau antar kelompok itu sendiri. Pola pertukaran kebaikan
dalam hal ini bukan imbal-balik secara seketika seperti dalam proses pertukaran atau proses
jual-beli pada umumnya, tetapi sebagai kombinasi dalam pola jangka pendek atau jangka
panjang.
Hasbullah (2006), mengatakan pada masyarakat dan pada kelompok-kelompok sosial
yang terbentuk, dimana didalamnya memiliki bobot resiprositas yang kuat akan melahirkan
suatu masyarakat atau suatu kelompok yang memiliki tingkat modal sosial yang tinggi. Hal ini
biasanya direfleksikan dalam bentuk tingkat kepedulian sosial yang tinggi, hidup saling
membantu dan saling memperhatikan.
3) Rasa Percaya
Kepercayaan menurut Fukuyama (1995), adalah harapan yang tumbuh di dalam sebuah
masyarakat yang ditunjukkan oleh adanya perilaku jujur, teratur dan kerjasama berdasarkan
norma-norma yang dianut bersama. Kepercayaan sosial merupakan penerapan terhadap
pemahaman ini. Kepercayaan sosial pada dasarnya merupakan produk dari modal sosial yang
baik. Adanya modal sosial yang baik ditandai oleh adanya lembaga-lembaga sosial yang
kokoh. Dalam hal ini Putnam (1993), memberi pernyataan yang menguatkan bahwa modal
sosial yang baik akan melahirkan kehidupan masyarakat yang harmonis.
Hasbullah (2006) menyatakan bahwa rasa percaya, adalah suatu bentuk keinginan
individu atau kelompok untuk mengambil resiko dalam hubungan-hubungan sosialnya yang
didasari oleh perasaan yakin bahwa yang lain akan melakukan sesuatu seperti yang diharapkan
dan akan senantiasa bertindak dalam suatu pola tindakan yang saling mendukung. Kepercayaan
adalah keyakinan bahwa orang lain memiliki dan akan melakukan hal yang sama seperti yang
dilakukan seseorang kepada orang lain.
4) Norma-norma
Pada hakikatnya, norma-norma itu merupakan pemahaman - pemahaman, harapan dan
tujuan yang diyakini dapat dijalankan bersama oleh sekelompok orang (Suharto, 2007).
Norma-norma dapat bersumber dari agama, panduan moral, maupun standar-satandar sekuler,
seperti halnya kode etik profesional seperti; kode etik guru, dokter, jaksa, hakim, atau sapta
marga bagi ABRI dan Kepolisian Indonesia. Norma-norma dapat juga merupakan pra-kondisi
maupun produk dari kepercayaan sosial (Putnam 1993, Fukuyama 1995). Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa norma merupakan seperangkat aturan yang diharapkan dipatuhi dan
diikuti oleh anggota masyarakat pada suatu kelompok. Artinya, norma-norma itu sendiri
dilembagakan dan mengandung sanksi sosial tertentu yang dapat mencegah individu sebagai
anggota suatu kelompok masyarakat untuk berbuat sesuatu yang bertentangan atau
menyimpang dari kebiasaan yang berlaku di masyarakat tertentu.
Hasbullah (2006), menyatakan bahwa Norma-norma, adalah sekumpulan aturan yang
diharapkan dipatuhi dan diikuti oleh suatu kelompok atau masyarakat dalam suatu entitas sosial
tertentu. Aturan-aturan ini, biasanya terinstitusionalisasi atau dilembagakan, tidak tertulis,
tetapi dipahami sebagai penentu pola tingkah laku yang baik dalam konteks hubungan sosial
sehingga ada sanksi sosial yang dekenakan kepada seseorang atau sekelompok masyarakat jika
melanggarnya. Norma sosial akan menentukan kuatnya hubungan antar individu dalam suatu
kelompok masyarakat karena akan merangsang kohesifitas sosial yang berdampak positif bagi
perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, norma sosial disebut sebagai salah satu modal
sosial.
5) Nilai-nilai
Nilai-nilai merupakan sesuatu ide yang telah diakui secara turun-temurun yang
dianggap benar dan penting dalam suatu kelompok masyarakat. Sebagai contoh dalam hal ini:
nilai harmoni, kompetisi, prestasi dan etos kerja. Nilai senantiasa mengandung konsekuensi
yang berbeda-beda. Konfigurasi nilai yang tercipta dalam suatu masyarakat mencerminkan
terdapat modal sosial kuat dalam suatu komunitas. Biasanya, jika suatu komunitas memberi
bobot yang tinggi pada nilai-nilai; kompetisi, pencapaian, keterusterangan dan kejujuran maka
komunitas tersebut cenderung jauh lebih cepat berkembang dan maju dibandingkan kelompok
yang menghindari keterusterangan, kompetisi dan pencapaian (Hasbullah, 2006).
Nilai ini sangat berperan penting dalam suatu masyarakat dimanapun berada. Pada
umumnya, setiap budaya masyarakat terdapat nilai-nilai tertentu yang mendominasi ide yang
berkembang dalam suatu masyarakat disekitar kita. Pada hakekatnya adanya dominasi ide
tertentu ini akan membentuk dan mempengaruhi aturan-aturan bertindak dari masyarakatnya
dan aturan-aturan bertingkah laku dari masyarakatnya. Aturan bertindak dan aturan bertingkah
laku dalam masyarakat ini akan bersama-sama membentuk pola budaya dalam suatu
masyarakat.
6) Tindakan Proaktif
Keinginan yang kuat dari suatu kelompok masyarakat untuk tidak saja berpartisipasi,
tetapi senantiasa mendahului untuk mencari jalan bagi keterlibatan mereka dalam suatu
kegiatan masyarakat merupakan sebuah modal sosial yang sangat penting dimana yang
mendasari tindakan ini adalah bahwa seseorang atau kelompok senantiasa aktif dan kreatif.
Sebagai modal sosial, perilaku proaktif dapat dilihat dari wujud tindakan yang paling sederhana
sampai kepada hal yang berdimensi sangat luas. Sebagai contoh tindakan proaktif adalah; suatu
kelompok sangat proaktif dalam membersihkan lingkungan tempat tinggal dengan memungut
sampah-sampah yang berserakan mengotori fasilitas publik, menjaga keamanan lingkungan
tempat tinggal dengan cara memantau atau memiliki perhatian kepada setiap orang baru yang
menetap atau menginap di lingkungan tempat tinggal.
2.3.3 Tipologi Modal Sosial
Hasbullah (2006) membedakan tipologi modal sosial menjadi dua hal, yaitu modal
sosial yang ‘mengikat’ dan modal sosial yang ‘menjembatani’. Modal sosial mengikat,
cenderung bersifat eksklusif. Apa yang menjadi karakteristik dasar yang melekat pada tipologi
ini, sekaligus dinyatakan sebagai ciri khas. Artinya, dalam konteks ide, relasi dan perhatian
terlihat lebih berorientasi ke dalam kelompok, jika dibandingkan dengan berorientasi ke luar
kelompok.
Hasbullah (2006), menyatakan bahwa tipe Modal Sosial yang menjembatani, yang
lazimnya disebut sebagai bentuk modern dari suatu pengelompokan, group, asosiasi atau
masyarakat. Pada dasarnya prinsip - prinsip pengorganisasian yang dianut lebih didasari oleh
konsep keuniversalan yang mengandung prinsip-prinsip; persamaan, kebebasan, serta nilai-
nilai kemajemukan dan humanitarian dengan ciri mendasar; kemanusiaan, terbuka dan
mandiri. Prinsip persamaan biasanya diaktualisasikan dengan memberikan hak-hak dan
kewajiban yang sama kepada setiap anggota kelompok. Setiap keputusan kelompok diambil
berdasarkan kesepakatan yang berkeadilan bagi anggota kelompok.
Kelompok masyarakat yang memiliki modal sosial tipe modal sosial menjembatani ini,
biasanya lebih bersifat heterogen, datang dari berbagai ragam unsur latar belakang budaya dan
struktur sosial masyarakat. Setiap anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk
membuat jaringan atau koneksi keluar kelompoknya dengan prinsip persamaan, kemanusiaan
dan kebebasan yang dimiliki. Dengan modal sosial tipe ini, akan membuka jalan untuk lebih
cepat berkembang dengan menciptakan jaringan yang kuat. Menggerakkan identitas yang lebih
luas dan bersifat imbal-balik yang lebih beragam. Coleman (1990) mengatakan bahwa tipologi
kolompok masyarakat modal social menjembatani dalam gerakannya lebih menekankan pada
berjuang untuk pencarian jawaban bersama untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi
bersama oleh kelompok.
2.3.4 Ukuran Modal Sosial
Pengukuran tentang keberadaan sumberdaya hubungan sosial yang menjadikan
kerjasama berdasarkan norma-norma kejujuran yang memberi manfaat secara timbal-balik
adalah tidak mudah. Belum diakui sepenuhnya keberadaan modal sosial oleh para ekonom
adalah karena modal sosial tidak dapat ditransfer, selayaknya modal finansial, artinya begitu
sebuah komunitas dianggap kekurangan modal sosial, tidak serta merta dapat menerima
transfer modal sosial dari komunitas lainnya. Sebagai alternatif dalam mengukur keberadaan
modal sosial dalam suatu komunitas sosial, adalah dengan cara yang lebih mudah yaitu dengan
cara menghitung berbagai kerugian atau biaya yang diakibatkan bilamana disuatu tempat
komunitas tertentu tidak didapati adanya modal sosial yang memadai, dengan ditandai
terjadinya disfungsi sosial yang tinggi.
Diantara contoh disfungsi sosial adalah sebagai berikut: tingginya tingkat kejahatan
misalnya perampokan, teroris, penipuan, pencurian, dan kemangkiran misalnya ingkar janji,
malas, tidak tepat waktu serta pemalsuan, pelanggaran hukum, penghindaran pajak bahkan
penggelapan pajak, premanisme, dan sebagainya. Intensitas disfungsi sosial, baik secara
kuantitas maupun kualitas merupakan suatu cerminan dari kurangnya/terbatasnya modal sosial
dalam suatu komunitas tertentu (Leksono, 2009).
2.4 Orientasi Kewirausahaan Sosial
2.4.1 Sejarah Kewirausahaan Sosial
Bahasan tentang orientasi kewirausahaan sosial diawali dengan pengertian
kewirausahaan sosial. Fenomena social enterpreneurship kini pun semakin ramai
diperbincangkan. Lalu apakah social enterpreneurship itu? Adakah perbedaannya dengan
enterpreneurship pada umumnya? Karena terkadang ada pula yang salah mengartikan antara
enterpreneurship dengan social entrepreneurship.
Definisi wirausaha sosial pada dasarnya diturunkan dari integrasi dua konsep, yaitu
wirausaha dan sosial (Mair et al., 2006; Martin et al., 2007). Oleh karenanya, pada dasarnya
wirausaha sosial adalah penggabungan konsep wirausaha dalam orientasi finansial dan sosial
dalam orientasi pemecahan masalah. Walaupun konsep dan istilah wirausaha sosial semakin
populer tapi banyak organisasi maupun banyak sektor melihatnya dalam perspektif yang
berbeda-beda. Perspektif yang lebih idealis umumnya mendefinisikan wirausaha sosial adalah
agen perubahan di sektor sosial. Namun, definisi tersebut dianggap tidak menggambarkan
kewirausahaan sosial, karena belum melibatkan makna kewirausahaan dalam definisinya. Oleh
karena itu, tidak salah jika Mair (2006) menyatakan bahwa definisi konsep kewirausahaan
sosial masih sangat lemah dan definisinya juga masih kabur dalam keterkaitannya dengan
perspektif bisnis atau kewirausahaan. Disisi lain, ada definisi - definisi yang berusaha
menjelaskan apa itu wirausaha sosial dengan menggabungkan semangat misi sosial dengan
citra disiplin, inovatif, dan tekad bisnis yang pada umumnya dikaitkan dengan para pengusaha
atau private sector. Definisi - definisi ini melihat esensi pendekatan kewirausahaan untuk
menyelesaikan berbagai masalah sosial dan menguatkan makna kata kewirausahaan yang
menjadi bagian integral dari kewirausahaan sosial.
Tujuan utama dari kewirausahaan sosial adalah untuk meningkatkan kehidupan sosial
dan lingkungan yang lebih baik. Walaupun wirausaha sosial seringkali bersifat non-profit,
tetapi hal ini juga tidak bertentangan dengan usaha yang mendatangkan keuntungan. Wirausaha
sosial adalah lebih dari membuat keuntungan, dengan menggunakan percampuran nilai model
bisnis yang mengkombinasikan dengan bisnis yang mendatangkan penghasilan dengan struktur
atau komponen yang menciptakan nilai sosial. Kewirausahaan bukan hanya telah menjadi
mesin pendorong banyak pertumbuhan sektor bisnis, melainkan juga telah menjadi kekuatan
pendorong dibalik perluasan sektor sosial. Kewirausahaan sosial, atau kegiatan kewirausahaan
dengan tujuan sosial telah meningkat dalam beberapa dekade terakhir ini. Salah satu indikator
dari terjadinya lonjakan ini diungkapkan oleh pesatnya pertumbuhan jumlah organisasi nirlaba.
Jangkauan definisi kewirausahaan sosial dapat diperluas atau dipersempit. Berdasarkan
definisi yang sempit, kewirausahaan sosial mengacu pada fenomena menerapkan keahlian dan
keterampilan bisnis berbasis pasar pada sektor nirlaba dengan mengembangkan pendekatan
inovatif untuk memperoleh penghasilan (Reis, 1999; Thompson, 2002).
Terdapat kesamaan umum dari semua definisi kewirausahaan sosial, yaitu tentang hal
yang mendorong dan mendasari kewirausahaan sosial untuk menciptakan nilai sosial, bukan
untuk menciptakan kekayaan pribadi atau kekayaan para pemegang saham (Zadek & Thake,
1997). Begitu pula bahwa kegiatan kewirausahaan sosial juga ditandai oleh adanya suatu
inovasi, atau penciptaan sesuatu yang baru, bukan hanya melakukan replikasi semata terhadap
praktik bisnis yang sudah ada. Pemicu utama dari kegiatan kewirausahaan sosial adalah
masalah sosial aktual yang sedang ditanganinya, dimana organisasi mengambil keputusan
dalam pengelolaan sumber daya berdasarkan format yang paling efektif yang dibutuhkan untuk
mengatasi masalah tersebut. Dengan demikian, kegiatan kewirausahaan sosial tidak ditentukan
oleh badan hukum, dimana suatu kegiatan dapat ditempuh melalui berbagai kendaraan
organisasi atau lembaga, baik melalui organisasi nirlaba, sektor bisnis, maupun sektor
pemerintah.
Untuk melakukan analisis perbandingan antara kewirausahaan umum dengan
kewirausahaan sosial diketengahkan sejumlah proposisi teoritik yang berfokus pada empat
variabel yang berbeda guna memandu suatu perbandingan dari keduanya, yakni:
1. Kegagalan pasar.
Salah satu teori di balik keberadaan organisasi bertujuan sosial muncul ketika terjadi
kegagalan sosial di pasar, yakni ketika kekuatan pasar komersial tidak mampu memenuhi
kebutuhan sosial, seperti kebutuhan akan barang dan/atau jasa publik (Weisbrod, 1977) atau
terjadi kegagalan kontrak (Nelson & Krashinsky, 1973). Hal ini sering disebabkan oleh
ketidakmampuan pasar komersial dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Dengan demikian,
adanya masalah pada kewirausahaan komersial telah membuka peluang bagi kewirausahaan
sosial, sehingga pada gilirannya dapat dirumuskan suatu proposisi, bahwa suatu kegagalan
pasar dapat menciptakan peluang yang berbeda bagi kedua jenis kewirausahaan, baik bagi
kewirausahaan komersial maupun sosial.
2. Misi.
Tujuan mendasar dari kewirausahaan sosial adalah menciptakan nilai sosial bagi
kepentingan publik, sedangkan kewirausahaan komersial bertujuan untuk menciptakan
kegiatan produksi yang menguntungkan pribadi. Dengan adanya perbedaan dari sisi tujuan
dan sisi keuntungan atau imbalan dapat lebih mempermudah untuk dilakukannya suatu
analisis komparatif. Untuk itu dapat dirumuskan suatu proposisi sebagai berikut, yakni:
adanya perbedaan mendasar dalam misi antara kewirausahaan komersial dan kewirausahaan
sosial termanifestasi dalam berbagai bidang praktik manajemen bisnis dan motivasi para
pekerja. Namun, dengan adanya dimensi komersial dan sosial dalam organisasi bisnis dapat
menjadi sumber ketegangan.
3. Mobilisasi sumberdaya.
Kewirausahaan sosial sering menemui kesulitan dalam memberikan kompensasi
terhadap para pekerja secara kompetitif sebagaimana terjadi pada pasar komersial. Bahkan,
banyak para pekerja dari organisasi kewirausahaan sosial justru memperoleh nilai
kompensasi “non-keuangan” dari pekerjaan mereka. Dengan demikian dapat dirumuskan
suatu proposisi, yakni: adanya perbedaan dalam mobilisasi sumber daya manusia dan
keuangan, yang secara fundamental akan menyebabkan perbedaan pendekatan dalam
mengelola sumber daya keuangan dan manusia.
4. Pengukuran kinerja.
Kewirausahaan sosial akan menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengukur
kinerja, ketimbang kewirausahaan komersial yang lebih dapat mengandalkan langkah-
langkah yang relatif lebih nyata dalam mengukur kinerja, dengan menggunakan indikator
keuangan, pangsa pasar, kepuasan nasabah, dan kualitas. Disamping itu, berbagai pemangku
kepentingan finansial dan nonfinansial dalam organisasi kewirausahaan sosial jumlahnya
relatif lebih besar dan bervariasi, sehingga para wirausahawan sosial perlu mengelola
hubungan dan tanggung jawab dalam kompleksitas yang lebih besar (Kanter & Summers,
1987). Dalam kaitan ini, terbuka tantangan untuk mengukur perubahan sosial, mengingat
adanya aspek non-kuantitatif, multi-kausal, dimensi temporal, dan perbedaan perseptif dari
dampak sosial yang ditimbulkannya. Sehingga dapat dirumuskan suatu proposisi, yakni:
dengan adanya aspek dampak sosial akan tetap menjadi perbedaan mendasar dalam
mengukur kinerja, khususnya yang berkenaan dengan akuntabilitas yang rumit dan adanya
hubungan yang bervariasi dengan para pemangku kepentingan.
2.4.2 Studi Ilmiah Tentang Kewirausahaan Sosial
Secara akademis, konsep social entrepreneurship telah dikembangkan di universitas-
universitas (Nicholls, 2006). Salah satunya universitas yang ada di Inggris, seperti Skoll Center
for Social Entrepreneurship. Di Amerika Serikat juga didirikan pusat-pusat kajian social
entrepreneurship, contohnya Center for the Advancement of Social entrepreneurship di Duke
University. Contoh praktik social entrepreneurship, terdapat pada yayasan yang sudah
mengglobal, yang secara khusus mencari para social entrepreneur di berbagai belahan dunia
untuk membina dan memberikan dananya bagi para penggerak perubahan sosial yakni Ashoka
Foundation.
Dari studi Barensen dan Gardner tersebut, didapat proposisi yakni untuk membedakan
kegiatan organisasi sosial nirlaba seperti pada organisasi-organisasi tersebut ialah penciptaan
kemandirian finansial dalam aktivitas organisasinya. (Mort & Weerawardena, 2003) berbeda
dari wirausaha-wirausaha bisnis lainnya, menurut Dees (1998) perbedaannya terlihat pada misi
mereka yang explisit dan central, hal ini tentunya mempengaruhi bagaimana socio
entrepreneurs memandang serta menilai setiap kesempatan yang ada. Beberapa peneliti
menyatakan bahwa misi sosial inilah yang menjadi dimensi utama dari socio entrepreneurship.
Ditambahkan lagi oleh Dees (1998) sama halnya dengan lembaga bisnis yang mempunyai
tujuan menciptakan nilai yang unggul untuk nasabahnya, tujuan utama dari socio entrepreneur
adalah menciptakan nilai sosial yang mulia untuk nasabah mereka. Kemampuan seorang
pengusaha untuk mendapatkan sumber daya seperti modal, tenaga kerja, peralatan, dan lainnya
dalam persaingan pasar adalah menunjukkan indikasi yang baik dari berjalannya suatu usaha
yang produktif, sedangkan disisi lain seorang socio entrepreneur mencari cara yang inovatif
untuk memastikan bahwa usahanya akan memiliki akses terhadap sumber daya yang
dibutuhkan selama mereka dapat menciptakan nilai sosial (Mort & Weerawardena, 2003).
Kewirausahaan sosial adalah disipilin ilmu yang menggabungkan antara kecerdasan
berbisnis, inovasi, dan tekad untuk maju ke depan. Wirausaha sosial melihat masalah sebagai
peluang untuk membentuk sebuah model bisnis baru yang bermanfaat bagi pemberdayaan
masyarakat sekitar. Hasil yang ingin dicapai bukan keuntungan materi atau kepuasan nasabah,
melainkan bagaimana gagasan yang diajukan dapat memberikan dampak baik bagi masyarakat.
Mereka seperti seseorang yang sedang menabung dalam jangka panjang karena usaha mereka
memerlukan waktu dan proses yang lama untuk dapat terlihat hasilnya.
Wirausaha sosial menjadi fenomena sangat menarik saat ini karena perbedaannya
dengan wirausaha tradisional yang hanya fokus terhadap keuntungan materi dan kepuasan
nasabah serta signifikansinya terhadap kehidupan masyarakat. Sangat banyak kajian mengenai
kewirausahaan sosial melibatkan berbagai ilmu pengetahuan dalam pengembangan serta
praktiknya di lapangan. Lintas ilmu pengetahuan yang diadopsi kajian kewirausahaan sosial
merupakan suatu hal yang penting untuk menjelaskan serta membuat pemikiran-pemikiran
baru.
2.4.3 Karakteristik Kewirausahaan Sosial
Terdapat beberapa pembelajaran tentang kewirausahawan sosial beserta beberapa
karakteristik yang dimiliki oleh para pengusaha sosial itu sendiri. Hal tersebut dapat terlihat
dari penelitian mengenai kewirausahaan sosial terbagi menjadi beberapa grup sosial sesuai
dengan karakteristiknya masing-masing. Hal ini pada dasarnya terdiri dari hal-hal yang tidak
umum untuk dilakukan dalam kegiatan usaha yang biasanya berjalan secara rutin. Austin
Stevenson dan Wei-Skillern (2004) berpendapat bahwa pengusaha sosial dan tradisional
berbeda dengan pengusahanya sendiri, metode, situasi, dan peluang. Tujuan utama dari
pengusaha sosial adalah melayani kebutuhan dasar masyarakat, sementara pengusaha
tradisional adalah untuk meraih pasar yang besar kesenjangan dan memperoleh keuntungan,
dalam proses bertaraf minimum untuk kepentingan masyarakatnya.
Kewirausahaan sosial adalah kewirausahaan yang ditujukan untuk kepentingan
masyarakat bukan sekadar memaksimalkan keuntungan pribadi. Kewirausahaan sosial biasa
disebut 'pengembangan masyarakat' atau “organisasi bertujuan sosial' (Tan, 2005). Menurut J.
Gregory Dees (1984), Professor of Sosial Entrepreneurship at Duke University yang
mengatakan bahwa wirausaha sosial adalah pelaku reformasi atau revolusi sektor sosial
(pendidikan, kesehatan, pengembangan ekonomi, lingkungan, seni dan sebagainya). Menurut
Bill Drayton, CEO and Chair of Ashoka, wirausaha sosial adalah individu yang memiliki solusi
inovatif untuk mengatasi masalah sosial dengan cara mengubah sistem, memberikan solusi dan
memengaruhi masyarakat untuk melakukan perubahan. Menurut Muhamad Yunus, Founder
of Grameen Bank, wairausaha sosial adalah inisiatif (ekonomi atau non ekonomi, bertujuan
profit atau non profit) inovatif untuk membantu masyarakat.
Paul C Light (2006) mengamati berbagai definisi yang ada pengusaha sosial dan
memberikan definisi yang luas yang menganggap bahwa pengusaha sosial adalah individu,
kelompok, jaringan, organisasi atau aliansi. Tapi berupaya secara berkelanjutan melalui ide-
ide yang berbeda untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang signifikan. Lynn Barendsen
dan Howard Gardener (2004) menjelaskan bahwa Pemimpin yang baru sebagai pemimpin yang
sadar akan kewajiban mereka. Mereka memiliki kemampuan untuk melihat hal-hal yang
sifatnya positif. Gillian et al. berpendapat bahwa hanya keterampilan saja tidak membuat
kewirausahaan dapat dikatakan sebagai seorang pengusaha sosial.
Sebaliknya seorang pengusaha sosial juga memerlukan persimpangan virtuousness,
kesempatan sosial, pengakuan, dapat menghakimi, bersifat toleransi, dan inovasi. Robert
Ronstadt kewirausahaan didefinisikan sebagai proses yang sifatnya dinamis namun dapat
menciptakan kekayaan yang sifatnya penting. Dalam pandangan pengusaha, kekayaan
diciptakan oleh orang-orang yang mengambil resiko besar dalam hal waktu, karier, dan
komitmen untuk memberikan nilai dalam beberapa produk atau layanan. Nilai diinfuskan
dengan mengamankan dan mengalokasikan keterampilan yang diperlukan dan sumber daya.
Sarah H Alvord (2004) membuat analisis komparatif dari tujuh kasus kewirausahaan
sosial yang secara luas telah diakui sebagai sesuatu yang dianggap sukses. Mereka mengenali
perbedaan-perbedaan dalam bentuk tujuh organisasi yang memperkenalkan inovasi. Thomson
mendefinisikan pengusaha sosial sebagai orang-orang dengan sikap pengusaha bisnis, tetapi
beroperasi di masyarakat. Mereka bertindak lebih sebagai pengasuh dari masyarakat dan bukan
sebagai pengusaha yang dengan mudah menghasilkan uang. Gregory Dees (1998)
mengidentifikasikan pengusaha sosial sebagai pengusaha yang langka. Dia menggambarkan
satu set ciri-ciri luar biasa pengusaha sosial dengan menekankan bahwa masyarakat harus
mendorong dan memberi balasan kepada orang dengan kemampuan yang sifatnya unik.
Hal ini tentunya sangat bergantung kepada bagaimana isi dari gagasan yang kita
tawarkan, pada dasarnya agar gagasan serta ide yang kita tawarkan bisa diterima oleh
masyarakat kita harus memiliki misi sosial di dalamnya semata-mata hanya untuk membuat
masyarakat dapat terbebaskan dari permasalahan yang terjadi. Dalam pelaksanaan
pengimplementasian gagasan tersebut pastinya kita akan mendapatkan banyak sekali
permasalahan, seorang jiwa wirausaha sosial (social entrepreneur) harus mempunyai
kemampuan pengelolaan resiko (risk management) agar dapat menuntaskan apa yang menjadi
idenya tersebut. Kemampuan mengelola resiko ini merupakan suatu hal yang penting agar kita
dapat memastikan bahwa program yang ditawarkan berjalan secara berkelanjutan.
2.4.4 Karakteristik Pengusaha Sosial
Karakteristik yang dimiliki social entrepreneur menurut Borstein (2006) dijelaskan
sebagai berikut:
1) Orang-orang yang mempunyai visi untuk memecahkan masalah masalah kemasyarakatan sebagai pembaharu masyarakat dengan gagasan-gagasan yang sangat kuat untuk memperbaiki taraf hidup masyarakat.
2) Umumnya bukan orang terkenal, misalnya: dokter, pengacara, insinyur, konsultan manajemen, pekerja sosial, guru dan wartawan.
3) Orang-orang yang memiliki daya transformatif, yakni orang-orang dengan gagasan baru dalam menghadapi masalah besar, yang tak kenal lelah dalam mewujudkan misinya, menyukai tantangan, punya daya tahan tinggi, orang-orang yang sungguh-sungguh tidak mengenal kata menyerah hingga mereka berhasil menyebarkan gagasannya sejauh mereka mampu.
4) Orang yang mampu mengubah daya kinerja masyarakat dengan cara terus memperbaiki, memperkuat, dan memperluas cita-cita.
5) Orang yang memajukan perubahan sistemis: bagaimana mereka mengubah pola perilaku dan pemahaman.
6) Pemecah masalah paling kreatif. 7) Mampu menjangkau jauh lebih banyak orang dengan uang atau sumber daya yang
jauh lebih sedikit, dengan keberanian mengambil risiko sehingga mereka harus sangat inovatif dalam mengajukan pemecahan masalah.
8) Orang-orang yang tidak bisa diam, yang ingin memecahkan masalah masalah yang telah gagal ditangani oleh pranata (negara dan mekanisme pasar) yang ada.
9) Mereka melampaui format-format lama (struktur mapan) dan terdorong untuk menemukan bentuk-bentuk baru organisasi.
10) Mereka lebih bebas dan independen, lebih efektif dan memilih keterlibatan yang lebih produktif.
Ditambahkan lagi oleh Emerson (dalam Nicholls 2006) juga mendefinisikan tipe dari
pelaku social entrepreneurship, yakni:
1) Civic innovator (Inovator dari kalangan sipil) 2) Founder of a revenue generating social enterprise (Pendiri social enterprise yang
mampu meningkatkan penerimaan) 3) Launcher of a related revenue generating activity to create a surplus to support
social vision. (Para aktor yang melaksanakan aktivitas yang berhubungan dengan peningkatan penerimaan yang menciptakan surplus untuk mendukung visi sosial).
4) Social Entrepreneurship (pengusaha sosial)
2.4.5 Bentuk Wirausaha Sosial
Ada beberapa bentuk wirausaha sosial menurut Tan (2005):
1) Organisasi berbasis komunitas; Organisasi semacam ini biasanya dibuat untuk mengatasi masalah tertentu dalam komunitas (kelompok masyarakat), misalnya menyediakan fasilitas pendidikan untuk anak miskin, panti sosial dll.
2) Socially responsible enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk lembaga yang melakukan usaha komersial untuk mendukung/ membiayai usaha sosialnya. Sebagian keuntungan yang diperoleh dari organisasi profit ditujukan untuk membiayai usaha sosialnya.
3) Socio-economic atau dualistic enterprises; Wirausaha sosial ini berbentuk lembaga komersial yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip-prinsip sosial. Misalnya lembaga yang melakukan daur ulang sampah rumah tangga, organisasi yang mempekerjakan orang cacat, kredit mikro untuk masyarakat pedesaaan.
2.4.6 Sifat Wirausaha Sosial
Menurut Dees (2001), ada empat sifat wirausaha sosial, diantaranya:
1) Agen perubahan sosial. Mengadopsi misi untuk menciptakan dan mempertahankan nilai sosial (bukan nilai hanya pribadi); Mengenali dan mengejar peluang baru untuk mewujudkan misi tersebut; Melakukan proses inovasi yang berkelanjutan, adaptasi, dan belajar; Bertindak berani tanpa dibatasi oleh sumber daya yang dimiliki; dan Meningkatkan akuntabilitas pada konstituen yang dilayani dan hasil kerja.
2) Kreatif dan inovatif. Kreativitas merujuk kepada pembentukan ide-ide baru, sementara inovasi adalah upaya untuk menghasilkan mengatasi masalah dengan menggunakan ide-ide baru tersebut. Dengan demikian, kreativitas merupakan titik permulaan dari setiap inovasi. Inovasi adalah kerja keras yang mengikuti pembentukan ide dan biasanya melibatkan usaha banyak orang dengan keahlian yang bervariasi tetapi saling melengkapi.
3) Disiplin dan Bekerja keras. Seorang wirausaha melaksanakan kegiatannya dengan penuh perhatian. Rasa tanggung jawabnya tinggi dan tidak mau menyerah, walaupun dia dihadapkan pada rintangan yang mustahil diatasi. Menjalankan organisasi sosial bukan hal yang mudah. Ada banyak hambatan akan dihadapi seperti mengidentifikasi akar masalah sosial, mendapatkan modal, pendanaan, mengelola program, membangkitkan partisipasi masyarakat, serta mengkomunikasikan ide/gagasan pada pihak lain. Seluruh masalah itu hanya dapat diatasi dengan mental disiplin dan bekerja keras.
4) Altruis. Sikap moral yang memegang prinsip bahwa setiap individu memiliki kewajiban membantu, melayani dan menolong orang lain yang membutuhkan. Tujuan tindakannya adalah kesejahteraan masyarakat secara umum. Wirausaha sosial harus memiliki sifat altruis ini karena seluruh tindakannya didorong oleh keinginan mengatasi masalah sosial. Tentu saja karena bekerja, ia mendapatkan imbalan material namun imbalan ini bukan menjadi pendorong utama.
2.4.7 Indikator Orientasi Kewirausahaan Sosial
Dari hasil kajian tentang orientasi kewirausahaan sosial, pada penelitian ini diambil
indikator orientasi kewirausahaan sosial menurut Paul C. Light (2004) dimana indikator yang
digunakan sebagai instrumen yang dapat diukur adalah sebagai berikut:
1) Wirausaha Indikator wirausaha dipahami sebagai sikap seseorang yang memiliki talenta atau
bakat, kreatif, dan memiliki motivasi yang besar. 2) Ide/Gagasan
Indikator ini diterjemahkan sebagai suatu orientasi untuk mengurangi/ mengatasi masalah dan memiliki gagasan untuk melaksanakan kegiatan sosial.
3) Peluang Indikator ini dipahami sebagai sesuatu yang persisten, peka terhadap lingkungan sekitar serta keinginan untuk berubah ke arah yang lebih baik.
4) Organisasi Indikator organisasi dipahami sebagai pandai mengatur strategi, melaksanakan kegiatan secara masif serta berani mengambil keputusan (self determination).
2.5 Kinerja LPD
2.5.1 Rasionalitas Kinerja LPD
Salah satu tolok ukur tercapai atau tidaknya tujuan LPD adalah penilaian terhadap
kinerja lembaga tersebut. LPD merupakan sebuah lembaga yang pengelolaannya identik
seperti mengelola lembaga. Oleh karena itu dalam mengukur kinerja lembaga maka hampir
sama dalam mengukur kinerja lembaga. Seluruh aktivitas lembaga dikerahkan untuk mencapai
tujuannya. Artinya, tujuan lembaga merupakan hasil akhir yang dikejar melalui eksistensi dan
seluruh operasi lembaga, dalam hal ini misalnya; kelangsungan atau kesinambungan,
keuntungan, efisiensi, kepuasan dan pembinaan karyawan, mutu produk atau pelayanan kepada
konsumen, pertanggungjawaban sosial, kepemimpinan pasar dan lain-lainnya (Gluck & Jauch
1988). Dengan demikian segala upaya lembaga untuk mencapai tujuan biasanya diukur
melalui penilaiai atas kinerja lembaga tersebut.
Untuk memperdalam pemahaman tentang kinerja usaha, Carton & Hofer (2006)
menyatakan bahwa konsepsi kinerja organisasi/lembaga didasarkan pada gagasan bahwa
organisasi/lembaga merupakan sekumpulan aset produktif yang meliputi sumberdaya manusia,
sumber daya fisik dan modal untuk mencapai tujuan bersama. Sehingga dalam konteks ini,
kinerja usaha adalah menggambarkan hasil yang dicapai lembaga dari serangkaian pelaksanaan
fungsi kerja atau aktivitas lembaga dalam periode waktu tertentu. Oleh sebab itu, kinerja usaha
adalah cerminan keberhasilan atau kegagalan suatu lembaga. Lebih jauh dikatakannya bahwa;
“Kinerja lembaga/ organisasi adalah konstruk multi-dimensi yang unsur-unsur pokoknya
meliputi dimensi; profitabilitas, produktivitas, dasar operasional pasar, pertumbuhan, efisiensi,
liquiditas, ukuran pertumbuhan, kehidupan lembaga dan lain-lainnya, dimana masing-masing
dimensi ini masih mengandung sejumlah indikator.”
Keats & Hitt, (1988) menyatakan bahwa penilaian terhadap kinerja lembaga memiliki
nilai penting karena, selain dapat dipergunakan sebagai ukuran keberhasilan lembaga dalam
periode tertentu. Penilaian kinerja dapat juga dijadikan umpan balik untuk perbaikan atau
peningkatan kinerja di masa yang akan datang. Oleh karena itu, penilaian terhadap kinerja
suatu lembaga harus dilakukan, karena hasil penilaian ini dapat dijadikan dasar informasi untuk
melakukan perbaikan kinerja usaha untuk masa-masa kedepannya. Beal (2000) menyatakan
bahwa “Masih terdapat kontroversi mengenai pendekatan yang tepat untuk konseptualisasi dan
pengukuran kinerja lembaga.”
Wiklund (1999), yang mengutip pernyataan Atkinson, et al (1995), menyatakan bahwa
sistem pengukuran kinerja yang efektif, sebaiknya mengandung indikator-indikator kinerja,
yaitu; memperhatikan setiap aktivitas organisasi/lembaga dan menekankan pada perspektif
nasabah, menilai setiap aktivitas lembaga dengan menggunakan ukuran kinerja yang terkait
dengan nasabah, memperhatikan semua aspek aktivitas kinerja secara komprehensif yang dapat
mempengaruhi nasabah dan menyediakan informasi berupa umpan-balik untuk membantu
anggota organisasi/ lembaga dalam mengenali permasalahan dan peluang untuk melakukan
perbaikan. Sampai sejauh ini yang diakui sebagai konsep pengukuran kinerja lembaga yang
bersifat komprehensif adalah konsepsi Balanced Scorecard.
Norton and Kaplan (1992), dalam tulisannya yang berjudul: The Balanced Scorecard –
Measures that Drive Performance, mengemukakan empat perspektif penilaian kinerja usaha
lembaga yaitu: perspektif keuangan, perspektif nasabah, perspektif proses bisnis internal dan
perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran. Dengan menggunakan empat perspektif ini,
dimaksudkan oleh penemunya agar dapat melakukan penilaian terhadap kinerja usaha lembaga
dengan lebih menyeluruh.
2.5.2 Balanced Scorecard Sebagai Pengukuran Kinerja
Pengukuran kinerja usaha lembaga secara tradisional, ternyata masih memiliki
kelemahan-kelemahan sehingga memunculkan kebutuhan akan pengukuran yang lebih luas
dan tidak semata-mata didasarkan pada perspektif keuangan saja. Artinya ukuran keuangan
lebih banyak menginformasikan tentang keuangan masa lalu yang kurang dapat menuntun
lembaga untuk menciptakan nilai investasi melalui nasabah, karyawan, proses, teknologi dan
besarnya peran inovasi.
Sesungguhnya, informasi non keuangan keberadaannya juga merupakan faktor kunci
untuk menetapkan strategi yang dipilih untuk mencapai tujuan lembaga. Hal ini dapat
dihubungkan dengan informasi keuangan dalam merancang sistem pengukuran kinerja.
Biasanya, penggunaan informasi keuangan lebih banyak digunakan untuk pengendalian oleh
pihak manajemen yang lebih tinggi, sementara penggunaan informasi non keuangan
dipergunakan pada tingkat manajemen yang lebih rendah. Disinilah diperlukan kombinasi
pengukuran kinerja dari perspektif keuangan dan non keuangan sehingga dapat digunakan pada
berbagai tingkatan manajemen.
Balanced Scorecard adalah sistem pengukuran kinerja komprehensif yang meliputi
kinerja keuangan dan kinerja non keuangan. Secara konseptual balanced scorecard memberi
penekanan bahwa ukuran keuangan yang menunjukkan kinerja masa terhadulu yang dilengkapi
dengan ukuran non keuangan yang menjadi penggerak bagi kinerja di masa yang akan datang.
Tujuan pengukuran Scorecard berasal dari visi dan strategi perusahaan yang dikelompokkan
dalam empat perspektif yaitu keuangan, pelanggan, proses bisnis internal dan pembelajaran
dan pertumbuhan yang membentuk framework Balanced Scorecard. Paparan ini didukung oleh
pernyataan Kaplan and Norton (1992): “The measures are balanced between outcome
measures the results from past effort and measures that drive future performance”
Pada dasarnya balanced scorecard berusaha untuk menyeimbangkan antara
pengukuran internal yang diterapkan pada proses bisnis, inovasi, pertumbuhan dan
pembelajaran dalam lembaga dengan pengukuran eksternal yang berguna bagi pengusaha
sendiri dan nasabah. Artinya, secara internal konsep ini akan menyajikan informasi untuk
keputusan-keputusan bisnis lembaga dan secara eksternal menyajikan informasi yang dapat
dijadikan dasar bagi pengusaha sendiri sebagai pemilik lembaga, nasabah. Aspek balance
dalam hal ini memberi penekanan atas adanya penyeimbang antara pengukuran internal dan
eksternal, penyeimbang antara hasil usaha pada masa terdahulu dengan hasil usaha yang
diinginkan di masa yang akan datang, dan penyeimbang antara objektivitas berupa hasil
analisis kuantitatif dengan unsur subjektif yang berupa pertimbangan rasional yang dinyatakan
sebagai pemicu kinerja lembaga.
Secara mendasar, sistem balanced scorecard merujuk pada pola analisis kinerja
lembaga yang mengindikasikan: 1) merupakan suatu aspek strategi perusahan; 2) menetapkan
ukuran kinerja melalui mekanisme komunikasi antar tingkatan manajemen; dan 3)
mengevaluasi hasil kinerja secara berkesinambungan untuk dapat dipergunakan sebagai
pengukuran kinerja selanjutnya. Oleh sebab itu, balanced scorecard menggunakan empat
perspektif dalam mengukur kinerja lembaga.
2.5.3 Empat Perspektif dalam Balanced Scorecard
1) Perspektif Keuangan
Pencapaian keuntungan adalah tujuan utama lembaga. Secara umum, yang menjadi
tujuan lembaga adalah memaksimalkan laba. Walau pun untuk mengukur tingkat keberhasilan
pencapaian keuntungan setiap lembaga tidak dapat digunakan standar yang sama, karena
masing-masing lembaga mempunyai kondisi tertentu dalam setiap siklus bisnis yang dialami
oleh masing-masing lembaga. Artinya, pada siklus usaha yang berbeda tujuan keuangan
lembaga bisa berbeda. Pada umumnya, siklus usaha dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu: tahap
pertumbuhan, tahap bertahan dan tahap memanen. Hakikatnya, kinerja keuangan mempunyai
peran ganda. Selain merupakan tujuan akhir bagi sasaran dan ukuran perspektif lainnya,
kinerja keuangan juga merupakan dasar informasi untuk perencanaan strategis lembaga.
Sehingga kinerja keuangan digunakan sebagai fokus pada indikator dan tujuan oleh perspektif
lain dalam scorecard. Artinya kinerja keuangan menunjukkan dasar evaluasi atas strategi
lembaga, implementasi dan aktivitas lembaga, apakah telah memberikan kontribusi terhadap
perbaikan yang mendasar.
2) Perspektif Nasabah
Dengan perspektif ini, lembaga berkomitmen mengidentifikasi segmen nasabah dan
pasar yang dimilikinya. Kenyataan empiris menunjukkan bahwa pasar potensial sangat
beragam dan sesungguhnya lembaga pun mempunyai keterbatasan dalam memuaskan seluruh
pasar potensialnya. Disinilah lembaga membuat kebijakan segmentasi pasar untuk memetakan
pasar mana yang paling baik dan layak untuk dilayani dengan mempertimbangkan sumberdaya
yang dimiliki.
Dengan dasar ini, tolok ukur kinerja lembaga dari perspektif nasabah dipilah menjadi
dua bagian yaitu; kelompok inti (customers core measurement group) dan kelompok
penunjang (customers value propositions). Kelompok inti ini, terdiri dari empat elemen yaitu:
1) market share adalah perluasan pasar yang diukur dengan asumsi jumlah nasabah, uang yang
dibelanjakan dan volume satuan yang terjual ke nasabah; 2) customers retention yang diukur
dengan seberapa banyak lembaga berhasil mempertahankan nasabah lama; 3) customers
acquisition yang diukur dengan seberapa banyak lembaga dapat menarik dan mendapatkan
nasabah baru; 4) customers satisfaction diukur dengan kemampuan lembaga dalam
memuaskan nasabah atas produk dan layanan lembaga terhadap nasabah; dan 5) customers
profitability diukur dengan tingkat keuntungan bersih yang didapat dari nasabah. Agar tolok
ukur inti dapat diterapkan, diperlukan tolok ukur kelompok penunjang yang merupakan
aktivitas penentu sebagai penggerak, yang diuraikan menjadi tiga tolok ukur yaitu: 1) product
and service attributes yaitu atribut produk dan pelayanan yang di diukur dengan fungsi,
kualitas dan harga; 2) customers relationship yaitu menyangkut kualitas pelayanan dan
perasaan penanganan saat menggunakan produk lembaga; dan 3) image and reputation yaitu
atribut yang mencerminkan citra yang mengandung unsur intangible untuk menarik bagi
nasabah.
3) Perspektif Proses Internal Bisnis
Dalam perspektif ini, lembaga berupaya mengidentifikasikan proses-proses penting
bagi tercapainya tujuan lembaga. Biasanya lembaga akan mengembangkan sasaran yang ada
pada perspektif ini setelah lembaga terlebih dahulu menetapkan sasarannya dalam perspektif
keuangan dan perspektif nasabah. Norton and Kaplan (1992) mengidentifikasikan tiga tolok
ukur untuk perspektif proses bisnis internal lembaga yaitu proses inovasi, proses
operasi/produksi dan layanan purna jual.
Proses inovasi dideskripsikan menjadi dua komponen yaitu pertama: lembaga
menggunakan hasil riset pasar untuk mengenali sifat pilihan nasabah, dan harga barang atau
jasa yang ditawarkan lembaga. Kedua lembaga juga meneliti keberadaan dan kesanggupan
(daya beli) nasabah sebagai dasar proses inovasi. Hal ini meliputi keseluruhan kesempatan dan
pasar baru untuk barang dan jasa yang ditawarkan lembaga, yang diukur dengan tingkat nilai
tambah ekonomi yang disampaikan kepada nasabah melalui inovasi dengan mendahului
pesaing-pesaingnya.
Hakikat layanan purna jual, merupakan upaya lembaga untuk dapat memberikan
manfaat tambahan kepada para nasabah yang telah menggunakan barang atau jasa dalam
berbagai bentuk layanan pasca transaksi. Dalam hal ini yang ingin diketahui adalah apakah
upaya dalam pelayanan purna transaksi ini telah memenuhi harapan nasabahnya. Aspek ini
diukur dengan kualitas layanan kepada nasabah, biaya, dan kecepatan pelayanan kepada
nasabah.
4) Perspektif Pertumbuhan dan Pembelajaran
Sebagai elemen utama dalam perspektif ini adalah orang, sistem dan prosedur kerja
organisasi yang disepakati berperan penting dalam pertumbuhan jangka panjang lembaga.
Biasanya, hasil pengukuran menunjukkan adanya kesenjangan yang besar antara kenyataan
yang ada tentang orang, sistem dan prosedur kerja yang diharapkan dapat memfasilitasi
pencapaian kinerja yang handal untuk mewujudkan tujuan lembaga. Artinya, untuk
memperkecil kesenjangan tersebut, lembaga harus melakukan investasi pada tiga elemen
utama tersebut, untuk menjamin tujuan jangka panjang lembaga.
Perspektif ini adalah merupakan infrastruktur yang memfasilitasi pencapaian tiga
perspektif lainnya. Ukuran keberhasilan kinerja dalam perspektif ini pilah ke dalam tiga
kelompok yaitu: 1) kemampuan karyawan yang pencapaiannya diukur dengan: kepuasan
karyawan, loyalitas karyawan dan produktivitas karyawan. Sesungguhnya elemen ini diukur
dengan tingkat kepuasan kerja karyawan dan besarnya pendapatan per karyawan. 2)
kemampuan sistem informasi. Kemampuan sistem informasi akan memberi dukungan kepada
karyawan sebagai penyempurnaan proses pelaksanaan yang eksistensinya sebagai umpan balik
yang cepat, tepat waktu dan teliti mengenai barang dan jasa yang dipasarkan oleh lembaga,
Ukuran keberhasilan elemen ini adalah; tingkat ketersediaan informasi, tingkat ketepatan
informasi dan jangka waktu memperoleh informasi yang dibutuhkan tentang keberadaan
lembaga.
Kelompok ke tiga adalah motivasi, pemberdayaan dan keserasian dalam lembaga.
Aspek ini merupakan pra syarat untuk mencapai perspektif pertumbuhan dan pembelajaran.
Penerapannya: walaupun seorang karyawan telah mempunyai informasi yang luas, tidak akan
memberi kontribusi kepada lembaga jika mereka tidak termotivasi untuk melakukan yang
terbaik bagi lembaga. Penumbuhan motivasi ini bisa dilakukan dengan menciptakan iklim dan
budaya organisasi yang kondusif bagi motivasi karyawan. Tolok ukur keberhasilan kinerja
komponen ini yakni intensitas penyaluran aspirasi, dengan implementasi saran dari karyawan.
Dalam era globalisasi dimana arus informasi yang menyebabkan persaingan semakin
ketat, dan ketangguhan lembaga dalam menghadapi pesaing mulai berubah. Crossan &
Berdrov, (2003) menyatakan bahwa: “Peningkatan persaingan, globalisasi dan ledakan
teknologi, kapabilitas inovasi dan penciptaan pengetahuan muncul sebagai faktor-faktor
dominan dari keunggulan bersaing”. Oleh sebab itu, lembaga harus benar-benar dapat
memaksimalkan pemanfaatan sumberdaya yang dimiliki, dan melakukan efisiensi sehingga
tujuan yang telah direncanakan dapat diwujudkan.
2.5.4 Indikator Kinerja LPD
Pada hakikatnya LPD, mempunyai karakteristik yang sangat spesifik. Sifatnya yang
fleksibel, sangat dinamis termasuk keterbatasan dan kelemahan yang melekat padanya, seperti
kualitas manajemen yang masih sangat rendah, keterbatasan sumberdaya manusia,
menyebabkan dalam penilaian kinerjanya pun harus menggunakan pola tersendiri. Dalam
kajian ini, kinerja usaha akan langsung dianalisis berdasarkan perspektif balanced scorecard,
sehingga sebagai indikator kinerja usaha adalah: kinerja keuangan, kinerja nasabah, kinerja
proses bisnis internal dan kinerja pertumbuhan dan pembelajaran. Paparan detail tentang
indikator-indikator ini, diuraikan seperti berikut.
1) Kinerja Keuangan
Indikator kinerja keuangan, dalam hal ini didasarkan pada pencapaian lembaga dalam
aktivitas-aktivitasnya yang dilihat dari tercapainya target keuangan sebagaimana telah
direncanakan oleh lembaga. Ukuran pencapaian kinerja ini adalah: tingkat pertumbuhan
pendapatan operasional, besarnya laba kotor, tingkat pengembalian investasi, tingkat
pengembalian modal, besarnya nilai tambah ekonomi, dan akhirnya tingkat penurunan modal
kerja.
2) Kinerja Nasabah
Kinerja nasabah adalah prestasi kerja LPD dalam mengidentifikasi segmen pasar dan
segmen nasabah dimana lembaga itu berkompetisi serta ukuran kinerja yang akan digunakan
pada segmen tersebut. Biasanya ukuran mendasar yang digunakan untuk mengukur indikator
ini yaitu; jumlah nasabah; keberhasilan mempertahankan nasabah lama; keberhasilan
mendapatkan nasabah baru; dan keberhasilan memberi layanan yang memuaskan kepada
nasabah.
3) Kinerja Proses Bisnis Internal
Indikator kinerja proses bisnis internal, adalah akumulasi proses-proses penting dalam
LPD bagi tercapainya tujuan lembaga. Indikator ini akan diukur dengan: tingkat keuntungan
atau manfaat yang didapat oleh nasabah di masa mendatang; proses layanan terhadap nasabah,
memberikan layanan kepada nasabah termasuk fleksibilitas program untuk memberikan nilai
tambah ekonomi kepada nasabah.
4) Kinerja pertumbuhan dan Pembelajaran
Indikator pertumbuhan dan pembelajaran adalah terkait dengan kinerja orang, sistem
dan prosedur kerja dalam LPD. Kinerja indikator ini akan diukur dengan: 1) tingkat
kemampuan karyawan yaitu kepuasan, loyalitas dan produktivitas karyawan yang ditunjukkan
oleh besarnya pendapatan per karyawan; 2) kemampuan sistem informasi yang akan diukur
dengan tingkat ketersediaan informasi untuk pelaksanaan tugas karyawan, tingkat ketetapan
informasi yang tersedia dan jangka waktu untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan
tentang barang atau jasa dan lembaga; 3) prosedur kerja yang merujuk motivasi, pemberdayaan
dan keserasian individu dalam lembaga, yang diukur dengan jumlah saran-saran karyawan
yang diimplementasikan dan direalisasikan, serta banyaknya saran-saran yang berguna bagi
kemajuan LPD.
Kajian-kajian ilmiah pada LPD, terutama untuk penilaian kinerja usaha biasanya
tentunya harus menggunakan pendekatan campuran (financial dan non-financial) untuk
mengukur sejauh mana suatu usaha dapat mencapai tujuan-tujuannya. Walaupun kadang data
atau administrasi LPD kadang tidak lengkap. “Dalam konteks ini, Dess & Beard (1984)
merekomendasikan bahwa: “Untuk mengantisipasi tidak tersedianya data kinerja yang riil,
masih memungkinkan digali dengan pendekatan persepsi dari para pengelola LPD tersebut.”
Selanjutnya ditegaskannya kembali, bahwa kondisi ini dianggap relevan untuk mengukur
kinerja suatu lembaga dengan menggunakan persepsi.