bab ii

17
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Abortus 2.1.1 Pengertian Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia, apapun penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia apabila berat badannya lebih dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu (Sastrawinata, 2005). 2.1.2 Epidemiologi Di dunia terjadi 20 juta kasus abortus tiap tahun dan 70.000 wanita meninggal karena abortus setiap tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta pertahun termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah 10%-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 – 900.000, sedangkan abortus buatan sekitar 750.000 – 1,5 juta setiap tahunnya, 2500 orang diantaranya berakhir dengan kematian (Anshor, 2006). Di Indonesia, menurut laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010 disebutkan bahwa persentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar 4% pada perempuan pernah kawin usia 10 – 59 tahun. Dilihat per provinsi, angka ini bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu 5

Upload: dr013

Post on 11-Dec-2015

212 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

huihuhiojiopjiojiomln n jnn j jnjnkmnnknj njnjkj n jnjnmiomiommnmjnjknnjk hjbnefjrngiufneirunvjernvejrv nfk f feurfenqfjrbfydvb0qiowjijre8urefe jfufenuewfnuimuhuin

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Abortus

2.1.1 Pengertian

Abortus adalah berakhirnya kehamilan sebelum janin dapat hidup di dunia,

apapun penyebabnya. Bayi baru mungkin hidup di dunia apabila berat badannya lebih

dari 500 gram atau umur kehamilan lebih dari 20 minggu (Sastrawinata, 2005).

2.1.2 Epidemiologi

Di dunia terjadi 20 juta kasus abortus tiap tahun dan 70.000 wanita meninggal

karena abortus setiap tahunnya. Angka kejadian abortus di Asia Tenggara adalah 4,2 juta

pertahun termasuk Indonesia, sedangkan frekuensi abortus spontan di Indonesia adalah

10%-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau 600.000 – 900.000, sedangkan

abortus buatan sekitar 750.000 – 1,5 juta setiap tahunnya, 2500 orang diantaranya

berakhir dengan kematian (Anshor, 2006).

Di Indonesia, menurut laporan Riset Dasar Kesehatan (Riskesdas) 2010

disebutkan bahwa persentase abortus dalam periode lima tahun terakhir adalah sebesar

4% pada perempuan pernah kawin usia 10 – 59 tahun. Dilihat per provinsi, angka ini

bervariasi mulai terendah 2,4% yang terdapat di Bengkulu sampai dengan yang tertinggi

sebesar 6,9% di Papua Barat. Provinsi dengan abortus tertinggi selanjutnya adalah

Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan masing-masing 6,3% serta Sulawesi Selatan

sebesar 6,1% (Setia Pranata, 2012).

2.1.3 Etiologi

Patofisiologi pasti terjadinya abortus belum diketahui. Banyak faktor-faktor yang

dapat mempengaruhi terjadinya abortus, yaitu faktor janin, faktor ibu, dan faktor ayah.

Lebih dari 80 persen abortus terjadi pada 12 minggu pertama kehamilan, dan kira-

kira setengah dari kasus abortus ini diakibatkan oleh anomali kromosom. Setelah

5

Page 2: BAB II

melewati trimester pertama, tingkat aborsi dan peluang terjadinya anomali kromosom

berkurang (Cunningham, 2014).

A. Faktor Janin

Kelainan yang paling sering dijumpai pada abortus adalah gangguan pertumbuhan

zigot, embrio, janin atau plasenta. Kelainan tersebut biasanya menyebabkan abortus pada

trimester pertama menurut Sastrawinata 2005, yakni:

a. Kelainan telur, telur kosong (blighted ovum), kerusakan embrio, atau kelainan

kromosom (monosomi, trisomi, atau poliploidi).

b. Embrio dengan kelainan lokal.

c. Abnormalitas pembentukan plasenta (hipoplasi trofoblas).

B. Faktor Maternal

a. Infeksi

Ureaplasma urealyticum, Mycoplasma hominis, dan Bacterial vaginosis

ditemukan pada traktus genitalia sebagian wanita yang mengalami abortus. Hal

ini berkaitan dengan infeksi mikoplasma yang menyangkut traktus genitalia dapat

menyebabkan abortus. Beberapa organisme seperti Treponema pallidum,

Toxoplasma gondii, Chlamydia trachomatis, Neisseria gonorhoeae, dan

Streptococcus agalactina diduga memiliki kaitan dengan terjadinya abortus.

Beberapa virus seperti virus herpes simplek, cytomegalovirus, rubella, dan HIV

juga dicurigai sebagai penyebab terjadinya abortus (Cunningham, 2014;

Prawirohardjo, 2014).

b. Penyakit Kronik

Meskipun jarang, penyakit yang menyebabkan wasting dapat menyebabkan

abortus, seperti tuberkulosis dan karsinomatosis. Celiac sprue diduga

menyebabkan infertilitas pria dan abortus berulang bagi wanita (Cunningham,

2014).

6

Page 3: BAB II

c. Pengaruh Endokrin

Hipertiroidisme, diabetes mellitus, dan defisiensi progesteron dapat meningkatkan

insiden abortus. Progesteron berfungsi mempertahankan desidua, defisiensi

hormon tersebut akan mengganggu nutrisi pada hasil konsepsi dan dengan

demikian turut berperan dalam peristiwa kematiannya. Diabetes maternal pernah

ditemukan oleh sebagian peneliti sebagai faktor predisposisi abortus spontan,

tetapi kejadian ini tidak ditemukan oleh peneliti lainnya. Diabetes tidak

menyebabkan abortus apabila gula darah dikendalikan dengan baik (Cunningham,

2014; Campbell, 2006).

d. Nutrisi

Pada saat ini, tampak bahwa hanya malnutrisi umum yang berat merupakan

predisposisi meningkatnya kemungkinan abortus. Defisiensi salah satu zat gizi

atau defisiensi nutrisi dalam jumlah sedang tidak terbukti merupakan penyebab

abortus yang penting (Cunningham, 2014).

e. Obat-Obatan dan Lingkungan

Diketahui bahwa arsen, timbal, formaldehida, benzena, dan etilen oksida

memungkinkan untuk menjadi penyebab abortus. Diperkirakan 1 – 10%

malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau radiasi dan

umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas

anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik,

antara lain nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga

menghambat sirkulasi uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan

pasokan oksigen ibu dan janin serta memacu neurotoksin. Adanya gangguan pada

sistem sirkulasi fetoplasenta dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan janin

yang berakibat terjadinya abortus. Wanita yang merokok diketahui lebih sering

mengalami abortus spontan daripada wanita yang tidak merokok. Alkohol

dinyatakan meningkatkan resiko abortus spontan, meskipun hanya digunakan

dalam jumlah sedang. (Cunningham, 2014; Prawirohardjo, 2014)

7

Page 4: BAB II

f. Faktor Autoimun

Pada pasien dengan Systematic Lupus Syndrome (SLE), ditemukan

Antiphospholipid Antibodies (aPA) yang berkaitan dengan kematian janin. aPA

merupakan antibodi yang akan berkaitan dengan sisi negatif dari fosfolipid.

Sekitar 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan,

sering juga ditemukan beberapa keadaan obstetrik seperti preeklampsia, IUGR

dan prematuritas (Prawirohardjo, 2014).

g. Trauma

Trauma abdomen mayor dapat menyebabkan abortus. Abortus spontan biasanya

terjadi setelah kematian embrio atau kematian janin. Jika abortus disebabkan oleh

trauma, kemungkinan kecelakaan tersebut bukan peristiwa yang baru terjadi,

tetapi merupakan kejadian yang terjadi beberapa minggu sebelum abortus

(Campbell, 2006; Cunningham, 2014)

h. Faktor Anatomik Reproduksi

Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti

abortus berulang, prematuritas, dan malpresentasi janin. Penyebab terbanyak

abortus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40%-80%),

kemudian uterus bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 – 30 %). Mioma

uteri dapat menyebabkan baik infertilitas maupun abortus berulang. Sindroma

Asherman dapat menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan darah

pada permukaan endometrium, hal ini membuat resiko abortus menjadi 25 – 80 %

(Prawirohardjo, 2014).

C. Faktor Paternal

Translokasi kromosom dalam sperma dapat menyebabkan zigot mempunyai terlalu

sedikit atau terlalu banyak bahan kromosom, sehingga mengakibatkan abortus

(Cunningham, 2014).

8

Page 5: BAB II

2.1.4. Mekanisme Abortus

Proses abortus berawal dari terjadinya perdarahan di dalam desidua basalis yang

diikuti oleh nekrosis jaringan di sekitarnya. Hal ini membuat hasil konsepsi terlepas dari

dinding uterus. Hasil konsepsi selanjutnya akan dianggap sebagai benda asing terhadap

uterus sehingga uterus akan berusaha untuk mengeluarkan hasil konsepsi, baik secara

langsung atau bertahan selama beberapa waktu. Hasil konsepsi biasanya akan

dikeluarkan seluruhnya pada kehamilan dibawah 8 minggu karena villi korealis belum

menembus desidua terlalu mendalam. Perdarahan pervaginam terjadi saat proses

pengeluaran konsepsi.

Pada kehamilan 8 – 14 minggu, villi korealis biasanya telah menembus desidua

lebih mendalam, sehingga umumnya plasenta tidak dilepaskan sempurna. Biasanya

diawali dengan selaput ketuban yang akan pecah, lalu diikuti dengan keluarnya janin

yang cacat. Plasenta mungkin masih tertinggal dalam cavum uteri atau sudah berada

dalam kanalis servikalis. Hal ini mengakibatkan perdarahan pervaginam yang banyak.

Pada kehamilan lebih dari 14 minggu, awalnya yang akan dikeluarkan setelah

ketuban pecah adalah janin, kemudian disusul oleh plasenta yang telah lengkap terbentuk.

Apabila plasenta masih tertinggal di dalam uterus akan mengakibatkan gangguan

kontraksi uterus yang menyebabkan nyeri yang hebat dan perdarahan pervaginam.

(Mochtar, 2011; Batista 2012)

2.1.5. Klasifikasi Abortus

Secara klinis abortus menurut Prawirohardjo 2014 diklasifikasikan sebagai berikut:

1. Abortus Iminens adalah tingkat permulaan dan ancaman untuk terjadinya

abortus,ditandai perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil

konsepsi masih baik dalam kandungan.

2. Abortus Insipiens adalah abortus yang sedang mengancam ditandai dengan

serviks telah mendatar dan ostium uteri telah membuka, hasil konsepsi masih

berada di dalam kavum uteri dan sedang dalam proses pengeluaran.

3. Abortus Komplit merupakan kejadian dimana seluruh hasil konsepsi telah

keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu atau dengan

9

Page 6: BAB II

berat janin kurang dari 500 gram.

4. Abortus Inkomplit adalah abortus dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar

dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.

5. Missed Abortion adalah abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah

meninggal dalam kehamilan sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi

seluruhnya masih tertahan dalam kandungan.

6. Abortus Habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-

turut.

7. Abortus Infeksious ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia.

8. Abortus Septik adalah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran

darah tubuh atau peritoneum (septicemia atau peritonitis).

2.2 Abortus Inkomplit

2.2.1. Pengertian

Abortus inkomplit adalah kejadian dimana sebagian hasil konsepsi telah keluar

dari kavum uteri tetapi masih ada yang tertinggal di dalam uterus, kanalis servikalis

masih terbuka dan teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri

eksternum.Batasan ini juga masih terpancang pada usia kehamilan kurang dari 20 minggu

atau berat janin kurang dari 500 gram (Prawirohardjo, 2014).

2.2.3. Diagnosis

Diagnosis abortus inkomplit ditegakkan berdasarkan hal-hal berikut ini menurut

Nugroho 2012 :

A. Manifestasi klinis abortus inkomplit sebagai berikut :

a. Terlambat haid atau amenore kurang dari 20 minggu.

b. PP Test positif

c. Pada pemeriksaan fisik: keadaan umum tampak lemah atau kesadaran

menurun, tekanan darah normal atau menurun, denyut nadi normal, atau

cepat dan kecil, suhu badan normal atau meningkat.

10

Page 7: BAB II

d. Pendarahan pervaginam, pendarahan yang bisa sedikit atau banyak biasanya

berupa darah beku, sudah ada keluar jaringan.

e. Rasa mulas atau nyeri perut di darerah atas simfisis, sering di sertai nyeri

pinggang akibat kontraksi uterus, kadang nyeri digambarkan menyerupai

nyeri saat persalinan.

B. Pada pemeriksaan ginekologi abortus inkomplit akan ditemui antara lain sebagai

berikut :

a. Inpeksi vulva: pendarahan pervaginam, ada atau tidak jaringan hasil

konsepsi, tercium atau tidak bau busuk dari vulva.

b. Inspekulo: pendarahan dari kavum uteri, ostium uteri terbuka atau sudah

tertutup, ada atau tidak jaringan yang keluar dari ostium, ada atau tidak

cairan atau jaringan berbau busuk dari ostium.

c. Colok vagina: porsio masih terbuka atau sudah tertutup, teraba atau tidak

jaringan dalam kavum uteri, besar uteri lebih kecil dari usia kehamilan, tidak

nyeri saat porsio digoyang.

USG dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi

adanya sisa kehamilan. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis (Sujiyatini,

2009).

2.2.3. Tatalaksana

Berikut adalah langkah-langkah penatalaksanaan abortus inkomplit:

1. Penanganan Umum

Jika perdarahan (pervaginam) sudah sampai menimbulkan gejala klinis syok,

tindakan pertama ditujukan untuk perbaikan keadaan umum. Tindakan

selanjutnya adalah untuk menghentikan sumber perdarahan. Berikut dalah

tahapan-tahapan penanganan umum menurut Prawirohardjo, 2014.

Tahap Pertama :

Tujuan dari penanganan tahap pertama adalah, agar penderita tidak jatuh ke

tingkat syok yang lebih berat, dan keadaan umumnya ditingkatkan menuju

keadaan yang lebih balk. Dengan keadaan umum yang lebih baik (stabil),

11

Page 8: BAB II

tindakan tahap ke dua umumnya akan berjalan dengan baik pula.

Pada penanganan tahap pertama dilakukan berbagai kegiatan, berupa :

a. Memantau tanda-tanda vital (mengukur tekanan darah, frekuensi denyut

nadi, frekuensi pernafasan, dan suhu badan).

b. Pengawasan pernafasan (Jika ada tanda-tanda gangguan pernafasan seperti

adanya takipnu, sianosis, saluran nafas harus bebas dari hambatan. Dan

diberi oksigen melalui kateter nasal).

c. Selama beberapa menit pertama, penderita dibaringkan dengan posisi

Trendelenburg.

d. Pemberian infus cairan (darah) intravena (campuran Dekstrose 5% dengan

NaCl 0,9%, Ringer laktat).

e. Pengawasan jantung (Fungsi jantung dapat dipantau dengan

elektrokardiografi dan dengan pengukuran tekanan vena sentral).

f. Pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan darah lengkap, golongan darah,

jenis Rhesus, Tes kesesuaian darah penderita dengan darah donor,

pemeriksaan pH darah, pO2, pCO2 darah arterial. Jika dari pemeriksaan ini

dijumpai tanda-tanda anemia sedang sampai berat, infus cairan diganti

dengan transfusi darah atau infus cairan bersamaan dengan transfusi darah.

Darah yang diberikan dapat berupa eritrosit, jika sudah timbul gangguan

pembekuan darah, sebaiknya diberi darah segar. Jika sudah timbul tanda-

tanda asidosis harus segera dikoreksi.

Tahap kedua :

Setelah keadaan umum penderita stabil, penanganan tahap ke dua

dilakukan. Penanganan tahap ke dua meliputi menegakkan diagnosis dan

tindakan menghentikan perdarahan yang mengancam jiwa ibu. Tindakan

menghentikan perdarahan ini dilakukan berdasarkan etiologinya.

Pada keadaan abortus inkompletus, apabila bagian hasil konsepsi

telah keluar atau perdarahan menjadi berlebih, maka evakuasi hasil

konsepsi segera diindikasikan untuk meminimalkan perdarahan dan risiko

infeksi pelvis. Sebaiknya evakuasi dilakukan dengan aspirasi vakum,

12

Page 9: BAB II

karena tidak memerlukan anestesi.

2. Tindakan Operatif

Tindakan Operatif Penanganan Abortus Inkomplit menurut Setyasworo, 2010

terdiri dari:

- PengeIuaran Secara digital

Hal ini sering dilaksanakan pada keguguran bersisa. Pembersihan secara

digital hanya dapat dilakukan bila telah ada pembentukan serviks uteri yang

dapat dilalui oleh satu janin longgar dan dalam kavum uteri cukup luas,

karena manipulasi ini akan menimbulkan rasa nyeri.

- Kuretase

Kuretase adalah cara menimbulkan hasil konsepsi memakai alat kuretase

(sendok kerokan). Sebelum melakukan kuretase, penolong harus melakukan

pemeriksaan dalam untuk menentukan letak uterus, keadaan serviks dan

besarnya uterus.

- Vakum kuretase

Vakum kuretase adalah cara mengeluarkan hasil konsepsi dengan alat vakum.

2.2.4. Komplikasi

Berikut adalah komplikasi yang disebabkan oleh abortus inkomplit menurut

Mochtar 2011 :

1. Perdarahan (hemorrhage)

2. Perforasi akibat dilatasi dan kuretase yang dilakukan bukan oleh ahli

3. Infeksi dan tetanus

4. Payah ginjal akut

5. Syok

i. Syok hemoragik akibat perdarahan yang banyak

ii. Syok septik atau endoseptik akibat infeksi berat atau sepsis

13

Page 10: BAB II

2.2.5. Prognosis

Dengan evakuasi yang cepat dan adekuat oleh dokter ahli dan tanpa

disertai dengan infeksi, abortus inkomplit memberikan prognosis yang baik pada

ibu. Resiko terjadinya abortus spontan kembali akan meningkat pada ibu yang

telah mengalami abortus spontan sebelumnya. Dianjurkan untuk merencanakan

dan mempersiapkan kehamilan berikutnya sebaik-baiknya agar tidak terjadi

kembali abortus. (Batista, 2012; Utama 2015)

2.3. Faktor yang Mempengaruhi Abortus Inkomplit

2.3.1. Usia Ibu

Perempuan yang hamil pada usia <20 tahun akan meningkatkan resiko

terjadinya abortus akibat belum optimalnya perkembagan sistem reproduksi.

Perempuan yang hamil pada usia >35 tahun dapat terjadi penurunan pada sistem

reproduksi. Hal ini diakibatkan oleh kemunduran pada jaringan sistem

reproduksi dan jalan lahir, seperti penurunan elastisitas ligamentum pada uterus

(Chairiyah, 2010).

Pada kehamilan usia muda keadaan ibu masih labil dan belum siap mental

untuk menerima kehamilanya, akibatnya selain tidak ada persiapan, kehamilanya

tidak dipelihara dengan baik. Kondisi ini menyebabkan ibu menjadi stres dan

akan meningkatkan resiko terjadinya abortus (Prawirohardjo, 2002).

Kejadian kelainan kromosom/trisomi akan meningkat setelah usia 35

tahun, resiko ibu terkena aneuploidi adalah 1:80 pada kehamilan usia diatas 35

tahun (Prawirohardjo, 2014).

2.3.2. Paritas

Pada kehamilan rahim ibu teregang oleh adanya janin. Bila terlalu sering

melahirkan, rahim akan semakin melemah. Bila ibu melahirkan 4 anak atau

lebih, maka perlu diwaspadai adanya gangguan pada waktu kehamilan,

persalinan, dan nifas. Resiko abortus meningkat seiring dengan paritas ibu

(Cunningham, 2009)

14

Page 11: BAB II

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Halim, Muda, dan Hiswani

(2012) di RSUD Pirngadi Medan, kejadian abortus inkomplit terjadi paling

banyak pada kelompok multipara, yaitu mencapai 54%.

2.4. Kerangka Teori

Faktor Ibu:1. Usia2. Paritas3. Riwayat abortus4. Riwayat penyakit5. Infeksi6. Penyakit kronik7. Pengaruh

endokrin8. Nutrisi9. Obat-obatan dan

lingkungan10. Faktor autoimun11. Trauma12. Faktor anatomik

reproduksi

Faktor Janin:1. Kelainan telur /

kelainan kromosom2. Embrio dengan

kelainan local3. Abnormalitas plasenta

15

Page 12: BAB II

Translokasi kromosom

ABORTUS INKOMPLIT

16