bab ii

35
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Umum Apotek Pengertian apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek, apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Perbekalan farmasi adalah obat, bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetik. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, yang dimaksud dengan apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran obat, 3

Upload: alin-nailul-muna

Post on 25-Jul-2015

123 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB II

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Apotek

Pengertian apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.

1332/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek,

apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan

penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Perbekalan farmasi adalah obat,

bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetik.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang

Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah tempat tertentu, tempat

dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan

kesehatan lainnya kepada masyarakat.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, yang dimaksud dengan

apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian

oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian

mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian

atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan

informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/Per/X/2002 Bab IV

pasal 6 untuk mendapatkan ijin apotek, Apoteker yang bekerjasama dengan sarana

yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perbekalan termasuk

sediaan farmasi dan perbekalan farmasi lainnya yang merupakan milik sendiri atau

milik pihak lain. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan

kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan

didirikannya sebuah apotek antara lain:

1. Lokasi dan Tempat

Jarak minimum antar apotek tidak dipersyaratkan, namun sebaiknya

dipertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk,

3

Page 2: BAB II

4

jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, hygiene lingkungan dan faktor-

faktor lainnya.

2. Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)

NPWP yang diperoleh harus memiliki SIUP dan untuk memperoleh SIUP

harus memiliki HO terlebih dahulu.

3. Bangunan Apotek

Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan

pelayanan dan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Bangunan apotek

sekurang-kurangnya memiliki ruang khusus untuk ruang tunggu, ruang

peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi dan kamar meja Apoteker,

ruang tempat pencucian alat dan toilet. Kelengkapan bangunan calon apotek

meliputi: sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan, penerangan

harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi

apotek, alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik sekurang-

kurangnya dua buah, ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene

lainnya, papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan

tulisan hitam di atas dasar putih, tinggi huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm.

4. Perlengkapan Apotek, meliputi:

a) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan;

b) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi (timbangan, lemari

obat dan lemari pendingin), wadah pengemas dan pembungkus;

c) Perlengkapan administrasi (surat pesanan, kartu stok obat, copy resep,

faktur dan nota penjualan, surat pesanan narkotika, psikotropika dan

formulir laporan narkotika dan psikotropika);

d) Buku standard Farmakope Indonesia edisi terbaru dan kumpulan peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek serta buku-buku

lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan;

e) Tempat penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika (Anonim, 2002).

Page 3: BAB II

5

Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan

oleh seorang Apoteker untuk tugas dan fungsi pelayanan apotek. Pengelolaan apotek

dapat dibedakan atas pengelolaan teknis dan pengelolaan non teknis farmasi yang

meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, kegiatan di bidang

material (arus barang) dan bidang lain yang berhubungan dengan fungsi apotek

(Anonim, 1993).

Adapun tugas dan fungsi apotek antara lain adalah sebagai berikut :

a) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucap sumpah

jabatan;

b) Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran

dan penyerahan obat atau bahan obat;

c) Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang

diperlukan masyarakat secara meluas dan merata;

d) Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya

(Syamsuni, 2006).

2.2. Tenaga Kefarmasian dan Kompetensinya

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian, yang dimaksud Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan

pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.

Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada :

a) Fasilitas produksi sediaan farmasi berupa industri farmasi obat, industri OT,

pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk

menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu.

b) Fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan melalui

Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan

alat kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah

daerah kabupaten/kota; dan/atau

c) Fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di apotek, instalasi farmasi

rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama (Anonim, 2009).

Page 4: BAB II

6

2.2.1. Apoteker

Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.

Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah memiliki SIK atau SP

oleh Menkes dan bertugas mengelola apotek sebagai penanggungjawab atas semua

kegiatan kefarmasian yang berlangsung di apotek. Apoteker pendamping adalah

apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan atau menggantikannya pada

jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pengganti adalah apoteker yang

menggantikan APA selama APA tidak berada di tempat selama lebih dari 3 bulan

secara terus-menerus, sudah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak menjadi APA di

apotek lain (Anonim, 2002).

Berdasarkan SK Menkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar

Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kompetensi Apoteker di apotek, dalam

pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu berkaitan pengelolaan

sumber daya yang meliputi :

1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia

Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh

seorang Apoteker profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa

harus memiliki kemampuan :

a) Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik;

b) Mengambil keputusan yang tepat;

c) Kemampuan berkomunikasi antar profesi;

d) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner;

e) Kemampuan mengelola SDM secara efektif;

f) Selalu belajar sepanjang karier;

g) Membantu memberi pendidikan;

h) Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.

Page 5: BAB II

7

2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana

Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa:

a) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat;

b) Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata

“Apotek”;

c) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari

aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk

menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko

kesalahan penyerahan;

d) Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh Apoteker untuk

memperoleh informasi dan konseling;

e) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari

hewan pengerat, serangga atau pest, apotek memiliki suplai listrik yang

konstan, terutama untuk lemari pendingin;

f) Apotek memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, tempat untuk

mendisplai informasi bagi pasien termasuk penempatan brosur/materi

informasi, ruangan tertutup untuk konseling yang dilengkapi dengan meja dan

kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang racikan,

keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien;

g) Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat

dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu,

kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi

ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.

3. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya

Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan

kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan

perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang

berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pelayanan resep dan

Page 6: BAB II

8

non resep, pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan

pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.

2.2.2. Tenaga Teknis Kefarmasian

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang dimaksud dengan

Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apotek dalam

menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, dan Tenaga

Menengah Farmasi atau Asisten Apoteker (AA). Sedangkan dalam Ketentuan Umum

yang berlaku sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.

1332/MENKES/SK/X/2002, dikatakan Asisten Apoteker adalah mereka yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan

pekerjaan kefarmasian sebagai AA.

Kewajiban Asisten Apoteker adalah sebagai berikut :

a) Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya

yang dilandasi pada kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat

yang dapat dibeli tanpa resep dokter

b) Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan

kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas

permintaan masyarakat.

Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti

serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika,

bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-

kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka

waktu pengobatan, makanan/minuman/aktifitas yang hendaknya dihindari

selama terapi dan informasi lain yang diperlukan

c) Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas serta data

kesehatan pribadi pasien

d) Melakukan pengelolaan apotek meliputi:

1) Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,

penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat

Page 7: BAB II

9

2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi

lainnya

3) Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi

e) Memiliki Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) yang

dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.

Sedangkan hak yang dimiliki oleh Asisten Apoteker adalah sebagai berikut:

a) Mendapatkan gaji dan tunjangan selama bekerja

b) Mendapatkan keuntungan yang diperoleh Apotek berdasarkan atas

kesepakatan dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA)

c) Mendapatkan tunjangan kesehatan

d) Mendapatkan libur dan cuti tahunan

e) Mendapatkan jaminan keselamatan pada waktu bekerja

f) Memilih apotek dan pindah ke apotek lain sesuai dengan keinginan

2.3. Pekerjaan Kefarmasian

Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan

Kefarmasian, menyebutkan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan

termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan

dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep

dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat

tradisional.

2.3.1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi

2.3.1.1. Pemilihan

Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang

terjadi di masyarakat, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis obat,

menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi

sampai menjaga dan memperbaharui standar obat.

2.3.1.2. Perencanaan

Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan anggaran

untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat

Page 8: BAB II

10

dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan.

Perencanaan dilakukan dengan pengumpulan data-data obat yang mau dipesan, dari

buku defecta, termasuk obat-obat baru yang ditawarkan oleh supplier. Proses ini

dilakukan dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:

1. Metode Morbiditas, adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan untuk beban

kesakitan (morbidity lead) yang harus dilayani.

2. Metode Konsumsi, adalah perhitungan kebutuhan obat didasarkan pada data riil

konsumsi obat periode yang lalu. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan

alokasi dana dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:

a) Sistem VEN, yaitu analisis menggunakan obat berdasarkan dampak tiap jenis

obat terhadap kesehatan, terbagi dalam tiga kelompok:

1) Kelompok V (vital) adalah obat-obatan yang sangat esensial, antara lain:

obat penyelamat (live saving drug), obat-obatan untuk pelayanan

kesehatan pokok (misal: vaksin) dan obat-obatan untuk mengatasi

penyakit-penyakit penyebab kematian besar.

2) Kelompok E (essensial) adalah obat-obatan yang bekerja kausal yaitu obat

yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, contoh : antibiotik.

3) Kelompok N (non essensial) adalah obat-obatan penunjang, yaitu obat

yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan

kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan, contoh : vitamin.

b) Analisis ABC, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara mengelompokkan

jumlah dana yang diserap untuk setiap jenis obat dalam tiga kelompok:

1) Klasifikasi A, merupakan butir persediaan yang mewakili 15% dari total

persediaan, tetapi mewakili 70-80% dari total biaya persediaan.

2) Klasifikasi B, merupakan butir persediaan yang mewakili 30% dari total

persediaan, tetapi mewakili 15-25% dari total biaya persediaan.

3) Klasifikasi C, merupakan butir persediaan yang mewakili 55% dari total

persediaan, tetapi mewakili 5% dari total biaya persediaan (Anonim,

1990).

Page 9: BAB II

11

2.3.1.3 Pengadaan/Pembelian

Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah

direncanakan dan disetujui melalui pembelian, produksi/pembuatan sediaan farmasi

dan sumbangan/droping/hibah. Pengadaan sediaan farmasi harus dapat menjamin

keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi. Tujuan pengadaan untuk

mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik,

pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak

memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.

Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan perbekalan

farmasi. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar perbekalan

farmasi yang akan diadakan, menentukan jumlah masing-masing item yang akan

dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih

rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima

barang, melakukan pembayaran serta menyimpan kemudian mendistribusikan

(Anonim, 2007).

Macam-macam cara pengadaan yang dilakukan di apotek antara lain :

1) Pengadaan secara spekulasi, dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dari

kebutuhan untuk mengantisipasi akan adanya kenaikan harga dalam waktu dekat

atau karena ada diskon atau bonus untuk pembelian jumlah besar.

2) Pengadaan terencana, berkaitan dengan pengendalian persediaan barang yang

dilakukan dengan cara membandingkan jumlah pengadaan dengan penjualan tiap

kurun waktu.

3) Pengadaan secara intuisi, dilakukan pada sediaan farmasi yang diperkirakan akan

mengalami peningkatan permintaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya karena

adanya pengaruh wabah penyakit demam berdarah.

4) Konsinyasi, yaitu pemilik barang menitipkan barang kepada apotek. Apotek

hanya membayar barang yang terjual, sedangkan sisanya dapat diperpanjang masa

konsinyasinya. Cara seperti ini biasanya dilakukan pada produk baru.

Page 10: BAB II

12

Berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan, maka pengadaan dapat

dikelompokkan menjadi :

1) Pengadaan secara tunai (cash on delivery) pembelian dilakukan secara langsung

2) Pengadaan secara kredit, pembayaran dilakukan setelah faktur jatuh tempo

(Hartini dan Sulasmono, 2006).

2.3.1.4. Penerimaan

Penerimaan merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang

telah diadakan sesuai aturan kefarmasian. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin

perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah

maupun waktu kedatangan. Pada penerimaan barang petugas yang menerima harus

mencococokkan barang dengan faktur dan SP lembaran kedua dari gudang. Barang

harus diperiksa jumlah, ED, jenis, bentuk sediaan, nomor batch dan harga satuan

(Anonim, 2004).

2.3.1.5. Penyimpanan

Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara

menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari

pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan farmasi,

menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan,

memudahkan pencarian dan pengawasan.

Dalam merancang susunan ruang penyimpanan obat di gudang farmasi, harus

dipikirkan 4 tempat penyimpanan obat yang berbeda, yaitu :

a) Ruang Penyimpanan Biasa

Ruang ini menyimpan sebagian besar persediaan obat di gudang farmasi,

seperti misalnya cairan, tablet, kapsul, obat suntik dan lain-lain. Ruang ini

harus bertemperatur kira-kira 25° C.

b) Ruang Penyimpanan Bertemperatur Dingin

Ruang penyimpanan harus memiliki tempat pendinginan yang dapat

digerakkan untuk menyimpan semua obat yang membutuhkan pendinginan

Page 11: BAB II

13

teratur, misalnya obat-obat termolabil (pada suhu 2-8°C). setidaknya berupa

kulkas dan bila perlu untuk menyimpan pada suhu dibawah 0°C (freezer).

c) Ruang Penyimpanan Narkotika

Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, narkotika harus disimpan di

almari narkotika. Selain itu, dalam ruang terpisah dari almari ini juga dapat

disimpan psikotropika atau hipnotika.

d) Ruang Penyimpanan untuk Bahan yang Mudah Terbakar

Ruang ini harus memenuhi standar yang ditentukan Bagian Pemadam

Kebakaran, memiliki perlengkapan pemadam kebakaran, menghadap keluar

bangunan. Ruang ini dapat dipakai pula untuk menyimpan bahan berbahaya,

seperti bahan korosif, iritatif, ekplosif, beracun,radiatif dan bahan berbahaya

lainnya (Anonim, 1990).

2.3.1.6. Penyaluran/Distribusi

Merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran obat-obatan

yang bermutu dari distributor obat kepada apotek dan dari apotek untuk masyarakat.

Rangkaian proses ini meliputi penerimaan barang, pengontrolan persediaan,

penyimpanan sisa barang sampai pengeluaran barang dari stok. Tujuan distribusi obat

adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan manajemen persediaan,

memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang dan mengurangi resiko

kerusakan dan kehilangan obat. Setiap fasilitas distribusi sediaan farmasi berupa obat

harus memiliki seorang Apoteker Pengelola Apotek sebagai penanggung jawab dan

dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian

(Anonim, 2009).

2.3.1.7. Administrasi

Administrasi yang biasa dilakukan apotek antara lain :

a) Administrasi, kegiatannya meliputi: agenda atau mengarsipkan surat masuk dan

surat keluar, pengetikan laporan-laporan seperti laporan narkotik, laporan jumlah

personil apotek dan lain-lain.

Page 12: BAB II

14

b) Pembukuan: keluar masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan

pemasukan.

c) Administrasi penjualan: resep, obat bebas, pelanggan dan pembayaran secara

tunai atau kredit.

d) Administrasi pergudangan: dicatat penerimaan barang, dari mana dan pengeluaran

barang untuk apa dan siapa. Masing-masing barang diberi kartu stok dan

membuat defecta.

e) Administrasi pembelian: dicatat pembelian harian secara tunai atau kredit dan

dicatat darimana, nota-notanya dikumpulkan yang teratur, selain tersebut dicatat

kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung berapa hutang apotek.

f) Administrasi Piutang: dicatat penjualan kredit pada siapa, pelunasan piutang dan

penagihan sisa piutang.

g) Administrasi Kepegawaian, dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan,

mencatat kepangkatan, gaji dan pendapatan lainnya dari para karyawan (Anief,

2008).

2.3.1.8. Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluarsa

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 244/MenKes/SK/V/1990 tentang

ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek, disebutkan bahwa obat yang tidak

dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara

dibakar atau ditanam atau dengan cara yang lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal.

Pemusnahan tersebut dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker

Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek dan wajib

dibuat berita acara pemusnahan (Soekanto, 1990).

Obat kadaluarsa di apotek dapat dikembalikan 3 atau 4 bulan sebelum

kadaluarsa ke PBF yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Untuk

obat rusak atau yang telah kadaluarsa dan tidak dapat dikembalikan ke PBF dapat

dilaksanakan pemusnahan bersama dengan pemusnahan resep dengan cara dibakar

(Anonim, 1997).

Page 13: BAB II

15

2.3.1.9. Pengelolaan Narkotika

Menurut UU No. 22 tahun 1997 menjelaskan definisi narkotika yakni zat atau

obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetik maupun semi

sintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan

rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan

ketergantungan. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan

dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pengaturan narkotika menurut pasal 3

bertujuan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu

pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, serta memberantas

peredaran gelap narkotika.

Apotek diberi ijin oleh Menkes untuk membeli, meracik, menyediakan,

memiliki, menyimpan persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan,

membawa dan mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan. Narkotika dapat

digolongkan dalam tiga golongan besar yaitu :

1. Narkotika golongan I, yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, serta

mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium

mentah, tanaman ganja dan kokain mentah.

2. Narkotika golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan

sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan

pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan

ketergantungan. Contoh: opium, morfin, tebain.

3. Narkotika golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak

digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan

serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein,

dihidroksi kodein, doveri, etil morfin.

Page 14: BAB II

16

Pengelolaan narkotika meliputi:

1) Pemesanan Narkotika

Apotek dan apotek Rumah Sakit mendapatkan obat narkotika dari PBF

dengan jalan menulis dan mengirimkan surat pesanan narkotik. Dalam satu surat

pesanan hanya dapat digunakan untuk satu nama obat, narkotika hanya dapat

dipesan pada PBF resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Surat pesanan

ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke PBF.

2) Penyimpanan Narkotika

Narkotika di apotek wajib disimpan secara khusus. Sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam peraturan perundang-undangan

No. 28/MenKes/Per/I/1978 tentang tata cara penyimpanan narkotika, bahwa :

a) Apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika

b) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus dan tidak boleh

menyimpan barang selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri

Kesehatan.

c) Anak kunci lemari khusus dikuasai penanggungjawab atau pegawai lain yang

dikuasakan.

d) Lemari khusus harus ditaruh di tempat aman dan tidak terlihat oleh umum.

Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

a) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat dengan ukuran

40x80x100 cm3

b) Harus mempunyai kunci yang kuat

c) Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama

dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidine dan garam-garamnya serta

persediaan narkotik. Bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika

lainnya yang dipakai sehari-hari

d) Lemari tersebut harus menempel pada tembok atau lantai (Anonim, 1978).

Page 15: BAB II

17

3) Pelaporan Narkotika

Menurut Undang-Undang No. 22 pasal 11 ayat 2 tahun 1997, apotek wajib

menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau

pengeluaran narkotika yang ada didalam penguasaannya kepada Kepala Dinkes

Daerah Tingkat I setempat dengan tembusan Kepala Dinkes Tingkat II setempat,

Kepala BPOM Provinsi setempat dan sebagai Arsip (Anonim, 1997).

4) Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika

Pelayanan resep yang mengandung narkotika menurut Undang-Undang No.

22 tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika hanya digunakan

untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, narkotika dapat diserahkan

pada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter, apotek dilarang

mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Resep

narkotik harus digaris bawah dengan tinta merah. Resep tersebut harus dipisahkan

dengan resep lainnya dan dicatat di buku khusus dengan catatan narkotika.

Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat,

nama pasien, alamat pasien, nama dan alamat dokter penulis resep. Resep

narkotik tidak boleh ada pengulangan, ditulis nama pasien (tidak boleh dipakai

untuk dokter), alamat pasien dan aturan pakai yang jelas (Anonim, 1976).

5) Pemusnahan Narkotika

Pemusnahan narkotika di apotek dalam UU RI No. 22 tahun 1997 pasal 60,

dilakukan apabila narkotika diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan

yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam produksi, kadaluarsa, tidak

memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk

pengembangan ilmu pengetahuan serta berkaitan dengan tindak pidana.

Permenkes RI No. 28/MenKes/Per/1978 pasal 9 mengatur tentang

pemusnahan narkotika karena sebab diatas, yaitu : dilaksanakan oleh APA dengan

disaksikan oleh petugas Dinkes Kabupaten/Kota serta membuat berita acara

pemusnahan yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, sifat dan jumlah

narkotika yang dimusnahkan kemudian keterangan tempat, jam, hari, tanggal,

Page 16: BAB II

18

bulan, tahun pemusnahan, tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan

pejabat yang menyaksikan pemusnahan. Pemusnahan narkotika harus dibuat

berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara tersebut harus

dikirim kepada Kantor Dinas Kesehatan atau Kota dengan tembusan kepada

Kantor Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM dan sebagai arsip apotek

(Anonim, 1978).

2.3.1.10. Pengelolaan Psikotropika

Menurut UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang dimaksud dengan

psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis, bukan narkotik yang

bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang

menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Psikotropika dapat dibagi menjadi :

1. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk

tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, mempunyai potensi

yang amat kuat, menyebabkan sindrom ketergantungan. Contoh: MDMA,

maskalin, psilosina.

2. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai

potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: amfetamin,

metakualon, fenobarbital.

3. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh:

siklobarbital, flunitrazepam.

4. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan

sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta

mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh:

nitrazepam, bromazepam, alprazolam (Anonim, 1997).

Page 17: BAB II

19

Pengelolaan psikotropika meliputi :

1) Pemesanan Psikotropika

Pemesanan psikotropika menurut UU No.5 tahun 1997 menggunakan surat

pemesanan khusus, dapat dipesan di apotek melalui PBF atau pabrik obat. Surat

pesanan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke

PBF.

2) Penyimpanan Psikotropika

Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur dalam perundang-

undangan khusus. Obat-obat golongan psikotropika cenderung lebih banyak

disalahgunakan, maka diminta kepada semua sarana distribusi obat (PBF, apotek,

rumah sakit) agar menyimpan obat-obat golongan psikotropika dalam suatu rak

atau lemari khusus dan kartu stok psikotropika.

3) Pelaporan Psikotropika

Penggunaan psikotropika dimonitor dengan mencatat resep-resep yang berisi

psikotropika dalam buku register yang berisi nomor, nama sediaan, satuan,

persediaan awal, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, sisa akhir bulan dan

keterangan. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 apotek wajib membuat dan

menyimpan catatan mengenai kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan

psikotropika kemudian dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berkala

setiap satu tahun sekali.

4) Pemusnahan Psikotropika

Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 pemusnahan psikotropika dilakukan bila

berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan

persyaratan yang berlaku, bila sudah kadaluarsa dan tidak memenuhi syarat untuk

digunakan pada pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.

Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat

yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat kepastian. Cara pemusnahan

psikotropika sama dengan cara pemusnahan narkotika.

Page 18: BAB II

20

2.3.2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi

Pelayanan sediaan farmasi merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari

tahap validasi, interpretasi, menyiapkan atau meracik obat, memberikan etiket,

penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem

dokumentasi.

Tujuan dari pelayanan sediaan farmasi adalah mendapatkan dosis yang tepat

dan aman, menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan

secara oral atau emperal dan menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan

bermutu serta menurunkan total biaya obat. Pelayanan yang harus diberikan di apotek

menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 adalah :

1. Pelayanan Resep

Pelayanan resep meliputi :

a) Skrining resep, yang terdiri dari persyaratan administratif, kesesuaian

farmasetika dan pertimbangan klinis.

1) Persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter, tanggal

penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis

kelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang

diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.

2) Kesesuaian farmasetika meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,

inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.

3) Pertimbangan klinis meliputi : adanya alergi, efek samping, interaksi,

kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan

terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep

dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu

menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.

b). Penyiapan obat , meliputi :

1) Peracikan

Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,

mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan

Page 19: BAB II

21

peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan

dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang jelas dan benar.

2) Kemasan yang diserahkan harus rapi dan dapat menjaga kualitas obat

3) Penyerahan obat

Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan

akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat

dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling

kepada pasien dan tenaga kesehatan.

4) Informasi obat

Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah

dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat

pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara

penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan

minuman yang harus dihindari selama terapi.

5) Konseling

Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,

pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki

kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya

penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan

kesehatan lainnya.

6) Monitoring penggunaan obat

Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan

pamantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti

kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya (Anonim,

2004).

2. Promosi dan Edukasi

Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi

secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu penyebaran

informasi tentang kesehatan antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur,

Page 20: BAB II

22

poster, penyuluhan dan lain-lain. Peranan penting Apoteker adalah memberikan

informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan pada pasien

dan informasi yang berkaitan dengan penggunaan secara tepat, aman dan rasional.

Pelayanan informasi dapat menjalin interaksi yang baik sehingga mengurangi atau

mencegah kesalahan penyerahan obat. Adapun yang dimaksud dengan

pengelolaan farmasi meliputi :

1) Pengelolaan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan

baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.

2) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya

dan/atau mutu obat/perbekalan farmasi lainnya.

3. Pelayanan Residensial (home care)

Apoteker sebagai care giver diharapkan dapat melakukan pelayanan

kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia

dan pasien dengan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus

membuat medication record (Anonim, 2004).

4. Pelayanan Obat Tanpa Resep

Pada umumnya masyarakat mengobati penyakitnya menggunakan obat-obatan

dari golongan obat bebas dan kadang-kadang ada juga yang menggunakan

golongan obat bebas terbatas serta obat yang dijual dokter tanpa resep (ilegal).

Mereka menggunakan obat-obat golongan tersebut tanpa mengetahui dengan jelas

akibat penggunaanya. Untuk kepentingan tersebut, maka telah ditetapkan SK

Menkes RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang obat-obat keras yang dapat

diserahkan oleh Apoteker tanpa resep dokter (Obat Wajib Apotek No. 1).

Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan :

1. Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker

kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.

2. Obat yang masuk OWA ditetapkan Menteri Kesehatan.

3. Obat yang tercantum dalam lampiran SK tersebut dapat diserahkan oleh

Apoteker di apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No.1. Obat

Page 21: BAB II

23

wajib ini dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap waktu sesuai

dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

4. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat tersebut

diwajibkan :

a) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang

disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.

b) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.

c) Memberikan informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi,

efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.

Hal yang melatarbelakangi ditetapkan peraturan OWA antara lain :

1. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri

guna mengatasi masalah kesehatan, sehingga dirasa perlu ditunjang dengan sarana

yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri.

2. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai

melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri

yang sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional.

3. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)

serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka

peningkatan pengobatan sendiri (Anonim, 1990).