bab ii kajian teori 2.1 bullying

12
8 BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Bullying 2.1.1 Pengertian Bullying Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh beberapa tokoh. Olweus (2005) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Sullivan (2000) menjelaskan bahwa bullying termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif yang dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti. Rigby (2008) menyatakan bahwa bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara sistematis dalam berhubungan dengan orang lain. Olweus (2003) melengkapi definisi bullying dengan menambahkan bentuk dalam bullying. Menurutnya bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik dan relasional. Perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Perilaku agresif dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut teori General Aggression Model (GAM), faktor-faktor tersebut dapat berasal dari luar individu (situasional) dan personal (Anderson & Carnagey, 2006). Dalam teorinya, Anderson menyatakan agresi disebabkan oleh adanya sekumpulan faktor yang kemudian diterima, dipersepsi, dan dimaknai oleh seseorang berdasarkan sikap dan ketrampilan

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

8

BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Bullying

2.1.1 Pengertian Bullying

Bullying memiliki berbagai definisi yang beragam yang dikemukakan oleh

beberapa tokoh. Olweus (2005) mendefinisikan bullying sebagai tindakan negatif

dalam waktu yang cukup panjang dan berulang yang dilakukan oleh satu orang

atau lebih terhadap orang lain, dimana terdapat ketidakseimbangan kekuatan dan

korban tidak memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya. Sullivan (2000)

menjelaskan bahwa bullying termasuk ke dalam bentuk perilaku agresif yang

dilakukan secara sengaja dan sadar oleh seseorang atau sekelompok orang

terhadap orang atau sekelompok orang yang lain dengan tujuan menyakiti. Rigby

(2008) menyatakan bahwa bullying merupakan penyalahgunaan kekuatan secara

sistematis dalam berhubungan dengan orang lain. Olweus (2003) melengkapi

definisi bullying dengan menambahkan bentuk dalam bullying. Menurutnya

bullying dapat terjadi dalam bentuk verbal, fisik dan relasional.

Perilaku bullying merupakan perilaku agresif yang serius. Perilaku agresif

dapat terjadi karena berbagai faktor. Menurut teori General Aggression Model

(GAM), faktor-faktor tersebut dapat berasal dari luar individu (situasional) dan

personal (Anderson & Carnagey, 2006). Dalam teorinya, Anderson menyatakan

agresi disebabkan oleh adanya sekumpulan faktor yang kemudian diterima,

dipersepsi, dan dimaknai oleh seseorang berdasarkan sikap dan ketrampilan

9

masing-masing. Kemudian individu tersebut akan menghubungkannya dengan

keadaan sosial di sekitar individu lalu mengekspresikannya dalam bentuk tingkah

laku agresi. Faktor-faktor situasional yang dapat memicu terbentuknya perilaku

agresi antara lain budaya sekolah (bullying yang dilakukan guru atau teman

sebaya), teknologi dan norma kelompok (O’Connell, 2003). Faktor situasional

lain yang juga mempengaruhi perilaku bullying adalah media. Perry (1987) dalam

O’Connell, 2003) menyatakan bahwa media juga dapat mempengaruhi

terbentuknya perilaku bullying pada anak. Tayangan televisi yang menampilkan

candaan yang kasar, menghina, dan mengandung kekerasan ditampilkan sebagai

perilaku yang menghibur dan dapat diterima oleh orang lain sehingga hal ini dapat

dianggap pembaca sebagai perilaku yang wajar dalam hubungan sosial dengan

orang lain. Faktor yang turut mempengaruhi perilaku bullying selain faktor

situasional adalah faktor personal meliputi harga diri (Anderson & Carnagey,

2004), temperamen (Olweus, 2003), dan keluarga (O’Connell, 2003) yang

memberikan kecenderungan individu untuk menampilkan perilaku agresi.

Dari beberapa definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa suatu perilaku

dapat dikatakan sebagai bullying apabila (a) dilakukan secara sadar dan sengaja,

(b) berulang kali dalam waktu yang relatif lama, (c) terdapat

ketidakseimbangankekuatan, (d) sistematis dan terorganisir, (e) bertujuan untuk

meyakiti orang lain dalam hal ini korban, (f) dan dapat terjadi dalam beberapa

bentuk, yaitu dalam bentuk verbal, fisik dan mental.

10

2.1.2 Bentuk-bentuk Bullying

Berdasarkan bentuknya menurut Olweus (dalam Sari, 2011) bullying dibagi

ke dalam tiga kategori, yaitu bullying secara verbal, fisik dan relasional.

1) Verbal

Bentuk bullying ini berhubungan dengan verbal atau kata-kata. Tindakan

yang termasuk di dalamnya adalah memaki, menghina, mengejek, memfitnah,

memberi julukan yang tidak menyenangkan, mempermalukan di depan umum,

menuduh, menyoraki, menyebarkan gosip yang negatif dan membentak.

2) Fisik

Bentuk bullying ini yang paling terlihat karena bersifat langsung dan

terdapat kontak fisik antara korban dan pelaku. Contoh perilakunya seperti

memukul, meludahi, menampar, mendorong, menjambak, menjewer,

menimpuk, menendang, dan berbagai ancam kontak fisik lainnya.

3) Relasional

Bentuk bullying ini berhubungan dengan semua perilaku yang bersifat

merusak hubungan dengan orang lain. Tindakan yang termasuk dengan

sengaja mendiamkan seseorang, mengucilkan seseorang, penolakan kelompok,

pemberian gesture yang tidak menyenangkan seperti memandang sinis,

merendahkan dan penuh ancaman.

Astuti (2008) juga mengemukakan mengenai bentuk-bentuk bullying, antara

lain:

1) Fisik.

Contohnya adalah menggigit, menarik rambut, memukul, menendang,

mengunci, dan mengintimidasi korban di ruangan atau dengan mengitari,

memelintir, menonjok, mendorong, mencakar, meludahi, mengancam, dan

merusak barang-barang milik korban, penggunaan senjata dan perbuatan

kriminal.

2) Non-fisik

Terbagi dalam bentuk verbal dan non-verbal. Verbal contohnya panggilan

telepon yang meledek, pemalakan, pemerasan, mengancam, atau intimidasi,

menghasut, berkata jorok pada korban, berkata menekan, dan

menyebarluaskan kejelekan korban. Sedangkan non-verbal terbagi menjadi

langsung dan tidak langsung. Non-verbal tidak langsung diantaranya adalah

manipulasi pertemanan, mengasingkan, tidak mengikutsertakan, mengirim

pesan menghasut, curang, dan sembunyisembunyi. Non-verbal langsung

contohnya gerakan kasar atau mengancam, menatap, muak mengancam,

menggeram, hentakan mengancam atau menakuti.

11

2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku Bullying

Perilaku bullying dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, namun secara

umum ada dua faktor yang berinteraksi, yaitu: faktor personal dan faktor

situasional (Anderson & Carnagey, 2004). Faktor personal meliputi pola asuh ibu

dan ayah serta harga diri (self-esteem). Sedangkan faktor situasional meliputi

norma kelompok dan sekolah. O’Connell (2003) menguraikan faktor-faktor

tersebut di atas sehingga dapat menyebabkan timbulnya perilaku bullying.

1) Pola Asuh Orangtua

Pola asuh dari orangtua sangat mempengaruhi kepribadian dan perilaku

seorang anak. Orangtua yang menggunakan bullying sebagai cara untuk proses

belajar anak akan membuat anak beranggapan bahwa bullying adalah perilaku

yang wajar dan bisa diterima dalam berinteraksi dengan orang lain dan dalam

mendapatkan apa yang mereka inginkan. Penelitian yang dilakukan oleh

Ahmed dan Braithwaite (2004) menyatakan bahwa keluarga merupakan faktor

yang paling berpengaruh dalam menentukan keterlibatan seseorang pada

perilaku bullying. Selain itu, penelitian Olweus (2003) menyebutkan bahwa

terdapat hubungan antara pola asuh orang tua dengan dengan perilaku agresif

pada remaja.

2) Harga Diri

Harga diri dikatakan dapat mempengaruhi perilaku bullying. Seorang anak

yang memiliki harga diri negatif atau harga diri rendah, anak tersebut akan

memandang dirinya sebagai orang yang tidak berharga. Rasa tidak berharga

tersebut dapat tercermin pada rasa tidak berguna dan tidak memiliki

kemampuan baik dari segi akademik, interaksi sosial, keluarga dan keadaan

fisiknya. Harga diri rendah dapat membuat seorang anak merasa tidak mampu

menjalin hubungan dengan temannya sehingga dirinya menjadi mudah

tersinggung dan marah. Akibatnya anak tersebut akan melakukan perbuatan

yang menyakiti temannya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Septrina, Liow, Sulistiyawati, dan dalam Asdrian (2009) yang

menyatakan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara harga diri

dengan perilaku bullying dimana semakin tinggi harga diri maka semakin

rendah perilaku bullying.

3) Norma kelompok

Menurut O’Connell (2003), norma kelompok dapat membuat perilaku

bullying sebagai perilaku yang wajar dan dapat diterima. Biasanya anak yang

terlibat dalam perilaku bullying agar dapat diterima dalam kelompok.

Jika kelompoknya melakukan perilaku bullying terhadap siswa lain biasanya

siswa yang tergabung dalam kelompok itu akan mendukung anggota

kelompoknya yang melakukan perilaku bullying. Selain itu, kelompok

12

menggunakan perilaku bullying sebagai cara untuk mengajarkan norma-norma

yang dianut dalam kelompok pada siswa lain yang ingin bergabung dengan

kelompok. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Astari (2008) menunjukkan

bahwa terdapat hubungan yang positif antara norma kelompok dengan

perilaku bullying yang dilakukan siswa SMA.

4) Sekolah

Budaya sekolah juga dapat mempengaruhi perilaku bullying. Menurut

O’Connell (2003), guru dan pihak sekolah yang bersikap tidak peduliterhadap

kekerasan yang dilakukan oleh para siswa dapat meningkatkan perilaku

bullying di sekolah. Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan

bullying ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan

terhadap perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya.

Bullying berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering

memberikan masukan yang negatif pada siswanya misalnya berupa hukuman

yang tidak membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan

menghormati antar sesama anggota sekolah. Hasil penelitian yang dilakukan

oleh Djuwita (2009) menunjukkan bahwa faktor situasional yang berperan

secara signifikan adalah bullying yang dilakukan guru di sekolah.

2.1.4 Karakteristik Pelaku Bullying

Karakteristik yang umum dimiliki oleh pelaku bullying (Olweus, 2003).

adalah (a) memiliki keinginan untuk mendominasi orang lain, (b) kurang atau

tidak berempati terhadap perasaan orang lain, (c) hanya peduli dengan

keinginannya sendiri, (d) sulit melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain, (e)

tingkah lakunya cenderung impulsif, (f) agresif, (g) intimidatif, (h) dan suka

memukul Dari beberapa karakteristik ini, dapat disimpulkan bahwa motivasi

seseorang melakukan bullying bisa berdasarkan kebencian, perasaan iri dan

dendam atau bisa juga untuk menyembunyikan rasa malu dan gelisah serta

mendorong rasa percaya diri dengan menganggap orang lain tidak ada artinya.

13

2.2. Kepercayaan Diri

2.2.1 Pengertian Percaya Diri

Rasa percaya diri adalah sikap seorang individu mampu mengembangkan

diri kearah yang positif terhadap dirinya sendiri dan lingkungannya. Rasa percaya

diri yang tinggi dapat membantu seorang individu lebih percaya akan kemampuan

yang individu miliki, dia percaya bahwa dia bisa karena didukung oleh

pengalaman dan potensi yang dia miliki serta harapan realistik terhadap diri

sendiri dan individu yang memiliki percaya diri tinggi lebih mudah dalam

menyesuaikan diri dalam lingkungannya. Menurut Lauster (2012) kepercayaan

diri merupakan suatu sikap atau keyakinan atas kemampuan diri sendiri, sehingga

dalam tindakan-tindakannya tidak terlalu cemas, merasa bebas untuk melakukan

hal-hal yang sesuai keinginan dan tanggung jawab atas perbuatannya, sopan

dalam berinteraksi dengan orang lain, memiliki dorongan prestasi serta dapat

mengenal kelebihan dan kekurangan diri sendiri. Kepercayaan diri berawal dari

tekad pada diri sendiri, untuk melakukan segala yang kita inginkan dan kita

butuhkan dalam hidup. Rasa percaya diri terbina dari keyakinan diri sendiri,

bukan dari karya-karya kita, walapun karya-karya kita sukses. Rasa percaya diri

merupakan suatu keyakinan dalam jiwa sebagai manusia, tantangan hidup harus

dihadapi dengan berbuat sesuatu. Bukan masalah berbuat sesuatu itu yang

penting, namun kesediaan untuk melakukannya. Jika sebagai seorang individu

yakin pada diri sendiri, maka apapun tantangan hidup akan dihadapi. Jadi bukan

kepercayaan diri karena kemampuan mengerjakan sesuatu namun percaya diri

karena kemampuan menghadapi segala tantangan hidup (Angelis, 2003).

14

Menurut Prayitno (1995) percaya diri itu lahir dari kesadaran bahwa ketika

seseorang memutuskan untuk melakukan sesuatu, sesuatu itu pula yang akan

dilakukan. Artinya keputusan untuk melakukan sesuatu dan sesuatu yang

dilakukan itu bermakna bagi kehidupannya. Jika seseorang memiliki percaya diri

didalam arena sosial, maka akan menjadi tidak gelisah dan lebih nyaman dengan

dirinya sendiri serta mampu mengembangkan perilaku dalam situasi sosial. Rasa

percaya diri dipengaruhi dua sumber penting dalam dukungan sosial adalah

hubungan dengan orang tua dan dukungan dengan teman sebaya. Coopersmith

(dalam Santrock, 2003). Sedangkan menurut Harter (dalam Santrock, 2003)

dukungan dari teman sebaya lebih berpengaruh pada tingkat rasa percaya diri pada

individu pada masa remaja awal daripada anak-anak, meskipun dukungan orang

tua juga faktor yang penting untuk rasa percaya diri pada anak-anak dan remaja

awal. Akan tetapi dukungan teman sebaya lebih penting dibandingkan dengan

dukungan orang tua pada remaja akhir. Terdapat dua jenis dukungan teman

sebaya yaitu dukungan teman sekelas dan teman akrab. Dukungan teman satu

kelas lebih kuat berpengaruh terhadap rasa percaya diri remaja dalam berbagai

usia dibandingkan dengan teman akrab, karena teman akrab selalu memberikan

dukungan yang dibutuhkan, sehingga dukungan itu tidak dianggap oleh remaja

untuk meningkatkan rasa percaya diri, karena remaja pada saat-saat tertentu

membutuhkan sumber dukungan yang lebih obyektif untuk membenarkan rasa

percaya dirinya.

15

2.2.2 Karakteristik kepercayaan diri

Menurut Lauster (dalam Rini, 2002) individu yang memiliki rasa percaya

diri yang Proporsional diantaranya adalah:

1. Percaya akan kompetensi atau kemampuan diri, hingga tidak membutuhkan

pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa hormat orang lain.

2. Tidak terdorong untuk menunjukan konformitas demi diterima orang lain atau

kelompok.

3. Berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain, berani menjadi diri

sendiri.

4. Punya pengendalian diri yang baik (tidak moody dan emosinya stabil).

5. Memiliki internal locus of control (memandang keberhasilan atau kegagalan,

tergantung usaha dari diri sendiri dan tidak mudah menyerah pada nasib atau

keadaan serta tidak tergantung/mengharapkan bantuan orang lain).

6. Mempunyai cara pandang yang positif terhadap diri sendiri, orang lain dan

situasi diluar dirinya.

7. Memiliki harapan yang realistik terhadap diri sendiri, sehingga ketika harapan

itu tidak terwujud, ia tetap mampu melihat sisi positif dirinya dan situasi yang

terjadi.

Kesimpulan dari karakteristik kepercayaan diri, individu yang memiliki

kepercayaan diri memiliki karakteristik yang menunjukan individu yang mampu

mengendalikan diri, yakin akan kemampuan yang dimilki, berpandangan positif,

tidak konformitas dan memiliki harapan yang realistic terhadap diri sendiri.

2.1.3 Aspek-aspek dalam percaya diri

Menurut Lauster (1997) aspek-aspek dalam percaya diri secara rinci adalah

sebagai berikut:

1) Cinta diri.

Merupakan perilaku seseorang untuk memelihara diri.

2) Pemahaman diri.

Orang yang percaya diri selalu ingin tahu bagaimana pendapat orang lain

tentang dirinya sendiri, percaya akan kompetensi atau kemampuan diri

sehingga tidak membutuhkan pujian, pengakuan, penerimaan, ataupun rasa

hormat orang lain, berani menerima dan menghadapi penolakan orang lain

yaitu menjadi diri sendiri.

3) Tujuan hidup yang jelas.

16

Orang yang mengetahui tujuan hidupnya karena mempunyai pikiran yang

jelas mengapa melakukan tindakan tertentu dan tahu hasil apa yang

diharapkannya, tidak terdorong untuk menunjukan sikap konformitas demi

diterima oleh orang lain atau kelompok, memiliki harapan realistic terhadap

diri sendiri, sehingga ketika harapan itu terwujud, ia tetap mampu melihat sisi

positif dari dirinya dan situasi yang terjadi.

4) Berpikir positif.

Orang yang dapat melihat dari kehidupan sisi cerah serta mencari

pengalaman dari hasil yang bagus, mempunyai pengendalian diri yang baik

(tidak moody dan emosinya stabil), memiliki internal locus of control

(memandang keberhasilan atau kegagalan tergantung dari usaha diri sendiri

dan tidak mudah menyerah pada nasib atau keadaan, serta tidak tergantung

atau mengharapkan bantuan orang lain), mempunyai cara pandang positif

terhadap diri sendiri, orang lain dan situasi di luar dirinya.

Menurut Lauster (2006) kepercayaan pada diri sendiri mempengaruhi sikap

hati-hati, ketaktergantungan, ketidak serakahan, toleransi dan cita-cita. Seorang

yang percaya diri tidaklah hati-hati secara berlebihan, yakin akan

ketidaktergantungan dirinya kepada orang lain karena percaya pada diri sendiri,

tidak menjadi terlalu egois, lebih toleran, karena individu yang percaya diri tidak

melihat dirinya sedang dipersoalkan, dan cita-citanya normal dan tidak menutupi

kekurangpercayaan pada diri sendiri dengan cita-cita yang berlebihan.

2.2.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi percaya diri

Faktor-faktor yang mempengaruhi kepercayaan diri (Angelis, 2003) adalah

sebagi berikut :

1) Kemampuan pribadi.

Rasa percaya diri timbul pada saat seseorang mengerjakan sesuatu yang

memang mampu dilakukan.

2) Keberhasilan seseorang.

Keberhasilan seseorang ketika mendapatkan apa yang selama ini

diharapkan dan cita citakan akan memperkuat timbulnya rasa percaya diri.

3) Keinginan

Ketika seseorang menghendaki sesuatu maka orang tersebut akan belajar

dari kesalahan yang telah diperbuat untuk mendapatkannya.

17

4) Tekat yang kuat

Rasa percaya diri yang datang ketika seseorang memiliki tekat yang kuat

untuk mencapai tujuan yang diinginkan.

Dari uraian faktor-faktor percaya diri tersebut disimpulkan bahwa faktor-

faktor yang dimiliki individu adalah adanya kemampuan pribadi, keberhasilan,

keinginan dan tekat yang kuat untuk belajar dari pengalaman agar tidak terulang

lagi.

2.2.5 Usaha-usaha membangun kepercayaan diri

Menurut Lauster (2006) ada dua cara manusia beraksi untuk menutupi rasa

rendah diri, yaitu menyerah dan kompensasi. Menyerah berarti bahwa rasa rendah

diri dianggap sebagai perbaikan terhadap kepercayaan pada diri sendiri yang dapat

dicapai. Adler (dalam Lauster, 2006) menyadari rasa rendah diri sering

dikompensasi. Kompensasi ini mengambil berbagai bentuk. Salah satu cara adalah

kompensasi langsung seperti yang dilakukan oleh Wilma Rudolph, yang terkena

folio. Orang yang tak yakin pada dirinya mencari kompensasi untuk menutupi

rasa rendah dirinay justru dalam bidang kekurangannya. Beberapa petunjuk untuk

meningkatkan rasa percaya pada diri sendiri yaitu(Lauster2006) :

1) Cari sebab-sebab merasa rendah diri.

Sekali individu mengetahui sebab-sebab itu maka individu sudah

mendapatkan prasyarat yang sangat penting untuk suatu perbaikan

kepercayaan diri sendiri yang direncanakan.

2) Atasi kelemahan yang dimiliki.

Hal yang penting adalah individu harus memiliki kemauan yang kuat.

Karena hanya dengan begitu individu akan memandang suatu perbaikan yang

kecil sebagai keberhasilan yang sebenarnya.

3) Kembangkan bakat dan kemampuan.

Dengan mengembangkan bakat dan kemampuan individu mengadakan

kompensasi bagi kelemahan individu, sehingga kelemahan itu tidak penting

lagi bagi individu.

18

4) Bahagialah dengan keberhasilan dalam suatu bidang tertentu.

Perkiraan individu atas keberhasilan adalah lebih penting untuk ke

kesadaran sendiri dibandingkan dengan pendapat orang lain.

5) Bebaskan diri dari pendapat orang lain.

Jaganlah berbuat berlawan dengan keyakinan sendiri. Hanya dengan

begitu individu akan merasa merdeka dalam diri sendiri dan yakin.

6) Tidak puas dengan pekerjaan tapi tidak melihat sesuatu untuk memperbaiki,

maka kembangkanlah baka-bakat yang dimiliki melalui hoby.

Dengan begitu individu dapat mengkompensasikan kekecewaan dan dapat

menjaga diri dari ketidak yakinan atas diri sendiri.

7) Jika disuruh melakukan pekerjaan yang sukar, cobalah melakukan pekerjaan

tersebut dengan optimis.

8) Jangan terlalu bercita-cita , karena cita-cita yang kelewat batas tidak baik.

Makin besar cita-cita, maka akan semakin sulit untuk memenuhi tuntutan yang

tinggi.

9) Jangan terlalu sering membandingkan diri dengan orang lain.

Ada banyak hal yang dapat dilakukan dengan baik oleh orang lain

dibanding dengan diri sendiri. Jika individu terus menerus membandingkan

diri dengan orang lain maka ada kemungkinan individu akan kecewa dengan

diri sendiri. Dan ini tidak baik bagi harga diri individu.

10) Janganlah mengambil motto ungkapan yang berbunyi, apapun yang dilakukan

dengan baik oleh orang lain sayapun dapat melakukannya, karena tak

seorangpun dapat mempunyai hasil yang sama dalam tiap bidang.

2.3 Penelitian Yang Relevan

Menurut penelitian Ajeng Fiste Fiftina (2010) mengenai Hubungan

Kepercayaan Diri Dengan Perilaku Asertif Pada Siswa SMA Korban bullying.

Pendekatan penelitiann yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif. Metode

pengumpulan data yang dilakukan adalah kuesioner dari kepercayaan diri dan

perilaku asertiif yang berbentuk skala likert. Data yag diperoleh dianalisis

menggunakan teknik analisis korelasi bivariate. Uji korelasi menunjukkan bahwa

ada hubungan positif yang sangat signifikan antara kepercayaan diri dengan

perilaku asertif pada uji korelasi Bivariate sebesar 0,506 dengan taraf signifikansi

sebesar 0,000 ( ini disimpulkan bahwa hipotesis

19

diterima yang artinya terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara

kepercayaan diri dengan perilaku asertif pada siswa SMA korban bullying.

Berdasarkan penelitian Ulfatun Ni’mah (2013) mengenai Pengaruh

Konseling Kelompok Terhadap Peningkatan Kepercayaan Diri Korban Bullying

Pada Siswa Kelas VII MTs Swasta Di Demak. Populasi dalam penelitian ini adala

siswa kelas VII MTs Swasta di Demak Tahun Pelajaran 2012/2013 dengan jumlah

54 siswa. Sampel yang diambil adalah 10 siswa dengan menggunakan Random

Sampling. Data penelitian ini diperoleh melalui instrumen penelitian skala

kepercayaan diri korban bullying dengan alternatif empat jawaban. Desain

penelitian yang digunakan adalah one group pretest, treatment, and posttest

design. Berdasarkan analisis data penelitian setelah mendapatkan perlakuan

layanan konseling kelompok, menunjukkan adanya pengaruh positif dan

signifikan dari konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan diri korban

bullying pada siswa tahun ajaran 2012/2013. Thitung (55) sedangkan Ttabel (8).

Karena Thitung > Ttabel dengan taraf signifikansi 5%, dengan demikian berarti HA

diterma dan Ho ditolak sehingga penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

pengaruh yang signifikan konseling kelompok terhadap peningkatan kepercayaan

diri korban bullying pada siswa tahun pelajaran 2012/2013.

2.4 Hipotesis

Dari penelitian ini diajukan hipotesis :

“ Ada perbedaan yang signifikan antara kepercayaan diri siswa kelas X yang

mengalami dan tidak mengalami perilaku Bullying di SMA Theresiana Weleri.”