bab i pendahuluan - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/472/1/bab1.pdfpraperadilan hanya...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Praperadilan dalam sistem hukum di Indonesia dimulai sejak tahun 1981,
dahulu Indonesia masih menggunakan sistem hukum warisan kolonial Belanda
yaitu Herziene Indische Reglement (HIR), boleh dikatakan bahwa Herziene
Indische Reglement sendiri tidak mengatur ketentuan mengenai praperadilan
sedangkan upaya paksa sebagai wewenang dari aparat penegak hukum
merupakan pengurangan hak asasi manusia bagi seseorang dan tidak jarang
wewenang dalam upaya paksa tersebut menimbulkan kerugian bagi seseorang
yang berimbas pada perampasan hak asasi manusia, hal ini tidak sejalan dengan
cita-cita pancasila dan UUD 1945 yang menjamin tegaknya hukum dan hak asasi
manusia, sehingga pemberlakuan Herziene Indische Reglement tidak sesuai lagi
dengan perkembangan Negara Indonesia, oleh sebab itu munculah gagasan
pembaharuan (legal reform) dalam hukum acara pidana nasional sehingga
lahirlah UU No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP) sebagai karya agung bangsa Indonesia yang menjamin
tegaknya hukum dan Hak Asasi Manusia termasuk yang utama adalah adanya
pengaturan mengenai Praperadilan sebagai mekanisme kontrol terhadap
wewenang aparat penegak hukum.
2
Sebelumnya dalam Kitab Hukum Acara Pidana disebutkan bahwa
penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan, maka hal ini
telah diubah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusan permohonan
perkara tersangka korupsi bioremediasi PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah1. MK
memutuskan bahwa Pasal 77 huruf (a) Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk
penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Jika di dalam Pasal 77 huruf (a) KUHAP mengatur kewenangan
praperadilan hanya sebatas pada sah atau tidaknya penangkapan, penahanan,
penghentian penyidikan atau penuntutan, maka melalui putusan ini MK
memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka,
penggeledahan dan penyitaan.
Selama ini penetapan status tersangka yang diberikan oleh penyidik
kepada seseorang dilekatkan tanpa batas waktu yang jelas. Akibatnya, orang
tersebut secara terpaksa menerima statusnya tanpa memiliki kesempatan untuk
menguji keabsahan penetapan itu. Pengajuan praperadilan dalam praktik banyak
di ajukan tersangka/terdakwa guna melindungi haknya dari kesewenangan
1 Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014, dikutip dari situs mahkamahkonstitusi.go.id. MK
memiliki dua pertimbangan Pertama, MK mempertimbangkan Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hokum. Kedua, mengacu pada KUHAP, Mahkcamah
Konstitusi berpandangan prinsip due process of law belum diterapkan secara utuh lantaran
KUHAP tidak mengakomodir pengujian terhadap alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai
tersangka apakah diperoleh dengan cara yang sah atau tidak.
3
penegak hukum. Praperadilan ini juga memiliki kepastian hukum yang di atur
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 1 butir
10 dan Bab X, bagian kesatu dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP.2
Menurut Pasal 1 butir 10 menyatakan “praperadilan adalah wewenang
pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini, tentang :
a. Sah atau tidaknya penangkapan dan penahan atas permintaan tersangka atau
keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka.
b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan atas permintaan
dan tegaknya keadilan
c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya
atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak dilanjutkan ke
pengadilan,”
Praperadilan telah memiliki kepastian hukum dalam melindungi hak-hak
tersangka/terdakwa dalam upaya paksa, seperti yang dinyatakan dalam pasal 77
KUHAP bahwa:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai
dengan yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a. Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara
pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
2 R. Soeparmono, Praperadilan Dan Penggabungan Perkara Ganti Kerugian Dalam
KUHAP, Mandar Maju, Bandung , 2003, hlm. 16
4
Menurut R. Soeparmono, tujuan diadakannya lembaga praperadilan
adalah demi tegaknya hukum, kepastian hukum dan perlindungan hak asasi
tersangka3. M. Yahya Harahap, bahwa tujuan praperadilan ini adalah untuk
melakukan pengawasan horizantal atas tindakan upaya paksa yang dikenakan
terhadap tersangka selama ia berada dalam pemeriksaan penyidikan atau
penuntutan, agar benar-benar tindakan itu tidak bertentangan dengan ketentuan
hukum dan undang-undang4. Pada hakikatnya praperadilan berfungsi untuk
kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hak-hak asasi
tersangka/terdakwa.
Mengacu pada Pasal 1 angka 14 KUHAP, “Tersangka adalah seorang
yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut
diduga sebagai pelaku tindak pidana”. Kapan seseorang dapat ditetapkan menjadi
tersangka? Karena ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP di atas menyaratkan
adanya “bukti permulaan”, maka kita harus melihat apa yang dimaksud dengan
bukti permulaan itu.
Bahwa KUHAP tidak menjelaskan lebih lanjut tentang apa yang
sebenarnrya dimaksud dengan “bukti permulaan”, khususnya definisi “bukti
permulaan” yang dapat digunakan sebagai dasar penetapan tersangka. Penjelasan
3 Ibid
4 M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan
Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika, Jakarta, 2006,
hlm.4
5
mengenai apa yang dimaksud dengan “bukti permulaan” hanya disinggung secara
tanggung dan tidak menyelesaikan masalah oleh KUHAP dalam penjelasan Pasal
17 KUHAP, yang berbunyi "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan
untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14.”
Karena KUHAP tidak mendefinisikan lebih lanjut mengenai apa itu “bukti
permulaan yang cukup”, khususnya yang dapat digunakan sebagai dasar
menetapkan seseorang menjadi tersangka, maka kita harus mencari definisi
tersebut dari sumber yang lain. Pada faktanya, Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjelaskan dalam Pasal 44
Ayat (2) bahwa “Bukti permulaan yang cukup dianggap telah ada apabila
ditemukan sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti, termasuk dan tidak terbatas
pada informasi atau data yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan baik
secara biasa maupun elektronik atau optik”
Pembahasan mengenai “bukti permulaan” pernah dilakukan oleh Chandra
M. Hamzah5, dalam bukunya “Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan
Yang Cukup”. Menurutnya bahwa “bukti permulaan yang cukup” berfungsi
sebagai prasyarat dilakukannya penyidikan dan penetapan tersangka dan “bukti
permulaan yang cukup” dapat terdiri atas Keterangan (dalam proses
penyelidikan), keterangan saksi (dalam proses penyidikan), keterangan ahli
5 Chandra M. Hamzah, Penjelasan Hukum Tentang Bukti Permulaan Yang Cukup, Pusat
Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Jakarta, 2014, hlm. 23
6
(dalam proses penyidikan), dan barang bukti, bukan alat bukti (dalam proses
penyelidikan dan penyidikan).
Pemilihan terminologi “barang bukti” mengacu kepada hal dimana “bukti
permulaan yang cukup” hanya dikenal dalam proses penyelidikan atau
penyidikan, dan mengacu kepada Pasal 8 Ayat (3) huruf b KUHAP, dimana
dinyatakan bahwa “dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti kepada penuntut
umum.”
Apabila kita mengacu pendapat Chandra Hamzah tersebut, maka jelas
bahwa terdapat ukuran yang objektif untuk menentukan bahwa telah terdapat
“bukti permulaan yang cukup”, yang mana ukuran tersebut dapat kita gunakan
sebagai ukuran telah terdapatnya “bukti permulaan yang cukup” untuk
menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Masuknya penetapan tersangka sebagai objek praperadilan pada dasarnya
mengundang banyak perdebatan, tidak hanya dikalangan pemerhati hukum, tapi
juga terjadi dilingkungan kehakiman seperti yang terjadi sebelum adanya putusan
Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Saat itu hakim Suko Harsono
(Pengadilan Negeri Jakarta Selatan) mengabulkan gugatan praperadilan terhadap
status penetapan tersangka dalam kasus korupsi Remediasi PT. Chevron Pasific
Indonesia, namun Mahkamah Agung membatalkan putusan tersebut dan hakim
Suko Harsono dikenai sanksi administratif karena dianggap unprofessional
7
conduct.6 Selain itu dalam perkara yang berbeda, hakim M. Razzad (Hakim
Pengadilan Jakarta Selatan) juga mengabulkan gugatan praperadilan terhadap
penetapan status tersangka oleh Ditjen Pajak dengan tersangka Toto Chandra
(Pimpinan Permata Hijau Group). Putusan tersebut bernasib sama, Mahkamah
Agung membatalkan dan hakim M. Razzad diproses oleh Komisis Yudisial (KY)
karena dianggap unprofessional conduct.7 Belakangan ini mencuak kasus
penetapan tersangka yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terhadap Calon Kapolri Budi Gunawan, dan dijukan pra peradilan di Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan. Hasilnya Hakim Sarpin (Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan) mengabulkan permohonan praperadilan penetapan status tersangka atas
nama Budi Gunawan. 3 (tiga) putusan tersebut menimbulkan polemik, antara
pihak yang mendukung putusan dengan landasan argument putusan agresif dan
contra legem dan pihak yang tidak mendukung dengan landasan argument
pelanggaran terhadap undang-undang.
Dalam kasus Budi Gunawan, mekanisme hukum yang ditempuh adalah
mekanisme praperadilan, dengan mengacu pada Pasal 77 KUHAP yang berbunyi
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan
6 Menggugat Praperadilan Penetapan Status Tersangka,
http://blogperadilan.blogspot.co.id/2015/ diangkses tanggal 27 Mei 2017. 7 ibid
8
dan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Berdasarkan pasal tersebut,
kita bisa melihat bahwa pada dasarnya, pemeriksaan sah atau tidaknya penetapan
tersangka bukanlah objek atau hal yang dapat diuji dengan mekanisme
praperadilan. Tidak dimasukkannya penetapan tersangka dalam ruang lingkup
praperadilan tidak dapat dipersalahkan menurut hukum internasional
(internationally wrongful act) yang dapat dijadikan dasar menuntut adanya
tanggung jawab negara (state responsibility). Pasal 9 International Convenant on
Civil and Political Rigt (ICCPR) menegaskan8:
1) Setiap orang berhak atas kebebasan dan keamanan pribadi. Tidak seorangpun
dapat ditangkap secara sewenang-wenang. Tidak seorangpun dapat dirampas
kebebasannya kecuali berdasarkan alasan-alasan yang sah, sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan oleh hukum.
2) Setiap orang ditangkap wajib diberitahu pada saat penangkapannya dan harus
segera mungkin diberitahu mengenai tuduhan yang dikenakan kepadanya.
3) Setiap orang yang ditahan atau berdasarkan tuduhan pidana, wajib segera
dihadapkan ke pejabat pengadilan atau pejabat lain yang diberi kewenangan
oleh hukum untuk menjalankan kekuasaan peradilan, dan berhak diadili
dalam jangka waktu yang wajar, atau dibebaskan. Bukan suatu ketentuan
8 Pendapat kedua Hakim Mahkama Konstitusi (MK) tersebut dikutip dari putusan MK
Nomor 21/PUU-XII/2014.
9
umum, bahwa orang yang menunggu diadili harus ditahan, tetapi pembebasan
dapat diberikan dengan atas dasar jaminan untuk hadir pada waktu
persidangan, pada setiap tahap pengadilan dan pada pelaksanaan putusan,
apabila diputuskan demikian.
4) Siapapun yang dirampas, kebebasannya dengan cara penangkapan,
penahanan, berhak untuk disidangkan di depan pengadilan tanpa menunda-
nunda dapat menentukan keabsahan penangkapannya dan memerintahkan
pembebasannya apabila penahanan tidak sah menurut hukum.
Indonesia hakikatnya telah mengatur substansi perlindungan terhadap hak
asasi manusia. Hal yang sama Muhammad Alim. Penetapan tersangka sebetulnya
bukanlah kewenangan praperadilan asal prosedur yang ditetapkan oleh hukum
acara pidana dilaksanakan dengan baik.9
Kemudian Budi Gunawan mengajukan praperadilan atas status tersangka
oleh Komisi Pemberantas Korupsi dan kemudian dikabulkan oleh hakim Sarpin
Rizaldi di Pegadilan Negeri Jakarta Selatan. Hakim membuat terobosan dengan
memasukan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan, dan menyatakan
penetapan Budi Gunawan tidak sah. Atas putusan tersebut menuai pro dan kontra,
ada yang setuju dan tidak setuju. Ketidak setujuan banyak pihak karena dinilai
putusan hakim Sarpin tidak sesuai dengan KUHAP, yang tidak mengatur
penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan.
9 Ibid.
10
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, Penulis tertarik
melakukan penelitian terhadap penetapan tersangka sebagai objek praperadilan
dalam kerangka penegakan hukum yang dikaitkan dengan sistem hukum pidana
di Indonesia. Namun untuk memberikan gambaran secara menyeluruh terhadap
inti daripada penelitian ini maka Penulis akan merumuskannya dalam suatu judul
penelitian yakni “Analisis Terhadap Pertimbangan Hakim Tentang
Penetapan Tersangka Sebagai Objek Praperadilan Dalam Sistem Peradilan
Pidana di Indonesia (Studi Kasus Putusan Praperadilan No.
04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel)”.
B. Masalah Pokok
Berdasarkan apa yang telah diuraikan pada latar belakang masalah diatas,
maka Penulis akan merumuskan beberapa masalah pokok dalam penelitian ini
sebagai berikut:
1. Bagaimana Pertimbangan Hakim Tentang Penetapan Tersangka Sebagai
Objek Praperadilan Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Studi Kasus
Putusan Praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel) ?
2. Bagaimana Prospektif Lingkup Praperadilan Pada Masa Mendatang ?
11
C. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian
Dari rumusan masalah dalam penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa
tujuan penelitian yang dapat penulis kemukakan sebagai berikut yaitu:
1. Untuk mengetahui pertimbangan hakim tentang penetapan tersangka sebagai
objek praperadilan dalam sistem peradilan pidana di indonesia dalam perkara
praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
2. Untuk mengetahui prospektif lingkup praperadilan pada masa mendatang.
Selain merupakan penelitian yang bertujuan untuk kepentingan ilmiah
ataupun ilmu pengetahuan, penulisan penelitian ini pada pokoknya memiliki
beberapa manfaat atau kegunaan yakni antara lain dapat penulis kemukakan
sebagai berikut:
1. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis tentang eksistensi surat
penetapan tersangka sebagai objek praperadilan dalam sistem peradilan
pidana di Indonesia.
2. Memberikan pemahaman bagi penulis tentang apa saja yang termasuk
kedalam objek pemeriksaan praperadilan dan norma-norma maupun
perangkat hukum yang mengaturnya dalam sistem hukum pidana di
Indonesia.
3. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan
hukum pada umumnya dan hukum pidana pada khususnya tentang kajian
12
ilmiah terhadap eksistensi maupun kedudukan sah atau tidak sahnya
penetapan tersangka dalam sistem hukum pidana di Indonesia.
4. Diharapkan hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai referensi
dibidang karya ilmiah serta bahan masukan bagi penelitian sejenis dimasa
yang akan datang.
5. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan dan mengembangkan
kemampuan Penulis dalam bidang hukum khususnya dalam penerapan di
instansi penegak hukum.
D. Kerangka Teori
1. Praperadilan dan Perkembangannya di Indonesia.
Kebebasan dan kemerdekaan adalah suatu hak istimewa dan harus
dipertahankan oleh setiap warga negara. Jaminan akan hak-hak ini tidaklah dapat
hanya diberikan dengan kata-kata atau janji-janji saja namun haruslah dituangkan
ke dalam suatu bentuk, apakah itu amandemen, undang-undang, resolusi, maupun
dalam peraturan-peraturan. Lahirnya KUHAP didasarkan pada dua alasan, yaitu
alasan untuk menciptakan suatu ke tentuan yang dapat mendukung
terselenggaranya suatu peradilan pidana yang adil (fair trial) dan alasan adanya
urgensi untuk menggantikan produk hukum acara yang bersifat kolonialistik
sebagaimana yang tercantum dalam Herziene Inlandsch Reglement atau HIR.
Pedoman pelaksanaan KUHAP menjelaskan bahwa HIR sebagai produk dari
13
badan legislatif kolonial belum memberikan jaminan dan perlindungan yang
cukup terhadap hak asasi manusia. Dengan pertimbangan tersebut maka KUHAP
sebagai produk hukum nasional telah merumuskan ketentuan yang lebih baik dari
HIR.10
Ketentuan-ketentuan itu seperti dicantumkannya pengaturan tentang hak-
hak tersangka dan terdakwa, adanya bantuan hukum pada semua tingkatan
pemeriksaan, persyaratan dan pembatasan terhadap upaya paksa penangkapan
atau penahanan, pengajuan jenis-jenis upaya hukum yang lebih lengkap sampai
dengan tingkat yang paling akhir serta adanya bentuk pengawasan terhadap
pelaksanaan putusan merupakan hal-hal yang sebelumnya tidak diatur dalam
HIR.11
Disamping pemikiran-pemikiran ingin melakukan pembaharuan mengenai
hak-hak asasi manusia, maka keinginan-keinginan untuk melakukan koreksi
terhadap pelaksanaan hukum juga mendapat perhatian tersendiri, terutama di
bidang proses pidana, bahwa penegakkan dan pelaksanaan hukum harus
memenuhi kebutuhan masyarakat dan perasaan keadilan. Dalam rangka
melaksanakan pembaharuan terhadap bidang hukum acara pidana, kemudian
berkembang pemikiran bahwa tindakan koreksi terhadap penegak hukum seperti
polisi, jaksa, dan lain-lain dalam bentuk penertiban yang melakukan
10
Departemen Kehakiman, Keputusan Menteri Kehakiman tentang Pedoman Pelaksanaan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Kepmen Kehakiman No. M.01.07.03 TH.1982. 11
ibid
14
penyelewengan, penyalahgunaan wewenang serta perbuatan-perbuatan lain harus
dilakukan secara maksimal, agar penegakkan hukum berlangsung dengan tepat
dan oleh karenanya diarahkan kedalam bentuk pengawasan vertikal yaitu ”bulit
in control” dan pengawasan horizontal. Pelanggaran-pelanggaran hak asasi
manusia lebih banyak terjadi karena penggunaan kekuasaan yang sewenang-
wenang dalam hal ini antara lain muncul dalam bentuk penahanan penahanan
yang tidak tepat atau illegal arrest.12
Disadari bahwa diperlukan tindakan-tindakan tertentu dimana suatu
tindakan akan melanggar hak asasi seseorang, yakni tindakan upaya paksa yang
diperlukan bagi suatu penyidikan sehingga dapat menghadapkan seseorang
kedepan pengadilan karena didakwa telah melakukan tindak pidana, akan tetapi
bagaimanapun juga upaya paksa yang dilaksanakan tersebut akan menuruti aturan
yang telah ditentukan dalam undang-undang sehingga bagi seorang yang
disangka atau didakwa telah melakukan suatu tindak pidana, mengetahui dengan
jelas hak-hak mereka dan sejauh mana wewenang dari para petugas penegak
hukum yang akan melaksanakan upaya paksa tersebut, dimana tindakan tersebut
akan mengurangi hak asasinya.13
Di Indonesia sendiri, Undang-Undang Dasar 1945 sebagai sumber dari
segala sumber hukum yang berlaku di negara ini telah menjamin adanya
12
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan
Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hlm. 68 13
Ibid, hlm. 82
15
pengakuan dan perlindungan atas hak asasi manusia. Salah satu realisasi adanya
jaminan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia tercermin pada beberapa
pasal seperti yang terdapat dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman:
Pasal 7
Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan,
penggeledahan, dan penyitaan, kecuali atas perintah tertulis dari
kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang. 14
Pasal 8
Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan
di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan
pengadilan, yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh
kekuatan hukum tetap. 15
Pasal 9
1) Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai
orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti
kerugian dan rehabilitasi.
2) Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
3) Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi
dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.16
Asas-asas hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tersirat juga dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981.
Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya untuk kepentingan
pemeriksaan acara pidana, oleh undang-undang diberi kewenangan untuk
14
Pasal 7 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. 15
Ibid, Pasal 8. 16
Ibid, Pasal 9.
16
melakukan tindakan tindakan berupa upaya paksa yang pada prinsipnya
merupakan pengurangan pengurangan hak asasi manusia. Upaya paksa tersebut
harus mentaati ketentuan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan sehingga seseorang yang disangka atau didakwa telah melakukan
tindak pidana mengetahui dengan jelas hak-hak mereka dan sejauh mana
wewenang dari para petugas penegak hukum yang akan melaksanakan upaya
paksa tersebut.17
Seorang aparat dalam menjalankan kewajibannya sebagai penegak hukum
tidak terlepas dari kemungkinan untuk berbuat tidak sesuai dengan ketentuan
undang-undang yang berlaku, sehingga perbuatan yang dilakukan dengan tujuan
untuk kepentingan pemeriksaan demi terciptanya keadilan dan ketertiban
masyarakat justru mengakibatkan kerugian bagi tersangka, keluarga tersangka,
atau pihak ketiga yang berkepentingan. Oleh karena itu, untuk menjamin
perlindungan terhadap hak asasi manusia dan agar aparatur negara menjalankan
tugasnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan maka KUHAP mengatur
suatu lembaga yang dinamakan praperadilan.
Lembaga praperadilan terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam Habeas
Corpus. Hal ini diterangkan oleh Adnan Buyung Nasution selaku penggagas awal
dari praperadilan: “Munculnya lembaga praperadilan didalam Undang-undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
17
Loebby Loqman, Pra-Peradilan di Indonesia, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1987, hlm. 10
17
(KUHAP) terinspirasi oleh prinsip-prinsip dalam habeas corpus dari sistem
Anglo Saxon yang memberikan hak sekaligus jaminan fundamental kepada
seorang tersangka untuk melakukan tuntutan ataupun gugatan terhadap pejabat
(polisi atau jaksa) yang menahannya agar membuktikan bahwa penahanan itu
benar-benar sah dan tidak melanggar hak asasi manusia.”18
Lahirnya lembaga praperadilan ini dikarenakan adanya dorongan bahwa
tidak terdapatnya pengawasan dan penilaian upaya paksa yang menjamin hak
asasi manusia didalam HIR, yang dibentuk dengan berorientasi atas kekuasaan
pada zaman penjajahan kolonial Belanda. Praperadilan, pada prinsipnya,
bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas segala tindakan upaya
paksa yang dilakukan aparat penegak hukum untuk kepentingan pemeriksaan
perkara pidana agar benar benar tindakan tersebut tidak bertentangan dengan
peraturan hukum dan perundang undangan, disamping adanya pengawasan intern
dalam perangkat aparat itu sendiri. Hadirnya praperadilan bukan merupakan
lembaga peradilan tersendiri, tetapi hanya merupakan pemberian wewenang dan
fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri yang
telah ada selama ini.
Pada umumnya pemeriksaan di sidang Pengadilan di bidang hukum acara
pidana merupakan pemeriksaan mengenai perkara pokok dalam artian
18
Adnan Buyung Nasution, Praperadilan VS Hakim Komisaris : Beberapa Pemikiran
Mengenai Keberadaan Keduanya, http://www.legalitas.org/content/pra-peradilan- vs -hakim-
komisaris-beberapa-pemikiran-mengenai-keberadaan - keduanya, diakses tanggal 25 Mei 2017
18
pemeriksaan untuk membuktikan dakwaan Penuntut Umum. Kalau kita teliti
istilah yang dipergunakan oleh KUHAP ”praperadilan” maka maksud dan
artinya secara harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, atau mendahului, berarti
”praperadilan” sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang Pengadilan (sebelum
memeriksa pokok dakwaan Penuntut Umum).
Di Eropa dikenal lembaga semacam ini, tetapi fungsinya memang benar-
benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Jadi fungsi Hakim Komisaris
(Rechter commisaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Prancis
benar-benar dapat disebut Praperadilan, karena selain menentukan sah tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan
atas suatu perkara. Misalnya penuntut umum di Belanda dapat meminta pendapat
hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus itu pantas dikesampingkan
dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan
mengganti kerugian antara korban dengan pelaku tindak pidana) ataukah tidak.
Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris itu, namun wewenang
praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutus apakah penangkapan atau
penahanan sah ataukah tidak. Apakah penghentian penyidikan atau penuntutan
sah ataukah tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah ataukah tidak. Menurut
Oemar Seno Adji, lembaga rechter commisaris (hakim yang memimpin
pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di
Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk
19
menangani upaya paksa (dwangmiddelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan
badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat.19
Menurut KUHAP Indonesia, praperadilan tidak mempunyai wewenang
seluas itu. Hakim komisaris selain misalnya berwenang untuk menilai sah
tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga sah atau
tidaknya suatu penyitaan yang dilakukan oleh jaksa.
Selain itu kalau Hakim Komisaris di negeri Belanda melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas jaksa, kemudian jaksa melakukan hal
yang sama terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia
melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Begitu juga judge d’
Instruction di Prancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan
pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat-alat bukti yang lain. Ia
dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah, dan tempat-tempat tertentu,
melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah
pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan rampung, ia menentukan apakah suatu
perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan ataukah tidak. Kalau
cukup alasan ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman
yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan ia akan
membebaskan tersangka dengan ordonace de non lieu. Namun demikian menurut
Lintong Oloan Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction,
19
Oemar Seno Adji, Hukum, Hakim Pidana, Erlangga, Jakarta, 1980, hlm. 88.
20
hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani
olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan
pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi di bawah perintah dan petunjuk-
petunjuk jaksa.20
Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan
melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan
tidak melakukan penggeledahan, penyitaan dan seterusnya yang bersifat
pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup
alasan ataukah tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan.
Penentuan diteruskan ataukah tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa
penuntut umum.
Praperadilan merupakan salah satu lembaga baru yang diperkenalkan
sejak adanya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) di tengah-
tengah kehidupan penegakan hukum. Praperadilan dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ditempatkan dalam Bab X, Bagian
Kesatu, sebagai salah satu bagian ruang lingkup wewenang mengadili bagi
Pengadilan Negeri.
Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, Praperadilan bukan
lembaga pengadilan yang berdiri sendiri, bukan pula sebagai instansi tingkat
20
Lintong Oloan Siahaan, Jalanya Peradilan Prancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita,
Ghalia Indonesia, Jakarta, 1981, hlm. 92 - 94.
21
peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus
peristiwa pidana. Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan
eksistensinya :
a) Berada dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri,
dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat
Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari
Pengadilan Negeri;
b) Dengan demikian, Praperadilan bukan berada di luar atau disamping
maupun sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan
divisi dari Pengadilan Negeri;
c) Administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan
dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri;
d) Tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial
Pengadilan Negeri itu sendiri.21
Dari gambaran diatas, eksistensi dan kehadiran Praperadilan bukan
merupakan lembaga tersendiri. Tetapi hanya merupakan pemberian wewenang
dan fungsi baru yang dilimpahkan KUHAP kepada setiap pengadilan negeri,
sebagai wewenang dan fungsi tambahan Pengadilan Negeri yang telah ada
selama ini.
Selama ini wewenang dan fungsi Pengadilan Negeri mengadili dan
memutus perkara pidana dan perkara perdata sebagai tugas pokok, maka terhadap
tugas pokok tadi diberi tugas tambahan untuk menilai sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penyitaan, penghentian penyidikan atau penghentian
penuntutan yang dilakukan penyidik atau penuntut umum yang wewenang
21
M. Yahya Harahap, Op.,cit, hlm. 1
22
pemeriksaannya diberikan kepada Praperadilan. Hal tersebut terlihat dalam Pasal
1 butir 10 KUHAP yang menegaskan Praperadilan adalah wewenang Pengadilan
Negeri untuk memeriksa dan memutus :
a) Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
b) Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
c) Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Kehadiran praperadilan dalam melindungi hak-hak tersangka/terdakwa
dalam upaya paksa juga dipertegas ditegaskan dalam pasal 77 KUHAP bahwa:
“Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan
yang diatur dalam Undang-Undang ini tentang:
a) Sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan.
b) Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.”
Praperadilan hanya suatu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya berada
dan merupakan kesatuan yang melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai
lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai
satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri, dengan demikian,
Praperadilan bukan berada di luar atau disamping maupun sejajar dengan
Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri,
23
administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan
Pengadilan Negeri dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan
pembinaan Ketua Pengadilan Negeri, tata laksana fungsi yustisialnya merupakan
bagian dari fungsi yustisial.22
Lebih lanjut Ratna Nurul Alfiah mengatakan bahwa praperadilan
merupakan bagian dari pengadilan negeri yang melakukan fungsi pengawasan
terutama dalam hal dilakukan upaya paksa terhadap tersangka oleh penyidik atau
penuntut umum. Pengawasan yang dimaksud adalah pengawasan bagaimana
seorang aparat penegak hukum melaksan akan wewenang yang ada padanya
sesui dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada, sehingga aparat
penegak hukum tidak sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya.
Sementara itu, bagi tersangka, atau keluarganya sebagai akibat dari tindakan
menyimpang yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melaksanakan
tugasnya, ia berhak mendapat ganti kerugian dan rehabilitasi.23
Menurut Wahyu Efendi, yang dikutip oleh S.Tanusubroto, kehadiran
Praperadilan ini memberikan peringatan:24
a) Agar penegak hukum hati-hati dalam melakukan hukumnya dan setiap tindakan hukum harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku, dalam arti ia harus mampu menahan diri serta mejauhkan diri dari tindakan sewenang-wenang
22
S. Tanusubroto, Peranan Prapeeradilan Dalam Hukum Acara Pidana, Alumni, Bandung.
1982, hlm. 10 23
Ratna Nurul Alfiah, Praperadilan dan Ruang Lingkupnya, CV. Akademika Presindo,
Jakarta, 1986, hlm . 75 24
S. Tanusubroto, Op.,cit, hlm. 2
24
b) Ganti kerugian dan rehabilitasi merupakan upaya untuk melindungi warga Negara yang diduga melakukan kejahatan yang ternyata tanpa didukung dengan bukti-bukti yang meyakinkan sebagai akibat dari sikap dan perlakuan dari pengak hukum yang tidak mengindahkan prinsip-prinsip hak asasi manusia.
c) Hakim dalam menentukan ganti kerugian harus memperhitungkan dan mempertimbangkan dengan seksama, baik untuk kepentingan orang yang dirugikan maupun dari sudut kemampuan finansial pemerintah, dalam memenuhi dan melaksanakan keputusan itu
d) Dengan rehabilitasi, maka orang tersebut telah dipulihkan haknnya sesuai dengan keadaan semula yang diduga telah melakukan kejahaatan.
e) Kejujuran yang telah dijiwai KUHAP harus diimbangi dengan integritas dan dedikasi oleh aparat penegak hukum karena tanpa adanya keseimbangan itu semuanya akan sia-sia belaka.
Titik berat perhatian pemeriksaan Praperadilan dimulai untuk menentukan
apakah petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanakan pemeriksaan apakah
petugas telah melaksanakan atau tidak melaksanaan pemeriksaan terhadap
tersangka sesuai dengan undang-undang atau apakah petugas telah melaksanakan
perintah jabatan yang diwenangkan atau tidak. Selain itu, tindakan sewenang-
wenang yang menyebabkan kekeliruan dalam penerapan hukum yang
mengakibatkan kerugian dan hak asasi tersangka menjadi kurang terlindungi.
Bila memperhatikan objek praperadilan yang diatur dalam KUHAP,
sebelumnya penetapan tersangka tidak termasuk ke dalam ranah praperadilan,
akan tetapi pada perkembangannya hal ini telah diubah oleh Mahkamah
Konstitusi melalui putusan permohonan perkara tersangka korupsi bioremediasi
PT Chevron Bachtiar Abdul Fatah (Putusan MK No. 21/PUU-XII/2014), dimana
MK memutuskan Pasal 77 huruf (a) UU Nomor 8 tahun 1981 bertentangan
25
dengan UUD Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan
tersangka, penggeledahan dan penyitaan. Jika di dalam Pasal 77 huruf (a)
KUHAP mengatur kewenangan praperadilan hanya sebatas pada sah atau
tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penuntutan,
maka melalui putusan ini MK memperluas ranah praperadilan termasuk sah atau
tidaknya penetapan tersangka, penggeledahan dan penyitaan.
Perubahan objek praperadilan yang saat ini semakin luas yakni dengan
memasukkan penetapan tersangka untuk pertama kalinya setelah keluarnya
putusan Mahkamah Konstitusi terjadi saat Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, Sarpin Rizaldi mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan
atas penetapan dirinya sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam putusannya hakim Sarpin menegaskan penetapan tersangka sebagai objek
praperadilan. Secara eksplisit Penetapan tersangka tak disebut sama sekali baik
dalam Pasal 77 KUHAP maupun dalam Pasal 1 angka 10, dan 95 KUHAP,
sehingga putusan Sarpin memantik perdebatan dikalangan pakar ilmu hukum.
2. Sistem Peradilan Pidana
Pengertian sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro
adalah adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga
kepolisian. kejaksaan, pengadilan dan permasyarakatan terpidana.25
25
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan
Dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi), Fakultas Hukum Unversitas Indonesia,
Jakarta, 1993, hlm.1
26
Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice
system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi kejahatan.26
Menanggulangi diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada dalam
batas-batas toleransi masyarakat. Pengendalian kejahatan agar masih dalam batas
toleransi masyarakat tidak berarti memberikan toleransi terhadap suatu tindak
kejahatan tertentu atau membiarkannya untuk terjadi. Toleransi tersebut sebagai
suatu kesadaran bahwa kejahatan akan tetap ada selama masih ada manusia di
dalam masyarakat. Jadi, dimana ada masyarakat pasti tetap akan ada kejahatan.
Muladi memberikan pengertian sistem peradilan pidana yaitu suatu
jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana
utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum
pelaksanaan pidana.27
Namun demikian kelembagaan substansial ini harus dilihat
dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila
dilandasi hanya untuk kepentingan kepastian hukum saja akan membawa kepada
ketidakadilan.
Sedangkan Remington dan Ohlin mengartikan sistem peradilan pidana
sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan
pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi
26
Romli Atmasasmita, Op.,cit, hlm. 15 27
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, 1995, hlm. 18
27
antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau
tingkah laku sosial.28
Adapun tujuan sistem peradilan pidana menurut Mardjono Reksodiputro
adalah :29
a) Mencegah masyarakat menjadi objek/korban.
b) Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakan dan yang bersalah dipidana.
c) Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi kejahatannya.
Secara konkrit tujuan peradilan pidana adalah untuk memutuskan apakah
seseorang bersalah atau tidak. Peradilan pidana dilakukan dengan prosedur yang
diikat oleh aturan-aturan ketat tentang pembuktian yang mencakup semua batas-
batas konstitusional dan berakhir pada proses pemeriksaan di pengadilan.
Berbeda halnya dengan tujuan hukum acara pidana yang tertuang dalam pedoman
pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa
tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau setidak-
tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-
lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara
pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang
28
Romli Atmasmita, Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) Perspektif Eksistensialisme Dan Abolisionalisme, Penerbit Bina Cipta, Jakarta, 1996,
hlm. 14 29
Ibid, hlm. 15
28
dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya
meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah
terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang
didakwakan itu dapat dipersalahkan. Dan fungsi dari hukum acara pidana adalah
mendapatkan kebenaran materiil, putusan Hakim, dan pelaksanaan putusan
Hakim.30
Berkaitan dengan tujuan peradilan pidana ini, Harry C. Bredmeire
memandang bahwa tugas pengadilan adalah untuk membuat suatu putusan yang
akan mencegah konflik dan gangguan terciptanya suatu kerjasama, dalam hal ini
untuk mewujudkan tugasnya itu pengadilan membutuhkan tiga masukan (input),
yaitu :
1) Pengadilan membutuhkan suatu analisis tentang hubungan sebab akibat
antara hal-hal yang diputus dengan kemungkinan-kemungkinan yang akan
diderita akibat dari putusan tersebut.
2) Pengadilan membutuhkan evaluasi tuntutan-tuntutan yang saling
bertentangan dan mengantisipasi efek-efek dari suatu putusan.
3) Pengadilan membutuhkan suatu kemauan para pihak untuk menggunakan
pengadilan untuk penyelesaian konflik.31
30
Yulies Tina Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 83 31
Achmad Ali, Sosiologi Hukum : Kajian Empiris Terhadap Pengadilan, BP Iblam, Jakarta,
2004, hlm. 12-14.
29
Sedangkan Muladi, membagi tujuan dari sistem peradilan pidana ke
dalam beberapa tujuan yaitu sebagai berikut:32
a) Tujuan jangka pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana.
Tujuan jangka pendek lebih diarahkan kepada pelaku tindak pidana
dan mereka yang berpotensi melakukan kejahatan, yaitu diharapkan pelaku
sadar akan perbuatannya sehingga tidak melakukan kejahatan lagi, demikian
pula orang lain tidak melakukan kejahatan sehingga kejahatan semakin
berkurang.
b) Tujuan jangka menengah berupa pencegahan kejahatan.
Tujuan jangka menengah adalah terwujudnya suasana tertib, aman dan
damai di dalam masyarakat. Tentu tujuan menengah ini akan dapat tercapai
jika tujuan jangka pendek tercapai sebab tidak mungkin akan tercipta rasa
aman dan damai di masyarakat jika kejahatan masih tetap terjadi
c) Tujuan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial
Sementara tujuan jangka panjang sistem peradilan pidana adalah
terciptanya tingkat kesejahteraan yang menyeluruh di kalangan masyarakat.
Tujuan ini adalah konsekuensi dari tujuan jangka pendek dan menengah,
sehingga keberhasilannya juga tergantung pada tujuan-tujuan sebelumnya.
32
Rusli Muhammad, Sistem Peradilan Pidana Indoensia, UII Press, Yogyakarta, 2011, hlm.
3-4.
30
Barda Nawawi Arif berpendapat sistem peradilan pidana pada hakikatnya
identik dengan sistem penegakan hukum pidana. Sistem penegakan hukum pada
dasarnya merupakan sistem kekuasaan/kewenangan menegakkan hukum ini dapat
diidentikan dengan istilah kekuasaan kehakiman33
. Karenanya sistem peradilan
pidana pada hakekatnya juga identik dengan sistem kekuasaan kehakiman
dibidang hukum pidana yang diwujudkan dalam empat sub sistem, yaitu :
1. Kekuasaan penyidikan oleh lembaga penyidik;
2. Kekuasaan penuntutan oleh lembaga penuntut umum;
3. Kekuasaan mengadili/menjatuhkan putusan oleh badan peradilan; dan
4. Kekuasaan pelaksanaan hukum pidana oleh aparat pelaksana eksekusi.
Keempat subsistem di atas merupakan satu kesatuan penegakan hukum
pidana yang integral atau sering disebut dengan istilah sistem peradilan pidana,
oleh karena itu maka kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh empat lembaga.
Proses persidangan juga merupakan salah satu tahap terpenting dalam
keseluruhan sistem peradilan. Dalam perkara pidana, tata cara penegakan hukum
dimulai sejak penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan. Apabila
rangkaian proses itu terlambat dapat dipastikan hasil akhir juga bermasalah.
Dalam praktek selama ini ditemukan adanya sumber utama dalam mekanisme
penegakan hukum, yaitu:34
33
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana
Terpadu, BP Universitas Diponegoro, Semarang, 2007, hlm. 19, 20, 26 34
Moh. Hatta, Sistem Peradilan Pidana Terpadu, Galang Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 63
31
1. Sumber perundang-undangan;
2. Berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM);
3. Budaya Hukum;
4. Alasan Subjektif.
3. Kewenangan Hakim Dalam Memutus Perkara
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa untuk membatasi dan
melindungi kepentingan-kepentingan manusia dalam pergaulan antar manusia,
pada hakekatnya merupakan tugas hukum35
. Hukum berfungsi sebagai
perlindungan kepentingan manusia. Agar kepentingan manusia terlindungi,
hukum harus dilaksanakan36
dalam artian hukum harus ditegakkan.
Hakim dalam hal ini merupakan pengemban tugas dan kewajiban untuk
menyelidiki apakah perbuatan-perbuatan yang benar terjadi itu sungguh sesuai
dengan kaidah hukum yang disusun secara teoritis.37
Kepada hakim dikemukakan kejadian atau fact; hakim harus menyelidiki
apakah facts itu adalah sesuai dengan uraian teoritis yang dinyatakan dalam
kaidah hukum tersebut. Dengan demikian dapatlah diketahui bahwa hakim harus
selalu memberikan keputusan didalam suatu hal (sengketa) khusus diantara dua
35
Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta,
2008.hlm. 147 36
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum, Suatu Pengantar, Liberty Yogyakarta,
Yogyakarta, 1999, hlm. 145. 37
Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 147
32
pihak.38
Salah satu kewajiban hakim adalah memberikan putusan yang seadil-
adilnya demi kepentingan masyarakat dan juga demi terwujudnya kepastian
hukum, sehingga dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi
masyarakat. Dengan demikian berusaha untuk mencapai sasaran dari pada tujuan
hukum yang sebenarnya, baik dalam hal memberikan keadilan, kepastian hukum
dan kemanfaatan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Sejak awal perkembangan teori dan filsafat hukum terutama sejak adanya
ajaran cita hukum (idee des recht) yang dikembangkan oleh Radbruch
sebagaimana dinyatakan juga oleh Sudikno Mertokusumo39
, menyebutkan ada 3
(tiga) unsur yang harus diperhatikan dalam proses penegakan hukum, yaitu:
kepastian hukum (rechtssicherheit), keadilan (gerechtigkeit) dan kemanfaatan
(zweckmassigkeit). Cita hukum tersebut merupakan satu kesatuan, tidak bisa
dipisahkan satu persatu, ketiganya harus diusahakan ada dalam setiap aturan
hukum. 40
Tiga unsur cita hukum tersebut harus diwujudkan dalam masyarakat.
Kendatipun ketiganya selalu ada dan mendasari dalam kehidupan masyarakat,
tetapi tidak berarti bahwa ketiganya selalu berada dalam keadaan dan hubungan
yang harmonis. Dalam menegakkan hukum harus diusahakan ada kompromi
38
Ibid 39
Sudikno Mertokusumo, 1999, Loc.cit. 40
Fence M. Wantu, Peranan Hakim Dalam Mewujudkan Nilai Kepastian Hukum, Keadilan
dan Kemanfaatan Diperadilan Perdata, Desertasi, Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta, 2011, hlm. 6
33
antara ketiga unsur tersebut, tetapi dalam praktik tidak selalu mudah
mengusahakan kompromi secara seimbang antara kepastian hukum, keadilan dan
kemanfaatan, sehingga seringkali mengalami kesulitan dalam mencapai tujuan
sebenarnya dari hukum.
Hukum hanya dapat mencapai tujuannya apabila dapat menyeimbangkan
antara kepastian hukum dan keadilan atau keserasian antara kepastian yang
bersifat umum atau obyektif dan penerapan keadilan secara khusus yang bersifat
subyektif.41
Sedangkan maksud tujuan hukum itu sendiri adalah menghendaki
kerukunan dan perdamaian dalam pergaulan hidup bersama.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kepastian memiliki arti
“ketentuan; ketetapan” sedangkan jika kata kepastian itu digabungkan dengan
kata hukum menjadi “kepastian hukum” memiliki arti “perangkat hukum” suatu
negara yang mampu menjamin hak dan kewajiban setiap warga negara.”42
Tema kepastian hukum sendiri, secara historis, merupakan tema yang
muncul semenjak gagasan tentang pemisahan kekuasaan dinyatakan oleh
Montesquieu, bahwa dengan adanya pemisahan kekuasaan, maka tugas
penciptaan undang-undang itu ditangan pembentuk undang-undang, sedangkan
hakim (peradilan) hanya bertugas menyuarakan isi undang-undang saja.43
41
Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 18 42
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2008, hlm. 1028 43
E.Fernando M. Manullang, Menggapai Hukum Berkeadilan, Tinjauan Hukum Kodrat dan
Antinomi Nilai, Kompas, Jakarta, 2007, hlm. 92-93
34
Radbruch memberi pendapat yang cukup mendasar mengenai kepastian
hukum. Ada 4 (empat) hal yang berhubungan dengan makna kepastian
hukum. Pertama, bahwa hukum itu positif yakni perundang-undangan.
Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang
ditetapkan itu pasti. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan
dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam
pemaknaan, disamping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif
tidak boleh mudah berubah. 44
Sementara Van Apeldoorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya
kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua warga
masyarakat termasuk konsekuensi-konsekuensi hukumnya. Kepastian hukum
dapat juga berarti hal yang dapat ditentukan dari hukum, dalam hal-hal yang
konkret.45
Nilai kepastian hukum mempunyai relasi yang erat dengan instrument
hukum yang positif dan peranan negara dalam mengaktualisasikannya dalam
hukum positif.
Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum sesuai
dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan bahwa hukum
dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum ditaati dan dilaksanakan.
Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam
keadaan tertentu.46
Alasan yang mendasar, bahwa masyarakat mengharapkan adanya
kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih
44
Ibid.,hlm. 7 45
Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum (terjemahan dari Inleiding Tot de Studi Van Het
Nederlndse Recht oleh Oetarid Sadino). Pradnya Paramita, Jakarta, 1990, hlm. 24-25. 46
Sudikno Mertokusumo, 1999, Loc.cit.
35
tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan untuk
ketertiban umum. Berdasarkan hal tersebut kepastian hukum dapat dimaknai
yakni: Pertama, adanya kejelasan hukum itu sendiri. Kedua, hukum itu tidak
menimbulkan keraguan atau multi tafsir. Ketiga, hukum itu tidak menimbulkan
dan mengakibatkan kontradiktif. Keempat, hukum itu dapat dilaksanakan.
Kepastian hukum oleh setiap orang dapat terwujud dengan ditetapkannya
hukum dalam hal terjadi peristiwa konkret. Hukum yang berlaku pada dasarnya
tidak boleh menyimpang, hal ini dikenal juga dengan istilah “fiat justitia et pereat
mundus” (meskipun dunia ini runtuh hukum harus ditegakkan).
Sedangkan unsur kedua yaitu keadilan, memiliki sejarah pemikiran yang
panjang karena merupakan tema utama dalam hukum semenjak masa Yunani
Kuno. Hendry Cambel Black dalam bukunya “Black’s Law Dictionary”
mengatakan:
Keadilan sebagai pembagian yang konstan dan terus menerus untuk
memberikan hak setiap orang. The constant and perpetual disposition to
render every man his due. 47
Menurut Plato, keadilan adalah kemampuan memperlakukan setiap orang
sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan keadilan merupakan nilai
kebajikan yang tertinggi (justice is the supreme virtue which harmonization all
ather virtues). Selain itu Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan
47
Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 9
36
untuk semua yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral,
bukan hanya diukur dari tindakan dan motif manusia.
Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut supaya tiap-
tiap perkara harus ditimbang tersendiri: ius suum cuique tribuere.48
Akan tetapi
kenyataannya kepentingan perseorangan dan kepentingan golongan selalu
bertentangan. Pertentangan kepentingan ini selalu akan menyebabkan pertikaian.
Selanjutnya Aristoteles dalam tulisannya “Rhetorica” mengajarkan
adanya dua macam keadilan yakni keadilan distributief dan keadilan
commutatief.49
Keadilan ditributief ialah keadilan yang memberikan kepada tiap-
tiap orang jatah menurut jasanya. Keadilan distributief tidak menuntut supaya
tiap-tiap orang mendapat bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan,
melainkan kesebandingan. Dalam praktik keadilan distributief dapat dilihat dalam
hubungan antara masyarakat dengan negara dan dengan perseorangan khusus.
Dalam hal ini adalah asas kesebandingan seperti dalam hukum perdata, antara
lain pasal 647 dan pasal 662 BW.
Keadilan commutatief ialah keadilan yang memberikan pada setiap orang
sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Keadilan
commutatief dalam praktiknya dapat dilihat dalam kegiatan tukar menukar, pada
pertukaran barang dan jasa, dimana sebanyak mungkin harus terdapat persamaan
48
Van Apeldoorn, Op.cit, hlm. 13 49
Sudarsono, Pengantar Ilmu Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta, 2007, hlm. 51
37
antara apa yang dipertukarkan. Jadi lebih menguasai hubungan antara
perseorangan.
Thomas Aquinas membangun teori keadilan dengan bertolak pada asumsi
bahwa setiap orang memiliki integritas. Integritas diwujudkan melalui aktualisasi
kesetaraan (equality) hak yang dimiliki. Sedangkan Roscoe Pound melihat
keadilan dalam hasil-hasil konkret yang bisa diberikannya kepada masyarakat.50
Selanjutnya Jhon Rawls memberikan pandangannya yakni untuk
mencapai suatu keadilan, disyaratkan sekaligus adanya unsur keadilan yang
substantive (justice) yang mengacu kepada hasil dan unsur keadilan procedural
(fairness). Atas dasar demikian muncullah istilah yang digunakan Rawls yakni
justice as fairness, meskipun dari istilah justice as fairness tersebut mengandung
arti bahwa unsur fairness mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya.
Apabila unsur fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan
demikian unsur fairness atau keadilan procedural sangat erat hubungannya
dengan keadilan substantive (justice).51
Keadilan merupakan salah satu hal yang harus diwujudkan oleh
pengadilan. Berbagai pendapat ahli hukum menyatakan hukum salah satunya
adalah memberikan keadilan bagi masyarakat siapa saja. Keadilan merupakan
50
E.Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 98 51
Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 10
38
bagian yang tidak terpisahkan dari hukum itu sendiri. Hukum pada dasarnya
berintikan keadilan.
Hans Kelsen dalam bukunya General Theory, mengatakan bahwa hukum
yang dipisahkan dari keadilan adalah hukum positif.52
Sedangkan Soedjono
Dirdjo Sisworo memberi pemikiran tentang hukum dan keadilan, yaitu:
Hukum menghendaki perlakuan yang sama untuk semua orang, serta
diaturnya dalam ketentuan hukum, inilah yang dinamakan persamaan hak.
Persamaan hak ini berdasarkan suatu asas yang luhur, yang sebenarnya
tidak termasuk dalam lapangan hukum, tetapi dilapangan etika. Asas yang
luhur itu ialah keadilan. Persamaan hak yang timbul dari prinsip keadilan,
mengandung pengertian bahwa untuk hal-hal yang bersamaan, berlaku
pula peraturan-peraturan yang sama, yang bersamaan dalam peristiwa-
peristiwa itu mendapat perlakuan yang sama, dan hal-hal yang tidak
bersamaan, memperoleh perlakuan yang berbeda-beda, setimpal dari
penyimpangan dari keadaan yang normal.53
Selanjutnya unsur ketiga yaitu kemanfaatan, Radbruch mengatakan
bahwa hukum adalah segala yang berguna bagi rakyat.54
Sebagai bagian dari cita
hukum (idée des recht), keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap
yaitu kemanfaatan. Kemanfaatan berkembang pada penganut aliran “utilistis”
seperti Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf Von Jhering. Mereka
berpendapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk membahagiakan
kehidupan manusia. Hukum yang baik menurut aliran ini adalah hukum yang
dapat mendatangkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi masyarakat.
52
Jimly Asshiddiqie dan M. Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Sekretariat
Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 16 53
Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 12-13 54
Fence M. Wantu, Op.cit, hlm. 12
39
Bentham menyatakan pada hakikatnya manusia akan bertindak untuk
mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi
penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan sebagai kebebasan untuk
mengemukakan diri dalam membela hak-hak asasi manusia itu sendiri.
Dalam kaitan lain, Bentham berpendapat bahwa pembentuk undang-
undang hendaknya dapat melahirkan undang-undang yang dapat
memberikan kebahagiaan yang sebesar-besarnya bagi sebesar-besar
jumlah individu dalam masyarakat. (the greatest happiness of the greatest
number). 55
Sementara Jhon Stuart Mill mengkaitkan lebih jauh hubungan antara
unsur kemanfaatan dan unsur keadilan. Mill berpendapat bahwa: standar keadilan
harus didasarkan pada unsur kemanfaatan, tetapi sumber kesadaran keadilan itu
bukan terletak pada keadilan, melainkan pada 2 (dua) hal yaitu rangsangan untuk
mempertahankan diri dan rasa simpati. Sumber keadilan terletak pada naluri
manusia untuk menolak atau membalas kerusakan yang dideritanya, baik oleh
diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang lain. Secara
garis besar pendapat Mill lebih bersifat menyempurnakan gagasan dari Bentham.
Mill mengkaitkan kebahagiaan perorangan dengan keharusan untuk menciptakan
kebahagiaan manusia seharusnya.56
Sementara menurut Sudikno Mertokusumo, masyarakat mengharapkan
manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk
manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus
memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru
karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam
masyarakat.57
55
Ibid. 56
Ibid.,hlm. 13 57
Sudikno Mertokusumo, 1999, Op.cit, hlm. 145-146
40
Pendapat Mertokusumo tersebut dapat dimaknai bahwa dalam
menegakkan hukum, ketiga unsur cita hukum tersebut memang harus mendapat
perhatian secara proporsional seimbang.
Memandang kepastian hukum dan keadilan, seperti memandang dua sisi
mata uang, karena keduanya harus ada, jika keadaan yang damai hendak dicapai.
Misalnya, sebuah keadilan tidak dapat digapai, apabila kepastian tidak dipenuhi,
karena subyek hukum tertentu dapat dihukum tanpa memerhatikan terlebih
dahulu, apakah tindakan yang dianggap sebagai suatu pelanggaran atau
kejahatan, memang merupakan suatu delik. Dengan kata lain, apakah sebelumnya
sudah dipastikan terlebih dahulu , bahwa tindakan pelanggaran atau kejahatan.itu
merupakan rumusan delik? Jika hal tersebut belum dirumuskan, maka
penghukuman terhadap tindak pelanggaran atau kejahatan dapat dikategorikan
sebagai kesewenang-wenangan, yang pada prinsipnya menghilangkan nilai
keadilan.58
Apa yang pasti dalam hukum, belum tentu memberikan keadilan. Begitu
pula sebaliknya, apabila keadilan saja yang dipenuhi, tanpa memerhatikan apakah
hal itu memberikan kepastian hukum, juga dapat menghancurkan nilai keadilan
itu sendiri. Hakim dapat menyatakan bahwa keputusannya adil, namun apabila
putusannya itu diambil tanpa dasar hukum yang pasti, apakah hal itu dapat
diterima, sehingga apa yang diputuskan sungguh-sungguh dapat
58
E. Fernando M. Manullang, Op.cit, hlm. 102
41
dipertanggungjawabkan? Apa yang adil, jika tidak berdasarkan pada suatu
kepastian hukum, pada akhirnya tidak bernilai adil. Jadi mengedepankan nilai
keadilan saja, belum tentu akan secara otomatis memberikan kepastian hukum.59
Menanggapi unsur kepastian dan keadilan tersebut, Soedjono Dirdjosisworo60
,
dalam bukunya “Pengantar Ilmu Hukum” berpendapat:
Kepastian hukum (yang senantiasa hendak melihat sifat-sifat umum
dalam tiap-tiap hal), menurut asasnya berlawanan dengan keadilan (yang
senantiasa melihat sifat-sifat khusus dalam tiap-tiap hal). Kepastian
hukum adalah syarat mutlak bila dikehendaki supaya hukum dapat
menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiknya, keadilan dijadikan
pedoman bagi kebenaran isi hukum. Kedua-duanya (kepastian dan
keadilan) bertentangan satu sama lain, serta menerbitkan perselisihan
yang tak dapat dihilangkan. Akan tetapi kedua-duanya dibutuhkan, agar
hukum dapat menyelenggarakan tugasnya dengan baik serta dapat
mencapai maksudnya.
Soedjono Dirdjosisworo melakukan pertimbangan dengan menanggapi
persoalan tersebut sebagai berikut:
Karena bukankah: keadilan yang dipegang terus menerus menuntut
supaya tiap-tiap hal senantiasa ditinjau dan dipertimbangkan sendiri-
sendiri. Hal ini berarti, bahwa bilamana tiap-tiap orang harus mendapat
sebanyak-banyaknya apa yang patut diperolehnya, maka hukum itu
selamanya terjerumus dalam penyelidikan perkara-perkara bagian yang
kurang penting, soal-soal detail. Akibatnya ialah bahwa hukum tak dapat
menarik garis-garis besar, tak dapat menyusun peraturan-peraturan umum.
Dan bilamana demikian halnya maka hukum tidak dapat juga
menjalankan tugasnya dengan baik, karena hal yang demikian hanya
mendatangkan kerugian bagi kepastian hukum dan kurang pandangan-
pandangan objektif didalamnya.61
59
Ibid.,hlm. 102-103 60
Soedjono Dirdjosisworo, Op.cit, hlm. 15 61
Ibid.,hlm. 14
42
Hukum yang pasti, seharusnya juga adil, dan hukum yang adil, juga
seharusnya memberikan kepastian hukum. Disinilah kedua nilai itu mengalami
situasi yang antinomis, karena menurut derajat tertentu, nilai-nilai kepastian dan
keadilan, harus mampu memberikan kepastian terhadap hak tiap orang secara
adil, tetapi juga harus memberikan manfaat dari padanya.62
Kemanfataan hukum sebagai unsur ketiga mutlak diperlukan, mengingat
hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai karena
justru hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan didalam
masyarakat. Unsur kemanfaatan hukum ini memiliki esensi filosofis yang amat
mendalam., yaitu karena hukum ditujukan kepada manusia maka harus
memberikan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi kehidupan manusia atau dalam
pernyataan yang lebih tegas menyebutkan: bahwa esensi hukum untuk
(menghamba) manusia, bukan sebaliknya manusia untuk hukum. Jelaslah bahwa
penegakan hukum diperlukan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan
sebagai sebagai hal yang mutlak diperlukan. Jika hal dipenuhi, maka hukum
dapat mencapai tujuan yang sebenarnya.
62
E.Fernando M. Manullang, Op.cit. hlm. 103
43
E. Konsep Operasional
Guna menghindari terjadinya salah penafsiran dalam penelitian ini, maka
penulis merasa perlu membatasi istilah-istilah yang berkenaan dengan judul
penelitian. Adapun batasan-batasan istilah judul tersebut adalah sebagai berikut:
1. Eksistensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
keberadaan.63
2. Penetapan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat diartikan
sebagai perbuatan menetapkan.64
3. Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya,
berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.65
4. Praperadilan adalah suatu proses persidangan tersendiri yang berlangsung
sebelum pokok perkaranya diperiksa atau disidangkan, dengan kata lain
Praperadilan dapat diartikan sebagai sidang pendahuluan yang merupakan
forum untuk menguji sah atau tidaknya upaya paksa atau penggunaan
wewenang yang digunakan oleh aparat penegak hukum.66
63
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Gramdia Pustaka, Jakarta, 2008, hlm. 378 64
Ibid, hlm. 1357. 65
KUHP & KUHAP, Permata Press, 2007, hlm. 195 66
Hartono, Penyidikan dan Penegakan Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 80
44
5. Penegakan Hukum adalah merupakan sebuah mekanisme untuk
merealisasikan kehendak pembuat Perundang-Undangan yang dirumuskan
dalam produk hukum tertentu.67
6. Sistem sebagaimana disebutkan Satjipto Rahardjo adalah sebagai jenis satuan,
yang mempunyai tatanan tertentu. Tatanan tertentu ini menunjukan kepada
suatu struktur yang tersusun dari bagian-bagian. Beliau juga memaknai sistem
sebagai suatu rencana, metode atau prosedur untuk mengerjakan sesuatu.68
7. Sistem peradilan pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri
dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga
Permasyarakatan terpidana.69
Dikemukakan pula bahwa sistem peradilan
pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
menanggulangi kejahatan.70
67
Satjipto Raharjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung, Sinar
Biru, 2005, hlm. 24. 68
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hlm. 48 69
Mardjono Reksodiputro, Op.,cit, hlm. 1 70
Romli Atmasasmita, Op.,cit, hlm. 15
45
F. Metode Penelitian
Sebelum membahas mengenai hal-hal yang berhubungan dengan metode
penelitian yang dipakai dalam penulisan tesis ini, terlebih dahulu penulis
paparkan pengertian dari penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki
dalam bukunya “Penelitian Hukum” memberikan pengertian penelitian hukum
sebagai berikut:
“Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum,
prinsip-prinsip hukum maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu
hukum yang dihadapi.”71
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu hukum yang timbul. Hasil yang dicapai adalah untuk
memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu yang
diajukan.72
Pada keilmuan yang bersifat deskriptif jawaban yang
diharapkan didalam penelitian hukum adalah true atau false, sedangkan
jawaban yang diharapkan dalam penelitian hukum adalah right,
oppropriate, inappropriate, atau wrong. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa hasil yang diperoleh didalam penelitian hukum sudah
mengandung nilai.73
Sedangka Soerjono Soekanto memberikan pengertian penelitian hukum
sebagai kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan
pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari sesuatu atau
beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisisnya. Disamping
itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap faktor hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas
permasalahan-permasalahan yang timbul didalam gejala yang
bersangkutan.”74
Penelitian hukum secara umum dapat dibagi menjadi 2 (dua) yaitu
penelitian hukum normatif (doctrinal research) dan penelitian hukum survey
71
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2010, hlm. 35 72
Ibid.,hlm. 41 73
Ibid.,hlm. 35 74
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm. 18.
46
(observational research). Menurut Soerjono Soekanto penelitian hukum normatif
adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau
data sekunder belaka, yang kesemuanya merupakan penelitian yang mencakup
penelitian terhadap:
a. Penelitian terhadap asas-asas hukum, yaitu bertitik tolak dari bidang-bidang
tata hukum (tertulis) tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih
dahulu terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam
perundang-undangan tertentu.
b. Penelitian terhadap sistematika hukum, dapat dilakukan terhadap perundang-
undangan tertentu ataupun hukum tercatat, yakni bertujuan untuk
mengadakan identifikasi terhadap pengertian-pengertian pokok/dasar dalam
hukum.
c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, yaitu meneliti
sejauh manakah hukum positif tertulis yang ada serasi. Hal itu dapat ditinjau
secara vertikal, yakni apakah perundang-undangan yang berlaku bagi suatu
bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan, apabila dilihat dari sudut
hierarki perundang-undangan tersebut. Sedangkan secara horizontal maka
yang ditinjau adalah perundang-undangan yang sederajat yang mengatur
bidang yang sama. .75
75
Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2009, hlm. 14
47
Sedangkan penelitian hukun survey atau penelitian hukum empiris adalah
sebuah metode penelitian hukum yang berupaya untuk melihat hukum dalam
artian yang nyata atau dapat dikatakan melihat, meneliti bagaimana bekerjanya
hukum di masyarakat, atau dengan kata lain penelitian yang mengambil sampel
dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data
yang pokok76
Dari penjelasan definisi maupun pembagian penelitian hukum
sebagaimana tersebut diatas, maka dapat dijelaskan metode penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
Sesuai dengan judul maupun rumusan masalah yang penulis angkat
sebagai objek kajian dalam penelitian, maka penyusunan penelitian hukum ini
lebih kepada metode penelitian dengan jenis penelitian hukum normatif
(normative law research).
Sedangkan untuk mengetahui sifat dari pada penelitian ini, maka untuk itu
penulis terlebih dahulu akan mengutip pendapat Sugiono yang mengomentari
tentang sifat penelitian dalam kaitannya dengan metode suatu penelitian.
Pendapat tersebut menyatakan sebagai berikut:
Metode deskriptif analitis menurut Sugiono adalah adalah suatu metode
yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap
76
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survai, LP3ES, Jakarta, 1989,
hlm.3
48
obyek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul
sebagaimana adanya tanpa melakukan analisis dan membuat kesimpulan
yang berlaku untuk umum. Dengan kata lain penelitian deskriptif analitis
mengambil masalah atau memusatkan perhatian kepada masalah-masalah
sebagaimana adanya saat penelitian dilaksanakan hasil penelitian yang
kemudian diolah dan dianalisis untuk diambil kesimpulannya.77
Dari penjelasan diatas, maka penulisan penelitian ini bersifat deskriptif
analitis. Dalam hal ini penulis mempelajari data sekunder yang berkaitan dengan
norma-norma hukum tentang praperadilan secara umum dan penetapan tersangka
sebagai objek praperadilan dalam sistem peradilan pidana.
Berdasarkan sifat keilmuan ilmu hukum, Jan Gijssels dan Mark van
Hoecke dalam bukunya membagi ilmu hukum dalam tiga lapisan yaitu,
rechtsdogmatiek (Dogmatik Hukum), rechtsteorie (Teori Hukum), dan
rechtsfilosie (Filsafat Hukum). Akan tetapi kedua penulis tersebut kemudian
menegaskan bahwa hanya dua disiplin yang murni ilmu hukum, yaitu dogmatik
hukum dan teori hukum. Selanjutnya mereka menyatakan bahwa filsafat hukum
sebagaimana sosiologi hukum, psikologi hukum, sejarah hukum, logika hukum
termasuk kedalam disiplin induknya, yaitu filsafat, sosiologi, psikologi, sejarah
dan logika.78
Berdasarkan hal tersebut, penulisan penelitian hukum ini tidak lain
merupakan penelitian dalam lapisan rechtsdogmatiek (Dogmatik Hukum),
rechtsteorie (Teori Hukum).
77
Sugiyono, Metode Penelitian Bisnis (Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D),
Alfabeta, Bandung, 2009, hlm. 29 78
Peter Mahmud Marzuki, Op.,cit, hlm. 25
49
Pada kenyataannya, ilmu hukum mempunyai dua aspek, yaitu aspek
praktis dan aspek teoritis. Mengingat hal itu penelitian hukum dapat dibedakan
menjadi penelitian untuk keperluan praktis dan penelitian untuk kajian
akademis.79
Dalam hal ini penulisan penelitian hukum yang penulis buat adalah
untuk kajian akademis yaitu berupa karya akademis dalam bentuk Tesis.
2. Data dan Sumber Data
Penelitian ini menggunakan data sekunder.80
Adapun data sekunder yang
digunakan adalah terdiri dari:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mempunyai kekuatan
mengikat secara yuridis, yaitu :
1) Undang-Undang Dasar 1945
2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
3) Putusan Praperadilan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014.
b. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum
primer yang berfungsi untuk menambah atau memperkuat dan memberikan
79
Ibid. 80
Ibid.,hlm. 15
50
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yaitu semua dokumen yang
merupakan sumber informasi dan bahan referensi berupa hasil-hasil
penelitian dan buku-buku hukum yang berkaitan dengan objek penelitian.
c. Bahan Non Hukum
Merupakan bahan non hukum yang dapat memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder antara
lain berupa kamus bahasa, ensiklopedia dan lain sebagainya.
3. Analisis Data
Langkah yang pertama kali dilakukan oleh penulis yaitu mengumpulkan
data dari bahan hukum primer, lalu selanjutnya penulis mempelajari serta
mengelompokkan data tersebut dan kemudian data dianalisis secara kualitatif
yaitu dengan cara mendiskripsikan/menggambarkan data berupa ketentuan
peraturan perundang-undangan kemudian membandingkannya dengan pendapat
para ahli hukum serta mengaitkannya dengan kenyataan yang umumnya terjadi
dalam praktek hukum di Indonesia. Tahapan analisis dimulai dari pengumpulan
data, pengolahan data, dan terakhir penyajian data81
. Adapun penarikan
kesimpulan adalah dengan cara induktif, yaitu penarikan kesimpulan dari hal
yang khusus ke pada hal yang umum.82
81
Pedoman Penulisan Tesis Program Magister Ilmu Hukum, Universitas Islam Riau,
Pekanbaru, 2015, hlm. 13 82
Ibid, hlm. 13
51
A. Saran
1. Dalam mengadili suatu perkara hakim harus bersikap progresif, futuristik, dan
berani melakukan penemuan hukum (rechtsvinding). Namun dalam
melakukan penemuan hukum terhadap suatu perkara, hakim harus teliti
mempelajari dan memahami nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat
sehingga putusan tersebut tidak dianggap melanggar kode etik. Hakim juga
harus menjalankan sidang dari awal sampai akhir secara independen (tidak
ada konflik kepentingan dan/atau intervensi dari pihak mana pun) dan harus
sesuai prosedur hukum.
2. Pembaharuan Hukum Acara Pidana kita boleh dikatakan belum mendapat
perhatian khusus dari pembuat undang-undang, buktinya sampai saat ini kita
masih memakai Kitab-Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang tidak lagi
sesuai dengan perkembangan kemajuan masyarakat. Sehingga seharusnya
perlu dilakukan perubahan untuk menciptakan penegakan hukum yang dicita-
citakan oleh masyarakat.