bab i proposal s1
DESCRIPTION
jurusan keperawatanTRANSCRIPT
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anestesiologi merupakan ilmu kedokteran yang pada awalnya
berprofesi menghilangkan nyeri dan rumatan pasien sebelum, selama
dan sesudah pembedahan, Anastesi ini berkembang terus sesuai dengan
ilmu kedokteran yang mencakup semua kegiatan profesi atau praktek
(Latief, 2001 ). Dalam suatu tindakan operasi, seorang dokter bedah tidak
dapat bekerja sendirian dalam membedah pasien sekaligus menciptakan
keadaan anestesi. Dibutuhkan keberadaan dokter dan perawat anestesi
untuk mengusahakan, menangani dan memelihara keadaan anestesi
pasien.
Tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakea adalah tindakan
yang banyak dilakukan pada general anestesi. Tindakan laringoskopi
dan intubasi endotrakea sering menimbulkan respon kardiovaskuler
yang berlebihan. Respon ini berupa peningkatan tekanan darah,
peningkatan laju jantung, dan aritmia. Hal ini terjadi karena timbulnya
refleks simpatis dan simpatoadrenal yang berlebihan (Prayoga,2009).
Laryngoscopy dan intubasi endotrakeal mengaktifkan system
saraf simpatis sehingga meningkatkan kebutuhan oksigen myocard
dengan peningkatan heart rate dan tekanan darah. Banyak penelitian
yang memperlihatkan stimulus yang ditimbulkan laryngoscopy dan
-
2
intubasi. Komplikasi dari intubasi tersebut salah satunya adalah
rangsangan saraf simpatis yang berlanjut pada hipertensi-takikardi
(Nadya,2008).
Salah satu usaha untuk menjaga jalan napas pasien adalah
dengan melakukan tindakan intubasi endotrakheal, yakni dengan
memasukkan suatu pipa ke dalam saluran pernapasan bagian atas.
Karena syarat utama yang harus diperhatikan dalam anestesi umum
adalah menjaga agar jalan napas selalu bebas dan napas dapat berjalan
dengan lancar serta teratur. Intubasi endotrakea anestesi pada
umumnya menggunakan pelumpuh otot untuk mempermudah
pemasangan pipa endotrakea..
Untuk mencegah komplikasi intubasi perlu persiapan yang baik
sebelum melakukan intubasi di samping obat pelumpuh otot, pelumas
pipa endotrakhea, pipa endotrakea itu sendiri, laringoskop, tekanan cuff,
obat-obat untuk mengatasi gejolak kardiovaskular serta obat emergensi
yang tidak lepas dari keterampilan dan pengalaman dalam melakukan
tindakan intubasi.
Menurut observasi peneliti selama berkerja di ruang Bedah
Sentral Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie Samarinda,
peneliti seringkali menemukan adanya perubahan pada tekanan darah
pasien yang dilakukan tindakan intubasi endotrakeal, biasanya peneliti
mendapatkan data dari pengukuran tekanan darah terjadi kenaikan
-
3
sistolik dan diastolic sebesar 20-80 mmHg. Peningkatan tekanan darah
ini tentunya sangat berbahaya apabila tidak dilakukan tindakan antisipasi
untuk mengurangi gejolak hemodinamik khususnya tekanan darah
pasien pada saat intubasi dilakukan.
Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan
intubasi trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah.
Penelitian dilakukan terhadap 20 pasien pria atau wanita usia 17-55
tahun, status fisik ASA I, yang menjalani operasi terencana dengan
anestesi umum di RSUD Dr Moewardi Surakarta, dengan rancangan
penelitian one group before and after quasi experimental design. Sampel
ditetapkan secara consecutive sampling. Hasil penelitian menunjukkan
terdapat peningkatan bermakna baik laju jantung, tekanan darah sistolik
maupun diastolik pada menit pertama pasca intubasi, tetapi tidak
bermakna pada menit ke-5 dan ke-10.
Di Ruang Bedah Sentral RSUD AWS pada umumnya untuk jenis
operasi yang memerlukan patensi jalan napas yang baik, tindakan
intubasi endotracheal sering dilakukan pada general anestesi selain
sungkup sederhana, Total Intra Venous Anestesi (TIVA) dan Laryngeal
Mask Airway (LMA). Dari rata-rata 500 operasi setiap bulan yang
dilakukan di Instalasi Bedah Sentral RSUD AWS, 15% atau sekitar 75
kasus diantaranya dengan tindakan intubasi.
-
4
Penelitian ini bermaksud melihat adanya pengaruh intubasi
endotrakeal terhadap hemodinamik pasien intra operatif yang
digambarkan oleh tekanan darah sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3
dan ke-5 setelah intubasi. Berdasarkan uraian diatas inilah peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian tentang Pengaruh Tindakan
Intubasi endotracheal terhadap tekanan darah pasien intra operatif di
ruang bedah sentral RSUD AWS Samarinda Tahun 2012
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas
maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai
berikut : Apakah ada pengaruh tindakan intubasi endotrakeal terhadap
Tekanan Darah Pasien Intra Operatif di Ruang Bedah Sentral RSUD AWS
Samarinda tahun 2012.
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh tindakan intubasi endotrakeal
terhadap Tekanan Darah Pasien Intra Operatif di Ruang Bedah Sentral
RSUD AWS Samarinda tahun 2012.
-
5
2. Tujuan Khusus
a. Diperolehnya gambaran karakteristik responden yang akan
dilakukan tindakan intubasi endotrakeal.
b. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik 5
menit sebelum induksi anastesi.
c. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit
pertama setelah intubasi endotrakea.
d. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit
ketiga setelah intubasi endotrakea.
e. Diperolehnya gambaran tekanan darah systolik dan diastolik menit
kelima setelah intubasi endotrakea.
f. Mengetahui pengaruh intubasi endotrakeal terhadap tekanan
darah pasien 5 menit sebelumnya dengan menit ke-1, ke-3 dan
ke-5 setelah intubasi
-
6
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Penulis
Sebagai sarana pembelajaran, sehingga dapat meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan peneliti, khususnya mengenai tindakan
intubasi endotrakea pada pasien intra operatif.
2. Bagi pihak instansi terkait
Sebagai masukan untuk tindakan intubasi endotrakeal pada
pasien intra operatif dengan general anestesi yang lebih baik
khususnya yang dilakukan oleh perawat anestesi di ruang operasi dan
unit gawat darurat.
3. Bagi Pendidikan
Dapat menjadi masukan dalam proses pembelajaran dan sebagai
dasar bagi penelitian selanjutnya.
E. Keaslian Penelitian
Penelitian ini belum pernah dilakukan sebelumnya di RSUD AWS
Samarinda. Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan
intubasi trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah
intubasi endotrakea sudah menjadi bagian rutin dari anestesi umum.
Laringoskopi intubasi merupakan metode terbaik untuk membebaskan
dan mempertahankan jalan nafas pada praktek anestesi dan resusitasi.
-
7
Namun prosedur ini bukan merupakan tindakan yang bebas risiko.
Laringoskopi intubasi endotrakea menyebabkan rangsangan simpatis
yang membangkitkan respon kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kenaikan laju jantung dan tekanan darah sebagai akibat
tindakan laringoskopi intubasi endotrakea. Penelitian dilakukan terhadap
20 pasien pria atau wanita usia 17-55 tahun, status fisik ASA I, yang
menjalani operasi terencana dengan anestesi umum di RSUD Dr
Moewardi Surakarta, dengan rancangan penelitian one group before and
after quasi experimental design. Sampel ditetapkan secara consecutive
sampling.
Setiap pasien mendapatkan premedikasi sulfas atropin 0,01
mg/kg.bb; midazolam 0,07 mg/kg.bb; pethidin 1 mg/kg.bb. Induksi
menggunakan propofol 2 mg/kg.bb, intubasi difasilitasi dengan
succinylcholin 1,5 mg/kg.bb. Laju jantung, tekanan darah sistolik dan
diastolik diukur secara serial mulai awal sebelum premedikasi, pasca
premedikasi, pasca induksi, pasca intubasi menit ke-1, 5 dan 10. Data
dianalisis dengan uji anova dilanjutkan post hoc test Tukey dan
Bonferroni, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan bermakna baik
laju jantung, tekanan darah sistolik maupun diastolik pada menit pertama
pasca intubasi, tetapi tidak bermakna pada menit ke-5 dan ke-10.
Kesimpulan: bahwa intubasi endotrakea menyebabkan kenaikan
-
8
sementara laju jantung dan tekanan darah. Untuk mengurangi lonjakan
kardiovaskuler tersebut diperlukan intubasi dengan cepat dan mulus.
Yang membedakan penelitian penulis yaitu premedikasi diberikan
beberapa menit sebelum induksi anastesi dan pelumpuh otot yang
diberikan adalah atracuronium atau rocuronium bromida yang termasuk
golongan intermediet. Tekanan darah yang diobservasi adalah pada menit
ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi endotrakea dan perbedaan yang lain
sampelnya berjumlah 63 responden, kriteria pasien juga berbeda dan
tempat penelitian dilakukan di ruang bedah sentral RSUD AWS
Samarinda.
-
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Telaah Pustaka
1. Anatomi Laring
Laring adalah bagian dari saluran pernafasan bagian atas yang
merupakan suatu rangkaian tulang rawan yang berbentuk corong dan
terletak setinggi vertebra cervicalis IV-VI, dimana pada anak-anak dan
wanita letaknya relatif lebih tinggi. Laring pada umumnya selalu
terbuka, hanya kadang-kadang saja tertutup bila sedang menelan
makanan (Ferryan,2011).
Lokasi laring dapat ditentukan dengan inspeksi dan palpasi
dimana didapatkannya kartilago tiroid yang pada pria dewasa lebih
menonjol kedepan dan disebut Prominensia Laring atau disebut juga
Adams apple atau jakun. Batas-batas laring berupa sebelah kranial
terdapat Aditus Laringeus yang berhubungan dengan Hipofaring, di
sebelah kaudal dibentuk oleh sisi inferior kartilago krikoid dan
berhubungan dengan trakea, di sebelah posterior dipisahkan dari
vertebra servikalis oleh otot-otot prevertebral, dinding dan cavum
laringofaring serta disebelah anterior ditutupi oleh fascia, jaringan
lemak, dan kulit. Sedangkan di sebelah lateral ditutupi oleh otot-otot
sternokleidomastoideus, infrahyoid dan lobuskelenjar tiroid. Laring
-
10
berbentuk piramida triangular terbalik dengan dinding kartilago tiroidea
di sebelah atas dan kartilago krikoidea di sebelah bawahnya. Os
Hyoid dihubungkan dengan laring oleh membrana tiroidea. Tulang ini
merupakan tempat melekatnya otot-otot dan ligamenta serta akan
mengalami osifikasi sempurna pada usia 2 tahun. Secara keseluruhan
laring dibentuk oleh sejumlah kartilago, ligamentum dan otot-otot.
Kesuksesan tindakan intubasi, ventilasi, cricothyrotomy, dan
anestesi regional faring berhubungan dengan pengetahuan mengenai
anatomi jalan nafas. Ada dua jalan masuk udara pernafasan pada
manusia, yaitu hidung, yang berlanjut pada nasofaring (pars nasalis),
dan mulut, yang berlanjut menjadi orofaring (pars oralis). Batas
anterior kedua jalan nafas tsb adalah palatum, tetapi bertemu di
posterior pada faring. Faring berbentuk U dan memiliki struktur
fibromuskular yang melintang dari dasar tengkorak ke kartilago krikoid
pada tempat masuk ke esophagus. Faring yang terbuka berhubungan
ke anterior dengan cavum nasi, mulut, dan laring, kemudian
nasofaring, orofaring, dan laryngofaring. Pada dasar lidah, epiglottis
secara fungsional menutupi orofaring dari laryngofaring. Epiglottis
menghindari terjadinya aspirasi dengan menutupi glottis dan
terbukanya laring saat menelan. Laring merupakan jaringan skeleton
kartilaginosa yang juga bercampur dengan ligament dan otot (Ellis,
2004).
-
11
Gambar 2.1 Anatomi Laring Bagian Laring (Ellis, 2004)
Serabut saraf laryngeal vagus (rekuren) dan jaras simpatik
mensuplai trakea. Serabut parasimpatik eferen berasal dari bagian
nucleus dorsal nervus vagus ke arah cabang laryngeal rekuren untuk
menyuplai impuls motor ke otot polos trakea. Serabut eferen lainnya
menyampaikan sinyal sekresi menuju ke kelenjar-kelenjar di
sepanjang trakea. Jaras simpatetik vasokonstriktor berjalan sepanjang
arteri tiroid inferior dan cabang-cabangnya banyak terdapat di trakea
dengan terdapatnya badan sel pada ganglion servikal medial (Ellis,
2004).
a. Anatomi Laring bagian Dalam
Cavum laring dapat dibagi menjadi sebagai berikut :
-
12
1) Supraglotis (vestibulum superior) yaitu ruangan diantara
permukaan atas pita suara palsu dan inlet laring.
2) Glotis (pars media) yaitu ruangan yang terletak antara pita
suara palsu dengan pita suara sejati serta membentuk rongga
yang disebut ventrikel laring Morgagni.
3) Infraglotis (pars inferior) yaitu ruangan diantara pita suara
sejati dengan tepi bawah kartilago krikoidea.
Beberapa bagian penting dari dalam laring :
1) Aditus Laringeus: pintu masuk ke dalam laring yang dibentuk
di anterior oleh epiglotis, lateral oleh plika ariepiglotika,
posterior oleh ujung kartilago kornikulata dan tepi atas m.
aritenoideus.
2) Rima Vestibuli: celah antara pita suara palsu.
3) Rima glottis: di depan merupakan celah antara pita suara
sejati, di belakang antara prosesus vokalis dan basis kartilago
aritenoidea.
4) Vallecula: terdapat diantara permukaan anterior epiglotis
dengan basis lidah, dibentuk oleh plika glossoepiglotika
medial dan lateral.
5) Plika Ariepiglotika: dibentuk oleh tepi atas ligamentum
kuadringulare yang berjalan dari kartilago epiglotika ke
kartilago aritenoidea dan kartilago kornikulata.
-
13
6) Sinus Pyriformis (Hipofaring): terletak antara plika ariepiglotika
dan permukaan dalam kartilago tiroidea.
7) Incisura Interaritenoidea: suatu lekukan atau takik diantara
tuberkulum kornikulatum kanan dan kiri.
8) Vestibulum Laring: Ruangan yang dibatasi oleh epiglotis,
membrana kuadringularis, kartilago aritenoid, permukaan atas
prosesus vokalis kartilago aritenoidea dan m.interaritenoidea.
9) Plika Ventrikularis (pita suara palsu): pita suara palsu yang
bergerak bersama-sama dengan kartilago aritenoidea untuk
menutup glottis dalam keadaan terpaksa, merupakan dua
lipatan tebal dari selaput lendir dengan jaringan ikat tipis di
tengahnya.
10) Ventrikel Laring Morgagni (sinus laringeus): ruangan antara
pita suara palsu dan sejati. Dekat ujung anterior dari ventrikel
terdapat suatu divertikulum yang meluas ke atas diantara pita
suara palsu dan permukaan dalam kartilago tiroidea, dilapisi
epitel berlapis semu bersilia dengan beberapa kelenjar
seromukosa yang fungsinya untuk melicinkan pita suara
sejati, disebut appendiks atau sakulus ventrikel laring.
11) Plika Vokalis (pita suara sejati): terdapat di bagian bawah
laring. Tiga per lima bagian dibentuk oleh ligamentum vokalis
dan celahnya disebut intermembranous portion, dan dua per
-
14
lima belakang dibentuk oleh prosesus vokalis dari kartilago
aritenoidea dan disebut intercartilagenous portion.
2. Fisiologi Laring
Laring mempunyai 3 (tiga) fungsi dasar yaitu fonasi, respirasi
dan proteksi disamping beberapa fungsi lainnya seperti terlihat pada
uraian berikut:
a. Fungsi Fonasi
Pembentukan suara merupakan fungsi laring yang paling
kompleks. Suara dibentuk karena adanya aliran udara respirasi
yang konstan dan adanya interaksi antara udara dan pita suara.
Nada suara dari laring diperkuat oleh adanya tekanan udara
pernafasan subglotik dan vibrasi laring serta adanya ruangan
resonansi seperti rongga mulut, udara dalam paru-paru, trakea,
faring, dan hidung. Nada dasar yang dihasilkan dapat dimodifikasi
dengan berbagai cara. Otot intrinsik laring berperan penting dalam
penyesuaian tinggi nada dengan mengubah bentuk dan massa
ujung-ujung bebas dan tegangan pita suara sejati. Ada 2 teori yang
mengemukakan bagaimana suara terbentuk :
1) Teori Myoelastik-Aerodinamika
Selama ekspirasi aliran udara melewati ruang glotis dan
secara tidak langsung menggetarkan plika vokalis. Akibat
kejadian tersebut, otot-otot laring akan memposisikan plika
-
15
vokalis (adduksi, dalam berbagai variasi) dan menegangkan
plika vokalis. Selanjutnya, kerja dari otot-otot pernafasan dan
tekanan pasif dari proses pernafasan akan menyebabkan
tekanan udara ruang subglotis meningkat, dan mencapai
puncaknya melebihi kekuatan otot sehingga celah glotis
terbuka. Plika vokalis akan membuka dengan arah dari
posterior ke anterior. Secara otomatis bagian posterior dari
ruang glotis yang pertama kali membuka dan yang pertama kali
pula kontak kembali pada akhir siklus getaran. Setelah terjadi
pelepasan udara, tekanan udara ruang subglotis akan
berkurang dan plika vokalis akan kembali ke posisi saling
mendekat (kekuatan myoelastik plika vokalis melebihi kekuatan
aerodinamik). Kekuatan myoelastik bertambah akibat aliran
udara yang melewati celah sempit menyebabkan tekanan
negatif pada dinding celah (efek Bernoulli). Plika vokalis akan
kembali ke posisi semula (adduksi) sampai tekanan udara
ruang subglotis meningkat dan proses seperti di atas akan
terulang kembali.
2) Teori Neuromuskular
Teori ini sampai sekarang belum terbukti, diperkirakan
bahwa awal dari getaran plika vokalis adalah saat adanya
impuls dari sistem saraf pusat melalui N. Vagus, untuk
-
16
mengaktifkan otot-otot laring. Menurut teori ini jumlah impuls
yang dikirimkan ke laring mencerminkan banyaknya/ frekuensi
getaran plika vokalis. Analisis secara fisiologi dan audiometri
menunjukkan bahwa teori ini tidaklah benar (suara masih bisa
diproduksi pada pasien dengan paralisis plika vokalis bilateral).
b. Fungsi Proteksi
Benda asing tidak dapat masuk ke dalam laring dengan
adanya reflek otot-otot yang bersifat adduksi, sehingga rima glotis
tertutup. Pada waktu menelan, pernafasan berhenti sejenak akibat
adanya rangsangan terhadap reseptor yang ada pada epiglotis,
plika ariepiglotika, plika ventrikularis dan daerah interaritenoid
melalui serabut afferen N. Laringeus Superior. Sebagai
jawabannya, sfingter dan epiglotis menutup. Gerakan laring ke atas
dan ke depan menyebabkan celah proksimal laring tertutup oleh
dasar lidah. Struktur ini mengalihkan makanan ke lateral menjauhi
aditus dan masuk ke sinus piriformis lalu ke introitus esofagus.
c. Fungsi Respirasi
Pada waktu inspirasi diafragma bergerak ke bawah untuk
memperbesar rongga dada dan M. Krikoaritenoideus Posterior
terangsang sehingga kontraksinya menyebabkan rima glotis
terbuka. Proses ini dipengaruhi oleh tekanan parsial CO2
dan O2
arteri serta pH darah. Bila pO2
tinggi akan menghambat pembukaan
-
17
rima glotis, sedangkan bila pCO2
tinggi akan merangsang
pembukaan rima glotis. Hiperkapnia dan obstruksi laring
mengakibatkan pembukaan laring secara reflektoris, sedangkan
peningkatan pO2
arterial dan hiperventilasi akan menghambat
pembukaan laring. Tekanan parsial CO2
darah dan pH darah
berperan dalam mengontrol posisi pita suara.
d. Fungsi Sirkulasi
Pembukaan dan penutupan laring menyebabkan penurunan
dan peninggian tekanan intratorakal yang berpengaruh pada
venous return. Perangsangan dinding laring terutama pada bayi
dapat menyebabkan bradikardi, kadang-kadang henti jantung. Hal
ini dapat karena adanya reflek kardiovaskuler dari laring. Reseptor
dari reflek ini adalah baroreseptor yang terdapat di aorta. Impuls
dikirim melalui N. Laringeus Rekurens dan Ramus Komunikans N.
Laringeus Superior. Bila serabut ini terangsang terutama bila laring
dilatasi, maka terjadi penurunan denyut jantung.
e. Fungsi Fiksasi
Berhubungan dengan mempertahankan tekanan intratorakal
agar tetap tinggi, misalnya batuk, bersin dan mengedan.
f. Fungsi menelan
-
18
Terdapat 3 kejadian yang berhubungan dengan laring pada
saat berlangsungnya proses menelan, yaitu pada waktu menelan
faring bagian bawah (M. Konstriktor Faringeus Superior, M.
Palatofaringeus dan M. Stilofaringeus) mengalami kontraksi
sepanjang kartilago krikoidea dan kartilago tiroidea, serta menarik
laring ke atas menuju basis lidah, kemudian makanan terdorong ke
bawah dan terjadi pembukaan faringoesofageal. Laring menutup
untuk mencegah makanan atau minuman masuk ke saluran
pernafasan dengan jalan menkontraksikan orifisium dan penutupan
laring oleh epiglotis. Epiglotis menjadi lebih datar membentuk
semacam papan penutup aditus laringeus, sehingga makanan atau
minuman terdorong ke lateral menjauhi aditus laring dan masuk ke
sinus piriformis lalu ke hiatus esophagus
.
g. Fungsi batuk
Bentuk plika vokalis palsu memungkinkan laring berfungsi
sebagai katup, sehingga tekanan intratorakal meningkat. Pelepasan
tekanan secara mendadak menimbulkan batuk yang berguna untuk
mempertahankan laring dari ekspansi benda asing atau
membersihkan sekret yang merangsang reseptor atau iritasi pada
mukosa laring.
-
19
h. Fungsi ekspektorasi
Dengan adanya benda asing pada laring, maka sekresi kelenjar
berusaha mengeluarkan benda asing tersebut.
i. Fungsi emosi
Perubahan emosi dapat meneybabkan perubahan fungsi laring,
misalnya pada waktu menangis, kesakitan, menggigit dan
ketakutan.
3. Intubasi Endotrakea
a. Definisi
Intubasi endotrakeal adalah tindakan memasukkan pipa
endotrakea ke dalam trakea melalui rima glottis, sehingga ujung
distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita suara
dan bifukarsio trakea. (Said A, dkk, 2009)
Pipa endotrakea (endotracheal tube) mengantar gas anestetik
langsung ke dalam trakea dan biasanya dibuat dari bahan standar
polivinil-klorida.ukuran diameter lubang pipa trakea dalam
milimeter. Karena penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa
berbeda, penampang melintang trakea bayi dan anak kecil
dibawah 5 tahun hampir bulat, sedangkan penampang dewasa
seperti huruf D, maka untuk bayi anak digunakan tanpa cuff dan
untuk dewasa dengan cuff, supaya tidak bocor. Penggunaan cuff
pada bayi dan anak kecil dapat membuat trauma selaput lendir
-
20
trakea dan selain itu jika kita ingin menggunakan pipa trakea
dengan cuff pada bayi harus menggunakan ukuran pipa trakea
yang diameternya lebih kecil dan ini membuat risiko tahanan nafas
lebih besar. Laringoskop ialah alat yang digunakan untuk melihat
laring secara langsung supaya kita dapat memasukkan pipa trakea
dengan baik dan benar. Secara garis besar, dikenal dua macam
laringoskop:
1) Bilah daun (blade) lurus (Macinthosh) untuk bayi-anak
2) Bilah lengkung (Miller, Magill) untuk anak besar-dewasa
Gambar 2.2 : Laringoskopi (Ellis, 2004)
b. Indikasi intubasi
Menurut Said A., dkk (2009) sangat bervariasi dan umumnya
digolongkan sebagai berikut :
-
21
1) Menjaga patensi jalan nafas oleh sebab apapun, diantaranya
pada kelainan anatomi, bedah khusus, posisi bedah khusus,
pembersihan sekresi jalan nafas.
2) Mempermudah ventilasi positif dan oksigenasi. Misalnya saat
resusitasi, memungkinkan penggunaan relaksan dengan
efesien, ventilasi jangka panjang.
3) Pencegahan terhadap aspirasi dan regurgitasi
c. Kesulitan Intubasi : 1). Leher pendek berotot, 2). Mandibula
menonjol, 3). Maksila / gigi depan menonjol, 4). Uvula tak terlihat ,
5). Gerak sendi temporo-mandibular terbatas, 6). Gerak vertebra
servikal terbatas.
Gambar 2.3 Malampati (Ellis, 2004)
d. Persiapan Intubasi Endotrakeal
-
22
Sebelum mengerjakan Intubasi Trakea, dapat diingat kata
STATICS, yaitu:
S = scope, laringoskop dan stetoskop
T = tubes, pipa endotrakeal
A = airway tubes, pipa orofaring/nasofaring
T = tape, plester
I = introducer, stilet, mandren
C = connector, sambungan-sambungan
S = suction, penghisap lender
1) Cara melakukan Intubasi Endotrakeal
a) Persiapan
Pasien dalam posisi tidur terlentang, oksiput diganjal
dengan bantal sehingga kepala dalam posisi ekstensi
serta trakea dan laringoskop berada dalam satu garis
lurus.
b) Oksigenisasi
Setelah dilakukan anestesi dan diberikan pelumpuh otot
lakukan oksigenisasi dengan pemberian O2 100% minimal
2 menit. Sungkup muka dipegang dengan tangan kiri dan
balon dengan tangan kanan.
c) Laringoskopi
-
23
Mulut pasien dibuka dengan tangan kanan dan gagang
laringoskop dipegang dengan tangan kiri. Daun
laringoskop dimasukkan dari sudut kanan mulut. Lidah
pasien didorong dengan daun tersebut ke kiri dan
lapangan pandang akan terbuka. Daun laringoskop
didorong ke dalam rongga mulut. Gagang diangkat
dengan lengan kiri dan akan terlihat uvula, faring, serta
epiglotis. Ekstensi kepala dipertahankan dengan tangan
kanan. Epiglotis diangkat sehingga tampak aritenoid, pita
suara yang tampak berwarna putih berbentuk huruf v.
d) Pemasangan pipa endotrakeal
Pipa dimasukkan dengan tangan kanan melalui sudut
kanan mulut sampai balon pipa tepat melewati pita suara.
Bila perlu sebelum memasukkan pipa, asisten diminta
untuk menekan laring ke posterior sehingga pita suara
tampak jelas. Bila mengganggu, stilet dicabut.
Ventilasi/oksigenisasi diberikan dengan tangan kanan
memompa balon dan tangan kiri memfiksasi pipa. Balon
pipa dikembangkan dan daun laringoskop dikeluarkan.
Pipa difiksasi dengan plester.
e) Mengontrol letak pipa
-
24
Dada dipastikan berkembang saat diberikan ventilasi.
Sewaktu dilakukan ventilasi dilakukan auskultasi dada
dengan stetoskop, diharapkan suara napas kanan dan kiri
sama. Bila dada ditekan terasa udara di pipa endotrakeal.
Bila terjadi intubasi endobronkial akan terdapat tanda--
tanda, yaitu suara napas kanan dan kiri berbeda, kadang-
kadang timbul wheezing, sekret lebih banyak, dan
tahanan jalan napas terasa lebih berat. Jika ada ventilasi
ke satu sisi seperti ini, pipa ditarik sedikit sampai ventilasi
kedua paru sama. Sedangkan bila terjadi intubasi ke
esofagus maka daerah epigastrium/gaster mengembang,
terdengar suara saat ventilasi (dengan stetoskop),
kadang-kadang keluar cairan lambung, dan makin lama
pasien tampak biru. Untuk hal ini pipa dicabut dan
tindakan intubasi dilakukan setelah diberikan oksigenisasi
yang cukup.
f) Ventilasi
Pemberian ventilasi sesuai dengan kebutuhan pasien.
e. Komplikasi Intubasi Endotrakeal
1) Selama intubasi
a) Trauma gigi geligi
-
25
b) Laserasi bibir, gusi, laring
c) Merangsang saraf simpatis yang menyebabkan timbulnya
hipertensi dan takikardi.
d) Intubasi bronkus
e) Intubasi esophagus
f) Aspirasi
g) Spasme bronkus
2) Setelah ekstubasi
a) Spasme laring
b) Aspirasi
c) Gangguan fonasi
d) Edema glottis-subglotis
e) Infeksi laring, faring, trakea.
4. Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang ialah yang Berasal dari The American Society of
Anesthesiologists (ASA),Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko
anesthesia,karena dampak samping anesthesia tidak dapat dipisahkan
dari dampak samping pembedahan sebagai berikut (Said, 2009):
a. Kelas I : Pasien sehat organik,fisiologik,psikiatrik dan biokimia
b. Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang.
c. Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat.
-
26
d. Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tak dapat
melakukan aktifitas rutin dan penyakitnya merupakan ancaman
kehidupannya setiap saat.
e. Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa
pembedahan hidupnya tidak akan lebih dari 24 jam.
5. Hal-hal yang Mempengaruhi Tekanan Darah
Tekanan darah ditentukan oleh dua faktor utama, yaitu curah
jantung (cardiac output) dan resistensi vascular perifer (peripheral
vascular resistance). Curah jantung merupakan hasil kali antara
frekuensi denyut jantung dengan isi sekuncup (stroke volume),
sedangkan isi sekuncup ditentukan oleh aliran balik vena (venous
return) dan kekuatan kontraksi myocard. Resistensi perifer ditentukan
oleh tonus otot polos pembuluh darah, elastisitas dinding pembuluh
darah dan viskositasz darah. Semua parameter di atas dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain system saraf simpatis dan
parasimpatis, system rennin angiotensin-aldosteron (SRAA) dan faktor
local berupa bahan-bahan vasoaktif yang diproduksi oleh sel endotel
pembuluh darah.
System saraf simpatis bersifat presif yaitu cenderung
meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan frekuensi denyut
jantung, memperkuat kontraktilitas myocard, dan meningkatkan
resistensi pembuluh darah. Sistem parasimpatis bersifat depresif, yaitu
-
27
menurunkan tekanan darah karena menurunkan frekuensi denyut
jantung. SRAA juga bersifat presif berdasarkan efek vasokonstriksi
angiotensin II dan perangsangan aldosteron yang menyebabkan retensi
air dan natrium di ginjal sehingga meningkatkan volume darah. Selain
itu terdapat sinergisme antara system simpatis dan SRAA yang saling
memperkuat efek masing-masing.
Sel endotel pembuluh darah memproduksi berbagai bahan
vasoaktif yang sebagiannya bersifat vasokonstriktor seperti endotelin,
tromboksan A2 dan angiotensin II local, dan sebagian lagi bersifat
vasodilator seperti endothelium-derived relaxing factor (EDRF) yang
dikenal juga dengan nitric oxide (NO) dan prostasiklin (PGI2). Selain itu,
jantung terutama atrium kanan memproduksi hormon yang disebut
atriopeptin (atrial natriuretic peptide, ANP) yang bersifat diuretic,
natriuretik dan vasodilator yang cenderung menurunkan tekanan darah.
a. Tekanan Darah
Tekanan darah adalah tekanan yang ditimbulkan pada dinding
arteri. Tekanan puncak terjadi saat ventrikel berkontraksi dan disebut
tekanan sistolik. Tekanan diastolik adalah tekanan terendah yang
terjadi saat jantung beristirahat. Tekanan darah biasanya
digambarkan sebagai rasio tekanan sistolik terhadap tekanan
diastolik, dengan nilai dewasa normalnya berkisar dari 100/60
-
28
sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya 120/80
(Smeltzer & Bare, 2001).
Menurut Hayens (2003), tekanan darah timbul ketika bersikulasi
di dalam pembuluh darah. Organ jantung dan pembuluh darah
berperan penting dalam proses ini dimana jantung sebagai pompa
muskular yang menyuplai tekanan untuk menggerakkan darah, dan
pembuluh darah yang memiliki dinding yang elastis dan ketahanan
yang kuat. Sementara itu Palmer (2007) menyatakan bahwa tekanan
darah diukur dalam satuan milimeter air raksa (mmHg).
Tekanan arteri rata-rata adalah tekanan rata-rata yang
bertanggung jawab mendorong darah maju ke jaringan selama
seluruh siklus jantung. Tekanan arteri rata-rata tidak terletak di
tengah-tengah antara tekanan sistolik dan diastolik karena tekanan
arteri tetap lebih dekat ke tekanan diastol daripada ke tekanan sistol
untuk jangka yang lebih lama pada setiap siklus jantung. Pada
kecepatan denyut jantung istirahat. Sekitar dua-pertiga siklus jantung
dipakai dalam diastol dan hanya sepertiga dalam sistol. Oleh karena
itu, selain menggunakan metode pengukuran langsung, perkiraan
tekanan arteri rata-rata dapat ditentukan dengan menggunakan
rumus berikut:
Sistolik + 2 (Diastolik)3
-
29
Tekanan arteri rata-rata, seperti halnya tekanan sistol dan
diastol, pada dasarnya sama di semua arteri. Karena arteri kurang
menimbulkan resisitensi terhadap aliran, kehilangan energi tekanan
melalui friksi dapat diabaikan.
b. Pengukuran tekanan darah
Untuk mengukur tekanan darah maka perlu dilakukan
pengukuran tekanan darah secara rutin. Pengukuran tekanan darah
dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pada metode
langsung, kateter arteri dimasukkan ke dalam arteri. Walaupun
hasilnya sangat tepat, akan tetapi metode pengukuran ini sangat
berbahaya dan dapat menimbulkan masalah kesehatan lain
(Smeltzer & Bare, 2001)
Menurut Nursecerdas (2009), bahaya yang dapat ditimbulkan
saat pemasangan kateter arteri yaitu nyeri inflamasi pada lokasi
penusukkan, bekuan darah karena tertekuknya kateter, perdarahan:
ekimosis bila jarum lepas dan tromboplebitis.
Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan
dengan menggunakan sphygmomanometer dan stetoskop.
-
30
Sphgmomanometer tersusun atas manset yang dapat dikembangkan
dan alat pengukur tekanan yang berhubungan dengan rongga dalam
manset. Alat ini dikalibrasi sedemikian rupa sehingga tekanan yang
terbaca pada manometer seseuai dengan tekanan dalam milimeter
air raksa yang dihantarkan oleh arteri brakialis. (Smeltzer & Bare,
2001). Adapun cara pengukuran tekanan darah dimulai dengan
membalutkan manset dengan kencang dan lembut pada lengan atas
dan dikembangkan dengan pompa. Tekanan dalam manset
dinaikkan sampai denyut radial atau brakial menghilang.
Hilangnya denyutan menunjukkan bahwa tekanan sistolik darah
telah dilampaui dan arteri brakialis telah tertutup. Manset
dikembangkan lagi sebesar 20 sampai 30 mmHg diatas titik
hilangnya denyutan radial. Kemudian manset dikempiskan perlahan,
dan dilakukan pembacaan secara auskultasi maupun palpasi.
Dengan palpasi kita hanya dapat mengukur tekanan sistolik.
Sedangkan dengan auskultasi kita dapat mengukur tekanan sistolik
dan diastolik dengan lebih akurat (Smeltzer & Bare, 2001). Untuk
mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk
corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di
bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik
dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps.
-
31
Manset dikempiskan dengan kecepatan 2 sampai 3 mmHg per
detik, sementara kita mendengarkan awitan bunyi berdetak, yang
menunjukkan tekanan darah sistolik. Bunyi tersebut dikenal sebagai
Bunyi Korotkoff yang terjadi bersamaan dengan detak jantung, dan
akan terus terdengar dari arteri brakialis sampai tekanan dalam
manset turun di bawah tekanan diastolik dan pada titik tersebut,
bunyi akan menghilang (Smeltzer & Bare, 2001). Untuk
mengauskultasi tekanan darah, ujung stetoskop yang berbentuk
corong atau diafragma diletakkan pada arteri brakialis, tepat di
bawah lipatan siku (rongga antekubital), yang merupakan titik
dimana arteri brakialis muncul diantara kedua kaput otot biseps.
c. Mekanisme pemeliharaan Tekanan Darah
Tekanan darah dikontrol oleh otak, sistem saraf otonom, ginjal,
beberapa kelenjar endokrin, arteri dan jantung. Otak adalah pusat
pengontrol tekanan darah di dalam tubuh. Serabut saraf adalah
bagian sistem saraf otonom yang membawa isyarat dari semua
bagian tubuh untuk menginformasikan kepada otak perihal tekanan
darah, volume darah dan kebutuhan khusus semua organ. Semua
informasi ini diproses oleh otak dan keputusan dikirim melalui saraf
menuju organ-organ tubuh termasuk pembuluh darah, isyaratnya
ditandai dengan mengempis atau mengembangnya pembuluh darah.
Saraf-saraf ini dapat berfungsi secara otomatis (Hayens, 2003).
-
32
d. Hipertensi
1) Pengertian Hipertensi
Hipertensi dapat didefenisikan sebagai tekanan darah tinggi
persisten dimana tekanan sistoliknya di atas 140 mmHg dan
tekanan diastolik di atas 90 mmHg (Smeltzer & Bare, 2001).
Wiryowidagdo (2002) mengatakan bahwa hipertensi
merupakan suatu keadaan tekanan darah seseorang berada
pada tingkatan di atas normal. Jadi tekanan di atas dapat
diartikan sebagai peningkatan secara abnormal dan terus
menerus pada tekanan darah yang disebabkan satu atau
beberapa faktor yang tidak berjalan sebagaimana mestinya
dalam mempertahankan tekanan darah secara normal
(Hayens, 2003).
2) Klasifikasi Hipertensi
Klasifikasi hipertensi dilihat berdasarkan tekanan darah
sistolik dan tekanan darah diastolik dalam satuan mmHg
dibagi menjadi beberapa stadium.
-
33
6. Efek intubasi Endotrakeal terhadap Tekanan Darah
Laringoskopi dan intubasi endotrakea berisiko menimbulkan
berbagai komplikasi dan efek samping. Tindakan laringoskopi maupun
intubasi endotrakhea menyebabkan terjadinya respon pada system
kardiovaskular, respirasi, susunan saraf pusat, mata, saluran
pencernaan, dan lain-lain. Respon tersebut terjadi akibat adanya
peningkatan rangsangan simpatis. Peningkatan rangsangan ini terjadi
karena penekanan pada saraf laryngeus superior dan saraf recurren
laryngeus oleh ujung laringoskop maupun pipa endotrakea.
Peningkatan rangsangan simpatis ini akan menyebabkan kelenjar
suprarenalis mensekresi hormon adrenalin dan noradrenalin sehingga
pada system kardiovaskuler akan menyebabkan terjadinya peningkatan
tekanan darah, laju jantung, dan disritmia. Rangsangan simpatis
terhadap jantung akan menimbulkan efek yang berlawanan dengan
efek yang terjadi pada rangsangan nervus vagus, yaitu meningkatkan
kecepatan timbulnya impuls pada nodus SA, meningkatkan kecepatan
rangsang terhadap semua bagian jantung, serta meningkatkan
-
34
kontraksi otot jantung. Perangsangan terhadap saraf simpatis akan
menyebabkan kelenjar suprarenal akan mensekresi hormon adrenalin
dan noradrenalin. Hormon ini akan meningkatkan permeabilitas
membran sel otot jantung terhadap ion natrium dan ion kalsium, dan
meningkatkan frekuensi denyut jantung pada nodus SA. Peningkatan
permeabilitas terhadap ion kalsium menyebabkan meningkatnya
kekuatan kontraksi otot jantung.
Peningkatan tekanan darah sebagai respon sistem kardiovaskuler
terhadap laringoskopi terjadi mulai 5 detik sejak tindakan laringoskopi,
mencapai puncaknya dalam 1-2 menit, dan akan kembali seperti
sebelum tindakan laringoskopi dalam waktu 5 menit. Pada orang sehat
rata-rata peningkatan tekanan darah sistolik dan tekanan darah
diastolik masing-masing lebih dari 53 mmHg dan 34 mmHg. Laju
jantung meningkat rata-rata 23 kali/menit. Respon peningkatan laju
jantung pada laringoskopi bervariasi, meningkat pada 50% kasus.
Selama tindakan laringoskopi jarang terjadi perubahan EKG (biasanya
extrasystole atau premature contraction), tetapi lebih sering terjadi pada
tindakan intubasi.
Respon ini mungkin kurang berarti klinis pada pasien yang sehat,
tetapi dapat berbahaya pada pasien dengan kelainan cerebrovasculer
disease. Peningkatan tekanan darah dan laju jantung akan
meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung. Keadaan ini bisa
-
35
berkembang menjadi iskemik dan infark otot jantung. Beberapa
penelitian mengatakan bahwa pasien yang sebelumnya mempunyai
riwayat infark miokard, kejadian reinfark setelah operasi lebih tinggi
daripada pasien yang pada periode intraoperatif terjadi peningkatan
tekanan darah dan laju jantung. Untuk mencegah komplikasi tersebut
perlu persiapan baik sebelum melakukan intubasi di samping obat
pelumpuh otot, pelumas pipa endotrakhea, pipa endotrakea,
laringoskop, tekanan cuff, obat-obat untuk mengatasi gejolak
kardiovaskular dan obat emergensi.
6. Gambaran Umum Perioperatif
Fase pra operatif dimulai ketika ada keputusan untuk dilakukan
intervensi bedah dan diakhiri ketika pasien dikirim ke meja operasi.
Lingkup aktivitas keperawatan selama waktu tersebut dapat mencakup
penetapan pengkajian dasar pasien di tatanan klinik ataupun rumah,
wawancara pra operatif dan menyiapkan pasien untuk anstesi yang
diberikan dan pembedahan.
Fase intra operatif dimulai ketika pasien masuk atau dipindah ke
instalasi bedah dan berakhir saat pasien dipindahkan ke ruang
pemulihan. Pada fase ini lingkup aktivitas keperawatan mencakup
pemasangan IV cath, pemberian medikasi intaravena, melakukan
pemantauan kondisi fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur
pembedahan dan menjaga keselamatan pasien. Membantu
-
36
mengatur posisi pasien di atas meja operasi dengan
menggunakan prinsip-prinsip dasar kesimetrisan tubuh. Fase pasca
operatif dimulai dengan masuknya pasien ke ruang pemulihan
(recovery room) dan berakhir dengan evaluasi tindak lanjut pada
tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktivitas keperawatan mecakup
rentang aktivitas yang luas selama periode ini. Pada fase ini fokus
pengkajian meliputi efek agen anastesi dan memantau fungsi vital serta
mencegah komplikasi. Aktivitas keperawatan kemudian berfokus pada
peningkatan penyembuhan pasien dan melakukan penyuluhan,
perawatan tindak lanjut dan rujukan yang penting untuk penyembuhan.
a. Perioperatif
Tindakan operasi atau pembedahan, baik elektif maupun
kedaruratan adalah peristiwa kompleks yang menegangkan.
Kebanyakan prosedur bedah dilakukan di kamar operasi rumah
sakit, meskipun beberapa prosedur yang lebih sederhana tidak
memerlukan hospitalisasi dan dilakukan di klinik-klinik bedah dan
unit bedah ambulatori. Individu dengan masalah kesehatan yang
memerlukan intervensi pembedahan mencakup pula pemberian
anastesi atau pembiusan yang meliputi anastesi lokal,regional,
dan umum.
Sejalan dengan perkembangan teknologi yang kian maju.
Prosedur tindakan pembedahan pun mengalami kemajuan yang
-
37
sagat pesat. Dimana perkembangan teknologi mutakhir telah
mengarahkan kita pada penggunaan prosedur bedah yang lebih
kompleks dengan penggunaan teknik-teknik bedah mikro (micro
surgery techniques) atau penggunaan laser, peralatan by Pass
yang lebih canggih dan peralatan monitoring yang lebih sensitif.
Kemajuan yang sama juga ditunjukkan dalam bidang
farmasi terkait dengan penggunaan obat-obatan anastesi kerja
singkat, sehingga pemulihan pasien akan berjalan lebih cepat.
Kemajuan dalam bidang teknik pembedahan dan teknik anastesi
tentunya harus diikuti oleh peningkatan kemampuan masing-
masing personel (terkait dengan teknik dan juga komunikasi
psikologis) sehingga outcome yang diharapkan tercapai.
Perubahan tidak hanya terkait dengan hal-hal tersebut diatas.
Namun juga diikuti oleh perubahan pada pelayanan. Untuk
pasien-pasien dengan kasus-kasus tertentu, misalnya : hernia.
Pasien dapat mempersiapkan diri dengan menjalani pemeriksaan
dignostik dan persiapan pra operatif lain sebelum masuk rumah
sakit. Kemudian jika waktu pembedahannya telah tiba, maka
pasien bisa langsung mendatangi rumah sakit untuk dilakukan
prosedur pembedahan. Sehingga akan mempersingkat waktu
perawatan pasien di rumah sakit.
-
38
Keperawatan perioperatif merupakan istilah yang
digunakan untuk menggambarkan keragaman fungsi
keperawatan yang berkaitan dengan pengalaman pembedahan
pasien. Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang
mencakup tiga fase pengalaman pembedahan, yaitu pre operative
phase, intra operative phase dan post operative phase.
Masing- masing fase di mulai pada waktu tertentu dan
berakhir pada waktu tertentu pula dengan urutan peristiwa yang
membentuk pengalaman bedah dan masing-masing mencakup
rentang perilaku dan aktivitas keperawatan yang luas yang
dilakukan oleh perawat dengan menggunakan proses
keperawatan dan standar praktik keperawatan. Disamping
perawat, kegiatan perioperatif ini juga memerlukan dukungan dari
tim kesehatan lain yang berkompeten dalam perawatan pasien
sehingga kepuasan pasien dapat tercapai sebagai bentuk
pelayanan prima.
b. Intra operatif
Merupakan sesuatu yang dimulai sejak pasien masuk
kamar operasi dan berakhir diruang post anastesi care unit.
(HIPKABI, 2009). Peran perawat intra operatif, antara lain :
perawat scrub, perawat anastesi dan perawat sirkuler.
-
39
1). perawat scrub : steril, mengatur meja steril,asisten dokter
bedah,mengawasi perdarahan,menghitung alat sebelum dan
sesudah operasi..
2). perawat anastesi : mengawasi tanda- vital,cairan dan nyeri.
3). perawat sirkuler : tidak steril, memantau aktivitas tim bedah,
suhu, pencahayaan,menjaga peralatan, ketersediaan bahan
operasi,koordinasi tim bedah dan memastikan keselamatan
pasien
B. Penelitian Terkait
Penelitian Hariyono (2005) yang berjudul pengaruh tindakan intubasi
trakea terhadap perubahan laju jantung dan tekanan darah. Intubasi
endotrakea sudah menjadi bagian rutin dari anestesi umum. Laringoskopi
intubasi merupakan metode terbaik untuk membebaskan dan
mempertahankan jalan nafas pada praktek anestesi dan resusitasi.
Namun prosedur ini bukan merupakan tindakan yang bebas risiko.
Laringoskopi intubasi endotrakea menyebabkan rangsangan simpatis
yang membangkitkan respon kardiovaskuler. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui kenaikan laju jantung dan tekanan darah sebagai akibat
tindakan laringoskopi intubasi endotrakea. Penelitian dilakukan terhadap
20 pasien pria atau wanita usia 17-55 tahun, status fisik ASA I, yang
menjalani operasi terencana dengan anestesi umum di RSUD Dr
Moewardi Surakarta, dengan rancangan penelitian one group before and
-
40
after quasi experimental design. Sampel ditetapkan secara consecutive
sampling. Setiap pasien mendapatkan premedikasi sulfas atropin 0,01
mg/kg.bb; midazolam 0,07 mg/kg.bb; pethidin 1 mg/kg.bb. Induksi
menggunakan propofol 2 mg/kg.bb, intubasi difasilitasi dengan
succinylcholin 1,5 mg/kg.bb. Laju jantung, tekanan darah sistolik dan
diastolik diukur secara serial mulai awal sebelum premedikasi, pasca
premedikasi, pasca induksi, pasca intubasi menit ke-1, 5 dan 10. Data
dianalisis dengan uji anova dilanjutkan post hoc test Tukey dan
Bonferroni, dengan tingkat kemaknaan p < 0,05. Hasil penelitian
menunjukkan terdapat peningkatan bermakna baik laju jantung, tekanan
darah sistolik maupun diastolik pada menit pertama pasca intubasi, tetapi
tidak bermakna pada menit ke-5 dan ke-10. Kesimpulan: bahwa intubasi
endotrakea menyebabkan kenaikan sementara laju jantung dan tekanan
darah. Untuk mengurangi lonjakan kardiovaskuler tersebut diperlukan
intubasi dengan cepat dan mulus .Adapun yang membedakan penelitian
penulis yaitu premedikasi diberikan beberapa menit sebelum induksi
anastesi dan pelumpuh otot yang diberikan adalah atracuronium atau
rocuronium bromida yang termasuk golongan intermediet. Tekanan darah
yang diobservasi adalah pada menit ke-1,ke-3 dan ke-5 setelah intubasi
endotrakea,respondennya berjumlah 63 pasien,dan data akan diuji
dengan paired sample t test dan tempat penelitian dilakukan di ruang
bedah sentral RSUD AWS Samarinda.
-
41
C. Kerangka Teori Penelitian
Menurut Said (2001) Intubasi endotrakeal merupakan tindakan
memasukkan pipa endotrakea ke dalam trakea melalui rima glottis,
sehingga ujung distalnya berada kira-kira dipertengahan trakea antara pita
suara dan bifukarsio trakea.
Gambar 2.4 Kerangka Teori Penelitian
Intubasi Endotrakea
Respon Hemodinamik - Anatomi Saluran Nafas - Indikasi Intubasi - Persiapan - Cara - Penyulit
Tekanan Darah
Denyut Nadi
Ket:
Diteliti
Tidak diteliti
General anastesi
Disritmia
Peningkatan ICP
-
42
C. Kerangka Konsep Penelitian
Kerangka konsep adalah abstraksi dari suatu realita agar dapat
dikomunikasikan dan membentuk suatu teori yang menjelaskan
keterkaitan antar variabel, baik variabel yang diteliti maupun yang tidak
diteliti (Azrul, 2003).
Pada kerangka konsep berikut ini menjelaskan bahwa variabel
independent atau bebas yaitu tindakan intubasi endotracheal, sedangkan
variabel dependent atau terikatnya adalah tekanan darah pasien.
Gambar 2.5 Kerangka Konsep penelitian
Tindakan intubasi
endotracheal : Tekanan darah
sistolik dan
diastolik menit
pertama, ketiga,
dan kelima
setelah
pemasangan
intubasi
Tekanan darah 5 menit
sebelum induksi anastesi
-
43
D. Hipotesis Penelitian
Mayor
Ha : Ada pengaruh tindakan Intubasi Endotracheal terhadap
tekanan darah pasien intra operatif diruang bedah Sentral
RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2012.
Ho : Tidak ada pengaruh tindakan Intubasi Endotracheal terhadap
tekanan darah pasien intra operatif diruang bedah Sentral
RSUD A.Wahab Sjahranie Samarinda Tahun 2012.
Minor
1. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit
sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 1 menit
setelah intubasi.
2. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit
sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 3 menit
setelah intubasi.
3. Ada pengaruh tindakan intubasi terhadap tekanan darah 5 menit
sebelum intubasi dibandingkan dengan tekanan darah 5 menit
setelah intubasi.
-
44
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Rancangan penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian,
memungkinkan pengontrolan maksimal beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
akurasi suatu hasil. Dapat digunakan peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan
dan pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu
pertanyaan penelitian dan merupakan hasil akhir dari suatu tahap keputusan yang
dibuat oleh peneliti berhubungan dengan bagaimana suatu penelitian bisa
diterapkan (Nursalam, 2008).
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian pra eksperimen one group
pretest posttest tanpa kontrol dengan mengikuti waktu efek perlakuan (time series),
yakni tekanan darah 5 menit sebelum induksi anestesi, dan tekanan darah menit
pertama, menit ketiga dan menit kelima setelah intubasi endotrakeal dilakukan.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan dari suatu variabel yang menyangkut
masalah yang diteliti, bisa berupa orang, kejadian, perilaku, atau sesuatu
lain yang akan dilakukan penelitian (Nursalam & Pariani, 2001). Populasi
-
45
dalam penelitian ini adalah pasien yang menjalani operasi di ruang Bedah
Sentral RSUD. A.Wahab Sjahranie Samarinda, dengan diberikan tindakan
intubasi endotrakeal untuk menjaga patensi jalan nafas selama operasi
berlangsung.
2. Sampel
Sampel adalah bagian dari populasi yang diteliti dengan sampling tertentu
untuk bisa memenuhi/mewakili populasi (Nursalam, 2008). Metode pengambilan
sampel yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara consecutive sampling,
yaitu pasien yang diberikan intubasi endotracheal yang akan menjalani operasi di
ruang Bedah Sentral RSUD. A. Wahab Sjahranie Samarinda. Penentuan besar
sampel untuk data kontinue jika populasinya diketahui adalah menggunakan
rumus:
Menurut Arikunto (1997), jumlah sampel yang sesuai untuk
penelitian ini menggunakan rumus sebagai berikut:
N
n =
1+N(d)
Keterangan:
n = Besarnya sampel
N = Besar populasi
d = Derajad penyimpangan terhadap populasi yang diinginkan
(0,05).
1 = Angka konstan
-
46
n = 75
1+75 (0,05)
= 75
1+75 (0,0025)
= 75
1,1875
= 63,16. Dibulatkan menjadi 63 Responden.
Penelitian ini menggunakan 60 responden karena keterbatasan
waktu penelitian. Sampel yang diambil sebagai responden memenuhi
kriteria inklusi sebagai berikut:
a. Kriteria Inklusi:
1). pasien ASA I dan ASA II
2). pasien berusia 15 s.d 55 tahun
3). pasien yang diberikan premedikasi ( anti emetik, analgetik )
4). pembiusan dengan General Anastesi
5). pasien yang diberikan perlakuan intubasi endotrakeal tube.
b. Kriteria eksklusi:
1). Pasien yang berusia di bawah 15 tahun dan di atas 55 tahun
2). Intubasi yang dilakukan lebih dari sekali
3) Pasien dengan riwayat hipertensi dan hipotensi
-
47
C. Waktu dan tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai 16 April sampai dengan 24 Mei 2012
diruang Bedah Sentral RSUD AWS Samarinda. Penulis memilih tempat
tersebut dikarenakan Rumah Sakit Umum Daerah Abdul Wahab Sjahranie
Samarinda adalah Rumah Sakit terbesar di Kalimantan Timur dan
merupakan Rumah Sakit Type B, dimana memiliki visi dan misi menjadi
rumah sakit pendidikan dan merupakan pusat rujukan dari rumah sakit se
kabupaten/kota di Kalimantan Timur.
D. Variabel Penelitian
Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel Independen/bebas dan
variabel Dependen/terikat.
1. Variabel Independen adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang
mempengaruhi variabel dependen (Sugiono,2010). Variabel Independen dalam
penelitian ini adalah tindakan intubasi endotracheal.
-
48
2. Sedangkan Variabel dependen adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel
bebas atau independen (Sugiono,2010). variabel dependennya adalah tekanan
darah pasien intra operatif.
E. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional dari masing-masing variabel adalah sebagai berikut
:
Tabel 3.1
Definisi Operasional
Variabel
Definisi Operasional Parameter Alat Ukur Skala Ukur Hasil Ukur
1 2 3 4 5 6
-
49
Independen
Tindakan intubasi endotrakea
Suatu tindakan memasukan pipa endotrakea kedalam trakea melalui rima glotis,sehingga ujung distalnya berada dikira-kira pertengahan trakea antara pita suara dan bifukarsio trakea
Intubasi dengan menggunakan ETT(endotrakeal tube)
- - -
Dependen Tekanan Darah 5 menit sebelum induksi anestesi
Suatu tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri sebelum induksi anestesi dilakukan dan telah mendapatkan premedikasi
1.Tekanan sistolik dalam mmHg 2.Tekanan diastolik dalam mmHg
Spygmoma nometer mercury dan stetoskop
Interval 1. Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam mmHg 5 menit sebelum induksi anestesi
1. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit I setelah intubasi dilakukan
2. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit III setelah intubasi dilakukan
3. Tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP dalam mmHg menit V setelah intubasi dilakukan dikonversi menjadi mean
Dependen Tekanan Darah setelah intubasi
Suatu tekanan yang ditimbulkan pada dinding arteri setelah intubasi dilakukan
1.Tekanan sistolik dalam mmHg 2.Tekanan diastolik dalam mmHg
Spygmoma nometer mercury dan stetoskop
Interval
-
50
madian, modus
F. Instrumen penelitian
Peneliti menggunakan instrumen yaitu spygomomanometer mercury
dan steteskop dan instrumen penelitian yang berbentuk lembar observasi.
Lembar observasi ini untuk mengidentifikasi pengaruh tindakan intubasi
terhadap tekanan darah.
Instrumen penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu :
1. Lembar observasi yang digunakan untuk mengidentifikasi data-
data demografi responden meliputi nama/ kode responden, usia,
jenis kelamin (Lampiran 7).
2. Lembar observasi yang terkait dengan tindakan intubasi terhadap
tekanan darah pasien intra operatif dan parameter-parameter
yang diukur meliputi tekanan darah yang diukur 5 menit sebelum
induksi anestesi dan pada menit pertama, ketiga dan kelima
-
51
setelah dilakukan tindakan intubasi (Lampiran 8). Instrumen dalam
penelitian ini tidak dilakukan uji validitas dan uji reliabilitas karena
lembar observasi menggunakan format yang diadopsi dari teori
menurut Moorhead, dkk dalam NOC tahun 2008 dan sumber teori
menurut County tahun 1989, dan pelaksanaan observasi
penelitian dilakukan sendiri oleh peneliti.
G. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan setiap hari kerja selama masa penelitian
pada semua pasien yang memenuhi kriteria inklusi sampai mencapai
jumlah responden yang telah ditentukan.
Dan langkah-langkah pengumpulan data ini sebagai berikut :
a. Setelah mendapatkan persetujuan dari pembimbing, peneliti meminta
izin kepada Direktur RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.
b. Setelah peneliti mendapatkan izin secara tertulis dari Direktur RSUD
AWS Samarinda melalui bagian Diklit, maka peneliti meminta izin
kepada Kepala Ruangan Bedah Sentral secara tertulis berupa surat
tembusan dari Diklit RSUD A. Wahab Sjahranie Samarinda.
c. Kegiatan di ruang pre op: peneliti melakukan seleksi responden dengan
cara mengidentifikasi pasien yang memenuhi kriteria inklusi penelitian
atau tidak.
-
52
d. Sebelum melakukan penelitian, responden diberi penjelasan tentang
tujuan penelitian dengan lisan dan tulisan.
e. Setelah memahami penjelasan dari peneliti, responden yang bersedia
ikut penelitian menandatangani lembar persetujuan penelitian.
f. Peneliti mendampingi pasien menuju kamar operasi lalu
mempersilahkan pasien tidur di meja operasi kemudian mengukur
tekanan darahnya 5 menit sebelum induksi anestesi dengan
mendengarkan bunyi korotkof.
g. Setelah pasien tidur dan dilakukan intubasi endotrakeal,peneliti
melakukan pengukuran tekanan darah pada menit I,III dan V paska
intubasi dengan menggunakan sphygmomanometer mercury dan
steteskop kemudian mencatat hasil pengukuran ke lembar observasi
pasien.
Adapun pengumpulan data ini berdasarkan cara memperolehnya,
menurut Riwidikdo (2007), data ini terdiri dari :
1. Data Primer
Adalah data yang secara langsung diambil dari obyek penelitian oleh
peneliti perorangan maupun organisasi atau kesimpulan fakta yang
dikumpulkan secara langsung pada saat berlangsungnya penelitian. Data
primer dalam penelitian ini adalah tekanan darah pada saat dilakukan
tindakan intubasi endotracheal.
2. Data Sekunder
-
53
Adalah data yang didapat tidak secara langsung dari obyek penelitian.
Data penelitian ini diperoleh dari catatan medis pasien yang terkait dengan
identitas pasien.
.H. Tehnik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah melalui dua cara yaitu :
1. Analisa Univariat
Dilakukan dengan menganalisa variabel-variabel yang ada
dengan menghitung distribusi frekuensi dan proporsinya untuk
mengetahui karakteristik dari subyek peneliti. Dalam penelitian ini
analisa univariat digunakan untuk mengetahui proporsi dari masing-
masing variabel penelitian meliputi pengaruh tindakan intubasi dan
tekanan darah. Tingkat kepercayaan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah 95% atau alfa = 0,05. Rumusnya sebagai berikut :
F P = ------- x 100 % (Arikunto, 2002) N
Keterangan:
P = Persentase yang dicari
F = Frekuensi sample untuk setiap pertanyaan
N = Jumlah keseluruhan sample
-
54
Untuk mendapatkan nilai dari variabel independen tindakan
intubasi endotrakeal dan variable dependen tekanan darah pasien
intra operatif, ada beberapa nilai yang akan dipakai yaitu mean dan
median. Nilai nilai tersebut disebut sebagai nilai tengah (central
tendency).
Pengukuran rata-rata (mean) digunakan untuk mengukur nilai
sentral suatu distribusi data berdasarkan nilai rata-rata yang dihitung
dengan cara membagi nilai hasil penjumlahan sekelompok data dengan
jumlah data yang diteliti (Priyo & Sabri, 2010) yaitu:
1) Rata-rata hitung (Mean)
Mean adalah nilai yang baik mewakili suatu data. X = x1 + x2 + x3 + xnn 2) Median
Median adalah nilai yang terletak pada observasi yang di tengah,
kalau data tersebut telah disusun (array)
+ 12 2. Analisa Bivariat
Untuk melakukan perhitungan akan digunakan program software
komputer untuk membandingkan rata-rata dari dua kelompok yaitu
dengan menggunakan rumus Paired sample t Test . penggunaan rumus
-
55
ini adalah untuk menguji efektifitas suatu perlakuan terhadap suatu
besaran variable yang ingin ditentukan.
Rumus umum paired t Test adalah sebagai berikut : = dS /n
Keterangan :
Sd : = Simpangan baku dari d
N = Banyaknya sampel
Selanjutnya hasil t hitung dibandingkan dengan t tabel, tabel t yang
digunakan dengan derajat bebas (df=db=dk) =n-1. Apabila t hitung > t tabel,
maka Ho ditolak, dan menerima Ha.artinya ada beda secara signifikan antara
rata-rata pre dan post.
I. Etika Penelitian
Beberapa prinsip dalam pertimbangan etika meliputi :
1. Lembar persetujuan diberikan kepada responden yang diteliti. Peneliti
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian dilakukan. Responden yang
bersedia diteliti harus menandatangani lembar persetujuan yang sudah
disediakan. Jika responden tidak bersedia untuk diteliti, maka peneliti
tidak memaksa dan tetap menghormati hak-hak responden.
-
56
2. Anonimity (tanpa nama)
Untuk menjaga kerahasiaan responden, peneliti tidak mencantumkan
nama responden pada lembar pengumpulan data. Lembar tersebut
hanya diberi nomor kode tertentu.
2. Confidentiality (kerahasiaan)
Kerahasiaan informasi responden dijamin oleh peneliti, hanya kelompok
data tertentu saja yang disajikan atau dilaporkan sebagai hasil penelitian.
4.Informed consent
Merupakan cara persetujuan antara peneliti dengan responden yang
dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi
responden sebelum penelitian dilakukan. Sebelum menjadi responden
pasien dan keluarga diberikan informasi tentang tujuan penelitian agar
pasien memahami maksud, tujuan serta dampaknya. Jika responden
bersedia diteliti maka harus menandatangani lembar persetujuan, jika
responden tidak bersedia untuk diteliti maka peneliti tidak memaksa dan
tetap menghormati keputusan dari responden.
J. Jalannya Penelitian
Jalannya penelitian ini melalui tahap-tahap sebagai berikut :
-
57
1. Mengajukan judul proposal penelitian melalui koordinator mata ajar
skripsi sebanyak tiga judul untuk selanjutnya ditentukan satu judul
sebagai judul proposal penelitian dan dikonsulkan ke pembimbing pada
bulan September 2011.
2. Menyusun proposal penelitian yang terdiri dari tiga bab berdasarkan
literatur dari berbagai sumber, pengalaman, studi pendahuluan dan
penelitian lain yang terkait dengan proposal penelitian pada bulan
Oktober sampai dengan bulan Februari 2012.
3. Sidang proposal penelitian dilaksanakan setelah penyusunan materi
proposal penelitian disetujui untuk disidangkan oleh para pembimbing
proposal penelitian pada bulan Maret 2012.
4. Revisi proposal penelitian dilaksanakan selama dua minggu setelah
sidang proposal dilaksanakan pada bulan Maret 2012.
5. Mengurus perizinan penelitian pada bulan April 2012.
6. Pembuatan laporan penelitian dilaksanakan setelah data diolah pada
bulan Juni-Juli 2012.
7. Sidang skripsi untuk mempresentasikan hasil penelitian dihadapan
penguji skripsi akan dilaksanakan pada bulan Agustus 2012.
-
58
-
59
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Penelitian dilaksanakan selama 40 hari kerja efektif, yaitu terhitung sejak
tanggal 16 April sampai dengan tanggal 24 Mei tahun 2012. Pengolahan data
dilakukan setelah data primer yang didapat melalui observasi tekanan darah terhadap
60 pasien yang diintubasi endotrakeal terkumpul. Hasil penelitian disajikan dalam 2
(dua) bentuk analisis, yaitu analisis univariat dan bivariat. Pada tahap univariat
disajikan gambaran distribusi frekuensi dari seluruh variabel data yang telah diteliti
kemudian diinterpretasikan.
Pada bab ini memaparkan hasil penelitian tentang pengaruh tindakan intubasi
endotrakeal terhadap tekanan darah pasien intraoperatif di ruang bedah sentral RSUD
Abdul Wahab Sjahranie Samarinda 2012, dengan jumlah pasien sebanyak 60 orang.
Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa sphygmomanometer, stetoskop
dan lembar observasi yang digunakan untuk mengidentifikasi data-data demografi
responden, dan lembar observasi yang terkait dengan tindakan intubasi terhadap
tekanan darah pasien intra operatif dan parameter-parameter yang diukur meliputi
tekanan darah yang diukur 5 menit sebelum induksi anestesi dan pada menit
pertama, ketiga dan kelima setelah dilakukan tindakan intubasi. Hasil penelitian
disajikan dalam bentuk tabel dan tekstual yang didasarkan pada analisis univariate dan
bivariate. Namun peneliti sebelumnya menambahkan bahasan tentang gambaran
umum RSUD Abdul wahab Sjahranie Samarinda, yang didalamnya berisi tentang
-
60
sejarah latar belakang berdirinya, visi dan misi, lingkup pelayanan Instalasi Gawat
Darurat, rawat inap, rawat jalan, poliklinik spesialis, pelayanan one day care termasuk
di dalamnya terdapat pelayanan ruang Instalasi Bedah Sentral, Instalasi Anestesi dan
Reanimasi. Sehingga dapat dijadikan sebagai sumber informasi tambahan bagi
peneliti.
A. Gambaran Umum RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda
Rumah Sakit Umum Daerah A. Wahab Sjahranie terletak di jalan Palang
Merah Indonesia, Kecamatan Samarinda Ulu dan Rumah Sakit Umum Daerah A.
Wahab Sjahranie sebagai TOP REFERAL dan sebagai Rumah Sakit Kelas B
berlangsung sejak tahun 1993 atas dasar SK.Menkes
No.116/Menkes/SK/XIII/1993 yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 15
Desember 1993. RSUD Abdul Wahab Sjahranie dibangun pada tahun 1933,
kepunyaan Kerajaan Kutai (Landschap Kerajaan) sehingga diberi nama Landschap
Hospital. Terletak di Jiliana atau Emma Straat (sekarang bernama Jl. Gurami).
Sesuai dengan tuntutan perkembangan kebutuhan RSU kemudian
dipindahkan dari Selili ke jalan Dr. Soetomo dan diresmikan penggunaanya oleh
Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan Timur Bapak A.Wahab Sjahranie (alm.)
pada 12 Nopember 1977, untuk pelayanan rawat jalan. RSU Segiri merupakan
penyempurnaan dan pengembangan Rumah sakit Umum lama yang berlokasi di
daerah Selili (saat ini menjadi Rumah Sakit Islam Samarinda). Nama Rumah Sakit
Umum Daerah A.Wahab Sjahranie diresmikan pada tahun 1987, untuk mengenang
jasa Bapak A.Wahab Sjahranie (alm.) Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kalimantan
Timur periode 1968-1975. Pada tanggal 21 Juli 1984 seluruh pelayanan rawat inap
-
61
dan pelayanan rawat jalan dipindahkan di lokasi rumah sakit umum baru yang ada
saat ini. Visi RSUD Abdul Wahab Sjahranie menjadi rumah sakit rujukan pelayanan
kesehatan, pendidikan dan penelitian terbaik di Kalimantan dengan misi yang
dilaksanakan yaitu menyiapkan dan mengembangkan sumber daya manusia,
melengkapi sarana dan prasarana, memberikan pelayanan prima, dan
meningkatkan kesejahteraan pegawai.
Adapun lingkup pelayanan di RSUD Abdul Wahab Sjahranie meliputi
Instalasi Gawat Darurat, pelayanan rawat jalan di poliklinik spesialis dan pelayanan
One Day Care, Pelayanan rawat inap di ruang perawatan terdiri atas IRNA A
(ruang Mawar, ruang Cempaka, ruang Anggrek, ruang Melati, dan ruang Bayi),
IRNA B (ruang Flamboyan, ruang Angsoka, ruang Tulip, ruang Seruni, dan ruang
Dahlia), IRNA C (ruang Teratai I, ruang Teratai II, ruang Teratai III, dan ruang
teratai IV), serta IRNA IPI (ruang ICU, ruang ICCU, ruang PICU, dan ruang NICU).
Dilengkapi juga dengan pelayanan penunjang berupa Instalasi Bedah Sentral,
Laboratorium, Radiologi, Apotik, Cath. Laboratorium, Endoscopy, dan Hemodialisa.
Instalasi rehabilitasi medik, Instalasi forensik, dan instalasi Gizi.
Lingkup pelayanan ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Abdul Wahab
Sjahranie terdiri atas pelayanan operasi berencana (elective) dilaksanakan pada
shiff pagi saja. Untuk pelayanan operasi berencana (elective) dilaksanakan sejak
tanggal 1 Februari 2012 di Instalasi Bedah Sentral yang terdiri dari 8 (delapan)
kamar operasi, yaitu ruang operasi kamar 1 (satu) melayani tindakan operasi
urologi/perkemihan, ruang operasi kamar 2 (dua) melayani tindakan operasi
orthopedi/ tulang, ruang operasi kamar 3 (tiga) melayani tindakan operasi anak,
-
62
ruang operasi kamar 4 (empat) melayani tindakan operasi neurologi/ syaraf, ruang
operasi kamar 5 (lima) melayani tindakan operasi mulut, THT, dan mata, ruang
operasi kamar 6 (enam) melayani tindakan operasi umum, ruang operasi kamar 7
(tujuh) melayani tindakan operasi obgyn/ kebidanan, dan ruang operasi kamar 8
(delapan) melayani tindakan operasi bersama/ operasi kulit.
Disamping itu pula di dalam ruang Instalasi Bedah Sentral RSUD Abdul
Wahab Sjahranie terdapat pula Instalasi Anestesi dan Reanimasi yang lingkup
kerjanya meliputi tahap penerimaan pasien/ preoperatif, tahap intraoperatif untuk
pembiusan pasien operasi, dan tahap postoperasi melakukan observasi pasien
pada tahap pulih sadar (recovery room).
B. Hasil Penelitian
1. Analisis Univariat
a. Karakteristik responden
Analisis univariat dalam penelitian ini menggambarkan distribusi
frekuensi dari seluruh variabel, yaitu: umur dan jenis kelamin di uraikan
dibawah ini.
Tabel 4.1 Karakteristik Responden di Ruang Bedah Sentral RSUD A. W Sjahranie Samarinda, April-Mei 2012
Karakteristik Frekuensi Presentase (%)
Umur
15-35 26 43.3 %
36-55 34 56.7 %
-
63
Jenis Kelamin
Laki-laki 20 33.33%
Perempuan 40 66.67%
Total 60 100%
Sumber: Data Primer
Berdasarkan Tabel 4.1. diperoleh gambaran bahwa dari 60
pasien yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar berumur 36-55
tahun, yaitu berjumlah 34 responden (56.7 %), sisanya yaitu sebanyak
26 responden (43.3 %) berumur 15-35 tahun.
Tabel 4.1 di atas juga menggambarkan bahwa dari 60 responden
yang terlibat dalam penelitian ini sebagian besar adalah jenis kelamin
perempuan berjumlah 40 yaitu 66,67%. Sedangkan yang berjenis
kelamin laki-laki berjumlah 20 responden (33,33%).
b. Variabel
1) Tekanan Darah 5 Menit sebelum Intubasi
Tabel 4.2 Analisis univariat tekanan darah pada pasien 5 menit sebelum intubasi
Sistole 5 menit sebelum intubasi
(mmHg)
Diastole 5 menit sebelum
intubasi
(mmHg)
MAP 5 menit sebelum intubasi
(mmHg)
Mean 122.83 79.83 94.1662
Median 120.00 80.00 93.3300
-
64
Modus 120 80 83.33
Minimum 110 70 83.33
Maksimum 140 90 106.67
Sumber : Data Primer
Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah
sistolik pasien 5 menit sebelum intubasi adalah 122.83 mmHg, diastolik
79.83 mmHg, dan MAP rata-rata 94.1662 mmHg. Dengan nilai tengah
(median) masing-masing variabel adalah 120 mmHg, 80 mmHg, dan
93.33 mmHg, dengan modus 120 mmHg, 80 mmHg dan 83.33 mmHg.
Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada
5 menit sebelum intubasi masing-masing 110 mmHg, 70 mmHg, dan
83.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang
paling tinggi) pada 5 menit sebelum intubasi masing-masing 140 mmHg,
90 mmHg, dan 106.67 mmHg.
2) Tekanan Darah 1 Menit Setelah Intubasi
Tabel 4.3 Analisis univariat tekanan darah pasien 1 menit setelah intubasi
Sistole
menit ke-1 Diastole
menit ke-1 MAP menit
ke-1
Mean 166.33 102.83 123.99
Median 170 100 123.33
-
65
Modus 160 100 120
Minimum 120 80 93.33
Maximum 190 120 143.33
Sumber : Data Primer
Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah sistolik
pasien 1 menit setelah intubasi adalah 166.33 mmHg, diastolik 102.83
mmHg, dan MAP rata-rata 123.99 mmHg. Dengan nilai tengah (median)
masing-masing variabel adalah 170 mmHg, 100 mmHg, dan 123.33
mmHg, dengan modus 160 mmHg, 100 mmHg dan 120 mmHg.
Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada
1 menit setelah intubasi masing-masing 120 mmHg, 80 mmHg, dan
93.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang
paling tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 190 mmHg,
120 mmHg, dan 143.33 mmHg.
Tekanan darah sistolik rata-rata pada menit ke-1 setelah intubasi ini
memperlihatkan peningkatan dibandingkan pada 5 menit sebelum
intubasi, yaitu sebesar 43.47 mmHg. Sedangkan tekanan darah
diastolik juga meningkat sebesar 23 mmHg, dan MAP juga
memperlihatkan peningkatan sebesar 29.82 mmHg jika dibandingkan
dengan tekanan darah rata-rata pada 5 menit sebelum intubasi.
3) Tekanan Darah 3 Menit Setelah Intubasi
Tabel 4.4 Analisis univariat tekanan darah pasien 3 menit setelah intubasi
-
66
Sistole menit ke-3 (mmHg)
Diastole menit ke-3 (mmHg)
MAP menit ke-3
(mmHg)
Mean 138.17 84.67 102.5
Median 140 80 100
Modus 140 80 96.67
Minimum 110 70 83.33
Maximum 170 110 123.33
Sumber : Data Primer
Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah sistolik
pasien 3 menit setelah intubasi adalah 138.17 mmHg, diastolik 84.67
mmHg, dan MAP rata-rata 102.5 mmHg. Dengan nilai tengah (median)
masing-masing variabel adalah 140 mmHg, 80 mmHg, dan 100 mmHg,
dengan modus 140 mmHg, 80 mmHg dan 96.67 mmHg. Sementara
nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada 1 menit
setelah intubasi masing-masing 110 mmHg, 70 mmHg, dan 83.33
mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang paling
tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 170 mmHg, 110
mmHg, dan 123.33 mmHg.
Tekanan darah sistolik rata-rata pada menit ke-3 setelah intubasi ini
memperlihatkan peningkatan dibandingkan pada 5 menit sebelum
intubasi, yaitu sebesar 15.34 mmHg, namun mengalami penurunan
dibandingkan dengan menit ke-1 setelah intubasi, yaitu sebesar 28.13
mmHg. Sedangkan pada tekanan diastolik juga memperlihatkan hal
-
67
yang sama, yaitu terjadi peningkatan pada menit ke-3 setelah intubasi
jika dibandingkan dengan 5 menit sebelum intubasi, yaitu sebesar 4.84
mmHg namun memperlihatkan penurunan jika dibandingkan dengan
rata-rata tekanan darah diastolik pada menit ke-1 sebesar 18.16 mmHg.
MAP pada menit ke-3 ini juga mengalami peningkatan jika dibandingkan
dengan MAP 5 menit sebelum intubasi, yaitu sebesar 29.82 mmHg,
namun mengalami penurunan jika dibandingkan dengan MAP pada
menit ke-1 setelah intubasi sebesar 21.49 mmHg.
4) Tekanan Darah 5 Menit Setelah Intubasi
Tabel 4.5 Analisis univariat tekanan darah pasien 5 menit setelah intubasi
Sistole menit ke-5 (mmHg)
Diastole menit ke-5 (mmHg)
MAP menit ke-5
(mmHg)
Mean 119.67 76.33 90.77
Median 120 80 93.33
Mode 120 80 93.33
Minimum 100 60 73.33
Maximum 170 90 110
Sumber : Data Primer
Dari tabel di atas didapatkan rata-rata (mean) tekanan darah
sistolik pasien 5 menit setelah intubasi adalah 119.67 mmHg, diastolik
76.33 mmHg, dan MAP rata-rata 90.77 mmHg. Dengan nilai tengah
(median) masing-masing variabel adalah 120 mmHg, 80 mmHg, dan
93.33 mmHg, dengan modus 120 mmHg, 80 mmHg dan 93.33 mmHg.
Sementara nilai minimum (nilai tekanan darah yang paling rendah) pada
-
68
1 menit setelah intubasi masing-masing 100 mmHg, 60 mmHg, dan
73.33 mmHg, sedangkan nilai maksimum (nilai tekanan darah yang
paling tinggi) pada 1 menit setelah intubasi masing-masing 170 mmHg,
90 mmHg, dan 110 mmHg.
Pada menit ke-5 setelah intubasi ini dapat terlihat adanya
penurunan rata-rata tekanan darah sistolik, diastolik dan MAP jika
dibandingkan dengan 5 menit sebelum intubasi, maupun menit ke-1 dan
ke-3 setelah intubasi. Jika dibandingkan dengan tekanan darah 5 menit
sebelum intubasi, terjadi penurunan tekanan sistolik sebesar 2.16
mmHg, tekanan diastolik sebesar 3.5 mmHg, dan MAP sebesar 3.39
mmHg.
Jika dibandingkan dengan tekanan darah pada menit ke-1
setelah intubasi terjadi penurunan signifikan, yaitu tekanan sistolik
sebesar 46.63 mmHg, tekanan diastolik sebesar 26.5 mmHg, dan MAP
sebesar 33.22 mmHg. Tekanan darah rata-rata pada menit ke-5 ini jika
dibandingkan dengan tekanan darah rata-rata pada menit ke-3 juga
terjadi penurunan, yaitu tekanan darah sistolik sebesar 18.5 mmHg,
tekanan darah diastolik sebesar 8.34 mmHg, dan MAP sebesar 11.73
mmHg.
Dari keseluruhan gambaran di atas terlihat adanya lonjakan
tekanan darah baik sistolik, diastolik maupun MAP pada menit ke-1
setelah intubasi, dan terjadi penurunan tekanan darah sistolik, diastolik
dan MAP pada menit ke-5 setelah intubasi.
5) Gambaran Perbandingan Tekanan Darah Berdasarkan Time Series
-
69
Kedua Grafik Di atas menggambarkan analisis univariat tekanan
darah sistolik, diastolik dan MAP pasien di ruang bedah sentral
berdasarkan waktu dan tindakan, yakni 5 menit sebelum
intubasi dan menit ke-1, menit ke-3 dan menit ke-5 sesudah intubasi,
yang terdiri dari nilai rata-rata (mean) dan nilai tengah (median) dari
tekanan darah. Grafik di bawah ini memperlihatkan adanya peningkatan
tekanan darah pada menit ke-1 setelah intubasi, dimana tekanan darah
tersebut kembali turun pada menit ke-3 dan ke-5 setelah intubasi.
Gambar 4.1. Pola Rata-rata (Mean) tekanan darah pasien pada 5 menit sebelum intubasi
dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi Sumber : Data Primer
020406080
100120140160180
5 menit sebelum
Menit ke-1 Menit ke-3 Menit ke-5
Sistole
Diastole
MAP
0
50
100
150
200
5 menit sebelum
Menit ke-1 Menit ke-3 Menit ke-5
Sistole
Diastole
MAP
-
70
Gambar 4.2. Pola Nilai tengah (Median) tekanan darah pasien pada 5 menit sebelum
intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi Sumber : Data Primer
2. Analisa Bivariat
Bagian ini memperlihatkan hasil analisis bivariat antara variabel tekanan
darah 5 menit sebelum intubasi, dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi
di ruang bedah sentral RSUD AW Sjahranie Samarinda. Hubungan masing-
masing variable tersebut didapatkan berdasarkan analisa dengan
menggunakan uji statistik paired T-Test dengan tingkat kemaknaan kemaknaan
95% atau = 0,05. Dinyatakan berhubungan jika nilai p value < 0,05,
sedangkan jika p value > 0,05 dianggap memiliki hubungan antara variabel
independen dan variabel dependen. Hubungan antara variabel tersebut adalah
sebagai berikut :
1) Tekanan Sistolik
Pada bagian ini akan diperlihatkan hubungan antara tekanan sistolik 5
menit sebelum intubasi dengan tekanan sistolik pada menit ke-1, ke-3 dan
ke-5 setelah intubasi.
Tabel 4.6.
Hasil analisis Bivariat Tekanan Sistolik 5 menit sebelum Intubasi dan Menit ke-1,
ke-3 dan ke-5 setelah intubasi
Variabel Mean N Std. Deviation Std. Error Mean P Value
-
71
Pair 1
Sistole 5 menit Sebelum Intubasi
122.8333 60 9.93055 1.28203
0.000 Sistole 1 menit Setelah Intubasi
166.3333 60 14.95379 1.93053
Pair 2
Sistole 5 menit Sebelum Intubasi
122.8333 60 9.93055 1.28203
0.000 Sistole 3 menit Setelah Intubasi
138.1667 60 11.85958 1.53107
Pair 3
Sistole 5 menit Sebelum Intubasi
122.8333 60 9.93055 1.28203
0.019 Sistole 5 menit Setelah Intubasi
119.6667 60 9.73665 1.25700
Sumber : Data Primer
Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara tekanan
sistolik 5 menit sebelum intubasi dan tekanan sistolik menit ke-1, ke-3 dan
ke-5 setelah intubasi. Dari analisis bivariat antara tekanan sistolik 5 menit
sebelum intubasi dengan tekanan sistolik menit ke-1 setelah intubasi
didapatkan nilai P=0.000 atau P
-
72
menit ke-3 setelah intubasi didapatkan nilai P=0.000 atau P
-
73
Tabel 4.7
Analisis Bivariat Tekanan Diastolik 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3
dan ke-5 setelah intubasi
Variabel Mean N Std. Deviation Std. Error Mean P Value
Pair 1
Diastole 5 menit Sebelum Intubasi
79.8333 60 7.70025 .99410
0.000 Diastole 1 menit Setelah Intubasi
102.8333 60 12.08608 1.56031
Pair 2
Diastole 5 menit Sebelum Intubasi
79.8333 60 7.70025 .99410
0.000 Diastole 3 menit Setelah Intubasi
84.6667 60 9.10702 1.17571
Pair 3 Diastole 5 menit Sebelum
79.8333 60 7.70025 .99410 0.002
-
74
Intubasi
Diastole 5 menit Setelah Intubasi
76.3333 60 7.58381 .97907
Sumber : Data Primer
Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara
tekanan diastolik 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5
setelah intubasi. Pada analisis bivariat antara tekanan diastolik 5 menit
sebelum intubasi dan menit ke-1 setelah intubasi, didapatkan nilai P=0.000
atau P
-
75
Analisis bivariat terhadap kelompok tekanan diastolik 5 menit sebelum
intubasi dan menit ke-5 setelah intubasi didapatkan nilai P=0.002 atau
P
-
76
Intubasi
Sumber : Data Primer
Tabel di atas memperlihatkan hasil analisis bivariat antara MAP 5 menit
sebelum intubasi dan menit ke-1, ke-3 dan ke-5 setelah intubasi. Pada hasil
analisis bivariat antara MAP 5 menit sebelum intubasi dan menit ke-1
setelah intubasi didapatkan nilai P=0.000 atau P
-
77
sebelumnya, menjelaskan keterbatasan penelitian dan implikasi
penelitian untuk keperawatan.
1. Karakteristik Responden
Distribusi frekuensi pasien berdasarkan umur diperoleh gambaran
15-35 tahun sebesar 43.3%, sedangkan 36-55 tahun sebesar 56.7%.
Penentuan ukuran bilah intubasi dapat disesuaikan menurut usia. Karena
penampang trakea bayi, anak kecil dan dewasa berbeda, penampang
melintang trakea bayi dan anak kecil dibawah 5 tahun hampir bulat,
sedangkan penampang dewasa seperti huruf D, maka untuk bayi anak
digunakan tanpa cuff dan untuk dewasa dengan cuff, supaya tidak bocor.
Secara garis besar, dikenal dua macam laringoskop: yaitu Bilah daun
(blade) lurus (Macinthosh) untuk bayi-anak dan Bilah lengkung (Miller,
Magill) untuk anak besar-dewasa. Pada penelitian ini dibatasi bilah daun
yang digunakan adalah bilah lengkung (Miller, Magill) dengan Cuff (Latief,
2001).
Sementara itu, nilai tekanan darah dewasa normalnya berkisar
dari 100/60 sampai 140/90. Rata-rata tekanan darah normal biasanya
120/80 (Smeltzer & Bare, 2001).
Pada penelitian ini didapatkan jumlah pasien yang diintubasi
lebih banyak pada usia 36-55 tahun, dimana berhubungan dengan
jumlah operasi yang dilakukan menggunakan general anestesi dan
intubasi endotracheal lebih banyak pada usia 36-55 tahun. Pada usia
15-55 tahun, tidak didapatkan perbedaan dalam penggunaan cuff
-
78
maupun bilah intubasi. Sehingga frekuensi distribusi usia pada
penelitian ini menggambarkan jumlah intubasi endotracheal lebih
banyak dilakukan pada usia 36-55 tahun.
Distribusi pasien berdasarkan jenis kelamin perempuan berjumlah 40
yaitu 66,67%. Sedangkan yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah 20
pasien (33,33%). Penelitian yang dilakukan oleh Prayoga dan Meutia
terhadap sebaran jenis kelamin pada tindakan intubasi didapatkan bahwa
tindakan intubasi endotrakeal lebih banyak dilakukan pada perempuan
daripada dilakukan pada laki-laki. Hal tsb berhubungan dengan frekuensi
pasien yang dioperasi lebih banyak perempuan dibandin