bab ii
DESCRIPTION
deTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yg terjadi pd kenaikan suhu tubuh (rektal >
38oC) tanpa adanya infeksi SSP, gangguan elektrolit atau metabolik lain, kejang disertai demam
pd bayi berusia < 1 bulan tidak termasuk dalam kejang demam (IDAI, 2010).
Menurut Consensus statement on febrile seizures (1980), kejang demam adalah kejadian
pada bayi atau anak yang berhubungan dengan demam tetapi tidak pernah terbukti adanya
infeksi intrakranial atau penyebab tertentu. Anak yang pernah kejang tanpa demam dan bayi
berumur kurang dari 4 minggu tidak termasuk dalam kejang demam. Kejang demam harus
dibedakan dengan epilepsi,yaitu yang ditandai denagn kejang berulang tanpa demam.
Definisi ini menyingkirkan kejang yang disebabkan penyakit saraf seperti meningitis,
ensefatitis atau ensefalopati. Kejang pada keadaan ini mempunyai prognosis berbeda dengan
kejang demam karena keadaan yang mendasarinya mengenai sistem susunan saraf pusat. Dahulu
Livingston membagi kejang demam menjadi 2 golongan, yaitu kejang demam sederhana (simple
febrile convulsion) dan epilepsi yang diprovokasi oleh demam (epilepsi triggered of by fever).2
Hampir 3% daripada anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderitanya
(Millichap, 1968). Wegman (1939) dan Millichap (1959) dari percobaan binatang berkesimpulan
bahwa suhu yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya bangkitan kejang. Terjadinya bangkitan
kejang demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat (Wegman, 1939;
Prichard dan McGreal, 1958). Faktor hereditas juga mempunyai peranan. Lennox-Buchthal
(1971) berpendapat bahwa kepekaan terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah
gen dominan dengan penetrasi yang tidak sempurna. Lennox (1949) berpendapat bahwa 41,2%
anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada anak normal hanya 3%.1
2.2 Epidemiologi
Menurut IDAI, kejadian kejang demam pada anak usia 6 bulan sampai 5 tahun
hampir 2 - 5%. Diperkirakan 3% anak-anak dibawah usia 6 tahun pernah menderita kejang
demam. Anak laki-laki lebih sering pada anak perempuan dengan perbandingan 1,4 : 1,0.
Menurut ras maka kulit putih lebih banyak daripada kulit berwarna. Terjadinya bangkitan kejang
demam bergantung kepada umur, tinggi serta cepatnya suhu meningkat. Faktor hereditas juga
memegang peranan . Lennox Buchthal (1971) dalam Nelson (2007) berpendapat bahwa kepekaan
terhadap bangkitan kejang demam diturunkan oleh sebuah gen dominan dengan penetrasi yang
sempurna. Dan 41,2% anggota keluarga penderita mempunyai riwayat kejang sedangkan pada
anak normal hanya 3%.
Terdapat pengaruh faktor genetik yang kuat dalam kejang demam, karena
frekuensinya meningkat diantara anggota keluarga. Insidensi pada orang tua berkisar 8 % dan 22
% dan pada saudara kandung antara 9 % dan 17 %. Pada orang tua dari anak dengan kejang
demam ditemukan peningkatan insidensi epilepsi. Frekuensi epilepsi berbagai anggota keluarga
adalah 4 – 10 % (Rudolph et all., 2007). Risiko terjadinya kejang pada episode demam yang lain
tergantung dari usia anak anda. Anak yang berumur kurang dari 1 tahun pada saat kejang
pertama memiliki risiko 50% untuk mengalami kejang demam lagi. Anak yang berusia lebih dari
1 tahun pada saat kejang pertama hanya memiliki risiko 30% untuk mengalami kejang demam
lagi.
2.3 Klasifikasi
Umumnya kejang demam diklasifikasikan menjadi 2 golongan yaitu kejang demam
sederhana, yang berlangsung kurang dari 15 menit dan berlangsung umum, dan kejang demam
kompleks, yang berlangsung kurang dari 15 menit, fokal, atau multiple (lebih dari 2 kali kejang
dalam 24 jam).
Kriteria kejang demam sederhana
1. Tipe kejang umum
2. Durasi kejang < 15 menit
3. Frekuensi kejang 1 kali dalam 24 jam
4. Tidak ada defisit neurologis
5. Terjadi pada anak usia 6 bulan – 5 tahun
Kriteria kejang demam komplek
1. Kejang berlansung > 15 menit
2. Kejang fokal atau parsial satu sisi , atau kejang umum yng didahului kejang parsial
3. Kejang >2 kali dalam 24 jam
Kriteria kejang demam menurut livingtone adalah:
1. Umur anak ketika kejang antara 6 bulan dan 4 tahun.
2. Kejang berlangsung hanya sebentar saja, tidak lebih dari 15 menit.
3. Kejang bersifat umum
4. Kejang timbul dalam 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5. Pemeriksaan saraf sebelum dan sesudah kejang normal.
6. Pemeriksaan EEG yang dibuat sedikitnya 1 minggu sesudah suhu normal tidak
menunjukkan kelainan.
7. Frekuensi bangkitan kejang didalam 1 tahun tidak melebihi 4x.
Kejang demam yang tidak memenuhi salah satu atau lebih dari ketujuh kriteria
modifikasi Livingston diatas digolongkan pada epilepsi yang diprovokasi oleh demam. Kejang
kelompok kedua ini mempunyai suatu dasar kelainan yang menyebabkan timbulnya kejang,
sedangkan demam hanya merupakan faktor pencetus saja.
2.4. Faktor Resiko
Faktor resiko pertama yang penting pada kejang demam adalah demam. Selain itu juga
terdapat faktor riwayat kejang demam pada orang tua atau saudara kandung, perkembangan
terlambat, problem pada masa neonatus, anak dalam pengawasan khusus, dan kadar natrium
rendah. Setelah kejang demam pertama, kira-kira 33% anak akan mengalami satu kali rekurensi
atau lebih, dan kira-kira 9% anak mengalami 3 kali rekurensi atau lebih. Resiko rekurensi
meningkat pada usia dini, cepatnya anak mendapat kejang setelah demam timbul, temperature
yang sangat rendah saat kejang, riwayat keluarga kejang demam, dan riwayat keluarga epilepsi.1
Faktor risiko dapat dikelompokkan menjadi, yaitu :
1. Faktor Risiko Kejang Demam Pertama
(≥ 2 faktor risikoà Risiko kejang demam sebanyak 30%)
- Riwayat keluarga dengan kejang demam (orang tua atau saudara
kandung
- Pemulangan neonatus > 28 hari
- Perkembangan terlambat
- Anak dengan pengawasan
- Kadar Na (natrium) dalam serum darah rendah
- Temperatur yang tinggi
2. Faktor Risiko Kejang Demam Berulang
- Usia muda < 1 tahun
Makin muda usia anak ketika kejang pertama, maka makin besar
kemungkinan rekurensinya. Rekurensi bila serangan pertama
pada anak usia < 1 tahun adalah 50% dan usia > 1 tahun adalah
28%
- Riwayat keluarga kejang demam
- Cepatnya timbul kejang setelah demam
- Temperatur yang rendah saat kejang (< 38 0C)
- Riwayat keluarga epilepsi
- Setelah kejang demam pertama, 33% anak mengalami 1 kali
rekurensi atau lebih, dan 9 % anak mengalami 3 kali rekurensi
atau lebih
- Usia dini saat kejang demam dan riwayat kejang dalam keluarga
merupakan faktor risiko yang kuat untuk timbulnya rekurensi
- Sebanyak 50% rekurensi terjadi dalam 6 bulan pertama
- Sebanyak 75% berulang pada tahun pertama
- Sebanyak 90% rekurensi terjadi pada tahun kedua
3. Faktor Risiko Menjadi Epilepsi
- Perkembangan abnormal sebelum kejang demam petama
- Riwayat keluarga dengan epilepsy
- Kejang demam kompleks (KDK)
- Sebanyak 2-7% penderita kejang demam akan mengalami
epilepsi di kemudian hari. Sebaliknya 10-15% penderita epilepsi
pernah mengalami kejang demam sebelumnya
- Seluruh jenis epilepsi, termasuk absens, tonik-klonik umum, dan
parsial kompleks dapat terlihat pada pasien dengan riwayat kejang
demam
- National Institute of Neurologic Disorder and Stroke (NINDS)
Perinatal Collaborative Project (NCPP) melaporkan tingginya
risiko epilepsi di antara anak-anak dengan perkembangan
abnormal sebelum kejang demam pertama, adanya riwayat orang
tua atau saudara kandung dengan epilepsi dan anak dengan kejang
demam kompleks
- Sebanyak 60% anak dengan kejang demam tidak memiliki satupun
faktor risiko di atas, sebanyak 2 % akan berkembang menjadi
epilepsi sebelum usia 7 tahun
- Dari 34% anak dengan satu faktor risiko, sebanyak 3 % akan
menjadi epilepsi, dan jika mempunyai 2 atau 3 faktor risiko, maka
kejadian epilepsi menjadi 13 %
4. Faktor genetik
Faktor genetik diduga sangat kuat secara autosomal
dominan sederhana. Kejang demam di dalam keluarga, meskipun
belum jelas diketahui cara diturunkannya. Pada anak dengan kejang
deman sering dijumai keluarganya mempunyai riwayat kejang
demam. Tingginya kejadian epilepsi dalam keluarga yang mempunyai
anak dengan kejang demam tidak sepenuhnya terbukti. Risiko epilepsi
juga tinggi pada saudara kandung yang mempunyai kejang demam,
tetapi tidak untuk saudara yang lain. Orang tua mungkin menanyakan
kemungkinan risiko kejang demam untuk anak yang lainnya dan ini
kira-kira 10-20%, akan lebih tinggi jika orang tuanya mempunyai
riwayat kejang demam.
2.5 Etiologi
Berbagai hipotesis telah diajukan, antara lain secara genetika ambang kejang pada anak
berbeda dan akan turun pada kenaikan suhu tubuh. Terdapat interaksi 3 faktor sabagai penyebab
kejang demam :
1. Imaturitas otak dan termoregulator
2. Demam, dimana kebutuhan 02 meningkat
3. Predisposisi genetik : > 7 lokus kromosom (poligenik, autosomal dominan)
Demam pada kejang demam sering disebabkan oleh infeksi yang umum pada anak seperti
tonsillitis, infeksi traktus respiratorius (38-40%), otitis media (15-23%) dan gasrtroenteritis akut
(7-9%). Pada anak usia prasekolah sering mendapat infeksi tersebut dan disertai demam, yang
bila dikombinasikan dengan ambang kejang yang rendah à mudah mendapatkan kejang. Hanya
11% anak dengan kejang demam mengalami kejang terjadi pada suhu <37,9°C, 14-40% kejang
terjadi pada 38-38,9°C dan 40-56% pada 39-39,9°C.
2.6 Patofisiologi
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah lipoid
dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel neuron dapat dilalui oleh
ion K, ion Na, dan elektrolit seperti Cl. Konsentrasi K+ dalam sel neuron tinggi dan konsentrasi
Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel maka terdapat
perbedaan potensial yang disebut potensial membran dari sel neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan
enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Perbedaan potensial membran sel
neuron disebabkan oleh :
1. Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler.
2. Rangsangan yang datangnya mendadak, misalnya mekanis, kimiawi, aliran listrik
dari sekitarnya.
3. Perubahan patofisiologis dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1 derajat celcius akan menyebabkan metabolisme
basal meningkat 10-15% dan kebutuhan oksigen meningkat 20%. Pada seorang anak yang
berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, sedangkan pada orang dewasa
hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan keseimbangan dari
membran dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium maupun natrium melalui
membran tadi, dengan akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini sedemikian
besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel lainnya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmitter sehingga terjadi kejang.
Tiap anak mempunyai ambang kejang yang berbeda dan tergantung dari tinggi rendahnya
ambang kejang seorang anak. Ada anak yang ambang kejangnya rendah, kejang telah terjadi
pada suhu 38 derajat celcius, sedangkan pada anak dengan ambang kejang tinggi, kejang baru
terjadi pada suhu 40 derajat celcius. Dari kenyataan ini dapatlah disimpulkan bahwa terulangnya
kejang demam lebih sering terjadi pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam
penanggulangannya perlu diperhatikan pada tingkat suhu berapa penderita kejang.Kejang demam
yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan tidak menimbulkan gejala sisa.
Tetapi pada kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai terjadinya apnea,
meningkatkan kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi
hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anaerobik, hipotensi
arterial disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh makin meningkat disebabkan
meningkatnya aktifitas otot dan selanjutnya menyebabkan metabolisme otak meningkat.
Rangkaian kejadian diatas adalah faktor penyebab hingga terjadinya kerusakan neuron otak
selama berlangsungnya kejang lama. Faktor terpenting adalah gangguan peredaran darah yang
mengakibatkan hipoksia sehingga meninggikan permebealitas kapiler dan timbul edema otak
yang mengakibatkan kerusakan sel neuron otak.
Kerusakan pada daerah mesial lobus temporalis setelah mendapatkan serangan kejang
yang berlangsung lama dapat menjadi “matang” di kemudian hari, sehingga terjadi serangan
epilepsi yang spontan. Jadi kejang demam yang berlangsung lama dapat menyebabkan kelaian
anatomis di otak hingga terjadi epilepsi.7
2.7 Manifestasi Klinis
Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Sering diperkirakan bahwa cepatnya
peningkatan temperatur merupakan pencetus untuk terjadinya kejang. Umumnya serangan
kejang tonik-klonik, awalnya dapat berupa menangis, kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan
otot. Semua fase tonik, mungkin disertai henti napas dan inkontinensia. Kemudian diikuti fase
klonik berulang, ritmik dan akhirnya setelah kejang letargi atau tidur .
Bentuk kejang lain adalah mata terbalik ke atas dengan kekakuan atau kelemahan otot,
gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan, atau hanya sentakan atau kekakuan fokal.
Serangan pada bentuk absens atau mioklonik sangat jarang. Sebagian besar berlangsung < 5
menit, < 8% berlangsung > 15 menit dan 4% kejang > 30 menitt. Bila anak kejang lagi perlu
diindentifikasi apakah ada penyakit lain yang memerlukan pengobatan tersendiri. Perlu juga
diketahui mengenai pengobatan sebelumnya, ada tidakknya trauma, perkembangan psikomotor
dan riwayat keluarga dengan epilepsi atau kejang demam.
2.7. Pemeriksaan Fisik Dan Penunjang
Pemeriksaan fisik, kesadaran, adanya meningismus, UUB yang tegang atau membonjol,
tanda Kerning atau Brudzinski, kekuatan & tonus harus diperiksa dengan teliti dan dinilai ulang
secara periodik. Sebanyak 6% anak akan mengalami rekurensi dalam 24 jam pertama, namun
belum diketahui kasus yg mana akan cepat mengalami kejang kembali. Penyebab lain dari
kejang yang disertai demam harus disingkirkan, khususnya ensefalitis atau meningitis. Pungsi
lumbal terindikasi bila ada kecurigaan klinis meningitis. Adanya sumber infeksi seperti otitis
media tdk menyingkirkan meningitis jika pasien telah mendapat antibiotik maka perlu
pertimbangan lumbal pungsi
Penyebab lain kejang yang disertai demam selain meningitis & ensefalitis adalah :
gastroenteritis shigella, obat-obat tertentu seperti difenhidramin, antidepresan trisiklik,
amfetamin, kokain dan dehidrasi yang mengakibatkan gangguan keseimbangan air-elektrolit.
Pemeriksaan laboratorium rutin tidak dianjurkan & dikerjakan untuk mengevaluasi
sumber infeksi. Foto X-ray kepala & neuropencitraan (CT atau MRI) jarang dikerjakan & tidak
rutin. Untuk pemeriksaan ElektroEncephalografi (EEG) tidak memperlihatkan kegunaan dalam
mengevaluiasi kejang demam, EEG yang dikerjakan satu miggu setelah kejang demam dapat
abnormal, biasanya berupa perlambatan di posterior. Sebanyak 95% kasus kejang demam
menunjukkan gambaran EEG abnormal bila dikerjakan segera setelah kejang demam, sekitar
30% penderita akan memperlihatkan perlambatan di posterior dan akan menghilang 7-10 hari
kemudian. Walaupun ada abormalitas gambaran EEG yang tinggi pada anak dengan kejang
demam, namun EEG tidak dapat memprediksi rekurensi atau risiko terjadinya epilepsi di
kemudian hari. American Association of Pediatric (AAP) tidak menganjurkan melakukan EEG
pada penderita kejang demam sederhana atau kejang demam kompleks.
Menurut Consensus Statement on Febrile Seizures, kejang demam adalah bangkitan
kejang pada bayi dan anak, biasanya terjadi antara umur 3 bulan dan 5 tahun, berhubungan
dengan demam tetapi tidak terbukti adanya infeksi intrakranial atau penyebab lain.
Penggolongan kejang demam menurut kriteria Nationall Collaborative Perinatal
Project adalah kejang demam sederhana dan kejang demam kompleks. Kejang demam sederhana
adalah kejang demam yang lama kejangnya kurang dari 15 menit, umum dan tidak berulang pada
satu episode demam. Kejang demam kompleks adalah kejang demam yang lebih lama dari 15
menit baik bersifat fokal atau multipel.
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Penggolongan tidak lagi menurut kejang demam sederhana dan epilepsi yang
diprovokasi demam tetapi dibagi menjadi pasien yang memerlukan dan tidak memerlukan
pengobatan rumat. Umumnya kejang demam pada anak berlangsung pada permulaan demam
akut, berupa serangan kejang klonik umum atau tonik klonik, singkat dan tidak ada tanda-tanda
neurologi post iktal.
Pemeriksaan EEG pada kejang demam dapat memperlihatkan gelombang lambat di
daerah belakang yang bilateral, sering asimetris, kadang-kadangunilateral. Pemeriksaan EEG
dilakukan pada kejang demam kompleks atau anak yang mempunyai risiko untuk terjadinya
epilepsi. Pemeriksaan pungsi lumbal diindikasikan pada saat pertama sekali timbul kejang
demam untuk me- nyingkirkan adanya proses infeksi intra kranial, perdarahan subaraknoid atau
gangguan demielinasi, dan dianjurkan pada anak usia kurang dari 2 tahun yang menderita kejang
demam.
2.8 Tata Laksana
Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,
• Mencegah kejang demam berulang
• Mencegah status epilepsy
• Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
• Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.
Pengobatan Fase Akut
Anak yang sedang mengalami kejang, prioritas utama adalah menjaga agar jalan
nafas tetap terbuka. Pakaian dilonggarkan, posisi anak dimiringkan untuk mencegah
aspirasi. Sebagian besar kasus kejang berhenti sendiri, tetapi dapat juga berlangsung terus
atau berulang. Pengisapan lendir dan pemberian oksigen harus dilakukan teratur, kalau
perlu dilakukan intubasi. Keadaan dan kebutuhan cairan, kalori dan elektrolit harus
diperhatikan. Suhu tubuh dapat diturunkan dengan kompres air hangat (diseka) dan
pemberian antipiretik (asetaminofen oral 10 mg/ kg BB, 4 kali sehari atau ibuprofen oral
20 mg/kg BB, 4 kali sehari). Saat ini diazepam merupakan obat pilihan utama untuk
kejang demam fase akut, karena diazepam mempunyai masa kerja yang singkat.
Diazepam dapat diberikan secara intravena atau rektal, jika diberikan
intramuskular absorbsinya lambat. Dosis diazepam pada anak adalah 0,3 mg/kg BB,
diberikan secara intravena pada kejang demam fase akut, tetapi pemberian tersebut sering
gagal pada anak yang lebih kecil. Jika jalur intravena belum terpasang, diazepam dapat
diberikan per rektal dengan dosis 5 mg bila berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg
pada berat badan lebih dari 10 kg.
Pemberian diazepam secara rektal aman dan efektif serta dapat pula diberikan
oleh orang tua di rumah. Bila diazepam tidak tersedia, dapat diberikan luminal suntikan
intramuskular dengan dosis awal 30 mg untuk neonatus, 50 mg untuk usia 1 bulan – 1
tahun, dan 75 mg untuk usia lebih dari 1 tahun.2 Midazolam intranasal (0,2 mg/kg BB)
telah diteliti aman dan efektif untuk mengantisipasi kejang demam akut pada anak.12
Kecepatan absorbsi midazolam ke aliran darah vena dan efeknya pada sistem syaraf pusat
cukup baik; Namun efek terapinya masih kurang bila dibandingkan dengan diazepam
intravena.
Mencari dan Mengobati Penyebab
Kejang dengan suhu badan yang tinggi dapat terjadi karena faktor lain,
seperti meningitis atau ensefalitis. Oleh sebab itu pemeriksaan cairan
serebrospinal diindikasikan pada anak pasien kejang demam berusia kurang dari 2
tahun, karena gejala rangsang selaput otak lebih sulit ditemukan pada kelompok
umur tersebut. Pada saat melakukan pungsi lumbal harus diperhatikan pula kontra
indikasinya.Pemeriksaan laboratorium lain dilakukan atas indikasi untuk mencari
penyebab, seperti pemeriksaan darah rutin, kadar gula darah dan elektrolit.
Pemeriksaan CT-Scan dilakukan pada anak dengan kejang yang tidak diprovokasi
oleh demam dan pertama kali terjadi, terutama jika kejang atau pemeriksaan post
iktal menunjukkan abnormalitas fokal.
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan
keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang
menetap. Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu,
1. Profilaksis intermittent pada waktu demam
Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan
segera diberikan pada waktu pasien demam suhu rektal lebih dari 38ºC).
Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak.Antipiretik
saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang.
Rosman dkk, meneliti bahwa diazepam oral efektif untuk mencegah
kejang demam berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih
baik karena penyerapannya lebih cepat. Diazepam diberikan melalui
oral atau rektal.Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien
dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan
berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg BB perhari
dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5oC
atau lebih. Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan
hipotoni.Martinez dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk 3 menggunakan
klonazepam sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB
per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 38oC dan dilanjutkan jika
masih demam. Ternyata kejang demam berulang terjadi hanya pada
2,5% dari 100 anak yang diteliti. Efek samping klonazepam yaitu
mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan
salivasi ber- lebihan.
Tachibana dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk 3 meneliti
khasiat kloralhidrat supositoria untuk mencegah kejang demam
berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan
kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg,
diberikan bila suhu diatas 38oC. Hasil yang didapat adalah terjadinya
kejang demam berulang pada 6,9% pasien yang menggunakan
supositoria kloralhidrat dibanding dengan 32% pasien yang tidak
menggunakannya. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan
kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.
Profilaksis Terus Menerus dengan Antikonvulsan Tiap Hari
Indikasi pemberian profilaksis terus menerus pada saat ini adalah:
o Sebelum kejang demam yang pertama sudah ada kelainan
atau gangguan perkembangan neurologis.
o Terdapat riwayat kejang tanpa demam yang bersifat genetik
pada orang tua atau saudara kandung.
o Kejang demam lebih lama dari 15 menit, fokal atau diikuti
kelainan neurologis sementara atau menetap.
o Kejang demam terjadi pada bayi berumur kurang dari 12
bulan atau terjadi kejang multipel dalam satu episode demam.
Antikonvulsan profilaksis terus menerus diberikan selama 1 –
2 tahun setelah kejang terakhir, kemudian dihentikan secara
bertahap selama 1 – 2 bulan.
Pemberian profilaksis terus menerus hanya berguna untuk
mencegah berulangnya kejang demam berat, tetapi tidak dapat mencegah
timbulnya epilepsi di kemudian hari. Pemberian fenobarbital 4 – 5 mg/kg
BB perhari dengan kadar sebesar 16 mg/mL dalam darah menunjukkan hasil
yang bermakna untuk mencegah berulangnya kejang demam. Efek samping
fenobarbital ialah iritabel, hiperaktif, pemarah dan agresif ditemukan pada
30–50 % kasus. Efek samping fenobarbital dapat dikurangi dengan
menurunkan dosis.Obat lain yang dapat digunakan adalah asam valproat
yang memiliki khasiat sama dibandingkan dengan fenobarbital. Ngwane
meneliti kejadian kejang berulang sebesar 5,5 % pada kelompok yang
diobati dengan asam valproat dan 33 % pada kelompok tanpa pengobatan
dengan asam valproat. Dosis asam valproat adalah 15 – 40 mg/kg BB
perhari. Efek samping yang ditemukan adalah hepatotoksik, tremor dan
alopesia.Fenitoin dan karbamazepin tidak memiliki efek profilaksis terus
menerus, Millichap, merekomendasikan beberapa hal dalam upaya
mencegah dan menghadapi kejang demam.
• Orang tua atau pengasuh anak harus diberi cukup informasi
mengenai penanganan demam dan kejang.
• Profilaksis intermittent dilakukan dengan memberikan diazepam
dosis 0,5 mg/kg BB perhari, per oral pada saat anak menderita demam.
Sebagai alternatif dapat diberikan profilaksis terus menerus dengan
fenobarbital.
• Memberikan diazepam per rektal bila terjadi kejang. •
Pemberian fenobarbital profilaksis dilakukan atas indikasi, pemberian
sebaiknya dibatasi sampai 6 – 12 bulan kejang tidak berulang lagi dan kadar
fenoborbital dalam darah dipantau tiap 6 minggu – 3 bulan, juga dipantau
keadaan tingkah laku dan psikologis anak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Febrile, Seizure : Cause, Symtoms, Diagnostis And
Teadmnt .Www.Medicine.Article.Com
2. Haslam Robert H.A. Sistem Saraf, Dalam Ilmu Keshatan Anak Nelson, Vol 3, Eisi 15.
Penerbit Buku Kdokteran EGC, Jakarta, 2000, XXVII;2059-2060
3. Hendarto S. K . Kejang Demam . Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu Kesehatan
Anak, Fakultas Kedokteran Univrsitas Indonesia, RSCM, Jakarta, Cermin Dunia
Kdokteran No 27. 1982 : 6-8
4. Pudjiadi A, Dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis, Jilid 1. Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
5. Pusponegoro HD, Widodo DP, SOFYAN I. Consensus Penatalaksanaan Kejang
Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Jakarta,
3006 : 1-14