bab i proposal s1

Upload: mrpapan

Post on 15-Oct-2015

76 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jurusan keperawatan

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Anestesiologi merupakan ilmu kedokteran yang pada awalnya

    berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama

    dan sesudah pembedahan, Anastesi ini berkembang terus sesuai dengan

    ilmu kedokteran yang mencakup semua kegiatan profesi atau praktek

    (Latief, 2001 ). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak

    dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan

    keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan dokter dan perawat anestesi

    untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi

    pasien.

    Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea adalah tindakan

    yang banyak dilakukan pada general anestesi. Tindakan laringoskopi

    dan intubasi endotrakea sering menimbulkan respon kardiovaskuler

    yang berlebihan. Respon ini berupa peningkatan tekanan darah,

    peningkatan laju jantung, dan aritmia. Hal ini terjadi karena timbulnya

    refleks simpatis dan simpatoadrenal yang berlebihan (Prayoga,2009).

    Laryngoscopy dan intubasi endotrakeal mengaktifkan system

    saraf simpatis sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen myocard

    dengan peningkatan heart rate dan tekanan darah. Banyak penelitian

    yang memperlihatkan stimulus yang ditimbulkan laryngoscopy dan

  • 2

    intubasi. Komplikasi dari intubasi tersebut salah satunya adalah

    rangsangan saraf simpatis yang berlanjut pada hipertensi-takikardi

    (Nadya,2008).

    Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah

    dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan

    memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas.

    Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum

    adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan

    dengan lancar serta teratur. Intubasi endotrakea anestesi pada

    umumnya menggunakan pelumpuh otot untuk mempermudah

    pemasangan pipa endotrakea..

    Untuk mencegah komplikasi intubasi perlu persiapan yang baik

    sebelum melakukan intubasi di samping obat pelumpuh otot, pelumas

    pipa endotrakhea, pipa endotrakea itu sendiri, laringoskop, tekanan cuff,

    obat-obat untuk mengatasi gejolak kardiovaskular serta obat emergensi

    yang tidak lepas dari keterampilan dan pengalaman dalam melakukan

    tindakan intubasi.

    Menurut observasi peneliti selama berkerja di ruang Bedah

    Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda,

    peneliti seringkali menemukan adanya perubahan pada tekanan darah

    pasien yang dilakukan tindakan intubasi endotrakeal, biasanya peneliti

    mendapatkan data dari pengukuran tekanan darah terjadi kenaikan

  • 3

    sistolik dan diastolic sebesar 20-80 mmHg. Peningkatan tekanan darah

    ini tentunya sangat berbahaya apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi

    untuk mengurangi gejolak hemodinamik khususnya tekanan darah

    pasien pada saat intubasi dilakukan.

    Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan

    intubasi trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah.

    Penelitian dilakukan terhadap 20 pasien pria atau wanita usia 17-55

    tahun, status fisik ASA I, yang menjalani operasi terencana dengan

    anestesi umum di RSUD Dr Moewardi Surakarta, dengan rancangan

    penelitian one group before and after quasi experimental design. Sampel

    ditetapkan secara consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan

    terdapat peningkatan bermakna baik laju jantung, tekanan darah sistolik

    maupun diastolik pada menit pertama pasca intubasi, tetapi tidak

    bermakna pada menit ke-5 dan ke-10.

    Di Ruang Bedah Sentral RSUD AWS pada umumnya untuk jenis

    operasi yang memerlukan patensi jalan napas yang baik, tindakan

    intubasi endotracheal sering dilakukan pada general anestesi selain

    sungkup sederhana, Total Intra Venous Anestesi (TIVA) dan Laryngeal

    Mask Airway (LMA). Dari rata-rata 500 operasi setiap bulan yang

    dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD AWS, 15% atau sekitar 75

    kasus diantaranya dengan tindakan intubasi.

  • 4

    Penelitian ini bermaksud melihat adanya pengaruh intubasi

    endotrakeal terhadap hemodinamik pasien intra operatif yang

    digambarkan oleh tekanan darah sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3

    dan ke-5 setelah intubasi. Berdasarkan uraian diatas inilah peneliti

    tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Tindakan

    Intubasi endotracheal terhadap tekanan darah pasien intra operatif di

    ruang bedah sentral RSUD AWS Samarinda Tahun 2012

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas

    maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai

    berikut : Apakah ada pengaruh tindakan intubasi endotrakeal terhadap

    Tekanan Darah Pasien Intra Operatif di Ruang Bedah Sentral RSUD AWS

    Samarinda tahun 2012.

    C. Tujuan Penelitian

    1. Tujuan Umum

    Untuk mengetahui pengaruh tindakan intubasi endotrakeal

    terhadap Tekanan Darah Pasien Intra Operatif di Ruang Bedah Sentral

    RSUD AWS Samarinda tahun 2012.

  • 5

    2. Tujuan Khusus

    a. Diperolehnya gambaran karakteristik responden yang akan

    dilakukan tindakan intubasi endotrakeal.

    b. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik 5

    menit sebelum induksi anastesi.

    c. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit

    pertama setelah intubasi endotrakea.

    d. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit

    ketiga setelah intubasi endotrakea.

    e. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit

    kelima setelah intubasi endotrakea.

    f. Mengetahui pengaruh intubasi endotrakeal terhadap tekanan

    darah pasien 5 menit sebelumnya dengan menit ke-1, ke-3 dan

    ke-5 setelah intubasi

  • 6

    D. Manfaat Penelitian

    1. Bagi Penulis

    Sebagai sarana pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan

    pengetahuan dan keterampilan peneliti, khususnya mengenai tindakan

    intubasi endotrakea pada pasien intra operatif.

    2. Bagi pihak instansi terkait

    Sebagai masukan untuk tindakan intubasi endotrakeal pada

    pasien intra operatif dengan general anestesi yang lebih baik

    khususnya yang dilakukan oleh perawat anestesi di ruang operasi dan

    unit gawat darurat.

    3. Bagi Pendidikan

    Dapat menjadi masukan dalam proses pembelajaran dan sebagai

    dasar bagi penelitian selanjutnya.

    E. Keaslian Penelitian

    Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD AWS

    Samarinda. Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan

    intubasi trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah

    intubasi endotrakea sudah menjadi bagian rutin dari anestesi umum.

    Laringoskopi intubasi merupakan metode terbaik untuk membebaskan

    dan mempertahankan jalan nafas pada praktek anestesi dan resusitasi.

  • 7

    Namun prosedur ini bukan merupakan tindakan yang bebas risiko.

    Laringoskopi intubasi endotrakea menyebabkan rangsangan simpatis

    yang membangkitkan respon kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui kenaikan laju jantung dan tekanan darah sebagai akibat

    tindakan laringoskopi intubasi endotrakea. Penelitian dilakukan terhadap

    20 pasien pria atau wanita usia 17-55 tahun, status fisik ASA I, yang

    menjalani operasi terencana dengan anestesi umum di RSUD Dr

    Moewardi Surakarta, dengan rancangan penelitian one group before and

    after quasi experimental design. Sampel ditetapkan secara consecutive

    sampling.

    Setiap pasien mendapatkan premedikasi sulfas atropin 0,01

    mg/kg.bb; midazolam 0,07 mg/kg.bb; pethidin 1 mg/kg.bb. Induksi

    menggunakan propofol 2 mg/kg.bb, intubasi difasilitasi dengan

    succinylcholin 1,5 mg/kg.bb. Laju jantung, tekanan darah sistolik dan

    diastolik diukur secara serial mulai awal sebelum premedikasi, pasca

    premedikasi, pasca induksi, pasca intubasi menit ke-1, 5 dan 10. Data

    dianalisis dengan uji anova dilanjutkan post hoc test Tukey dan

    Bonferroni, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05.

    Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan bermakna baik

    laju jantung, tekanan darah sistolik maupun diastolik pada menit pertama

    pasca intubasi, tetapi tidak bermakna pada menit ke-5 dan ke-10.

    Kesimpulan: bahwa intubasi endotrakea menyebabkan kenaikan

  • 8

    sementara laju jantung dan tekanan darah. Untuk mengurangi lonjakan

    kardiovaskuler tersebut diperlukan intubasi dengan cepat dan mulus.

    Yang membedakan penelitian penulis yaitu premedikasi diberikan

    beberapa menit sebelum induksi anastesi dan pelumpuh otot yang

    diberikan adalah atracuronium atau rocuronium bromida yang termasuk

    golongan intermediet. Tekanan darah yang diobservasi adalah pada menit

    ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi endotrakea dan perbedaan yang lain

    sampelnya berjumlah 63 responden, kriteria pasien juga berbeda dan

    tempat penelitian dilakukan di ruang bedah sentral RSUD AWS

    Samarinda.

  • 9

    BAB II

    TINJAUAN PUSTAKA

    A. Telaah Pustaka

    1. Anatomi Laring

    Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang

    merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan

    terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan

    wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu

    terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan

    makanan (Ferryan,2011).

    Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi

    dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih

    menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga

    Adams apple atau jakun. Batas-batas laring berupa sebelah kranial

    terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di

    sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan

    berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari

    vertebra servikalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum

    laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan

    lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot

    sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobuskelenjar tiroid. Laring

  • 10

    berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea

    di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os

    Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini

    merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan

    mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun. Secara keseluruhan

    laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.

    Kesuksesan tindakan intubasi, ventilasi, cricothyrotomy, dan

    anestesi regional faring berhubungan dengan pengetahuan mengenai

    anatomi jalan nafas. Ada dua jalan masuk udara pernafasan pada

    manusia, yaitu hidung, yang berlanjut pada nasofaring (pars nasalis),

    dan mulut, yang berlanjut menjadi orofaring (pars oralis). Batas

    anterior kedua jalan nafas tsb adalah palatum, tetapi bertemu di

    posterior pada faring. Faring berbentuk U dan memiliki struktur

    fibromuskular yang melintang dari dasar tengkorak ke kartilago krikoid

    pada tempat masuk ke esophagus. Faring yang terbuka berhubungan

    ke anterior dengan cavum nasi, mulut, dan laring, kemudian

    nasofaring, orofaring, dan laryngofaring. Pada dasar lidah, epiglottis

    secara fungsional menutupi orofaring dari laryngofaring. Epiglottis

    menghindari terjadinya aspirasi dengan menutupi glottis dan

    terbukanya laring saat menelan. Laring merupakan jaringan skeleton

    kartilaginosa yang juga bercampur dengan ligament dan otot (Ellis,

    2004).

  • 11

    Gambar 2.1 Anatomi Laring Bagian Laring (Ellis, 2004)

    Serabut saraf laryngeal vagus (rekuren) dan jaras simpatik

    mensuplai trakea. Serabut parasimpatik eferen berasal dari bagian

    nucleus dorsal nervus vagus ke arah cabang laryngeal rekuren untuk

    menyuplai impuls motor ke otot polos trakea. Serabut eferen lainnya

    menyampaikan sinyal sekresi menuju ke kelenjar-kelenjar di

    sepanjang trakea. Jaras simpatetik vasokonstriktor berjalan sepanjang

    arteri tiroid inferior dan cabang-cabangnya banyak terdapat di trakea

    dengan terdapatnya badan sel pada ganglion servikal medial (Ellis,

    2004).

    a. Anatomi Laring bagian Dalam

    Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :

  • 12

    1) Supraglotis (vestibulum superior) yaitu ruangan diantara

    permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.

    2) Glotis (pars media) yaitu ruangan yang terletak antara pita

    suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga

    yang disebut ventrikel laring Morgagni.

    3) Infraglotis (pars inferior) yaitu ruangan diantara pita suara

    sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.

    Beberapa bagian penting dari dalam laring :

    1) Aditus Laringeus: pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk

    di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika,

    posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m.

    aritenoideus.

    2) Rima Vestibuli: celah antara pita suara palsu.

    3) Rima glottis: di depan merupakan celah antara pita suara

    sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago

    aritenoidea.

    4) Vallecula: terdapat diantara permukaan anterior epiglotis

    dengan basis lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika

    medial dan lateral.

    5) Plika Ariepiglotika: dibentuk oleh tepi atas ligamentum

    kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke

    kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.

  • 13

    6) Sinus Pyriformis (Hipofaring): terletak antara plika ariepiglotika

    dan permukaan dalam kartilago tiroidea.

    7) Incisura Interaritenoidea: suatu lekukan atau takik diantara

    tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.

    8) Vestibulum Laring: Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis,

    membrana kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas

    prosesus vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.

    9) Plika Ventrikularis (pita suara palsu): pita suara palsu yang

    bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk

    menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua

    lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di

    tengahnya.

    10) Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus): ruangan antara

    pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel

    terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita

    suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi

    epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar

    seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara

    sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.

    11) Plika Vokalis (pita suara sejati): terdapat di bagian bawah

    laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis

    dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per

  • 14

    lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago

    aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.

    2. Fisiologi Laring

    Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi

    dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada

    uraian berikut:

    a. Fungsi Fonasi

    Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling

    kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi

    yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara.

    Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara

    pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan

    resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,

    faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi

    dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam

    penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa

    ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang

    mengemukakan bagaimana suara terbentuk :

    1) Teori Myoelastik-Aerodinamika

    Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan

    secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat

    kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika

  • 15

    vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan

    plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan

    tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan

    tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai

    puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis

    terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari

    posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari

    ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali

    pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi

    pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan

    berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling

    mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan

    aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran

    udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan

    negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan

    kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara

    ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan

    terulang kembali.

    2) Teori Neuromuskular

    Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan

    bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya

    impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk

  • 16

    mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls

    yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya/ frekuensi

    getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri

    menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa

    diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).

    b. Fungsi Proteksi

    Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan

    adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis

    tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat

    adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,

    plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid

    melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai

    jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas

    dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh

    dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi

    aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.

    c. Fungsi Respirasi

    Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk

    memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior

    terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis

    terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2

    dan O2

    arteri serta pH darah. Bila pO2

    tinggi akan menghambat pembukaan

  • 17

    rima glotis, sedangkan bila pCO2

    tinggi akan merangsang

    pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring

    mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan

    peningkatan pO2

    arterial dan hiperventilasi akan menghambat

    pembukaan laring. Tekanan parsial CO2

    darah dan pH darah

    berperan dalam mengontrol posisi pita suara.

    d. Fungsi Sirkulasi

    Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan

    dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada

    venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi

    dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal

    ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor

    dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls

    dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N.

    Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring

    dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.

    e. Fungsi Fiksasi

    Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal

    agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.

    f. Fungsi menelan

  • 18

    Terdapat 3 kejadian yang berhubungan dengan laring pada

    saat berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan

    faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.

    Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi

    sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik

    laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke

    bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup

    untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran

    pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan

    laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk

    semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau

    minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke

    sinus piriformis lalu ke hiatus esophagus

    .

    g. Fungsi batuk

    Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi

    sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan

    tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk

    mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau

    membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada

    mukosa laring.

  • 19

    h. Fungsi ekspektorasi

    Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar

    berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.

    i. Fungsi emosi

    Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring,

    misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan

    ketakutan.

    3. Intubasi Endotrakea

    a. Definisi

    Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa

    endotrakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung

    distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara

    dan bifukarsio trakea. (Said A, dkk, 2009)

    Pipa endotrakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik

    langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar

    polivinil-klorida.ukuran diameter lubang pipa trakea dalam

    milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa

    berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil

    dibawah 5 tahun hampir bulat, sedangkan penampang dewasa

    seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan

    untuk dewasa dengan cuff, supaya tidak bocor. Penggunaan cuff

    pada bayi dan anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir

  • 20

    trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea

    dengan cuff pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea

    yang diameternya lebih kecil dan ini membuat risiko tahanan nafas

    lebih besar. Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat

    laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea

    dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam

    laringoskop:

    1) Bilah daun (blade) lurus (Macinthosh) untuk bayi-anak

    2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa

    Gambar 2.2 : Laringoskopi (Ellis, 2004)

    b. Indikasi intubasi

    Menurut Said A., dkk (2009) sangat bervariasi dan umumnya

    digolongkan sebagai berikut :

  • 21

    1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun, diantaranya

    pada kelainan anatomi, bedah khusus, posisi bedah khusus,

    pembersihan sekresi jalan nafas.

    2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat

    resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan

    efesien, ventilasi jangka panjang.

    3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi

    c. Kesulitan Intubasi : 1). Leher pendek berotot, 2). Mandibula

    menonjol, 3). Maksila / gigi depan menonjol, 4). Uvula tak terlihat ,

    5). Gerak sendi temporo-mandibular terbatas, 6). Gerak vertebra

    servikal terbatas.

    Gambar 2.3 Malampati (Ellis, 2004)

    d. Persiapan Intubasi Endotrakeal

  • 22

    Sebelum mengerjakan Intubasi Trakea, dapat diingat kata

    STATICS, yaitu:

    S = scope, laringoskop dan stetoskop

    T = tubes, pipa endotrakeal

    A = airway tubes, pipa orofaring/nasofaring

    T = tape, plester

    I = introducer, stilet, mandren

    C = connector, sambungan-sambungan

    S = suction, penghisap lender

    1) Cara melakukan Intubasi Endotrakeal

    a) Persiapan

    Pasien dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal

    dengan bantal sehingga kepala dalam posisi ekstensi

    serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis

    lurus.

    b) Oksigenisasi

    Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot

    lakukan oksigenisasi dengan pemberian O2 100% minimal

    2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan

    balon dengan tangan kanan.

    c) Laringoskopi

  • 23

    Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang

    laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun

    laringoskop dimasukkan dari sudut kanan mulut. Lidah

    pasien didorong dengan daun tersebut ke kiri dan

    lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop

    didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat

    dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring, serta

    epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan

    kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid, pita

    suara yang tampak berwarna putih berbentuk huruf v.

    d) Pemasangan pipa endotrakeal

    Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut

    kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.

    Bila perlu sebelum memasukkan pipa, asisten diminta

    untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara

    tampak jelas. Bila mengganggu, stilet dicabut.

    Ventilasi/oksigenisasi diberikan dengan tangan kanan

    memompa balon dan tangan kiri memfiksasi pipa. Balon

    pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan.

    Pipa difiksasi dengan plester.

    e) Mengontrol letak pipa

  • 24

    Dada dipastikan berkembang saat diberikan ventilasi.

    Sewaktu dilakukan ventilasi dilakukan auskultasi dada

    dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri

    sama. Bila dada ditekan terasa udara di pipa endotrakeal.

    Bila terjadi intubasi endobronkial akan terdapat tanda--

    tanda, yaitu suara napas kanan dan kiri berbeda, kadang-

    kadang timbul wheezing, sekret lebih banyak, dan

    tahanan jalan napas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi

    ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi

    kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke

    esofagus maka daerah epigastrium/gaster mengembang,

    terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),

    kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama

    pasien tampak biru. Untuk hal ini pipa dicabut dan

    tindakan intubasi dilakukan setelah diberikan oksigenisasi

    yang cukup.

    f) Ventilasi

    Pemberian ventilasi sesuai dengan kebutuhan pasien.

    e. Komplikasi Intubasi Endotrakeal

    1) Selama intubasi

    a) Trauma gigi geligi

  • 25

    b) Laserasi bibir, gusi, laring

    c) Merangsang saraf simpatis yang menyebabkan timbulnya

    hipertensi dan takikardi.

    d) Intubasi bronkus

    e) Intubasi esophagus

    f) Aspirasi

    g) Spasme bronkus

    2) Setelah ekstubasi

    a) Spasme laring

    b) Aspirasi

    c) Gangguan fonasi

    d) Edema glottis-subglotis

    e) Infeksi laring, faring, trakea.

    4. Klasifikasi Status Fisik

    Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik

    seseorang ialah yang Berasal dari The American Society of

    Anesthesiologists (ASA),Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko

    anesthesia,karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan

    dari dampak samping pembedahan sebagai berikut (Said, 2009):

    a. Kelas I : Pasien sehat organik,fisiologik,psikiatrik dan biokimia

    b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.

    c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat.

  • 26

    d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat

    melakukan aktifitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman

    kehidupannya setiap saat.

    e. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa

    pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.

    5. Hal-hal yang Mempengaruhi Tekanan Darah

    Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah

    jantung (cardiac output) dan resistensi vascular perifer (peripheral

    vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara

    frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume),

    sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous

    return) dan kekuatan kontraksi myocard. Resistensi perifer ditentukan

    oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh

    darah dan viskositasz darah. Semua parameter di atas dipengaruhi

    oleh beberapa faktor antara lain system saraf simpatis dan

    parasimpatis, system rennin angiotensin-aldosteron (SRAA) dan faktor

    local berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel

    pembuluh darah.

    System saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung

    meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut

    jantung, memperkuat kontraktilitas myocard, dan meningkatkan

    resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis bersifat depresif, yaitu

  • 27

    menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut

    jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek vasokonstriksi

    angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi

    air dan natrium di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Selain

    itu terdapat sinergisme antara system simpatis dan SRAA yang saling

    memperkuat efek masing-masing.

    Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan

    vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin,

    tromboksan A2 dan angiotensin II local, dan sebagian lagi bersifat

    vasodilator seperti endothelium-derived relaxing factor (EDRF) yang

    dikenal juga dengan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu,

    jantung terutama atrium kanan memproduksi hormon yang disebut

    atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP) yang bersifat diuretic,

    natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah.

    a. Tekanan Darah

    Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding

    arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut

    tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang

    terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya

    digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan

    diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60

  • 28

    sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80

    (Smeltzer & Bare, 2001).

    Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi

    di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah

    berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa

    muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan

    pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan

    yang kuat. Sementara itu Palmer (2007) menyatakan bahwa tekanan

    darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg).

    Tekanan arteri rata-rata adalah tekanan rata-rata yang

    bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama

    seluruh siklus jantung. Tekanan arteri rata-rata tidak terletak di

    tengah-tengah antara tekanan sistolik dan diastolik karena tekanan

    arteri tetap lebih dekat ke tekanan diastol daripada ke tekanan sistol

    untuk jangka yang lebih lama pada setiap siklus jantung. Pada

    kecepatan denyut jantung istirahat. Sekitar dua-pertiga siklus jantung

    dipakai dalam diastol dan hanya sepertiga dalam sistol. Oleh karena

    itu, selain menggunakan metode pengukuran langsung, perkiraan

    tekanan arteri rata-rata dapat ditentukan dengan menggunakan

    rumus berikut:

    Sistolik + 2 (Diastolik)3

  • 29

    Tekanan arteri rata-rata, seperti halnya tekanan sistol dan

    diastol, pada dasarnya sama di semua arteri. Karena arteri kurang

    menimbulkan resisitensi terhadap aliran, kehilangan energi tekanan

    melalui friksi dapat diabaikan.

    b. Pengukuran tekanan darah

    Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan

    pengukuran tekanan darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah

    dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode

    langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun

    hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat

    berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain

    (Smeltzer & Bare, 2001)

    Menurut Nursecerdas (2009), bahaya yang dapat ditimbulkan

    saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi

    penusukkan, bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan:

    ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis.

    Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan

    dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.

  • 30

    Sphgmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan

    dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan rongga dalam

    manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang

    terbaca pada manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter

    air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis. (Smeltzer & Bare,

    2001). Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan

    membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas

    dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam manset

    dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang.

    Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah

    telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup. Manset

    dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik

    hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan,

    dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi.

    Dengan palpasi kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik.

    Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik

    dan diastolik dengan lebih akurat (Smeltzer & Bare, 2001). Untuk

    mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk

    corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di

    bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik

    dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps.

  • 31

    Manset dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per

    detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak, yang

    menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal sebagai

    Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan

    akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam

    manset turun di bawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut,

    bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001). Untuk

    mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk

    corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di

    bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik

    dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps.

    c. Mekanisme pemeliharaan Tekanan Darah

    Tekanan darah dikontrol oleh otak, sistem saraf otonom, ginjal,

    beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Otak adalah pusat

    pengontrol tekanan darah di dalam tubuh. Serabut saraf adalah

    bagian sistem saraf otonom yang membawa isyarat dari semua

    bagian tubuh untuk menginformasikan kepada otak perihal tekanan

    darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua organ. Semua

    informasi ini diproses oleh otak dan keputusan dikirim melalui saraf

    menuju organ-organ tubuh termasuk pembuluh darah, isyaratnya

    ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh darah.

    Saraf-saraf ini dapat berfungsi secara otomatis (Hayens, 2003).

  • 32

    d. Hipertensi

    1) Pengertian Hipertensi

    Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi

    persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan

    tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001).

    Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa hipertensi

    merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada

    pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat

    diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus

    menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau

    beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya

    dalam mempertahankan tekanan darah secara normal

    (Hayens, 2003).

    2) Klasifikasi Hipertensi

    Klasifikasi hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah

    sistolik dan tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg

    dibagi menjadi beberapa stadium.

  • 33

    6. Efek intubasi Endotrakeal terhadap Tekanan Darah

    Laringoskopi dan intubasi endotrakea berisiko menimbulkan

    berbagai komplikasi dan efek samping. Tindakan laringoskopi maupun

    intubasi endotrakhea menyebabkan terjadinya respon pada system

    kardiovaskular, respirasi, susunan saraf pusat, mata, saluran

    pencernaan, dan lain-lain. Respon tersebut terjadi akibat adanya

    peningkatan rangsangan simpatis. Peningkatan rangsangan ini terjadi

    karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren

    laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakea.

    Peningkatan rangsangan simpatis ini akan menyebabkan kelenjar

    suprarenalis mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin sehingga

    pada system kardiovaskuler akan menyebabkan terjadinya peningkatan

    tekanan darah, laju jantung, dan disritmia. Rangsangan simpatis

    terhadap jantung akan menimbulkan efek yang berlawanan dengan

    efek yang terjadi pada rangsangan nervus vagus, yaitu meningkatkan

    kecepatan timbulnya impuls pada nodus SA, meningkatkan kecepatan

    rangsang terhadap semua bagian jantung, serta meningkatkan

  • 34

    kontraksi otot jantung. Perangsangan terhadap saraf simpatis akan

    menyebabkan kelenjar suprarenal akan mensekresi hormon adrenalin

    dan noradrenalin. Hormon ini akan meningkatkan permeabilitas

    membran sel otot jantung terhadap ion natrium dan ion kalsium, dan

    meningkatkan frekuensi denyut jantung pada nodus SA. Peningkatan

    permeabilitas terhadap ion kalsium menyebabkan meningkatnya

    kekuatan kontraksi otot jantung.

    Peningkatan tekanan darah sebagai respon sistem kardiovaskuler

    terhadap laringoskopi terjadi mulai 5 detik sejak tindakan laringoskopi,

    mencapai puncaknya dalam 1-2 menit, dan akan kembali seperti

    sebelum tindakan laringoskopi dalam waktu 5 menit. Pada orang sehat

    rata-rata peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah

    diastolik masing-masing lebih dari 53 mmHg dan 34 mmHg. Laju

    jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit. Respon peningkatan laju

    jantung pada laringoskopi bervariasi, meningkat pada 50% kasus.

    Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG (biasanya

    extrasystole atau premature contraction), tetapi lebih sering terjadi pada

    tindakan intubasi.

    Respon ini mungkin kurang berarti klinis pada pasien yang sehat,

    tetapi dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovasculer

    disease. Peningkatan tekanan darah dan laju jantung akan

    meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Keadaan ini bisa

  • 35

    berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung. Beberapa

    penelitian mengatakan bahwa pasien yang sebelumnya mempunyai

    riwayat infark miokard, kejadian reinfark setelah operasi lebih tinggi

    daripada pasien yang pada periode intraoperatif terjadi peningkatan

    tekanan darah dan laju jantung. Untuk mencegah komplikasi tersebut

    perlu persiapan baik sebelum melakukan intubasi di samping obat

    pelumpuh otot, pelumas pipa endotrakhea, pipa endotrakea,

    laringoskop, tekanan cuff, obat-obat untuk mengatasi gejolak

    kardiovaskular dan obat emergensi.

    6. Gambaran Umum Perioperatif

    Fase pra operatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan

    intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien dikirim ke meja operasi.

    Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup

    penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah,

    wawancara pra operatif dan menyiapkan pasien untuk anstesi yang

    diberikan dan pembedahan.

    Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke

    instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang

    pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup

    pemasangan IV cath, pemberian medikasi intaravena, melakukan

    pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur

    pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Membantu

  • 36

    mengatur posisi pasien di atas meja operasi dengan

    menggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh. Fase pasca

    operatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan

    (recovery room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada

    tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktivitas keperawatan mecakup

    rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus

    pengkajian meliputi efek agen anastesi dan memantau fungsi vital serta

    mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada

    peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,

    perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan.

    a. Perioperatif

    Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun

    kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan.

    Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah

    sakit, meskipun beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak

    memerlukan hospitalisasi dan dilakukan di klinik-klinik bedah dan

    unit bedah ambulatori. Individu dengan masalah kesehatan yang

    memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian

    anastesi atau pembiusan yang meliputi anastesi lokal,regional,

    dan umum.

    Sejalan dengan perkembangan teknologi yang kian maju.

    Prosedur tindakan pembedahan pun mengalami kemajuan yang

  • 37

    sagat pesat. Dimana perkembangan teknologi mutakhir telah

    mengarahkan kita pada penggunaan prosedur bedah yang lebih

    kompleks dengan penggunaan teknik-teknik bedah mikro (micro

    surgery techniques) atau penggunaan laser, peralatan by Pass

    yang lebih canggih dan peralatan monitoring yang lebih sensitif.

    Kemajuan yang sama juga ditunjukkan dalam bidang

    farmasi terkait dengan penggunaan obat-obatan anastesi kerja

    singkat, sehingga pemulihan pasien akan berjalan lebih cepat.

    Kemajuan dalam bidang teknik pembedahan dan teknik anastesi

    tentunya harus diikuti oleh peningkatan kemampuan masing-

    masing personel (terkait dengan teknik dan juga komunikasi

    psikologis) sehingga outcome yang diharapkan tercapai.

    Perubahan tidak hanya terkait dengan hal-hal tersebut diatas.

    Namun juga diikuti oleh perubahan pada pelayanan. Untuk

    pasien-pasien dengan kasus-kasus tertentu, misalnya : hernia.

    Pasien dapat mempersiapkan diri dengan menjalani pemeriksaan

    dignostik dan persiapan pra operatif lain sebelum masuk rumah

    sakit. Kemudian jika waktu pembedahannya telah tiba, maka

    pasien bisa langsung mendatangi rumah sakit untuk dilakukan

    prosedur pembedahan. Sehingga akan mempersingkat waktu

    perawatan pasien di rumah sakit.

  • 38

    Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang

    digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi

    keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan

    pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang

    mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu pre operative

    phase, intra operative phase dan post operative phase.

    Masing- masing fase di mulai pada waktu tertentu dan

    berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang

    membentuk pengalaman bedah dan masing-masing mencakup

    rentang perilaku dan aktivitas keperawatan yang luas yang

    dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses

    keperawatan dan standar praktik keperawatan. Disamping

    perawat, kegiatan perioperatif ini juga memerlukan dukungan dari

    tim kesehatan lain yang berkompeten dalam perawatan pasien

    sehingga kepuasan pasien dapat tercapai sebagai bentuk

    pelayanan prima.

    b. Intra operatif

    Merupakan sesuatu yang dimulai sejak pasien masuk

    kamar operasi dan berakhir diruang post anastesi care unit.

    (HIPKABI, 2009). Peran perawat intra operatif, antara lain :

    perawat scrub, perawat anastesi dan perawat sirkuler.

  • 39

    1). perawat scrub : steril, mengatur meja steril,asisten dokter

    bedah,mengawasi perdarahan,menghitung alat sebelum dan

    sesudah operasi..

    2). perawat anastesi : mengawasi tanda- vital,cairan dan nyeri.

    3). perawat sirkuler : tidak steril, memantau aktivitas tim bedah,

    suhu, pencahayaan,menjaga peralatan, ketersediaan bahan

    operasi,koordinasi tim bedah dan memastikan keselamatan

    pasien

    B. Penelitian Terkait

    Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan intubasi

    trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah. Intubasi

    endotrakea sudah menjadi bagian rutin dari anestesi umum. Laringoskopi

    intubasi merupakan metode terbaik untuk membebaskan dan

    mempertahankan jalan nafas pada praktek anestesi dan resusitasi.

    Namun prosedur ini bukan merupakan tindakan yang bebas risiko.

    Laringoskopi intubasi endotrakea menyebabkan rangsangan simpatis

    yang membangkitkan respon kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk

    mengetahui kenaikan laju jantung dan tekanan darah sebagai akibat

    tindakan laringoskopi intubasi endotrakea. Penelitian dilakukan terhadap

    20 pasien pria atau wanita usia 17-55 tahun, status fisik ASA I, yang

    menjalani operasi terencana dengan anestesi umum di RSUD Dr

    Moewardi Surakarta, dengan rancangan penelitian one group before and

  • 40

    after quasi experimental design. Sampel ditetapkan secara consecutive

    sampling. Setiap pasien mendapatkan premedikasi sulfas atropin 0,01

    mg/kg.bb; midazolam 0,07 mg/kg.bb; pethidin 1 mg/kg.bb. Induksi

    menggunakan propofol 2 mg/kg.bb, intubasi difasilitasi dengan

    succinylcholin 1,5 mg/kg.bb. Laju jantung, tekanan darah sistolik dan

    diastolik diukur secara serial mulai awal sebelum premedikasi, pasca

    premedikasi, pasca induksi, pasca intubasi menit ke-1, 5 dan 10. Data

    dianalisis dengan uji anova dilanjutkan post hoc test Tukey dan

    Bonferroni, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Hasil penelitian

    menunjukkan terdapat peningkatan bermakna baik laju jantung, tekanan

    darah sistolik maupun diastolik pada menit pertama pasca intubasi, tetapi

    tidak bermakna pada menit ke-5 dan ke-10. Kesimpulan: bahwa intubasi

    endotrakea menyebabkan kenaikan sementara laju jantung dan tekanan

    darah. Untuk mengurangi lonjakan kardiovaskuler tersebut diperlukan

    intubasi dengan cepat dan mulus .Adapun yang membedakan penelitian

    penulis yaitu premedikasi diberikan beberapa menit sebelum induksi

    anastesi dan pelumpuh otot yang diberikan adalah atracuronium atau

    rocuronium bromida yang termasuk golongan intermediet. Tekanan darah

    yang diobservasi adalah pada menit ke-1,ke-3 dan ke-5 setelah intubasi

    endotrakea,respondennya berjumlah 63 pasien,dan data akan diuji

    dengan paired sample t test dan tempat penelitian dilakukan di ruang

    bedah sentral RSUD AWS Samarinda.

  • 41

    C. Kerangka Teori Penelitian

    Menurut Said (2001) Intubasi endotrakeal merupakan tindakan

    memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea melalui rima glottis,

    sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita

    suara dan bifukarsio trakea.

    Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian

    Intubasi Endotrakea

    Respon Hemodinamik - Anatomi Saluran Nafas - Indikasi Intubasi - Persiapan - Cara - Penyulit

    Tekanan Darah

    Denyut Nadi

    Ket:

    Diteliti

    Tidak diteliti

    General anastesi

    Disritmia

    Peningkatan ICP

  • 42

    C. Kerangka Konsep Penelitian

    Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat

    dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan

    keterkaitan antar variabel, baik variabel yang diteliti maupun yang tidak

    diteliti (Azrul, 2003).

    Pada kerangka konsep berikut ini menjelaskan bahwa variabel

    independent atau bebas yaitu tindakan intubasi endotracheal, sedangkan

    variabel dependent atau terikatnya adalah tekanan darah pasien.

    Gambar 2.5 Kerangka Konsep penelitian

    Tindakan intubasi

    endotracheal : Tekanan darah

    sistolik dan

    diastolik menit

    pertama, ketiga,

    dan kelima

    setelah

    pemasangan

    intubasi

    Tekanan darah 5 menit

    sebelum induksi anastesi

  • 43

    D. Hipotesis Penelitian

    Mayor

    Ha : Ada pengaruh tindakan Intubasi Endotracheal terhadap

    tekanan darah pasien intra operatif diruang bedah Sentral

    RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2012.

    Ho : Tidak ada pengaruh tindakan Intubasi Endotracheal terhadap

    tekanan darah pasien intra operatif diruang bedah Sentral

    RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2012.

    Minor

    1. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit

    sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 1 menit

    setelah intubasi.

    2. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit

    sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 3 menit

    setelah intubasi.

    3. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit

    sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 5 menit

    setelah intubasi.

  • 44

    BAB III

    METODE PENELITIAN

    A. Rancangan Penelitian

    Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian,

    memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat mempengaruhi

    akurasi suatu hasil. Dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan

    dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu

    pertanyaan penelitian dan merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang

    dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa

    diterapkan (Nursalam, 2008).

    Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pra eksperimen one group

    pretest posttest tanpa kontrol dengan mengikuti waktu efek perlakuan (time series),

    yakni tekanan darah 5 menit sebelum induksi anestesi, dan tekanan darah menit

    pertama, menit ketiga dan menit kelima setelah intubasi endotrakeal dilakukan.

    B. Populasi dan Sampel Penelitian

    1. Populasi

    Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut

    masalah yang diteliti, bisa berupa orang, kejadian, perilaku, atau sesuatu

    lain yang akan dilakukan penelitian (Nursalam & Pariani, 2001). Populasi

  • 45

    dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani operasi di ruang Bedah

    Sentral RSUD. A.Wahab Sjahranie Samarinda, dengan diberikan tindakan

    intubasi endotrakeal untuk menjaga patensi jalan nafas selama operasi

    berlangsung.

    2. Sampel

    Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti dengan sampling tertentu

    untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam, 2008). Metode pengambilan

    sampel yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara consecutive sampling,

    yaitu pasien yang diberikan intubasi endotracheal yang akan menjalani operasi di

    ruang Bedah Sentral RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda. Penentuan besar

    sampel untuk data kontinue jika populasinya diketahui adalah menggunakan

    rumus:

    Menurut Arikunto (1997), jumlah sampel yang sesuai untuk

    penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:

    N

    n =

    1+N(d)

    Keterangan:

    n = Besarnya sampel

    N = Besar populasi

    d = Derajad penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan

    (0,05).

    1 = Angka konstan

  • 46

    n = 75

    1+75 (0,05)

    = 75

    1+75 (0,0025)

    = 75

    1,1875

    = 63,16. Dibulatkan menjadi 63 Responden.

    Penelitian ini menggunakan 60 responden karena keterbatasan

    waktu penelitian. Sampel yang diambil sebagai responden memenuhi

    kriteria inklusi sebagai berikut:

    a. Kriteria Inklusi:

    1). pasien ASA I dan ASA II

    2). pasien berusia 15 s.d 55 tahun

    3). pasien yang diberikan premedikasi ( anti emetik, analgetik )

    4). pembiusan dengan General Anastesi

    5). pasien yang diberikan perlakuan intubasi endotrakeal tube.

    b. Kriteria eksklusi:

    1). Pasien yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 55 tahun

    2). Intubasi yang dilakukan lebih dari sekali

    3) Pasien dengan riwayat hipertensi dan hipotensi

  • 47

    C. Waktu dan tempat Penelitian

    Penelitian ini dilaksanakan mulai 16 April sampai dengan 24 Mei 2012

    diruang Bedah Sentral RSUD AWS Samarinda. Penulis memilih tempat

    tersebut dikarenakan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie

    Samarinda adalah Rumah Sakit terbesar di Kalimantan Timur dan

    merupakan Rumah Sakit Type B, dimana memiliki visi dan misi menjadi

    rumah sakit pendidikan dan merupakan pusat rujukan dari rumah sakit se

    kabupaten/kota di Kalimantan Timur.

    D. Variabel Penelitian

    Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel Independen/bebas dan

    variabel Dependen/terikat.

    1. Variabel Independen adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang

    mempengaruhi variabel dependen (Sugiono,2010). Variabel Independen dalam

    penelitian ini adalah tindakan intubasi endotracheal.

  • 48

    2. Sedangkan Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel

    bebas atau independen (Sugiono,2010). variabel dependennya adalah tekanan

    darah pasien intra operatif.

    E. Definisi Operasional Variabel

    Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut

    :

    Tabel 3.1

    Definisi Operasional

    Variabel

    Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur

    1 2 3 4 5 6

  • 49

    Independen

    Tindakan intubasi endotrakea

    Suatu tindakan memasukan pipa endotrakea kedalam trakea melalui rima glotis,sehingga ujung distalnya berada dikira-kira pertengahan trakea antara pita suara dan bifukarsio trakea

    Intubasi dengan menggunakan ETT(endotrakeal tube)

    - - -

    Dependen Tekanan Darah 5 menit sebelum induksi anestesi

    Suatu tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri sebelum induksi anestesi dilakukan dan telah mendapatkan premedikasi

    1.Tekanan sistolik dalam mmHg 2.Tekanan diastolik dalam mmHg

    Spygmoma nometer mercury dan stetoskop

    Interval 1. Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam mmHg 5 menit sebelum induksi anestesi

    1. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit I setelah intubasi dilakukan

    2. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit III setelah intubasi dilakukan

    3. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit V setelah intubasi dilakukan dikonversi menjadi mean

    Dependen Tekanan Darah setelah intubasi

    Suatu tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri setelah intubasi dilakukan

    1.Tekanan sistolik dalam mmHg 2.Tekanan diastolik dalam mmHg

    Spygmoma nometer mercury dan stetoskop

    Interval

  • 50

    madian, modus

    F. Instrumen penelitian

    Peneliti menggunakan instrumen yaitu spygomomanometer mercury

    dan steteskop dan instrumen penelitian yang berbentuk lembar observasi.

    Lembar observasi ini untuk mengidentifikasi pengaruh tindakan intubasi

    terhadap tekanan darah.

    Instrumen penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu :

    1. Lembar observasi yang digunakan untuk mengidentifikasi data-

    data demografi responden meliputi nama/ kode responden, usia,

    jenis kelamin (Lampiran 7).

    2. Lembar observasi yang terkait dengan tindakan intubasi terhadap

    tekanan darah pasien intra operatif dan parameter-parameter

    yang diukur meliputi tekanan darah yang diukur 5 menit sebelum

    induksi anestesi dan pada menit pertama, ketiga dan kelima

  • 51

    setelah dilakukan tindakan intubasi (Lampiran 8). Instrumen dalam

    penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas karena

    lembar observasi menggunakan format yang diadopsi dari teori

    menurut Moorhead, dkk dalam NOC tahun 2008 dan sumber teori

    menurut County tahun 1989, dan pelaksanaan observasi

    penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti.

    G. Teknik Pengumpulan Data

    Pengumpulan data dilakukan setiap hari kerja selama masa penelitian

    pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi sampai mencapai

    jumlah responden yang telah ditentukan.

    Dan langkah-langkah pengumpulan data ini sebagai berikut :

    a. Setelah mendapatkan persetujuan dari pembimbing, peneliti meminta

    izin kepada Direktur RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.

    b. Setelah peneliti mendapatkan izin secara tertulis dari Direktur RSUD

    AWS Samarinda melalui bagian Diklit, maka peneliti meminta izin

    kepada Kepala Ruangan Bedah Sentral secara tertulis berupa surat

    tembusan dari Diklit RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.

    c. Kegiatan di ruang pre op: peneliti melakukan seleksi responden dengan

    cara mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian

    atau tidak.

  • 52

    d. Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan tentang

    tujuan penelitian dengan lisan dan tulisan.

    e. Setelah memahami penjelasan dari peneliti, responden yang bersedia

    ikut penelitian menandatangani lembar persetujuan penelitian.

    f. Peneliti mendampingi pasien menuju kamar operasi lalu

    mempersilahkan pasien tidur di meja operasi kemudian mengukur

    tekanan darahnya 5 menit sebelum induksi anestesi dengan

    mendengarkan bunyi korotkof.

    g. Setelah pasien tidur dan dilakukan intubasi endotrakeal,peneliti

    melakukan pengukuran tekanan darah pada menit I,III dan V paska

    intubasi dengan menggunakan sphygmomanometer mercury dan

    steteskop kemudian mencatat hasil pengukuran ke lembar observasi

    pasien.

    Adapun pengumpulan data ini berdasarkan cara memperolehnya,

    menurut Riwidikdo (2007), data ini terdiri dari :

    1. Data Primer

    Adalah data yang secara langsung diambil dari obyek penelitian oleh

    peneliti perorangan maupun organisasi atau kesimpulan fakta yang

    dikumpulkan secara langsung pada saat berlangsungnya penelitian. Data

    primer dalam penelitian ini adalah tekanan darah pada saat dilakukan

    tindakan intubasi endotracheal.

    2. Data Sekunder

  • 53

    Adalah data yang didapat tidak secara langsung dari obyek penelitian.

    Data penelitian ini diperoleh dari catatan medis pasien yang terkait dengan

    identitas pasien.

    .H. Tehnik Analisis Data

    Data yang telah dikumpulkan diolah melalui dua cara yaitu :

    1. Analisa Univariat

    Dilakukan dengan menganalisa variabel-variabel yang ada

    dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya untuk

    mengetahui karakteristik dari subyek peneliti. Dalam penelitian ini

    analisa univariat digunakan untuk mengetahui proporsi dari masing-

    masing variabel penelitian meliputi pengaruh tindakan intubasi dan

    tekanan darah. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian

    ini adalah 95% atau alfa = 0,05. Rumusnya sebagai berikut :

    F P = ------- x 100 % (Arikunto, 2002) N

    Keterangan:

    P = Persentase yang dicari

    F = Frekuensi sample untuk setiap pertanyaan

    N = Jumlah keseluruhan sample

  • 54

    Untuk mendapatkan nilai dari variabel independen tindakan

    intubasi endotrakeal dan variable dependen tekanan darah pasien

    intra operatif, ada beberapa nilai yang akan dipakai yaitu mean dan

    median. Nilai nilai tersebut disebut sebagai nilai tengah (central

    tendency).

    Pengukuran rata-rata (mean) digunakan untuk mengukur nilai

    sentral suatu distribusi data berdasarkan nilai rata-rata yang dihitung

    dengan cara membagi nilai hasil penjumlahan sekelompok data dengan

    jumlah data yang diteliti (Priyo & Sabri, 2010) yaitu:

    1) Rata-rata hitung (Mean)

    Mean adalah nilai yang baik mewakili suatu data. X = x1 + x2 + x3 + xnn 2) Median

    Median adalah nilai yang terletak pada observasi yang di tengah,

    kalau data tersebut telah disusun (array)

    + 12 2. Analisa Bivariat

    Untuk melakukan perhitungan akan digunakan program software

    komputer untuk membandingkan rata-rata dari dua kelompok yaitu

    dengan menggunakan rumus Paired sample t Test . penggunaan rumus

  • 55

    ini adalah untuk menguji efektifitas suatu perlakuan terhadap suatu

    besaran variable yang ingin ditentukan.

    Rumus umum paired t Test adalah sebagai berikut : = dS /n

    Keterangan :

    Sd : = Simpangan baku dari d

    N = Banyaknya sampel

    Selanjutnya hasil t hitung dibandingkan dengan t tabel, tabel t yang

    digunakan dengan derajat bebas (df=db=dk) =n-1. Apabila t hitung > t tabel,

    maka Ho ditolak, dan menerima Ha.artinya ada beda secara signifikan antara

    rata-rata pre dan post.

    I. Etika Penelitian

    Beberapa prinsip dalam pertimbangan etika meliputi :

    1. Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang diteliti. Peneliti

    menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dilakukan. Responden yang

    bersedia diteliti harus menandatangani lembar persetujuan yang sudah

    disediakan. Jika responden tidak bersedia untuk diteliti, maka peneliti

    tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.

  • 56

    2. Anonimity (tanpa nama)

    Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan

    nama responden pada lembar pengumpulan data. Lembar tersebut

    hanya diberi nomor kode tertentu.

    2. Confidentiality (kerahasiaan)

    Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok

    data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.

    4.Informed consent

    Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden yang

    dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi

    responden sebelum penelitian dilakukan. Sebelum menjadi responden

    pasien dan keluarga diberikan informasi tentang tujuan penelitian agar

    pasien memahami maksud, tujuan serta dampaknya. Jika responden

    bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan, jika

    responden tidak bersedia untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan

    tetap menghormati keputusan dari responden.

    J. Jalannya Penelitian

    Jalannya penelitian ini melalui tahap-tahap sebagai berikut :

  • 57

    1. Mengajukan judul proposal penelitian melalui koordinator mata ajar

    skripsi sebanyak tiga judul untuk selanjutnya ditentukan satu judul

    sebagai judul proposal penelitian dan dikonsulkan ke pembimbing pada

    bulan September 2011.

    2. Menyusun proposal penelitian yang terdiri dari tiga bab berdasarkan

    literatur dari berbagai sumber, pengalaman, studi pendahuluan dan

    penelitian lain yang terkait dengan proposal penelitian pada bulan

    Oktober sampai dengan bulan Februari 2012.

    3. Sidang proposal penelitian dilaksanakan setelah penyusunan materi

    proposal penelitian disetujui untuk disidangkan oleh para pembimbing

    proposal penelitian pada bulan Maret 2012.

    4. Revisi proposal penelitian dilaksanakan selama dua minggu setelah

    sidang proposal dilaksanakan pada bulan Maret 2012.

    5. Mengurus perizinan penelitian pada bulan April 2012.

    6. Pembuatan laporan penelitian dilaksanakan setelah data diolah pada

    bulan Juni-Juli 2012.

    7. Sidang skripsi untuk mempresentasikan hasil penelitian dihadapan

    penguji skripsi akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2012.

  • 58

  • 59

    BAB IV

    HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

    Penelitian dilaksanakan selama 40 hari kerja efektif, yaitu terhitung sejak

    tanggal 16 April sampai dengan tanggal 24 Mei tahun 2012. Pengolahan data

    dilakukan setelah data primer yang didapat melalui observasi tekanan darah terhadap

    60 pasien yang diintubasi endotrakeal terkumpul. Hasil penelitian disajikan dalam 2

    (dua) bentuk analisis, yaitu analisis univariat dan bivariat. Pada tahap univariat

    disajikan gambaran distribusi frekuensi dari seluruh variabel data yang telah diteliti

    kemudian diinterpretasikan.

    Pada bab ini memaparkan hasil penelitian tentang pengaruh tindakan intubasi

    endotrakeal terhadap tekanan darah pasien intraoperatif di ruang bedah sentral RSUD

    Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2012, dengan jumlah pasien sebanyak 60 orang.

    Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa sphygmomanometer, stetoskop

    dan lembar observasi yang digunakan untuk mengidentifikasi data-data demografi

    responden, dan lembar observasi yang terkait dengan tindakan intubasi terhadap

    tekanan darah pasien intra operatif dan parameter-parameter yang diukur meliputi

    tekanan darah yang diukur 5 menit sebelum induksi anestesi dan pada menit

    pertama, ketiga dan kelima setelah dilakukan tindakan intubasi. Hasil penelitian

    disajikan dalam bentuk tabel dan tekstual yang didasarkan pada analisis univariate dan

    bivariate. Namun peneliti sebelumnya menambahkan bahasan tentang gambaran

    umum RSUD Abdul wahab Sjahranie Samarinda, yang didalamnya berisi tentang

  • 60

    sejarah latar belakang berdirinya, visi dan misi, lingkup pelayanan Instalasi Gawat

    Darurat, rawat inap, rawat jalan, poliklinik spesialis, pelayanan one day care termasuk

    di dalamnya terdapat pelayanan ruang Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Anestesi dan

    Reanimasi. Sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi tambahan bagi

    peneliti.

    A. Gambaran Umum RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda

    Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie terletak di jalan Palang

    Merah Indonesia, Kecamatan Samarinda Ulu dan Rumah Sakit Umum Daerah A.

    Wahab Sjahranie sebagai TOP REFERAL dan sebagai Rumah Sakit Kelas B

    berlangsung sejak tahun 1993 atas dasar SK.Menkes

    No.116/Menkes/SK/XIII/1993 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15

    Desember 1993. RSUD Abdul Wahab Sjahranie dibangun pada tahun 1933,

    kepunyaan Kerajaan Kutai (Landschap Kerajaan) sehingga diberi nama Landschap

    Hospital. Terletak di Jiliana atau Emma Straat (sekarang bernama Jl. Gurami).

    Sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan RSU kemudian

    dipindahkan dari Selili ke jalan Dr. Soetomo dan diresmikan penggunaanya oleh

    Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan Timur Bapak A.Wahab Sjahranie (alm.)

    pada 12 Nopember 1977, untuk pelayanan rawat jalan. RSU Segiri merupakan

    penyempurnaan dan pengembangan Rumah sakit Umum lama yang berlokasi di

    daerah Selili (saat ini menjadi Rumah Sakit Islam Samarinda). Nama Rumah Sakit

    Umum Daerah A.Wahab Sjahranie diresmikan pada tahun 1987, untuk mengenang

    jasa Bapak A.Wahab Sjahranie (alm.) Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan

    Timur periode 1968-1975. Pada tanggal 21 Juli 1984 seluruh pelayanan rawat inap

  • 61

    dan pelayanan rawat jalan dipindahkan di lokasi rumah sakit umum baru yang ada

    saat ini. Visi RSUD Abdul Wahab Sjahranie menjadi rumah sakit rujukan pelayanan

    kesehatan, pendidikan dan penelitian terbaik di Kalimantan dengan misi yang

    dilaksanakan yaitu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia,

    melengkapi sarana dan prasarana, memberikan pelayanan prima, dan

    meningkatkan kesejahteraan pegawai.

    Adapun lingkup pelayanan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie meliputi

    Instalasi Gawat Darurat, pelayanan rawat jalan di poliklinik spesialis dan pelayanan

    One Day Care, Pelayanan rawat inap di ruang perawatan terdiri atas IRNA A

    (ruang Mawar, ruang Cempaka, ruang Anggrek, ruang Melati, dan ruang Bayi),

    IRNA B (ruang Flamboyan, ruang Angsoka, ruang Tulip, ruang Seruni, dan ruang

    Dahlia), IRNA C (ruang Teratai I, ruang Teratai II, ruang Teratai III, dan ruang

    teratai IV), serta IRNA IPI (ruang ICU, ruang ICCU, ruang PICU, dan ruang NICU).

    Dilengkapi juga dengan pelayanan penunjang berupa Instalasi Bedah Sentral,

    Laboratorium, Radiologi, Apotik, Cath. Laboratorium, Endoscopy, dan Hemodialisa.

    Instalasi rehabilitasi medik, Instalasi forensik, dan instalasi Gizi.

    Lingkup pelayanan ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Abdul Wahab

    Sjahranie terdiri atas pelayanan operasi berencana (elective) dilaksanakan pada

    shiff pagi saja. Untuk pelayanan operasi berencana (elective) dilaksanakan sejak

    tanggal 1 Februari 2012 di Instalasi Bedah Sentral yang terdiri dari 8 (delapan)

    kamar operasi, yaitu ruang operasi kamar 1 (satu) melayani tindakan operasi

    urologi/perkemihan, ruang operasi kamar 2 (dua) melayani tindakan operasi

    orthopedi/ tulang, ruang operasi kamar 3 (tiga) melayani tindakan operasi anak,

  • 62

    ruang operasi kamar 4 (empat) melayani tindakan operasi neurologi/ syaraf, ruang

    operasi kamar 5 (lima) melayani tindakan operasi mulut, THT, dan mata, ruang

    operasi kamar 6 (enam) melayani tindakan operasi umum, ruang operasi kamar 7

    (tujuh) melayani tindakan operasi obgyn/ kebidanan, dan ruang operasi kamar 8

    (delapan) melayani tindakan operasi bersama/ operasi kulit.

    Disamping itu pula di dalam ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Abdul

    Wahab Sjahranie terdapat pula Instalasi Anestesi dan Reanimasi yang lingkup

    kerjanya meliputi tahap penerimaan pasien/ preoperatif, tahap intraoperatif untuk

    pembiusan pasien operasi, dan tahap postoperasi melakukan observasi pasien

    pada tahap pulih sadar (recovery room).

    B. Hasil Penelitian

    1. Analisis Univariat

    a. Karakteristik responden

    Analisis univariat dalam penelitian ini menggambarkan distribusi

    frekuensi dari seluruh variabel, yaitu: umur dan jenis kelamin di uraikan

    dibawah ini.

    Tabel 4.1 Karakteristik Responden di Ruang Bedah Sentral RSUD A. W Sjahranie Samarinda, April-Mei 2012

    Karakteristik Frekuensi Presentase (%)

    Umur

    15-35 26 43.3 %

    36-55 34 56.7 %

  • 63

    Jenis Kelamin

    Laki-laki 20 33.33%

    Perempuan 40 66.67%

    Total 60 100%

    Sumber: Data Primer

    Berdasarkan Tabel 4.1. diperoleh gambaran bahwa dari 60

    pasien yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar berumur 36-55

    tahun, yaitu berjumlah 34 responden (56.7 %), sisanya yaitu sebanyak

    26 responden (43.3 %) berumur 15-35 tahun.

    Tabel 4.1 di atas juga menggambarkan bahwa dari 60 responden

    yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar adalah jenis kelamin

    perempuan berjumlah 40 yaitu 66,67%. Sedangkan yang berjenis

    kelamin laki-laki berjumlah 20 responden (33,33%).

    b. Variabel

    1) Tekanan Darah 5 Menit sebelum Intubasi

    Tabel 4.2 Analisis univariat tekanan darah pada pasien 5 menit sebelum intubasi

    Sistole 5 menit sebelum intubasi

    (mmHg)

    Diastole 5 menit sebelum

    intubasi

    (mmHg)

    MAP 5 menit sebelum intubasi

    (mmHg)

    Mean 122.83 79.83 94.1662

    Median 120.00 80.00 93.3300

  • 64

    Modus 120 80 83.33

    Minimum 110 70 83.33

    Maksimum 140 90 106.67

    Sumber : Data Primer

    Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah

    sistolik pasien 5 menit sebelum intubasi adalah 122.83 mmHg, diastolik

    79.83 mmHg, dan MAP rata-rata 94.1662 mmHg. Dengan nilai tengah

    (median) masing-masing variabel adalah 120 mmHg, 80 mmHg, dan

    93.33 mmHg, dengan modus 120 mmHg, 80 mmHg dan 83.33 mmHg.

    Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada

    5 menit sebelum intubasi masing-masing 110 mmHg, 70 mmHg, dan

    83.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang

    paling tinggi) pada 5 menit sebelum intubasi masing-masing 140 mmHg,

    90 mmHg, dan 106.67 mmHg.

    2) Tekanan Darah 1 Menit Setelah Intubasi

    Tabel 4.3 Analisis univariat tekanan darah pasien 1 menit setelah intubasi

    Sistole

    menit ke-1 Diastole

    menit ke-1 MAP menit

    ke-1

    Mean 166.33 102.83 123.99

    Median 170 100 123.33

  • 65

    Modus 160 100 120

    Minimum 120 80 93.33

    Maximum 190 120 143.33

    Sumber : Data Primer

    Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah sistolik

    pasien 1 menit setelah intubasi adalah 166.33 mmHg, diastolik 102.83

    mmHg, dan MAP rata-rata 123.99 mmHg. Dengan nilai tengah (median)

    masing-masing variabel adalah 170 mmHg, 100 mmHg, dan 123.33

    mmHg, dengan modus 160 mmHg, 100 mmHg dan 120 mmHg.

    Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada

    1 menit setelah intubasi masing-masing 120 mmHg, 80 mmHg, dan

    93.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang

    paling tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 190 mmHg,

    120 mmHg, dan 143.33 mmHg.

    Tekanan darah sistolik rata-rata pada menit ke-1 setelah intubasi ini

    memperlihatkan peningkatan dibandingkan pada 5 menit sebelum

    intubasi, yaitu sebesar 43.47 mmHg. Sedangkan tekanan darah

    diastolik juga meningkat sebesar 23 mmHg, dan MAP juga

    memperlihatkan peningkatan sebesar 29.82 mmHg jika dibandingkan

    dengan tekanan darah rata-rata pada 5 menit sebelum intubasi.

    3) Tekanan Darah 3 Menit Setelah Intubasi

    Tabel 4.4 Analisis univariat tekanan darah pasien 3 menit setelah intubasi

  • 66

    Sistole menit ke-3 (mmHg)

    Diastole menit ke-3 (mmHg)

    MAP menit ke-3

    (mmHg)

    Mean 138.17 84.67 102.5

    Median 140 80 100

    Modus 140 80 96.67

    Minimum 110 70 83.33

    Maximum 170 110 123.33

    Sumber : Data Primer

    Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah sistolik

    pasien 3 menit setelah intubasi adalah 138.17 mmHg, diastolik 84.67

    mmHg, dan MAP rata-rata 102.5 mmHg. Dengan nilai tengah (median)

    masing-masing variabel adalah 140 mmHg, 80 mmHg, dan 100 mmHg,

    dengan modus 140 mmHg, 80 mmHg dan 96.67 mmHg. Sementara

    nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada 1 menit

    setelah intubasi masing-masing 110 mmHg, 70 mmHg, dan 83.33

    mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang paling

    tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 170 mmHg, 110

    mmHg, dan 123.33 mmHg.

    Tekanan darah sistolik rata-rata pada menit ke-3 setelah intubasi ini

    memperlihatkan peningkatan dibandingkan pada 5 menit sebelum

    intubasi, yaitu sebesar 15.34 mmHg, namun mengalami penurunan

    dibandingkan dengan menit ke-1 setelah intubasi, yaitu sebesar 28.13

    mmHg. Sedangkan pada tekanan diastolik juga memperlihatkan hal

  • 67

    yang sama, yaitu terjadi peningkatan pada menit ke-3 setelah intubasi

    jika dibandingkan dengan 5 menit sebelum intubasi, yaitu sebesar 4.84

    mmHg namun memperlihatkan penurunan jika dibandingkan dengan

    rata-rata tekanan darah diastolik pada menit ke-1 sebesar 18.16 mmHg.

    MAP pada menit ke-3 ini juga mengalami peningkatan jika dibandingkan

    dengan MAP 5 menit sebelum intubasi, yaitu sebesar 29.82 mmHg,

    namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan MAP pada

    menit ke-1 setelah intubasi sebesar 21.49 mmHg.

    4) Tekanan Darah 5 Menit Setelah Intubasi

    Tabel 4.5 Analisis univariat tekanan darah pasien 5 menit setelah intubasi

    Sistole menit ke-5 (mmHg)

    Diastole menit ke-5 (mmHg)

    MAP menit ke-5

    (mmHg)

    Mean 119.67 76.33 90.77

    Median 120 80 93.33

    Mode 120 80 93.33

    Minimum 100 60 73.33

    Maximum 170 90 110

    Sumber : Data Primer

    Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah

    sistolik pasien 5 menit setelah intubasi adalah 119.67 mmHg, diastolik

    76.33 mmHg, dan MAP rata-rata 90.77 mmHg. Dengan nilai tengah

    (median) masing-masing variabel adalah 120 mmHg, 80 mmHg, dan

    93.33 mmHg, dengan modus 120 mmHg, 80 mmHg dan 93.33 mmHg.

    Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada

  • 68

    1 menit setelah intubasi masing-masing 100 mmHg, 60 mmHg, dan

    73.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang

    paling tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 170 mmHg,

    90 mmHg, dan 110 mmHg.

    Pada menit ke-5 setelah intubasi ini dapat terlihat adanya

    penurunan rata-rata tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP jika

    dibandingkan dengan 5 menit sebelum intubasi, maupun menit ke-1 dan

    ke-3 setelah intubasi. Jika dibandingkan dengan tekanan darah 5 menit

    sebelum intubasi, terjadi penurunan tekanan sistolik sebesar 2.16

    mmHg, tekanan diastolik sebesar 3.5 mmHg, dan MAP sebesar 3.39

    mmHg.

    Jika dibandingkan dengan tekanan darah pada menit ke-1

    setelah intubasi terjadi penurunan signifikan, yaitu tekanan sistolik

    sebesar 46.63 mmHg, tekanan diastolik sebesar 26.5 mmHg, dan MAP

    sebesar 33.22 mmHg. Tekanan darah rata-rata pada menit ke-5 ini jika

    dibandingkan dengan tekanan darah rata-rata pada menit ke-3 juga

    terjadi penurunan, yaitu tekanan darah sistolik sebesar 18.5 mmHg,

    tekanan darah diastolik sebesar 8.34 mmHg, dan MAP sebesar 11.73

    mmHg.

    Dari keseluruhan gambaran di atas terlihat adanya lonjakan

    tekanan darah baik sistolik, diastolik maupun MAP pada menit ke-1

    setelah intubasi, dan terjadi penurunan tekanan darah sistolik, diastolik

    dan MAP pada menit ke-5 setelah intubasi.

    5) Gambaran Perbandingan Tekanan Darah Berdasarkan Time Series

  • 69

    Kedua Grafik Di atas menggambarkan analisis univariat tekanan

    darah sistolik, diastolik dan MAP pasien di ruang bedah sentral

    berdasarkan waktu dan tindakan, yakni 5 menit sebelum

    intubasi dan menit ke-1, menit ke-3 dan menit ke-5 sesudah intubasi,

    yang terdiri dari nilai rata-rata (mean) dan nilai tengah (median) dari

    tekanan darah. Grafik di bawah ini memperlihatkan adanya peningkatan

    tekanan darah pada menit ke-1 setelah intubasi, dimana tekanan darah

    tersebut kembali turun pada menit ke-3 dan ke-5 setelah intubasi.

    Gambar 4.1. Pola Rata-rata (Mean) tekanan darah pasien pada 5 menit sebelum intubasi

    dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi Sumber : Data Primer

    020406080

    100120140160180

    5 menit sebelum

    Menit ke-1 Menit ke-3 Menit ke-5

    Sistole

    Diastole

    MAP

    0

    50

    100

    150

    200

    5 menit sebelum

    Menit ke-1 Menit ke-3 Menit ke-5

    Sistole

    Diastole

    MAP

  • 70

    Gambar 4.2. Pola Nilai tengah (Median) tekanan darah pasien pada 5 menit sebelum

    intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi Sumber : Data Primer

    2. Analisa Bivariat

    Bagian ini memperlihatkan hasil analisis bivariat antara variabel tekanan

    darah 5 menit sebelum intubasi, dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi

    di ruang bedah sentral RSUD AW Sjahranie Samarinda. Hubungan masing-

    masing variable tersebut didapatkan berdasarkan analisa dengan

    menggunakan uji statistik paired T-Test dengan tingkat kemaknaan kemaknaan

    95% atau = 0,05. Dinyatakan berhubungan jika nilai p value < 0,05,

    sedangkan jika p value > 0,05 dianggap memiliki hubungan antara variabel

    independen dan variabel dependen. Hubungan antara variabel tersebut adalah

    sebagai berikut :

    1) Tekanan Sistolik

    Pada bagian ini akan diperlihatkan hubungan antara tekanan sistolik 5

    menit sebelum intubasi dengan tekanan sistolik pada menit ke-1, ke-3 dan

    ke-5 setelah intubasi.

    Tabel 4.6.

    Hasil analisis Bivariat Tekanan Sistolik 5 menit sebelum Intubasi dan Menit ke-1,

    ke-3 dan ke-5 setelah intubasi

    Variabel Mean N Std. Deviation Std. Error Mean P Value

  • 71

    Pair 1

    Sistole 5 menit Sebelum Intubasi

    122.8333 60 9.93055 1.28203

    0.000 Sistole 1 menit Setelah Intubasi

    166.3333 60 14.95379 1.93053

    Pair 2

    Sistole 5 menit Sebelum Intubasi

    122.8333 60 9.93055 1.28203

    0.000 Sistole 3 menit Setelah Intubasi

    138.1667 60 11.85958 1.53107

    Pair 3

    Sistole 5 menit Sebelum Intubasi

    122.8333 60 9.93055 1.28203

    0.019 Sistole 5 menit Setelah Intubasi

    119.6667 60 9.73665 1.25700

    Sumber : Data Primer

    Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara tekanan

    sistolik 5 menit sebelum intubasi dan tekanan sistolik menit ke-1, ke-3 dan

    ke-5 setelah intubasi. Dari analisis bivariat antara tekanan sistolik 5 menit

    sebelum intubasi dengan tekanan sistolik menit ke-1 setelah intubasi

    didapatkan nilai P=0.000 atau P

  • 72

    menit ke-3 setelah intubasi didapatkan nilai P=0.000 atau P

  • 73

    Tabel 4.7

    Analisis Bivariat Tekanan Diastolik 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3

    dan ke-5 setelah intubasi

    Variabel Mean N Std. Deviation Std. Error Mean P Value

    Pair 1

    Diastole 5 menit Sebelum Intubasi

    79.8333 60 7.70025 .99410

    0.000 Diastole 1 menit Setelah Intubasi

    102.8333 60 12.08608 1.56031

    Pair 2

    Diastole 5 menit Sebelum Intubasi

    79.8333 60 7.70025 .99410

    0.000 Diastole 3 menit Setelah Intubasi

    84.6667 60 9.10702 1.17571

    Pair 3 Diastole 5 menit Sebelum

    79.8333 60 7.70025 .99410 0.002

  • 74

    Intubasi

    Diastole 5 menit Setelah Intubasi

    76.3333 60 7.58381 .97907

    Sumber : Data Primer

    Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara

    tekanan diastolik 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5

    setelah intubasi. Pada analisis bivariat antara tekanan diastolik 5 menit

    sebelum intubasi dan menit ke-1 setelah intubasi, didapatkan nilai P=0.000

    atau P

  • 75

    Analisis bivariat terhadap kelompok tekanan diastolik 5 menit sebelum

    intubasi dan menit ke-5 setelah intubasi didapatkan nilai P=0.002 atau

    P

  • 76

    Intubasi

    Sumber : Data Primer

    Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara MAP 5 menit

    sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi. Pada hasil

    analisis bivariat antara MAP 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1

    setelah intubasi didapatkan nilai P=0.000 atau P

  • 77

    sebelumnya, menjelaskan keterbatasan penelitian dan implikasi

    penelitian untuk keperawatan.

    1. Karakteristik Responden

    Distribusi frekuensi pasien berdasarkan umur diperoleh gambaran

    15-35 tahun sebesar 43.3%, sedangkan 36-55 tahun sebesar 56.7%.

    Penentuan ukuran bilah intubasi dapat disesuaikan menurut usia. Karena

    penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang

    melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah 5 tahun hampir bulat,

    sedangkan penampang dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak

    digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff, supaya tidak bocor.

    Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: yaitu Bilah daun

    (blade) lurus (Macinthosh) untuk bayi-anak dan Bilah lengkung (Miller,

    Magill) untuk anak besar-dewasa. Pada penelitian ini dibatasi bilah daun

    yang digunakan adalah bilah lengkung (Miller, Magill) dengan Cuff (Latief,

    2001).

    Sementara itu, nilai tekanan darah dewasa normalnya berkisar

    dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya

    120/80 (Smeltzer & Bare, 2001).

    Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien yang diintubasi

    lebih banyak pada usia 36-55 tahun, dimana berhubungan dengan

    jumlah operasi yang dilakukan menggunakan general anestesi dan

    intubasi endotracheal lebih banyak pada usia 36-55 tahun. Pada usia

    15-55 tahun, tidak didapatkan perbedaan dalam penggunaan cuff

  • 78

    maupun bilah intubasi. Sehingga frekuensi distribusi usia pada

    penelitian ini menggambarkan jumlah intubasi endotracheal lebih

    banyak dilakukan pada usia 36-55 tahun.

    Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin perempuan berjumlah 40

    yaitu 66,67%. Sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 20

    pasien (33,33%). Penelitian yang dilakukan oleh Prayoga dan Meutia

    terhadap sebaran jenis kelamin pada tindakan intubasi didapatkan bahwa

    tindakan intubasi endotrakeal lebih banyak dilakukan pada perempuan

    daripada dilakukan pada laki-laki. Hal tsb berhubungan dengan frekuensi

    pasien yang dioperasi lebih banyak perempuan dibandin