bab i pendahuluane-journal.uajy.ac.id/12856/2/ta145861.pdf · yang mengandung unsur keindahan dan...

29
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang 1.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan. Sebutan sebagai kota pelajar yang melekat pada kota Yogyakarta didukung oleh wilayah yang masih menjadi tujuan dalam hal menuntut ilmu bagi kaum pelajar dan mahasiswa dari seluruh wilayah di lndonesia dan negara sekitar (Sudaryanto, 2005; 415). Obyek wisata seni, budaya, wisata alam dan sejarah merupakan faktor-faktor yang menjadikan Kota Yogyakarta sebagai kota tujuan pendidikan, wisata, dan budaya. Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan memiliki aktivitas seni yang cukup banyak dengan diselenggarakannya festifal seni tahunan atau Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), pameran-pameran maupun pertunjukan-pertunjukan seni yang dipertunjukan yaitu kesenian tarian, drama, dan musik. Sebagai kota seni dan budaya Yogyakarta memiliki lembaga-lembaga seni formal dan non formal yang mendidik dan mengajarkan anak didiknya menjadi seniman handal. Kegiatan non- formal merupakan kegiatan kesenian yang dilakukan oleh organisasi maupun perorangan tanpa melibatkan instansi seperti pameran seni grafis yang diadakan di art gallery, fasilitas museum, area publik, taman, dan lain-lain yang sifatnya mendidik masyarakat. Seni dapat diartikan sebagai sesuatu yang diciptakan manusia yang mengandung unsur keindahan dan merupakan suatu nilai yang menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi untuk menjelaskan gagasan, ide yang dapat juga disampaikan dengan simbolisme. Seni menurut media yang digunakan terbagi 3, yaitu (Senduk, 2013):

Upload: dinhtram

Post on 18-Sep-2018

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

1.1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

Yogyakarta dikenal sebagai kota pelajar atau kota pendidikan.

Sebutan sebagai kota pelajar yang melekat pada kota Yogyakarta

didukung oleh wilayah yang masih menjadi tujuan dalam hal menuntut

ilmu bagi kaum pelajar dan mahasiswa dari seluruh wilayah di lndonesia

dan negara sekitar (Sudaryanto, 2005; 415). Obyek wisata seni, budaya,

wisata alam dan sejarah merupakan faktor-faktor yang menjadikan Kota

Yogyakarta sebagai kota tujuan pendidikan, wisata, dan budaya.

Yogyakarta sebagai pusat kebudayaan memiliki aktivitas seni

yang cukup banyak dengan diselenggarakannya festifal seni tahunan atau

Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), pameran-pameran maupun

pertunjukan-pertunjukan seni yang dipertunjukan yaitu kesenian tarian,

drama, dan musik. Sebagai kota seni dan budaya Yogyakarta memiliki

lembaga-lembaga seni formal dan non formal yang mendidik dan

mengajarkan anak didiknya menjadi seniman handal. Kegiatan non-

formal merupakan kegiatan kesenian yang dilakukan oleh organisasi

maupun perorangan tanpa melibatkan instansi seperti pameran seni grafis

yang diadakan di art gallery, fasilitas museum, area publik, taman, dan

lain-lain yang sifatnya mendidik masyarakat.

Seni dapat diartikan sebagai sesuatu yang diciptakan manusia

yang mengandung unsur keindahan dan merupakan suatu nilai yang

menentukan apa yang pantas dikirimkan dengan ekspresi untuk

menjelaskan gagasan, ide yang dapat juga disampaikan dengan

simbolisme. Seni menurut media yang digunakan terbagi 3, yaitu

(Senduk, 2013):

2

Audio Art, seni yang dapat dinikmati melalui suara (seni

musik, sastra, pantun)

Visual Art, seni yang dapat dinikmati melalui

pengelihatan (seni lukis, poster, seni bangunan, seni gerak

beladiri, seni advertising)

Audio Visual Art, seni yang dapat dinikmati melalui

pengelihatan dan pendengaran (pertunjukan musik,

pegelaran wayang, film)

Visual art termasuk di dalamnya seni grafis digital berupa papan

iklan merupakan seni yang bertujuan untuk menjual, memasarkan produk

perusahan-perusahaan yang bertujuan untuk mengajak masyarakat ikut

berkontribusi untuk membeli atau ikut berperan di dalamnya.

Iklan mempunyai nilai kredibilitas yang tinggi sebagai data

dalam suatu rekonstruksi sejarah (Garraghan, 1957). Sebagai sebuah

medium, iklan adalah relik yang dapat digunakan sebagai bukti

rujukan infersential evidence bagi sejarawan (Sjamsuddin, 2007). Oleh

karena itu, melalui iklan dapat dipelajari sejarah peradaban suatu

masyarakat dalam suatu kurun waktu tertentu. Selain itu, melalui hasil

pengamatan terhadap iklan-iklan pada masa kolonial, jelas sekali

mencerminkan suatu identitas, melalui pendekatan bahasa visual, iklan

berperan sebagai elemen yang mampu merekfleksikan zeitgeist pada

temponya.

Akhir tahun 1929 menandai berakhirnya satu periode sejarah

Hindia Belanda, untuk masuk ke periode baru yang lebih baik (Vlekke,

2008). Periode 1930-1942 merupakan awal perekonomian masa kolonial

Hindia Belanda pulih dari pengaruh depresi ekonomi dunia, biro reklame

tumbuh dan kembali bergairah (Setiyono, 2004). Dengan

diberlakukannya kebijakan liberalisasi dan swastanisasi perekonomian

masa kolonial, secara umum telah mengakibatkan terjadinya peningkatan

3

laju pertumbuhan ekonomi dan tingkat kesejahteraan penduduk di pulau

Jawa, yang memasuki kemapanannya pada masa pemberlakuan politik

etis dan puncaknya pada tahun 1930an (Riyanto, 2000). Politik Etis

adalah suatu pemikiran yang dipelopori oleh Pieter Brooshooft

(wartawan Koran De Locomotief) dan C.Th. van Deventer (politikus).

Kalangan industrialis Belanda yang berfikiran liberal, menyambut baik

keputusan ini karena mengharapkan ekspansi pasar mereka sebagai

akibat dari meningkatnya kesejahteraan kaum sosialis dan konservatif di

Belanda, yang memandang ideologi liberal dengan ketidakpercayaan

secara kritis (W.F, 1999).

Iklan masa kolonial di Indonesia, berkembang seiring dengan

kemajuan pengetahuan terutama di bidang ekonomi dan industri. Tahun

1893 Pemerintah Hindia Belanda mendirikan percetakan negara di

Jakarta (Produkties, 1995), yang secara tidak langsung kedatangannya

membawa pengetahuan cetak-mencetak dari daratan Eropa. Beberapa

produk cetak kuno, seperti etiket/label, sampul buku/majalah, iklan koran

dan iklan yang dicetak pada enamel, beberapa artefaknya masih dapat

dilihat sekarang ini, hal ini membuktikan bahwa sejak lama di Nusantara

telah mengenal produk grafis.

Masa Kolonial

Pada masa kolonial, perjalananan dunia periklanan di Indonesia

tidak lepas dari sejarah kolonialis Belanda, yaitu suatu masa ketika

bangsa Indonesia berada di bawah kontrol penjajah Belanda. Masa

penjajahan dihitung sejak pertamakalinya Belanda membentuk

pemerintahan di Nusantara yang pada waktu itu disebut Nederland Indie,

tepatnya pada tanggal 12 Maret 1619 di Batavia (Ricklefs, 2008), setelah

sebelumnya sekelompok anggota garnisun kecil VOC menghancurkan

“kota pribumi” di Jayakarta yang ada disekitar loji dan membangun

sebuah benteng kecil (Lombard, 2003), dan berakhir hingga Belanda

4

menyerah tanpa syarat kepada tentara pendudukan Jepang pada tanggal

12 Maret 1942 di Kalijati, Subang, Jawa Barat.

Era kolonialisme adalah masa pembaratan budaya feodal agraris

tradisional, dengan agent of change para bangsawan kraton dan para

priyayi profesional, pejabat birokrasi kolonial yang dididik sekolah-

sekolah modern Belanda, dan pribumisasi kebudayaan barat modern

masyarakat elit kulit putih terutama di Jawa (Riyanto, 2000).

Selanjutnya, penerapan sistem pendidikan Barat yang telah merebak di

perkotaan semakin mempercepat lajunya proses modernisasi yang

merubah secara struktural lapisan sosial tertentu di masyarakat Jawa

awal abad ke-20, tentu saja hal ini membawa implikasi secara tidak

langsung pada gaya hidup, termasuk perubahan perilaku seksualitas.

Kenyataannya rangkaian proses perubahan-perubahan yang berkembang

telah mereduksi struktur masyarakat agraris, feodalisme, tradisional

menuju masyarakat perkotaan yang bersifat modern (Kasuma, 2006). Hal

ini tentu saja telah membawa dampak pada budaya visual jaman itu.

Sosok wanita pada dekade ini juga banyak menghiasi tampilan visual

iklan pada produk yang tidak di konsumsi wanita sekalipun, misalnya

rokok, minuman bir dan anggur.

Gambar 1. 1 Iklan rokok cap “Doro” tahun 1931

(Sumber: Buku Sejarah Periklanan Indonesia, PPPI)

5

Gambar 1.2 Iklan rokok “Marikangen” Surakarta, menggunakan model wanita pada

etiketnya, pengaruh pembaratan mendobrak kemapanan budaya timur

(Sumber: Katalog Pemran Grafis Etiket Rokok Tempo Doeloe)

Era Hindia Belanda 1930

Secara sosiohistoris (Kartodirdjo, 1993) pada abad ke 17 dan 18,

Kolonial Belanda telah menumbuhkan sistem status sosial yang

berkembang di Indonesia, khususnya di Jawa. Di Batavia, pegawai

kompeni Belanda menempati lapisan sosial teratas, kemudian di

bawahnya adalah warga merdeka (bebas), yang terdiri dari Belanda,

mestizo, dan budak-budak Kristen yang diberi hak suara. Setelah itu

lapisan atas orang Cina, penduduk Indonesia, sebagian besar adalah

orang rendahan, menempati urutan paling bawah. Sistem status ini

membentuk titik awal bagi masyarakat kolonial di Jawa pada abad

sembilan belas (W.F, 1999). Sartono Kartodirdjo membagi stratifikasi

masyarakat Hindia Belanda menjadi: elit birokrasi yang tediri dari

Pangreh Praja Eropa ( Europees Binnenland Bestuur) dan Pangreh Praja

Pribumi. Kemudian Priyayi Birokrasi termasuk priyayi ningrat, priyayi

profesional (priyayi gedhe dan priyayi cilik). Kemudian golongan

Belanda dan Indo yang secara formal masuk status Eropa, dan yang

terakhir ialah Orang Kecil (Wong Cilik) yang tinggal di kampung

(Kartodirdjo, 1993). Selo Sumardjan menambahkan satu kelompok

6

priyayi lagi yaitu mereka yang berasal dari kalangan swasta, Van Miert

menyebut mereka sebagai kaum muda yang tidak mau mengikuti jejak

orang tuanya. Mereka memilih jabatan yang merdeka sebagai dokter

praktek, guru sekolah, swasta, pengacara, atau wartawan (Miert, 2003).

Di samping struktur yang tebentuk akibat posisi resmi dalam

kepegawaian pemerintah terdapat kelompok masyarakat lain yang

terbentuk karena orientasi agamanya yaitu kaum Muslim. Sodagar

Kauman, istilah ini ditujukan masyarakat Jawa yang biasanya berprofesi

sebagai pedagang yang taat menjalankan syariat Islam (Surjomihardjo,

2008).

Sesudah tahun 1920 pertumbuhan penduduk di Hindia Belanda

berlangsung dengan cepat. Antara tahun 1920 dan 1930 pertumbuhan

penduduk pulau Jawa sekitar 17,6 per seribu jiwa. Ketika sensus tahun

1930 diadakan, penduduk Indonesia telah berjumlah 60,7 juta jiwa. Dari

jumlah itu 41,7 juta jiwa berdiam di Pulau Jawa. Berdasarkan

perhitungan pertumbuhan penduduk di Indonesia sekitar 79,4 juta jiwa.

Di Jawa jumlah penduduknya sekitar 48,4 juta jiwa, sedangkan di daerah

luar Jawa jumlah penduduknya sekitar 22 juta Jiwa

(www.indonbiu.com). Penerimaan pajak cukup besar, menurut Lance

Castles dalam bukunya berjudul “Tingkah Laku Agama, Politik dan

Ekonomi di Jawa: Industri Rokok Kudus”, pajak tembakau saja, pada

tahun 1938 mencapai Rp 1.790.000, atau 6,2 persen dari total pemasukan

pajak dan bea (Noertjahyo, 2009). Era dasawarsa ini merek pabrikan

besar mulai membangun tempat perakitan di Hindia Belanda sebagai

contoh pabrik lampu Philips, bir dan limun, industri logam seperti

Lindeteves - Stokvis yang menghasilkan lampu petromaks, alat

pertanian dan perkebunan, dan suku cadang untuk pabrik gula. Pada

tahun-tahun itu terjadi pergeseran dari industri pertanian ke arah industri

dagang yang mengarah pada sistem industri moderen (Sachari, 2007)

7

Iklan Awal Masa Kolonial

Iklan pertama kali diperkenalkan di Hindia Belanda oleh Jan

Pieterszoon Coen, Gubernur Hindia Belanda tahun 1619 hingga 1629, Ia

juga penerbit Bataviasche Nouvelle, isi iklan ialah informasi tentang

teritorial wilayah dagang VOC, semacam iklan korporat sekarang ini,

dan pengumuman-pengumuman pemerintah Hindia Belanda berkaitan

dengan perpindahan pejabat terasnya di beberapa wilayah (Setiyono,

2004). Iklan susu bubuk sudah ada di Betawi lebih dari seabad silam.

Importirnya adalah Firma L. Platon, perusahaan besar penjual makanan

dan minuman Belanda yang terkenal di Betawi. Salah satu iklannya

dapat dilhat di koran “Bintang Barat” tanggal 12 Januari 1887 dengan

lingua franca bahasa Melayu sebagai pengantar: “Pastinja soesoe jang

toelen, dibikin boeboek dari paberik soesoe Switzerland, Si Gallen”.

Selanjutnya terdapat petunjuk cara pembuatan antara lain: “Soesoe

dengen goela teboe, dalem tjamboel 160 gram, tjampoer 1 liter aer

panas, dapet 1 liter soesoe toelen, Soeda dipereksa sama dokter“.

Adapun yang dimaksud dengan “tjamboel” ialah kaleng (Betawi

Blogger).

Tahun dasawarsa tiga-puluhan merupakan era keemasan dan

kejayaan periklanan di Indonesia era penjajahan. Hampir semua barang

kebutuhan rumah tangga tersedia dan dipasarkan di kota-kota besar,

iklan yang beredar waktu itu : iklan rokok, minuman, susu, obat-obatan,

tembakau, pasta gigi, sabun, radio, lampu, sepeda sampai mobil dan

perjalaan wisata (Hermanu, 20016). Menjelang memasuki tahun empat

puluhan, dua majalah mode masing-masing “de Mode Revue” 1939

dengan penerbit N.V. Boekhandel en Drukkerij v/h H. Van Ingen-

Soerabaia, memuat iklan yang berisi artikel-artikel berkaitan dengan

mode dan juga foto-foto serta sketsa aneka mode untuk wanita dewasa

maupun anak-anak. Beberapa artikel umum lainnya, misalnya tentang

makanan, perawatan tubuh, profil orang, dan lain-lain. Semua artikelnya

8

ditulis dalam bahasa Belanda. Kondisi ini menunjukan bahwa di Hindia

Belanda pada waktu itu selain telah terjadi perubahan sosial juga telah

terjadi adanya perubahan estetis di masyarakat pribumi.

Gambar 1.3 Promosi penerbangan Dutch Lines ke Hindia Belanda

(Sumber: Lavis Flicker Documentary)

Gambar 1.4 Iklan susu Milk Maid (Sumber:Iklan Enamel 1938)

Menurut data dari Handboek of the Netherlands East Indies 1930

jumlah makanan kaleng yang diimpor dari luar negeri memiliki nilai

cukup besar. Selain makanan kaleng ada pula iklan peternakan sapi di

beberapa kota besar seperti Batavia, Bandung dan Semarang. Misalnya

9

Melkerij “Petamboeran” yang merupakan peternakan tertua dan terbesar

serta terletak di Petamboeran, Paal merah. Ada pula toko FROSCHER’S

di Batavia-Centrum yang menyediakan roti dan kue. Selain yang segar

ada pula susu dalam kaleng seperti iklan NESTLE’S MELK CO di

Batavi a -Cent rum yang menyediakan susu kalengan seperti yang kita

nikmati sekarang (Sangkelana Blogg). Masuknya produk industri

modern ke Hindia Belanda sekaligus membawa iklan sebagai penunjang

kegiatan promosi, oleh karenanya idiom yang dihadirkan sangat terasa

nuansa budaya Eropanya (Kompas, 2007).

Gambar 1.5 Produk Imoport Sabun Lux (atas)dan Sunlight (bawah) (Sumber:Iklan Enamel 1938)

10

Desainer dan Biro Iklan Masa Kolonial

Jejak “Politik Etis” sangat kuat mewarnai bahasa iklan, terutama

di majalah Kadjawen periode 1930-1940. Sejumlah iklan tak hanya

menginformasikan produk tertentu, tetapi juga berusaha “mendidik” dan

mengubah kebiasaan rakyat di tanah jajahan yang belum mengadopsi

cara hidup modern. Pendirian industri yang melibatkan pengusaha

pribumi sebagai pemilik perusahaan bermunculan, bahkan beberapa

diantaranya mengiklankan produk mereka dengan iklan yang

menggunakan idiom khas lokal.

Gambar 1.6 Hidup Sehat Dengan Merawat Gigi (Sumber:Koleksi Tempo Doloe)

11

Gambar 1.7 Idiom khas lolak ”gareng petruk”, pada iklan minuman Coklat (Sumber:Koleksi K. Atmojo: Iklan Lawas)

Iklan majalah Kadjawen tercatat sebagai salah satu majalah

dengan pemuatan iklan paling besar dibanding majalah lain. Antara lain

mempromosikan teknologi modern, seperti listrik dan mobil-otomotif

(Mrazek, 2006). Teks-teks iklan dalam majalah Kadjawen sebagian besar

menggunakan bahasa Jawa (dengan huruf Jawa dan Latin) dan bahasa

Belanda. Teks berbahasa Melayu digunakan pada produk yang

merupakan keperluan sehari-hari, seperti sabun mandi Lux, arloji Titus

dan atau obat-obatan. Majalah Kadjawen juga berisi berbagai informasi

praktis, termasuk iklan produk yang mengkampanyekan cara-cara hidup

modern bagi rakyat jajahan atau “kaum bumiputra.

12

Gambar 1.8 Planata Margarine (Sumber:Volks Almanak Melajoe)

Buku dan majalah yang telah dicetak dengan sampul berwarna,

beberapa diantaranya diterbitkan oleh percetakan besar pada waktu itu

antara lain Kolf dan Balai Pustaka. Adapun produknya meliputi buku

bacaan anak, buku pelajaran, majalah budaya, dan majalah wanita. Selain

itu muncul pula grafis untuk sampul majalah “Penghidoepan” bertahun

1931, Kemudian majalah yang lain ialah “Kawroeh” pada tahun 1932.

13

Gambar 1.9 Pendekatan melalui Bahasa Daerah (Sumber:K. Atmojo – Iklan Lawas)

Gambar 1.10 Padjoel Tjap “MAESA” (Sumber:Koleksi Tempo Doloe)

Untuk memenuhi selera dan target sasarannya, beberapa iklan

menggunakan bahasa daerah sebagai metode pendekatan agar mudah

dipahami, gambar 1.9. Tidak hanya kebutuhan rumah tanngga, alat

pertanian menjadi komoditas jual yang diiklankan, gambar 1.10.

14

Gambar 1.11 Ken Arok Babad Toemapel” (Sumber:Koleksi Tempo Doloe)

Gambar 1.12 Percampuran Budaya (Sumber:Koleksi Tempo Doloe)

Bacaan babad salah satu produk kolonial, bagian dari poliktik etis

(gambar 1.11) dan Iklan Kris Bier (gambar 1.12) menggambarkan

adanya perpaduan budaya barat dan timur.

Iklan-iklan yang bermunculan dibarengi dengan mulai berdirinya

biro iklan. Bentuk pribumisasi dalam desain grafis iklan surat kabar

dimulai sejak abad ke 20 yakni dengan tampilnya rancangan iklan yang

mengangkat khazanah visual kehidupan masyarakat lokal. Pengaruh

perupaan barat, yakni gaya art noveau atau art deco juga mulai tampak

(Setiyono, 2004). Salah satu desainer advertensi yang terkenal ialah Jan

15

Lavies (1902-2005), pemuda Belanda yang datang ke Hindia Belanda

setelah menyelesaikan studinya di Royal Academy, Belanda. Hampir

semua perusahaan besar yang mengiklankan produknya di surat kabar

Indonesia, mulai dari “Soerabaiaasch Handelsblad” sampai “D’Orient” ,

memakai jasa keahlian Lavies.

Keseriusan karya Lavies mulai dari poster pertunjukan teater

sampai iklan pelayaran mendapatkan sentuhan artistik dari

perancangnya. Ia disebut raja promosi dunia perhotelan. Logo Hotel Des

Indes Batavia, Oranje Hotel Soerabaia, Hotel Nongkodjadjar Lawang,

Hotel Homann, Grand Hotel Garoet, Hotel Toegoe Djokdja, Hotel Tjandi

Semarang, Hotel De Burr di Deli dan masih banyak lagi.

Karya klasiknya, Fly to Java, menampilkan gambar sebuah

pesawat melayang di atas Borobudur. Langit kuning, sementara stupa-

stupa Borobudur berwarna biru. Rancangan Lavies era 30an yang

bergaya naturalisme mooi indie-Indonesia nan Indah sangat terasa

mencolok pada desain rancangan Lavies, sehingga dianggap sebagai the

spirit of modern advertising (Kompas, 2007).

Gambar 1.13 Fly to Java (Sumber: Lavies Flicker Documentary)

16

Desainer advertensi yang lain ialah M. Van Meeteren Brouwer

(1882-1974), Brouwer membuat seri promosi tembakau merk Van Nelle,

dengan motto sama: Tembaco Van Nelle njang Paling Baik tapi dengan

gambar beda-beda (Tempo, 2002), dengan seting penduduk pribumi

dengan warna iklannya yang khas bernuansa sephia. Selain itu masih ada

seniman reklame profesional seperti Besten Pieter den (1894-1972),

dengan karyanya yang terkenal Van Nelle Koffie Thee dan Jongert

Jac. (1883-1942) dengan visualisasi iklan rokoknya yang berjudul Van

Nelle’s lichte shag met de Jiffy sigarettenmachine.

Gambar 1.14 Tembaco Valn Nelle (Sumber: Indonesia Cigars Tobaco-Cowe Koleksi Rokok Indie)

Van Nelle “sahabat kerja yang baik”, pendekatan sosiokultural

digunakan sebagai daya tarik visual iklan rokok.

17

Dekade itu muncul pula biro iklan Reclamebedrijt di Batavia, dan

merupakan perusahaan iklan yang sangat maju. Bukan hanya karena

ditunjang peralatan memadai, namun juga tenaga-tenaga reklame dari

Eropa. Tenaga-tenaga artisitk periklanan yang menonjol antara lain: F.

Van Bemmel, Is. Van mens dan Cor van Deutekom (Hannykardinata,

2009). Adapun klien mereka umumnya perusahaan besar seperti BPM

(Bataafche Petroleum Maatschappij) di Surabaya, serta General Motor

dan KPM (Koninklijke Pekevaart Maatschappi) di Batavia waktu itu.

Iklan dari Reclamebedrijt menyebar di berbagai surat kabar di luar

Batavia, seperti Soerabaiasch Handelsblad di Surabaya dan Semarang

(Maters, 2003).

Fenomena depresi ekonomi tahun 1930-an merupakan salah satu

tonggak penting dalam perkembangan ekonomi Indonesia di masa

kolonial. Krisis keuangan dunia pada awalnya sangat memukul industri

di wilayah Hindia Belanda, terlebih akibat banjirnya barang-barang

impor yang harganya jauh lebih murah (Wahid, 2009). Segera saja

industri reklame pada waktu itu menyambut dengan tangan terbuka,

untuk membantu penyebaran produk impor dengan serangkaian promosi

iklannya. Di antaranya ialah produk sabun mandi bayi Aunty Mays,

cerutu lisong buatan Holland bermerek Karel I, dan sepeda impor

berbagai merek dari Belanda untuk kaum pria dan wanita.

Gambar 1.15 Beda Komoditas Beda Penyajian (Sumber: Iklan Lawas)

18

Iklan masa kolonial era tahun 1930an, telah memberi kesempatan

kepada pribumi di Nusantara melihat dunia baru tentang produk barat

dan budayanya. Penggambaran figur pribumi dan idiom visual budaya

Indonesia, dimanfaatkan sebagai obyek yang menjadi daya tarik eksotik

pariwisata atau pendekatan visual dalam menawarkan produk. Dari

visualisasi relik yang ada, secara ideologis kolonial Belanda

menggunakan parameter barat, sehingga visualisasi iklan tidak jarang

menimbulkan kontradiksi terhadap budaya timur yang memunculkan

pergeseran baik etik maupun estetik. Hal ini berakibat pada penampilan

masyarakat lokal yang mulai mengadopsi nilai-nilai barat ke dalam

kehidupannya sehari-hari dalam berbudaya. Gaya desain atau style yang

ada, mensiratkan pada semangat jamannya, hal ini dapat dilihat dari

tema, teknik dan medianya atau produk dalam sajian iklan yang dibuat.

Kebudayaan kolonial Belanda yang datang memperkaya

kebudayaan Indonesia, hal itu ikut menumbuhkan kebudayaan moderen

di Indonesia, ini dapat dicermati melalui gaya hidup masyarakat dan

serapan nilai estetiknya (Soekiman, 2000). Gaya desain grafis Indies

berkembang di masa kolonial Hindia Belanda dan mengalami puncak

perkembangan artistiknya di tahun 1930-an. Gaya Desain yang

dikembangkan para perancang grafis Belanda merupakan perpaduan

antara gaya desain modern yang berkembang di Eropa awal abad ke- 20

dengan seni rupa yang merupakan produk budaya lokal. Perpaduan itu

membentuk suatu gaya indies yang menjadi sumber inspirasi bagi

kreativitas perancang desain grafis masa selanjutnya. Iklan masa kolonial

di Indonesia, berkembang seiring dengan kemajuan pengetahuan

terutama di bidang perekonomian dan industri, berunsur idiom – idiom

yang disesuaikan dengan target pasarnya. Dalam konteks fenomena

sosial dan gagasan tentang kemoderenan iklan di Indonesia kini,

tentunya tak bisa dilepaskan dari sejarah kolonialisme Hindia Belanda itu

sendiri.

19

Era Modern

Tahun 2001, Indonesia memulai suatu era baru didalam

penyelenggaraan pemerintahan melalui kebijakan otonom daerah. Dasar

hukum yang digunakan yaitu UU No. 22/1999 mengenai pemerintah

daerah, dan UU No. 25/1999 mengenai pertimbangan keuangan antara

pusat dan Daerah.

Salah satu sektor yang ditangani oleh pemerintah dalam era

otonomi daerah tersebut menangani urusan pemerintah daerah, yang

dikenal dengan istilah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dimana di dalam

nya termasuk pajak pendapatan dari reklame (Liberty,2002).

Tabel 1.1 Dasar Pertimbangan Keuangan dan Bagian Daerah menurut UU no 33 tahun 2004

(Sumber : BPS Daerah Istimewa Yogyakarta)

Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari setiap reklame yang

terpasang di setiap bahu jalan meruapakan salah satu pendapatan daerah

yang tergolong kecil jika dibandingkan dengan PAD lain yaitu hanya

20% atau 5,6 miliyar rupiah pada tahun 2014, sehingga harga yang

cukup murah membuat kuantitas dari reklame kian meningkat setiap

tahunnya. Peningkatan jumlah reklame yang terpasang di bahu jalan

20

mengakibatkan tertutupnya bangunan-bangunan di belakangnya sehingga

citra dari bentuk asli arsitektur kota Yogyakarta tidak nampak.

Peraturan daerah yang mengatur penempatan dan kuota reklame

di Yogyakarta dimana diatur dalam Peraturan Daerah Kota Yogyakarta

Nomor 8 Tahun 1998 tentang izin penyelenggaraan reklame setelah 17

tahun belum diperbaharui, maka menanggapi permasalahan terlalu

banyaknya reklame yang terpasang, pada tahun 2016 peraturan tersebut

dicabut dan digantikan dengan peraturan daerah kota Yogyakarta Nomor

2 Tahun 2015 Tentang Penyelenggaraan Reklame. (mikael,2015)

Menanggapi kesemrawutan reklame di Yogyakarta Drs. H.

Ahmad Fadli pada tahun 2011 selaku asisten pemerintahan mengatakan

bahwa “Pertimbangan lingkungan yang berkaitan dengan aspek tata

ruang kota, khususnya dari segi ketertiban, keindahan, kenyamanan,

kerapian, kesusilaan, unsur keamanan dan kepentingan pembangunan

daerah perlu diperhatikan. “Jangan sampai dengan adanya papan - papan

reklame justru merusak nilai estetika dan identitas Kota Yogyakarta.

Nanti di setiap persimpangan 4 hanya diperbolehkan ada 1 reklame”.

Pertnyataan Drs. H. Ahmad Fadli tersebut menekankan dengan adanya

pengurangan reklame yang ada di Yogyakarta dapat mengembalikan

identitas kota.

21

Gambar 1. 16 Perkembangan Jumlah wisatawan di DIY

(Sumber : RKPD DI Yogyakarta 2016)

Tabel diatas menunjukan jumlah pengunjung pariwisata

Yogyakarta lima tahun terakhir yang semakin meningkat. Ditinjau dari

potensi-potensi yang ada, peningkatan wistawan di Yogyakarta

diprediksi akan terus kian meningkat, namun dengan penempatan

rekalme liar yang menutupi bangunan-bangunan budaya peningkatan

kunjungan pariwisata ini terancam menurun.

Penanganan dalam segi peraturan yang ditetapkan belum cukup

untuk mengubah kekacauan visual di Yogyakarta, maka perlulah suatu

bangunan untuk mengedukasi dan menampung komunitas dan

masyarakat dalam pengembangan media visual dan periklanan.

1.1.2. Latar Belakang Permasalahan

Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi dengan

museum terbanyak nomor 2 setelah Jakarta yakni 43 museum dan 34

museum yang masuk barahmus yang tersebar di beberapa wilayah DIY

yakni kabupaten Bantul sebayak 6 museum, Kabupaten Gunung Kidul

sebanyak 1, Kabupaten Sleman sebanyak 11, dan Kota Yogyakarta

sebanyak 17 museum.

Museum yang memamerkan karya dan situs berupa seni rupa di

DIY berjumlah 3 museum yakni Museum Affandi, Museum

Sonobudayo, dan Museum Seni Lukis Kontemporer Indonesia Nyoman

22

Gunarsa. Seni grafis termasuk di dalamnya terdapat desain iklan

merupakan suatu yang baru dan belum pernah ada di Indonesia. Biro atau

instasi yang memamerkan karya-karya iklan dari setiap periode masih

belum mempunyai tempat pamer secara permanen.

Bangunan mempunyai citra dalam mewartakan mental dan jiwa

seperti yang dimiliki oleh pembuatnya, semakin berkembang dalam

pembangunan, semakin mendesak perhatikan segi citra itu. Citra

merupakan hal yang penting dalam tata mengatur sebuah kualitas hidup

dan kemasyarakatan maka, “kualitas, citra, filasafat yang menjadi

sumber cipta rekayasa maupun ekspresi bangunan-bangunan arsitektur

perlu semakin kita perhatikan (Mangunwijaya, 1988)”. Bangunan

museum yang memamerkan sebuah karya seni atau/dan peninggalan seni

yang baik harus memiliki citra, kualitas, filsafat, maupun ekspresi untuk

membangun emosi dan karakteristik pelaku museum.

Iklan pada masa kolonial memiliki sifat vulgar, bebas, dan

atraktif, lebih menunjukan pendekatan masyarakat melaluii gaya bahasa

dan adopsi dari budaya lain yang cepat diterima oleh masyarakat, namun

iklan memiliki kelemahan, yakni sifatnya yang tidak bertahan lama.

Gaya iklan pada masa kolonial yang bebas,ekspresif dan atraktif

merupakan sifat dasar gaya seni ekspresionis yang menampilkan segala

sesuatu apa adanya dan terbuka. Hal tersebut bisa diperkuat dari teori

(Smithies, 1982) dan para psikolog Gestalt 1987 yg menyatakan bahwa

eksprsi adalah apa yg kita lihat menurut pengaruh atau pengalaman

langsung dari kualitas persepsi manusia atau kita dalam suprasegmen

arsitektur atau secara khusus dalam mempersepsikan garis-garis, bidang,

volume ataupun massa sehingga saat manusia mengalami pengalaman

berarsitektur hal utama yg akan mereka tangkap secara visual atau

adiovisual adalah gaung antar proses neulogis (syaraf) dari pola pola

lingkungan bangunan.

23

Melalui pendekatan ini, sifat iklan pada masa kolonial ingin

kembali ditampilkan di masa sekarang, dengan kemasan yang bersifat

ekspresif tanpa ada batasan waktu.

Arsitektur ekspresionisme pertama lahir dan eksis di dunia

termasuk Indonesia pada sekitar tahun 1890-1930 bersamaan dengan

munculnya berbagai macam pergerakan seperti Art and Craft, Art

Noveau, Bauhaus, Amsterdam School, Rotterdam School, dan

sebagainya. Periode 40 tahun itu merupakan puncak sekaligus titik awal

dari arsitektur modern. Kegagalan/kemerosotan arsitektur modern terjadi

pada tahun 1950-an karena pada saat itu arsitektur telah kehilangan

identitas/ciri individual perancangnya dan beralih pada arsitektur post

modern.(Soedarso, 1990)

Berdasarkan hasil pemahaman tentang seni ekspresionis, maka

dapat disimpulkan bahwa seni ekspresionis relevan diterapkan kedalam

rancangan arsitektur masa kini, sejajar dengan arsitektur post modern,

yang mana rancangan bangunannya terjadi menurut perasaan/felling dari

perancangnya. Arsitektur ekspresionis menjamin kebebasan dari

perancang untuk mengekspresikan/menuangkan perasaannya ke dalam

rancangan bangunan baik itu perasaan senang/gembira, maupun perasaan

emosi, kesedihan, dan kemarahan seseorang. Berbagai ekspresi perasaan

tersebut membuat arsitek ekspresionis dapat menuangkan ekspresinya ke

dalam rancangan yang di mana orang lain dapat memahami akan apa

yang dirasakan si perancang terhadap obyek pameran dan lingukngan

sekitar.

Perintis aliran Ekspresionis Benedetto Croce (1866-1952)

menyatakan bahwa Seni adalah pengungkapan dari kesan-kesan (art is

expression of impresion). Menurut Croce ekspresi sama dengan intuisi.

Intuisi adalah pengetahuan intuitif yang diperoleh melalui pengkhayalan

tentang hal-hal individual yang menghasilkan gambaran angan-

24

angan/images. Ekspresionisme merupakan gerakan untuk mencapai

campuran cita-cita yang kompleks yang dicirikan sebagai irasional,

emosional dan romantik. Aliran ekspresionisme adalah aliran yang ingin

mengemukakan segala sesuatu yang bergejolak dalam jiwa maupun

karya seni baik obyek seni iklan maupun museum.

Namun rancangan arsitekur bangunan masa kini mulai

kehilangan rasa dan kurang melahirkan dampak positif bagi pengunjung

maupun kalangan masyarakat sehingga terciptanya kesan berantakan.

Perancangan museum iklan dan wadah komunitas desain grafis

dengan pendekatan arsitektur ekspresionisme memicu prespektif

pengunjung museum untuk tergerak dalam hal rasa yang diciptakan oleh

sebuah ruang dan bangunan guna mengedukasi masyarakat yang

mengunjungi museum.

1.2. Rumusan Permasalahan

Bagaimana wujud rancangan museum iklan dan wadah komunitas desain

grafis di Yogyakarta yang mampu mewadahi, mengedukasi dan menjadi sarana

hiburan masyarakat melalui bentuk dan tata ruang bangunan museum yang

mampu memicu perspektif pengunjung dengan pendekatan ekspresionisme?

1.3. Tujuan dan Sasaran

1.3.1. Tujuan

Tujuan pembahasan adalah menghasilkan rancangan Museum Iklan dan

Wadah Komunitas Desain Grafis di Daerah Istimewa Yogyakarta dengan

pengolahan bentuk dan tampilan bangunan yang mampu memicu perspektif

pengunjung melalui pendekatan konsep arsitektur ekspresionisme yang

bernuansa edukatif-rekreatif pada ruang dalam dan ruang luar melalui

pembelajaran sejarah perikalanan Indonesia di masa kolonial.

25

1.3.2. Sasaran

1. Tersusunnya kajian tata ruang dalam dan tata ruang luar museum

2. Mewadahi komunitas desain grafis di Daerah Istimewa Yogyakarta

3. Tersusunnya kajian suasana edukatif-rekreatif melalui studi

komparasi.

1.4. Manfaat

1.4.1. Secara Subyektif

Sebagai pemenuhan syarat tugas akhir jurusan Arsitektur

Fakultas Teknik Universitas Atmajaya Yogyakarta yang nantinya digunakan

sebagai pegangan dan pedoman dalam perancangan Pengemembangan

Bangunan Cagar Budaya Sebagai Museum Iklan dan Pusat Desain Grafis di

Yogyakarta.

1.4.2. Secara Obyektif

Sebagai tambahan pengetahuan dan wawasan mengenai

perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang arsitektur.

1.5. Sistematika Penulisan

BAB I : PENDAHULUAN

Berisi latar belakang pengadaan proyek, latar belakang permasalahan,

rumusan permasalahan, tujuan dan sasaran, manfaat, dan sistematika penulisan

Museum Iklan dan Wadah Komunitas Desain Grafis di Yogyakarta.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA

Berisi tentang teori-teori yang berkaitan dengan museum, dan peraturan-

peraturan daerah yang berlaku yang dijadikan sebagai acuan dalam mendesain

dengan pertimbangan-pertimbangan dari data-data yang disusun.

BAB III :TINJAUAN LOKASI

Berisi tentang teori-teori yang dijajarkan dengan keadaan lokasi tempat

perencanaan Museum Iklan dan Wadah Komunitas Desain Grafis di Yogyakarta

secara mendalam serta menganalisisi keunikan dan kelebihan tapak untuk

26

digunakan sebagai pertimbangan analisis desain .

BAB IV :TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIKAL

Menguraikan data-data dan teori ilmu pendekatan studi ekspresionisme

yang dimanfaatkan sebagai bentuk konsep Museum Iklan dan Wadah Komunitas

Desain Grafis di Yogyakarta

BAB V :ANALISIS PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Berisi analisis perencanaan yang mencakup analisis programatik, tapak,

utilitas, struktur bangunan museum dan analisis perancangan yang terkait

dengan perencanaan fungi bentuk, ruang sebagai pemicu perspektif pengunjung

serta mampu menampung komunitas desain grafis di Yogyakarta.

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

Berisi tentang dasar-dasar perencanaan dan perancangan bangunan

Museum Iklan dan Wadah Komunitas Desain Grafis di Daerah Istimewa

Yogyakarta dan kesimpulan yang didapatkan berdasarkan analisis yang telah

dilakukan pada bagian analisis perencanaan dan perancangan.

DAFTAR PUSTAKA

Berisi daftar buku acuan, literatur, artikel, majalah jurnal dan sumber

yang dituliskan berdasarkan nama, tahun judul, penerbit, kota, negara.

Kemudian dari nama penulis buku disusun berdasarkan urutan huruf alphabet.

27

1.6. Tata Langkah

BAB 1 PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

PENGADAAN PROYEK

LATAR BELAKANG

PERMASALAHAN

RUMUSAN

PERMASALAHAN

BAB II LANDASAN TEORI

BAB IV TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIKAL BAB V ANALISIS

BAB VI KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN

1.7. Keaslian Penulisan

Tidak tertatanya Reklame-reklame di Yogyakarta

Dibutuhkan pendidikan informal yang rekreatif untuk

menyadarkan masyarakat

Adanya peraturan khusus yang mengatur penempatan reklame

Potensi pengadaan proyek yang ditujukan untuk mengedukasi

masyarakat melalui museum dan pusat komunitas desain grafis

Pengadaan Museum Iklan dan Pusat komunitas desain grafis

sebagai wadah reklame yang baru tanpa menghilangkan

esensinitas gedung.

Perlunya olahan bentuk yang

melahirkan emosi seseorang pada

bangunan museum iklan.

Pengenalan kepada wisatawan

domestik maupun mancanegara

mengenai keunikan dan keindahan

Yogyakarta yang tertata rapi

Berdasarkan kegiatan

yang ada didalam

museum iklan,

kegiatan berlangsung

pada luar ruangan

dan di dalam

ruangan.

Metode yang digunakan dalam

rancangan menggunakan

metode pendekatan desain

pada Arsitektur Ekspresionis.

Permainan wujud ruang dalam

bertujuan untuk menimbulkan

emosi pada pengunjung untuk

merasakan kepadatan reklame

Desain bentuk dan tampilan musuem iklan dan wadah

komunitas desain grafis di Yogyakarta sebagai pemicu

perspektif masyarakat dengan pendekatan ekspresionis.

Bagaimana wujud rancangan museum iklan dan wadah desain grafis di

Yogyakarta yang mampu mengajak dan mengedukasi serta menghibur

masyarakat melalui bentuk dan tata ruang bangunan museum dengan pendekatan

ekspresionisme?

Teori tentang bentuk dan

tampilan museum Iklan dan

Komunitas desain grafis

Teori dan batasan perancangan

museum Teori Arsitektur

Ekspresionisme

Pengolahan suprasegmen pada bentuk dan

tampilan dengan pendekatan arsitektur

ekspresionisme.

Pengolahan arsitektur yang

bernuansa ekspresif dan rekreatif

Pengolahan Suprasegmen pada bentuk dan Tampilan yang bernuansa ekspresif dan

rekreatif dengan pendekatan arsitektur ekspresionisme.

Konsep Perancangan Taman Budaya Jawa dan Kuliner Khas Jawa di

Yogyakarta

- Konsep Pragmatik

- Konsep Penekanan Desain GAMBAR PRA RANCANGAN (GAMBAR SKEMATIK)

- Situasi, Siteplan, Denah, Tampak, Potongan

KONSEP PERENCANAAN MUSEUM

IKLAN DAN PUSAT KOMUNITAS

DESAIN GRAFIS DIY

Tinjauan

tentang

Sleman

ANALISIS PRAGMATIK

- Analisis Perencanaan

- Analisis Perancangan

BAB III

28

Berdasarkan penelusuran yang dilakukan, terdapat penulisan terkait

topik, mengenai Pengembangan Bangunan Cagar Budaya Sebagai Museum

Iklan dan Wadah Komunitas Desan Grafis di Yogyakarta yang telah dilakukan

berupa :

1. Judul : Landasan Konseptual Perencanaan dan Perancangan

Museum Seni Kontemporer di Yogyakarta.

Penulis : Tandean Jonathan Guntur

Isi : Skripsi ini membahas mengenai Perencangan Museum

Sni kontemporer di Yogyakarta. Hal ini dilatar belakangi oleh

seni yang terpengaruh dampak modernisasi. Kontemporer yang

berarti kekinian, modern atau lebih tepatnya adalah sesuatu yang

sama dengan kondisi waktu yang sama atau saat ini, jadi

senikontemporer adalah seni yang tidak terikat oleh aturan-aturan

zaman dulu danberkembang sesuai zaman sekarang, seperti pada

hal lukisan kontemporer adalahkarya yang secara tematik

merefleksikan situasi waktu yang sedang dilalui.

Bangunan Museum Seni Kontemporer di Yogyakarta dengan

pendekatan arsitektur kontemporer diharapkan mampu mewadahi

kegiatan apresisasi, edukasi, dan rekreasi bagi para seniman

mapun pengunjung, khususnya di Yogyakarta dengan

terselenggaranya kegiatan apresisasi seni kontemporer yang

dapatmeningkatkan kesadaran, pengetahuan, kualitas, dan rasa

bangga akan senikontemporer.

2. Judul : Museum Desain Grafis di Yogyakarta

Penulis : Siska Widiarsanti

Isi : Skripsi ini membahas mengenai perencanaan dan

perancangan museum Desain Grafis di Yogyakarta. Hal ini

dilatar belakangi dengan kemajuan bidang desain grafis di

Indonesia didukung dengan fasilitas yang memadai. Museum

selain sebagai tempat untukmerawat, mengoleksi, menyimpan,

dan memamerkan karya-karya desaingrafis juga merupakan

29

fasilitas pendukung pendidikan desain grafis, tempat alternatif

untuk berekreasi, dan sebagai sumber pengetahuandesain grafis

bagi masyarakat luas. Perencanaan pada museum desain grafis ini

menggunakan pendekatan arsitektur modern bergaya pop art

kemudian menyimpulkan karakter-karakter dari style yang

diaplikasikan ke bentuk facade bangunan.