bab ii - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/bab ii.pdf · puncaknya pada minggu...

28
1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori 1. Pengertian Demam Tifoid Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus halus yang menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan bahan mineral dalam jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui makanan yang masuk ke dalam tubuh (Nurbayati, 2009). Demam tifoid merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica termasuk Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A. Walaupun secara global Salmonella typhi merupakan penyebab utama, infeksi Salmonella paratyphi A juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung turis.(Karyanti MR , 2012). Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit bervariasi pada populasi yang berbeda. Demam tifoid merupakan penyakit yang sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik sebelumnya menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid, sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara perlahan dan toksisitas jarang ditemukan, namun resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi komplikasi (Karyanti MR, 2012). http://repository.unimus.ac.id

Upload: trannhu

Post on 15-Mar-2019

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

1

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Pengertian Demam Tifoid

Demam tifoid atau tifus abdominalis merupakan penyakit infeksi akut usus

halus yang menyebabkan tubuh kehilangan cairan dan bahan mineral dalam

jumlah banyak. Penularannya dapat melalui kontak antar manusia atau melalui

makanan yang masuk ke dalam tubuh (Nurbayati, 2009). Demam tifoid

merupakan penyakit yang disebabkan beberapa serovar Salmonella enterica

termasuk Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi A. Walaupun secara global

Salmonella typhi merupakan penyebab utama, infeksi Salmonella paratyphi A

juga terjadi di beberapa bagian dunia dan berhubungan dengan pengunjung

turis.(Karyanti MR , 2012).

Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit

bervariasi pada populasi yang berbeda. Demam tifoid merupakan penyakit yang

sering ditemukan di negara berkembang. Pemberian antibiotik sebelumnya

menyebabkan perubahan gejala klinis demam tifoid, sehingga gejala demam

klasik yang meningkat secara perlahan dan toksisitas jarang ditemukan, namun

resistensi antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan

terjadi komplikasi (Karyanti MR, 2012).

http://repository.unimus.ac.id

Page 2: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

2

2. Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh S. typhi (Darmawati S, at al, 2009)

a. Klasifikasi

Kerajaan : Bakteria

Filum : Proteobakteria

Kelas : Gamma proteobakteria

Ordo : Enterobakteriales

Famili : Enterobakteriaceae

Genus : Salmonella

Spesies : Salmonella typhi

b. Morfologi

S.typhi merupakan bakteri enterik batang, gram negatif, ukuran 2

– 4 mikrometer X 0,6 mikrometer, bergerak, bersifat aerob dan

anaerob fakultatif, tidak berspora dan tidak bersimpai tetapi

mempunyai flagel feritrik (fimbrae), pada biakan agar darah koloninya

besar berdiameter 2 – 3 milimeter, bulat, agak cembung, jernih, licin

dan tidak menyebabkan hemolisis (Gupte, 1990).

Gambar 1. Mikroskopis morfologi Sel S.typhi (Sumber : Todar, 2008)

http://repository.unimus.ac.id

Page 3: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

3

c. Struktur Antigen

d a

b

c

Gambar 2. Struktur antigen S.typhi a.Flagel (Antigen H) b. Kapsul(Antigen Vi) c. Selubung sel (membran sitoplasma, peptidoglikan,

membran luar) d. Lipopolisakarida (Antigen O)(Sumber : Jawetz et al, 2008)

Struktur antigen Salmonella terdiri dari :

1) Antigen O (dinding sel)

Menurut Handojo (2004), antigen O merupakan antigen

somatik yang terletak pada lapisan luar dari tubuh bakteri (lihat

gambar 2). Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida

(LPS) atau disebut juga endotoksin. Lipopolisakarida dari antigen

O terdiri dari 3 komponen yaitu :

a) Lipid A, melekat pada dinding sel.

b) Oligosakarida inti, melekat pada lipid A

c) Antigen O (Polisakarida O), mengandung antigen O spesifik

atau antigen dinding sel.

http://repository.unimus.ac.id

Page 4: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

4

Antibodi terhadap antigen O terutama adalah IgM. Aglutinasi O

berlangsung lebih lambat. Antigen ini kurang imunogenik.

Karenanya titer antibodi O sesudah infeksi atau imunisasi lebih

rendah daripada titer antibodi H. (Jawetz et al, 2008).

Lipopolisakarida dari antigen O merupakan suatu faktor virulen

dan antigen penting S.typhi, dan merupakan suatu endotoksin yang

dapat menimbulkan septic shock pada manusia dan binatang.

Antibodi terhadap LPS antigen O berhubungan erat dengan infeksi

sebelumnya, tetapi tidak berkaitan dengan proteksi tubuh terhadap

infeksi S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja, 1999).

2) Antigen H (Antigen Flagela)

Antigen H terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari bakteri

(lihat gambar 2). Antigen ini tahan terhadap formaldehid tetapi

tidak tahan terhadap panas dan alkohol (Handojo, 2004).

Antigen H seperti ini beraglutinasi dengan antibodi H, terutama

IgG. Antigen ini bersifat sangat imunogenik dan antibodi yang

dibentuk adalah IgG. (Jawetz et al, 2008).

3) Antigen simpai atau kapsul yang disebut Vi (Vitulen)

Antigen Vi terletak pada kapsul (envelope) yang melindungi

seluruh permukaan bakteri (lihat gambar 2).. Adanya antibodi Vi

yang menetap menunjukkan bahwa individu yang bersangkutan

merupakan pembawa kuman. Antigen Vi dapat menghambat

http://repository.unimus.ac.id

Page 5: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

5

proses aglutinasi, melindungi bakteri dari proses fagositosis, dan

berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin

(Gupte, 1990).

Antigen O, antigen H dan antigen Vi, di dalam tubuh penderita

akan menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang

lazim disebut aglutinin (Handojo, I, 2004).

Salmonella secara serologi dibagi menjadi beberapa kelompok, yaitu

A, B, C, dan D. Pembagian ini didasarkan pada perbedaan antigen O dari

Salmonella. Genus Salmonella terdiri dari sekitar 1200 serotipe yang

didasarkan pada perbedaan dalam antigen H, tetapi tidak semuanya

patogen untuk manusia. (Handojo, I,2004).

Tabel 2. Penggolongan serotype Salmonella berdasarkan macam antigen

Serotype Serogroup Antigen O

Specific Oantigenfactor

Antigen H

1 fase 2 fase

S.typhi D 9, 12 (Vi) 9 D -S.paratyphi A A 1, 2, 12 2 A -S.paratyphi B B 1, 4, 5, 12 4 B 1,2S.paratyphiC

C 6, 7 (Vi) 6 / 7 C 1,5

Sumber: Handojo, I, 2004

3. Patogenesis

S.typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui makanan dan

minuman yang terkontaminasi bakteri tersebut. Sebagian bakteri yang

masuk dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus

halus dan selanjutnya berkembang biak dan bila penderita tersebut tidak

mempunyai kekebalan terhadap bakteri tersebut, maka bakteri tersebut

http://repository.unimus.ac.id

Page 6: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

6

akan menempel pada dinding usus dan menembus epitel usus melalui sel

epitel usus menuju ke lamina propia (Handojo, I, 2004).

S.typhi di lamina propia akan difagositosis oleh sel fagosit,

terutama makrofag. Di dalam makrofag, karena terlindung oleh kapsul Vi,

S.typhi dapat bertahan hidup, bahkan dapat berkembang biak. Selanjutnya

dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening

mesenterika, dalam tahap berikutnya, S.typhi melalui ductus theracicus

masuk ke aliran darah menyebabkan bakteremia pertama yang

asimtomatik, dan selanjutnya menyebar ke jaringan retikuloendotelial di

seluruh tubuh, terutama di hati dan limpa. Di dalam organ-organ tersebut

S.typhi keluar dari sel fagosit dan berkembang biak di luar sel dalam

jaringan organ atau jaringan sinusoid dan menimbulkan bakteremia yang

kedua kalinya (Handojo, I, 2004).

S.typhi pada kejadian bakteremia yang kedua, telah dapat dibunuh

oleh sel fagosit, terutama makrofag dan Natural Killer Cells (NK),

dikarenakan perkembangan respons imun dan produksi sitokin. Sebagai

akibatnya endotoksin dilepaskan oleh S.typhi dan menyebabkan timbulnya

gejala klinis dari demam tifoid. Sebagian S.typhi yang terdapat dalam

sirkulasi darah dalam bakteremia yang kedua akan masuk ke kandung

empedu dan disekresikan ke dalam usus bersama cairan empedu. Sebagian

S.typhi yang masuk ke lumen usus, sebagian akan keluar bersama tinja,

dan sebagian lagi akan menginvasi kembali dinding usus . Sebagai hasil

dari penghancuran dalam proses fagositosis tersebut diatas, pada akhir

http://repository.unimus.ac.id

Page 7: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

7

minggu kedua, dapat dikatakan sudah tidak ditemukan lagi S.typhi yang

hidup di dalam darah, tetapi masih ada dalam sumsum tulang (Handojo, I,

2004).

4. Respons Imun

Sel-sel dalam sistem imun yang bereaksi spesifik dengan bakteri

adalah limfosit B yang memproduksi antibodi, dan limfosit T yang

mengatur sintesis antibodi. Untuk menimbulkan respons antibodi,

limfosit B dan Limfosit T harus berinteraksi satu dengan yang lain

(Kresno, S.B, 2001).

S.typhi yang berada di jaringan seperti hepar dan limpa, apabila

keluar dari makrofag dan menjadi bakteri yang ekstraseluler, maka bakteri

tersebut akan segera difagositosis oleh sel fagosit, sel netrofil, monosit dan

histiosit. Lipopolisakarida dapat mengaktifkan jalur alternatif dari sistem

komplemen yang berakhir dengan lisisnya bakteri. Pada proses ini

endotoksin akan dikeluarkan yang dapat merangsang makrofag, untuk

mensekresi sitokin. Beberapa sitokin dapat menyebabkan demam dan

merangsang sintesis dari protein fase akut seperti C-Reactive Protein

(CRP) (Handojo, I, 2004).

Lipopolisakarida (LPS) dapat merangsang respons imun tanpa

melibatkan limfosit T dan dapat langsung merangsang limfosit B melalui

imunoglobulin permukaan untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi

sel plasma yang memproduksi antibodi (aglutinin O), antibodi yang

diproduksi terutama IgM (Handojo, 2004).Limfosit B mengandung IgM

http://repository.unimus.ac.id

Page 8: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

8

pada permukaannya sebagai reseptor antigen, sehingga IgM terbentuk

paling awal pada respons imun primer, tetapi respons IgM umumnya

pendek yaitu hanya beberapa hari kemudian menurun, dengan respons

IgM yang umumnya pendek inilah dapat digunakan untuk menentukan

apakah suatu infeksi yang diderita oleh seseorang akut atau tidak (Kresno,

S.B, 2001).

Antigen H (flagela dan fimbriae) dan antigen Vi (kapsul)

merupakan antigen yang hanya dapat merangsang limfosit B melalui

limfosit T helper 2 (Th2) untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi

sel plasma untuk memproduksi aglutinin H dan Vi. Atas dasar ini,

aglutinin O diproduksi lebih awal (akhir minggu pertama) daripada

aglutinin H dan Vi (minggu kedua). Titer aglutinin akan mencapai

puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan

selama beberapa bulan kemudian menurun perlahan-lahan (Handojo, I,

2004).

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis sangat penting untuk membantu mendeteksi

secara dini demam tifoid, masa inkubasi demam tifoid umumnya 1-2

minggu setelah S.typhi tertelan , tetapi bisa juga dalam waktu tiga hari

atau dua bulan (WHO,2003).

Gejala klinis penyakit ini pada minggu pertama, ditemukan

dengan keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada

umumnya yaitu demam, nyeri kepala, diare, konstipasi, nyeri otot,

http://repository.unimus.ac.id

Page 9: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

9

anoreksia, mual, muntah, batuk. Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan

suhu badan meningkat. Demam meningkat perlahan-lahan terutama pada

sore hingga malam hari. Dalam minggu ke dua gejala-gejala lebih jelas

berupa demam, lidah yang kotor dibagian tengahnya sedangkan lidah di

bagian tepi dan ujungnya merah, hepatomegali, splenomegali, dan

somnolen (Widodo, D, 2006).

6 . Epidemiologi

Demam tifoid kejadian insidensnya bervariasi di tiap daerah dan

biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; Sesuai laporan Departemen

Kesehatan RI telah terjadi peningkatan kejadian rata-rata antara tahun

1990 dan 1994 dari 9,2 menjadi 15,41 per 10.000 penduduk. Pada tahun

2012 adalah 350-810/100.000 penduduk.Penyakit ini tidak terbatas pada

umur tertentu, namun cukup tinggi pada anak umur diatas 5

tahun.(Marleni, et al.2012).

7 . Diagnosis Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosis demam

tifoid dalam garis besarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok besar

antara lain:

1) Isolasi S.typhi

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri S.typhi dalam biakan dari darah, urin, feses, sumsum tulang.

Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih

mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal

http://repository.unimus.ac.id

Page 10: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

10

penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil

negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung

beberapa faktor. Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan

oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan

antibiotik, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume

spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen

yang tidak tepat. Walaupun spesifitasnya tinggi, pemeriksaan kultur

mempunyai sensitivitas rendah dan adanya kendala berupa lamanya

waktu yang dibutuhkan serta peralatan yang lebih canggih untuk

identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai

sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita (WHO,

2003).

2) Pengujian secara molekuler

Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam

darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA

dengan cara Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui identifikasi

antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi. Kendala yang sering dihadapi

pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang

menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak

dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang

bisa menghambat proses PCR, biaya yang cukup tinggi dan teknis

http://repository.unimus.ac.id

Page 11: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

11

yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis

masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini

penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.

(Tumbelaka dan Retnosari, 2001).

3) Pengujian serologis.

Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen

antigen S.typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah

yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 ml yang

diinokulasikan kedalam tabung tanpa antikoagulan (WHO,2003).

Hasil pemeriksaan uji serologis belum cukup untuk digunakan

sebagai sarana tunggal pendukung diagnostik demam tifoid. Meskipun

demikian, uji serologis dapat bermanfaat terutama di daerah yang tidak

dapat menggunakan metode diagnostik yang lebih mahal (WHO,

2003).

Uji serologis tunggal, pada infeksi kronis sudah dapat digunakan

untuk diagnosis, tetapi pada infeksi akut diperlukan uji ganda, yaitu

pada masa akut dan masa konvalesen, dengan jarak waktu antara uji

pertama dan kedua 7 – 14 hari. Kenaikan titer antibodi sebesar empat

kali pada uji ganda menunjukkan adanya infeksi akut. Uji serologis

tunggal hanya dapat menegakkan diagnosis infeksi akut apabila

hasilnya menunjukkan titer antibodi yang tinggi. Selain titer antibodi,

kelas immunoglobulin juga dapat menentukan status infeksi. Antibodi

http://repository.unimus.ac.id

Page 12: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

12

kelas IgM dibentuk pada awal infeksi, kemudian dilanjutkan dengan

pembentukan IgG, oleh karena itu adanya antibodi kelas IgM

merupakan indikasi infeksi akut (Kresno, S.B, 2001).

Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan

mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid.

Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam

sensitivitas dan spesifitas pada deteksi antigen spesifik S.typhi oleh

karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa,

teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi

yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu

pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan

penyakit) (Tumbelaka dan Retnosari, 2001). Uji serologis meliputi dua

kelompok uji laboratorik, yaitu pelacakan antibodi spesifik terhadap

S.typhi dan pelacakan antigen spesifik S.typhi ((Handojo, I, 2004).

Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini

meliputi:

a) Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

(1) Uji ELISA untuk melacak antibodi terhadap S.typhi

Uji ELISA dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan

IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen

flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi.

(Tumbelaka, A.R, 2005).

http://repository.unimus.ac.id

Page 13: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

13

Antibodi yang dilacak dengan uji ELISA tergantung dari

jenis antigen yang dipakai. Penggunaan OMP F dan C porins

sebagai antigen memberikan keunggulan lebih tinggi pada uji

ELISA untuk demam tifoid dibandingkan dengan penggunaan

antigen O. Kadar antibodi terhadap porin tersebut juga lebih

tinggi dan bermakna daripada kadar antibodi terhadap antigen

O dan H yang murni dari S.typhi (Handojo, I, 2004).

Teknik Dot-EIA digunakan untuk meningkatkan

kepraktisan uji ELISA, yang memanfaatkan kertas

nitroselulose sebagai fase padat yang memiliki kapasitas yang

tinggi terhadap protein yang dilapiskan. Bila sewaktu-waktu

dibutuhkan, dapat segera dipakai dengan meneteskan serum

pada dot tersebut dan selanjutnya pemeriksaan akan selesai

hanya dalam waktu 3 – 4 jam kerja (Handojo, I,2004).

(2) Uji ELISA untuk melacak antigen terhadap S.typhi

Deteksi antigen spesifik dari S.typhi dalam spesimen klinis

secara teoritis dapat memberikan diagnosis demam tifoid

secara dini dan cepat. Uji ELISA yang sering digunakan untuk

melacak adanya antigen S.typhi dalam spesimen klinis, yaitu

double antibody sandwich ELISA (Handojo, I, 2004).

Sensitivitas dan spesifitas dari deteksi antigen spesifik S.typhi

di dalam spesimen klinis penderita tergantung pada jenis

http://repository.unimus.ac.id

Page 14: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

14

antigen yang dilacak, jenis sampel yang diperiksa, jenis

antibodi yang digunakan (poliklonal atau monoklonal) dan

waktu pengambilan sampel (stadium dini atau stadium lanjut

dari penyakit) (Handojo, I, 2004).

Uji ELISA memiliki keterbatasan yaitu selain memerlukan

beberapa tahapan prosedur, sehingga tidak praktis, ELISA juga

membutuhkan berbagai peralatan, instrument reader dan sumber

listrik, dimana instrumen dan enzyme konjugat sebagai bahan

reagen masih mahal disamping itu hasilnya juga tidak dapat

diharapkan segera, karena rata-rata pemeriksaan memerlukan

waktu lebih dari satu jam (Handojo, I, 2004).

b) Metode IgM dipstick test

Metode IgM dipstick test demam tifoid digunakan untuk

mendeteksi adanya antibodi yang dibentuk karena infeksi S.typhi

dalam serum penderita. Pemeriksaan IgM dipstick dapat

menggunakan serum dengan perbandingan 1:50 dan darah 1:25.

Selanjutnya diinkubasi 3 jam pada suhu kamar, kemudian bilas

dengan air, biarkan kering. Hasil dibaca jika ada warna berarti

positif dan hasil negatif jika tidak ada warna. Interpretasi hasil +1,

+2, +3 atau +4 (WHO,2003).

c) Metode Widal

Uji Widal adalah uji serologi yang tertua yang digunakan

untuk melacak kenaikan titer antibodi terhadap S.typhi. Tes

http://repository.unimus.ac.id

Page 15: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

15

tersebut telah dipakai sejak tahun 1896 oleh Felix Widal. Titer

antibodi tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum

berulang dalam dua cara, yaitu uji Widal tabung yang

membutuhkan waktu inkubasi semalam dan uji Widal slide yang

hanya memerlukan waktu lima menit. Saat ini uji Widal Slide lebih

banyak digunakan, karena alat yang dibutuhkan lebih sedikit dan

pemeriksaannya lebih cepat (Handojo, I, 2004).

Uji Widal dilakukan untuk deteksi antibodi terhadap

S. typhi. Pada uji Widal terjadi suatu reaksi aglutinasi antara

antigen S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin. Antigen

yang digunakan adalah suspensi Salmonella yang sudah dimatikan

dan diolah dilaboratorium. Maksud uji Widal adalah untuk

menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita tersangka

demam tifoid yaitu: (1) aglutinin O (dinding / lapisan luar bakteri);

(2) aglutinin H (flagella); dan (3) aglutinin Vi (kapsul) (Widodo,

D, 2006).

Demam tifoid hanya menggunakan aglutinin O dan H

untuk diagnosis. Semakin tinggi titernya, semakin besar

kemungkinan terinfeksi kuman ini. Pembentukan aglutinin terjadi

pada akhir minggu pertama, kemudian meningkat secara cepat dan

mencapai puncak pada minggu ke empat, dan tetap tinggi selama

beberapa minggu. Pada fase akut mula-mula timbul aglutinin O,

kemudian diikuti dengan aglutinin H (Antibodi O muncul pada hari

http://repository.unimus.ac.id

Page 16: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

16

ke 6-8, dan antibodi H muncul pada hari ke 10-12). Pada orang

yang sudah sembuh , aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4 –

6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 – 12

bulan. Oleh karena itu uji Widal bukan untuk menentukan

kesembuhan penyakit (Widodo, D, 2006).

Aglutinin serum meningkat tajam selama minggu kedua dan

ketiga pada infeksi Salmonella. Sedikitnya dua spesimen serum,

yang diambil dengan selang waktu 7-10 hari, dibutuhkan untuk

membuktikan adanya kenaikan titer antibodi. Interpretasi hasilnya

adalah sebagai berikut: (1) titer O yang tinggi atau meningkat (≥

1:160) menandakan adanya infeksi aktif; (2) titer H yang tinggi (≥

1:160) menunjukkan riwayat imunisasi atau infeksi masa lampau;

dan (3) titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi timbul pada

beberapa carrier. Hasil pemeriksaan serologi pada infeksi

Salmonella harus diinterpretasikan dengan hati-hati. Kemungkinan

adanya antibodi yang bereaksi silang, membatasi penggunaan

serologi dalam diagnosis infeksi Salmonella (Jawetz et al, 2008).

Hasil uji Widal yang negatif atau positif dengan titer rendah

pada stadium permulaan penyakit tidak dapat menyingkirkan

diagnosis demam tifoid. Apabila dikemudian hari penderita

sembuh karena pengobatan, titer aglutinin di dalam darah akan

dipertahankan selama beberapa bulan dan selanjutnya akan

menurun secara perlahan-lahan.Biasanya aglutinin O menghilang

http://repository.unimus.ac.id

Page 17: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

17

terlebih dahulu yang diikuti oleh aglutinin Vi dan H (Handojo, I,

2004).

Penyebab pengujian Widal menjadi negatif yaitu: (1) Tidak

terjadi infeksi Salmonella; (2) pasien karier sehat; (3) inokulum

antigen bakteri di dalam penjamu tidak adekuat untuk

mempengaruhi pembentukan antibodi; (4) adanya kesalahan atau

kesulitan teknis dalam melakukan pengujian; (5) pemberian

antibiotik sebelumnya; (6) adanya variabilitas antigen yang

tersedia secara komersial (Hardjoeno, 2003).

Penyebab pengujian Widal menjadi positif yaitu:(1) Pasien

memang menderita demam tifoid; (2) Riwayat vaksinasi; (3)

Reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella;

(4) Infeksi dengan malaria, dengue atau Enterobacteriaceae

lainnya (Juwono, R, 2000).

Interpretasi hasil uji Widal harus memperhatikan beberapa hal,

diantaranya adalah: (1) pengobatan dini dengan antibiotik; (2)

gangguan pembentukan antibodi, dan pemberian kortikosteroid; (3)

waktu pengambilan darah; (4) daerah endemik atau non-endemik;

(5) riwayat vaksinasi; (6) reaksi anamnestik, yaitu peningkatan titer

aglutinin pada infeksi bukan demam tifoid, akibat infeksi demam

tifoid masa lalu atau vaksinasi; dan 7) faktor teknik pemeriksaan

antar laboratorium, akibat aglutinasi silang, dan strain Salmonella

yang digunakan untuk suspensi antigen (Widodo, D, 2006).

http://repository.unimus.ac.id

Page 18: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

18

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa

faktor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit, faktor

penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat

mempengaruhi pembentukan antibodi, gambaran imunologis dari

masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis), faktor

antigen, serta reagen yang digunakan.Kelemahan uji Widal yaitu

rendahnya sensitivitas dan spesifitas serta sulitnya melakukan

interpretasi hasil membatasi penggunannya dalam penatalaksana

penderita demam tifoid, akan tetapi uji Widal yang positif akan

memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid

(penanda infeksi). Saat ini walaupun telah digunakan secara luas

diseluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit

dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai

standar aglutinasi (cut-off point) (Tumbelaka, A.R, 2005).

Uji Widal dapat memberikan informasi yang tidak adekuat

oleh karena antara lain: (1) S.typhi mempunyai antigen O dan

antigen H yang sama dengan Salmonella lainnya, maka kenaikan

titer antibodi ini tidak spesifik untuk S.typhi; (2) penentuan hasil

positif mungkin didasarkan atas titer antibodi dalam populasi

daerah endemis yang secara konstan terpapar dengan organisme

tersebut dan mempunyai titer antibodi mungkin lebih tinggi

daripada daerah non endemis pada orang yang tidak sakit

sekalipun;dan(3) tidak dihasilkannya antibodi terhadap Salmonella

http://repository.unimus.ac.id

Page 19: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

19

karena rendahnya stimulus yang dapat merangsang timbulnya

antibodi, sehingga produksi antibodi terganggu. Berdasarkan

kemungkinan-kemungkinan tersebut, maka walaupun secara

bakteriologik dinyatakan positif S.typhi, hasil uji Widal dapat

memberikan hasil negatif, sebaliknya hasil uji Widal negatif belum

dapat menyingkirkan diagnosis demam tifoid. Akan tetapi perlu

diperhatikan pula bahwa Salmonella serogrup D lainnya dan

beberapa organisme group A dan B memiliki antigen yang

digunakan pada uji Widal, oleh karena itu uji Widal tidak spesifik

untuk S.typhi saja (Muliawan dan Surjawidjaja,1999).

Pemeriksaan uji Widal yang perlu diperhatikan antara lain

adalah saat pengambilan spesimen, dan kenaikan titer aglutinin

terhadap antigen S.typhi . Pemeriksaan uji Widal memerlukan dua

kali pengambilan spesimen, yaitu pada masa akut dan masa

konvalesen dengan interval waktu 10-14 hari. Diagnosis

ditegakkan dengan melihat kenaikan titer ≥ 4 kali titer masa akut.

Pengambilan spesimen untuk pemeriksaan uji Widal dalam

pelaksaaan di lapangan ternyata hanya menggunakan spesimen

tunggal. Kenaikan titer aglutinin yang tinggi pada spesimen

tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut

merupakan infeksi baru atau lama, dengan demikian saat

pengambilan spesimen perlu diperhatikan, agar mendapatkan nilai

diagnostik yang diharapkan. Kenaikan titer aglutinin H tidak

http://repository.unimus.ac.id

Page 20: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

20

mempunyai arti diagnostik yang penting untuk demam tifoid,

namun masih dapat membantu dalam menegakkan diagnosis

tersangka demam tifoid pada penderita dewasa yang berasal dari

daerah non endemik atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di

daerah endemik, sebab kelompok penderita ini kemungkinan

mendapat kontak dengan S.typhi dalam dosis sub infeksi masih

amat kecil. Pemeriksaan antibodi H S.typhi pada daerah endemik

tidak dianjurkan, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O

S.typhi (Muliawan dan Surjawidjaja,1999).

d) Metode IMBI

IMBI merupakan uji semikuantitatif kolorimetrik yang

cepat (beberapa menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini untuk

mendeteksi demam tifoid akut yang disebabkan oleh S.typhi,

melalui deteksi spesifik adanya serum antibodi IgM terhadap

antigen S.typhi O9 LPS, dengan cara menghambat ikatan antara

IgM anti O9 yang terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna

dengan lipopolisakarida S.typhi yang terkonjugasi pada partikel

magnetik latex, selanjutnya ikatan inhibisi tersebut diseparasikan

oleh suatu daya magnetik. Tingkat inhibisi yang dihasilkan adalah

setara dengan konsentrasi antibodi IgM S.typhi dalam sampel.

Hasil dibaca secara visual dengan membandingkan warna akhir

reaksi terhadap skala warna. Spesifitas ditingkatkan dengan

http://repository.unimus.ac.id

Page 21: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

21

menggunakan antigen LPS-O9 S.typhi yang benar-benar spesifik

yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat

akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi

adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG. Hasil

positif uji IMBI ini menunjukkan terdapat infeksi Salmonella

serogroup D. Infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan hasil

negatif (Widodo, D, 2006).

Antigen O9 bersifat imunodominan sehingga dapat

merangsang respons imun secara independen terhadap timus dan

merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T, karena sifat-

sifat tersebut respon terhadap antigen O9 berlangsung cepat

sehingga deteksi terhadap anti-O9 dapat dilakukan lebih dini, yaitu

pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi

sekunder. Perlu diketahui bahwa uji IMBI hanya dapat mendeteksi

IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat

dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi masa

lampau (Widodo, D, 2006).

Pemeriksaan IMBI dilakukan dengan menggunakan tiga

macam komponen, meliputi: (1) tabung berbentuk V, yang juga

berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas: (2) reagen A (Brown

Reagent) yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi

dengan antigen S.typhi O9; dan (3) reagen B (Blue Reagent), yang

mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi dengan

http://repository.unimus.ac.id

Page 22: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

22

antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Interpretasi hasil

dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat

bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Berdasar warna inilah

ditentukan skor, dan diinterpretasikan hasilnya (Widodo, D, 2006).

Menurut Widodo (2006), pemeriksaan IMBI mempunyai

mekanisme reaksi yang dapat diterangkan sebagai berikut:

(1) Mekanisme Reaksi Negatif :

Apabila di dalam sampel serum tidak terdapat antibodi IgM

S.typhi, maka partikel lateks yang berlabel antibodi

monoklonal LPS-O9 (reagen B) langsung berikatan dengan

partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A). Daerah

medan magnet (magnet di dalam boks skala warna) ketika

diletakkan, maka komponen magnet yang dikandung reagen

A akan tertarik medan magnet, dengan membawa serta

pewarna yang dikandung reagen B. Proses tersebut terlihat

secara visual melalui perubahan warna dari biru ke merah

muda, background warna merah muda merupakan partikel

lateks merah, campuran dari reagen B yang tidak bereaksi

dengan partikel apapun. Mekanisme reaksi negatif dapat

dilihat pada gambar 4 berikut ini.

http://repository.unimus.ac.id

Page 23: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

23

Gambar 3. Mekanisme reaksi negatif IMBISumber:htpp://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)

(2) Mekanisme Reaksi Positif :

Apabila di dalam sampel serum terdapat antibodi IgM S.typhi,

maka antibodi IgM akan menghambat ikatan antara partikel

lateks yang berlabel antibodi monoklonal LPS-O9 (reagen B)

dengan partikel magnetik berlabel antigen LPS-O9 (reagen A)

dengan mengikat partikel magnetik lebih dulu, kemudian

ikatan antibodi IgM S.typhi dengan antigen LPS-O9 (reagen

A) akan tertarik magnet di dalam boks skala warna,

menyebabkan reagen B tidak tertarik magnet, dan memberikan

warna biru pada larutan.

http://repository.unimus.ac.id

Page 24: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

24

Mekanisme reaksi positif dapat dilihat pada gambar 5 berikut

ini.

Antibody coated indicator particle

Antigen coated magnetic

particle

Gambar 4. Mekanisme reaksi positif IMBI(Sumber:htpp://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)

Pada beberapa penelitian IMBI menyimpulkan bahwa tes

ini mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik daripada

uji Widal. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat

digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, dan

sederhana, terutama di negara berkembang (WHO, 2003).

http://repository.unimus.ac.id

Page 25: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

25

8. Kerangka Teori

Deteksi denganmetode Widal

Deteksi denganmetode IMBI

S.typhi ( demam tifoid)

Antigen OAntigen HAntigen Vi

Antibodi S.Typhi nonspesifik terhadap

antigen O somatik

Antibodi IgM S.typhiterhadap antigenS.typhi O9 LPS

Lama Demam Ig M (Lipopolisakarida)Ig G (antigen H)

Kesesuaian Widal dan IMBI

http://repository.unimus.ac.id

Page 26: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

26

9. Kerangka Konsep

10. HIPOTESIS

Ada perbedaan hasil pemeriksaan demam tifoid metode Widal dengan IMBI

Variabel Bebas

Metode PemeriksaanDemam Tifoid:

1. Metode Widal2. Metode IMBI

Variabel Penganggu

1. Keadaan bahan pemeriksaan

2. Jarak awal demam dengan waktu

pengambilan darah

Variabel Terikat

Kesesuaian HasilPemeriksaan

Demam Tifoid

http://repository.unimus.ac.id

Page 27: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

27

1) Interpretasi hasil

Pembacaan hasil harus dilakukan pada kondisi cahaya yang

baik, stabil dalam waktu 30 menit

Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan

campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga

kebiruan, seperti yang terlihat pada gambar 7 berikut ini.

Gambar 6. Hasil reaksi warna IMBI(Sumber :http://www.pacbiotekindo.co.id/products/tubextf.php)

Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang interpretasinya

dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2. Interpretasi Hasil IMBI

Skor Interpretasi Keterangan

< 2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi demam tifoidaktif

3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan.Ulangi pengujian, apabila masihmeragukan, lakukan sampling ulangbeberapa hari kemudian

4 - 5 Positif Menunjukkan infeksi demam tifoid aktif

>6 Positif Indikasi kuat infeksi demam tifoid

Sumber : Widodo, D, 2006

http://repository.unimus.ac.id

Page 28: BAB II - repository.unimus.ac.idrepository.unimus.ac.id/415/3/BAB II.pdf · puncaknya pada minggu kelima sejak timbulnya febris dan bertahan selama beberapa bulan kemudian menurun

28

A. Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil pemeriksaan demam tifoid dianalisis

secara deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel. Kemudian data tersebut

dianalisis terhadap sensitifitas dan spesifitasnya, serta persentase tingkat

positifitasnya, selanjutnya data dianalisis untuk menguji hipotesis.

Sensitifitas : Positif benar x 100

Positif benar + Negatif Palsu

Spesifitas : Negatif Benar x 100

Positif palsu + Negatif Benar

Sumber : Wardani R.S, 2015

http://repository.unimus.ac.id