bab ii

Upload: auliya-bella-oktarina

Post on 06-Jan-2016

17 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

m,m

TRANSCRIPT

  • 14

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    2.1. Malaria

    2.1.1 Definisi

    Malaria merupakan penyakit infeksi akut hingga kronik yang

    disebabkan oleh satu atau lebih spesies Plasmodium, ditandai dengan panas

    tinggi bersifat intermiten, anemia, dan hepatosplenomegali.

    2.1.2 Epidemiologi

    Malaria merupakan masalah seluruh dunia dengan transmisi yang

    terjadi di lebih dari 100 negara dengan jumlah populasi keseluruhan 1,6 juta

    orang. Daerah transmisi utama adalah Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

    Pada tahun 2010 di Indonesia terdapat 65% kabupaten endemis

    dimana hanya sekitar 45% penduduk di kabupaten tersebut berisiko tertular

    malaria. Berdasarkan hasil survei komunitas selama 2007 - 2010, prevalensi

    malaria di Indonesia menurun dari 1,39 % menjadi 0,6%. Sementara itu

    berdasarkan laporan yang diterima selama tahun 2000-2009, angka

    kesakitan malaria cenderung menurun yaitu sebesar 3,62 per 1.000

    penduduk pada tahun 2000 menjadi 1,85 per 1.000 penduduk pada tahun

    2009 dan 1,96 tahun 2010. Sementara itu, tingkat kematian akibat malaria

    mencapai 1,3%. Tingkat prevalensi tertinggi ditemukan di wilayah timur

    Indonesia, yaitu di Papua Barat (10,6%), Papua (10,1%) dan Nusa Tenggara

    Timur (4,4%).

    Jenis Plasmodium yang banyak ditemukan di Indonesia adalah P.

    falciparum dan P. vivax, sedangkan P. malariae dapat ditemukan di

    beberapa provinsi antara lain Lampung, Nusa Tenggara Timur, dan Papua.

    P. ovale pernah ditemukan di Nusa Tenggara Timur dan Papua. Pada tahun

  • 15

    2010 di Pulau Kalimantan dilaporkan adanya P. knowlesi yang dapat

    menginfeksi manusia dimana sebelumnya hanya menginfeksi hewan

    primata/monyet dan sampai saat ini masih terus diteliti.

    Berikut merupakan daerah resiko tinggi malaria:

    1. NAD

    Aceh Besar, Aceh Tengah, Aceh Utara, Biereun, Bener Meriah, Pidie,

    Sabang, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Banda Aceh, Aceh Jaya, Aceh

    Selatan, Aceh Barat Daya, Nagan Raya, Aceh Barat, Aceh Singkil,

    Siemeulu

    2. Sumatera Utara

    Tanjung Balai, Sibolga, Langkat, Asahan, Tapanuli Selatan, Mandailing

    Natal, Nias, Nias Selatan, Serdang Bedagai

    3. Sumatera Barat

    Pesisir Selatan, Sawah Lunto / Sijunjung, Solok Selatan

    4. Sumatera Selatan

    OKU, Muara Enim, Lahat, Musi Rawas, Prabumulih, Lubuk Linggau,

    Banyuasin, OKU Selatan

    5. Bangka Belitung

    Bangka, Bangka Barat, Bangka Tengah, Bangka Selatan, Pangkal

    Pinang, Belitung, Belitung Timur

    6. Bengkulu

    Bengkulu Utara Bengkulu Selatan, Muko-muko, Seluma, Lebong

    7. Riau

    Kampar, Pelalawan, Indragiri Hulu, Kuantan Singingi, Bengkalis,

    Dumai, Rokan Hilir, Siak

    8. Kepulauan Riau

    Karimun, Kepulauan Riau, Batam, Natuna, Tanjung Pinang, Lingga

    9. Jambi

    Batanghari, Muaro Jambi, Merangin

    10. Lampung

    Bandar Lampung, Lampung Selatan, Lampung Barat, Tanggamus

  • 16

    11. Banten

    Lebak, Pandeglang

    12. Jawa Barat

    Sukabumi, Garut, Tasikmalaya, Ciamis

    13. Jawa Tengah

    Jepara, Banyumas, Banjarnegara, Purbalingga, Wonosobo, Purworejo,

    Kebumen

    14. DI Yogyakarta

    Kulon Progo, Sleman

    15. Jawa Timur

    Kab Madiun, Pacitan, Trenggalek

    16. Kalimantan Barat

    Pontianak, Landak, Bengkayang, Sanggau, Kapuas Hulu, Ketapang,

    Melawi

    17. Kalimantan Selatan

    Banjar Baru, Banjar, Hulu Sungai Selatan, Tabalong, Tanah laut, Barito

    Kuala, Kota Baru, Tanah Bumbu

    18. Kalimantan Timur

    Kutai Barat, Pasir, Nunukan, Bulungan, Panajam Paser Utara

    19. Kalimantan Tengah

    Kotawaringin Barat, Kotawaringin Timur, Palangkaraya, Barito

    Selatan, Sukamara, Murung Raya

    20. Sulawesi Utara

    Minahasa, Bitung, Sangie, Bolmong, Talaut

    21. Gorontalo

    Kab Gorontalo

    22. Sulawesi Tengah

    Donggala, Parigi Mautong, Banggai, Banggai Kep

    23. Sulawesi Selatan

    Selayar

    24. Sulawesi Barat

  • 17

    Mamuju Utara, Majene

    25. Sulawesi Tenggara

    Kolaka

    26. Nusa Tenggara Barat

    Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Sumbawa

    Barat, Dompu, Kab Bima, Kota Bima

    27. Nusa Tenggara Timur

    Kota Kupang, Kab Kupang, Rote Ndao, Timor Tengah Selatan, Timor

    Tengah Utara, Belu, Alor, Flores Timur, Sikka, Ende, Ngada,

    Manggarai, Manggarai Barat, Sumba Timur, Sumba Barat, Lembata

    28. Maluku

    Pulau Buru, Maluku Tengah, Ambon, Maluku Tenggara, Maluku

    Tenggara Barat, Seram Bagian Barat, Seram Bagian Timur, Aru

    29. Maluku Utara

    Ternate, Halmahera Utara, Halmahera Barat, Halmahera Selatan,

    Kepulauan Sula, Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Tidore

    30. Papua

    Biak Numfor, Supiori, Yapen, Kab Jayapura, Kota Jayapura, Paniai,

    Asmat, Boven Digul, Nabire, Jayawijaya, Keerom, Mimika, Mappi,

    Pegunungan Bintang, Sarmi, Tolikara, Waropen, Yahukimo

    31. Irian Jaya Barat

    Fak-Fak, Kaimana, Manokwari, Kota Sorong, Raja Ampat, Kab

    Sorong, Sorong Selatan, Teluk Bintuni, Teluk Wondama

    2.1.3 Etiologi

    Malaria disebabkan oleh Plasmodium, protozoa intraseluler, yang

    ditularkan oleh nyamuk Anopheles betina pada manusia. Sebelum tahun

    2004, hanya 4 spesies Plasmodium yang diketahui menyebabkan malaria

    pada manusia: P. falciparum, P. malariae, P. ovale, dan P. vivax. Pada

    tahun 2004 P. knowlesi (spesies malaria primata) juga terbukti

    menyebabkan malaria manusia, dan kasus infeksi P. knowlesi telah tercatat

  • 18

    di Malaysia, Indonesia, Singapura, dan Filipina. Malaria juga dapat

    ditularkan melalui transfusi darah, penggunaan jarum terkontaminasi, dan

    dari seorang wanita hamil untuk janinnya.

    Plasmodium falciparum menyebabkan malaria tropikana, Plasmodium

    vivax menyebabkan malaria tertiana, Plasmodium ovale menyebabkan

    malaria ovale, Plasmodium malariae menyebabkan malaria kuartana.

    2.1.4 Siklus Hidup Plasmodium dan Patogenesis

    Malaria dapat ditularkan melalui penularan (1) alamiah (natural

    infection) melalui gigitan nyamuk anophelles, (2) oenularan bukan alamiah

    yaitu malaria bawaan (kongenital) dan penularan secara mekanik melalui

    transfusi darah atau jarum suntik. Sumber infeksi adalah orang yang sakit

    malaria, baik dengan maupun tanpa gejala klinis.

    A. Siklus Hidup Plasmodium

    Parasit malaria memerlukan dua hospes untuk siklus hidupnya,

    yaitu manusia dan nyamuk Anopheles betina (lihat Gambar 1).

    Gambar 1. Siklus Hidup Plasmodium

  • 19

    1. Siklus Pada Manusia

    Pada waktu nyamuk Anopheles infektif menghisap darah manusia,

    sporozoit yang berada di kelenjar liur nyamuk akan masuk ke dalam

    peredaran darah selama lebih kurang setengah jam. Setelah itu sporozoit

    akan masuk ke dalam sel hati dan menjadi tropozoit hati. Kemudian

    berkembang menjadi skizon hati yang terdiri dari 10,000-30,000

    merozoit hati (tergantung spesiesnya).

    Siklus ini disebut siklus ekso-eritrositer yang berlangsung selama

    lebih kurang 2 minggu. Pada P. vivax dan P. ovale, sebagian tropozoit

    hati tidak langsung berkembang menjadi skizon, tetapi ada yang menjadi

    bentuk dorman yang disebut hipnozoit. Hipnozoit tersebut dapat tinggal

    di dalam sel hati selama berbulan-bulan sampai bertahun-tahun. Pada

    suatu saat bila imunitas tubuh menurun, akan menjadi aktif sehingga

    dapat menimbulkan relaps (kambuh).

    Merozoit yang berasal dari skizon hati yang pecah akan masuk ke

    peredaran darah dan menginfeksi sel darah merah. Di dalam sel darah

    merah, parasit tersebut berkembang dari stadium tropozoit sampai skizon

    (8-30 merozoit, tergantung spesiesnya). Proses perkembangan aseksual

    ini disebut skizogoni. Selanjutnya eritrosit yang terinfeksi (skizon) pecah

    dan merozoit yang keluar akan menginfeksi sel darah merah lainnya.

    Siklus ini disebut siklus eritrositer.

    Pada P. falciparum setelah 2-3 siklus skizogoni darah, sebagian

    merozoit yang menginfeksi sel darah merah dan membentuk stadium

    seksual (gametosit jantan dan betina). Pada spesies lain siklus ini terjadi

    secara bersamaan. Hal ini terkait dengan waktu dan jenis pengobatan

    untuk eradikasi.

    Siklus P. knowlesi pada manusia masih dalam penelitian.

    Reservoar utama Plasmodium ini adalah kera ekor panjang (Macaca sp).

    Kera ekor panjang ini banyak ditemukan di hutan-hutan Asia termasuk

  • 20

    Indonesia. Pengetahuan mengenai siklus parasit tersebut lebih banyak

    dipahami pada kera dibanding manusia.

    2. Siklus pada nyamuk anopheles betina

    Apabila nyamuk Anopheles betina menghisap darah yang

    mengandung gametosit, di dalam tubuh nyamuk gamet jantan dan betina

    melakukan pembuahan menjadi zigot. Zigot berkembang menjadi

    ookinet kemudian menembus dinding lambung nyamuk. Pada dinding

    luar lambung nyamuk ookinet akan menjadi ookista dan selanjutnya

    menjadi sporozoit. Sporozoit ini bersifat infektif dan siap ditularkan ke

    manusia.

    Masa inkubasi adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke

    tubuh manusia sampai timbulnya gejala klinis yang ditandai dengan

    demam. Masa inkubasi bervariasi tergantung spesies plasmodium.

    Masa inkubasi malaria:

    Masa inkubasi 9-30 hari tergantung pada spesies parasit paling pendek

    pada P. falciparum dan paling panjang P. malariae.

    Masa inkubasi pada penularan secara alamiah bagi masing-masing

    spesies parasit untuk P. falciparum 12 hari, P. vivax dan P. ovale 13-17

    hari, P. malariae 28-30 hari.

    Masa prepaten adalah rentang waktu sejak sporozoit masuk ke

    tubuh manusia sampai parasit dapat dideteksi dalam sel darah merah

    dengan pemeriksaan mikroskopik.

    B. Patogenesis

    Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah

    yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan

    merangsang sel-sel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan

    berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekrosis Factor) dan

    IL-6 (Interleukin-6). TNF dan IL-6 akan dibawa aliran darah ke

    hipotalamus yang merupakan pusat pengatur suhu tubuh dan terjadi

    demam. Proses skizogoni pada keempat plasmodium memerlukan waktu

  • 21

    yang bebeda-beda. Plasmodium falciparum memerlukan waktu 36-48

    jam, P. vivax/P. ovale 48 jam, dan P. malariae 72 jam. Demam pada P.

    falciparum dapat terjadi setiap hari, P. vivax/P. ovale selang waktu satu

    hari, dan P. malariae demam timbul selang waktu 2 hari.

    Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi

    maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium vivax dan P. ovale hanya

    menginfeksi sel darah merah muda yang jumlahnya hanya 2% dari

    seluruh jumlah sel darah merah, sedangkan P. malariae menginfeksi sel

    darah merah tua yang jumlahnya hanya 1% dari jumlah sel darah merah.

    Sehingga anemia yang disebabkan oleh P. vivax , P. ovale dan P.

    malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Plasmodium falciparum

    menginfeksi semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi

    pada infeksi akut dan kronis.

    Limpa merupakan organ retikuloendothelial, dimana Plasmodium

    dihancurkan oleh sel-sel makrofag dan limposit. Penambahan sel-sel

    radang ini akan menyebabkan limpa membesar.

    Malaria berat akibat P. falciparum mempunyai patogenesis yang

    khusus. Eritrosit yang terinfeksi P. falciparum akan mengalami proses

    sekuestrasi, yaitu tersebarnya eritrosit yang berparasit tersebut ke

    pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu pada permukaan eritrosit

    yang terinfeksi akan membentuk knob yang berisi berbagai antigen P.

    falciparum. Sitokin (TNF, IL-6 dan lain lain) yang diproduksi oleh sel

    makrofag, monosit, dan limfosit akan menyebabkan terekspresinya

    reseptor endotel kapiler. Pada saat knob tersebut berikatan dengan

    reseptor sel endotel kapiler terjadilah proses sitoadherensi. Akibat dari

    proses ini terjadilah obstruksi (penyumbatan) dalam pembuluh kapiler

    yang menyebabkan terjadinya iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini

    juga didukung oleh proses terbentuknya rosette, yaitu bergerombolnya

    sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya.

    Pada proses sitoadherensi ini juga terjadi proses imunologik yaitu

    terbentuknya mediator-mediator antara lain sitokin (TNF, IL-6 dan lain

  • 22

    lain), dimana mediator tersebut mempunyai peranan dalam gangguan

    fungsi pada jaringan tertentu (lihat Gambar 2).

    Gambar 2. Patofisiologi Sitoadheren

    Untuk P. vivax dan Plasmodium lainnya diduga ada mekanisme

    tersendiri yang perlu penelitian lebih lanjut.

    2.1.5 Manifestasi Klinis

    Anak-anak dan orang dewasa tidak menunjukkan gejala selama fase

    awal infeksi, masa inkubasi infeksi malaria. Periode inkubasi yang biasa 9-

    14 hari untuk P. falciparum, 12-17 hari untuk P. vivax, 16-18 hari untuk P.

    ovale, dan 18-40 hari untuk P. malariae. Masa inkubasi bisa selama 6-12

    bulan untuk P. vivax dan juga dapat diperpanjang untuk pasien dengan

    kekebalan parsial atau kemoprofilaksis tidak lengkap. Gejala prodromal

    berlangsung 2-3 hari pada beberapa pasien sebelum parasit terdeteksi dalam

    darah. Gejala prodromal termasuk sakit kepala, kelelahan, anoreksia,

    mialgia, demam ringan, dan nyeri di dada, perut, dan sendi.

    Gejala paroksismal ditandai dengan demam tinggi, berkeringat, dan

    sakit kepala, serta myalgia, sakit punggung, sakit perut, mual, muntah, diare,

    pucat, dan penyakit kuning. Gejala paroksismal dari rupturnya skizon yang

    terjadi setiap 48 jam pada P. vivax dan P. ovale, mengakibatkan lonjakan

  • 23

    demam setiap hari. Pecahnya skizon terjadi setiap 72 jam dengan P.

    malariae, sehingga demam setiap hari 3 atau 4. Pada P. falciparum dan

    infeksi campuran mungkin tidak terlihat pada awal infeksi. Pasien dengan

    infeksi primer, seperti wisatawan dari daerah nonendemik, mungkin juga

    memiliki episode gejala yang tidak teratur selama 2-3 hari sebelum muncul

    gejala paroksismal yang teratur. Anak-anak dengan malaria sering memiliki

    gejala yang tidak spesifik, termasuk demam (mungkin tidak terlalu tinggi

    tetapi sering lebih besar dari 104 F), sakit kepala, mengantuk, anoreksia,

    mual, muntah, dan diare. Tanda-tanda fisik yang khas mungkin termasuk

    splenomegali (umum), hepatomegali, dan pucat karena anemia. Hasil

    laboratorium yang ditemukan, yaitu anemia, trombositopenia, dan jumlah

    leukosit normal atau rendah. Laju endap darah (LED) seringkali meningkat.

    P. falciparum adalah bentuk yang paling berat dari malaria dan

    berhubungan dengan kepadatan parasitemia yang lebih tinggi dan sejumlah

    komplikasi. Komplikasi serius yang paling umum adalah anemia berat, yang

    juga berhubungan dengan spesies malaria lainnya. Komplikasi serius yang

    muncul pada P. falciparum adalah malaria cerebral, gagal ginjal akut,

    gangguan pernapasan dari asidosis metabolik, algid malaria dan diatesis

    perdarahan. Diagnosis P. falciparum malaria dalam individu nonimmune

    merupakan keadaan darurat medis. Komplikasi parah dan kematian dapat

    terjadi jika terapi yang tepat tidak dilembagakan segera. Berbeda dengan

    malaria yang disebabkan oleh P. ovale, P. vivax, dan P. malariae, yang

    biasanya menghasilkan pertumbuhan parasit kurang dari 2%, malaria

    disebabkan oleh P. falciparum dapat dikaitkan dengan tingkat parasitemia

    setinggi 60%. P. falciparum menginfeksi eritrosit baik dewasa dan matang,

    sementara P. ovale dan P. vivax terutama menginfeksi eritrosit dewasa dan

    P. malariae hanya menginfeksi eritrosit matang. Seperti P. falciparum, P.

    knowlesi memiliki siklus replikasi 24 jam dan juga dapat menyebabkan

    kepadatan parasitemia yang sangat tinggi.

    P. vivax dianggap tidak lebih berat dari P. falciparum, namun laporan

    terbaru menunjukkan bahwa di beberapa daerah di Indonesia sering menjadi

  • 24

    berat dan menyebabkan kematian seperti P. falciparum. Penyakit yang berat

    dan kematian yang disebabkan P. vivax biasanya karena anemia berat dan

    kadang-kadang ruptur limpa. P. ovale mirip dengan P. vivax. P. malariae

    merupakan malaria yang paling ringan dan paling kronis dari semua infeksi

    malaria. Sindrom nefrotik merupakan komplikasi yang jarang dari infeksi P.

    malariae. Sindrom nefrotik berhubungan dengan infeksi P. malariae yang

    kurang responsif terhadap steroid.

    2.1.6 Diagnosis

    A. Anamnesis

    Pasien berasal dari daerah endemis malaria, atau riwayat bepergian, ke

    daerah endemis malaria.

    Lemah, nausea, muntah, tidak ada nafsu makan, nyeri punggung, nyeri

    daerah perut, pucat, mialgia, dan atralgia.

    Malaria infeksi tunggal pada pasien non-imun terdiri atas beberapa

    serangan demam dengan interval tertentu (paroksisme), diselingi

    periode bebas demam. Sebelum demam pasien merasa lemah, nyeri

    kepala, tidak ada nafsu makan, mual atau muntah.

    Pada pasien dengan infeksi majemuk/campuran (lebih dari satu jenis

    Plasmodium), demam terus-menerus (tanpa interval).

    Pada pejamu yang imun gejala klinisnya minimal.

    Periode paroksisme terdiri atas stadium dingin (cold stage), stadium

    demam (hot stage), dan stadium berkeringat (sweating stage).

    Paroksisme jarang dijumpai pada anak, stadium dingin seringkali

    bermanifestasi sebagai kejang.

    C. Pemeriksaan Fisik

    Pada malaria ringan dijumpai anemia, muntah atau diare, ikterus, dan

    hepatosplenomegali.

  • 25

    Malaria berat adalah malaria yang disebabkan oleh P. falciparum,

    disertai satu atau lebih kelainan sebagai berikut:

    - hiperparasitemia, bila >5% eritrosit dihinggapi parasit

    - malaria serebral dengan kesadaran menurun

    - anemia berat, kadar hemoglobin 50 mg/dl

    - hipoglikemia, kadang-kadang akibat terapi kuinin

    - gagal ginjal, kadar kreatinin serum >3 g/dl dan diuresis

  • 26

    2.1.7 Tatalaksana

    A. Medikamentosa

    Untuk semua spesies Plasmodium, kecuali P. falciparum yang resisten

    terhadap klorokuin:

    - Klorokuin sulfat oral, 25 mg/kgBB terbagi dalam 3 hari yaitu 10

    mg/kgBB pada hari ke-1 dan 2, serta 5 mg/kgBB hari ke-3

    - Kina dihidroklorid intravena 1mg garam/kgBB/dosis dalam 10

    cc/kgBB larutan dekstrosa 5% atau larutan NaCl 0,9% diberikan

    per infus dalam 4 jam, diulangi tiap 8 jam dengan dosis yang sama

    sampai terapi oral dapat dimulai. Keseluruhan pemberian obat

    adalah 7 hari dengan dosis total 21 kali.

    Plasmodium falciparum yang resisten terhadap klorokuin:

    - Kuinin sulfat oral 10 mg/kgBB/dosis, 3 kali sehari, selama 7 hari.

    Dosis untuk bayi adalah 10 mg/umur dalam bulan dibagi 3 bagian

    selama 7 hari.

    - Ditambah tetrasiklin oral 5 mg/kgBB/kali, 4 kali sehari selama 7

    hari (maks. 4x250 mg/hari)

    Regimen alternatif

    - Kuinin sulfat oral

    - Kuinin dihidroklorid intravena ditambah Pirimetamin sulfadoksin

    (fansidar) oral

    Umur (tahun) Pirimetamin sulfadoksin (tablet)

    14 3

    Pencegahan relaps

    - Primakuin fosfat oral

  • 27

    - Malaria falciparum: 0,5-0,75 mg basa/kgBB, dosis tunggal, pada

    hari pertama pengobatan

    - Malaria vivax, malariae, dan ovale: 0,25 mg/kgBB, dosis tunggal

    selama 5-14 hari

    B. Suportif

    Pemberian cairan, nutrisi, transfusi darah

    Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan dengan

    pemberian oral atau parenteral

    Pelihara keadaan nutrisi

    Transfusi darah pack red cell 10 ml/kgBB atau whole blood 20

    ml/kgBB apabila anemia dengan Hb 39oC, kecuali pada riwayat kejang demam dapat

    diberikan lebih awal

    D. Indikasi Rawat

    Semua kasus malaria berat atau dengan komplikasi harus dirawat

    E. Pemantauan

  • 28

    Efektifitas pengobatan antimalaria dinilai berdasarkan respon klinis dan

    pemeriksaan parasitologis.

    Kegagalan pengobatan dini, bila penyakit berkembang menjadi:

    - Malaria berat hari ke-1, 2, 3 dan dijumpai parasitemia, atau

    - Parasitemia hari ke-3 dengan suhu aksila >37,5oC

    Kegagalan pengobatan lanjut, bila perkembangan penyakit pada hari

    ke-4 28; secara klinis dan parasitologis:

    - Adanya malaria berat setelah hari ke-3 dan parasitemia

    - Adanya parasitemia pada hari ke-7, 14, 21, dan 28

    - Suhu aksila 37,5oC pada hari ke-4 28 tanpa ada

    kriteria kegagalan pengobatan dini

    Respons klinis dan parasitologis memadai, apabila pasien sebelumnya

    tidak berkembang menjadi kegagalan butir no. 1 dan 2, dan tidak ada

    parasitemia.

    2.1.8 Komplikasi

    Pada P. falciparum dapat menjadi:

    - Malaria serebral

    - Black water fever (hemoglobinuria masif)

    - Malaria algida (syok)

    - Malaria biliosa (gangguan fungsi hati)

    Pada P. malariae dapat terjadi penyulit sindrom nefrotik

    2.1.9 Prognosis

    Quo ad vitam : dubia ad bonam

    Quo ad sanationam : dubia ad malam

    Quo ad functionam : dubia ad bonam

  • 29

    2.2. Diare Akut

    2.2.1 Definisi

    Diare adalah pengeluaran tinja yang cair dengan frekuensi 3x/hari

    disertai perubahan konsistensi tinja (lembek atau cair) dengan atau tanpa

    disertai muntah. Selain itu, diare juga dapat diartikan ketika ibu merasakan

    adanya perubahan konsistensi dan frekuensi BAB. Hal ini dikarenakan pada

    bayi terutama yang belum mendapat makanan tambahan dan hanya

    mendapat ASI eksklusif, BAB dapat mencapai 6 sampai 8 kali perhari

    dengan feses encer dengan ada bagian padat dan berbau asam.

    2.2.2 Etiologi

    Kebanyakan kasus diare ( 85%) disebabkan oleh Rotavirus, ETEC,

    dan tidak ditemukan mikroorganisme penyebab. Sisanya ( 15%)

    disebabkan bakteri lainnya, virus lainnya, parasit, malabsorpsi makanan,

    alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi, dan lain-lain. Jadi

    kebanyakan penyebab diare tidak memerlukan antimikroba/antibiotik untuk

    mengatasinya.

    Kebanyakan kasus diare ( 80%) disebabkan oleh agen infeksi,

    dimana 1/3 kasus ( 30%) diare di masyarakat disebabkan oleh rotavirus.

    Separuh ( 50%) kasus diare yang dirawat di RS disebabkan oleh rotavirus,

    menunjukkan diare karena rotavirus menimbulkan dehidrasi yang lebih

    berat. Hanya sekitar 10% disebabkan oleh agen makanan, yakni pada kasus

    keracunan, malabsorpsi, intoleransi, ataupun alergi.

    Diare dapat disebabkan agen penyebab infeksi, yakni virus, bakteri,

    parasit dan jamur. Golongan virus, yakni Rotavirus, virus Norwalk,

    Norwalk like virus, Astrovirus, Calcivirus, dan Adenovirus.

    Golongan bakteri, yakni Escherichia coli (EPEC, ETEC, EHEC,

    EIEC), Salmonella, Shigella, Vibrio cholera 01, Clostridium difficile,

    Aeromonas hydrophilia, Plesiomonas shigelloides, Yersinia enterocolitis,

    Campilobacter jejuni, Staphilococcus aureus, dan Clostridium botulinum.

    Golongan parasit, yakni Entamoeba histolytica, Dientamoeba fragilis,

  • 30

    Giardia lamblia, Cryptosporidium parvum, Cyclospora sp, Isospora belli,

    Blastocystis hominis, dan Enterobius vermicularis. Golongan cacing, yakni

    Strongiloides stercoralis, Capillaria philippinensis, dan Trichinella spiralis.

    Golongan jamur, yakni Candidiasis, Zygomycosis, dan Coccidioidomycosis.

    Walaupun agen infeksi yang menyebabkan diare banyak jumlahnya, tetapi

    secara klinis WHO hanya membagi diare akut menjadis diare akut, disentri,

    dan kolera.

    Beberapa penyakit penyerta dapat menyertai diare. Pada diare akut

    penyakit penyerta terbanyak adalah Sepsis (27,20 %) terutama pada bayi

    yang berumur kurang 2 bulan, bronkopneumoni (23,53%), dan malnutrisi

    (19,12 %). Penyakit penyerta adalah penyakit yang terjadi bersamaan

    dengan penyakit diare. Beberapa penyakit dapat menyerang sistem lainnya

    disamping sistem traktus digestivus, misalnya infeksi enterovirus 40-41,

    virus campak, rota virus (sangat jarang) dikaitkan dengan gejala saluran

    cerna dan nafas. Beberapa penyakit lainnya memiliki gejala dominan di

    sistem lainnya, sementara gejala sistem digestif hanya sebagai penyerta,

    misalnya pada ensefalitis dan meningitis. Pada yang terakhir, diduga

    gangguan GIT (misalnya diare) terjadi karena (1) adanya sitokin-sitokin

    yang dilepaskan oleh reaksi peradangan yang mempengaruhi sistem digestif

    atau (2) tidak optimalnya kerja enzim-enzim pencernaan akibat hipertermi.

    2.2.3 Klasifikasi

    Diare akut adalah kumpulan penyakit dengan gejala diare, berupa

    defekasi dengan tinja cair/lembek dengan atau tanpa darah dan lendir

    dengan frekuensi 3 kali/hari atau lebih, berlangsung kurang dari 14 hari dan

    frekuensi kurang dari 4x/bulan. Batasan akut menurut Arasu lebih lama

    yakni 28 hari. Secara praktis WHO membedakan diare akut ke dalam 3

    kelompok, yakni diare akut, kolera, dan disentri. Kasus yang bukan kolera

    dan disentri dikelompokkan menjadi diare akut.

    Pada yang kronis dapat dibedakan menjadi diare persisten dan diare

    kronis. Diare persisten lebih ditujukan untuk diare akut yang melanjut lebih

  • 31

    dari 14 hari, yang umumnya disebabkan agen infeksi. Diare kronis lebih

    ditujukan untuk diare yang hilang timbul yang sering terjadi berulang atau

    diare akut dengan gejala yang ringan yang melanjut lebih 14 hari, yang

    umumnya disebabkan oleh non infeksi. Rerata (95%) diare akut terjadi

    dalam 3-5 hari, karena itu diare akut yang melanjut lebih dari 7 hari (disebut

    prolong diarrhea) harus diketahui agen penyebabnya.

    Berdasarkan patogenesisnya, diare dibagi menjadi diare sekretorik

    atau diare osmotik. Berdasarkan derajat dehidrasinya, diare dibagi menjadi

    diare tanpa dehidrasi, diare dengan dehidrasi ringan sedang dan diare

    dengan dehidrasi berat.

    Berdasarkan manifestasi klinis, dibagi menjadi tiga, yakni disentri,

    kolera, dan diare akut (bukan disentri maupun kolera). Klasifikasi

    berdasarkan manifestasi klinis, ditujukan untuk penggunaan antimikroba,

    dimana pada kolera dan disentri diberikan antibotika. Secara sederhana

    setiap diare akut yang disertai darah dan atau lendir/pus dapat dianggap

    disentri yang disebabkan oleh shigelosis, sampai terbukti lain. Kolera

    mempunyai manifestasi klinis khas, yakni diare profus, seperti cucian air

    beras, berbau khas seperti bayklin/sperma, umur anak 3 tahun ke atas

    (terutama di atas 5 tahun), adanya kejadian luar biasa dimana pada awal

    serangan menyerang orang dewasa baru kemudian menyerang anak.

    Berdasarkan derajat dehidrasi, dibagi menjadi tanpa dehidrasi, ringan-

    sedang, dan berat. Klasifikasi dehidrasi sesuai kehilangan cairan yang telah

    terjadi (PWL= provious water loss). PWL yang 0.5% penurunan barat badan

    (BB) tidak berdampak pada derajat dehidrasi (tanpa dehidrasi). Kehilangan

    cairan hingga 3% BB masih dapat dikompensasi oleh tubuh sehingga tidak

    terjadi tanda-tanda dehidrasi. PWL yang 5-10% penurunan BB berdampak

    pada tanda-tanda klinis dehidrasi ringan-sedang. PWL yang 10-15%

    penurunan BB berdampak pada tanda-tanda klinis dehidrasi berat. PWL

    yang lebih dari 15% menyebabkan kematian ataupun syok. Pada anak yang

    lebih besar karena komposisi cairan tubuh, terutama CES, lebih sedikit

    maka PWL sebesar 9% BB bisa menimbulkan dehidrasi berat. Derajat

  • 32

    dehidrasi dapat ditentukan berdasarkan gambaran klinis anak yang

    menderita diare, yang menurut MTBS (manajemen terpadu balita sakit)

    berdasarkan keadaan umum, kelopak mata, rasa haus, dan turgor.

    Derajat dehidrasi yang dihubungkan kehilangan BB:

    Beberapa patokan yang dapat digunakan untuk menentukan derajat

    dehidrasi:

    Program P2 Diare

    Penilaian ini sedikit lebih rumit, tetapi lebih baik dalam menentukan

    derajat dehidrasi dibandingkan MTBS. Penilaian ini mirip dengan MTBS,

    tetapi terdapat penambahan penilaian air mata dan keadaan mukosa mulut

    dan lidah.

    PENILAIAN A B C

    1. Lihat

    Keadaan

    umum

    Baik, sadar *gelisah, rewel *lesu, lunglai atau tidak

    sadar

    Mata Normal Cekung sangat cekung atau

    kering

    Air mata Ada tidak ada tidak ada

    Mulut dan

    lidah

    Basah Kering sangat kering

    Rasa haus minum biasa,

    tidak haus

    *haus, ingin

    minum banyak

    *malas minum atau

    tidak bisa minum

  • 33

    2. Periksa

    - Turgor kulit kembali cepat *kembali lambat *kembali sangat lambat

    3. Derajat

    dehidrasi

    tanpa

    dehidrasi

    dehidrasi ringan-

    sedang

    Bila ada 1 tanda*

    ditambah

    1 atau lebih tanda

    lain

    dehidrasi berat

    Bila ada 1 tanda*

    ditambah 1 atau lebih

    tanda lain

    Gejala Klinis

    Gejala

    Klinis Derajat Dehidrasi

    Tanpa Dehidrasi Ringan-Sedang Berat

    Keadaan

    umum

    Kesadaran Baik Gelisah, rewel Apatis-koma

    Rasa haus + +++ -

    Nadi

    (x/menit) Normal ( 6 jam)

  • 34

    2.2.4 Patofisiologi

    Patofisiologi dasar terjadinya diare adalah absorpsi yang berkurang

    dan atau sekresi yang meningkat. Beberapa mekanisme yang mendasarinya

    adalah mekanisme sekretorik (diare sekretorik), mekanisme osmotik (diare

    osmotik), dan campuran. Prinsip dasar infeksi oleh bakteri adalah

    kemampuan bakteri mengeluarkan toksin-toksin, yang dapat bertindak

    sebagai reseptor untuk melekat pada enterosit, merusak membran enterosit

    dan kemudian menghancurkannya (sitolitik, disebut sitotoksin),

    mengaktifkan second messenger intraseluler sehingga terjadi peningkatan

    sekresi (disebut enterotoksin), dan merusak/merangsang sistem persarafan

    (disebut neurotoksin). Pada infeksi bakteri, kerusakan sel dapat terjadi

    tergantung jenis bakteri yang menginvasi, tetapi dapat pula entrositnya

    utuh/tidak rusak. Jika enterositnya tidak rusak maka diare yang

    ditimbulkannnya adalah diare sekresi. Jika enterositnya rusak maka

    disamping diare sekresi juga dapat terjadi diare osmotik (tergantung pada

    tingkat kerusakan enterosit). Prinsip dasar diare karena virus adalah invasi

    virus ke dalam enterosit untuk berkembang biak sehingga enterosit lisis.

    Lisisnya enterosit menyebabkan gangguan pada villi (pemendekan pada

    villi) sehingga menyebabkan kripta hipertropi dan hiperplasi.

    Diare Sekretori

    Diare terjadi akibat aktifnya pompa: yang bekerja mengeluarkan

    elektrolit dan air ke lumen usus. Biasanya pompa yang terangsang adalah

    pompa clorida. Pompa ini terangsang karena adanya rangsangan mediator-

    mediator intraseluler (second messengger) yang terangsang karena toksin

    bakteri.

    Beberapa bakteri mengeluarkan enterotoksin tanpa invasi maupun

    merusak struktur mukosa usus. Bakteri ini menempel di sel, kemudian

    mengeluarkan enterotoksin yang mengikat reseptor mukosa yang spesifik

    yang kemudian meningkatkan aktifitas mediator intraseluler (second

    messenger). Meningkatnya aktifitas mediator intraseluler menyebabkan

    terjadinya peningkatan sekresi. Contohnya adalah Vibrio cholera, dimana

  • 35

    bakteri berkembang dalam usus kecil, kemudian melakukan perlengketan

    pada enterosit, kemudian mengeluarkan enterotoksin yang merangsang

    mediator intraseluler, sehingga terjadi peningkatan sekresi cairan. ETEC

    mengeluarkan toksin labil panas (LT, termasuk enterotoksin) yang

    kemudian berikatan dengan reseptor membran apikal enterosit, yang akan

    mengaktivasi GMP siklik intraseluler yang memacu sekresi Cl dan

    menghambat absorbsi Na. EPEC melakukan perlengketan tanpa

    menimbulkan kerusakan pada mukosa dan tanpa pengeluaran enterotoksin,

    terjadi kerusakan pada mikrovilli, yang mengakibatkan gangguan absorpsi.

    Beberapa kuman melakukan invasi, menimbulkan reaksi radang, dan

    menyebabkan destruksi enterosit, diantaranya Shigella, EIEC, EHEC,

    Yersinis enterocolitica, Campylobacter, Entamoeba histolytica. Infeksi

    dapat terbatas pada usus kecil atau kolon, tetapi dengan cepat menimbulkan

    kolitis dengan ulserasi pada mukosa superfisial dan keluhan mengejan,

    tenesmus, dan tinja berlendir dan berdarah. EIEC mengeluarkan toksin yang

    akan menhancurkan enterosit, mirip dengan Shigella. EHEC mengeluarkan

    toksin yang menyebabkan sembab dan perdarahan difus di kolon dan dapat

    menimbulkan SHU. Beberapa kuman selain melakukan invasi juga

    melakukan penetrasi ke lamina propria dan sistemik, contoh Salmonella.

    Jadi, walaupun bakteri menyebabkan diare sekresi, tetapi beberapa bakteri

    menyebabkan kerusakan mukosa/enterosit, sehingga juga terjadi diare

    osmotik.

    Beberapa mekanisme spesifik bakteri

    Escherichia coli: Kebanyakan sebagai flora normal, tetapi ada 4 yang

    virulen, yakni EPEC (Enterophatogenic E Coli), ETEC (Enterotoxigenic E

    Coli), EIEC (Enteroinvasive E Coli), dan EHEC (Enterohemorrhagic E

    Coli). EPEC dan ETEC melekat pada enterosit duodenum dan jejenum

    tanpa melakukan invasi. EPEC mengeluarkan toksin yang dapat merusak

    mikrovilli dan diduga mengurangi absorpsi dan meningkatkan sekresi cairan

    dan elektrolit sehingga terjadi gangguan digesti dan absorpsi makanan dan

    diare sekresi. EPEC berperan untuk terjadinya diare persisten. ETEC

  • 36

    memproduksi toksin stabil (ST) dan labil (LT). Mekanisme terjadinya diare

    mirip kolera. EIEC dan EHEC menyebabkan kerusakan pada kolon, jarang

    pada ileum terminal. Patogensis EIEC mirip Shigella. EHEC (hampir

    seluruhnya O157:H7) tidak menginvasi dan tidak mengeluarkan

    enterotoksin, tetapi menghasilkan sitotoksin yang merusak sel-sel epitel

    sekum, kolon, dan kadang ileum terminal. Bakteri ini juga menghasilkan

    verotoksin yang merusak sel endotel vaskuler menyebabkan hemolisis,

    trombosis, dan HUS (sindrom hemolitik uremik).

    Salmonella: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon, melakukan

    invasi ke sel epitel mukosa usus, kemudian invasi ke lamina propria (tidak

    menimbulkan kerusakan yang luas, hanya sedikit lapisan efitel yang rusak).

    Bakteri memproduksi heat-labile cholera like enterotoxin. Terjadi infiltrasi

    sel-sel radang, dan sintesis prostaglandin. Bakteri kemudian meng-invasi

    plaque peyeri, penyebaran ke KGB mesenterium sehingga terjadi

    hipertrophi, mengakibatkan penurunan aliran darah ke mukosa, sehingga

    terjadi nekrosis mukosa. Nekrosis mukosa menimbulkan ulkus menggaung,

    sehingga eritrosit dan plasma keluar ke lumen menyebabkan tinja

    bercampur darah.

    Shigella dan EIEC: Bakteri berkolonisasi di ileum terminalis/kolon

    (terutama kolon distal), melakukan invasi ke sel epitel mukosa usus. Di

    enterosit, bakteri bermultiplikasi, kemudian melakukan penyebaran ke

    enterosit-enterosit sekitarnya. Bakteri memproduksi enterotoksin yang akan

    meningkatkan aktifitas cAMP sehingga terjadi hipersekresi usus (diare

    sekresi). Bakteri juga memproduksi eksotoksin yang bersifat sitotoksik,

    yang menyebabkan infiltrasi sel radang, terjadi nekrosis sel epitel mukosa

    sehingga terbentuk ulkus kecil yang melebar. Adanya ulkus menyebabkan

    eritrosit dan plasma keluar ke lumen usus, sehinga tinja bercampur darah.

    Bakteri (terutama pada infeksi S. dysenteriae serotype I) kadang dapat

    meng-invasi lamina propia, sehingga terjadi bakteremia.

  • 37

    Campylobacter jejuni: Bakteri berkolonisasi di jejunum/ileum/kolon,

    kemudian meng-invasi sel epitel mukosa usus. Invasi berlanjut ke lamina

    propria, menimbulkan infiltrasi sel-sel radang dan pelepasan prostaglandin.

    Bakteri memproduksi heat-stabile cholera-like enterotoxin. Bakteri diduga

    juga memproduksi sitotoksin, menyebabkan nekrosis mukosa sehingga

    terbentuk ulkus. Adanya ulkus menyebabkan eritrosit dan plasma keluar ke

    lumen sehingga tinja bercampur darah. Jika bakteri masuk ke sirkulasi dapat

    menyebabkan bakteremia.

    Vibrio cholera: Bakteri yang lolos dari asam lambung, akan bermultiplikasi

    di lumen usus yang bersifat basa. Bakteri mengasilkan suatu protein yang

    dapat melekatkan dirinya pada enterosit. Kemudian bakteri menghasilkan

    enzim adenylate cyclase, yang mengubah ATP menjadi cAMP, sehingga

    terjadi sekresi Cl di kripta dan hambatan absorbsi Na+ di villus, yang

    menyebabkan sekresi air, garam, dan basa.

    Clostridium difficile: Bakteri anaerob gram positif ini menghasilkan

    sitotoksin dan enterotoksin (toksin A dan B). Komensal di tubuh, terutama

    pada bayi, menimbulkan kolitis (pseudomembran) yang umumnya terkait

    pemakaian antibiotik. Sekitar 20-30% AAD (antibiotic asociated diarrhoea)

    disebabkan oleh C difficile.

    Yersinia enterocolitis: Bakteri patogen invasif ini menyebabkan diare akut

    dan kronis pada anak. Kelainan di ileum terminalis berupa nodul-nodul,

    penebalan mukosa, dan ulkus aftae mirip penyakit Chron. Pada anak yang

    besar dan dewasa menyebabkan adenitis mesentrik.

    Campylobacter jejuni: Bakteri ini invasif pada kolon dan ileum.

    Menimbulkan peradangan usus dan dapat terjadi bateriemia. Masa inkubasi

    2-11 hari, kemudian timbul panas, nyeri abdomen (biasanya sekitar pusat),

    diare dengan tinja berbau busuk.

    Diare Osmotik

  • 38

    Diare terjadi karena tidak dicernanya bahan makanan secara

    maksimal, akibat dari insufisiensi sistem enzim atau terjadi Short Bowel

    syndrome. Makanan dicerna sebagian, sisanya akan menimbulkan beban

    osmotik (meningkatkan tekanan osmotik) intraluminal bagian distal. Hal ini

    memicu pergerakan cairan intravaskuler ke intraluminal, sehingga terjadi

    okumulasi cairan dan sisa makanan. Di kolon, sisa makanan tersebut akan

    didekomposisi oleh bakteri-bakteri kolon. Polisakarida didekomposisi

    menjadi asam lemak rantai pendek, gas hidrogen, dan lain-lain. Protein

    menjdi amoniak, dan lain-lain. Adanya bahanbahan makanan yang telah

    dikomposisi ini menyebabkan tekanan osmotik intraluminal kolon akan

    lebih meningkat lagi, sehingga sejumlah cairan akan tertarik ke intra luminal

    kolon, sehingga terjadi diare osmotik. Asam-asam lemak rantai pendek yang

    terbentuk dari pemechan polisakarida atau disakarida yakni asam propionat,

    asam asetat, dan asam butirat dapat menyebabkan peningkatan absorpsi

    (vasodilatasi vaskuler di kolon) tetapi dapat juga menyebabkan diare

    bertambah, tergantung dari perbandingan komposisi asam-asam lemak

    rantai pendek tersebut. Beberapa kuman yang dipakai sebagai probiotik,

    salah satu mekanisme kerjanya adalah meningkatkan kemampuan absorpsi

    kolon.

    Diare sitolitik oleh virus

    Virus menginvasi enterosit dan kemudian bermultifikasi dalam

    enterosit yang menyebabkan efek sitotoksik. Pada infeksi rotavirus, virus

    masuk dan memperbanyak diri dalam enterosit yang matur pada ujung vili

    usus kecil bagan proksimal kemudian menyebar ke bagian distal dalam

    masa inkubasi 48 jam. Mikrovili rusak dan dikeluarkan dalam 24 jam, kripta

    menjadi hiperplasi dan hipertrofi dalam 48 jam dan memperbaiki kembali

    permukaan vili yang rusak tetapi perbaikan tidak lengkap sehingga villi

    menjadi pendek. Hipertropi dan hiperplasi kripta membuat kripta makin

    dalam, sehingga sifat sekresinya kian bertambah. Memendeknya vili

    menyebab sifat absorsinya berkurang (struktur pembuluh darah di villi

  • 39

    memungkinkan vili bersifat absorptif). Enterosit yang terdapat di villi

    kurang matang sehingga enzim-enzim percernaan kurang sempurna

    terbentuk terutama enzim disakaridase (enzim yang paling cepat berkurang

    saat diare dan paling lambat pulihnya adalah laktase). Hal ini menyebabkan

    makanan tidak sempurna didigesti sehingga terbentuk banyak sisa makanan.

    Sisa makanan menyebabkan beban osmotik intaluminal tinggi, sehingga

    terjadi penarikan cairan ke intraluminal. Sebagian sisa makanan dihidrolisis

    oleh bakteri-bakteri kolon, sehingga menyebabkan diare osmotik dengan

    produksi gas dan asam lemak rantai pendek. Pada infeksi rotavirus terjadi

    diare campuran antara diare sekretori dan osmotik.

    Gastroenteritis akut karena virus akan sembuh dengan sendirinya,

    yang umumnya berlangsung sampai 7 hari, namun penyembuhan kerusakan

    histologis memerlukan waktu paling tidak 1 minggu setelah gejala klinik

    hilang. Intoleransi terhadap disakarida pulih setelah beberapa minggu.

    Beberapa mekanisme spesifik virus

    Rotavirus. Insiden tinggi di setiap negara. Kebanyakan menyerang pada

    bayi umur 6 bulan sampai 2 tahun. Bayi di bawah umur 3 bulan dapat

    terkena. Sangat jarang menyerang orang dewasa (serotype C). Masa

    inkubasi 1-2 hari. Gejala diawali oleh demam yang tidak tinggi (sekitar

    75%) dan muntah-muntah (sekitar 100%), kemudian demam dan muntah

    meredah baru timbul diare (5-10% kasus disertai BAB berdarah). Sembuh

    sendiri dalam 7 10 hari.

    Enteric adenovirus. Serotipe 40, 41. Penyebab terbanyak kedua oleh infeksi

    virus. Masa inkubasi 8-10 hari. Gejala muntah dan panas subfebril yang

    kemudian diikuti olehdiare sekitar 5 hari (1-14 hari)

    Virus Norwalk dan virus serupa norwalk. Masa inkubasi 1-2 hari. Gejala

    flu perut dengan gejala muntah lebih menonjol dibandingkan diare. Saat

    wabah yang terkena anak di atas 4 tahun dan dewasa Virus Astro dan virus

    Calici. Mirip diare rotavirus.

    Oleh proses inflamasi (alergi, irritable bowel disease): Inflamasi

    mengakibatkan sel-sel imun menghasilkan sitokin-sitokin, kemokin-

  • 40

    kemokin, dan prostaglandin. Hal ini memicu terjadi sekresi dan

    mengaktifkan saraf-saraf enterik. Metaloprotein yang dihasilkan oleh proses

    peradangan akan menghancurkan enterosit pada villus sehingga terjadi

    penurunan absorpsi. Rusaknya vilus merangsang sel enterosit di kripta untuk

    hiperplasia sehingga terjadi peningkatan sekresi. Di villi, sel-sel ditempati

    oleh enterosit yang immatur dimana terjadi insufisiensi enzim-enzim

    disakaridase dan peptide hydrolase. Kedua hal tersebut mengakibatkan

    terjadinya diare campuran.

    Konsistensi feses pada diare sekresi adalah cair dengan kandungan

    elektrolit yang tinggi, sedangkan pada diare osmotik, konsistensinya lembek

    dengan kandungan elektrolit rendah. Pada diare sitolitik terjadi campuran

    antara diare sekretorik dan osmotik.

    2.2.5 Perjalanan Penyakit Diare

    Hampir seluruh kasus diare berlangsung 3-5 hari. Karena itu diare

    yang melebihi 7 hari, walaupun masih tergolong diare akut, harus diketahui

    penyebabnya. Diare akut dapat menjadi diare persisten (lebih dari 14 hari).

    Penyebab terjadinya diare persisten sangat kompleks dan merupakan

    gabungan banyak faktor yang saling berkaitan dan mempengaruhi. Faktor

    kuman, terinfeksi oleh kuman yang sering menyebabkan diare persisten,

    yakni Shigella, EPEC, Samonella, Giardia, Entamoeba histolylotica,

    Cryptosporiium dan lain-lain. Infeksi rotavirus jarang menyebabkan diare

    persisten. Faktor pejamu (host) diantaranya adalah tidak mendapat ASI,

    tidak mendapat ASI eksklusif, anemia, umur kurang dari 1 tahun, BBLR,

    gizi buruk, penggunaan antibiotika yang tidak tepat, penanganan diare yang

    tidak benar, penggunaan obat-obat simptomatik, defisiensi zat imunologis,

    defisiensi enzim pencernaan. Faktor lainnya adalah sanitasi yang jelek,

    sumber air minum yang kotor, pendidikan pengasuh yang rendah. Selain

    diare persisten, diare yang berlangsung lebih dari 14 hari disebabkan diare

    kronik. Salah satu cara untuk membedakannya adalah puasa, dimana pada

  • 41

    diare persisten diare tetap berlangsung sedangkan pada diare kronik tidak.

    Cara lainnya adalah dengan mengetahui bentuk tinja, dimana pada diare

    dengan tinja berair dapat disebabkan oleh diare persisten, difisiensi enzim

    disakaridase, malabsorpsi monosakarida, alergi makanan, psikogenik,

    sindroma usus pendek, sindroma usus kecil tercemar, defek imun primer,

    penggunaan pencahar, tumor ektraluminal, dan gangguan endokrin. Tinja

    berlemak dapat disebabkan oleh giardiasis, insufisiensi pancreas, sindroma

    usus kecil tercemar, kolestasis, limangiektasi intestin, defek imun primer,

    kistik fibrosis. Tinja berdarah dapat disebabkan diare persisten (infeksi) dan

    alergi.

    2.2.6 Tatalaksana

    Menurut WHO ada 4 dasar terapi diare:

    1. Pemberian cairan: untuk mengobati atau mencegah dehidrasi,

    2. Diet: meneruskan ASI dan makanan lainnya,

    3. Obat-obatan: tidak memakai antibiotika, terkecuali pada kasus kolera dan

    disentri, WHO telah merekomendasikan pemakaian zinc dan

    4. Penyuluhan.

    Secara umum penanganan diare ditujukan untuk:

    1. Mencegah / menangulangi dehidrasi dan kemungkinan terjadinya

    intoleransi,

    2. Mengobati kausa dari diare,

    3. Mencegah / menanggulangi gangguan gizi, dan

    4. Menanggulangi penyakit penyerta.

    Pemberian terapi cairan untuk mengobati atau mencegah dehidrasi

    dapat melalui oral dan parenteral. Pemberian cairan peroral lebih

    menguntungkan dibandingkan parenteral karena mudah, murah, dan lebih

    mengurangi frekuensi BAB dan lama diare dibandingkan parenteral.

    Pemberian cairan peroral diberikan pada diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi

    ringan sedang. Pada keadaan dimana diare dengan dehidrasi berat gagal

    dilakukan pemasangan IVFD dan fasilitas/tempat untuk pemasangan IVFD

  • 42

    tidak terjangkau, dapat diberikan personde NGT, dengan kecepatan

    maksimal 20 ml/kgBB/jam.

    Pemberian cairan parenteral diberikan pada dehidrasi berat (dimana

    peroral tidak akan tercapai), dan dehidrasi ringan-sedang gagal URO.

    Setelah rehidrasi tercapai secepat mungkin beralih ke pemberian oral. Jenis

    cairan adalah kristalolid (RL, NaCl, NaCl+Dektrose), yang terbaik adalah

    RL. NaCl dapat mengatasi dehidrasi tetapi dapat menimbulkan asidosis

    hiperkloremia. NaCl+Dektrose (KAEN 3A atau 3B) kurang bermanfaat

    pada dehidrasi berat, karena kecepatan infus melampui batas GIR (glucose

    infussion rate), tetapi dapat bermamfaat pada dehidrasi ringan sedang.

    Pemberian infus yang mengandung dektrose, jika melampaui GIR, tidak

    dapat mengatasi dehidrasi, malahan akan menimbulkan dehidrasi.

    Prinsip Terapi Cairan

    Pemberian cairan dilakukan dengan cepat, dalam 3 sampai 6 jam.

    Pemberian cairan pada dehidrasi berat dalam keadaan syok merupakan

    tindakan kedaruratan medis, jika terjadi gejala dan tanda syok (nadi tidak

    teraba) berikan dulu loading cairan 20 ml/kgBB secepatnya. Penilaian

    lengkap status dehidrasi penderita dilakukan sesudah dimulainya pemberian

    cairan dan syok telah teratasi.

    Terapi rehidrasi dengan cairan parenteral pada dehidrasi berat,

    memerlukan tahap-tahapan: (1) Terapi Awal (initial therapy) ditujukan

    untuk memperbaiki dinamik sirkulasi dan fungsi ginjal dengan cara

    reekspansi cepat volume CES, (2) Terapi lanjutan, ditujukan untuk

    mengganti defisit air dan elektrolit dengan kecepatan pemberian cairan yang

    lebih rendah. Mengingat Na penting untuk mempertahankan volume CES

    dan adanya keterbatasan kadar K dalam rehidrasi cepat, maka pengantian

    ion Na lebih diutamakan dari pada K, dan (3) Perlu memperhatikan status

    glukosa pada rehidrasi, karena pada saat diare terjadi kekurangan kalori.

    Setelah terapi rehidrasi, saat terapi akhir, sangat penting

    menjaga/memulihkan status gizi penderita.

  • 43

    Terapi rehidrasi cepat pada dehidrasi berat, pada terapi awal menurut

    WHO/Depkes menggunakan RL 30 ml selama 30 menit pada anak 1 tahun

    ke atas dan 1 jam pada anak di bawah 1 tahun. Terapi lanjutan, menurut

    WHO/ Depkes menggunakan RL 70 ml selama 2,5 jam untuk anak 1 tahun

    ke atas dan 5 jam untuk anak di bawah 1 tahun. Monitoring rehidrasi

    dilakukan setiap jam, jika tanda-tanda dehidrasi hilang, rehidrasi dihentikan.

    Pada diare akut murni/tanpa masalah/ tanpa penyakit penyulit

    rehidrasi ditujukan untuk menganti PWL. Pemberian rehidrasi cepat (3-6

    jam) parenteral ditujukan untuk : (1) Memperbaiki dinamika sirkulasi (bila

    ada syok) dan (2) Mengganti defisit yg terjadi atau untuk menganti PWL,

    sementara pergantian CWL dan IWL diberikan peroral, tetapi jika peroral

    tidak memungkinkan IVFD dapat dipertahankan. Pada diare akut tanpa

    dehidrasi dapat diberikan rehidrasi oral setiap kali anak mengalami BAB

    cair dengan ketentuan kurang dari satu tahun diberikan 50-100 ml dan pada

    umur 1-5 tahun diberikan oralit 100-200 ml. Pemberian ASI tetap dilakukan

    namun frekuensinya dilakukan lebih sering dan lebih lama pada seiap

    pemberian.

    Pada diare akut murni dengan dehidrasi ringan sedang, diberikan

    upaya rehidrasi oral melalui pemberian oralit sebanyak 75 cc/kgbb/4jam.

    Jika gagal dlam melakukan upaya rehidrasi oral, maka dapat dilakukan

    pemberian IVFD RL dengan dosis 75 ml/kgbb/4jam.

    Berbeda dengan diare akut murni, pada diare akut dengan penyakit

    penyulit, tujuan pemberian cairan yang diberikan selama 24 jam adalah (1)

    Mengganti kehilangan yang telah terjadi, yang menentukan derajat dehidrasi

    pada saat dirawat (previous water loss = PWL), (2) Mencukupi kehilangan

    abnormal dari cairan yang sedang berlangsung (on going water losses =

    concomitant water loss = CWL, (3) Menganti cairan melalui keringat,

    pernafasan / Inseseble cairan, disebut inssible water loss (IWL). Atau (1)

    Mempertahankan kebutuhan rumatan dan (2) Menganti cairan yang hilang

    (PWL/CWL). Penyakit penyulit adalah keadaan/penyakit yang dapat

    membahayakan jika dilakukan pemberian terapi rehidrasi cepat.

  • 44

    Keadaan/penyakit tersebut adalah keadaan/penyakit yang dapat

    menimbulkan beban volume vaskuler atau beban volume rongga otak,

    yakni: penyakit jantung, BP, bronkiolitis, meningitis, ensefalitis, penyakit

    ginjal, hipernatremia. Pada diare dengan penyakit penyulit karena rehidrasi

    dilakukan selama 24 jam maka 1/3 sampai harus diberikan dalam 4 jam

    pertama agar keadaan dehidrasi (terutama yang berat) cepat teratasi dan

    sisanya dalam 20 jam kemudian. Pada beberapa keadaan dimana ancaman

    komplikasi dehidrasi tidak ada (misalnya pada dehidrasi ringan-sedang) atau

    dehidrasi (terutama yang berat) akan terjadi dalam 24 jam ke depan karena

    anak tidak bisa minum, maka cairan dapat diberikan dengan kecepatan yang

    sama. Cairan yang digunakan adalah cairan modifikasi Sutejo, Cairan

    tersebut adalah D5% + NaCl 15% 10 ml + KCl 10% 4 ml + BicNat 8,4% 7

    ml atau mengunakan KAEN 3A atau KAEN 3B. Berdasarkan pertimbangan

    tersebut di atas, maka jumlah terapi cairan selama 24 jam adalah : Pada

    dehidrasi ringan sedang: 200 ml/kgBB/24 jam atau 150-200 ml/kgBB/24

    jam, dengan rincian sebagai berikut, pada 4 jam pertama diberikan 50

    cc/kgbb dilanjutkan pada 20 jam selanjutnya diberikan cairan sebanyak 150

    cc/kgbb. Pada dehidrasi berat: 250 ml/kgBB/24 jam, dengan rincian sebagai

    berikut, pada 4 jam pertama diberikan cairan sebanyak 60 cc/kgbb

    dilanjutkan pada 20 jam selanjutnya diberikan cairan sebanyak 190 cc/kgbb.

    2.3. Otitis Media Akut

    2.3.1 Definisi

    Otitis media akut (OMA) adalah peradangan telinga tengah dengan

    gejala dan tanda-tanda yang bersifat cepat dan singkat. Gejala dan tanda

    klinik lokal atau sistemik dapat terjadi secara lengkap atau sebagian, baik

    berupa otalgia, demam, gelisah, mual, muntah, diare, serta otore, apabila

    telah terjadi perforasi membran timpani. Pada pemeriksaan otoskopik juga

    dijumpai efusi telinga tengah.

  • 45

    2.3.2 Epidemiologi

    Faktor yang mempengaruhi terjadinya OM meliputi usia, jenis

    kelamin, ras, latar belakang genetik, status sosial ekonomi, jenis susu yang

    digunakan dalam pemberian makanan bayi, tingkat paparan asap tembakau,

    tingkat paparan anak-anak lain, ada atau tidak adanya alergi pernapasan,

    musim, dan status vaksinasi. Anak-anak dengan jenis tertentu denagn

    adanya anomali kraniofasial kongenital sangat rentan terhadap OM.

    Kejadian otitis media akut pada anak sebesar 63% - 85% pada anak

    usia 12 bulan dan 66%-99% pada anak usia 24 bulan. Prevalensi tertinggi

    terjadi pada usia 6-20 bulan. Setelah usia 2 tahun insiden dan prevalensi

    OMA menurun meskipun penyakit ini umum terjadi pada anak usia sekolah.

    Umumnya penyakit ini terjadi pada usia bayi dan anak-anak karena faktor

    imunologi yang masih belum adekuat dan usia saat mengalami OMA pada

    anak-anak mempengaruhi terjadinya rekurensi dan berkembang menjadi

    kronik. Semakin dini usia mengalami OMA maka semakin tinggi risiko

    terjadinya penurunan kualitas hidup. Pada beberapa data menunjukkan anak

    laki-laki memilki prevalensi lebih tinggi mengalami OMA dibandingkan

    anak perempuan karena pada laki-laki dilaporkan bahwa OMA yang terjadi

    pada anak laki-laki biasanya dilakukan tindakan operasi. Berdasarkan

    beberapa studi yang membandingkan tingkat risiko OMA pada anak berkulit

    putih dan hitam menunjukkan bahwa faktor ras menunjukkan anak berkulit

    putih memilki risiko mengalami OMA lebih tinggi dibanding anak berkulit

    hitam.

    Faktor genetik menunjukkan risiko kembar monozigot lebih tinggi

    dibandingkan kembar dizigot karena terjadinya polimorfisme genetik pada

    respon inflamasi. Kemiskinan berpengaruh terhadap tingginya risiko

    mengalami OMA pada anak-anak karena berkaitan dengan faktor kepadatan

    penduduk, higienitas, keterbatasan pelayanan medis. Secara umum,juga

    penelitian telah menemukan efek perlindungan dari pemberian ASI terhadap

    OM. Paparan asap tembakau juga berpengaruh terhadap meningkatnya

    risiko OMA pada anak. Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa

  • 46

    terdapat hubungan positif antara terjadinya OMA dan tingkat paparan

    berulang untuk anak-anak lain baik dalam satu rumah, di luar rumah

    maupun di tempat penitipan anak. Faktor musim panas lebih berpengaruh

    positif terhadap kejadian OMA pada anak-anak dibandingkan musin dingin.

    Kejadian ISPA juga mempengaruhi kejadin OMA pada anak-anak.

    Kelainana kongenital seperti terdapat celah palatum, kelainan kraniofasial,

    down syndrome berpengaruh terhadap risiko kejadian OMA karean terdapat

    defisiensi fungsi tuba eustachius yang merupakan faktor predisposisi

    terjadinya OMA.

    Streptococcus pneumoniae merupakan patogen yang menyebabkan

    terjadinya OMA. Vaksinasi konjugasi pneumokokus berpengaruh terhadap

    rendahnya OMA pada anak-anak dan pemberian antibiotik oleh dokter

    hanya sekita 6-8%. Vaksinasi pneumokokus juga berpengaruh terhadap

    menurunkan kebutuhan terhadapa tindakan interverensi bedah timpanostomi

    pada anak-anak penderita OMA dan lebih meningkatkan kualitas hidup.

    Vaksin virus influenza juga berpengaruh menurunkan tingkat risiko OMA

    pada anak-anak. Faktor risiko lainnya juga harus dipertimbangkan

    kontribusinya terhadap kejadian OMA seperti faktor riwayat kelahiran,

    kelainan kongenital, sosiodemografi.

    2.3.3 Etiologi

    Bakteri piogenik merupakan penyebab OMA yang tersering. Menurut

    penelitian, 65- 75% kasus OMA dapat ditentukan jenis bakteri piogeniknya

    melalui isolasi bakteri terhadap kultur cairan atau efusi telinga tengah.

    Kasus lain tergolong sebagai non patogenik karena tidak ditemukan

    mikroorganisme penyebabnya. Tiga jenis bakteri penyebab otitis media

    tersering adalah Streptococcus pneumoniae (40%), diikuti oleh

    Haemophilus influenzae (25- 30%) dan Moraxella catarhalis (10- 15%).

    Kira-kira 5% kasus dijumpai patogen -patogen yang lain seperti

    Streptococcus pyogenes (group A beta - hemolytic), Staphylococcus aureus

    ,dan organisme gram negatif. Staphylococcus aureus dan organisme gram

  • 47

    negatif banyak ditemukan pada anak dan neonatus yang menjalani rawat

    inap di rumah sakit. Haemophilus influenzae sering dijumpai pada anak

    balita.Jenis mikroorganisme yang dijumpai pada orang dewasa juga sama

    dengan yang dijumpai pada anak-anak.

    Virus juga merupakan penyebab OMA.Virus dapat dijumpai tersendiri

    atau bersamaan dengan bakteri patogenik yang lain. Virus yang paling

    sering dijumpai pada anak-anak, yaitu respiratory syncytial virus (RSV),

    influenza virus, atau adenovirus (sebanyak 30-40%). Kira-kira 10-15%

    dijumpai parainfluenza virus, rhinovirus atau enterovirus. Virus akan

    membawa dampak buruk terhadap fungsi tuba Eustachius, menganggu

    fungsi imun lokal, meningkatkan adhesi bakteri, menurunkan efisiensi obat

    antimikroba dengan menganggu mekanisme farmakokinetiknya.

    2.3.4 Patogenesis

    Faktor Anatomi

    Tuba Eustachius merupakan bagian dari oragn telinga yang penting

    berkontribusi terhadap OMA. Tuba Eustachius merupakan saluran yang

    menghubungkan rongga telinga dengan nasofaring, yang terdiri dari tulang

    rawan pada dua pertiga ke arah nasofaring dan sepertiganya terdiri atas

    tulang. Dalam keadaan biasa tuba eustachius secara pasif ditutup dan dibuka

    oleh kontraksi tensor veli palatini otot. Sehubungan dengan telinga bagian

    tengah tuba eustachius memiliki 3 fungsi utama: ventilasi, perlindungan,

    dan clearance. Gangguan pada sistem ventilasi karean obstruksi

    mengakibatkan inflamasi metaplasia sekretori, kompromi dari sistem

    transportasi mukosiliar, dan efusi cairan ke dalam rongga timpani.Obstruksi

    pada tuba eustachius mengakibatakan penyumbatan ekstraluminal yang bisa

    disebabkan oleh hipertrofi adenoid jaringan nasofaring atau tumor, atau

    mungkin akibat dari obstruksi intraluminal melalui inflamasi edema mukosa

    tuba, paling sering sebagai akibat dari infeksi saluran pernapasan atas oleh

    virus.

  • 48

    Fungsi perlindungan dan pembersihan tuba eustachius juga mungkin

    terlibat dalam patogenesis OM. Dengan demikian, jika tuba eustachius

    dalam keadaan patulous atau tetap terbuka maka tidak dapat meliondungi

    telinga tengah dari refluks sekresi nasofaring, sedangkan penurunan fungsi

    pembersihan mukosiliar tabung mungkin berkontribusi pada terjadinya

    infeksi. Semakin pendek dan lebih horisontal tuba eustachius pada bayi dan

    anak-anak dapat meningkatkan kemungkinan refluks dari nasofaring dan

    merusak drainase pasif pada tuba eustachius. Pada pasien khusus dengan

    kelainan kraniofasial terdapat peningkatan insiden OM yang telah terkait

    dengan fungsi tuba eustachius abnormal. Pada anak-anak dengan celah

    langit-langit sering ditemukan OM karena penurunan mekanisme

    pembukaan tuba eustachius. Faktor lain yang mungkin adalah

    velopharyngeal (cacat valving), yang dapat mengakibatkan terganggunya

    hubungan aerodinamis dan hidrodinamik di bagian nasofaring dan

    proksimal dari tuba eustachius. Pada anak-anak dengan anomali kraniofasial

    lain dan dengan sindrom Down, tingginya prevalensi OM yang telah

    dikaitkan dengan struktur dan / atau fungsional tuba eustachius.

    Faktor Host

    Pada anak yang mengalami OMA perlu ditanyakan riwayat

    mengalami OMA berulang karena defisiensi IgG juga tidak jarang dialami

    oleh anak yang mengalami OMA yang tidak berulang. Pada anak yang

    mengalami defisiensi IgG sering mengalami infeksi OMA berulang yang

    dihubungkan dengan infeksi sinopulmonary berulang akibat dari anak

    rentan mengalami infeksi.Anak yang mengalami OMA rekuren tidak

    berhubungan dengan infeksi rekuren yang terjadi pada bagian lain.

    Meskipun demikian, bukti mengenai defisit imun ditunjukkan oleh beberapa

    penelitian berperan terhadap respon imun saat terjadi infeksi dan imunisasi.

    Pemberian ASI pada anak yang mengalami bibir sumbing memberikan efek

    protektif terhadap OMA. Pada anak dewasa yang mengalami OMA

    berulang yang mendapatkan suntikan intramuskular imunoglobulin bakteri

  • 49

    polisakarida atau intravena imunoglobulin poliklonal dilaporkan mengalami

    penurunan insiden terjadinya infeksi saluran nafas atas karena sistem

    kekebalan tubuh telah matang dan berkembang.

    Infeksi Virus

    Sebagian besar OMA berkembang akibat dari infeksi saluran

    pernafasan atas yang disebabkan oleh infeksi virus atau bakteri. Pada suatu

    penelitian terhadap anak-anak di tempat penitipan menunjukkan 30-40%

    mengalami infeksi saluran nafas atas (ISPA) yang disebabkan RSV, virus

    infuenza atau adenovirus, dan sekitar 10-15% disebabkan oleh virus

    parainfluenza, rhinovirus dan enterovirus. ISPA mengakibatkan keluarnya

    sitokin-sitokin dan mediator inflamasi yang dapat mengakibatkan disfungsi

    tuba eustachius. Virus yang menginfeksi saluran nafas dapat mengakibatkan

    peningkatan kolonisasi bakteri pada nasofaring sehingga merusak sistem

    pertahanan terhadap bakteri.

    Alergi

    Bukti yang menunjukkan adanya hubungan anatara alergi dan OMA

    masih belum jelas, kemungkinan alergi adalah sebagai faktor yang

    memperberat terjadinya OMA. Profil seseorang yang berisiko dan interkasi

    antara patogen dan inang berperan penting terhadap patogenesis OMA

    seperti terjadinya perubahan pembersihan mukosiliar akibat sering terpapar

    infeksi virus dan paparan asap tembakau.Anak-anak yang terpapar oleh

    anak-anak yang memilki risiko tinggi kolonisasi bakteri pada nasofaring dan

    OMA dengan resisten terhadap antibmikroba multipel mengakibatkan

    kesulitan dalam pengobatan dan memperpanjang lama onset penyakit.

    2.3.5 Manifestasi Klinik

    Gejala OMA bervariasi pada bayi dan anak-anak. Pada anak-anak

    dewasa bisa diketahui dari rasa sakit telinga yang dimanifestasikan oleh

    iritabilitas atau berubahan tidur atau kebiasaan makan, dan sering menarik-

    narik telinga. Demam biasanya juga ada. Pecahnya membran timpani

  • 50

    dengan purulen otorrhea jarang terjadi. Adanya gejala sistemik dan gejala

    yang berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan atas namun kadang-

    kadang juga tidak ditemukan saat pemeriksaan kesehatan rutin. Penurunan

    pendengaran bermanifestasi terhadap pola bicara khususnya pada anak

    dewasa. Pada anak dewasa juga bisa ditemukan keluihan telinga terasa

    penuh.

    2.3.6 Diagnosis

    Diagnosis didasarkan pada riwayat nyeri pada telinga atau adanya

    nanah yang keluar dari dalam telinga (selama periode < 2 minggu). Pada

    pemeriksaan, pastikan terjadi otitis media akut dengan otoskopi. Warna

    membran timpani (MT) merah, meradang, dapat sampai terdorong ke luar

    dan menebal, atau terjadi perforasi disertai nanah.

    Diagnosis OMA harus memebuhi 3 hal berikut ini:

    1. Onsetnya mendadak atau tidak

    2. Ditemukannya tanda efusi (penggumpalan cairan di suatu rongga tubuh)

    di telinga tengah. Efusi dibuktikan dengan memperhatikan tanda berikut:

    a. Mengembangkan gendang telinga

    b. Terbatas/tidaknya adanya gerakan gendang telinga

    c. Adanya bayangan cairan di belakang gendang telinga

    d. Cairan yang keluar dari telinga

    3. Adanya tanda/ gejala peradangan telinga tengah yang dibuktikan dengan

    adanya satu diantara tanda berikut:

    a. Kemerahan pada gendang telinga

    b. Nyeri yang mengganggu tidur dan aktivotas normal

    Anak dengan OMA dapat mengalami nyeri telinga atau riwayat

    menarik-narik telinga pada bayi, keluarnya cairan dari telinga, berkurangnya

    pendengaran, demam, sulit makan, mual dan muntah serta rewel. Namun

    gejala-gejala ini tidak spesifik untuk OMA sehingga diagnosis tidak dapat

    didasarkan pada riwayat.

  • 51

    Perbedaan otitis media akut dengan otitis media dengan efusi. Otitis

    media dengan efusi adalah efusi pada telinga tengah-tengah yang tidak ada

    manifestasi klinis infeksi akut, seperti otalgia dan demam. Otitis media efusi

    timbul setelah otitis media akut berhasil diobati dan bersih dalam 3 bulan

    pada 90% anak sesudah episode pertama otitis media. Lama (bukan

    keparahannya) efusi dapat dibagi menjadi akut (kurang dari 3 minggu),

    subakut ( 3 minggu 3 bulan), dan kronis ( lebih lama lagi 3 bulan). Efusi

    dapat serosa (encer), mukoid (kental), dan purulen.

    GEJALA DAN TANDA OMA OMA EFUSI

    Nyeri telinga, demam, rewel + -

    Efusi telinga tengah + +

    Gendang telinga suram + +/-

    Gendang yang menggembung +/- -

    Gerakan gendang berkurang + +

    Berkurangnya pendengaran + +

    2.3.7 Tatalaksana

    Antibiotik

    Penyebab tersering adalah Streptococus pneumonia, Hemophilus

    influenzae dan Moraxella catharrhalis, Berbagai bakteri lain menyebabkan

    sebagian kecil sisa infeksi, dapat meliputi gram positif maupun gram

    negatif. Pada neonatus umur di atas 2 minggu, Streptococus pneumonia,

    Hemophilus influenzae terus merupakan organisme penginfeksi yang paling

    lazim. Namun pada bayi kurang dari 2 minggu atau mereka yang masih

    dirawat inap, bakteri gram negatif Staphylococcus auereus, dan

    Streptococcus grup B menjadi lebih lazim.

    Antibiotik oral adalah pilihan awal apabila organisme penyebab belum

    diketahui karena efektif terhadap bakteri yang lazim ditemukan Diberikan

    Amoksisilin (15 mg/ kgBB/kali 3 kali sehari) atau kotrimoksazol oral (24

  • 52

    mg/kgBB/kali dua kali sehari) selama 710 hari. Apabila penderita gagal

    membaik secara klinis sesudah pengobatan amoksisilin awal (mungkin

    karena bakteri resiten terhadap penisilin) dan jika timpanosentesis atau

    meiningotomi tidak dilakukan, agen antibiotik awal harus diganti. Pilihan

    yang tepat dapat berupa eritromisisn (50mg/kg/24 jam) bersama dengan

    sulfonamid (100mg/kg/24 jam ) trisulfa atau sulfisoksazol (150 mg/kg/24

    jam) empat kali sehari, trimetorpim-sulfametoksazol ( 8 dan 40 mg/kg/24

    jam) dua kali sehari.

    Analgesik dan Antipiretik

    Selain antibiotikik, penganganan OMA biasanya diberikan anti nyeri

    yang umumnya digunakan adalah paracetamol dan ibuprofen.

    Edukasi

    Jika ada nanah mengalir dari dalam telinga, tunjukkan pada ibu cara

    mengeringkannya dengan wicking (membuat sumbu dari kain atau tisyu

    kering yang dipluntir lancip). Nasihati ibu untuk membersihkan telinga 3

    kali sehari hingga tidak ada lagi nanah yang keluar. Nasihati ibu untuk

    tidak memasukkan apa pun ke dalam telinga anak,kecuali jika terjadi

    penggumpalan cairan di liang telinga, yang dapat dilunakkan dengan

    meneteskan larutan garam normal. Anak untuk berenang atau memasukkan

    air ke dalam telinga.

    2.3.8 Komplikasi

    Dilaporkan satu kasus komplikasi intratemporal dan intrakranial

    akibat OMA pada anak perempuan berusia 11 tahun. Ada beberapa

    mekanisme terjadinya komplikasi intrakranial, yaitu melalui erosi tulang,

    invasi langsung dan tromboflebitis. Komplikasi intrakranial dapat muncul

    akibat pengaruh beberapa faktor antara lain infeksi pada telinga tengah yang

    menyebar ke intratemporal dan intrakranial. Kecenderungan invasi kuman

    dari telinga tengah ke intrakranial dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu

    virulensi kuman, sensitivitas antibiotik, imunitas, terapi antibiotik yang

  • 53

    adekuat, jalur anatomi dan barier yang bisa menyebarkan infeksi dan

    drainase daerah pneumatisasi karena operasi atau alami. Komplikasi

    intrakranial yang dapat terjadi antara lain yaitu meningitis, abses otak,

    tromboflebitis supuratif otogenik, hidrosefalus otikus, empiema subdural,

    abses epidural dan pneumocephalus.

    Pada pemeriksaan fisik pasien ditemukan peningkatan suhu tubuh,

    gelisah, penurunan kesadaran disertai adanya tanda rangsang meningeal

    (kaku kuduk). Hal ini akibat invasi kuman melalui sawar darah otak dan

    susunan saraf pusat menyebabkan inflamasi di lapisan meningen,

    subarakhnoid hingga otak. Kuman menyebarkan toksinnya masuk ke dalam

    cairan serebrospinal. Meningismus selalu muncul saat gejala prodromal dan

    ditemukan juga tanda rangsang meningeal. Berdasarkan temuan

    pemeriksaan fisik, maka pasien ini dicurigai menderita meningitis sebagai

    komplikasi intrakranial. Gejala yang mendukung ke arah meningitis antara

    lain sakit kepala, demam, muntah, iritabel dan lemah. Pada pemeriksaan

    neurologis ditemukan tanda rangsang meningeal, tetapi tidak ditemukan

    tanda Brudzinski dan Kernig yang merupakan tanda khas meningitis.

    Komplikasi intratemporal yang dapat terjadi adalah perforasi pars tensa,

    atelektasis telinga tengah, mastoiditis akut, petrositis, paresis fasialis,

    labirintitis dan gangguan pendengaran. Otitis media akut yang tidak segera

    diobati dapat berkembang menjadi otitis media kronik (OMK) dan

    mastoiditis.