bab ii tinjauan pustaka 2.1 konsep pertumbuhan dan ...eprints.umm.ac.id/54100/3/bab ii.pdf11 bab ii...

27
11 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi 2.1.1 Definisi Bayi Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang merupakan masa dimana pada bulan pertama merupakan kehidupan kritis, karena pada masa itu bayi mulai mengalami adaptasi dengan lingkungan. Masa bayi juga merupakkan satu periode yang memiliki perubahan fisik dan perkembangan yang sangat drastis (Potter & Perry, 2010). Tahapan pertumbuhan pada masa bayi dibagi menjadi dua yaitu masa neonatal dengan usia 0-28 hari dan masa pasca neonatal 29 hari – 12 bulan (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2008). Masa neonatal sendiri merupakan masa transisi antara kehidupan dari dalam kandungan ke kehidupan luar kandungan. Masa ini bayi banyak menghadapi berbagai macam pengaruh lingkungan biofisikpsikososial. Masa neonatal dibagi menjadi dua yaitu masa eonatal dini (0-7 hari) dimana merupakan masa rawan dalam proses tumbah kembang anak, khususnya tumbuh kembang otak. Bayi pada masa ini melewati masa transisi dari sistem yang teratur dan bergantung pada ibu ke sistem yang bergantung pada kemampuan genetik dan mekanisme homeostatik bayi sendiri. Selanjutnya pada masa neonatal lanjut (8-28 hari) bayi rentang terhadap pengaruh lingkungan biofisikpsikososial, dalam masa ini peran ibu dalam ekologi anak sangat besar. Ibu berperan sebagai “faktor paragenetik” pengaruh biologis terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh psikobiologis terhadap pertumbuhan pasca lahir dan perkembangan kepribadian (Soetjiningsih, 2013).

Upload: others

Post on 22-Oct-2020

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 11

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi

    2.1.1 Definisi Bayi

    Masa bayi dimulai dari usia 0-12 bulan yang merupakan masa dimana pada

    bulan pertama merupakan kehidupan kritis, karena pada masa itu bayi mulai

    mengalami adaptasi dengan lingkungan. Masa bayi juga merupakkan satu periode

    yang memiliki perubahan fisik dan perkembangan yang sangat drastis (Potter &

    Perry, 2010).

    Tahapan pertumbuhan pada masa bayi dibagi menjadi dua yaitu masa

    neonatal dengan usia 0-28 hari dan masa pasca neonatal 29 hari – 12 bulan

    (Nursalam, Susilaningrum & Utami, 2008). Masa neonatal sendiri merupakan masa

    transisi antara kehidupan dari dalam kandungan ke kehidupan luar kandungan. Masa

    ini bayi banyak menghadapi berbagai macam pengaruh lingkungan

    biofisikpsikososial. Masa neonatal dibagi menjadi dua yaitu masa eonatal dini (0-7

    hari) dimana merupakan masa rawan dalam proses tumbah kembang anak, khususnya

    tumbuh kembang otak. Bayi pada masa ini melewati masa transisi dari sistem yang

    teratur dan bergantung pada ibu ke sistem yang bergantung pada kemampuan genetik

    dan mekanisme homeostatik bayi sendiri. Selanjutnya pada masa neonatal lanjut (8-28

    hari) bayi rentang terhadap pengaruh lingkungan biofisikpsikososial, dalam masa ini

    peran ibu dalam ekologi anak sangat besar. Ibu berperan sebagai “faktor paragenetik”

    pengaruh biologis terhadap pertumbuhan janin dan pengaruh psikobiologis terhadap

    pertumbuhan pasca lahir dan perkembangan kepribadian (Soetjiningsih, 2013).

  • 12

    2.1.2 Definisi Pertumbuhan dan Perkembangan

    Pertumbuhan (growth) merupakan perubahan fisik yang terjadi sejak masa

    prenatal sampai usia dewasa akhir, pertumbuhan mencakup perubahan jumlah,

    ukuran atau dimensi sel organ, maupun individu yang bisa diukur dengan berat badan

    (gram, kilogram, pon) ukuran panjang (sentimeter, meter) umur tulang, dan

    keseimbangan metabolik. Anak-anak akan mengalami fase pertumbuhan lebih cepat

    dari pada dewasa (Adriana, 2013). Pertumbuhan ialah bertambahnya ukuran dan

    jumlah sel serta jaringan interceluler, yang berarti bertambahnya ukuran fisik dan

    struktur tubuh dalam arti sebagian atau keseluruhan (Narendra, 2010). Berdasarkan

    penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa pertumbuhan adalah pertambahnya

    ukuran dan jumlah sel atau organ yang bersifat kuantitatif.

    Perkembangan merupakan bertambah sempurnanya fungsi alat tubuh yang

    dapat dicapai melalui tumbuh kematangan dan proses belajar (Hidayat, 2009).

    Perkembangan merupakan pola-pola perubahan yang berawal dari pembuahan dan

    berlangsung seumur hidup (Santrock, 2011). Perkembangan (development) merupakan

    perubahan yang bersifat kualitatif adalah bertambahnya kemampuan (skill) struktur

    dan fungsi tubuh yang lebih kompleks, dalam pola yang teratur dan dapat diramalkan

    sebagai hasil dari proses pematang/maturasi (Soetjiningsih, 2013). Jadi dapat

    disimpulkan bahwa perkembangan adalah suatu proses penyempurnaan fungsi tubuh

    manusia sehingga dapat berkembangnya kognitif, bahasa, emosi, motorik dan

    perilaku seseorang seiring dengan proses pembelajaran yang diterima.

    2.1.3 Tahap Pertumbuhan dan Perkembangan Bayi

    Menurut Hidayat, 2009 masa bayi dari usia 0-12 bulan dalam pertumbuhan

    dan perkembangan dibagi menjadi tiga tahapan yaitu, tahap pertama dimulai dari usia

    0-4 bulan, tahap kedua dari 4-8 bulan, tahap ketiga 8-12 bulan.

  • 13

    1. Umur 0-4 bulan

    1) Pertumbuhan

    Perubahan pertumbuhan pada usia ini diawali dengan perubahan

    berat badan, bila bayi mendapat gizi yang baik maka perkiraan berat

    badannya akan mencapai 700-1000gram/bulannya, sedangkan

    pertumbuhan tinggi badan cenderung stabil tidak mengalami kecepetan

    dalam pertumbuhan tinggi badan (Hidayat, 2009).

    2) Perkembangan

    Pada usia 3 bulan pertama bayi akan tersenyum untuk memberikan

    respon dan bukan sekedar reflek bayi juga mulai mengenali perbedaan

    antar indivudi yang ada disekitarnya karena peningkatan kemampuan

    sensorik dan kognitif. Pada masa ini pola tubuh bayi menjadi stabil yang

    dapat dilihat dari pola tidur, buang air dan jadwal makan, bayi juga

    mampu menghubungkan stimulasi visual dan auditorik (Santrock, 2011).

    2. Umur 4-8 bulan

    1) Pertumbuhan

    Pada umur ini pertumbuhan berat badan dapat bertambah 2 kali

    lipat dengan berat badan saat lahir dan rata-rata kenaikan 500-600

    gram/bulan apabila mendapatkan gizi yang baik. Sedangkan pada tinggi

    badan tidak mengalami kecepatan dalam pertumbuhan dan terjadi

    kestabilan berdasarkan pertambahan umur (Wong, 2009).

    2) Perkembangan

    Pada trimester II bayi mampu mengangkat kepala dan menoleh kiri

    kanan saat telungkup. Setelah usia 5 bulan bayi mampu membalikkan

    badan dari posisi telentang ke tengkurap atau sebaliknya, dan berubah

  • 14

    meraih benda-benda disekitarnya untuk dimasukkan kemulut. Bayi pada

    tertawa lepas saat dia berada dikondisi yang tidak nyaman (Nursalam,

    Susilaningrum & Utami, 2008).

    3. Umur 8-12 bulan

    1) Pertumbuhan

    Pada usia ini pertumbuhan berat badan dapat mencapai 3 kali berat

    saat lahir apabila mencapai usia 1 tahun dan pertambahan berat badan

    perbulannya sekitar 350-450 gram pada usia 7-9 bulan dan 250-350

    gram/bulan pada usia 10-12 bulan apabila terpenuhinya gizi seimbang.

    Pertumbuhan tinggi badan masih stabil dan diperkirakan akan mencapai

    75cm (Hidayat, 2009).

    2) Perkembangan

    Pada usia 8 bulan bayi dapat membedakan orang asing dengan

    individu yang telah dikenalnya, sehingga memberikan respon berbeda.

    Pada usia 9 bulan bayi mulai bergerak merayap atau merangkak dan

    mampu duduk sendiri tanpa bantuan. Bila anak berdiri anak akan

    mencari bantuan atau pegangan sambil melangkah (Potter & Perry,

    2010).

    2.2 Konsep Nyeri

    2.2.1 Definisi Nyeri

    Nyeri adalah suatu hal yang bersifat subjektif, saat mengalami nyeri setiap

    individu pasti mempunyai cara yang berbeda dalam mendeskripsikannya, dan tidak

    ada dua kejadian menyakitkan yang mengakibatkan respon atau perasaan yang sama

    pada individu (Potter & Perry, 2010).

  • 15

    Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang tidak menyenangkan, bersifat

    subjektif. Perasaan nyeri pada setiap orang berbeda dalam hal skala ataupun

    tingkatannya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau mengevaluasi

    rasa nyeri yang dialaminya (Tetty, 2015). Menurut International Association for the Study

    of Pain (IASP) dalam Zakiah, 2015 mengartikan nyeri adalah pengalaman sensori dan

    emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan

    aktual atau potensial, atau digambarkan dalam ragam yang menyangkut kerusakan

    atau suatu yang digambarkan dengan terjadinya kerusakan.

    2.2.2 Fisiologi Nyeri

    1. Reseptor Nyeri

    Reseptor nyeri disebut juga nosiseptor yang berfungsi merangsang atau

    mengingatkan kita terhadap rangsangan yang berpotensi merusak kulit

    dengan mendeketsi suhu, tekanan ekstrem dan bahan kimia terkait dengan

    cedera, kemudian mentraduksi rangsangan menjadi sinyal listrik jangka

    panjang yang dikirimkan ke pusat otak. Berdasarkan letaknya nosiseptor

    dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu kulit (kutaneus), somatik

    dalam (deep somatic), dan pada daerah viseral (Garland, 2012).

    Reseptor jaringan kulit (kutaneus) terbagi menjadi dua komponen yaitu :

    1) Serabut Delta A

    Merupakan serabut saraf aferan yang peka terhadap rangsangan

    nyeri tajam dan panas disebut juga first pain/ fast pain (andarmoyo, 2013).

    Serabut delta A memiliki kecepatan transmisi 6-30 m/detik yang

    menimbulkan nyeri tajam dan akan cepat hilang apabila penyebab nyeri

    dihilangkan.

  • 16

    2) Serabut Delta C

    Merupakan serabut aferan lambat dengan kecepatan 0,5-2 m/detik

    yang terdapat pada daerah yang lebih dalam, nyeri biasanya lebih tumpul

    dan sulit dialokasikan (Zakiyah, 2013). Serabut delta C peka terhadap

    nyeri tumpul dan lama yang disebut second pain/slow pain

    (Andarmoyo,2013).

    Tabel 2.1 Perbedaan serabut delta A dan serabut delta C

    Serabut Delta A Serabut Delta C

    Bermielinasi

    Diameter 2-5 mikrometer

    Kecepatan hantar 12-30 m/detik

    Menyalurkan implus nyeri yang

    tajam, menusuk, terlokalisasi

    dan jelas.

    Tidak bermielinasi

    Diameter 0,4-12,2 mikrometer

    Kecepatan hantar 0,5-2 m/detik

    Menyelurkan implus nyeri yang

    bersifat tidak terlokaslisasi

    dan terus-menerus

    2. Neuroregulator

    Neuroregulator merupakan substansi yang mempengaruhi transmisi

    stimulus saraf, subtansi ini ditemukkan pada lokasi nosiseptor dan diujung

    saraf pada lokasi kornu dorsalis medula spinalis. Neuroregulator dibagi

    menjadi dua, yaitu neurotransmitter dan neuromodulator.

    1) Neurotransmitter

    Neurotransmitter bertugas mengirim impuls listrik melewati celah

    sinaps serabut saraf. Neurotransmitter terdiri dari (1) Subtansi P

    ditemukkan pada neuron nyeri di kornu dorsalis (peptida ektisator),

    diperlukan untuk menstramitter impuls nyeri dari perifer ke otak dan

    menyebabkan vasodilatasi dan edema, (2) Serotonin dilepaskan dibatang

    otak dan kornu dorsalis untuk menghambat transmisi nyeri, (3)

    Prostaglandin dibangkitkan dari pemecahan pospolipid dimembran sel

  • 17

    dan dipercaya dapat meningatkan sensitivitas terhadap sel (Tamsuri,

    2012).

    2) Neuromodulator

    Neuromodulator bertugas memodifikasi aktifitas neuron dan

    menyesuaikan atau memvariasikan trasmisi stimulus nyeri.

    Neuromodulator tidak bekerja secara langsung tetapi dapat

    meningkatkan dan menurunkan efek neurotransmitter tertentu.

    Neuromodulator terdiri dari :

    a. Endorfin

    Endorfin disebut juga enkefalin yang berarti didalam kepala

    merupakan suplai alamiah tubuh berupa suptansi seperti morpin.

    Endorfin diaktifkan ileh stress dan nyeri, yang dilokalisasikan dalam

    otak, medula spinalis, dan saluran pencernaan. Endorfin

    memberikan efek analgesik apabila agen ini menyatu dengan

    reseptor opioid di otak. Cara kerja endokrin adalah pada saat neuron

    nyeri perifer mengirimkan impuls ke sinap, maka terjadi sinapsis

    antara neuron nyeri perifer dan neuron yang menuju ke otak, tempat

    seharusnya subtansi P akan menghantarkan impuls (sebagai

    neurotransmitter). Pada saat tersebut endorfin akan memblokir

    pelepasan subtansi P dari neurosensorik (Zakiyah, 2015).

    b. Bradikinin

    Bradikinin dilepaskan dari plasma dan pecah disekitar

    pembuluh darah pada daerah yang mengalami cedera. Bekerja pada

    reseptor saraf perifer, menyebabkan peningkatan stimulus nyeri.

  • 18

    Bekerja pada sel, menyebabkan reaksi berantai sehingga terjadi

    pelepasan prostaglandin (Tamsuri, 2012).

    2.2.3 Mekanisme Nyeri

    Proses atau mekanisme ini akan melewati beberapa tahapan, yaitu yang

    diawali dengan stimulasi, transduksi, transmisi, persepsi, dan modulasi (Andarmoyo,

    2013)

    1. Stimulasi

    Reseptor nyeri (serabut delta A dan C) dalam tubuh terdapat beberapa

    reseptor sensori didalamnya, diantaranya yaitu (Guyton & Hall, 2008) :

    1) Faktor Mekanis

    Berespon jika rasa nyeri terjadi akibat ujung saraf bebas mengalami

    kesurakan akibat terjadinya trauma, misalnya karena benturan atau

    gesekan, sebagai deteksi jika ada perubahan bentuk sel karena ada

    kelainan sehingga reseptornya disebut sebagai “mekanosensitif”.

    2) Faktor Termis

    Sebagai pendeteksi suhu tubuh yang akan berespon terhadap suhu

    ekstrem, baik karena panas yang berlebihan atau suhu dingin yang

    berlebihan, sinyal suhu dibawa oleh reseptor diteruskan menuju otak

    melalui jaras spinotalakimus, sehingga reseptor ini disebut

    “termoreseptor/termosensitif”.

    3) Faktor Kimia

    Zat kimia yang merangsang reseptor ini adalah bradikinin, histamin,

    ion K, dan asetilkolin, selain itu dapat mendeteksi pengecapan di dalam

    mulut, bau didalam hidung, kadar O2 didalam darah arteri, osmolaritas

    cairan tubuh. Reseptor ini disebut sebagai “komoreseptor atau polimodal”.

  • 19

    4) Listrik

    Timbul karena pengaruh aliran listrik yang kuat mengenai reseptor

    rasa nyeri yang menimbulkan kekejangan otot dan luka bakar (porth,

    2004 dalam Zakiyah, 2015).

    Apabila salah satu dari faktor stimulasi diatas terangsang, maka stimulasi

    akan diubah menjadi impuls saraf aferan primer. Selanjutnya akan

    ditransmisikan sepanjang saraf eferen dan spinal cord (Andarmoyo, 2013).

    2. Transduksi

    Transduksi merupakan proses dari stimulus nyeri yang diubah menjadi

    aktifitas listrik yang dapat diakses oleh otak melalui ujung-ujung saraf (Taylor,

    2011). Selama fase transduksi, stimulus berbahaya (cedera jari tanga) memicu

    pelepasan mediator biokimia (Kozier, 2010). Dalam proses ini terjadi

    perubahan patofisiologi karena mediator-mediator kimia seperti prostaglandin

    dari sel rusak bradikinin dari plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari

    trombosit dan subtansi P dari ujung saraf nyeri memengaruhi juga nosiseptor

    diluar daerah trauma sehingga lingkaran nyeri meluas (Andarmoyo, 2013).

    3. Transmisi

    Transmisi (transmission) merupakan proses penerusan impuls nyeri dari

    nosiceptor saraf perifer melewati cornu dorsalis dari medulla spinalis menuju

    korteks serebri (Andarmoyo, 2013). Atau fase dimana stimulus dipindahkan

    dari saraf perifer medula spinalis (spinal cord) menuju otak (Zakiyah, 2015).

  • 20

    Sumber: Carlo & Taylor, 2011 dalam Zakiyah, 2015

    Gambar 2.1 Proses Transmisi Nyeri

    4. Persepsi

    Persepsi merupakan hasil dari rekonstruksi susunan safar pusat tentang

    impuls nyeri yang diterima. Rekonstruksi merupakan hasil dari interaksi

    sistem saraf sensori, informasi kognitif (korteks serebri) dan pengalaman

    emosional (hipokampus dan amigdala). Persepsi menentukan berat ringannya

    nyeri yang dirasakan seseorang. Setelah sampai ke otak, nyeri dirasakan secara

    sadar dan menimbulkan respon berupa perilaku dan ucapan yang merespon

    adanya nyeri (Andarmoyo, 2013).

    5. Modulasi

    Modulasi merupakan interaksi antara sistem analgesik endogen (endorfin,

    noradrenalin, 5HT) dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior.

    Impuls nyeri yang diteruskan oleh serat-serat delta A dan C ke sel-sel neuron

  • 21

    nosiseptor di kornu dorsalis medulla spinalis tidak semuanya diteruskan ke

    sentral lewat traktus spinotalamikus. Didaerah ini akan terjadi interaksi antara

    impuls yang masuk dengan sistem inhibisi, baik sistem inhibisi endogen

    maupun sistem inhibisi eksogen. Tergantung mana yang lebih dominan. Bila

    impuls yang masuk lebih dominan, maka penderita akan merasakan sensibel

    nyeri. Sedangkan bila efek sistem inhibisi yang lebih kuat maka penderita

    tidak akan merasakan sensibel nyeri (Rosenquist, 2013).

    2.2.4 Klasifikasi Nyeri

    1. Berdasarkan klasifikasi durasi nyeri dibedakan menjadi dua :

    1) Nyeri Akut

    Nyeri akut dapat dideskripsikan sebagai nyeri yang terjadi setelah

    cedera akut, penyakit atau intervensi bedah, dan memiliki frekuensi yang

    cepat, dengan intensitas yang bervariasi (ringan dan berat) serta

    berlangsung singkat (kurang dari enam bulan) dan menghilang dengan

    atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak. Nyeri

    akut biasanya berlangsung singkat. Klien yang mengalami nyeri akut

    biasanya menunjukkan gejala respirasi meningkat, denyut jantung dan

    tekanan darah meningkat serta pallor (Mubarak et all, 2015).

    2) Nyeri Kronik

    Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap

    sepanjang suatu periode waktu, berlangsung lama (lebih dari enam

    bulan), dan intensitasnya bervariasi. Nyeri kronik dibedakan menjadi dua,

    antara lain nyeri kronik malignan atau nyeri kanker yaitu nyeri yang dapat

    diidentifikasi, terjadi akibat adanya perubahan pada saraf, dan nyeri

    kronik nonmaligna yaitu nyeri yang timbul akibat cedera jaringan yang

  • 22

    tidak progresif atau menyembuhkan dan bisa timbul tanpa penyebab

    yang jelas (Vinall, et all, 2016).

    2. Berdasarkan klasifikasi asalnya nyeri dibedakan menjadi dua :

    1) Nyeri Nosiseptif (Nociceptive Pain)

    Merupakan nyeri yang diakibatkan oleh aktivitas atau sensitasi

    nosiseptor perifer yang merupakan reseptor khusus yang mengantarkan

    stimulus noxious. Nyeri nosiseptif perifer dapat terjadi karena adanya

    stimulus yang mengenai kulit, tulang, sendi, otot, jaringan ikat, dan lain-

    lain (Andarmoyo, 2013). Nyeri nosiseprif juga bisa diakibatkan oleh

    patologi jinak, seperti tumor dan kanker yang berada dalam tubuh

    (Konopka et all, 2012).

    2) Nyeri neuropatik

    Merupakan hasil suatu cedera atau abnormalitas yang didapatkan

    pada struktur saraf perifer maupun sentral. Berbeda dengan nyeri

    nosiseptor, nyeri neuropatik bertahan lebih lama dan merupakan proses

    input saraf sensorik yang abnormal oleh sistem saraf perifer

    (Andarmoyo, 2013).

    3. Berdasarkan klasifikasi lokasi nyeri dibedakan menjadi :

    1) Superficial atau Kutaneus

    Nyeri superfisial biasanya timbul akibat stimulasi terhadap kulit

    seperti pada laserasi, luka bakar, dan sebagainya. Nyeri jenis ini

    mempunyai waktu penyembuhan yang pendek, terlokalisasi, dan memiliki

    sensasi yang tajam (Tamsuri, 2012).

  • 23

    2) Viseral Dalam

    Nyeri viseral adalah nyeri yang disebabkan oleh organ interna. Nyeri

    yang timbul bersifat difusi dan durasinya cukup lama. Sensasi yang

    timbul biasanya tumpul (Tamsuri, 2012). Penyebab nyeri viseral adalah

    semua rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf nyeri didaerah

    viseral. Rangsangan tersebut dapat berupa iskemia jaringan viseral,

    spasme suatu vicera berongga, rangsangan kimia dan distensi suatu organ

    viseral. Contoh dari nyeri viseral yaitu apendiksitis, cholecystitis, penyakit

    kardiovaskuler, renal, konik uretra dan lain-lain (Prasetyo, 2010).

    3) Nyeri Alih (Referred Pain)

    Merupakan fenomena umum dalam nyeri viseral karena banyak

    organ tidak memiliki reseptor nyeri. Jalan masuk neuron sensorik dari

    organ yang terkena kedalam segmen medulla spinalis sebagai neuron dari

    tempat asal nyeri yang dirasakan, persepsi pada daerah yang tidak

    terkena. Karakteristik nyeri dapat terasa dibagian tubuh yang terpisah

    dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik

    (Andarmoyo, 2013).

    2.2.5 Teori Gerbang Kendali Nyeri

    Menurut Melzack dan Wall pada tahun 1959 dalam Zakiyah, 2015

    menjelaskan bahwa teori gerbang kendali nyeri menyatakan bahwa terdapat semacam

    “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri.

    Melzack dan Wall juga menerima bahwa ada sentuhan dan nosiseptor (fibers nyeri),

    fibers-fibers ini kan bersatu didorsal horn medula spinalis yang kemudian akan dibagi

    menjadi dua di subtansia gelation dan sel transmisi (Moayedi & Davis, 2019).

    Dijelaskan juga dalam teori ini impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh

  • 24

    mekanisme pertahanan disepanjang sistem saraf pusat (Moayedi & Davis, 2019).

    Dalam teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan pada saat sebuah

    pertahanan ditutup. Upaya untuk menutup pertahanan tersebut merupakan teori

    menghilangkan nyeri (Andarmoyo, 2013).

    Secara umum dapat dijelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua

    jenis transmitter impuls nyeri, yaitu reseptor berdiamet kecil (serabut delta A dan C)

    dan reseptor berdiamer besar (serabut beta A), dimana serabut beta A tersebut

    memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai

    inhibitor, yaitu menstransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi

    hangat dan dingin, serta terhadap tekanan halus (Joyle & Hawks, 2009).

    Pada saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa

    rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior,

    dimedula spinalis inilah terjadi interaksi antara dua serabut berdiameter besar dan

    kecil di suatu area khusus yang disebut “subtansia Gelatinosa (SG)”. Pada saat SG

    terjadi perubahan dan modifikasi yang mempengaruhi apakah sensasi nyeri yang

    diterima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Sebelum impuls

    nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan kecil akan berinteraksi diarea SG yang

    apabila tidak dihambat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut besar, maka

    impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantar ke sel T (sel pemicu/ tigger cell) untuk

    kemudian dibawah ke otak yang akhirnya menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan

    oleh tubuh. Keadaan impuls yang diteruskan oleh otak inilah yang disebut dengan

    “pintu gerbang terbuka”. Sebaliknya, apabila ada impuls yang ditransmisikan oleh

    serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit, sentuhan, getaran, sensasi

    hangat atau dingin, serta sentuhan halus, maka impuls akan menghambat serabut

    kecil, sehingga sensasi yang dibawah serabut kecil akan berkurang atau bahkan tidak

  • 25

    terhantarkan ke otak oleh substansia gelatinosa sehingga tubuh tidak akan merasa

    sensasi nyeri. Kondisi ini disebut sebagai “pintu gerbang tertutup” (Zakiyah, 2015).

    Sumber: (Zakiyah, 2015)

    Gambar 2.2 Teori Gerbang Kendali Nyeri

    2.2.6 Respon Nyeri

    Reaksi tubuh terhadap nyeri terdiri atas dua respon yaitu respon fisiologis dan

    respon perilakuyang terjadi setelah seseorang merasakan nyeri, adalah sebagai berikut:

    1. Respons Fisiologi

    Respons fisiologis dianggapsebagai indikator nyeri yang lebih akurat

    dibandingakn laporan verbal pasien. Respons fisiologi terhadap nyeri dapat

    sangat membahayakan individu. Saat impuls nyeri naik ke medulla spinalis

    menuju ke batang otak dan hipotalamus, sistem saraf otonom menjadi

    terstimulasi sebagai bagian dari respons stress. Stimulasi cabang simpatis

    pada sistem saraf otonom menghasilkan respons fisiologi. Apabila nyeri

    berlangsung terus-menerus, berat, dalam, dan melibatkan organ-organ dalam

  • 26

    atau viseral maka sistem saraf simpatis akan menghasilkan suatu aksi

    (Andarmoyo, 2013).

    Tabel 2.2 Respons Fisiologis Terhadap Nyeri

    Respons Fisiologis Penyebab atau efek

    Stimulasi simpatik (nyeri dengan intensitas ringan sampai moderat dan nyeri

    superfisial)

    Dilatasi saluran bronkheolus dan

    peningkatan frekuensi pernapasan

    Peningkatan frekuensi denyut

    jantung

    Vasokontriksi perifer (pucat,

    peningkatan takanan darah)

    Peningkatan kadar gula

    Diaphoresis

    Peningkatan ketegangan otot

    Dilatasi pupil

    Penurunan motilitas saluran cerna

    Menyebabkan peningkatan asupan

    oksigen

    Menyebabkan peningkatan transpor

    oksigen

    Meningkatkan tekanan darah disertai

    perpindahan suplai darah dari perifer

    dan viseral ke otot-otot skeletal dan

    otak

    Menghasilkan tenaga tambahan

    Mengontrol temperatur tubuh

    selama stress

    Mempersiapkan otot untuk

    melakukan aksi

    Memungkinkan penglihatan yang

    lebih baik

    Membebaskan energi untuk

    melakukan aktifitas yang lebih cepat

    Stimulasi Parasimpatik (nyeri yang berat dan dalam)

    Pucat

    Ketegangan otot

    Penurunan denyut jantung dan

    tekanan darah

    Pernapasan cepat dan tidak teratur

    Mual dan muntah

    Kelemaham dan kelelahan

    Menyebabkan suplai darah

    berpindah dari perifer

    Akibat keletihan

    Akibat stimulasi vagal

    Menyebabkan pertahanan tubuh

    gagal akibat stress nyeri yang terlalu

    lama

    Mengembangkan fungsi saluran

    cerna

    Akibat pengeluaran energi fisik

    Sumber : Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013

  • 27

    2. Respons Perilaku

    Respons perilaku yang ditunjukan oleh klien sangat beragam. Meskipun

    respons perilaku klien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu

    yang tidak beres, respons perilaku seharusnya tidak boleh digunakan sebagai

    pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak lazim

    dimana pengukuran tidak memungkinkan (misal orang tersebut menderita

    retardasi mental yang berat dan tidak sadar) (Andarmoyo, 2013).

    Tabel 2.3 Respons Perilaku Nyeri

    Respons perilaku nyeri

    Vokalisasi Mengaduh, menangis, sesak napas, mendengkur

    Ekspresi Wajah Merintih, menggeletukkan gigi, mengernyitkan dari, menutup mata atau mulut dengan rapat atau membuka mulut atau mata dengan lebar, menggigit bibir

    Gerakan Tubuh Gelisah, imobilisasi, ketegangan otot, peningkatan gerakan jari dan tangan, aktifitas melangkah yang tanggal ketika berjalan atau berlari, gerakan ritme atau gerakan menggosok, gerakan melindungi bagian tubuh

    Interaksi Sosial Menghilangkan percakapan, fokus hanya pada aktifitas untuk menghilangkan nyeri, menghidari kontak sosial, penuruhan rentang perhatian.

    Sumber: Potter & Perry, 2006 dalam Andarmoyo, 2013.

    2.2.7 Respon Nyeri pada Bayi

    Nyeri merupakan suau yang paling mendesak dan menuntuk bagi semua

    indera, variabilitas individu dalam menyikapi respon nyeri sangat beragam hal ini

    membuat sulit diukur dan diobati. Karena itu akan menjadi masalah khusus bagi bayi

    yang tidak dapat mengungkapkan rasa nyeri yang dirasakan dan bayi juga belum

    memiliki kematangan dalam sistem saraf pusat (SSP), termasuk jalur dan jaringan

    yang terlibat dalam somatosensori dan emosionalnya (Fitzgerald, 2015). Bayi baru

    lahir memiliki kepekaan yang sensitif dan lebih reaktive terhadap nyeri jika

  • 28

    dibandingkan dengan anak-anak, dan orang dewasa yang lebih tua, serta rentang

    terhadap efek nyeri dalam jangka panjang (Noghabi, Farahi, Yousefi & sadeghi,

    2014). Respon nyeri sangat bervariasi tergantung pada usia dan tingkat tumbuh

    kembang seseorang, beberapa respons ini dapat dilihat mulai dari perkembangan bayi

    hingga remaja (Hidayat, 2009). Respons nyeri yang ditunjukkan bayi dapat berupa

    respons fisiologis dan respons perilaku, dimana respons tersebut dapat digunakan

    untuk mengukur dan mengevaluasi tingkat keparahan nyeri (Walker, 2014).

    Nyeri dapat menyebabkan respons fisiologis pada bayi terganggu, seperti

    adanya peningkatan denyut jantung dan pernapasan, berkeringat, kemerahan pada

    kulit, penurunan saturasi oksigen, pupil melebar, gelisah, dan tekanan darah yang

    meningkat, sehingga jika tidak dikendalikan akan memiliki banyak efek pada sistem

    fisiologis tubuh dan kehidupan bayi, seperti pada sistem kardiovaskular, masalah

    paru/ pernapasan, gastrointestinal, dan sistem kekebalan tubuh, atau menyebabkan

    kegelisahan, menurunkan napsu makan, inkontensia, insomnia, masalah gizi,

    hipoksia, perubahan metabolik, panik pada malam hari, penundaan pemulihan pada

    saat rawat inap, memburuknya penyakit atau bahkan kematian. Selain itu juga dapat

    menyebabkan gangguan psikologis seperti gangguan belajar dan memori, hal ini dapat

    menjadi trauma dimasa depan (Pasha, Gholami, & Roshan, 2016). Sedangakan

    respons perilaku yangditunjukkan bayi terhadap nyeri diantara lain kekakuan tubuh

    (seperti melengkung) ekspresi wajah (alis diturunkan dan dinaikkan bersamaan,

    tonjolan antara alis dan alur vertikal pada dahi, mata tertutup rapat, pipi terangkat,

    hidung melebar, dan menonjol, lipatan nasolabial yang didalam, mulut terbuka dan

    squarish), menangis dengan intens/nyaring, menarik lutut ke arah atau mendekati

    dada, menunjukkan hipersensitivitas atau mudah tersinggung, memiliki asupan oral

    yang buruk dna tidak bisa tidur (Mazur, Winnick, & Szczepanski, 2013).

  • 29

    Sumber: (Arnstein, 2010)

    Gambar 2.3 Ekspresi Nyeri pada Bayi

    2.3 Konsep Atraumatic Care

    Atraumatic care merupakkan bentuk perawatan yang tidak menimbulkan

    adanya trauma pada anak dan keluarga. Perawatan yang dilakukan berfokus dalam

    pencegahan terhadap trauma anak yang merupakan bagian dari keperawatan anak.

    Perhatian khusus pada anak sebagai individu yang masih dalam usia tumbuh

    kembang sangat penting karena pada masa ini anak akan menuju proses kematangan.

    Atraumatic care merupakan bentuk tindakan terapeutik yang diberikan pada anak dan

    keluarga untuk mengurangi dampak psikologis dari tindakan keperawatan yang

    diberikan (Hidayat, 2009).

    2.3.1 Pengembangan Asuhan Atraumatik pada Bayi Saat Diimunisasi

    Banyak cara yang dikembangkan oleh perawat dalam mencapai tujuan

    perawatan atraumatik dengan menggunakan prinsip atraumatic care diantaranya, yaitu:

    1. Aktifitas Bermain

    Bermain tidak dapat dipisahkan dari kehidupan anak, meskipun sakit

    bermaian dapat dilakukan oleh anak di rumah sakit. Bermain sebagai terapi

    untuk menghilangkan perasaan yang tidak menyenangkan seperti marah,

    takut, cemas, sedih dengan cara yang aman diamana anak dapat mengalihkan

    Forehead Bulge between brows, vertical furrows

    Brows Lowered, drawn together

    Mouth Open, squarish

    Eyes Tighlty closed

    Nose Broadened, bulging

  • 30

    rasa sakitnya pada permainan dan kesenangan yang diperoleh berdampak

    sebagai relaksasi bagi anak (Hidayat, 2009).

    2. Meningkatkan hubungan anak dan orang tua

    Anak ketika mengalami prosedur sakit memerlukan dukungan orang

    terdekat terutama orang tuanya. Penelitian menunjukan adanya hubungan

    yang signifikan antara perilaku orang tua seperti mengalihkan perhatian lewat

    teknik distraksi, humor, kata-kata penguatan dengan penurunan distress anak

    saat menerima prosedur yang menyebabkan nyeri (Taddio et al., 2015).

    Pengembangan hubungan anak dan orang tua pada bayi dapat dilakukan

    dengan metode skin to skin contact, melibatkan orang tua saat prosedur

    dilakukan seperti memegang anak, dan memberikan distraksi dengan

    mengajak bercerita humor.

    3. Mengendalikan rasa sakit saat prosedur

    Teknik yang dikembangkan seperti posisi anak pada saat diimunisasi

    yaitu sitting up (Lacey et al., 2008) membuktikan adanya penurunan lama

    menagis dan nyeri dengan strategi nonfarmakologi. Selain itu pengendalian

    rasa sakit saat prosedur dilakukan seperti sentuhan, breastfeeding, sweet solution,

    ditraksi dan teknik relaksasi nafas (Taddio et al., 2015). Meminimalkan reaksi

    lokal dari vaksin Meminimalkan reaksi lokal dari vaksin dengan pemilihan

    jarum dan area suntikan. Standar jarum suntik pada bayi ukuran 23 dengan

    panjang jarum adalah 25 mm. Pada bayi-bayi yang lahir prematur atau yang

    usia dua bulan menggunakan ukuran jarum 26 dengan panjang 16 mm (IDAI,

    2011). Sedangkan injeksi dilakukan pada area paha anterolateral pada vastus

    lateralis otot ventrogluteal kecuali BCG harus disuntikan pada kulit diatas

    insersi otot deltoid.

  • 31

    2.4 Konsep Imunisasi

    Imunisasi merupakan suatu usaha dalam memberikan kekebalan tubuh pada

    bayi dan anak dengan cara memasukkan vaksin kedalam tubuh bayi dan anak

    tersebut, yang nantinya tubuh akan membuat zat antibodi untuk mencegah penyakit

    tertentu, sehingga berdampak dalam menurunkan angka morbiditas (kematian) dan

    mortalitas (kesakitan) serta dapat mengurangi kecacatan akibat penyakit tertentu

    (Hidayat, 2009). Vaksin terbuat dari kuman (bakteri maupun virus), komponen

    kuman atau racun kuman yang telah dilemahkan atau dimatikan, atau dibuat dari

    tiruan kuman tersebut (Achmadi, 2006). Cara pemberian imunisasi dapat dilakukan

    dengan berbagai cara yaitu melalui oral, disuntikkan melalui subcutan (dibawah kulit),

    intracutan (didalam kulit) dan melalui intramuskular (didalam otot).

    2.4.1 Jenis Imunisasi dan Cara Pemberian

    1. Imunisasi Hepatitis B

    Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

    penyakit hepatitis, dengan mengandung HbsAg dalam bentuk cair. Frekuensi

    pemberian imunisasi hepatitis B adalah sebanyak 3 kali dengan waktu

    pemberian pada usai 0-11 bulan, dan dapat diberikan dengan cara disuntikkan

    melalui intramuskular (Hidayat, 2009).

    2. Imunisasi BCG (Bacillus calmette Guerin)

    Merupakn jenis imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

    penyakit TBC yang berat, seperti TBC pada selaput otak, TBC milier (pada

    seluruh lapang paru) atau TBC tulang. Vaksin ini mengandung kuman TBC

    yang telah dilemahkan. Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 kali

    pada usia 0-11 bulan, akan tetapi pada umumnya diberikan pada usia 2 atau 3

    bulan dan cara pemberianya disuntukkan melalui intracutan (Hidayat, 2009).

  • 32

    3. Imunisasi Polio

    Merupakkan imunisasi yang digunakan untuk mencegah terjadinya

    penyakit polimyelitis yang dapat menyebabkan kelumpuhan pada anak.

    Vaksin ini mengandung virus polimylitis yang telah dilemahkan. Frekuensi

    pemberian imunisasi polio adalah sebanyak 4 kali dengan waktu pemberian 0-

    11 bulan dengan interval pemberian 4 minggu, dan dapat diberikan melalui

    oral (Hidayat, 2009).

    4. Imunisasi DPT (Dephteri, Pertusis, dan Tetanus)

    Merupakan imunisasi yang diguanaka untuk mencegah terjadinya

    penyakit diphteri, pertusis, dan tetanus. Vaksin ini mengandung racun kuman

    difteri yang dihilangkan racunnya akan tetapi masih dapat merangsang

    pembentukkan zat anti toksid. Frekuensi pemberian imunisasi sebanyak 3 kali

    pada usia 2-11 bulan dengan interval 4 minggu dan cara pemberian

    disuntikkan melalui intramuskular (Hidayat, 2009).

    5. Imunisasi Campak

    Merupakan imunisasi yang digunakan untuk mencegah penyakit campak,

    dengan mengandung virus campak yang telah dilemahkan. Frekuensi

    pemberian adalah 1 kali pada rentang usia antara 9-11 bulan, dan dapat

    diberikkan melalui subcutan (Hidayat, 2009).

  • 33

    Tabel 2.4 Jadwal Pemberian Imunisasi Dasar Lengkap

    Usai Jenis Imunisasi yang diberikan

    < 7 hari Hepatitis B

    1 bulan BCG, Polio 1

    2 bulan DPT-HB1, Polio 2

    3 bulan DPT-HB2, Polio 3

    4 bulan DPT-HB3, Polio 4

    9 bulan Campak

    Sumber: (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, 2015)

    2.5 Konsep Swaddling dan Side-Stomach Position

    Swaddling atau membedong adalah kegiatan membungkus bayi dengan selimut

    tipis, teknik membedong ini merupakan cara tradisional atau sudah diterapkan dari

    jaman dahulu yang diguanakan untuk menenangkan bayi dan memudahkan bayi saat

    digendong. Swaddling juga digunakan sebagai teknik distraksi, dimana teknik distraksi

    adalah salah satu cara untuk membantu bayi dalam mengatasi prosedur menyakitkan

    (Merlinsuji & Prasad, 2018). Secara umum membedong bayi dapat membantu

    memposisikan bayi, memberikan ketenangan, membantu agar bayi cepat tidur, dan

    menenangkan bayi saat menangis (Shu, Lee, Hayter, & Wang, 2014).

    Side/ Stomach Position merupakn pemberian posisi miring ke kanan/ kiri pada

    bayi dengan tujuan untuk memberikan sensasi nyaman pada bayi karena dapat

    mengingatkan saat didalam rahim ibu (Martiningsih & Setijaningsih, 2015). Dalam

    posisi miring bayi akan merasa aman dan dapat menonaktifkan refleks moro pada

    bayi. Saat bayi menangis kemudian diposisikan terlentang maka bayi akan merasa

    tidak nyaman, karena posisi terlentang membuat bayi merasa seperti jatuh, dengan

    demikian dapat memicu refleks moro. Sehingga saat bayi rewel atau menangis

    sebaiknya diposisikan miring agar bayi dapat tenang dan nyaman, akan tetapi posisi

  • 34

    ini sangat tidak dianjurkan pada bayi yang sedang tidur, karena dapat menyebabkan

    resiko kesulitan bernapas (Karp, 2004).

    Penelitian yang dilakukan oleh Martiningsih dan Setijahningsih, 2015

    dijelaskan bahwa pemberian intervensi fisik 5S’s yang didalamnya meliputi beberapa

    tahap intervensi beberapa diantaranya Swaddling dan Side/ Stomach Position dapat

    menurunkan respon nyeri dan durasi tangis bayi pada saat dilakukan imunisasi.

    Pemberian tindakan tersebut merangsang rasa nyaman sehingga mengaktifkan

    stimulus serabut beta A (non-neciceptor) yang mengakibatkan tertutupnya kontrol

    gerbang nyeri, sehingga rasa nyeri akan terhambat atau tidak ada. Hal ini sama dengan

    mekanisme Gate Control Theory.

    Sumber : (Karp, 2004)

    Gambar 2.4 Cara Melakukan Swaddling

  • 35

    Sumber: Sakina.web.id

    Gambar 2.5 Posisi Swaddling

    Sumber: (Karp, 2004)

    Gambar 2.6 Posisi Side atau Stomach Position

  • 36

    2.6 Skala Nyeri pada Bayi

    Indikator respon fisiologi dan perilaku yang ditunjukan oleh bayi dapat

    digunakan untuk menilai tinggakt keparahan nyeri yang dirasakan. Ukuran ekspresi

    wajah atau respon perilaku yang ditunjukan oleh bayi tampak paling berguna dan

    spesifik untuk menilai respon nyeri yang di rasakannya (Mazur et al., 2013).

    Skala nyeri NIPS (Neonatal infant pain scale) telah divalidasi pada 190 bayi

    baru lahir dari usia kehamilan 25 hingga 47 minggu dengan korelasi intraclass yang

    sangat baik. Skala nyeri NIPS banyak digunakan pada bayi dibawah 1 tahun, karena

    pada usia ini bayi tidak dapat mengungkapkan nyeri yang dirasakan (Beltramini, et all,

    2017).

    Skala nyeri NIPS menilai lima faktor perilaku (ekspresi wajah, tangisan,

    lengan, kaki, dan keadaan gairah) dan satu faktor fisiologis (pola pernapasan), yang

    masing-masing berisi dua item yang ditandai dengan skor 0 atau 1 ( kecuali untuk

    faktor menangis, yang terdiri dari tiga item dan diberi skor pada skala 0 sampai 2).

    Skala ini menghasilkan skor total mulai dari 0 hingga 7, di mana skor lebih dari 4

    mengindikasikan rasa sakit. Indikator skala nyeri NIPS meliputi : a). Ekspresi wajah

    dikatakan 0 jika wajah tenang, ekspresi alami, dan 1 jika otot wajah tegang; alis

    berkerut, dagu dan rahang tegang (ekspresi wajah negatif-hidung, mulut, alis). b).

    Menangis dikatakan 0 jika tenang dan tidak menangis, 1 jika merengek ringan,

    kadang-kadang, dan 2 jika berteriak kencang, menarik, melengking terus-menerus.

    Catatan: menangis lirih mungkin dinilai jika bayi diintubasi yang dibuktikan melalui

    gerakan mulut dan wajah yang jelas. c). Pola pernapasan dikatakan 0 jika pola

    pernapasan bayi normal, dan 1 jika tidak teratur, lebih cepat dari biasanya, tersedak,

    napas tertahan. d). Lengan dan Kaki dikatakan 0 jika tidak ada kekuatan otot, gerakan

    tangan acak sekali-sekali, dan 1 jika lengan tegang, lengan lurus, kaku, dan atau

  • 37

    ekstensi, cepat ekstensi, fleksi. e). Kesadaran dikatakan 0 jika tenang, tidur damai atau

    gerakan kaki acak yang terjaga dan 1 jika terjaga, gelisah, dan meronta-ronta.

    Interprestasi skala nyeri NIPS (Neonatal infant pain scale) adalah dimana dalam

    setiap kategori mempunyai rentang skor 0-2: tidak nyeri- nyeri ringan, 3-4: nyeri

    ringan- nyeri sedang, >4: nyeri hebat (Nursalam, 2017). Skala nyeri NIPS mudah

    dipahami dan diterapkan dan merupakan alat yang berguna bagi para profesional

    kesehatan yang memiliki neonatus yang terpapar rangsangan yang menyakitkan

    (Motta, et all, 2015).