bab ii kajian pustaka 2.1. kajian teori · 2016. 8. 10. · 9 bab ii kajian pustaka. 2.1. kajian...

25
9 BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kajian Teori Kajian teori ini merupakan uraian pendapat dari para ahli yang mendukung penelitian. Beberapa teori dari para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang mempunyai pandagan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori dalam penelitian ini berisi tentang hakikat pembelajaran, hakikat IPA, hakikat pembelajaran IPA, model pembelajaran Make a Match, media gambar dan hasil belajar. 2.1.1. Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar Pada hakikatnya istilah belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang tidak asing lagi bagi kehidupan manusia, semua manusia pernah mengalaminya. Peristiwa tersebut baik disadari maupun tidak oleh manusia pernah terjadi di dalam kehidupannya. Manusia memang melakukan kedua hal tersebut tetapi tidak banyak yang memahami apa hakikat dari dua istilah tersebut. Menurut Knowles (dalam Putra, 2013:15), pembelajaran merupakan cara pengorganisasian siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Suprijono (2012:13), menambahkan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti proses, cara, perbuatan mempelajari. Lebih jelasnya ia menerangkan bahwa pembelajaran adalah cara yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru melalui interaksinya dengan lingkungan. Selanjutnya Warsita (dalam Rusman, 2013:93), mendefinisikan “pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh guru untuk membuat siswa belajar”, dengan kata lain pembelajaran merupakan merupakan upaya menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Siswa membangun dengan sendiri konsep pengetahuannya dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jadi pengetahuan itu bukan dari guru ke siswa, akan tetapi siswa sendiri yang membangun pengetahuannya.

Upload: others

Post on 31-Jul-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Kajian Teori

Kajian teori ini merupakan uraian pendapat dari para ahli yang mendukung

penelitian. Beberapa teori dari para ahli tersebut mengkaji objek yang sama yang

mempunyai pandagan dan pendapat yang berbeda-beda. Pembahasan kajian teori

dalam penelitian ini berisi tentang hakikat pembelajaran, hakikat IPA, hakikat

pembelajaran IPA, model pembelajaran Make a Match, media gambar dan hasil

belajar.

2.1.1. Hakikat Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam di Sekolah Dasar

Pada hakikatnya istilah belajar dan pembelajaran merupakan dua hal yang

tidak asing lagi bagi kehidupan manusia, semua manusia pernah mengalaminya.

Peristiwa tersebut baik disadari maupun tidak oleh manusia pernah terjadi di

dalam kehidupannya. Manusia memang melakukan kedua hal tersebut tetapi tidak

banyak yang memahami apa hakikat dari dua istilah tersebut.

Menurut Knowles (dalam Putra, 2013:15), pembelajaran merupakan cara

pengorganisasian siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Suprijono

(2012:13), menambahkan bahwa pembelajaran berdasarkan makna leksikal berarti

proses, cara, perbuatan mempelajari. Lebih jelasnya ia menerangkan bahwa

pembelajaran adalah cara yang dilakukan individu untuk memperoleh suatu

perubahan perilaku yang baru melalui interaksinya dengan lingkungan.

Selanjutnya Warsita (dalam Rusman, 2013:93), mendefinisikan

“pembelajaran merupakan suatu usaha yang dilakukan oleh guru untuk membuat

siswa belajar”, dengan kata lain pembelajaran merupakan merupakan upaya

menciptakan kondisi agar terjadi kegiatan belajar. Siswa membangun dengan

sendiri konsep pengetahuannya dalam struktur kognitif yang dimilikinya. Jadi

pengetahuan itu bukan dari guru ke siswa, akan tetapi siswa sendiri yang

membangun pengetahuannya.

10

Hamalik (dalam Putra, 2013:17), menambahkan bahwa pembelajaran ialah

suatu kombinasi yang tersusun dari unsur manusiawi, material, fasilitas,

perlengkapan, dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Sejalan dengan pendapat di atas Usman (dalam Ahmad, 2012:8)

mengartikan pembelajaran sebagai suatu proses yang mengandung serangkaian

perbuatan guru dan siswa atas dasar hubungan timbal balik yang berlangsung

dalam situasi edukatif untuk mencapai tujuan tertentu. Berdasarkan beberapa

definisi pembelajaran menurut para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa

pembelajaran adalah serangkaian cara atau proses interaksi yang dilakukan oleh

guru dan siswa sebagai upaya guru untuk membantu siswa membangun

pengetahuannya sendiri dalam situasi yang edukatif melalui interaksinya dengan

berbagai sumber belajar termasuk lingkungan sehingga tercapai tujuan belajar

yang telah ditetapkan. Salah satu pembelajaran yang ada di Sekolah Dasar, yang

pada proses dan materi pelajarannya dekat dengan lingkungan ialah pembelajaran

IPA.

Menurut Samantowa (2010:1), IPA merupakan terjemahan kata dalam

bahasa Inggris yaitu natural science. Natural artinya alamiah, berhubungan

dengan alam. Science berarti ilmu pengetahuan. Jadi IPA atau natural science

secara harfiah dapat disebut sebagai ilmu tentang alam, ilmu yang mempelajari

peristiwa-peristiwa yang terjadi di alam.

Darmojo (dalam Samantowa, 2010:2), secara singkat menambahkan

bahwa IPA adalah pengetahuan yang rasional dan objektif tentang alam semesta

dengan segala isinya. Selaras dengan pendapat tersebut Webster’s (dalam

Samantowa, 2010:2) menyatakan bahwa IPA adalah pengetahuan tentang alam

dan gejala-gejalanya. IPA adalah suatu cara atau metode untuk mengamati alam.

Putra (2013:51), menyebutkan IPA atau sains adalah pengetahuan yang

mempelajari, menjelaskan, serta menginvestigasi fenomena alam dengan segala

aspeknya yang bersifat empiris.

Sejalan dengan pendapat tersebut Fowler (dalam Trianto, 2012:136)

mengemukakan bahwa IPA adalah pengetahuan yang sistematis dan dirumuskan,

yang berhubungan dengan gejala-gejala kebendaan dan didasarkan terutama atas

11

pengamatan dan deduksi. Wahyana (dalam Trianto, 2012:136) mengatakan bahwa

“IPA adalah suatu kumpulan pengetahuan yang tersusun secara sistematik, dalam

penggunaanya secara umum terbatas pada gejala-gejala alam”. Selanjutnya

Trianto (2012:137), menyimpulkan bahwa hakikat IPA merupakan ilmu

pengetahuan yang mempelajari gejala-gejala melalui serangkaian proses yang

dikenal dengan proses ilmiah yang dibangun atas dasar sikap ilmiah dan hasilnya

terwujud sebagai produk ilmiah yang tersusun atas tiga komponen berupa konsep,

prinsip dan teori yang berlaku secara universal.

Sementara itu dalam Depdiknas (2006:161), ilmu pengetahuan alam

adalah ilmu alam yang berhubungan dengan cara mencari tahu alam secara

sistematis. Berdasarkan kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya

IPA merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang gejala alam semesta

dan segala isinya, yang dilakukan melalui berbagai cara yaitu mengamati,

menginvestigasi, dan menjelaskan gejala-gejala alam yang ada sehingga

menghasilkan produk ilmiah dalam bentuk konsep, prinsip dan teori yang dapat

teruji kebenarannya. Pembelajaran IPA yang berkaitan dengan alam hakikatnya

bermanfaat bagi siswa dalam memahami realitas kehidupan sehari-hari yang ada

disekitar mereka, bukan mengenai pemahaman konsep IPA oleh tetapi yang lebih

penting ialah apa dari IPA yang perlu diajarkan dan dengan cara bagaimana,

supaya siswa dapat memahami konsep IPA dengan baik dan terampil untuk

mengaplikasikannya secara logis konsep tersebut pada situasi lain yang relevan

dengan pengalamannya sehari-hari.

Siswa SD belajar dengan cara mengkonstruksikan hal yang dipelajarinya

berdasarkan pengetahuan yang diketahuinya, bukan menerima suatu hal dengan

pasif. Adapun IPA untuk Sekolah Dasar dalam Samantowa (2010:12)

didefinisikan oleh Paolo dan Marten yaitu sebagai berikut: mengamati apa yang

terjadi, mencoba apa yang diamati, mempergunakan pengetahuan baru untuk

meramalkan apa yang terjadi, menguji bahwa ramalan-ramalan itu benar.

Selanjutnya menurut Sulistyorini (2007:8), pembelajaran IPA harus melibatkan

keaktifan anak secara penuh (active learning) dengan cara guru dapat

merealisasikan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan pada siswa untuk

12

melakukan keterampilan proses meliputi: mencari, menemukan, menyimpulkan

mengkomunikasikan sendiri berbagai pengetahuan, nilai-nilai, dan pengalaman

yang dibutuhkan. Menurut De Vito, et al. (dalam Samantowa, 2010:146),

pembelajaran IPA yang baik harus mengaitkan IPA dengan kehidupan sehari-hari

siswa, oleh guru siswa diberikan kesempatan untuk mengajukan pertanyaan untuk

membangkitkan ide-ide siswa, membangun rasa ingin tahu tentang segala hal

yang ada di lingkungannya, membangun keterampilan (skill) yang diperlukan, dan

menimbulkan kesadaran bagi siswa bahwa IPA menjadi sangat penting untuk

dipelajari.

Apabila demikian halnya, selama enam tahun siswa akan mempunyai

pengalaman belajar yang bermakna sehingga pada tahap ini siswa mampu

mengembangkan sikap dan nilai-nilai dari pembelajaran IPA. Siswa yang

berminat dengan IPA akan merasakan bahwa belajar IPA merupakan proses yang

menyenangkan sehingga akan siswa akan antusias mengenai bagaimana pelajaran

IPA berimbas pada pengalaman kesehariannya.

Nilai-nilai IPA yang ditanamkan dalam pembelajaran IPA menurut

Laksmi (Trianto, 2012:142) antara lain sebagai berikut:

1) Kecakapan bekerja dan berpikir secara teratur dan sistematis

menurut langkah-langkah metode ilmiah.

2) Ketrampilan dan kecakapan dalam mengadakan pengamatan,

mempergunakan alat-alat eksperimen untuk memecahkan

masalah.

3) Memiliki sikap ilmiah yang diperlukan dalam memecahkan

masalah baik dalam kaitannya dengan pelajaran sains maupun

dalam kehidupan.

Laksmi (Trianto, 2012:142) mengungkapkan bahwa pembelajaran IPA di

sekolah mempunyai tujuan-tujuan tertentu, yaitu:

1) Memberikan pengetahuan kepada siswa tentang dunia tempat

hidup dan bagaimana bersikap.

2) Menanamkan sikap hidup ilmiah.

3) Memberikan ketrampilan untuk melakukan pengamatan

4) Mendidik siswa untuk mengenal, mengetahui cara kerja serta

menghargai para ilmuwan penemunya.

5) Menggunakan dan menerapkan metode ilmiah dalam

memecahkan permasalahan.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah

13

pembelajaran IPA adalah aktivitas belajar yang tidak hanya sekedar pemberian

materi secara keseluruhan tetapi lebih penting daripada itu adalah bagaimana

seorang siswa dapat mengerti mengenai konsep yang ada di dalam IPA melalui

apa yang mereka dengar dan mereka lihat, sehingga hasil yang diperoleh siswa

setelah belajar IPA akan bermanfaat bagi pengalaman hidupnya.

2.1.1.1.Tujuan Pendidikan IPA di Sekolah Dasar

Tujuan pembelajaran IPA dijelaskan dalam Depdiknas (2006:62), agar

peserta didik memiliki kemampuan sebagai berikut:

1) Memperoleh keyakinan terhadap kebesaran Tuhan Yang Maha

Esa berdasarkan keberadaan, keindahan, dan keteraturan alam

ciptaan-Nya.

2) Mengembangkan pengetahuan dan pemahaman konsep-konsep

IPA yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam kehidupan

sehari-hari.

3) Mengembangkan rasa ingin tahu, sikap positif, dan kesadaran

tentang adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara

IPA, lingkungan, teknologi, dan masyarakat.

4) Mengembangkan keterampilan proses untuk menyelidiki alam

sekitar, memecahkan masalah dan membuat keputusan

5) Meningkatkan kesadaran untuk berperan serta dalam

memelihara, menjaga dan melestarikan lingkungan alam.

6) Meningkatkan kesadaran untuk menghargai alam dan segala

keteraturannya sebagai salah satu ciptaan Tuhan.

7) Memperoleh bekal pengetahuan, konsep dan keterampilan IPA

sebagai dasar untuk melanjutkan pendidikan ke SMP/MTs.

Tujuan mata pelajaran IPA secara umum yaitu menciptakan ketaqwaan

terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta, memahami berbagai macam

gelaja alam yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari, mengembangkan rasa ingin

tahu mengenai pengaruh IPA dengan lingkungan, menumbuhkan kemampuan

berpikir ilmiah, meningkatkan kesadaran dalam menjaga lingkungan alam,

meningkatkan keterampilan untuk bekal pendidikan ke jenjang selanjutnya.

Dalam penelitian ini tujuan mata pelajaran IPA adalah untuk melatih siswa

dalam mempelajari konsep IPA melalui aktivitas belajar yang mereka lakukan

sendiri, sehingga mampu memberikan pengalaman belajar IPA yang bermakna

bagi siswa melalui model pembelajaran Make a Match.

14

2.1.1.2.Ruang Lingkup Pembelajaran IPA

Ruang Lingkup bahan kajian IPA untuk SD/MI meliputi aspek-aspek

berikut ini, Depdiknas (2006:62):

1) Makhluk hidup dan proses kehidupan, yaitu manusia, hewan,

tumbuhan dan interaksinya dengan lingkungan, serta

kesehatan.

2) Benda/materi, sifat-sifat dan kegunaannya meliputi: cair, padat

dan gas.

3) Energi dan perubahannya meliputi: gaya, bunyi, panas, magnet,

listrik, cahaya dan tanah.

4) Bumi dan alam semesta meliputi: tanah, bumi, tata surya, dan

benda-benda langit lainnya.

Dalam penelitian ini aspek IPA yang digunakan yaitu bumi dan alam

semesta yang terfokus pada pokok bahasan tanah yang meliputi jenis-jenis batuan,

proses pembentukan tanah melalui pelapukan dan jenis serta struktur tanah.

2.1.2. Hasil Belajar

Dalam melakukan kegiatan belajar terjadi proses berpikir yang melibatkan

kegiatan mental yang mengakibatkan timbulnya sebuah pemahaman terhadap

suatu materi yang diajarkan. Pemahaman tersebut didapat setelah melalui proses

belajar mengajar, oleh karena itu terjadi perubahan dari yang tidak diketahui

menjadi diketahui, dari yang tidak paham menjadi paham. Perubahan inilah yang

disebut dengan hasil belajar.

Hasil belajar dapat dijelaskan dengan memahami dua kata yang

membentuknya yaitu “hasil” dan “belajar”. Hasil merujuk pada suatu perolehan

akibat dilakukannya suatu aktivitas atau proses yang mengakibatkan berubahnya

input secara fungsional. Belajar dilakukan untuk mengusahakan adanya

perubahan perilaku pada individu yang belajar (Purwanto, 2013:44-45).

Sudjana (2011:22), menyatakan bahwa hasil belajar adalah kemampuan

yang dimiliki oleh siswa setelah menerima pengamalan belajar. Menurut

Suprijono (2012:5), Hasil belajar adalah pola-pola perbuatan, nilai-nilai,

pengertian-pengertian, sikap-sikap, apresiasi dan keterampilan-keterampilan.

Selanjutnya Kingsley (dalam Sudjana, 2011:45) membagi tiga macam

15

hasil belajar yaitu: (1) keterampilan dan kebiasaan, (2) pengetahuan dan

pengarahan, (3) sikap dan cita-cita. Gagne (dalam Suprijono, 2012:5-6) membagi

kategori tipe hasil belajar ke dalam:

1) Informasi verbal yaitu kapabilitas mengungkapkan pengetahuan dalam bentuk

bahasa, baik lisan maupun tertulis.

2) Keterampilan intelektual yaitu kemampuan mempresentasikan konsep dalam

lambang. Meliputi kemampuan mengklasifikasi, kemampuan analisis-sintesis

fakta-konsep dan mengembangkan prinsip-prinsip keilmuan.

3) Strategi kognitif yaitu kecapakan menyalurkan dan mengarahkan aktivitas

kognitifnya sendiri, antara lain penggunaan konsep dan kaidah dalam

memecahkan masalah.

4) Keterampilan motorik yaitu kemampuan melakukan serangkaian gerak

jasmani dalam urusan dan koordinasi, sehingga terwujud otomatisme gerak

jasmani.

5) Sikap adalah kemampuan menerima atau menolak objek berdasarkan

penilaian terhadap objek tersebut. Sikap berupa kemampuan menginternalisasi

dan eksternalisasi nilai-nilai.

Sementara itu Bloom berpendapat bahwa tujuan pendidikan yang hendak

dicapai digolongkan atau dibedakan menjadi tiga bidang, yaitu (1) bidang

kognitif, (2) afektif, dan (3) bidang psikomotor (Sudjana, 2011:46).

Lindgren dalam Suprijono (2012:6) menyatakan hasil belajar meliputi

kecakapan, informasi, pengertian, dan sikap. Selanjutnya Dimyati dan Mudjiono

(2009:3) menyatakan bahwa hasil belajar merupakan hasil dari suatu interaksi

tindak belajar dan tindak mengajar. Hasil belajar adalah sesuatu yang diperoleh

seseorang setelah melakukan kegiatan belajar. Hasil belajar tampak dari

perubahan tingkah laku pada diri siswa, yang dapat diamati dan diukur dalam

bentuk perubahan pengetahuan sikap dan keterampilan.

Hasil belajar merupakan hasil proses belajar atau proses pembelajaran.

Hasil belajar dapat di tinjau dari dua sisi yaitu sisi siswa dan sisi guru, dari sisi

siswa hasil belajar merupakan “tingkat perkembangan mental” yang lebih baik

bila dibandingkan pada saat pra-belajar. Sementara bila ditinjau dari sisi guru,

16

hasil belajar merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran (Dimyati dan

Mudjiono, 2009:250). Rusman (2013:123), menambahkan hasil belajar adalah

sejumlah pengalaman yang diperoleh siswa yang mencakup ranah kognitif, afektif

dan psikomotor.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar

merupakan perubahan perilaku secara menyeluruh dari berbagai aspek mencakup

ranah kognitif, afektif dan psikomotor yang disebabkan oleh adanya proses

pembelajaran. Hasil belajar dapat diukur, biasanya berupa nilai, angka, atau huruf.

Semakin tinggi nilai atau angka atau huruf maka semakin tinggi juga hasil dari

belajar siswa.

2.1.2.1.Faktor-faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Hasil belajar yang dicapai siswa dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor

yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa.

Slameto (2010:54), menerangkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

belajar adalah:

1) Faktor yang ada pada diri siswa itu sendiri yang disebut faktor individu

(intern), yang meliputi:

a. Faktor biologis meliputi: kesehatan, gizi, pendengaran dan penglihatan.

Jika salah satu dari faktor biologis terganggu akan mempengaruhi hasil

prestasi belajar.

b. Faktor psikologis, meliputi: intelegensi, minat dan motivasi serta perhatian

ingatan berpikir.

c. Faktor kelelahan, meliputi: kelelahan jasmani dan rohani. Kelelahan

jasmani nampak dengan adanya lemah tubuh, lapar dan haus serta

mengantuk. Sedangkan kelelahan rohani dapat dilihat dengan adanya

kelesuan dan kebosanan sehingga minat dan dorongan untuk menghasilkan

sesuatu akan hilang.

2) Faktor yang ada pada luar diri individu yang disebut dengan faktor ekstern,

yang meliputi:

a. Faktor keluarga, keluarga adalah lembaga pendidikan yang pertama dan

17

terutama. Merupakan lembaga pendidikan dalam ukuran kecil tetapi

bersifat menentukan untuk pendidikan dalam ukuran besar.

b. Faktor sekolah, meliputi: metode mengajar, kurikulum, hubungan guru

dengan siswa, siswa dengan siswa dan berdisiplin di sekolah.

c. Faktor masyarakat, meliputi: bentuk kehidupan masyarakat sekitar dapat

mempengaruhi prestasi belajar siswa. Jika lingkungan siswa adalah

lingkungan terpelajar maka siswa akan terpengaruh dan mendorong untuk

lebih giat belajar.

Sejalan dengan pendapat di atas Clark (dalam Sudjana, 2011:39),

menyatakan bahwa hasil belajar siswa disekolah 70% dipengaruhi oleh

kemampuan siswa dan 30% dipengaruhi oleh lingkungan. Disamping faktor

kemampuan yang dimiliki siswa juga ada faktor lain seperti motivasi belajar,

minat dan perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial ekonomi,

faktor fisik dan psikis. Selain faktor dari dalam diri siswa faktor yang berada

diluar siswa juga menentukan dan mempengaruhi hasil belajar yang dicapai. Salah

satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi hasil belajar di

sekolah adalah kualitas pengajaran artinya tinggi rendahnya atau efektif tidaknya

proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan pembelajaran.

Menurut Caroll (dalam Sudjana 2011:40), bahwa hasil belajar yang

dicapai siswa dipengaruhi oleh 5 faktor yakni (1) bakat belajar, (2) waktu yang

tersedia untuk belajar, (3) waktu yang diperlukan untuk menjelaskan pelajaran, (4)

kualitas pengajaran, dan (5) kemampuan individu. Empat faktor yang disebut di

atas (1, 2, 3, 5) berkenaan dengan kemampuan individu dan faktor (4) adalah

faktor luar individu. Kedua faktor di atas (kemampuan siswa dan kualitas

pengajaran) mempunyai hubungan berbanding lurus dengan hasil belajar. Artinya,

makin tinggi kemampuan siswa dan kualitas pengajaran, makin tinggi pula hasil

belajar yang diperoleh siswa.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa hasil

yang diperoleh siswa dalam proses pembelajaran bergantung kepada beberapa

faktor yang mendasar, faktor-faktor tersebut bisa berasal dari dalam individu

siswa sendiri, seperti minat, motivasi, bakat serta faktor yang berasal dari luar

18

siswa seperti kualitas guru dalam mengajar, faktor ini penting di dalam upaya

pencapaian hasil belajar yang optimal yaitu terkait bagaimana seorang guru

tersebut mampu menciptakan sebuah pembelajaran yang dapat merangsang siswa

sehingga siswa menjadi berminat, motivasi belajar siswa juga tumbuh serta dapat

menumbuhkan kebiasaan baik siswa dalam belajar, hal tersebut penting sebagai

upaya untuk meningkatkan hasil belajar artinya, semakin tinggi kualitas guru

dalam memberikan pembelajaran bagi siswa maka semakin tinggi hasil belajar

yang akan diperoleh siswa.

2.1.3. Model Pembelajaran Make a Match

Banyak jenis model pembelajaran yang dapat dikembangkan melalui

pembelajaran kooperatif, contohnya ialah model pembelajaran Make a Match.

Model belajar mengajar mencari pasangan (Make a Match) dikembangkan oleh

Curran. Salah satu keunggulan model ini adalah siswa mencari pasangan sambil

belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang menyenangkan.

Tujuan dari model ini antara lain: 1) Pendalaman materi; 2) Penggalian materi;

dan 3) edutainment, (Huda, 2013:251).

Lie (2004:55) menerangkan bahwa Make a Match adalah model belajar

siswa, dimana siswa mencari pasangan (pasangan kartu soal dan kartu jawaban)

sambil belajar mengenai suatu konsep atau topik dalam suasana yang

menyenangkan. Model pembelajaran ini dapat digunakan pada semua mata

pelajaran dan semua tingkatan usia.

Pada penerapan model pembelajaran Make a Match, masalah yang ada

akan dipecahkan siswa bersama-sama, peran guru dalam penerapan model

pembelajaran ini hanya sebatas fasilitator yang mengarahkan siswa untuk

mencapai tujuan belajar. Pada interaksi siswa terjadi kesepakatan, diskusi,

menyampaikan pendapat dari gagasan pokok bahasan, saling mengingatkan dari

kesalahan konsep yang disimpulkan, membuat kesimpulan bersama. Interaksi

belajar yang terjadi benar-benar interaksi dominan siswa dengan siswa. Selama

kegiatan belajar kooperatif Make a Match benar-benar memberdayakan potensi

siswa untuk mengaktualisasikan pengetahuan dan keterampilannya.

19

Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

Make a Match adalah sebuah model pembelajaran dengan mencari pasangan

dimana setiap siswa mendapatkan satu kartu, baik itu kartu soal ataupun kartu

jawaban untuk dicari pasangannya, dalam hal ini siswa akan terlibat dalam sebuah

kegiatan belajar penemuan konsep materi dalam suasana yang menyenangkan,

interaksi yang muncul dalam penerapan model pembelajaran ini adalah interaksi

dominan antara siswa dengan siswa dimulai dari siswa berdiskusi menemukan

pasangan kartu yang cocok, kemudian siswa menyampaikan ide-ide dari pokok

bahasan, yang terakhir siswa bersama-sama membuat kesimpulan atas pokok

bahasan tersebut. Guru hanya bertindak sebagai fasilitator agar kegiatan belajar

yang berlangsung tetap fokus dalam pencapaian tujuan pembelajaran yang telah

ditetapkan sebelumnya.

2.1.3.1.Langkah-langkah Model Pembelajaran Make a Match

Menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan jika

pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah kartu-kartu. Kartu-

kartu tersebut terdiri dari kartu berisi soal dan kartu lainnya berisi jawaban dari

soal-soal tersebut. Guru harus membuat kartu-kartu baik kartu soal maupun kartu

jawaban sesuai dengan materi dan tujuan yang hendak dicapai. Selanjutnya guru

juga wajib mempersiapkan aturan-aturan dalam pelaksanaan pembelajaran Make a

Match, aturan tersebut meliputi penghargaan bagi siswa yang berhasil dan sanksi

bagi siswa yang gagal dalam menemukan pasangan kartunya. Guru dapat

melibatkan siswa dalam pembuatan aturan ini, sehingga antara guru dan siswa

tercipta kesepakatan yang baik untuk proses pembelajaran.

Selanjutnya ialah langkah-langkah dalam pelaksanaan pembelajaran Make

a Match. Menurut Huda (2013:252-253) langkah-langkah penerapan tipe Make a

Match sebagai berikut:

1) Guru menyampaikan materi atau memberi tugas kepada siswa

untuk mempelajarari materi di rumah.

2) Siswa dibagi ke dalam dua kelompok, misalnya kelompok A

dan kelompok B. Kedua kelompok diminta untuk berhadap-

hadapan.

20

3) Guru membagikan kartu pertanyaan kepada kelompok A dan

kartu jawaban kepada kelompok B.

4) Guru menyampaikan kepada siswa bahwa mereka harus

mencari atau mencocokkan akrtu yang dipegang dengan

kelompok lain. Guru juga perlu menyampaikan batasan

maksimum waktu yang diberikan kepada mereka.

5) Guru meminta semua anggota kelompok A untuk mencari

pasangan di kelompok B. Jika mereka sudah menemukan

pasangannya masing-masing, guru meminta mereka

melaporkan diri kepadanya. Guru mencatat siswa yang telah

berhasil menyelesaikan tugas pada kertas yang sudah

dipersiapkan.

6) Jika waktu sudah habis, mereka harus diberitahu bahwa waktu

sudah habis. Siswa yang belum menemukan pasangan diminta

untuk berkumpul tersediri.

7) Guru memanggil salah satu pasangan untuk presentasi.

Pasangan lain dan siswa yang tidak mendapatkan pasangan

memperhatikan dan memberi tanggapan apakah pasangan itu

cocok atau tidak.

8) Terakhir, guru memberikan konfirmasi tetang kebenaran dan

kecocokan pertanyaan dan jawaban dari pasangan yang

memberikan presentasi.

9) Guru memanggil pasangan berikutnya, begitu seterusnya

sampai seluruh pasangan melakukan presentasi.

10) Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelum batas

waktu diberi poin.

11) Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa

mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya, demikian

seterusnya.

12) Siswa juga bisa bergabung dengan 2 atau 3 siswa lainnya yang

memegang kartu yang cocok.

13) Guru bersama-sama dengan siswa membuat kesimpulan

terhadap materi pelajaran.

Sedangkan menurut Suprijono (2012:94) hal-hal yang perlu dipersiapkan

jika pembelajaran dikembangkan dengan Make a Match adalah:

1) Mempersiapkan kartu-kartu. Kartu-kartu tersebut terdiri dari

kartu pertanyaan-pertanyaan dan kartu-kartu lainnya berisi

jawaban.

2) Guru membagi kelas menjadi 3 kelompok, kelompok pertama

merupakan kelompok pembawa kartu-kartu berisi pertanyaan,

kelompok kedua adalah kelompok pembawa kartu berisi

jawaban, selanjutnya kelompok ketiga ialah kelompok penilai.

3) Guru mengatur posisi kelompok tersebut berbentuk huruf U,

upayakan kelompok pertama dan kelompok kedua saling

berhadapan.

21

4) Jika masing-masing kelompok berada di posisi yang telah

ditentukan maka guru membunyikan peluit sebagai tanda agar

kelompok pertama maupun kedua saling bergerak mencari

pasngan pertanyaan dan jawaban yang cocok.

5) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk berdiskusi.

6) Hasil diskusi ditandai oleh pasangan-pasangan antara anggota

kelompok pembawa kartu pertanyaan dan anggota kelompok

pembawa kartu jawaban.

7) Pasangan-pasangan yang sudah terbentuk wajib menunjukkan

pertanyaan dan jawaban kepada kelompok penilai.

8) Kelompok penilai kemudian membacakan apakah pasangan

pertanyaan dan jawaban itu cocok.

9) Setelah penilaian dilakukan, guru mengatur sedemikian rupa

kelompok pertama dan kelompok kedua bersatu kemudian

memposisikan dirinya menjadi kelompok penilai. Sementara,

kelompok penilai pada sesi pertama tersebut di atasdipecah

menjadi dua, sebagian anggota memgang kartu pertanyaan

sebagian lagi memegang kartu jawaban. Posisikan mereka

dalam bentuk huruf U.

10) Guru kembali membunyikan peluitnya menandai kelompok

pemegang kartu pertanyaan dan jawaban bergerak mencari,

mencocokan, mendiskusikan pertanyaan dan jawaban.

Selanjutnya menurut Asmani (2011:45) langkah-langkah penerapan

model pembelajaran mencari pasangan (Make a Match) adalah sebagai berikut:

1) Guru menyiapkan kartu soal dan kartu jawaban.

2) Setiap siswa mendapat satu buah kartu.

3) Tiap siswa memikirkan jawaban atau soal dari kartu yang

dipegang.

4) Setiap siswa yang dapat mencocokan kartunya sebelum batas

waktu akan diberi poin.

5) Setelah satu babak kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat

kartu yang berbeda dari sebelumnya.

6) Demikian seterusnya.

7) Kesimpulan atau penutup.

2.1.3.2.Keunggulan dan kelemahan Model Pembelajaran Make a Match

Ada beberapa keunggulan dari model pembelajaran Make a Match (Huda,

2013:253-254):

1) Dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa, baik secara kognitif maupun fisik,

2) Karena ada unsur permainan, model pembelajaran ini menyenangkan,

22

3) Meningkatkan pemahaman siswa terhadap materi yang dipelajari dan dapat

meningkatkan motivasi belajar siswa,

4) Efektif sebagai sarana melatih keberanian siswa untuk tampil presentasi,

5) Efektif melatih kedisiplinan siswa menghargai waktu untuk belajar.

Di samping manfaat yang dirasakan oleh siswa, pembelajaran kooperatif

model Make a Match mempunyai beberapa kelemahan yaitu:

1) Jika strategi ini tidak dipersiapkan dengan baik, akan banyak waktu yang

terbuang,

2) Pada awal-awal penerapan model pembelajaran ini, banyak siswa yang akan

malu berpasangan dengan lawan jenisnya,

3) Jika guru tidak mengarahkan siswa dengan baik, akan banyak siswa yang

kurang memperhatikan pada saat presentasi pasangan,

4) Guru harus hati-hati dan bijaksana saat memberi hukuman pada siswa yang

tidak mendapat pasangan, karena mereka bisa malu.

5) Penerapan model pembelajaran Make a Match secara terus menerus akan

menimbulkan kebosanan.

6) Pada kelas yang gemuk (> 30 siswa/kelas) jika kurang bijaksana maka yang

muncul adalah suasana seperti pasar dengan keramaian yang tidak terkendali.

Tentu saja kondisi ini akan menganggu ketenangan belajar kelas di kiri dan

kanannya. Apalagi jika gedung kelas tidak kedap suara. Tetapi hal tersebut

dapat diantisipasi dengan menyepakati beberapa komitmen ketertiban dengan

siswa sebelum “permainan” Make a Match dimulai.

2.1.3.3.Solusi Kelemahan Model Pembelajaran Make a Match

Pada hakikatnya sebaik-baiknya sebuah model pembelajaran pastilah

mempunyai kelebihan dan kekurangan. begitu pula pada model pembelajaran

Make a Match. Untuk itu guru sebagai perencana dan pelaksana pembelajaran

haruslah pandai di dalam mengupayakan setiap pembelajaran yang dilakukan

dapat meminimalisir kekurangan dari model pembelajaran yang digunakan.

Dalam hal ini upaya yang dapat ditempuh oleh guru untuk mengatasi kelemahan

dari model pembelajaran Make a Match adalah (1) sebelum memulai

23

pembelajaran ada baiknya guru memberikan instruksi yang jelas tentang

penerapan model pembelajaran Make a Match, sehingga dengan hal tersebut

siswa tidak dipusingkan lagi dalam melakukan langkah-langkah pembelajaran

Make a Match, (2) berikan pemahaman terhadap siswa bahwa penerapan model

Make a Match ini sifatnya hanya membantu siswa untuk mempelajari materi

pelajaran melalui cara yang baru, unik dan menyenangkan, sehingga dalam

prakteknya siswa tidak perlu malu apabila mendapati pasangan teman yang

berlawanan jenis, (3) sebelum proses pembelajaran berlangsung, guru bersama

siswa harus menyepakati beberapa kesepakatan mengenai peraturan-peraturan dan

hukuman yang dapat diterapkan kepada siswa bila siswa gaduh, tidak

mendengarkan apa yang guru atau siswa lain sampaikan saat presentasi kelompok

berlangsung, (4) guru sebagai pelaksana pembelajaran haruslah pandai-pandai

menerapkan model pembelajaran Make a Match sehingga siswa tidak bosan,

dalam penelitian ini guru menggunakan kartu soal bergambar sehingga siswa

merasa antusias terus menerus ketika permainan kartu.

2.1.4. Hakikat Media Pembelajaran

Media Pembelajaran dibentuk oleh dua kata yaitu media dan

pembelajaran. Menurut Boyke (dalam Sanaky, 2009:3), Media adalah sebuah alat

yang mempunyai fungsi menyampaikan pesan. Selanjutnya Gerlach dan Ely

(dalam Arsyad, 2011:3), mengatakan bahwa media apabila dipahami secara garis

besar adalah manusia, materi, atau kejadian yang membangun kondisi yang

membuat siswa mampu memperoleh pengetahuan, keterampilan, atau sikap.

Sementara itu pembelajaran adalah proses komunikasi antara siswa, guru, dan

bahan ajar. Sebuah pembelajaran tidak dapat berjalan dengan baik dan lancar bila

tanpa bantuan sarana untuk menyampaikan pesan (Sanaky, 2009:3).

Gagne (dalam Sanaky, 2009:3), menambahkan media adalah berbagai

jenis komponen atau sumber belajar dalam lingkungan siswa yang dapat

merangsang siswa untuk belajar. Selanjutnya Miarso (dalam Sanaky 2009:4),

menyatakan bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk

merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan siswa sehingga dapat

24

mendorong terjadinya proses belajar pada diri pembelajarnya. Media disebut

sebagai alat bantu dikarena sifatnya yang dapat membantu guru dalam

menyampaikan sebuah materi pembelajaran, dengan penggunaan media dalam

sebuah proses pembelajaran tidak hanya guru tapi siswa juga mendapatkan

kemudahan dalam memahami materi yang sulit dipahami dengan menggunakan

kata-kata, guru juga akan cenderung mengurangi kebiasaan berceramah, sehingga

pemanfaatan sebuah media dalam pembelajaran dirasa merupakan suatu hal

penting untuk menciptakan sebuah pembelajaran yang efektif. Media dapat

menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit dan realistis. Media juga

membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar. Media memberikan

pengalaman yang integral dari yang konkrit sampai dengan yang abstrak

(Sadiman, 2007:55).

Dari pendapat para tokoh di atas dapat disimpulkan bahwa media

pembelajaran merupakan sarana atau alat yang dapat digunakan oleh guru untuk

menyampaikan pesan dalam sebuah proses pembelajaran, yang dimaksud dengan

pesan itu sendiri ialah materi pembelajaran, dengan adanya alat bantu atau media

tersebut diharapkan dapat memudahkan guru untuk menyampaikan materi kepada

siswa sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemajuan

siswa sehingga akan menciptakan sebuah proses belajar dalam diri siswa.

Menurut Arsyad (2011:15) fungsi utama media pembelajaran adalah

sebagai alat bantu mengajar yang turut mempengaruhi iklim, kondisi, dan

lingkungan belajar yang ditata dan diciptakan oleh guru. Sanaky (2009:4)

menyebutkan bahwa tujuan penggunaan media pembelajaran adalah sebagai

berikut:

1) Mempermudah proses pembelajaran di kelas

2) Meningkatkan efisiensi proses pembelajaran

3) Menjaga relevansi antara materi pelajaran dengan tujuan belajar

4) Membantu konsentrasi siswa dalam proses pembelajaran.

Sanaky (2009:5), menambahkan manfaat dari penggunaan media yaitu:

1) Pengajaran lebih menarik perhatian siswa sehingga dapat menumbuhkan

motivasi belajar,

25

2) Bahan pembelajaran akan lebih jelas maknanya, sehingga dapat lebih

dipahami siswa, serta memungkinkan siswa menguasai tujuan pembelajaran

dengan baik,

3) Metode pembelajaran bervariasi, tidak semata-mata hanya berkomunikasi

verbal melalui penuturan kata-kata lisan guru, siswa tidak bosan dan guru

tidak kehabisan tenaga,

4) Siswa lebih banyak melakukan kegiatan belajar, sebab tidak hanya

mendengarkan penjelasan dari guru saja, tetapi juga aktivitas lain yang

dilakukan seperti mengamati, melakukan, mendemonstrasikan, dan lain-lain.

Sudjana (dalam Sanaky, 2009: 5)

Jadi dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan media dalam sebuah proses

pembelajaran merupakan satu hal yang penting untuk memudahkan guru dan

siswa. Guru dimudahkan dalam menyampaikan materi pelajaran kepada siswa

sementara siswa akan lebih jelas dan konkret ketika memahami sebuah konsep

materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengarkan penjelasan dari

apa yang guru sampaikan tetapi siwa juga melakukan aktivitas lain seperti melihat

dan mengamati.

2.1.4.1.Hakikat Media Gambar

Menurut Sanaky (2009:69), Gambar adalah media yang paling umum

digunakan orang, karena media ini mudah dimengerti dan dapat dinikmati, mudah

didapatkan dan dijumpai dimana-mana, serta banyak memberikan penjelasan bila

dibandingkan dengan verbal. Gambar merupakan segala sesuatu yang diwujudkan

secara visual dalam bentuk dua dimensi dan sebagai curahan perasaan dan pikiran.

Penyajian materi pelajaran dengan menggunakan gambar, tentu merupakan daya

tarik tersendiri bagi siswa. Saluran yang dipakai menyangkut indera penglihatan.

Pesan yang akan disampaikan dituangkan ke dalam simbol-simbol komunikasi

visual. Simbol-simbol tersebut perlu dipahami benar artinya agar proses

penyampaian pesan dapat berhasil dan efisien.

Menurut Sudjana (2010:70) Gambar merupakan alat visual yang penting

dan mudah didapat, penting sebab dapat memberi penggambaran visual yang

konkrit tentang masalah yang digambarkan. Dalam sebuah proses pembelajaran,

26

gambar yang digunakan diharapkan mampu membantu guru di dalam

menyampaikan suatu konsep, memiliki kualitas yang baik, dalam arti memiliki

tujuan yang relevan, jelas, mengandung kebenaran, autentik, aktual, lengkap,

sederhana, menarik, dan memberikan sugesti terhadap kebenaran itu sendiri. Pike

(dalam Sibermen 2012:25), dalam penelitiannya menyatakan bahwa dengan

penggunaan visual atau gambar pada sebuah pembelajaran akan menaikan ingatan

dari 14%-38%, penelitian tersebut juga menunjukkan bila kosakata diajarkan

menggunakan alat visual menunjukkan perbaikan sampai 200% di dalam sebuah

pembelajaran, disebutkan juga bahwa waktu yang digunakan untuk

menyampaikan sebuah konsep berkurang 40% ketika visual digunakan untuk

menambah presentasi verbal, sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata,

namun tiga kali lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja.

Menurut Sadiman (dalam Sanaky, 2009:71), ada enam syarat yang perlu

dipenuhi oleh gambar/foto yang baik sehingga dapat dijadikan sebagai media

pembelajaran:

1) Autentik. Gambar tersebut secara jujur melukiskan situasi

seperti kalau orang melihat benda sebenarnya.

2) Sederhana. Komponen gambar hendaknya cukup jelas dan

menunjukkan poin-poin pokok pembelajaran.

3) Ukuran relatif. Gambar dapat memperbesar atau memperkecil

obyek/benda sebenarnya.

4) Gambar/foto sebaiknya mengandung gerak atau perbuatan.

5) Gambar yang bagus belum tentu baik untuk mencapai tujuan

pembelajaran. Walaupun dari segi mutu kurang, gambar/foto

karya siswa sering sekali lebih baik.

6) Tidak semua gambar yang bagus adalah media yang baik.

Gambar hendaknya bagus dari sudut seni dan sesuai dengan

tujuan pembelajaran.

Kelebihan penggunaan media gambar dalam sebuah pembelajaran adalah

sebagai berikut:

1) Sifatnya Konket, lebih realis menunjukkan pada pokok masalah bila

dibandingkan dengan verbal semata,

2) Gambar dapat mengatasi ruang dan waktu, artinya tidak semua benda, objek,

peristiwa dapat dibawa ke kelas, dan siswa tidak dapat di bawa ke objek

tersebut.

27

3) Gambar dapat mengatasi keterbatasan pengamatan panca indera,

4) Memperjelas suatu sajian masalah dalam bidang apa saja dan untuk tingkat

usia berapa saja,

5) Media ini lebih murah harganya, mudah didapatkan dan digunakan tanpa

memerlukan peralatan khusus.

Jadi kesimpulannya media gambar adalah suatu alat perantara dalam

menyampaikan sebuah materi pelajaran, berbentuk dua dimensi yang di dalam

proses pembelajaran dimanfaatkan guru untuk memudahkan guru dalam

penyampaian materi pelajaran kepada siswa, sehingga siswa lebih memahami

materi yang diajarkan oleh guru. Siswa tidak hanya mendengar apa yang guru

sampaikan secara verbal melalui kata-kata tetapi siswa dapat melihat langsung

obyek kajian yang guru sampaikan melalui gambar sebagai media atau

perantaranya. Dengan demikian siswa dapat memperoleh penggambaran visual

yang konkrit tentang masalah yang disampaikan oleh guru.

2.2. Implementasi Model Pembelajaran Make a Match berbantuan Media

Gambar dalam Pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam

Pada penelitian ini penggunaan model pembelajaran Make a Match

berbantuan media gambar diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar mata

pelajaran IPA. Model Make a Match merupakan salah satu model pembelajaran

dalam pembelajaran kooperatif dengan pendekatan informatif yang sifatnya

membantu siswa memahami materi IPA dalam kondisi yang menyenangkan.

Kondisi menyenangkan tersebut dapat terlihat ketika permainan Make a Match

(pasang kartu) yang dilakukan oleh siswa, konsep belajar yang demikian mampu

merangsang siswa untuk berpikir secara aktif dalam mencari pasangan kartu yang

di dalamnya berisi tentang materi yang sedang dipelajari oleh siswa.

Kegiatan yang dilakukan guru dalam penerapan model pembelajaran Make

a Match merupakan upaya guru untuk menarik perhatian dan antusias siswa, bila

tingkat perhatian siswa tinggi di dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar maka

pada akhirnya diharapkan hasil belajar dapat meningkat. Pemanfaatan media

28

gambar dalam penelitian ini juga dirasa penting untuk mengurangi tingkat

verbalisme yang bisa saja dilakukan oleh guru di dalam menerangkan materi

pelajaran. Sebuah gambar mungkin tidak bernilai ribuan kata, namun tiga kali

lebih efektif dari pada hanya kata-kata saja. Oleh karena itu, pada akhirnya

diharapkan penerapan model dan media pembelajaran yang variatif ini mampu

meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA.

Mengacu dari beberapa pendapat para tokoh mengenai langkah-langkah

pembelajaran Make a Match yang telah diuraikan di atas, langkah-langkah

pembelajaran yang penulis terapkan dalam penelitian ini untuk pokok bahasan

proses pembentukan tanah mata pelajaran IPA adalah sebagai berikut:

1) Siswa melalukan eksplorasi berbagai sumber bacaan mengenai materi tanah,

kemudian mengamati gambar dan bertanya jawab dengan guru.

2) Guru menyiapkan kartu-kartu yang berisi tentang konsep-konsep yang

dipelajari, sebagian merupakan kartu pertanyaan dan sebagian merupakan

kartu jawaban.

3) Siswa dibagi menjadi 2 kelompok besar (kelompok pertanyaan dan kelompok

jawaban) upayakan kelompok pertanyaan berhadapan dengan kelompok

jawaban. Masing-masing siswa menerima kartu yang berisi pertanyaan dan

jawaban.

4) Setelah menerima kartu, siswa mendiskusikan jawaban/ pertanyaan yang

sesuai dengan kartu yang diperolehnya.

5) Guru membunyikan peluit sebagai tanda agar kelompok pertanyaan maupun

kelompok jawaban saling bergerak bertemu mencari pertanyaan-jawaban yang

cocok dengan batas waktu yang telah ditentukan sekitar 20 detik. Bagi siswa

yang dapat mencari pasangannya dengan cepat, maju ke depan dan

menempelkan kartunya, apabila benar akan diberi poin.

6) Setelah waktu habis guru membahas pasangan kartu mana yang tepat antar

kartu pertanyaan dan kartu jawaban.

7) Guru memberikan penguatan terhadap jawaban siswa.

8) Menyusun kesimpulan (guru dan siswa).

29

2.3. Kajian Hasil Penelitian yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Irianti S., Noviana

dengan judul penelitian: “Penerapan Model Pembelajaran Make-A Match

(Mencari Pasangan) untuk Meningkatkan Keaktifan dan Hasil Belajar

Matematika Siswa Kelas V Semester 2 SD Negeri 05 Mulyoharjo Jepara”

terlihat adanya peningkatan keaktifan dan hasil belajar untuk mata pelajaran

Matematika Kelas V Semester 2 Tahun Pelajaran 2011/2012, dibuktikan dengan

adanya peningkatan hasil belajar. Pada kondisi awal skor rata-rata nilai siswa

57,5, siklus I dengan rata-rata nilai 66,2, siklus II 78,5. Peningkatan hasil belajar

pada kondisi awal ke siklus I sebesar 61,5% dan dari siklus I ke siklus II 88,5%.

Penelitian oleh Ria Yuni Astuti dengan judul: “Upaya Meningkatkan

Hasil Belajar IPA Melalui Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Make a Match

Siswa kelas V SD Negeri 1 Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus Semester

Genap Tahun Ajaran 2011/2012”. Hasil penelitian ini juga menunjukkan hasil

yang serupa bahwa setelah menggunakan model pembelajaran Make a Match

diketahui terdapat peningkatan hasil belajar, hasil analisis data yang menunjukkan

pada kondisi awal nilai rata-rata siswa hanya 66,3, pada siklus I nilai rata-rata

naik menjadi 77,3, siklus II 83,3. Besarnya persentase siswa yang tuntas pada

kondisi awal 41,7%, siklus I naik menjadi 75%, dan pada siklus II ketuntasan

siswa mencapai 100%.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Lilis Setianingsih dengan judul:

“Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Ilmu Pengetahuan Sosial Melalui Model

Pembelajaran Make A Match Siswa Kelas IV di SD Negeri Kaliwungu 04

Semester II Tahun Pelajaran 2011/2012”. Hasil yang diperoleh dalam penelitian

ini nampak ada peningkatan ketuntasan belajar, yakni dari 40% sebelum siklus,

meningkat menjadi 71,67% pada siklus I dan 100% pada siklus II. Peningkatan

nilai terendah dari 40 sebelum tindakan, menjadi 55 pada siklus I, dan menjadi 70

pada siklus II. Peningkatan nilai tertinggi dari 85 sebelum tindakan, menjadi 90

pada siklus I, dan menjadi 100 pada siklus II. Terjadi peningkatan rata-rata kelas

dari 63,33 sebelum tindakan, meningkat menjadi 71,67 pada siklus I dan menjadi

84 pada siklus II.

30

Beberapa hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa pembelajaran

dengan menggunakan model pembelajaran Make a Match dapat meningkatkan

hasil belajar IPA. Namun demikian, perlu dibuktikan lagi pada penelitian tindakan

kelas ini. Dengan analisis tersebut maka peneliti melakukan penelitian dengan

menerapkan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar

sebagai upaya untuk meningkatkan hasil belajar mata pelajaran IPA pada siswa

kelas 5 SDN Patemon 01.

Persamaan penelitian yang peneliti lakukan dengan beberapa penelitian di

atas ialah sama-sama mengukur hasil belajar, selain itu instrumen yang digunakan

peneliti untuk mengukur tingkat keberhasilan siswa juga berupa tes dan non tes.

Sedangkan untuk perbedaannya terletak pada objek yang akan diteliti, masalah,

tujuan, tindakan, variabel, dan pemanfaatan media di dalam proses tindakan yang

dilakukan.

2.4. Kerangka Berpikir

Paradigma siswa yang menganggap bahwa pelajaran IPA merupakan

pelajaran yang sulit untuk dimengerti menjadikan siswa malas dalam belajar IPA,

hal tersebut merupakan salah satu faktor yang mengakibatkan hasil belajar mata

pelajaran IPA yang diperoleh siswa rendah. Selain itu faktor guru yang cenderung

masih menerapkan pembelajaran yang konvensional menjadikan proses belajar

IPA menjadi membosankan. Siswa menjadi kurang antusias dalam belajar IPA,

untuk itu salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan hasil belajar

mata pelajaran IPA adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang lebih

variatif dan inovatif, salah satunya ialah model pembelajaran Make a Match

berbantuan media gambar.

Pada awalnya proses pembelajaran yang diterapkan oleh guru hanya

mengandalkan cara belajar konvensional (ceramah) sehingga yang terjadi siswa

menjadi bosan, jenuh dan sering kali mengabaikan proses belajar mengajar di

kelas, sehingga mengapa model pembelajaran Make a Match berbantuan media

gambar dijadikan salah satu alternatif untuk meningkatkan hasil belajar, karena

penerapan model ini berkonsep pada sebuah permainan yang membelajarkan

31

siswa, penggunaan model pembelajaran ini dapat membuat siswa lebih aktif

dalam mengikuti proses pembelajaran sehingga siswa dengan mudah memahami

materi yang diajarkan oleh guru melalui cara yang menyenangkan.

Dalam penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media

gambar guru hanya sebatas sebagai fasilitator, sementara kegiatan belajar

mengajar dominan melalui interaksi antara siswa dengan siswa. Siswa belajar

menemukan pasangan kartu yang cocok melalui aktivitas permainan yang

menarik, pasangan kartu yang dicocokkan oleh siswa tersebut berisi tentang

materi yang tengah dipelajari oleh siswa. Kemudian siswa saling memberikan

tanggapan dan gagasannya terhadap kartu yang telah dipasangkan tersebut.

Melalui upaya tersebut diharapkan dapat menimbulkan manfaat seperti siswa

mampu berpikir kreatif, siswa lebih aktif baik dalam kegiatan kelompok maupun

mandiri, memudahkan pemahaman siswa sehingga kualitas pembelajaran

meningkat serta hasil belajar yang diperoleh siswa akan tercapai secara maksimal.

Adapun kerangka berpikir mengenai penerapan model pembelajaran Make

a Match berbantuan media gambar pada mata pelajaran IPA dapat ditunjukkan

melalui peta konsep sebagai berikut:

32

Gambar 2.1 Peta Konsep Kerangka Berpikir

2.5. Hipotesis

Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir yang telah

dikemukakan, maka dapat dirumuskan hipotesis proses dan hasil tindakan sebagai

berikut:

1) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar

PEMBELAJARAN IPA

Guru

menyampaikan

materi dengan

ceramah

Tingkat

pemahaman siswa

kurang, hasil

belajar < KKM

Proses berpikir ABSTRAK KONKRET

Siswa membangun

konsep materi

sendiri

Siswa malas,

bosan, jenuh,

materi tidak

dikuasai

Permainan Pasang

Kartu (Make a Match)

Pembelajaran

Konvensional

Guru sebagai

fasilitator

Model Make a

Match berbantuan

media gambar

Proses berpikir KONKRET ABSTRAK

Tingkat pemahaman

siswa naik, hasil

belajar > KKM

33

dalam pembelajaran IPA pokok bahasan proses pembentukan tanah dapat

meningkatkan aktivitas guru dan aktivitas siswa pada siswa kelas 5 semester II

SDN Patemon 01 tahun pelajaran 2013/2014 secara signifikan minimal 10 %.

2) Penerapan model pembelajaran Make a Match berbantuan media gambar

dapat meningkatkan hasil belajar IPA pokok bahasan proses pembentukan

tanah pada siswa kelas 5 semester II SDN Patemon 01 tahun pelajaran

2013/2014 secara signifikan mengalami ketuntasan belajar individual dengan

nilai hasil belajar IPA ≥ 75 dan mengalami ketuntasan belajar secara klasikal

dengan nilai rata-rata hasil belajar IPA meningkat minimal 7 nilai dari KKM ≥

75 yang ditentukan oleh sekolah atau ketuntasan belajar secara klasikal

sebesar ≥ 80% dari 20 siswa (kriteria baik).