bab ii
DESCRIPTION
m,mTRANSCRIPT
-
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Malaria
2.1.1 Definisi
Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang
disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas
tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepatosplenomegali.
2.1.2 Epidemiologi
Malaria merupakan masalah seluruh dunia dengan transmisi yang
terjadi di lebih dari 100 negara dengan jumlah populasi keseluruhan 1,6 juta
orang. Daerah transmisi utama adalah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.
Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis
dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular
malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 - 2010, prevalensi
malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % menjadi 0,6%. Sementara itu
berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka
kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000
penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun
2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria
mencapai 1,3%. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur
Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara
Timur (4,4%).
Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.
falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di
beberapa provinsi antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.
P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun
-
15
2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat
menginfeksi manusia dimana sebelumnya hanya menginfeksi hewan
primata/monyet dan sampai saat ini masih terus diteliti.
Berikut merupakan daerah resiko tinggi malaria:
1. NAD
Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Utara, Biereun, Bener Meriah, Pidie,
Sabang, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh
Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Singkil,
Siemeulu
2. Sumatera Utara
Tanjung Balai, Sibolga, Langkat, Asahan, Tapanuli Selatan, Mandailing
Natal, Nias, Nias Selatan, Serdang Bedagai
3. Sumatera Barat
Pesisir Selatan, Sawah Lunto / Sijunjung, Solok Selatan
4. Sumatera Selatan
OKU, Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, Prabumulih, Lubuk Linggau,
Banyuasin, OKU Selatan
5. Bangka Belitung
Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Pangkal
Pinang, Belitung, Belitung Timur
6. Bengkulu
Bengkulu Utara Bengkulu Selatan, Muko-muko, Seluma, Lebong
7. Riau
Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Bengkalis,
Dumai, Rokan Hilir, Siak
8. Kepulauan Riau
Karimun, Kepulauan Riau, Batam, Natuna, Tanjung Pinang, Lingga
9. Jambi
Batanghari, Muaro Jambi, Merangin
10. Lampung
Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus
-
16
11. Banten
Lebak, Pandeglang
12. Jawa Barat
Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Ciamis
13. Jawa Tengah
Jepara, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Wonosobo, Purworejo,
Kebumen
14. DI Yogyakarta
Kulon Progo, Sleman
15. Jawa Timur
Kab Madiun, Pacitan, Trenggalek
16. Kalimantan Barat
Pontianak, Landak, Bengkayang, Sanggau, Kapuas Hulu, Ketapang,
Melawi
17. Kalimantan Selatan
Banjar Baru, Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Tanah laut, Barito
Kuala, Kota Baru, Tanah Bumbu
18. Kalimantan Timur
Kutai Barat, Pasir, Nunukan, Bulungan, Panajam Paser Utara
19. Kalimantan Tengah
Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Palangkaraya, Barito
Selatan, Sukamara, Murung Raya
20. Sulawesi Utara
Minahasa, Bitung, Sangie, Bolmong, Talaut
21. Gorontalo
Kab Gorontalo
22. Sulawesi Tengah
Donggala, Parigi Mautong, Banggai, Banggai Kep
23. Sulawesi Selatan
Selayar
24. Sulawesi Barat
-
17
Mamuju Utara, Majene
25. Sulawesi Tenggara
Kolaka
26. Nusa Tenggara Barat
Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa
Barat, Dompu, Kab Bima, Kota Bima
27. Nusa Tenggara Timur
Kota Kupang, Kab Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Timor
Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada,
Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat, Lembata
28. Maluku
Pulau Buru, Maluku Tengah, Ambon, Maluku Tenggara, Maluku
Tenggara Barat, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Aru
29. Maluku Utara
Ternate, Halmahera Utara, Halmahera Barat, Halmahera Selatan,
Kepulauan Sula, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Tidore
30. Papua
Biak Numfor, Supiori, Yapen, Kab Jayapura, Kota Jayapura, Paniai,
Asmat, Boven Digul, Nabire, Jayawijaya, Keerom, Mimika, Mappi,
Pegunungan Bintang, Sarmi, Tolikara, Waropen, Yahukimo
31. Irian Jaya Barat
Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Kota Sorong, Raja Ampat, Kab
Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama
2.1.3 Etiologi
Malaria disebabkan oleh Plasmodium, protozoa intraseluler, yang
ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina pada manusia. Sebelum tahun
2004, hanya 4 spesies Plasmodium yang diketahui menyebabkan malaria
pada manusia: P. falciparum, P. malariae, P. ovale, dan P. vivax. Pada
tahun 2004 P. knowlesi (spesies malaria primata) juga terbukti
menyebabkan malaria manusia, dan kasus infeksi P. knowlesi telah tercatat
-
18
di Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina. Malaria juga dapat
ditularkan melalui transfusi darah, penggunaan jarum terkontaminasi, dan
dari seorang wanita hamil untuk janinnya.
Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropikana, Plasmodium
vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium ovale menyebabkan
malaria ovale, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana.
2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium dan Patogenesis
Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural
infection) melalui gigitan nyamuk anophelles, (2) oenularan bukan alamiah
yaitu malaria bawaan (kongenital) dan penularan secara mekanik melalui
transfusi darah atau jarum suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit
malaria, baik dengan maupun tanpa gejala klinis.
A. Siklus Hidup Plasmodium
Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya,
yaitu manusia dan nyamuk Anopheles betina (lihat Gambar 1).
Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium
-
19
1. Siklus Pada Manusia
Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,
sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam
peredaran darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit
akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian
berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000
merozoit hati (tergantung spesiesnya).
Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama
lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit
hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi
bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal
di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada
suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga
dapat menimbulkan relaps (kambuh).
Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke
peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah
merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon
(8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual
ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah
dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.
Siklus ini disebut siklus eritrositer.
Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian
merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium
seksual (gametosit jantan dan betina). Pada spesies lain siklus ini terjadi
secara bersamaan. Hal ini terkait dengan waktu dan jenis pengobatan
untuk eradikasi.
Siklus P. knowlesi pada manusia masih dalam penelitian.
Reservoar utama Plasmodium ini adalah kera ekor panjang (Macaca sp).
Kera ekor panjang ini banyak ditemukan di hutan-hutan Asia termasuk
-
20
Indonesia. Pengetahuan mengenai siklus parasit tersebut lebih banyak
dipahami pada kera dibanding manusia.
2. Siklus pada nyamuk anopheles betina
Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang
mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina
melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi
ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding
luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya
menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke
manusia.
Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan
demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium.
Masa inkubasi malaria:
Masa inkubasi 9-30 hari tergantung pada spesies parasit paling pendek
pada P. falciparum dan paling panjang P. malariae.
Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing
spesies parasit untuk P. falciparum 12 hari, P. vivax dan P. ovale 13-17
hari, P. malariae 28-30 hari.
Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke
tubuh manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah
dengan pemeriksaan mikroskopik.
B. Patogenesis
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah
yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan
merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan
IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke
hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi
demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu
-
21
yang bebeda-beda. Plasmodium falciparum memerlukan waktu 36-48
jam, P. vivax/P. ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P.
falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P. ovale selang waktu satu
hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.
Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi
maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium vivax dan P. ovale hanya
menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari
seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel
darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah.
Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax , P. ovale dan P.
malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Plasmodium falciparum
menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi
pada infeksi akut dan kronis.
Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium
dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel
radang ini akan menyebabkan limpa membesar.
Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang
khusus. Eritrosit yang terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses
sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke
pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit
yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen P.
falciparum. Sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain) yang diproduksi oleh sel
makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya
reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan
reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses sitoadherensi. Akibat dari
proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler
yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini
juga didukung oleh proses terbentuknya rosette, yaitu bergerombolnya
sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya.
Pada proses sitoadherensi ini juga terjadi proses imunologik yaitu
terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, IL-6 dan lain
-
22
lain), dimana mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan
fungsi pada jaringan tertentu (lihat Gambar 2).
Gambar 2. Patofisiologi Sitoadheren
Untuk P. vivax dan Plasmodium lainnya diduga ada mekanisme
tersendiri yang perlu penelitian lebih lanjut.
2.1.5 Manifestasi Klinis
Anak-anak dan orang dewasa tidak menunjukkan gejala selama fase
awal infeksi, masa inkubasi infeksi malaria. Periode inkubasi yang biasa 9-
14 hari untuk P. falciparum, 12-17 hari untuk P. vivax, 16-18 hari untuk P.
ovale, dan 18-40 hari untuk P. malariae. Masa inkubasi bisa selama 6-12
bulan untuk P. vivax dan juga dapat diperpanjang untuk pasien dengan
kekebalan parsial atau kemoprofilaksis tidak lengkap. Gejala prodromal
berlangsung 2-3 hari pada beberapa pasien sebelum parasit terdeteksi dalam
darah. Gejala prodromal termasuk sakit kepala, kelelahan, anoreksia,
mialgia, demam ringan, dan nyeri di dada, perut, dan sendi.
Gejala paroksismal ditandai dengan demam tinggi, berkeringat, dan
sakit kepala, serta myalgia, sakit punggung, sakit perut, mual, muntah, diare,
pucat, dan penyakit kuning. Gejala paroksismal dari rupturnya skizon yang
terjadi setiap 48 jam pada P. vivax dan P. ovale, mengakibatkan lonjakan
-
23
demam setiap hari. Pecahnya skizon terjadi setiap 72 jam dengan P.
malariae, sehingga demam setiap hari 3 atau 4. Pada P. falciparum dan
infeksi campuran mungkin tidak terlihat pada awal infeksi. Pasien dengan
infeksi primer, seperti wisatawan dari daerah nonendemik, mungkin juga
memiliki episode gejala yang tidak teratur selama 2-3 hari sebelum muncul
gejala paroksismal yang teratur. Anak-anak dengan malaria sering memiliki
gejala yang tidak spesifik, termasuk demam (mungkin tidak terlalu tinggi
tetapi sering lebih besar dari 104 F), sakit kepala, mengantuk, anoreksia,
mual, muntah, dan diare. Tanda-tanda fisik yang khas mungkin termasuk
splenomegali (umum), hepatomegali, dan pucat karena anemia. Hasil
laboratorium yang ditemukan, yaitu anemia, trombositopenia, dan jumlah
leukosit normal atau rendah. Laju endap darah (LED) seringkali meningkat.
P. falciparum adalah bentuk yang paling berat dari malaria dan
berhubungan dengan kepadatan parasitemia yang lebih tinggi dan sejumlah
komplikasi. Komplikasi serius yang paling umum adalah anemia berat, yang
juga berhubungan dengan spesies malaria lainnya. Komplikasi serius yang
muncul pada P. falciparum adalah malaria cerebral, gagal ginjal akut,
gangguan pernapasan dari asidosis metabolik, algid malaria dan diatesis
perdarahan. Diagnosis P. falciparum malaria dalam individu nonimmune
merupakan keadaan darurat medis. Komplikasi parah dan kematian dapat
terjadi jika terapi yang tepat tidak dilembagakan segera. Berbeda dengan
malaria yang disebabkan oleh P. ovale, P. vivax, dan P. malariae, yang
biasanya menghasilkan pertumbuhan parasit kurang dari 2%, malaria
disebabkan oleh P. falciparum dapat dikaitkan dengan tingkat parasitemia
setinggi 60%. P. falciparum menginfeksi eritrosit baik dewasa dan matang,
sementara P. ovale dan P. vivax terutama menginfeksi eritrosit dewasa dan
P. malariae hanya menginfeksi eritrosit matang. Seperti P. falciparum, P.
knowlesi memiliki siklus replikasi 24 jam dan juga dapat menyebabkan
kepadatan parasitemia yang sangat tinggi.
P. vivax dianggap tidak lebih berat dari P. falciparum, namun laporan
terbaru menunjukkan bahwa di beberapa daerah di Indonesia sering menjadi
-
24
berat dan menyebabkan kematian seperti P. falciparum. Penyakit yang berat
dan kematian yang disebabkan P. vivax biasanya karena anemia berat dan
kadang-kadang ruptur limpa. P. ovale mirip dengan P. vivax. P. malariae
merupakan malaria yang paling ringan dan paling kronis dari semua infeksi
malaria. Sindrom nefrotik merupakan komplikasi yang jarang dari infeksi P.
malariae. Sindrom nefrotik berhubungan dengan infeksi P. malariae yang
kurang responsif terhadap steroid.
2.1.6 Diagnosis
A. Anamnesis
Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian, ke
daerah endemis malaria.
Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri
daerah perut, pucat, mialgia, dan atralgia.
Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi
periode bebas demam. Sebelum demam pasien merasa lemah, nyeri
kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.
Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis
Plasmodium), demam terus-menerus (tanpa interval).
Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.
Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium
demam (hot stage), dan stadium berkeringat (sweating stage).
Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali
bermanifestasi sebagai kejang.
C. Pemeriksaan Fisik
Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah atau diare, ikterus, dan
hepatosplenomegali.
-
25
Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum,
disertai satu atau lebih kelainan sebagai berikut:
- hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasit
- malaria serebral dengan kesadaran menurun
- anemia berat, kadar hemoglobin 50 mg/dl
- hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin
- gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis
-
26
2.1.7 Tatalaksana
A. Medikamentosa
Untuk semua spesies Plasmodium, kecuali P. falciparum yang resisten
terhadap klorokuin:
- Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kgBB terbagi dalam 3 hari yaitu 10
mg/kgBB pada hari ke-1 dan 2, serta 5 mg/kgBB hari ke-3
- Kina dihidroklorid intravena 1mg garam/kgBB/dosis dalam 10
cc/kgBB larutan dekstrosa 5% atau larutan NaCl 0,9% diberikan
per infus dalam 4 jam, diulangi tiap 8 jam dengan dosis yang sama
sampai terapi oral dapat dimulai. Keseluruhan pemberian obat
adalah 7 hari dengan dosis total 21 kali.
Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin:
- Kuinin sulfat oral 10 mg/kgBB/dosis, 3 kali sehari, selama 7 hari.
Dosis untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian
selama 7 hari.
- Ditambah tetrasiklin oral 5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari selama 7
hari (maks. 4x250 mg/hari)
Regimen alternatif
- Kuinin sulfat oral
- Kuinin dihidroklorid intravena ditambah Pirimetamin sulfadoksin
(fansidar) oral
Umur (tahun) Pirimetamin sulfadoksin (tablet)
14 3
Pencegahan relaps
- Primakuin fosfat oral
-
27
- Malaria falciparum: 0,5-0,75 mg basa/kgBB, dosis tunggal, pada
hari pertama pengobatan
- Malaria vivax, malariae, dan ovale: 0,25 mg/kgBB, dosis tunggal
selama 5-14 hari
B. Suportif
Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah
Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan
pemberian oral atau parenteral
Pelihara keadaan nutrisi
Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgBB atau whole blood 20
ml/kgBB apabila anemia dengan Hb 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat
diberikan lebih awal
D. Indikasi Rawat
Semua kasus malaria berat atau dengan komplikasi harus dirawat
E. Pemantauan
-
28
Efektifitas pengobatan antimalaria dinilai berdasarkan respon klinis dan
pemeriksaan parasitologis.
Kegagalan pengobatan dini, bila penyakit berkembang menjadi:
- Malaria berat hari ke-1, 2, 3 dan dijumpai parasitemia, atau
- Parasitemia hari ke-3 dengan suhu aksila >37,5oC
Kegagalan pengobatan lanjut, bila perkembangan penyakit pada hari
ke-4 28; secara klinis dan parasitologis:
- Adanya malaria berat setelah hari ke-3 dan parasitemia
- Adanya parasitemia pada hari ke-7, 14, 21, dan 28
- Suhu aksila 37,5oC pada hari ke-4 28 tanpa ada
kriteria kegagalan pengobatan dini
Respons klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya
tidak berkembang menjadi kegagalan butir no. 1 dan 2, dan tidak ada
parasitemia.
2.1.8 Komplikasi
Pada P. falciparum dapat menjadi:
- Malaria serebral
- Black water fever (hemoglobinuria masif)
- Malaria algida (syok)
- Malaria biliosa (gangguan fungsi hati)
Pada P. malariae dapat terjadi penyulit sindrom nefrotik
2.1.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
-
29
2.2. Diare Akut
2.2.1 Definisi
Diare adalah pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi 3x/hari
disertai perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair) dengan atau tanpa
disertai muntah. Selain itu, diare juga dapat diartikan ketika ibu merasakan
adanya perubahan konsistensi dan frekuensi BAB. Hal ini dikarenakan pada
bayi terutama yang belum mendapat makanan tambahan dan hanya
mendapat ASI eksklusif, BAB dapat mencapai 6 sampai 8 kali perhari
dengan feses encer dengan ada bagian padat dan berbau asam.
2.2.2 Etiologi
Kebanyakan kasus diare ( 85%) disebabkan oleh Rotavirus, ETEC,
dan tidak ditemukan mikroorganisme penyebab. Sisanya ( 15%)
disebabkan bakteri lainnya, virus lainnya, parasit, malabsorpsi makanan,
alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi, dan lain-lain. Jadi
kebanyakan penyebab diare tidak memerlukan antimikroba/antibiotik untuk
mengatasinya.
Kebanyakan kasus diare ( 80%) disebabkan oleh agen infeksi,
dimana 1/3 kasus ( 30%) diare di masyarakat disebabkan oleh rotavirus.
Separuh ( 50%) kasus diare yang dirawat di RS disebabkan oleh rotavirus,
menunjukkan diare karena rotavirus menimbulkan dehidrasi yang lebih
berat. Hanya sekitar 10% disebabkan oleh agen makanan, yakni pada kasus
keracunan, malabsorpsi, intoleransi, ataupun alergi.
Diare dapat disebabkan agen penyebab infeksi, yakni virus, bakteri,
parasit dan jamur. Golongan virus, yakni Rotavirus, virus Norwalk,
Norwalk like virus, Astrovirus, Calcivirus, dan Adenovirus.
Golongan bakteri, yakni Escherichia coli (EPEC, ETEC, EHEC,
EIEC), Salmonella, Shigella, Vibrio cholera 01, Clostridium difficile,
Aeromonas hydrophilia, Plesiomonas shigelloides, Yersinia enterocolitis,
Campilobacter jejuni, Staphilococcus aureus, dan Clostridium botulinum.
Golongan parasit, yakni Entamoeba histolytica, Dientamoeba fragilis,
-
30
Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Cyclospora sp, Isospora belli,
Blastocystis hominis, dan Enterobius vermicularis. Golongan cacing, yakni
Strongiloides stercoralis, Capillaria philippinensis, dan Trichinella spiralis.
Golongan jamur, yakni Candidiasis, Zygomycosis, dan Coccidioidomycosis.
Walaupun agen infeksi yang menyebabkan diare banyak jumlahnya, tetapi
secara klinis WHO hanya membagi diare akut menjadis diare akut, disentri,
dan kolera.
Beberapa penyakit penyerta dapat menyertai diare. Pada diare akut
penyakit penyerta terbanyak adalah Sepsis (27,20 %) terutama pada bayi
yang berumur kurang 2 bulan, bronkopneumoni (23,53%), dan malnutrisi
(19,12 %). Penyakit penyerta adalah penyakit yang terjadi bersamaan
dengan penyakit diare. Beberapa penyakit dapat menyerang sistem lainnya
disamping sistem traktus digestivus, misalnya infeksi enterovirus 40-41,
virus campak, rota virus (sangat jarang) dikaitkan dengan gejala saluran
cerna dan nafas. Beberapa penyakit lainnya memiliki gejala dominan di
sistem lainnya, sementara gejala sistem digestif hanya sebagai penyerta,
misalnya pada ensefalitis dan meningitis. Pada yang terakhir, diduga
gangguan GIT (misalnya diare) terjadi karena (1) adanya sitokin-sitokin
yang dilepaskan oleh reaksi peradangan yang mempengaruhi sistem digestif
atau (2) tidak optimalnya kerja enzim-enzim pencernaan akibat hipertermi.
2.2.3 Klasifikasi
Diare akut adalah kumpulan penyakit dengan gejala diare, berupa
defekasi dengan tinja cair/lembek dengan atau tanpa darah dan lendir
dengan frekuensi 3 kali/hari atau lebih, berlangsung kurang dari 14 hari dan
frekuensi kurang dari 4x/bulan. Batasan akut menurut Arasu lebih lama
yakni 28 hari. Secara praktis WHO membedakan diare akut ke dalam 3
kelompok, yakni diare akut, kolera, dan disentri. Kasus yang bukan kolera
dan disentri dikelompokkan menjadi diare akut.
Pada yang kronis dapat dibedakan menjadi diare persisten dan diare
kronis. Diare persisten lebih ditujukan untuk diare akut yang melanjut lebih
-
31
dari 14 hari, yang umumnya disebabkan agen infeksi. Diare kronis lebih
ditujukan untuk diare yang hilang timbul yang sering terjadi berulang atau
diare akut dengan gejala yang ringan yang melanjut lebih 14 hari, yang
umumnya disebabkan oleh non infeksi. Rerata (95%) diare akut terjadi
dalam 3-5 hari, karena itu diare akut yang melanjut lebih dari 7 hari (disebut
prolong diarrhea) harus diketahui agen penyebabnya.
Berdasarkan patogenesisnya, diare dibagi menjadi diare sekretorik
atau diare osmotik. Berdasarkan derajat dehidrasinya, diare dibagi menjadi
diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan sedang dan diare
dengan dehidrasi berat.
Berdasarkan manifestasi klinis, dibagi menjadi tiga, yakni disentri,
kolera, dan diare akut (bukan disentri maupun kolera). Klasifikasi
berdasarkan manifestasi klinis, ditujukan untuk penggunaan antimikroba,
dimana pada kolera dan disentri diberikan antibotika. Secara sederhana
setiap diare akut yang disertai darah dan atau lendir/pus dapat dianggap
disentri yang disebabkan oleh shigelosis, sampai terbukti lain. Kolera
mempunyai manifestasi klinis khas, yakni diare profus, seperti cucian air
beras, berbau khas seperti bayklin/sperma, umur anak 3 tahun ke atas
(terutama di atas 5 tahun), adanya kejadian luar biasa dimana pada awal
serangan menyerang orang dewasa baru kemudian menyerang anak.
Berdasarkan derajat dehidrasi, dibagi menjadi tanpa dehidrasi, ringan-
sedang, dan berat. Klasifikasi dehidrasi sesuai kehilangan cairan yang telah
terjadi (PWL= provious water loss). PWL yang 0.5% penurunan barat badan
(BB) tidak berdampak pada derajat dehidrasi (tanpa dehidrasi). Kehilangan
cairan hingga 3% BB masih dapat dikompensasi oleh tubuh sehingga tidak
terjadi tanda-tanda dehidrasi. PWL yang 5-10% penurunan BB berdampak
pada tanda-tanda klinis dehidrasi ringan-sedang. PWL yang 10-15%
penurunan BB berdampak pada tanda-tanda klinis dehidrasi berat. PWL
yang lebih dari 15% menyebabkan kematian ataupun syok. Pada anak yang
lebih besar karena komposisi cairan tubuh, terutama CES, lebih sedikit
maka PWL sebesar 9% BB bisa menimbulkan dehidrasi berat. Derajat
-
32
dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan gambaran klinis anak yang
menderita diare, yang menurut MTBS (manajemen terpadu balita sakit)
berdasarkan keadaan umum, kelopak mata, rasa haus, dan turgor.
Derajat dehidrasi yang dihubungkan kehilangan BB:
Beberapa patokan yang dapat digunakan untuk menentukan derajat
dehidrasi:
Program P2 Diare
Penilaian ini sedikit lebih rumit, tetapi lebih baik dalam menentukan
derajat dehidrasi dibandingkan MTBS. Penilaian ini mirip dengan MTBS,
tetapi terdapat penambahan penilaian air mata dan keadaan mukosa mulut
dan lidah.
PENILAIAN A B C
1. Lihat
Keadaan
umum
Baik, sadar *gelisah, rewel *lesu, lunglai atau tidak
sadar
Mata Normal Cekung sangat cekung atau
kering
Air mata Ada tidak ada tidak ada
Mulut dan
lidah
Basah Kering sangat kering
Rasa haus minum biasa,
tidak haus
*haus, ingin
minum banyak
*malas minum atau
tidak bisa minum
-
33
2. Periksa
- Turgor kulit kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat lambat
3. Derajat
dehidrasi
tanpa
dehidrasi
dehidrasi ringan-
sedang
Bila ada 1 tanda*
ditambah
1 atau lebih tanda
lain
dehidrasi berat
Bila ada 1 tanda*
ditambah 1 atau lebih
tanda lain
Gejala Klinis
Gejala
Klinis Derajat Dehidrasi
Tanpa Dehidrasi Ringan-Sedang Berat
Keadaan
umum
Kesadaran Baik Gelisah, rewel Apatis-koma
Rasa haus + +++ -
Nadi
(x/menit) Normal ( 6 jam)
-
34
2.2.4 Patofisiologi
Patofisiologi dasar terjadinya diare adalah absorpsi yang berkurang
dan atau sekresi yang meningkat. Beberapa mekanisme yang mendasarinya
adalah mekanisme sekretorik (diare sekretorik), mekanisme osmotik (diare
osmotik), dan campuran. Prinsip dasar infeksi oleh bakteri adalah
kemampuan bakteri mengeluarkan toksin-toksin, yang dapat bertindak
sebagai reseptor untuk melekat pada enterosit, merusak membran enterosit
dan kemudian menghancurkannya (sitolitik, disebut sitotoksin),
mengaktifkan second messenger intraseluler sehingga terjadi peningkatan
sekresi (disebut enterotoksin), dan merusak/merangsang sistem persarafan
(disebut neurotoksin). Pada infeksi bakteri, kerusakan sel dapat terjadi
tergantung jenis bakteri yang menginvasi, tetapi dapat pula entrositnya
utuh/tidak rusak. Jika enterositnya tidak rusak maka diare yang
ditimbulkannnya adalah diare sekresi. Jika enterositnya rusak maka
disamping diare sekresi juga dapat terjadi diare osmotik (tergantung pada
tingkat kerusakan enterosit). Prinsip dasar diare karena virus adalah invasi
virus ke dalam enterosit untuk berkembang biak sehingga enterosit lisis.
Lisisnya enterosit menyebabkan gangguan pada villi (pemendekan pada
villi) sehingga menyebabkan kripta hipertropi dan hiperplasi.
Diare Sekretori
Diare terjadi akibat aktifnya pompa: yang bekerja mengeluarkan
elektrolit dan air ke lumen usus. Biasanya pompa yang terangsang adalah
pompa clorida. Pompa ini terangsang karena adanya rangsangan mediator-
mediator intraseluler (second messengger) yang terangsang karena toksin
bakteri.
Beberapa bakteri mengeluarkan enterotoksin tanpa invasi maupun
merusak struktur mukosa usus. Bakteri ini menempel di sel, kemudian
mengeluarkan enterotoksin yang mengikat reseptor mukosa yang spesifik
yang kemudian meningkatkan aktifitas mediator intraseluler (second
messenger). Meningkatnya aktifitas mediator intraseluler menyebabkan
terjadinya peningkatan sekresi. Contohnya adalah Vibrio cholera, dimana
-
35
bakteri berkembang dalam usus kecil, kemudian melakukan perlengketan
pada enterosit, kemudian mengeluarkan enterotoksin yang merangsang
mediator intraseluler, sehingga terjadi peningkatan sekresi cairan. ETEC
mengeluarkan toksin labil panas (LT, termasuk enterotoksin) yang
kemudian berikatan dengan reseptor membran apikal enterosit, yang akan
mengaktivasi GMP siklik intraseluler yang memacu sekresi Cl dan
menghambat absorbsi Na. EPEC melakukan perlengketan tanpa
menimbulkan kerusakan pada mukosa dan tanpa pengeluaran enterotoksin,
terjadi kerusakan pada mikrovilli, yang mengakibatkan gangguan absorpsi.
Beberapa kuman melakukan invasi, menimbulkan reaksi radang, dan
menyebabkan destruksi enterosit, diantaranya Shigella, EIEC, EHEC,
Yersinis enterocolitica, Campylobacter, Entamoeba histolytica. Infeksi
dapat terbatas pada usus kecil atau kolon, tetapi dengan cepat menimbulkan
kolitis dengan ulserasi pada mukosa superfisial dan keluhan mengejan,
tenesmus, dan tinja berlendir dan berdarah. EIEC mengeluarkan toksin yang
akan menhancurkan enterosit, mirip dengan Shigella. EHEC mengeluarkan
toksin yang menyebabkan sembab dan perdarahan difus di kolon dan dapat
menimbulkan SHU. Beberapa kuman selain melakukan invasi juga
melakukan penetrasi ke lamina propria dan sistemik, contoh Salmonella.
Jadi, walaupun bakteri menyebabkan diare sekresi, tetapi beberapa bakteri
menyebabkan kerusakan mukosa/enterosit, sehingga juga terjadi diare
osmotik.
Beberapa mekanisme spesifik bakteri
Escherichia coli: Kebanyakan sebagai flora normal, tetapi ada 4 yang
virulen, yakni EPEC (Enterophatogenic E Coli), ETEC (Enterotoxigenic E
Coli), EIEC (Enteroinvasive E Coli), dan EHEC (Enterohemorrhagic E
Coli). EPEC dan ETEC melekat pada enterosit duodenum dan jejenum
tanpa melakukan invasi. EPEC mengeluarkan toksin yang dapat merusak
mikrovilli dan diduga mengurangi absorpsi dan meningkatkan sekresi cairan
dan elektrolit sehingga terjadi gangguan digesti dan absorpsi makanan dan
diare sekresi. EPEC berperan untuk terjadinya diare persisten. ETEC
-
36
memproduksi toksin stabil (ST) dan labil (LT). Mekanisme terjadinya diare
mirip kolera. EIEC dan EHEC menyebabkan kerusakan pada kolon, jarang
pada ileum terminal. Patogensis EIEC mirip Shigella. EHEC (hampir
seluruhnya O157:H7) tidak menginvasi dan tidak mengeluarkan
enterotoksin, tetapi menghasilkan sitotoksin yang merusak sel-sel epitel
sekum, kolon, dan kadang ileum terminal. Bakteri ini juga menghasilkan
verotoksin yang merusak sel endotel vaskuler menyebabkan hemolisis,
trombosis, dan HUS (sindrom hemolitik uremik).
Salmonella: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon, melakukan
invasi ke sel epitel mukosa usus, kemudian invasi ke lamina propria (tidak
menimbulkan kerusakan yang luas, hanya sedikit lapisan efitel yang rusak).
Bakteri memproduksi heat-labile cholera like enterotoxin. Terjadi infiltrasi
sel-sel radang, dan sintesis prostaglandin. Bakteri kemudian meng-invasi
plaque peyeri, penyebaran ke KGB mesenterium sehingga terjadi
hipertrophi, mengakibatkan penurunan aliran darah ke mukosa, sehingga
terjadi nekrosis mukosa. Nekrosis mukosa menimbulkan ulkus menggaung,
sehingga eritrosit dan plasma keluar ke lumen menyebabkan tinja
bercampur darah.
Shigella dan EIEC: Bakteri berkolonisasi di ileum terminalis/kolon
(terutama kolon distal), melakukan invasi ke sel epitel mukosa usus. Di
enterosit, bakteri bermultiplikasi, kemudian melakukan penyebaran ke
enterosit-enterosit sekitarnya. Bakteri memproduksi enterotoksin yang akan
meningkatkan aktifitas cAMP sehingga terjadi hipersekresi usus (diare
sekresi). Bakteri juga memproduksi eksotoksin yang bersifat sitotoksik,
yang menyebabkan infiltrasi sel radang, terjadi nekrosis sel epitel mukosa
sehingga terbentuk ulkus kecil yang melebar. Adanya ulkus menyebabkan
eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus, sehinga tinja bercampur darah.
Bakteri (terutama pada infeksi S. dysenteriae serotype I) kadang dapat
meng-invasi lamina propia, sehingga terjadi bakteremia.
-
37
Campylobacter jejuni: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon,
kemudian meng-invasi sel epitel mukosa usus. Invasi berlanjut ke lamina
propria, menimbulkan infiltrasi sel-sel radang dan pelepasan prostaglandin.
Bakteri memproduksi heat-stabile cholera-like enterotoxin. Bakteri diduga
juga memproduksi sitotoksin, menyebabkan nekrosis mukosa sehingga
terbentuk ulkus. Adanya ulkus menyebabkan eritrosit dan plasma keluar ke
lumen sehingga tinja bercampur darah. Jika bakteri masuk ke sirkulasi dapat
menyebabkan bakteremia.
Vibrio cholera: Bakteri yang lolos dari asam lambung, akan bermultiplikasi
di lumen usus yang bersifat basa. Bakteri mengasilkan suatu protein yang
dapat melekatkan dirinya pada enterosit. Kemudian bakteri menghasilkan
enzim adenylate cyclase, yang mengubah ATP menjadi cAMP, sehingga
terjadi sekresi Cl di kripta dan hambatan absorbsi Na+ di villus, yang
menyebabkan sekresi air, garam, dan basa.
Clostridium difficile: Bakteri anaerob gram positif ini menghasilkan
sitotoksin dan enterotoksin (toksin A dan B). Komensal di tubuh, terutama
pada bayi, menimbulkan kolitis (pseudomembran) yang umumnya terkait
pemakaian antibiotik. Sekitar 20-30% AAD (antibiotic asociated diarrhoea)
disebabkan oleh C difficile.
Yersinia enterocolitis: Bakteri patogen invasif ini menyebabkan diare akut
dan kronis pada anak. Kelainan di ileum terminalis berupa nodul-nodul,
penebalan mukosa, dan ulkus aftae mirip penyakit Chron. Pada anak yang
besar dan dewasa menyebabkan adenitis mesentrik.
Campylobacter jejuni: Bakteri ini invasif pada kolon dan ileum.
Menimbulkan peradangan usus dan dapat terjadi bateriemia. Masa inkubasi
2-11 hari, kemudian timbul panas, nyeri abdomen (biasanya sekitar pusat),
diare dengan tinja berbau busuk.
Diare Osmotik
-
38
Diare terjadi karena tidak dicernanya bahan makanan secara
maksimal, akibat dari insufisiensi sistem enzim atau terjadi Short Bowel
syndrome. Makanan dicerna sebagian, sisanya akan menimbulkan beban
osmotik (meningkatkan tekanan osmotik) intraluminal bagian distal. Hal ini
memicu pergerakan cairan intravaskuler ke intraluminal, sehingga terjadi
okumulasi cairan dan sisa makanan. Di kolon, sisa makanan tersebut akan
didekomposisi oleh bakteri-bakteri kolon. Polisakarida didekomposisi
menjadi asam lemak rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain. Protein
menjdi amoniak, dan lain-lain. Adanya bahanbahan makanan yang telah
dikomposisi ini menyebabkan tekanan osmotik intraluminal kolon akan
lebih meningkat lagi, sehingga sejumlah cairan akan tertarik ke intra luminal
kolon, sehingga terjadi diare osmotik. Asam-asam lemak rantai pendek yang
terbentuk dari pemechan polisakarida atau disakarida yakni asam propionat,
asam asetat, dan asam butirat dapat menyebabkan peningkatan absorpsi
(vasodilatasi vaskuler di kolon) tetapi dapat juga menyebabkan diare
bertambah, tergantung dari perbandingan komposisi asam-asam lemak
rantai pendek tersebut. Beberapa kuman yang dipakai sebagai probiotik,
salah satu mekanisme kerjanya adalah meningkatkan kemampuan absorpsi
kolon.
Diare sitolitik oleh virus
Virus menginvasi enterosit dan kemudian bermultifikasi dalam
enterosit yang menyebabkan efek sitotoksik. Pada infeksi rotavirus, virus
masuk dan memperbanyak diri dalam enterosit yang matur pada ujung vili
usus kecil bagan proksimal kemudian menyebar ke bagian distal dalam
masa inkubasi 48 jam. Mikrovili rusak dan dikeluarkan dalam 24 jam, kripta
menjadi hiperplasi dan hipertrofi dalam 48 jam dan memperbaiki kembali
permukaan vili yang rusak tetapi perbaikan tidak lengkap sehingga villi
menjadi pendek. Hipertropi dan hiperplasi kripta membuat kripta makin
dalam, sehingga sifat sekresinya kian bertambah. Memendeknya vili
menyebab sifat absorsinya berkurang (struktur pembuluh darah di villi
-
39
memungkinkan vili bersifat absorptif). Enterosit yang terdapat di villi
kurang matang sehingga enzim-enzim percernaan kurang sempurna
terbentuk terutama enzim disakaridase (enzim yang paling cepat berkurang
saat diare dan paling lambat pulihnya adalah laktase). Hal ini menyebabkan
makanan tidak sempurna didigesti sehingga terbentuk banyak sisa makanan.
Sisa makanan menyebabkan beban osmotik intaluminal tinggi, sehingga
terjadi penarikan cairan ke intraluminal. Sebagian sisa makanan dihidrolisis
oleh bakteri-bakteri kolon, sehingga menyebabkan diare osmotik dengan
produksi gas dan asam lemak rantai pendek. Pada infeksi rotavirus terjadi
diare campuran antara diare sekretori dan osmotik.
Gastroenteritis akut karena virus akan sembuh dengan sendirinya,
yang umumnya berlangsung sampai 7 hari, namun penyembuhan kerusakan
histologis memerlukan waktu paling tidak 1 minggu setelah gejala klinik
hilang. Intoleransi terhadap disakarida pulih setelah beberapa minggu.
Beberapa mekanisme spesifik virus
Rotavirus. Insiden tinggi di setiap negara. Kebanyakan menyerang pada
bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun. Bayi di bawah umur 3 bulan dapat
terkena. Sangat jarang menyerang orang dewasa (serotype C). Masa
inkubasi 1-2 hari. Gejala diawali oleh demam yang tidak tinggi (sekitar
75%) dan muntah-muntah (sekitar 100%), kemudian demam dan muntah
meredah baru timbul diare (5-10% kasus disertai BAB berdarah). Sembuh
sendiri dalam 7 10 hari.
Enteric adenovirus. Serotipe 40, 41. Penyebab terbanyak kedua oleh infeksi
virus. Masa inkubasi 8-10 hari. Gejala muntah dan panas subfebril yang
kemudian diikuti olehdiare sekitar 5 hari (1-14 hari)
Virus Norwalk dan virus serupa norwalk. Masa inkubasi 1-2 hari. Gejala
flu perut dengan gejala muntah lebih menonjol dibandingkan diare. Saat
wabah yang terkena anak di atas 4 tahun dan dewasa Virus Astro dan virus
Calici. Mirip diare rotavirus.
Oleh proses inflamasi (alergi, irritable bowel disease): Inflamasi
mengakibatkan sel-sel imun menghasilkan sitokin-sitokin, kemokin-
-
40
kemokin, dan prostaglandin. Hal ini memicu terjadi sekresi dan
mengaktifkan saraf-saraf enterik. Metaloprotein yang dihasilkan oleh proses
peradangan akan menghancurkan enterosit pada villus sehingga terjadi
penurunan absorpsi. Rusaknya vilus merangsang sel enterosit di kripta untuk
hiperplasia sehingga terjadi peningkatan sekresi. Di villi, sel-sel ditempati
oleh enterosit yang immatur dimana terjadi insufisiensi enzim-enzim
disakaridase dan peptide hydrolase. Kedua hal tersebut mengakibatkan
terjadinya diare campuran.
Konsistensi feses pada diare sekresi adalah cair dengan kandungan
elektrolit yang tinggi, sedangkan pada diare osmotik, konsistensinya lembek
dengan kandungan elektrolit rendah. Pada diare sitolitik terjadi campuran
antara diare sekretorik dan osmotik.
2.2.5 Perjalanan Penyakit Diare
Hampir seluruh kasus diare berlangsung 3-5 hari. Karena itu diare
yang melebihi 7 hari, walaupun masih tergolong diare akut, harus diketahui
penyebabnya. Diare akut dapat menjadi diare persisten (lebih dari 14 hari).
Penyebab terjadinya diare persisten sangat kompleks dan merupakan
gabungan banyak faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Faktor
kuman, terinfeksi oleh kuman yang sering menyebabkan diare persisten,
yakni Shigella, EPEC, Samonella, Giardia, Entamoeba histolylotica,
Cryptosporiium dan lain-lain. Infeksi rotavirus jarang menyebabkan diare
persisten. Faktor pejamu (host) diantaranya adalah tidak mendapat ASI,
tidak mendapat ASI eksklusif, anemia, umur kurang dari 1 tahun, BBLR,
gizi buruk, penggunaan antibiotika yang tidak tepat, penanganan diare yang
tidak benar, penggunaan obat-obat simptomatik, defisiensi zat imunologis,
defisiensi enzim pencernaan. Faktor lainnya adalah sanitasi yang jelek,
sumber air minum yang kotor, pendidikan pengasuh yang rendah. Selain
diare persisten, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari disebabkan diare
kronik. Salah satu cara untuk membedakannya adalah puasa, dimana pada
-
41
diare persisten diare tetap berlangsung sedangkan pada diare kronik tidak.
Cara lainnya adalah dengan mengetahui bentuk tinja, dimana pada diare
dengan tinja berair dapat disebabkan oleh diare persisten, difisiensi enzim
disakaridase, malabsorpsi monosakarida, alergi makanan, psikogenik,
sindroma usus pendek, sindroma usus kecil tercemar, defek imun primer,
penggunaan pencahar, tumor ektraluminal, dan gangguan endokrin. Tinja
berlemak dapat disebabkan oleh giardiasis, insufisiensi pancreas, sindroma
usus kecil tercemar, kolestasis, limangiektasi intestin, defek imun primer,
kistik fibrosis. Tinja berdarah dapat disebabkan diare persisten (infeksi) dan
alergi.
2.2.6 Tatalaksana
Menurut WHO ada 4 dasar terapi diare:
1. Pemberian cairan: untuk mengobati atau mencegah dehidrasi,
2. Diet: meneruskan ASI dan makanan lainnya,
3. Obat-obatan: tidak memakai antibiotika, terkecuali pada kasus kolera dan
disentri, WHO telah merekomendasikan pemakaian zinc dan
4. Penyuluhan.
Secara umum penanganan diare ditujukan untuk:
1. Mencegah / menangulangi dehidrasi dan kemungkinan terjadinya
intoleransi,
2. Mengobati kausa dari diare,
3. Mencegah / menanggulangi gangguan gizi, dan
4. Menanggulangi penyakit penyerta.
Pemberian terapi cairan untuk mengobati atau mencegah dehidrasi
dapat melalui oral dan parenteral. Pemberian cairan peroral lebih
menguntungkan dibandingkan parenteral karena mudah, murah, dan lebih
mengurangi frekuensi BAB dan lama diare dibandingkan parenteral.
Pemberian cairan peroral diberikan pada diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi
ringan sedang. Pada keadaan dimana diare dengan dehidrasi berat gagal
dilakukan pemasangan IVFD dan fasilitas/tempat untuk pemasangan IVFD
-
42
tidak terjangkau, dapat diberikan personde NGT, dengan kecepatan
maksimal 20 ml/kgBB/jam.
Pemberian cairan parenteral diberikan pada dehidrasi berat (dimana
peroral tidak akan tercapai), dan dehidrasi ringan-sedang gagal URO.
Setelah rehidrasi tercapai secepat mungkin beralih ke pemberian oral. Jenis
cairan adalah kristalolid (RL, NaCl, NaCl+Dektrose), yang terbaik adalah
RL. NaCl dapat mengatasi dehidrasi tetapi dapat menimbulkan asidosis
hiperkloremia. NaCl+Dektrose (KAEN 3A atau 3B) kurang bermanfaat
pada dehidrasi berat, karena kecepatan infus melampui batas GIR (glucose
infussion rate), tetapi dapat bermamfaat pada dehidrasi ringan sedang.
Pemberian infus yang mengandung dektrose, jika melampaui GIR, tidak
dapat mengatasi dehidrasi, malahan akan menimbulkan dehidrasi.
Prinsip Terapi Cairan
Pemberian cairan dilakukan dengan cepat, dalam 3 sampai 6 jam.
Pemberian cairan pada dehidrasi berat dalam keadaan syok merupakan
tindakan kedaruratan medis, jika terjadi gejala dan tanda syok (nadi tidak
teraba) berikan dulu loading cairan 20 ml/kgBB secepatnya. Penilaian
lengkap status dehidrasi penderita dilakukan sesudah dimulainya pemberian
cairan dan syok telah teratasi.
Terapi rehidrasi dengan cairan parenteral pada dehidrasi berat,
memerlukan tahap-tahapan: (1) Terapi Awal (initial therapy) ditujukan
untuk memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara
reekspansi cepat volume CES, (2) Terapi lanjutan, ditujukan untuk
mengganti defisit air dan elektrolit dengan kecepatan pemberian cairan yang
lebih rendah. Mengingat Na penting untuk mempertahankan volume CES
dan adanya keterbatasan kadar K dalam rehidrasi cepat, maka pengantian
ion Na lebih diutamakan dari pada K, dan (3) Perlu memperhatikan status
glukosa pada rehidrasi, karena pada saat diare terjadi kekurangan kalori.
Setelah terapi rehidrasi, saat terapi akhir, sangat penting
menjaga/memulihkan status gizi penderita.
-
43
Terapi rehidrasi cepat pada dehidrasi berat, pada terapi awal menurut
WHO/Depkes menggunakan RL 30 ml selama 30 menit pada anak 1 tahun
ke atas dan 1 jam pada anak di bawah 1 tahun. Terapi lanjutan, menurut
WHO/ Depkes menggunakan RL 70 ml selama 2,5 jam untuk anak 1 tahun
ke atas dan 5 jam untuk anak di bawah 1 tahun. Monitoring rehidrasi
dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi dihentikan.
Pada diare akut murni/tanpa masalah/ tanpa penyakit penyulit
rehidrasi ditujukan untuk menganti PWL. Pemberian rehidrasi cepat (3-6
jam) parenteral ditujukan untuk : (1) Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila
ada syok) dan (2) Mengganti defisit yg terjadi atau untuk menganti PWL,
sementara pergantian CWL dan IWL diberikan peroral, tetapi jika peroral
tidak memungkinkan IVFD dapat dipertahankan. Pada diare akut tanpa
dehidrasi dapat diberikan rehidrasi oral setiap kali anak mengalami BAB
cair dengan ketentuan kurang dari satu tahun diberikan 50-100 ml dan pada
umur 1-5 tahun diberikan oralit 100-200 ml. Pemberian ASI tetap dilakukan
namun frekuensinya dilakukan lebih sering dan lebih lama pada seiap
pemberian.
Pada diare akut murni dengan dehidrasi ringan sedang, diberikan
upaya rehidrasi oral melalui pemberian oralit sebanyak 75 cc/kgbb/4jam.
Jika gagal dlam melakukan upaya rehidrasi oral, maka dapat dilakukan
pemberian IVFD RL dengan dosis 75 ml/kgbb/4jam.
Berbeda dengan diare akut murni, pada diare akut dengan penyakit
penyulit, tujuan pemberian cairan yang diberikan selama 24 jam adalah (1)
Mengganti kehilangan yang telah terjadi, yang menentukan derajat dehidrasi
pada saat dirawat (previous water loss = PWL), (2) Mencukupi kehilangan
abnormal dari cairan yang sedang berlangsung (on going water losses =
concomitant water loss = CWL, (3) Menganti cairan melalui keringat,
pernafasan / Inseseble cairan, disebut inssible water loss (IWL). Atau (1)
Mempertahankan kebutuhan rumatan dan (2) Menganti cairan yang hilang
(PWL/CWL). Penyakit penyulit adalah keadaan/penyakit yang dapat
membahayakan jika dilakukan pemberian terapi rehidrasi cepat.
-
44
Keadaan/penyakit tersebut adalah keadaan/penyakit yang dapat
menimbulkan beban volume vaskuler atau beban volume rongga otak,
yakni: penyakit jantung, BP, bronkiolitis, meningitis, ensefalitis, penyakit
ginjal, hipernatremia. Pada diare dengan penyakit penyulit karena rehidrasi
dilakukan selama 24 jam maka 1/3 sampai harus diberikan dalam 4 jam
pertama agar keadaan dehidrasi (terutama yang berat) cepat teratasi dan
sisanya dalam 20 jam kemudian. Pada beberapa keadaan dimana ancaman
komplikasi dehidrasi tidak ada (misalnya pada dehidrasi ringan-sedang) atau
dehidrasi (terutama yang berat) akan terjadi dalam 24 jam ke depan karena
anak tidak bisa minum, maka cairan dapat diberikan dengan kecepatan yang
sama. Cairan yang digunakan adalah cairan modifikasi Sutejo, Cairan
tersebut adalah D5% + NaCl 15% 10 ml + KCl 10% 4 ml + BicNat 8,4% 7
ml atau mengunakan KAEN 3A atau KAEN 3B. Berdasarkan pertimbangan
tersebut di atas, maka jumlah terapi cairan selama 24 jam adalah : Pada
dehidrasi ringan sedang: 200 ml/kgBB/24 jam atau 150-200 ml/kgBB/24
jam, dengan rincian sebagai berikut, pada 4 jam pertama diberikan 50
cc/kgbb dilanjutkan pada 20 jam selanjutnya diberikan cairan sebanyak 150
cc/kgbb. Pada dehidrasi berat: 250 ml/kgBB/24 jam, dengan rincian sebagai
berikut, pada 4 jam pertama diberikan cairan sebanyak 60 cc/kgbb
dilanjutkan pada 20 jam selanjutnya diberikan cairan sebanyak 190 cc/kgbb.
2.3. Otitis Media Akut
2.3.1 Definisi
Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan
gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda
klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik
berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila
telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga
dijumpai efusi telinga tengah.
-
45
2.3.2 Epidemiologi
Faktor yang mempengaruhi terjadinya OM meliputi usia, jenis
kelamin, ras, latar belakang genetik, status sosial ekonomi, jenis susu yang
digunakan dalam pemberian makanan bayi, tingkat paparan asap tembakau,
tingkat paparan anak-anak lain, ada atau tidak adanya alergi pernapasan,
musim, dan status vaksinasi. Anak-anak dengan jenis tertentu denagn
adanya anomali kraniofasial kongenital sangat rentan terhadap OM.
Kejadian otitis media akut pada anak sebesar 63% - 85% pada anak
usia 12 bulan dan 66%-99% pada anak usia 24 bulan. Prevalensi tertinggi
terjadi pada usia 6-20 bulan. Setelah usia 2 tahun insiden dan prevalensi
OMA menurun meskipun penyakit ini umum terjadi pada anak usia sekolah.
Umumnya penyakit ini terjadi pada usia bayi dan anak-anak karena faktor
imunologi yang masih belum adekuat dan usia saat mengalami OMA pada
anak-anak mempengaruhi terjadinya rekurensi dan berkembang menjadi
kronik. Semakin dini usia mengalami OMA maka semakin tinggi risiko
terjadinya penurunan kualitas hidup. Pada beberapa data menunjukkan anak
laki-laki memilki prevalensi lebih tinggi mengalami OMA dibandingkan
anak perempuan karena pada laki-laki dilaporkan bahwa OMA yang terjadi
pada anak laki-laki biasanya dilakukan tindakan operasi. Berdasarkan
beberapa studi yang membandingkan tingkat risiko OMA pada anak berkulit
putih dan hitam menunjukkan bahwa faktor ras menunjukkan anak berkulit
putih memilki risiko mengalami OMA lebih tinggi dibanding anak berkulit
hitam.
Faktor genetik menunjukkan risiko kembar monozigot lebih tinggi
dibandingkan kembar dizigot karena terjadinya polimorfisme genetik pada
respon inflamasi. Kemiskinan berpengaruh terhadap tingginya risiko
mengalami OMA pada anak-anak karena berkaitan dengan faktor kepadatan
penduduk, higienitas, keterbatasan pelayanan medis. Secara umum,juga
penelitian telah menemukan efek perlindungan dari pemberian ASI terhadap
OM. Paparan asap tembakau juga berpengaruh terhadap meningkatnya
risiko OMA pada anak. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa
-
46
terdapat hubungan positif antara terjadinya OMA dan tingkat paparan
berulang untuk anak-anak lain baik dalam satu rumah, di luar rumah
maupun di tempat penitipan anak. Faktor musim panas lebih berpengaruh
positif terhadap kejadian OMA pada anak-anak dibandingkan musin dingin.
Kejadian ISPA juga mempengaruhi kejadin OMA pada anak-anak.
Kelainana kongenital seperti terdapat celah palatum, kelainan kraniofasial,
down syndrome berpengaruh terhadap risiko kejadian OMA karean terdapat
defisiensi fungsi tuba eustachius yang merupakan faktor predisposisi
terjadinya OMA.
Streptococcus pneumoniae merupakan patogen yang menyebabkan
terjadinya OMA. Vaksinasi konjugasi pneumokokus berpengaruh terhadap
rendahnya OMA pada anak-anak dan pemberian antibiotik oleh dokter
hanya sekita 6-8%. Vaksinasi pneumokokus juga berpengaruh terhadap
menurunkan kebutuhan terhadapa tindakan interverensi bedah timpanostomi
pada anak-anak penderita OMA dan lebih meningkatkan kualitas hidup.
Vaksin virus influenza juga berpengaruh menurunkan tingkat risiko OMA
pada anak-anak. Faktor risiko lainnya juga harus dipertimbangkan
kontribusinya terhadap kejadian OMA seperti faktor riwayat kelahiran,
kelainan kongenital, sosiodemografi.
2.3.3 Etiologi
Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut
penelitian, 65- 75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya
melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah.
Kasus lain tergolong sebagai non patogenik karena tidak ditemukan
mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media
tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh
Haemophilus influenzae (25- 30%) dan Moraxella catarhalis (10- 15%).
Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen -patogen yang lain seperti
Streptococcus pyogenes (group A beta - hemolytic), Staphylococcus aureus
,dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram
-
47
negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat
inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak
balita.Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama
dengan yang dijumpai pada anak-anak.
Virus juga merupakan penyebab OMA.Virus dapat dijumpai tersendiri
atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling
sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV),
influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15%
dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan
membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu
fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat
antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya.
2.3.4 Patogenesis
Faktor Anatomi
Tuba Eustachius merupakan bagian dari oragn telinga yang penting
berkontribusi terhadap OMA. Tuba Eustachius merupakan saluran yang
menghubungkan rongga telinga dengan nasofaring, yang terdiri dari tulang
rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas
tulang. Dalam keadaan biasa tuba eustachius secara pasif ditutup dan dibuka
oleh kontraksi tensor veli palatini otot. Sehubungan dengan telinga bagian
tengah tuba eustachius memiliki 3 fungsi utama: ventilasi, perlindungan,
dan clearance. Gangguan pada sistem ventilasi karean obstruksi
mengakibatkan inflamasi metaplasia sekretori, kompromi dari sistem
transportasi mukosiliar, dan efusi cairan ke dalam rongga timpani.Obstruksi
pada tuba eustachius mengakibatakan penyumbatan ekstraluminal yang bisa
disebabkan oleh hipertrofi adenoid jaringan nasofaring atau tumor, atau
mungkin akibat dari obstruksi intraluminal melalui inflamasi edema mukosa
tuba, paling sering sebagai akibat dari infeksi saluran pernapasan atas oleh
virus.
-
48
Fungsi perlindungan dan pembersihan tuba eustachius juga mungkin
terlibat dalam patogenesis OM. Dengan demikian, jika tuba eustachius
dalam keadaan patulous atau tetap terbuka maka tidak dapat meliondungi
telinga tengah dari refluks sekresi nasofaring, sedangkan penurunan fungsi
pembersihan mukosiliar tabung mungkin berkontribusi pada terjadinya
infeksi. Semakin pendek dan lebih horisontal tuba eustachius pada bayi dan
anak-anak dapat meningkatkan kemungkinan refluks dari nasofaring dan
merusak drainase pasif pada tuba eustachius. Pada pasien khusus dengan
kelainan kraniofasial terdapat peningkatan insiden OM yang telah terkait
dengan fungsi tuba eustachius abnormal. Pada anak-anak dengan celah
langit-langit sering ditemukan OM karena penurunan mekanisme
pembukaan tuba eustachius. Faktor lain yang mungkin adalah
velopharyngeal (cacat valving), yang dapat mengakibatkan terganggunya
hubungan aerodinamis dan hidrodinamik di bagian nasofaring dan
proksimal dari tuba eustachius. Pada anak-anak dengan anomali kraniofasial
lain dan dengan sindrom Down, tingginya prevalensi OM yang telah
dikaitkan dengan struktur dan / atau fungsional tuba eustachius.
Faktor Host
Pada anak yang mengalami OMA perlu ditanyakan riwayat
mengalami OMA berulang karena defisiensi IgG juga tidak jarang dialami
oleh anak yang mengalami OMA yang tidak berulang. Pada anak yang
mengalami defisiensi IgG sering mengalami infeksi OMA berulang yang
dihubungkan dengan infeksi sinopulmonary berulang akibat dari anak
rentan mengalami infeksi.Anak yang mengalami OMA rekuren tidak
berhubungan dengan infeksi rekuren yang terjadi pada bagian lain.
Meskipun demikian, bukti mengenai defisit imun ditunjukkan oleh beberapa
penelitian berperan terhadap respon imun saat terjadi infeksi dan imunisasi.
Pemberian ASI pada anak yang mengalami bibir sumbing memberikan efek
protektif terhadap OMA. Pada anak dewasa yang mengalami OMA
berulang yang mendapatkan suntikan intramuskular imunoglobulin bakteri
-
49
polisakarida atau intravena imunoglobulin poliklonal dilaporkan mengalami
penurunan insiden terjadinya infeksi saluran nafas atas karena sistem
kekebalan tubuh telah matang dan berkembang.
Infeksi Virus
Sebagian besar OMA berkembang akibat dari infeksi saluran
pernafasan atas yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Pada suatu
penelitian terhadap anak-anak di tempat penitipan menunjukkan 30-40%
mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) yang disebabkan RSV, virus
infuenza atau adenovirus, dan sekitar 10-15% disebabkan oleh virus
parainfluenza, rhinovirus dan enterovirus. ISPA mengakibatkan keluarnya
sitokin-sitokin dan mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan disfungsi
tuba eustachius. Virus yang menginfeksi saluran nafas dapat mengakibatkan
peningkatan kolonisasi bakteri pada nasofaring sehingga merusak sistem
pertahanan terhadap bakteri.
Alergi
Bukti yang menunjukkan adanya hubungan anatara alergi dan OMA
masih belum jelas, kemungkinan alergi adalah sebagai faktor yang
memperberat terjadinya OMA. Profil seseorang yang berisiko dan interkasi
antara patogen dan inang berperan penting terhadap patogenesis OMA
seperti terjadinya perubahan pembersihan mukosiliar akibat sering terpapar
infeksi virus dan paparan asap tembakau.Anak-anak yang terpapar oleh
anak-anak yang memilki risiko tinggi kolonisasi bakteri pada nasofaring dan
OMA dengan resisten terhadap antibmikroba multipel mengakibatkan
kesulitan dalam pengobatan dan memperpanjang lama onset penyakit.
2.3.5 Manifestasi Klinik
Gejala OMA bervariasi pada bayi dan anak-anak. Pada anak-anak
dewasa bisa diketahui dari rasa sakit telinga yang dimanifestasikan oleh
iritabilitas atau berubahan tidur atau kebiasaan makan, dan sering menarik-
narik telinga. Demam biasanya juga ada. Pecahnya membran timpani
-
50
dengan purulen otorrhea jarang terjadi. Adanya gejala sistemik dan gejala
yang berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas namun kadang-
kadang juga tidak ditemukan saat pemeriksaan kesehatan rutin. Penurunan
pendengaran bermanifestasi terhadap pola bicara khususnya pada anak
dewasa. Pada anak dewasa juga bisa ditemukan keluihan telinga terasa
penuh.
2.3.6 Diagnosis
Diagnosis didasarkan pada riwayat nyeri pada telinga atau adanya
nanah yang keluar dari dalam telinga (selama periode < 2 minggu). Pada
pemeriksaan, pastikan terjadi otitis media akut dengan otoskopi. Warna
membran timpani (MT) merah, meradang, dapat sampai terdorong ke luar
dan menebal, atau terjadi perforasi disertai nanah.
Diagnosis OMA harus memebuhi 3 hal berikut ini:
1. Onsetnya mendadak atau tidak
2. Ditemukannya tanda efusi (penggumpalan cairan di suatu rongga tubuh)
di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan memperhatikan tanda berikut:
a. Mengembangkan gendang telinga
b. Terbatas/tidaknya adanya gerakan gendang telinga
c. Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga
d. Cairan yang keluar dari telinga
3. Adanya tanda/ gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan
adanya satu diantara tanda berikut:
a. Kemerahan pada gendang telinga
b. Nyeri yang mengganggu tidur dan aktivotas normal
Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat
menarik-narik telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya
pendengaran, demam, sulit makan, mual dan muntah serta rewel. Namun
gejala-gejala ini tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis tidak dapat
didasarkan pada riwayat.
-
51
Perbedaan otitis media akut dengan otitis media dengan efusi. Otitis
media dengan efusi adalah efusi pada telinga tengah-tengah yang tidak ada
manifestasi klinis infeksi akut, seperti otalgia dan demam. Otitis media efusi
timbul setelah otitis media akut berhasil diobati dan bersih dalam 3 bulan
pada 90% anak sesudah episode pertama otitis media. Lama (bukan
keparahannya) efusi dapat dibagi menjadi akut (kurang dari 3 minggu),
subakut ( 3 minggu 3 bulan), dan kronis ( lebih lama lagi 3 bulan). Efusi
dapat serosa (encer), mukoid (kental), dan purulen.
GEJALA DAN TANDA OMA OMA EFUSI
Nyeri telinga, demam, rewel + -
Efusi telinga tengah + +
Gendang telinga suram + +/-
Gendang yang menggembung +/- -
Gerakan gendang berkurang + +
Berkurangnya pendengaran + +
2.3.7 Tatalaksana
Antibiotik
Penyebab tersering adalah Streptococus pneumonia, Hemophilus
influenzae dan Moraxella catharrhalis, Berbagai bakteri lain menyebabkan
sebagian kecil sisa infeksi, dapat meliputi gram positif maupun gram
negatif. Pada neonatus umur di atas 2 minggu, Streptococus pneumonia,
Hemophilus influenzae terus merupakan organisme penginfeksi yang paling
lazim. Namun pada bayi kurang dari 2 minggu atau mereka yang masih
dirawat inap, bakteri gram negatif Staphylococcus auereus, dan
Streptococcus grup B menjadi lebih lazim.
Antibiotik oral adalah pilihan awal apabila organisme penyebab belum
diketahui karena efektif terhadap bakteri yang lazim ditemukan Diberikan
Amoksisilin (15 mg/ kgBB/kali 3 kali sehari) atau kotrimoksazol oral (24
-
52
mg/kgBB/kali dua kali sehari) selama 710 hari. Apabila penderita gagal
membaik secara klinis sesudah pengobatan amoksisilin awal (mungkin
karena bakteri resiten terhadap penisilin) dan jika timpanosentesis atau
meiningotomi tidak dilakukan, agen antibiotik awal harus diganti. Pilihan
yang tepat dapat berupa eritromisisn (50mg/kg/24 jam) bersama dengan
sulfonamid (100mg/kg/24 jam ) trisulfa atau sulfisoksazol (150 mg/kg/24
jam) empat kali sehari, trimetorpim-sulfametoksazol ( 8 dan 40 mg/kg/24
jam) dua kali sehari.
Analgesik dan Antipiretik
Selain antibiotikik, penganganan OMA biasanya diberikan anti nyeri
yang umumnya digunakan adalah paracetamol dan ibuprofen.
Edukasi
Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara
mengeringkannya dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tisyu
kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3
kali sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar. Nasihati ibu untuk
tidak memasukkan apa pun ke dalam telinga anak,kecuali jika terjadi
penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan dengan
meneteskan larutan garam normal. Anak untuk berenang atau memasukkan
air ke dalam telinga.
2.3.8 Komplikasi
Dilaporkan satu kasus komplikasi intratemporal dan intrakranial
akibat OMA pada anak perempuan berusia 11 tahun. Ada beberapa
mekanisme terjadinya komplikasi intrakranial, yaitu melalui erosi tulang,
invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi intrakranial dapat muncul
akibat pengaruh beberapa faktor antara lain infeksi pada telinga tengah yang
menyebar ke intratemporal dan intrakranial. Kecenderungan invasi kuman
dari telinga tengah ke intrakranial dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
virulensi kuman, sensitivitas antibiotik, imunitas, terapi antibiotik yang
-
53
adekuat, jalur anatomi dan barier yang bisa menyebarkan infeksi dan
drainase daerah pneumatisasi karena operasi atau alami. Komplikasi
intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, abses otak,
tromboflebitis supuratif otogenik, hidrosefalus otikus, empiema subdural,
abses epidural dan pneumocephalus.
Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan peningkatan suhu tubuh,
gelisah, penurunan kesadaran disertai adanya tanda rangsang meningeal
(kaku kuduk). Hal ini akibat invasi kuman melalui sawar darah otak dan
susunan saraf pusat menyebabkan inflamasi di lapisan meningen,
subarakhnoid hingga otak. Kuman menyebarkan toksinnya masuk ke dalam
cairan serebrospinal. Meningismus selalu muncul saat gejala prodromal dan
ditemukan juga tanda rangsang meningeal. Berdasarkan temuan
pemeriksaan fisik, maka pasien ini dicurigai menderita meningitis sebagai
komplikasi intrakranial. Gejala yang mendukung ke arah meningitis antara
lain sakit kepala, demam, muntah, iritabel dan lemah. Pada pemeriksaan
neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal, tetapi tidak ditemukan
tanda Brudzinski dan Kernig yang merupakan tanda khas meningitis.
Komplikasi intratemporal yang dapat terjadi adalah perforasi pars tensa,
atelektasis telinga tengah, mastoiditis akut, petrositis, paresis fasialis,
labirintitis dan gangguan pendengaran. Otitis media akut yang tidak segera
diobati dapat berkembang menjadi otitis media kronik (OMK) dan
mastoiditis.