bab ii
DESCRIPTION
Perbandingan Pemberian Injeksi Tanpa Klem Dengan Diklem Pada Selang Infus Terhadap Penurunan Nyeri Pada Saat Injeksi Intravena di Ruang Interna RSAD Wirabakti MataramTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Teori
1.Pemberian Obat
a. Pengertian
Obat adalah senyawa atau campuran untuk
mengurangi gejala atau menyembuhkan penyakit
(Ambarwati.dkk, 2009).
Obat merupakan sebuah substansi yang
diberikan kepada manusia atau binatang sebagai
perawatan atau pengobatan (Hidayat, 2006).
Obat merupakan suatu zat yang digunakan untuk
diagnosa, pengobatan, penyembuhan atau pencegahan
penyakit pada manusia atau pada hewan (Anief,
2004).
Obat adalah setiap substansi yang dapat
mempengaruhi fungsi normal tubuh pada tingkat sel
(Tambayong, 2002).
Berdasarkan beberapa teori di atas maka dapat
disimpulkan, pemberian obat merupakan salah satu
tindakan medis dengan memasukkan suatu substansi
(obat) kedalam tubuh untuk memberikan perawatan
dan pengobatan dengan tujuan untuk mengurangi
gejala atau menyembuhkan penyakit.
b. Cara Pemberian Obat
Menurut Tambayong (2002), obat dapat
diberikan melalui sejumlah cara yang berbeda.
Faktor yang menentukan cara pemberian terbaik
ditentukan oleh keadaan umum pasien, kecepatan
respon yang diinginkan sifat kimiawi, fisik obat,
dan tempat kerja yang diinginkan. Obat dapat
diberi per oral, parenteral/injeksi, topikal,
rektal, dan melalui inhalasi.
1) Oral, ini adalah rute pemberian yang paling
umum dan paling banyak dipakai, karena
ekonomis, paling nyaman dan aman.
2) Rektal, obat dapat diberi melalui rute rektal
berupa enema atau supositoria.
3) Topikal, termasuk di sini adalah krim, salep,
losion, liniment, sprei, dan dapat dipakai
untuk melumasi, melindungi, atau menyampaikan
obat ke daerah tertentu, pada kulit atau
membran mukosa.
4) Inhalasi. Saluran nafas memiliki luas epitel
untuk absorbsi yang sangat luas dan dengan
demikian berguna untuk memberi obat secara
local pada salurannya.
5) Parenteral/injeksi, kata ini berasal dari
bahasa Yunani. Para berarti di samping, enteron
berarti usus, jadi parenteral berarti di luar
usus, atau tidak melalui saluran cerna.
c. Pemberian Obat Secara Parenteral/Injeksi
Menurut Ambarwati (2009), Pemberian obat
secara injeksi/parenteral merupakan pemberian obat
yang dilakukan dengan menyuntikkan obat tersebut
ke jaringan tubuh atau pembuluh darah dengan
menggunakan spuit. Tujuannya antara lain:
1) Mendapatkan reaksi yang lebih cepat
dibandingkan dengan cara yang lain.
2) Memperoleh reaksi setempat (tes alergi).
3) Membantu menegakkan diagnosa (penyuntikan zat
kontras).
Pemberian obat melalui injeksi/parenteral dapat
dilakukan dengan cara:
a) Intradermal (ID)/Intrakutan (IC)
Injeksi intradermal/intrakutan merupakan cara
memberikan atau memasukkan obat ke dalam
jaringan kulit, tujuannya adalah untuk
melakukan tes terhadap reaksi alergi jenis obat
yang akan digunakan. Pemberian intrakutan pada
dasarnya di bawah dermis atau epidermis, secara
umum pada daerah lengan bagian ventral.
b) Intramuscular (IM).
Injeksi intramuskular adalah pemberian obat
dengan cara memasukkan obat ke dalam jaringan
otot dengan mengguanakan spuit. Lokasi
penyuntikan adalah pada daerah paha (vastus
lateralis), ventrogluteal (dengan posisi
berbaring), dorsogluteal (posisi tengkurap),
atau lengan atas (deltoid). Tujuan pemberian
obat dengan cara ini adalah agar absorbsi obat
lebih cepat.
c) Subcutaneous (SC)
Injeksi subcutaneous adalah pemberian obat
melalui suntikan ke bawah kulit yang dapat
dilakukan pada daerah lengan atas sebelah luar
atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luar,
daerah dada, dan daerah sekitar umbilikus
(abdomen). Pemberian obat melalui subkutan ini
pada umumnya dilakukan dalam program pemberian
insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar
gula darah. Pemberian insulin terdapat dua tipe
larutan, yaitu larutan yang jernih dan larutan
yang keruh. Larutan yang jernih adalah insulin
tipe reaksi cepat (insulin reguler) dan larutan
keruh adalah tipe lambat karena adanya
penambahan protein yang memperlambat absorbsi
obat.
d) Intravenous (IV)/Injeksi Intravena
Injeksi intravena adalah pemberian obat dengan
cara memasukkan obat ke dalam pembuluh darah
vena dengan menggunakan spuit.
Tujuan pemberian obat melalui intravena ialah
untuk mendapatkan reaksi obat yang cepat
diabsorbsi daripada injeksi parenteral lain,
untuk menghindari terjadinya kerusakan
jaringan, dan untuk memasukkan obat dalam
jumlah yang besar. Pemberian obat melalui
intravena dapat dilakukan dengan dua cara yaitu
pemberian obat intravena langsung dan pemberian
obat intravena intra selang atau melalui
selang.
d. Pemberian Obat Intravena Langsung
Pemberian obat intravena langsung merupakan
pemberian obat dengan cara memasukkan obat ke dalam
pembuluh darah vena, diantaranya vena mediana
cubiti/cephalika (lengan), vena saphenous
(tungkai), vena jugularis (leher), dan vena
frontalis/temporalis (kepala), serta bertujuan
memberikan obat dengan reaksi cepat dan langsung
masuk pada pembuluh darah (Hidayat, 2006).
e.Pemberian Obat Intravena Melalui Intra Selang atau
Melalui Selang Infus.
Pemberian obat intravena melalui intra selang
atau melalui selang infus merupakan cara memasukkan
obat ke dalam pembuluh darah vena melalui karet
selang infus dengan maksud sebagai pengganti
injeksi intravena secara berulang pada pasien rawat
inap, tujuannya mencegah atau mengurangi rasa sakit
dari penyuntikan berulang (Burner, 2009).
Infus adalah salah satu cara atau bagian dari
pengobatan untuk memasukkan obat atau cairan ke
dalam tubuh pasien. Infeksi dapat menjadi
komplikasi utama dari terapi intravena (IV) dengan
berbagai macam cara. Mayoritas masalah yang
berhubungan dengan intravena terletak pada sistem
infus atau tempat penusukan vena, termasuk
komplikasi lokal atau sistemik. Salah satu
komplikasi lokal yaitu flebitis (Potter & Perry,
2005).
Kata intra selang sendiri merupakan istilah
baru yang tercipta dikalangan perawat untuk
mendefinisikan suatu tindakan penyuntikan melalui
karet selang infus, yang merupakan bagian dari
teknik penyuntikan intravena. Hanya karena
penyuntikannya melalui karet selang infus. Pada
dasarnya, ada dua cara untuk injeksi intra selang
menurut Burner (2009), yaitu:
1) Injeksi intra selang atau melalui selang dengan
cara mengklem selang infus atau menghentikan
aliran infus.
2) Injeksi intra selang atau melalui selang dengan
tidak diklem atau tidak menghentikan aliran
infus.
f. Prosedur Pemberian Injeksi Intravena Melalui
Intra Selang atau Melalui Selang Intravena.
1) Injeksi intravena melalui intra selang dengan
cara diklem atau menghentikan aliran infus
(Hidayat, 2006).
Alat dan bahan:
(a) Spuit dan jarum sesuai ukuran.
(b) Obat dalam tempatnya.
(c) Selang intravena.
(d) Kapas alkohol.
Prosedur kerja:
(a) Cuci tangan.
(b) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
(c) Periksa identitas pasien dan ambil obat
kemudian masukkan ke dalam spuit.
(d) Cari tempat penyuntikan obat pada daerah
selang intra selang.
(e) Lakukan desinfeksi dengan kapas alkohol
dan stop aliran.
(f) Lakukan penyuntikan dengan memasukkan
jarum spuit hinggga menembus bagian tengah
dan masukkan obat perlahan-lahan ke dalam
selang intravena.
(g) Setelah selesai tarik spuit.
(h) Periksa kecepatan infus dan observasi
reaksi obat.
(i) Cuci tangan.
(j) Catat obat yang telah diberikan dan
dosisnya.
Kelebihan dan kekurangan dengan cara diklem yaitu:
Kelebihan:
Obat-obatan langsung masuk, tidak naik ke
atas, hal ini sangat penting untuk memastikan obat
masuk dengan cepat. Lebih lanjut, dalam keadaan
emergensi, dimana obat-obatan seperti adrenalin
harus langsung masuk.
Kekurangan/kelemahan:
Menimbulkan rasa sakit. Nyeri atau sakit
merupakan salah satu diagnosa keperawatan aktual
yang paling sering ditemukan. Injeksi dengan cara
menghentikan aliran infus mempunyai rasa sakit.
Karena, obat-obatan yang diinjeksikan langsung
masuk ke aliran darah. Hal ini tidak dianjurkan
apabila menginjeksi obat-obatan yang agak keras,
seperti antibiotik dan antimetik. Lebih lanjut
lagi, apabila hal ini dilakukan terus menerus,
akan mempercepat terjadinya flebitis atau
peradangan, karena dinding pembuluh darah vena
dapat teriritasi oleh obat.
2) Pemberian Injeksi intravena melalui intra selang
atau lewat selang dengan cara tanpa diklem atau
tidak menghentikan aliran infus (Burner, 2009).
Alat dan Bahan:
(a) Spuit dan jarum sesuai dengan ukuran.
(b) Obat dalam tempatnya.selang intravena.
(c) Kapas alkohol.
Prosedur Kerja:
(a) Cuci tangan.
(b) Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
(c) Periksa identitas pasien dan ambil obat kemudian
masukkan ke dalam spuit.
(d) Cari tempat penyuntikan pada selang intravena.
(e) Lakukan desinfeksi dengan kapas alkohol.
(f) Lakukan penyuntikan dengan memasukkan jarum
spuit hingga menembus bagian tengah dan obat
perlahan-lahan ke dalam selang intravena.
(g) Setelah selesai tarik spuit.
(h) Periksa kecepatan infus dan observasi reaksi
obat.
(i) Cuci tangan.
(j) Catat obat yang telah diberikan.
Kelebihan dan kelemahan dengan injeksi tanpa
klem atau tanpa menghentikan aliran infus:
Kelebihan:
(a) Obat dimasukkan bersamaan dengan cairan infus.
(b) Viskositas obat menjadi turun.
(c) Pasien tidak begitu merasa nyeri.
(d) Dan dapat mengurangi tekanan, hal ini mengurangi
iritasi obat terhadap dinding vena dan menekan
resiko terjadinya flebitis.
Kelemahan:
Apabila terlalu cepat dalam melakukan injeksi,
maka cairan akan naik ke atas. Dan tindakan ini,
tidak boleh dilakukan untuk pemberian obat secara
cepat, seperti pemberian adrenalin pada saat
emergensi.
Hal terpenting yang harus diperhatikan dan
dilakukan pada waktu injeksi lewat karet selang
infus adalah:
(a) Selalu cek kelancaran tetesan infus sebelum
melakukan injeksi pada pasien.
Hal pertama yang dilakukan pada waktu akan
melakukan injeksi pada pasien yaitu cek ulang
tetesan infus dan perhatikan 6 benar
diantaranya: benar obat, benar dosis, benar
klien, benar rute pemberian, benar waktu, dan
benar pendokumentasian (Ambarwati, 2009).
(b) Pergunakan teknik yang tepat dalam injeksi atau
menyuntik.
(c) Perhatikan durasi penyuntikan.
Seorang perawat senior pernah menganjurkan
bahwa, mengenai lama waktu injeksi/penyuntikan,
disamakan dengan kebiasaan aliran infus.
Maksudnya, injeksi intra selang pada dasarnya
dilakukan sebagai pengganti intravena (IV)
jangka panjang, yang mana beresiko lebih nyeri,
maupun injeksi/penyuntikan berulang. Infus yang
dipasang biasanya berkecepatan 20 tetes/menit
atau 1 cc/menit (untuk dewasa/macrodrip). Oleh
karena itu injeksi dengan kecepatan 20
tetes/menit atau 1 cc/menit (Burner, 2009).
Berdasarkan pengalaman, apabila yang
diinjeksikan hanya obat yang umum, seperti
antibiotik standar (cefotaxim) dengan cairan
yang umum dipakai (RL, NACL) tindakan
menginjeksi obat dengan tanpa klem atau tidak
menghentikan aliran infus bisa menjadi pilihan
yang lebih baik, karena tidak mengakibatkan
nyeri kepada pasien, itu berarti mengurangi
resiko terjadinya flebitis (Burner, 2009)
2. Konsep Nyeri.
a. Pengertian
Nyeri merupakan kondisi berupa perasaan yang
tidak menyenangkan (Hidayat, 2008).
Coffery (1979) dalam (Hidayat, 2008),
mendefinisikan nyeri sebagai suatu keadaan yang
memengaruhi seseorang, yang keberadaan nyeri dapat
diketahui hanya jika orang tersebut pernah
mengalaminya.
International Association for Study of Pain
(1979) dalam (Prasetyo, 2010), mendefinisikan nyeri
sebagai sensori subjektif dan pengalaman emosional
yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan
jaringan bersifat aktual atau potensial atau yang
dirasakan dalam kejadian-kejadian dimana terjadi
kerusakan.
Nyeri adalah rasa yang tidak enak, terjadi
karena adanya kerusakan jaringan yang meransang
reseptor nyeri, atau terjadi karena adanya kerusakan
sistem transmisi nyeri itu sendiri (Rahariyani,
2006).
Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari
sekedar sensasi tunggal yang disebabkan oleh
stimulus tertentu (Potter and Perry, 2005).
Menurut Mc. Caffery (1980) dalam (Potter and
Perry, 2005) nyeri adalah segala sesuatu yang
dikatakan seseorang tentang nyeri tersebut dan
terjadi kapan saja seseorang mangatakan bahwa ia
merasa nyeri.
Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosional
yang tidak menyenangkan akibat dari kerusakan
jaringan yang aktual maupun potensial (Smeltzer,
2001).
b.Fisiologi Nyeri
Menurut Barbara C. Long (1989), (dalam Hidayat,
2006), munculnya nyeri berkaitan erat dengan
reseptor dan adanya rangsangan. Reseptor nyeri yang
dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-ujung
saraf sangat bebas yang memiliki sedikit atau bahkan
tidak memiliki myelin yang tersebar pada kulit dan
mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding
arteri, hati, dan kandung empedu.
Reseptor nyeri dapat memberikan respon akibat
adanya stimulasi atau rangsangan. Stimulasi tersebut
dapat berupa zat kimia seperti histamine,
bradikinin, prostaglandin, dan macam-macam asam yang
dilepas apabila terdapat kerusakan pada jaringan
akibat kekurangan oksigen. Stimulus yang lain dapat
berupa termal, listrik, atau mekanis.
Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh
reseptor tersebut ditransmisikan berupa impuls-
impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua
jenis serabut yang bermyelin rapat atau serabut A
(delta) dan serabut lamban (serabut C).
Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut
delta A mempunyai sifat inhibitor yang
ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferen
masuk ke spinal melalui akar dorsal (dorsal Root)
serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn terdiri
atas beberapa lapisan atau laminae yang saling
bertautan. Di antara lapisan dua dan tiga terbentuk
substantia gelatinosa yang merupakan saluran utama
impuls.
Impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang
pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal
asendens yang paling utama, yaitu jalur
spinothalamic trac (STT) atau jalur spinothalamus
dan spinoreticular tract (SRT) yang membawa
informasi tentang sifat dan lokasi nyeri.
Proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme
terjadinya nyeri, yaitu jalur opiate dan jalur
nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan
reseptor pada otak yang terdiri atas jalur spinal
desendens dari thalamus yang melalui otak tengah dan
medulla ke tanduk dorsal dari sumsum tulang belakang
yang berkonduksi dengan nociceptor impuls supresif.
Serotonin merupakan neurotransmitter dalam impuls
supresif. Sistem supresif lebih mengaktifkan
stimulasi nociceptor yang ditransmisikan oleh
serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden
yang tidak memberikan respons terhadap naloxone yang
kurang banyak diketahui mekanismenya.
Secara singkatnya proses fisiologik nyeri
dibagi dalam 4 proses (patofisiologi):
1) Tranduksi nyeri adalah proses rangsangan yang
mengganggu sehingga menimbulkan aktifitas listrik
di reseptor nyeri.
2) Transmisi nyeri melibatkan proses penyaluran
impuls nyeri dari tempat tranduksi melewati saraf
perifer sampai ke terminal di medulla spinalis dan
jaringan neuron-neuron pemancar yang naik dari
medulla spinalis ke otak.
3) Modulasi nyeri melibatkan aktifitas saraf melalui
jalur-jalur desendens dari otak yang dapat
mempengaruhi transmisi nyeri setinggi modulasi
spinalis. Modulasi juga melibatkan factor-faktor
kimiawi yang menimbulkan atau meningkatkan
aktivitas di reseptor nyeri aferen primer.
4) Persepsi nyeri adalah pengalaman subyektif nyeri
yang bagaimanapun juga dihasilkan oleh aktivitas
transmisi nyeri oleh saraf.
c. Klasifikasi Nyeri
Klasifikasi nyeri secara umum dibagi menjadi
dua, yakni nyeri akut dan kronis (Hidayat, 2006).
1) Nyeri akut
Nyeri akut merupakan nyeri yang timbul
secara mendadak dan cepat menghilang, yang tidak
melebihi 6 bulan dan ditandai adanya peningkatan
tegangan otot (Hidayat, 2006).
Menihart (1983) dalam (Prasetyo, 2010),
Nyeri akut terjadi setelah terjadinya cedera
akut, penyakit, atau intervensi bedah dan
memiliki awitan cepat dengan intensitas yang
bervariatif (ringan sampai berat) dan berlangsung
untuk waktu singkat.
2) Nyeri kronis
Nyeri kronis merupakan nyeri yang timbul
secara perlahan-lahan, biasanya berlangsung dalam
waktu cukup lama, yakni lebih dari 6 bulan. Yang
termasuk dalam nyeri kronis adalah nyeri termal,
sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis
(Hidayat, 2006).
Nyeri kronik merupakan nyeri yang
berlangsung lebih lama daripada nyeri akut,
intensitasnya bervariasi (ringan sampai berat)
dan biaasanya berlangsung lebih dari 6
bulan( Prasetyo, 2010).
Selain klasifikasi nyeri diatas, terdapat
jenis nyeri berdasarkan lokasi nyeri (Tamsuri,
2006) diantaranya:
1) Nyeri pada kulit (superficial pain)
Mukosa terasa tajam atau seperti ditusuk, akibat
rangsang fisik,mekanik dan kimia.
2) Nyeri somatik dalam
Nyeri yang terjadi pada otot, tendon, ligamentum,
tulang, sendi, dan arteri.
3) Nyeri Visceral
Adalah nyeri yang disebabkan oleh kerusakan organ
internal. Penyebab nyeri visceral adalah semua
rangsangan yang dapat menstimulasi ujung saraf
nyeri di daerah visceral (Prasetyo, 2010).
4) Nyeri Sebar
Sensari nyeri yang meluas dari daerah asal ke
jaringan sekitar.
5) Nyeri Pantom
Adalah nyeri khusus yang dirasakan oleh klien
yang mengalami amputasi.
6) Nyeri alih
Adalah nyeri yang timbul akibat adanya nyeri
visceral yang menjalar ke organ lain sehingga
dirasakan nyeri pada beberapa tempat atau lokasi.
d.Respon nyeri berdasarkan tingkat nyeri
1) Nyeri Ringan
Secara objektif klien dapat berkomunikasi dengan
baik.
2) Nyeri sedang
Secara objektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikan
nyeri, dan dapat mengikuti perintah dengan baik.
3) Nyeri berat
Secara objektif klien terkadang tidak dapat
mengikuti perintah tetapi merespon terhadap
tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak
dapat mendiskripsikan nyeri, tidak dapat diatasi
dengan alih posisi, nafas panjang (relaksasi) dan
pengalihan perhatian (distraksi).
4) Sangat nyeri
Klien tidak mampu lagi berkomunikasi.
5) Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Nyeri
1) Usia
Usia merupakan variable penting yang
mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan
lanjut usia. Perbedaan perkembangan yang ditemukan
diantara kelompok usia ini dapat mempengaruhi
bagaimana anak-anak dan lanjut usia bereaksi
terhadap nyeri (Potter and Perry, 2005).
2) Jenis kelamin
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda
secara bermakna dalam berespon terhadap nyeri
(Gil, 1990) dalam (Potter and Perry, 2005).
Secara umum pria dan wanita tidak berbeda
secara signifikan dalam berespon terhadap nyeri
(Prasetyo, 2010).
3) Kebudayaan
Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi
cara individu mengatasi nyeri. Individu
mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang
diterima oleh kebudayan mereka (Potter and Perry,
2005).
Zatzick dan Dimsdale, 1990 yang di kutip
dalam (Smeltzer, 2001) mengatakan budaya dan
etnisitas mempunyai pengaruh pada dan bagaimana
seseorang berespon terhadap nyeri (bagaimana nyeri
diuraikan atau seseorang berperilaku merespon
nyeri).
4) Makna nyeri
Makna nyeri (arti nyeri) bagi seseorang
memiliki banyak perbedaan dan hampir sebagian arti
nyeri merupakan arti yang negative, seperti
membahayakan, merusak, dan lain-lain (Hidayat,
2006).
Makna seseorang yang dikaitkan dengan nyeri
mempengaruhi pengalaman nyeri dan cara seseorang
beradaptasi terhadap nyeri, Misalnya seorang
wanita yang sedang bersalin akan mempersepsikan
nyeri berbeda dengan seseorang wanita yang
mengalami nyeri akibat pukulan dari pasangannya.
Derajat dan kualitas nyeri di persepsikan klien
berhubungan dengan makna nyeri.
5) Perhatian
Tingkat seorang klien memfokuskan
perhatiannya pada nyeri dapat mempengaruhi
persepsi nyeri. Perhatian yang meningkatkan
dihubungkan dengan nyeri yang meningkat, sedang
upaya pengalihan (ditraksi) dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun (Potter and Perry,
2006).
6) Ansietas
Hubungan antara nyeri dan ansietas bersifat
kompleks. Ansietas seringkali meningkatkan
persepsi nyeri, tetapi nyeri juga dapat
menimbulkan suatu perasaan ansietas. Pola
bangkitan autonom adalah sama dalam nyeri dan
ansietas. Sulit untuk memisahkan dua sensasi.
Paice (1991) melaporkan suatu bukti bahwa suatu
stimulasi nyeri mengaktifkan bagian sistem limbic
yang diyakini mengendalikan emosi sesorang,
khususnya ansietas. Sistem limbic dapat memproses
reaksi emosi terhadap nyeri, yakni memperburuk
atau menghilangkan nyeri(Potter and Perry, 2006).
7) Keletihan
Keletihan meningkatkan persepsi nyeri. Rasa
kelelahan menyebabkan sensasi nyeri semakin
intensif dan menurunkan kemampuan koping (Potter
and Perry, 2006).
8) Pengalaman Masa Lalu
Setiap individu belajar dari pengalaman
nyeri, pengalaman nyeri sebelumnya tidak selalu
berarti bahwa individu tersebut akan menerima
nyeri dengan lebih mudah pada masa yang akan
datang, maka persepsi pertama nyeri dapat
mengganggu koping terhadap nyeri (Potter and
Perry, 2006).
9) Dukungan Keluarga dan Sosial
Faktor lain yang bermakna mempengaruhi
respon nyeri ialah kehadiran orang-orang terdekat
klien dan bagaimana sikap mereka terhadap
klien. Apabila tidak ada keluarga atau teman,
seringkali pengalaman nyeri membuat klien
semakin tertekan (Potter and Perry, 2006).
10) Lokasi dan Tingkat Keparahan Nyeri
Nyeri yang dirasakan bervariasi dalam
intensitas dan tingkat keparahan pada masing-
masing individu. Nyeri yang dirasakan mungkin
terasa ringan, sedang, atau bisa jadi merupakan
nyeri yang berat. Terkaitan dengan kualitas nyeri,
masing-masing individu juga bervariasi, ada yang
melaporkan nyeri seperti tertusuk, nyeri tumpul,
berdenyut, terbakar dan lain-lain.
6) Penilaian Klinis Nyeri
Untuk mengetahui tingkat nyeri yang diderita
oleh seseorang, dan untuk mengetahui apakah suatu
tindakan terhadap nyeri berhasil atau tidak, perlu
adanya suatu alat ukur. Pengkajian yang terbaik dari
nyeri adalah hasil evaluasi dari klien. Data yang
perlu dikumpulkan dari sifat-sifat nyeri adalah
lokasi, intensitas, kualitas, waktu (serangan,
kekerapan, sebab). Menurut Alimul (2006), Cara
pendekatan yang digunakan adalah dengan mengkaji
PQRST:
P: Provoking (pemicu) faktor yang memengaruhi gawat
atau ringannya nyeri,
Q: Quality (kwalitas) dari nyeri, seperti apakah
rasa tajam, tumpul, atau terayat,
R: Region (daerah) yaitu daerah perjalanan nyeri,
T: Time (waktu) adalah lama/waktu serangan atau
frekuensi nyeri.
Menurut Smeltzer (2001) ada beberapa metode
dalam mengkaji nyeri yang dirasakan pasien antara:
1. Skala intensitas nyeri diskriptif skala
pendiskripsi verbal (Verbal Descriptor Scale,
VDS), merupakan sebuah garis yang terdiri dari
tiga sampai lima kata pendeskripsi yang yang
tersusun dengan jarak yang sama disepanjang garis.
Pendeskripsi ini dirancang dari “tidak terasa
nyeri” sampai ” nyeri tidak tertahankan” (Potter
and Perry, 2005).
Skala intensitas nyeri Deskriptif
2. Skala intensitas nyeri Bourbanais
Table 2.1 keterangan skala nyeri Bourbanais
Skala
Tingkat nyeri
Keterangan Jawaban
Skor
0 Tidak nyeri
-
1-3 Nyeri ringan
Secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik.
4-6 Nyeri sedang
Secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendiskripsikan nyeri, dan dapat mengikuti perintah dengan baik.
7-9 Nyeri berat
Secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tetapi merespon terhadap tindakan, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat mendiskripsikan nyeri,tidak dapat diatasi dengan alih posisi,nafas panjang,dan pengalaihan perhatian
10 Sangat Nyeri
Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi
3. Skala analog visual
Menurut Smeltzer (2001) Skala Analog Visual
sangat berguna dalam mengkaji intensitas nyeri.
Skala tersebut adalah membentuk horizontal sepanjang
10 cm, dan ujungnya mengidentifikasi nyeri yang
berat. Pasien diminta untuk menunjuj titik pada
garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi sepanjang
rentang tersebut. Ujung kiri biasanya menandakan
“tidak ada” atau “tidak nyeri”, sedangkan ujung
kanan biasanya menandakan “berat” atau nyeri yang
paling buruk. Untuk menilai hasil, sebuah penggaris
diletakkan sepanjang garis dan jarak yang dibuat
pasien pada garis dari “tidak nyeri” diukur dan
ditulis dalam cm.
4. Tabel 2.2 Skala nyeri menurut Mankoski
Skala
Karakteristik nyeri Tindakan
0 Tidak nyeri Tanpa pengobatan1 Sedikit nyeri Tanpa pengobatan2 nyeri sedikit lebih kuat dari
no.1Tanpa pengobatan
3 Nyeri cukup mengganggu tetapi Tanpa pengbatan, nyeri
dapat dikontrol dengan tindakan
efektif dikurangi dengan analgesik ringan
4 Nyeri mengganggu kerja, tapi masih dapat dikontrol dengan teknik distraksi
Nyeri kurang dengan analgesik ringan (aspirin, ibupropen)
5 Nyeri bertahan lebih dari 30 menit.
Selama 3-4 jam. Nyeri dikurangi dengan analgesik ringan (aspirin,ibupropen)
6 Nyeri tidak bisa dihindari dalam waktu yang lama tapi masih dapat bekerja dan berpartisipasi dalam aktifitas sosial
Selama 3-4 jam. Nyeri dikurangi dengan analgesik kuat (kodein, vicodin) selama 3-4 jam.
7 Nyeri dapat menyebabkan sulit konsentrasi dan sulit tidur
Dengan analgesik kuat hanya sebagian saja yang efektif
8 Nyeri menyebabkan tidak dapat melakukan aktifitas berat, mual dan pusing
Analgesik kuat biasa mengurangi nyeri selama 3-4 jam.
9 Tidak bisa bicara, menangis, bingung
Analgesik kuat sebagian efektif
10 Pengaruh tingkat kesadaran (syok)
Analgesik kuat sebagian efektif
7) Strategi penatalaksanaaan nyeri
1. Pendekatan farmakologis
Obat adalah bentuk pengendalian nyeri yang paling
sering digunakan. Terdapat 3 kelompok obat nyeri
(Price, 2005).
a) Analgesik nonopioid
Langkah pertama, sering efektif untuk
penetalaksanaan nyeri ringan sampai sedang,
menggunakan analgesic nonopioid, terutama
asetaminofen (Tylinol) dan OAINS. OAINS
menghasilkan analgesic dan bekerja ditempat
cidera melalui inhibisi sintesis prostaglandin
dari prekusor asam arakidonat. OAINS mengganggu
mekanime tranduksi di nociseptor aferen primer
dengan menghambat sintesis Prostaglandin.
b) Analgesik opioid
Opioid saat ini adalah analgesic paling
kuat yang tersedia dan digunakan dalam
penatalaksanaan nyeri sedang-berat sampai berat.
Obat-obat ini merupakan patokan dalam pengobatan
nyeri pascaoperasi dan nyeri terkait kanker
seperti morfin. Morfin adalah salah satu obat
yang paling luas digunakan untuk mengobati nyeri
berat dan masih menjadi standar pembanding untuk
menilai obat analgesik lain. Berbeda dengan
OAINS, yang bekerja diperifer, morfin
menimbulkan efek analgesiknya di sentral.
c) Antagonis dan agonis-antagonis opioid.
Antagonis opioid adalah obat yang melawan
efek obat opioid dengan mengikat reseptor opioid
dan menghambat pengaktifannya. Nalakson, suatu
antagonis opioid murni, menghilangkan analgesik
efek samping opiod.
2. Pendekatan Nonfarmakologis.
Salah satu tanggung jawab perawat yang paling
dasar ialah melindungi klien dari bahaya. Ada
sejumlah terapi nonfarmakologis yang mengurangi
persepsi nyeri dan dapat digunakan pada keadaan
perawatan di rumah dan keadaan perawatan
restorasi. Tindakan nonfarmakologis mencakup
intervensi prilaku kognitif dan penggunaan agen-
agen fisik. Tujuan intervensi prilaku-kognitif
adalah mengubah persepsi klien tentang nyeri,
mengubah prilaku nyeri, memeberi klien rasa
pengendalian yang lebih besar (Potter and Perry,
2005).
Banyak pasien dan anggota tim kesehatan
cenderung untuk memandang obat sebagai satu-
satunya metode untuk menghilangkan nyeri. Namun
begitu banyak aktifitas keperawatan non
farmakologis yang dapat membantu dalam
menghilangkan nyeri (Smeltzer, 2001).
Adapun tindakan nonfarmakologis tersebut
meliputi:
a. Stimulasi dan massase kutaneus
Teori Gate control nyeri seperti yang
telah dijelaskan sebelumnya, bertujuan
menstimulasi serabut-serabut yang
mentransmisikan sensasi tidak nyeri memblok
atau menurunkan transmisi impuls nyeri.
Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh
secara umum, sering dipusatkan pada punggung
dan bahu. Masase dapat membuat pasien lebih
aman karena masase membuat relaksasi otot.
b. Terapi es dan panas
Terapi es (dingin) dan panas dapat
menjadi strstegi pereda nyeri yang efektif
pada beberapa keadaan. Terapi es dapat
menurunkan prostaglandin, yang memperkuat
sensitivitas reseptor nyeri dan subkutan lain
pada tempat cidera dengan menghambat proses
inflamasi.
Penggunaan panas mempunyai keuntungan
meningkatkan aliran darah ke suatu area dan
kemungkinan dapat turut menurunkan nyeri
dengan mempercepat penyembuhan (Potter and
Perry, 2005).
Terdapat berbagai teori yang berusaha
menggambarkan bagaimana nosiseptor dapat
menghasilkan rangsangan nyeri. Sampai saat ini
dikenal berbagai teori yang menjelaskan
bagaimana nyeri dapat timbul, namun teori
gerbang kendali nyeri dianggap paling relevan
(Tamsuri, 2007).
Teori gate control dari melzack dan Wall
(1965) mengusulkan bahwa impuls nyeri dapat
diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan
di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini
mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat
sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat
saat sebuah pertahanan tertutup. Upaya menutup
pertahanan tersebut merupakan dasar teori
menghilangkan nyeri. Suatu keseimbangan
aktivitas dari neuron sensori dan serabut
kontrol desenden dari otak mengatur proses
pertahanan. Neuron delta-A dan C melepas
substansi C dan melepakan substansi p untuk
mentransmisi impuls melalui mekanisme
pertahanan. Selain itu, terdapat
termoreseptor, neuron beta-A yang lebih tebal,
yang lebih cepat yang melepaskan
neurotransmiter penghambat. Apabila masukan
yang dominan berasal dari serabut beta-A, maka
akan menutup mekanisme pertahanan. Naun,
apabila masukan yang dominan berasal dari
serabut delta A dan serabut C, maka akan
membuka perthanan tersebut dan klien
mempersepsikan sensasi nyeri. Bahkan jika
impuls nyeri dihantarkan ke otak, terdapat
pusat korteksyang lebih tinggi di otak yang
memodifiksi nyeri. Alur saraf desenden
melepaskan opiat endogen, seperti endorfin dan
dinorfin, suatu pembunuh nyeri alami yang
berassal dari tubuh. Neuromeulator ini menutup
mekanisme pertahanan dengan menghambat
pelepasan substansi P (Potter and Perry, 2005)
c. Stimulasi Saraf Elektris transkutan
Stimulasi saraf Elektris Transkutan
(TENS) menggunakan unit yang dijalankan
baterai dengan elektrode yang dipasang pada
kulit untuk menghasilkan sensasi kesemutan,
menggetar, atau mendengung pada area nyeri.
d. Distraksi
Distraksi, mencakup me,fokuskan
perhatian pasien pada sesuatu selain pada
nyeri, dapat menjadi strategi yang sangst
berhasil dan mungkin merupakan mekanisme yang
bertanggung jawab terhadap teknik kognitif
efektif lainnya (Smeltzer, 2001). Teknik
distraksi seperti: menonton televisi,
berbincang-bincang dengan orang lain,
mendengar musik (Hidayat, 2005).
e. Teknik Relaksasi
Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat
menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan
otot yang menunjang nyeri (Smeltzer, 2001).
Teknik relasasi menganjurkan pasien
untuk menarik nafas dalam dan mengisi paru-
paru dengan udara, menghembuskannya secara
perlahan, melemaskan otot-otot tangan, kaki,
perut, dan punggung, erta mengulangi hal yang
sama sambil terus berkonsentrasi hingga
didapat rasa nyaman, tenang, dan rileks
(Hidayat, 2005).
f. Imajinasi Terbimbing
Imajinasi terbimbing adalah menggunakan
imajinasi seseorang dalam suatu cara yang
dirancang secara khusus untuk mencapai efek
positif tertentu (Smeltzer, 2001).
g. Hipnosis
Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau
menurunkan jumlah analgesik yang dibutuhkan
pada nyeri akut dan kronis. Teknik ini mungkin
membantu dalam memberikan peredaaan nyeri
terutama dalam situasi sulit (misal:luka
bakar).
h. Kerangka konsep
h. Hipotesis
Berdasarkan uraian dalam latar belakang dan
perumusan masalah, maka dapat dirumuskan suatu
hipotesis sebagai berikut:
Ha: Injeksi pada selang infus dengan cara tanpa diklem
lebih efektif menurunkan nyeri jika dibandingkan
dengan cara diklem pada saat injeksi intravena atau
z hitung > dari z tabel.