bab ii
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Apotek
Pengertian apotek menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
1332/Menkes/Per/X/1993 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek,
apotek adalah suatu tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan
penyaluran perbekalan farmasi kepada masyarakat. Perbekalan farmasi adalah obat,
bahan obat, obat asli Indonesia (obat tradisional), alat kesehatan dan kosmetik.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No.1027/Menkes/SK/IX/2004 tentang
Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Apotek adalah tempat tertentu, tempat
dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan
kesehatan lainnya kepada masyarakat.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009, yang dimaksud dengan
apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian
oleh Apoteker. Pekerjaan kefarmasian adalah pembuatan termasuk pengendalian
mutu sediaan farmasi, pengamanan pengadaan, penyimpanan dan pendistribusian
atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan
informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 1332/MenKes/Per/X/2002 Bab IV
pasal 6 untuk mendapatkan ijin apotek, Apoteker yang bekerjasama dengan sarana
yang telah memenuhi persyaratan harus siap dengan tempat, perbekalan termasuk
sediaan farmasi dan perbekalan farmasi lainnya yang merupakan milik sendiri atau
milik pihak lain. Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan
kegiatan pelayanan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Persyaratan
didirikannya sebuah apotek antara lain:
1. Lokasi dan Tempat
Jarak minimum antar apotek tidak dipersyaratkan, namun sebaiknya
dipertimbangkan segi pemerataan dan pelayanan kesehatan, jumlah penduduk,
3
4
jumlah dokter, sarana pelayanan kesehatan, hygiene lingkungan dan faktor-
faktor lainnya.
2. Memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak)
NPWP yang diperoleh harus memiliki SIUP dan untuk memperoleh SIUP
harus memiliki HO terlebih dahulu.
3. Bangunan Apotek
Sarana apotek dapat didirikan pada lokasi yang sama dengan kegiatan
pelayanan dan komoditi lainnya di luar sediaan farmasi. Bangunan apotek
sekurang-kurangnya memiliki ruang khusus untuk ruang tunggu, ruang
peracikan dan penyerahan obat, ruang administrasi dan kamar meja Apoteker,
ruang tempat pencucian alat dan toilet. Kelengkapan bangunan calon apotek
meliputi: sumber air harus memenuhi persyaratan kesehatan, penerangan
harus cukup terang sehingga dapat menjamin pelaksanaan tugas dan fungsi
apotek, alat pemadam kebakaran harus berfungsi dengan baik sekurang-
kurangnya dua buah, ventilasi yang baik serta memenuhi persyaratan hygiene
lainnya, papan nama berukuran minimal panjang 60 cm, lebar 40 cm dengan
tulisan hitam di atas dasar putih, tinggi huruf minimal 5 cm dan tebal 5 cm.
4. Perlengkapan Apotek, meliputi:
a) Alat pembuatan, pengolahan dan peracikan;
b) Perlengkapan dan alat penyimpanan perbekalan farmasi (timbangan, lemari
obat dan lemari pendingin), wadah pengemas dan pembungkus;
c) Perlengkapan administrasi (surat pesanan, kartu stok obat, copy resep,
faktur dan nota penjualan, surat pesanan narkotika, psikotropika dan
formulir laporan narkotika dan psikotropika);
d) Buku standard Farmakope Indonesia edisi terbaru dan kumpulan peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan apotek serta buku-buku
lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan;
e) Tempat penyimpanan khusus narkotika dan psikotropika (Anonim, 2002).
5
Pengelolaan apotek merupakan segala upaya dan kegiatan yang dilakukan
oleh seorang Apoteker untuk tugas dan fungsi pelayanan apotek. Pengelolaan apotek
dapat dibedakan atas pengelolaan teknis dan pengelolaan non teknis farmasi yang
meliputi semua kegiatan administrasi, keuangan, personalia, kegiatan di bidang
material (arus barang) dan bidang lain yang berhubungan dengan fungsi apotek
(Anonim, 1993).
Adapun tugas dan fungsi apotek antara lain adalah sebagai berikut :
a) Tempat pengabdian profesi seorang Apoteker yang telah mengucap sumpah
jabatan;
b) Sarana farmasi untuk melaksanakan peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran
dan penyerahan obat atau bahan obat;
c) Sarana penyaluran perbekalan farmasi dalam menyebarkan obat-obatan yang
diperlukan masyarakat secara meluas dan merata;
d) Sarana informasi obat kepada masyarakat dan tenaga kesehatan lainnya
(Syamsuni, 2006).
2.2. Tenaga Kefarmasian dan Kompetensinya
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, yang dimaksud Tenaga Kefarmasian adalah tenaga yang melakukan
pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian.
Tenaga Kefarmasian melaksanakan pekerjaan kefarmasian pada :
a) Fasilitas produksi sediaan farmasi berupa industri farmasi obat, industri OT,
pabrik kosmetika dan pabrik lain yang memerlukan tenaga kefarmasian untuk
menjalankan tugas dan fungsi produksi dan pengawasan mutu.
b) Fasilitas distribusi atau penyaluran sediaan farmasi dan alat kesehatan melalui
Pedagang Besar Farmasi, penyalur alat kesehatan, instalasi sediaan farmasi dan
alat kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah
daerah kabupaten/kota; dan/atau
c) Fasilitas pelayanan kefarmasian melalui praktek di apotek, instalasi farmasi
rumah sakit, puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama (Anonim, 2009).
6
2.2.1. Apoteker
Apoteker adalah mereka yang berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai Apoteker.
Apoteker Pengelola Apotek (APA) adalah Apoteker yang telah memiliki SIK atau SP
oleh Menkes dan bertugas mengelola apotek sebagai penanggungjawab atas semua
kegiatan kefarmasian yang berlangsung di apotek. Apoteker pendamping adalah
apoteker yang bekerja di apotek disamping APA dan atau menggantikannya pada
jam-jam tertentu pada hari buka apotek. Apoteker pengganti adalah apoteker yang
menggantikan APA selama APA tidak berada di tempat selama lebih dari 3 bulan
secara terus-menerus, sudah memiliki Surat Ijin Kerja dan tidak menjadi APA di
apotek lain (Anonim, 2002).
Berdasarkan SK Menkes RI No. 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, kompetensi Apoteker di apotek, dalam
pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian di apotek, yaitu berkaitan pengelolaan
sumber daya yang meliputi :
1. Pengelolaan Sumber Daya Manusia
Sesuai ketentuan perundangan yang berlaku, apotek harus dikelola oleh
seorang Apoteker profesional. Dalam pengelolaan apotek, Apoteker senantiasa
harus memiliki kemampuan :
a) Menyediakan dan memberikan pelayanan yang baik;
b) Mengambil keputusan yang tepat;
c) Kemampuan berkomunikasi antar profesi;
d) Menempatkan diri sebagai pimpinan dalam situasi multidisipliner;
e) Kemampuan mengelola SDM secara efektif;
f) Selalu belajar sepanjang karier;
g) Membantu memberi pendidikan;
h) Memberi peluang untuk meningkatkan pengetahuan.
7
2. Pengelolaan Sarana dan Prasarana
Apoteker di apotek berperan dalam mengelola dan menjamin bahwa:
a) Apotek berlokasi pada daerah yang dengan mudah dikenali oleh masyarakat;
b) Pada halaman apotek terdapat papan petunjuk yang dengan jelas tertulis kata
“Apotek”;
c) Pelayanan produk kefarmasian diberikan pada tempat yang terpisah dari
aktivitas pelayanan dan penjualan produk lainnya, hal ini berguna untuk
menunjukkan integritas dan kualitas produk serta mengurangi resiko
kesalahan penyerahan;
d) Masyarakat diberi akses secara langsung dan mudah oleh Apoteker untuk
memperoleh informasi dan konseling;
e) Lingkungan apotek harus dijaga kebersihannya. Apotek harus bebas dari
hewan pengerat, serangga atau pest, apotek memiliki suplai listrik yang
konstan, terutama untuk lemari pendingin;
f) Apotek memiliki ruang tunggu yang nyaman bagi pasien, tempat untuk
mendisplai informasi bagi pasien termasuk penempatan brosur/materi
informasi, ruangan tertutup untuk konseling yang dilengkapi dengan meja dan
kursi serta lemari untuk menyimpan catatan medikasi pasien, ruang racikan,
keranjang sampah yang tersedia untuk staf maupun pasien;
g) Perabotan apotek harus tertata rapi, lengkap dengan rak-rak penyimpanan obat
dan barang-barang lain yang tersusun dengan rapi, terlindung dari debu,
kelembaban dan cahaya yang berlebihan serta diletakkan pada kondisi
ruangan dengan temperatur yang telah ditetapkan.
3. Pengelolaan Sediaan Farmasi dan Perbekalan Kesehatan Lainnya
Apoteker berperan dalam pengelolaan sediaan farmasi dan perbekalan
kesehatan lainnya untuk menjamin agar pengelolaan persediaan farmasi dan
perbekalan kesehatan lainnya dilakukan sesuai ketentuan perundangan yang
berlaku meliputi: perencanaan, pengadaan, penyimpanan, pelayanan resep dan
8
non resep, pengarsipan resep, pengarsipan catatan pengobatan pasien, dan
pengarsipan hasil monitoring penggunaan obat.
2.2.2. Tenaga Teknis Kefarmasian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 51 tahun 2009 yang dimaksud dengan
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu apotek dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, dan Tenaga
Menengah Farmasi atau Asisten Apoteker (AA). Sedangkan dalam Ketentuan Umum
yang berlaku sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No.
1332/MENKES/SK/X/2002, dikatakan Asisten Apoteker adalah mereka yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan
pekerjaan kefarmasian sebagai AA.
Kewajiban Asisten Apoteker adalah sebagai berikut :
a) Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya
yang dilandasi pada kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat
yang dapat dibeli tanpa resep dokter
b) Memberi informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan
kepada pasien dan penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas
permintaan masyarakat.
Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti
serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika,
bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-
kurangnya meliputi cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka
waktu pengobatan, makanan/minuman/aktifitas yang hendaknya dihindari
selama terapi dan informasi lain yang diperlukan
c) Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasiaan identitas serta data
kesehatan pribadi pasien
d) Melakukan pengelolaan apotek meliputi:
1) Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran,
penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat
9
2) Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi
lainnya
3) Pelayanan informasi mengenai sediaan farmasi
e) Memiliki Surat Izin Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian (SIKTTK) yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang.
Sedangkan hak yang dimiliki oleh Asisten Apoteker adalah sebagai berikut:
a) Mendapatkan gaji dan tunjangan selama bekerja
b) Mendapatkan keuntungan yang diperoleh Apotek berdasarkan atas
kesepakatan dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA)
c) Mendapatkan tunjangan kesehatan
d) Mendapatkan libur dan cuti tahunan
e) Mendapatkan jaminan keselamatan pada waktu bekerja
f) Memilih apotek dan pindah ke apotek lain sesuai dengan keinginan
2.3. Pekerjaan Kefarmasian
Berdasarkan Peraturan Pemerintah RI No. 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian, menyebutkan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah pembuatan
termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan
dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
2.3.1. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pengadaan Sediaan Farmasi
2.3.1.1. Pemilihan
Merupakan proses kegiatan sejak dari meninjau masalah kesehatan yang
terjadi di masyarakat, identifikasi pemilihan terapi, bentuk dan dosis obat,
menentukan kriteria pemilihan dengan memprioritaskan obat esensial, standarisasi
sampai menjaga dan memperbaharui standar obat.
2.3.1.2. Perencanaan
Merupakan proses kegiatan dalam pemilihan jenis, jumlah, dan anggaran
untuk menghindari kekosongan obat dengan menggunakan metode yang dapat
10
dipertanggungjawabkan dan dasar-dasar perencanaan yang telah ditentukan.
Perencanaan dilakukan dengan pengumpulan data-data obat yang mau dipesan, dari
buku defecta, termasuk obat-obat baru yang ditawarkan oleh supplier. Proses ini
dilakukan dengan menggunakan beberapa metode sebagai berikut:
1. Metode Morbiditas, adalah jumlah kebutuhan obat yang digunakan untuk beban
kesakitan (morbidity lead) yang harus dilayani.
2. Metode Konsumsi, adalah perhitungan kebutuhan obat didasarkan pada data riil
konsumsi obat periode yang lalu. Penyesuaian jumlah kebutuhan obat dengan
alokasi dana dilakukan menggunakan metode sebagai berikut:
a) Sistem VEN, yaitu analisis menggunakan obat berdasarkan dampak tiap jenis
obat terhadap kesehatan, terbagi dalam tiga kelompok:
1) Kelompok V (vital) adalah obat-obatan yang sangat esensial, antara lain:
obat penyelamat (live saving drug), obat-obatan untuk pelayanan
kesehatan pokok (misal: vaksin) dan obat-obatan untuk mengatasi
penyakit-penyakit penyebab kematian besar.
2) Kelompok E (essensial) adalah obat-obatan yang bekerja kausal yaitu obat
yang bekerja pada sumber penyebab penyakit, contoh : antibiotik.
3) Kelompok N (non essensial) adalah obat-obatan penunjang, yaitu obat
yang kerjanya ringan dan biasa dipergunakan untuk menimbulkan
kenyamanan atau untuk mengatasi keluhan ringan, contoh : vitamin.
b) Analisis ABC, yaitu analisis yang dilakukan dengan cara mengelompokkan
jumlah dana yang diserap untuk setiap jenis obat dalam tiga kelompok:
1) Klasifikasi A, merupakan butir persediaan yang mewakili 15% dari total
persediaan, tetapi mewakili 70-80% dari total biaya persediaan.
2) Klasifikasi B, merupakan butir persediaan yang mewakili 30% dari total
persediaan, tetapi mewakili 15-25% dari total biaya persediaan.
3) Klasifikasi C, merupakan butir persediaan yang mewakili 55% dari total
persediaan, tetapi mewakili 5% dari total biaya persediaan (Anonim,
1990).
11
2.3.1.3 Pengadaan/Pembelian
Pengadaan merupakan kegiatan untuk merealisasikan kebutuhan yang telah
direncanakan dan disetujui melalui pembelian, produksi/pembuatan sediaan farmasi
dan sumbangan/droping/hibah. Pengadaan sediaan farmasi harus dapat menjamin
keamanan, mutu, manfaat dan khasiat sediaan farmasi. Tujuan pengadaan untuk
mendapatkan perbekalan farmasi dengan harga yang layak, dengan mutu yang baik,
pengiriman barang terjamin dan tepat waktu, proses berjalan lancar dan tidak
memerlukan tenaga serta waktu berlebihan.
Pembelian adalah rangkaian proses pengadaan untuk mendapatkan perbekalan
farmasi. Langkah proses pengadaan dimulai dengan mereview daftar perbekalan
farmasi yang akan diadakan, menentukan jumlah masing-masing item yang akan
dibeli, menyesuaikan dengan situasi keuangan, memilih metode pengadaan, memilih
rekanan, membuat syarat kontrak kerja, memonitor pengiriman barang, menerima
barang, melakukan pembayaran serta menyimpan kemudian mendistribusikan
(Anonim, 2007).
Macam-macam cara pengadaan yang dilakukan di apotek antara lain :
1) Pengadaan secara spekulasi, dilakukan dalam jumlah yang lebih besar dari
kebutuhan untuk mengantisipasi akan adanya kenaikan harga dalam waktu dekat
atau karena ada diskon atau bonus untuk pembelian jumlah besar.
2) Pengadaan terencana, berkaitan dengan pengendalian persediaan barang yang
dilakukan dengan cara membandingkan jumlah pengadaan dengan penjualan tiap
kurun waktu.
3) Pengadaan secara intuisi, dilakukan pada sediaan farmasi yang diperkirakan akan
mengalami peningkatan permintaan dalam kurun waktu tertentu, misalnya karena
adanya pengaruh wabah penyakit demam berdarah.
4) Konsinyasi, yaitu pemilik barang menitipkan barang kepada apotek. Apotek
hanya membayar barang yang terjual, sedangkan sisanya dapat diperpanjang masa
konsinyasinya. Cara seperti ini biasanya dilakukan pada produk baru.
12
Berdasarkan cara pembayaran yang dilakukan, maka pengadaan dapat
dikelompokkan menjadi :
1) Pengadaan secara tunai (cash on delivery) pembelian dilakukan secara langsung
2) Pengadaan secara kredit, pembayaran dilakukan setelah faktur jatuh tempo
(Hartini dan Sulasmono, 2006).
2.3.1.4. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menerima perbekalan farmasi yang
telah diadakan sesuai aturan kefarmasian. Tujuan penerimaan adalah untuk menjamin
perbekalan farmasi yang diterima sesuai kontrak baik spesifikasi mutu, jumlah
maupun waktu kedatangan. Pada penerimaan barang petugas yang menerima harus
mencococokkan barang dengan faktur dan SP lembaran kedua dari gudang. Barang
harus diperiksa jumlah, ED, jenis, bentuk sediaan, nomor batch dan harga satuan
(Anonim, 2004).
2.3.1.5. Penyimpanan
Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan perbekalan farmasi yang diterima pada tempat yang dinilai aman dari
pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu sediaan farmasi,
menghindari penggunaan yang tidak bertanggung jawab, menjaga ketersediaan,
memudahkan pencarian dan pengawasan.
Dalam merancang susunan ruang penyimpanan obat di gudang farmasi, harus
dipikirkan 4 tempat penyimpanan obat yang berbeda, yaitu :
a) Ruang Penyimpanan Biasa
Ruang ini menyimpan sebagian besar persediaan obat di gudang farmasi,
seperti misalnya cairan, tablet, kapsul, obat suntik dan lain-lain. Ruang ini
harus bertemperatur kira-kira 25° C.
b) Ruang Penyimpanan Bertemperatur Dingin
Ruang penyimpanan harus memiliki tempat pendinginan yang dapat
digerakkan untuk menyimpan semua obat yang membutuhkan pendinginan
13
teratur, misalnya obat-obat termolabil (pada suhu 2-8°C). setidaknya berupa
kulkas dan bila perlu untuk menyimpan pada suhu dibawah 0°C (freezer).
c) Ruang Penyimpanan Narkotika
Sesuai dengan undang-undang yang berlaku, narkotika harus disimpan di
almari narkotika. Selain itu, dalam ruang terpisah dari almari ini juga dapat
disimpan psikotropika atau hipnotika.
d) Ruang Penyimpanan untuk Bahan yang Mudah Terbakar
Ruang ini harus memenuhi standar yang ditentukan Bagian Pemadam
Kebakaran, memiliki perlengkapan pemadam kebakaran, menghadap keluar
bangunan. Ruang ini dapat dipakai pula untuk menyimpan bahan berbahaya,
seperti bahan korosif, iritatif, ekplosif, beracun,radiatif dan bahan berbahaya
lainnya (Anonim, 1990).
2.3.1.6. Penyaluran/Distribusi
Merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka pengeluaran obat-obatan
yang bermutu dari distributor obat kepada apotek dan dari apotek untuk masyarakat.
Rangkaian proses ini meliputi penerimaan barang, pengontrolan persediaan,
penyimpanan sisa barang sampai pengeluaran barang dari stok. Tujuan distribusi obat
adalah untuk mempertahankan kualitas obat, mengoptimalkan manajemen persediaan,
memberikan informasi kebutuhan obat yang akan datang dan mengurangi resiko
kerusakan dan kehilangan obat. Setiap fasilitas distribusi sediaan farmasi berupa obat
harus memiliki seorang Apoteker Pengelola Apotek sebagai penanggung jawab dan
dapat dibantu oleh Apoteker Pendamping dan/atau Tenaga Teknis Kefarmasian
(Anonim, 2009).
2.3.1.7. Administrasi
Administrasi yang biasa dilakukan apotek antara lain :
a) Administrasi, kegiatannya meliputi: agenda atau mengarsipkan surat masuk dan
surat keluar, pengetikan laporan-laporan seperti laporan narkotik, laporan jumlah
personil apotek dan lain-lain.
14
b) Pembukuan: keluar masuknya uang disertai bukti-bukti pengeluaran dan
pemasukan.
c) Administrasi penjualan: resep, obat bebas, pelanggan dan pembayaran secara
tunai atau kredit.
d) Administrasi pergudangan: dicatat penerimaan barang, dari mana dan pengeluaran
barang untuk apa dan siapa. Masing-masing barang diberi kartu stok dan
membuat defecta.
e) Administrasi pembelian: dicatat pembelian harian secara tunai atau kredit dan
dicatat darimana, nota-notanya dikumpulkan yang teratur, selain tersebut dicatat
kepada siapa berhutang dan masing-masing dihitung berapa hutang apotek.
f) Administrasi Piutang: dicatat penjualan kredit pada siapa, pelunasan piutang dan
penagihan sisa piutang.
g) Administrasi Kepegawaian, dilakukan dengan mengadakan absensi karyawan,
mencatat kepangkatan, gaji dan pendapatan lainnya dari para karyawan (Anief,
2008).
2.3.1.8. Pengelolaan Obat Rusak dan Kadaluarsa
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 244/MenKes/SK/V/1990 tentang
ketentuan dan tata cara pemberian izin apotek, disebutkan bahwa obat yang tidak
dapat digunakan lagi atau dilarang digunakan, harus dimusnahkan dengan cara
dibakar atau ditanam atau dengan cara yang lain yang ditetapkan Direktorat Jenderal.
Pemusnahan tersebut dilakukan oleh Apoteker Pengelola Apotek atau Apoteker
Pengganti dibantu oleh sekurang-kurangnya seorang karyawan apotek dan wajib
dibuat berita acara pemusnahan (Soekanto, 1990).
Obat kadaluarsa di apotek dapat dikembalikan 3 atau 4 bulan sebelum
kadaluarsa ke PBF yang bersangkutan sesuai dengan perjanjian sebelumnya. Untuk
obat rusak atau yang telah kadaluarsa dan tidak dapat dikembalikan ke PBF dapat
dilaksanakan pemusnahan bersama dengan pemusnahan resep dengan cara dibakar
(Anonim, 1997).
15
2.3.1.9. Pengelolaan Narkotika
Menurut UU No. 22 tahun 1997 menjelaskan definisi narkotika yakni zat atau
obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetik maupun semi
sintetik yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, kehilangan
rasa, mengurangi sampai menghilangkan nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan. Narkotika hanya digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan atau pengembangan ilmu pengetahuan. Pengaturan narkotika menurut pasal 3
bertujuan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan atau pengembangan ilmu
pengetahuan, mencegah terjadinya penyalahgunaan narkotika, serta memberantas
peredaran gelap narkotika.
Apotek diberi ijin oleh Menkes untuk membeli, meracik, menyediakan,
memiliki, menyimpan persediaan, menguasai, menjual, menyalurkan, menyerahkan,
membawa dan mengangkut narkotika untuk kepentingan pengobatan. Narkotika dapat
digolongkan dalam tiga golongan besar yaitu :
1. Narkotika golongan I, yaitu narkotika yang dapat digunakan untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, serta
mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan. Contoh: opium
mentah, tanaman ganja dan kokain mentah.
2. Narkotika golongan II, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan digunakan
sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan
pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan
ketergantungan. Contoh: opium, morfin, tebain.
3. Narkotika golongan III, yaitu narkotika yang berkhasiat pengobatan dan banyak
digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan
serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan. Contoh: kodein,
dihidroksi kodein, doveri, etil morfin.
16
Pengelolaan narkotika meliputi:
1) Pemesanan Narkotika
Apotek dan apotek Rumah Sakit mendapatkan obat narkotika dari PBF
dengan jalan menulis dan mengirimkan surat pesanan narkotik. Dalam satu surat
pesanan hanya dapat digunakan untuk satu nama obat, narkotika hanya dapat
dipesan pada PBF resmi yang ditunjuk oleh pemerintah. Surat pesanan
ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke PBF.
2) Penyimpanan Narkotika
Narkotika di apotek wajib disimpan secara khusus. Sesuai dengan ketentuan
yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan dalam peraturan perundang-undangan
No. 28/MenKes/Per/I/1978 tentang tata cara penyimpanan narkotika, bahwa :
a) Apotek harus memiliki tempat khusus untuk menyimpan narkotika
b) Apotek harus menyimpan narkotika dalam lemari khusus dan tidak boleh
menyimpan barang selain narkotika, kecuali ditentukan oleh Menteri
Kesehatan.
c) Anak kunci lemari khusus dikuasai penanggungjawab atau pegawai lain yang
dikuasakan.
d) Lemari khusus harus ditaruh di tempat aman dan tidak terlihat oleh umum.
Tempat khusus tersebut harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
a) Harus dibuat seluruhnya dari kayu atau bahan lain yang kuat dengan ukuran
40x80x100 cm3
b) Harus mempunyai kunci yang kuat
c) Dibagi dua masing-masing dengan kunci yang berlainan, bagian pertama
dipergunakan untuk menyimpan morfin, petidine dan garam-garamnya serta
persediaan narkotik. Bagian kedua dipergunakan untuk menyimpan narkotika
lainnya yang dipakai sehari-hari
d) Lemari tersebut harus menempel pada tembok atau lantai (Anonim, 1978).
17
3) Pelaporan Narkotika
Menurut Undang-Undang No. 22 pasal 11 ayat 2 tahun 1997, apotek wajib
menyampaikan dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/atau
pengeluaran narkotika yang ada didalam penguasaannya kepada Kepala Dinkes
Daerah Tingkat I setempat dengan tembusan Kepala Dinkes Tingkat II setempat,
Kepala BPOM Provinsi setempat dan sebagai Arsip (Anonim, 1997).
4) Pelayanan Resep yang Mengandung Narkotika
Pelayanan resep yang mengandung narkotika menurut Undang-Undang No.
22 tahun 1997 tentang Narkotika disebutkan bahwa narkotika hanya digunakan
untuk kepentingan pengobatan dan ilmu pengetahuan, narkotika dapat diserahkan
pada pasien untuk pengobatan penyakit berdasarkan resep dokter, apotek dilarang
mengulangi menyerahkan narkotika atas dasar salinan resep dokter. Resep
narkotik harus digaris bawah dengan tinta merah. Resep tersebut harus dipisahkan
dengan resep lainnya dan dicatat di buku khusus dengan catatan narkotika.
Pencatatan meliputi tanggal, nomor resep, tanggal pengeluaran, jumlah obat,
nama pasien, alamat pasien, nama dan alamat dokter penulis resep. Resep
narkotik tidak boleh ada pengulangan, ditulis nama pasien (tidak boleh dipakai
untuk dokter), alamat pasien dan aturan pakai yang jelas (Anonim, 1976).
5) Pemusnahan Narkotika
Pemusnahan narkotika di apotek dalam UU RI No. 22 tahun 1997 pasal 60,
dilakukan apabila narkotika diproduksi tanpa memenuhi standar dan persyaratan
yang berlaku dan/atau tidak dapat digunakan dalam produksi, kadaluarsa, tidak
memenuhi syarat untuk digunakan pada pelayanan kesehatan dan/atau untuk
pengembangan ilmu pengetahuan serta berkaitan dengan tindak pidana.
Permenkes RI No. 28/MenKes/Per/1978 pasal 9 mengatur tentang
pemusnahan narkotika karena sebab diatas, yaitu : dilaksanakan oleh APA dengan
disaksikan oleh petugas Dinkes Kabupaten/Kota serta membuat berita acara
pemusnahan yang sekurang-kurangnya memuat nama, jenis, sifat dan jumlah
narkotika yang dimusnahkan kemudian keterangan tempat, jam, hari, tanggal,
18
bulan, tahun pemusnahan, tanda tangan dan identitas lengkap pelaksana dan
pejabat yang menyaksikan pemusnahan. Pemusnahan narkotika harus dibuat
berita acara pemusnahan paling sedikit rangkap tiga. Berita acara tersebut harus
dikirim kepada Kantor Dinas Kesehatan atau Kota dengan tembusan kepada
Kantor Dinas Kesehatan Provinsi, Kepala Balai POM dan sebagai arsip apotek
(Anonim, 1978).
2.3.1.10. Pengelolaan Psikotropika
Menurut UU No. 5 tahun 1997 tentang psikotropika, yang dimaksud dengan
psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintesis, bukan narkotik yang
bersifat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan syaraf pusat yang
menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Psikotropika dapat dibagi menjadi :
1. Psikotropika golongan I, yaitu psikotropika yang hanya dapat digunakan untuk
tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, mempunyai potensi
yang amat kuat, menyebabkan sindrom ketergantungan. Contoh: MDMA,
maskalin, psilosina.
2. Psikotropika golongan II, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
dapat digunakan dalam terapi dan atau tujuan ilmu pengetahuan serta mempunyai
potensi kuat mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh: amfetamin,
metakualon, fenobarbital.
3. Psikotropika golongan III, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
banyak digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi sedang mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh:
siklobarbital, flunitrazepam.
4. Psikotropika golongan IV, yaitu psikotropika yang berkhasiat pengobatan dan
sangat luas digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan ilmu pengetahuan serta
mempunyai potensi ringan mengakibatkan sindrom ketergantungan. Contoh:
nitrazepam, bromazepam, alprazolam (Anonim, 1997).
19
Pengelolaan psikotropika meliputi :
1) Pemesanan Psikotropika
Pemesanan psikotropika menurut UU No.5 tahun 1997 menggunakan surat
pemesanan khusus, dapat dipesan di apotek melalui PBF atau pabrik obat. Surat
pesanan ditandatangani oleh Apoteker Pengelola Apotek kemudian dikirim ke
PBF.
2) Penyimpanan Psikotropika
Penyimpanan obat golongan psikotropika belum diatur dalam perundang-
undangan khusus. Obat-obat golongan psikotropika cenderung lebih banyak
disalahgunakan, maka diminta kepada semua sarana distribusi obat (PBF, apotek,
rumah sakit) agar menyimpan obat-obat golongan psikotropika dalam suatu rak
atau lemari khusus dan kartu stok psikotropika.
3) Pelaporan Psikotropika
Penggunaan psikotropika dimonitor dengan mencatat resep-resep yang berisi
psikotropika dalam buku register yang berisi nomor, nama sediaan, satuan,
persediaan awal, jumlah pemasukan, jumlah pengeluaran, sisa akhir bulan dan
keterangan. Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 apotek wajib membuat dan
menyimpan catatan mengenai kegiatan yang dilakukan berhubungan dengan
psikotropika kemudian dilaporkan kepada Menteri Kesehatan secara berkala
setiap satu tahun sekali.
4) Pemusnahan Psikotropika
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1997 pemusnahan psikotropika dilakukan bila
berhubungan dengan tindak pidana, diproduksi tanpa memenuhi standar dan
persyaratan yang berlaku, bila sudah kadaluarsa dan tidak memenuhi syarat untuk
digunakan pada pelayanan kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan.
Pemusnahan psikotropika wajib dibuat berita acara dan disaksikan oleh pejabat
yang ditunjuk dalam waktu 7 hari setelah mendapat kepastian. Cara pemusnahan
psikotropika sama dengan cara pemusnahan narkotika.
20
2.3.2. Pekerjaan Kefarmasian dalam Pelayanan Sediaan Farmasi
Pelayanan sediaan farmasi merupakan kegiatan pelayanan yang dimulai dari
tahap validasi, interpretasi, menyiapkan atau meracik obat, memberikan etiket,
penyerahan obat dengan pemberian informasi obat yang memadai disertai sistem
dokumentasi.
Tujuan dari pelayanan sediaan farmasi adalah mendapatkan dosis yang tepat
dan aman, menyediakan nutrisi bagi penderita yang tidak dapat menerima makanan
secara oral atau emperal dan menyediakan obat kanker secara efektif, efisien dan
bermutu serta menurunkan total biaya obat. Pelayanan yang harus diberikan di apotek
menurut Kepmenkes No. 1027/Menkes/SK/IX/2004 adalah :
1. Pelayanan Resep
Pelayanan resep meliputi :
a) Skrining resep, yang terdiri dari persyaratan administratif, kesesuaian
farmasetika dan pertimbangan klinis.
1) Persyaratan administratif meliputi : nama, SIP dan alamat dokter, tanggal
penulisan resep, paraf dokter penulis resep, nama, alamat, umur, jenis
kelamin dan berat badan pasien, nama obat, potensi, dosis dan jumlah yang
diminta, cara pemakaian yang jelas dan informasi lainnya.
2) Kesesuaian farmasetika meliputi : bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas,
inkompatibilitas, cara dan lama pemberian.
3) Pertimbangan klinis meliputi : adanya alergi, efek samping, interaksi,
kesesuaian (dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain). Jika ada keraguan
terhadap resep hendaknya dikonsultasikan kepada dokter penulis resep
dengan memberikan pertimbangan dan alternatif seperlunya bila perlu
menggunakan persetujuan setelah pemberitahuan.
b). Penyiapan obat , meliputi :
1) Peracikan
Merupakan kegiatan menyiapkan, menimbang, mencampur,
mengemas dan memberikan etiket pada wadah. Dalam melaksanakan
21
peracikan obat harus dibuat suatu prosedur tetap dengan memperhatikan
dosis, jenis dan jumlah obat serta penulisan etiket yang jelas dan benar.
2) Kemasan yang diserahkan harus rapi dan dapat menjaga kualitas obat
3) Penyerahan obat
Sebelum obat diserahkan pada pasien harus dilakukan pemeriksaan
akhir terhadap kesesuaian antara obat dengan resep. Penyerahan obat
dilakukan oleh Apoteker disertai pemberian informasi obat dan konseling
kepada pasien dan tenaga kesehatan.
4) Informasi obat
Apoteker harus memberikan informasi yang benar, jelas dan mudah
dimengerti, akurat, tidak bias, etis, bijaksana dan terkini. Informasi obat
pada pasien sekurang-kurangnya meliputi : cara pemakaian obat, cara
penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, aktivitas serta makanan dan
minuman yang harus dihindari selama terapi.
5) Konseling
Apoteker harus memberikan konseling, mengenai sediaan farmasi,
pengobatan dan perbekalan kesehatan lainnya, sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup pasien atau yang bersangkutan terhindar dari bahaya
penyalahgunaan atau penggunaan salah sediaan farmasi atau perbekalan
kesehatan lainnya.
6) Monitoring penggunaan obat
Setelah penyerahan obat kepada pasien, Apoteker harus melaksanakan
pamantauan penggunaan obat, terutama untuk pasien tertentu seperti
kardiovaskular, diabetes, TBC, asma dan penyakit kronis lainnya (Anonim,
2004).
2. Promosi dan Edukasi
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat, Apoteker harus berpartisipasi
secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu penyebaran
informasi tentang kesehatan antara lain dengan penyebaran leaflet atau brosur,
22
poster, penyuluhan dan lain-lain. Peranan penting Apoteker adalah memberikan
informasi yang berkaitan dengan penggunaan obat yang diserahkan pada pasien
dan informasi yang berkaitan dengan penggunaan secara tepat, aman dan rasional.
Pelayanan informasi dapat menjalin interaksi yang baik sehingga mengurangi atau
mencegah kesalahan penyerahan obat. Adapun yang dimaksud dengan
pengelolaan farmasi meliputi :
1) Pengelolaan informasi obat dan perbekalan farmasi lainnya yang diberikan
baik kepada dokter dan tenaga kesehatan lainnya maupun kepada masyarakat.
2) Pengamatan dan pelaporan informasi mengenai khasiat, keamanan, bahaya
dan/atau mutu obat/perbekalan farmasi lainnya.
3. Pelayanan Residensial (home care)
Apoteker sebagai care giver diharapkan dapat melakukan pelayanan
kefarmasian yang bersifat kunjungan rumah, khususnya untuk kelompok lansia
dan pasien dengan penyakit kronis lainnya. Untuk aktivitas ini Apoteker harus
membuat medication record (Anonim, 2004).
4. Pelayanan Obat Tanpa Resep
Pada umumnya masyarakat mengobati penyakitnya menggunakan obat-obatan
dari golongan obat bebas dan kadang-kadang ada juga yang menggunakan
golongan obat bebas terbatas serta obat yang dijual dokter tanpa resep (ilegal).
Mereka menggunakan obat-obat golongan tersebut tanpa mengetahui dengan jelas
akibat penggunaanya. Untuk kepentingan tersebut, maka telah ditetapkan SK
Menkes RI No. 347/Menkes/SK/VII/1990 tentang obat-obat keras yang dapat
diserahkan oleh Apoteker tanpa resep dokter (Obat Wajib Apotek No. 1).
Dalam surat keputusan tersebut ditetapkan :
1. Obat Wajib Apotek yaitu obat keras yang dapat diserahkan oleh Apoteker
kepada pasien di apotek tanpa resep dokter.
2. Obat yang masuk OWA ditetapkan Menteri Kesehatan.
3. Obat yang tercantum dalam lampiran SK tersebut dapat diserahkan oleh
Apoteker di apotek dan selanjutnya disebut Obat Wajib Apotek No.1. Obat
23
wajib ini dapat ditinjau kembali dan disempurnakan setiap waktu sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
4. Apoteker di apotek dalam melayani pasien yang memerlukan obat tersebut
diwajibkan :
a) Memenuhi ketentuan dan batasan tiap jenis obat per pasien yang
disebutkan dalam OWA yang bersangkutan.
b) Membuat catatan pasien serta obat yang telah diserahkan.
c) Memberikan informasi yang meliputi dosis, aturan pakai, kontraindikasi,
efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan oleh pasien.
Hal yang melatarbelakangi ditetapkan peraturan OWA antara lain :
1. Untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri
guna mengatasi masalah kesehatan, sehingga dirasa perlu ditunjang dengan sarana
yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri.
2. Peningkatan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional dapat dicapai
melalui peningkatan penyediaan obat yang dibutuhkan untuk pengobatan sendiri
yang sekaligus menjamin penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional.
3. Peran apoteker di apotek dalam pelayanan KIE (Komunikasi, Informasi, Edukasi)
serta pelayanan obat kepada masyarakat perlu ditingkatkan dalam rangka
peningkatan pengobatan sendiri (Anonim, 1990).