alasan penghapus pidana dan penuntutan dan gugurnya menjalani pidanaolehprof.marcus

21
1 ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA Marcus Priyo Gunarto Kitab Undang-undang Hukum Pidana selain menetapkan perbuatan yang diancam dengan pidana juga menetapkan beberapa perbuatan yang mengurangi pidana (Pasal 47 diubah berdasar Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 53 ayat (2) (3), pasal 57 ayat (1) (2); yang memberatkan pidana ( Pasal 52, 63-71 KUHP) dan yang mengecualikan dari ancaman pidana. Pada kesempatan ini yang akan dibicarakan adalah hal yang terakhir, yaitu menyangkut perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi tidak dipidana, meliputi alasan penghapus pidana, alasan penghapus penuntutan dan gugurnya menjalani pidana. I. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (strafuitsluitingsgronden). Selain istilah alasan penghapus pidana, didalam literatur ada yang menyebut dengan istilah dasar-dasar penghapus pidana. Keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan pidana tidak dipidana ada yang terletak: di dalam Undang-Undang; dan di luar Undang-Undang. Keadaan yang mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan pidana tidak dipidana yang terletak di dalam Undang-Undang dapat dijelaskan melalui pendapat Memorie van Toelichting (MvT), Ilmu Pengetahuan, atau doktrin dalam hukum pidana. A. Alasan Penghapus Pidana Yang Terletak Didalam Undang – Undang Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan KUHP Belanda mengenai alasan penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut "alasan-alasan tidak dapat di pertanggungawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang"di dasarkan pada dua hal yaitu : Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid), dan Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uit wendige oorzaken van ontoerekenbaarheid). Termasuk alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang ialah karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit sebagaimana dimaksud pada Pasal 44, dan alasan karena umur yang masih muda, sedangkan alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu adalah keadaaan-keadaan yang dimuat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51, yaitu daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan perintah UU, dan melaksanakan perintah jabatan. Di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak Iagi merupakan alasan penghapus pidana 1 . Alasan penghapus pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu alasan penghapus pidana yang umum dan alasan penghapus pidana yang khusus. 1 Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, hlm. 138.

Upload: antragama-ewa-abbas

Post on 06-Feb-2016

60 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

frdgtdfg

TRANSCRIPT

Page 1: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

1

ALASAN PENGHAPUS PIDANA, ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN DAN GUGURNYA MENJALANI PIDANA

Marcus Priyo Gunarto

Kitab Undang-undang Hukum Pidana selain menetapkan perbuatan yang diancam dengan pidana juga menetapkan beberapa perbuatan yang mengurangi pidana (Pasal 47 diubah berdasar Pasal 81 UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, Pasal 53 ayat (2) (3), pasal 57 ayat (1) (2); yang memberatkan pidana ( Pasal 52, 63-71 KUHP) dan yang mengecualikan dari ancaman pidana. Pada kesempatan ini yang akan dibicarakan adalah hal yang terakhir, yaitu menyangkut perbuatan yang mencocoki rumusan delik, tetapi tidak dipidana, meliputi alasan penghapus pidana, alasan penghapus penuntutan dan gugurnya menjalani pidana.

I. ALASAN PENGHAPUS PIDANA (strafuitsluitingsgronden).

Selain istilah alasan penghapus pidana, didalam literatur ada yang menyebut dengan istilah dasar-dasar penghapus pidana. Keadaan-keadaan yang menyebabkan suatu perbuatan pidana tidak dipidana ada yang terletak:

di dalam Undang-Undang; dan

di luar Undang-Undang.

Keadaan yang mengakibatkan seseorang melakukan perbuatan pidana tidak dipidana yang terletak di dalam Undang-Undang dapat dijelaskan melalui pendapat Memorie van Toelichting (MvT), Ilmu Pengetahuan, atau doktrin dalam hukum pidana.

A. Alasan Penghapus Pidana Yang Terletak Didalam Undang – Undang

Memorie van Toelichting (MvT) atau risalah penjelasan KUHP Belanda mengenai alasan penghapus pidana, mengemukakan apa yang disebut "alasan-alasan tidak dapat di pertanggungawabkannya seseorang atau alasan-alasan tidak dapat dipidananya seseorang"di dasarkan pada dua hal yaitu :

Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang itu (inwendige oorzaken van ontoerekenbaarheid), dan

Alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu (uit wendige oorzaken van ontoerekenbaarheid).

Termasuk alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak pada diri orang ialah karena pertumbuhan jiwa yang tidak sempurna atau terganggu karena sakit sebagaimana dimaksud pada Pasal 44, dan alasan karena umur yang masih muda, sedangkan alasan tidak dapat dipertanggung-jawabkannya seseorang yang terletak di luar orang itu adalah keadaaan-keadaan yang dimuat pada Pasal 48 sampai dengan Pasal 51, yaitu daya paksa, pembelaan terpaksa, melaksanakan perintah UU, dan melaksanakan perintah jabatan. Di negeri Belanda sejak tahun 1905 tidak Iagi merupakan alasan penghapus pidana1.

Alasan penghapus pidana berdasarkan ilmu pengetahuan hukum pidana dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu alasan penghapus pidana yang umum dan alasan penghapus pidana yang khusus.

1 Soedarto, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang, hlm. 138.

Page 2: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

2

Alasan penghapus pidana yang umum merupakan alasan penghapus pidana yang berlaku untuk tiap-tiap delik pada umumnya sebagaimana disebut dalam pasal 44, 48 s/d 51 KUHP; sedangkan

Alasan penghapus pidana yang khusus, merupakan alasan yang hanya berlaku untuk delik- delik tertentu saja, seperti misalnya pasal 166 KUHP, Pasal 221 ayat 2 dan Pasal Pasal 310 ayat (3).

Pasal 166 KUHP menentukan bahwa "Ketentuan-ketentuan pasal 164 dan 165 KUHP tidak berlaku pada orang yang karena pemberitahuan itu mendapat bahaya untuk dituntut sendiri dst ...........................berarti pasal ini mengecualikan keadaan sebagaimana ditentukan Pasal 164 (mengetahui ada permufakatan jahat) dan Pasal 165 (mengetahui ada niat melakukan perbuatan 104, 106-108, dst).

Demikian pula ketentuan Pasal 221 ayat 2, yaitu perbuatan “ menyimpan orang melakukan kejahatan ………………….” Disini tidak dituntut jika ia hendak menghindarkan penuntutan terhadap istri, suami, dan orang-orang yang masih mempunyai hubungan darah.

Pasal 310 ayat (3) yang menentukan bahwa tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, bila perbuatan itu dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri.

Selain pembedaan menurut MvT dan Ilmu pengetahuan, berdasarkan doktrin juga dibedakan alasan penghapus pidana menurut sifatnya, yaitu karena adanya alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan karena alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden). Menurut Sudarto pembedaan ini sejalan dengan pembedaan antara dapat dipidananya perbuatan dan dapat dipidananya pembuat2.

Alasan pembenar menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meskipun perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik. Oleh karena sifat melawan hukumnya perbuatan dihapuskan, maka si pembuat tidak dapat dipidana. Kalau tidak ada unsure melawan hukum maka tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pembenar yang terdapat dalam K.U.H,P. ialah pasal 49 ayat 1 (pembelaan terpaksa), pasal 50 (melaksanakan peraturan undang-undang dan pasal 51 ayat 1 (melaksanakan perintah jabatan).

Alasan pemaaf menyangkut pribadi si-pembuat, dalam arti si-pembuat tidak dapat dicela, dengan perkataan lain si-pembuat tidak dapat dipersalahkan, atau tidak dapat dipertanggung jawabkan, meskipun perbuatannya bersifat melawan hukum. Dengan demikian di sini ada alasan yang menghapuskan kesalahan si-pembuat, sehingga tidak mungkin ada pemidanaan. Alasan pemaaf yang terdapat dalam KU.H.P ialah pasal 44 (tidak mampu bertanggung-jawab), pasal 49 ayat 2 (noodweer exces), pasal 51 ayat 2 (dengan iktikad baik melaksanakan perintah jabatan yang tidak sah).

Adapun mengenai pasal 48 (daya paksa) ada dua kemungkinan, dapat merupakan alasan pembenar dan dapat pula merupakan alasan pemaaf.

Alasan penghapus pidana menurut Van Hamel dibedakan antara alasan yang menghapus sifat melawan hukum (rechtvaardigingsgronden) dan alasan yang menghapus sifat dapat dipidana (strafwaardigheiduitsluiten), namun pembagian itu tidak banyak dianut3. Para

2 Ibid, hlm. 139. 3 Bambang Purnomo , azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm. 193.

Page 3: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

3

penulis hukum pidana lebih banyak mengikuti pendapat VOS yang membedakan kedalam alasan pembenar (rechtvaardigingsgronden) dan alasan pemaaf (schulduitsluitingsgronden).

Berturut-turut dalam sub bab alasan penghapus pidana ini akan dibicarakan pasal 44, 48, 49, 50 dan 51 KUHP.

a. Tidak Mampu Bertanggung Jawab (Pasal 44).

Tidak mampu bertanggung jawab datur pada Pasal 44. Disitu ditentukan bahwa tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung-jawabkan kepadanya karena kurang sempurna akal/jiwanya atau terganggu karena sakit. Mv.T sebagaimana telah disebut di muka menyebutkan “tak dapat dipertanggung-jawabkan karena sebab yang terletak di dalam diri si-pembuat”.

Apa yang d iatur dalam pasal tersebut juga merupakan sikap dari KUHP terhadap mampu bertanggungjawab, akan tetapi KUHP tidak menyatakan dengan tegas apa yang dimaksudkan dengan mampu bertanggungjawab. Dalam pasal tersebut KUHP hanya menyatakan secara negatif, kapan seseorang tidak dapat dipertanggungjawabkan terhadap perbuatannja. Pasal 44 sama sekali tidak memberikan pengertian kemampuan bertanggungjawab.

Pasal 44 tersebut mempunyai syarat bahwa harus ada hubungan kausal antara perbuatan yang dilakukan dengan cacat pertumbuhan/ penyakit jiwa yang diderita o leh pembuat. Sampai saat ini hubungan kausal dengan penyakit jiwa ini menimbulkan persoalan karena ada berbagai penyakit jiwa dan sifat-sifatnya dalam ilmu psikiatri4. Sehubungan dengan jenis-jenis penyakit jiwa itu didalam praktek ada beberapa jenis penyakit jiwa yang penderitanya hanya dapat d ipertanggungjawab sebagian, seperti penderita penyakit kleptomanie, pyromania, claustophobie, mani depressi dan lain sebagainya. Terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukan karena dorongan jiwanya yang sakit, yang bersangkutan tidak dapat dipertanggungjawabkan, sedangkan perbuatan lain yang tidak karena penyakit jiwa yang dideritanya tetap dipertanggungjawabkan.

Untuk menentukan seseorang tidak dapat d ipertanggungjawabkan terhadap perbuatannya itu, dikenal adanya tiga metode, yaitu:

Metode biologis; Metode psikologis; dan Metode campuran (metode biologis-psikologis)5; Metode yang pertama psikiater akan menyatakan terdakwa sakit jiwa atau tidak.

Apabila psikiater menyatakan terdakwa sakit jiwa, maka terdakwa tidak dapat dipidana. Metode kedua menunjukkan hubungan antara keadaan jiwa yang abnormal dengan perbuatannya. Metode ini mementingkan akibat jiwa terhadap perbuatannya sehingga dapat dikatakan tidak mampu bertanggungjawab dan tidak dapat dipidana, sedangkan metode yang ketiga di samping memperhatikan keadaan jiwanya, kemudian keadaan jiwa ini dipernilai dengan perbuatannya untuk dinyatakan tidak mampu bertanggung jawab. KUHP menganut metode gabungan (biologis-psikologis) dan dalam penetapan pidana menggunakan sistim deskriptif normatif, artinya ahli akan mendiskripsikan keadaan jiwanya,

4 Bambang Poernomo, ibid, hlm 203. 5 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa, halm. 248-249

Page 4: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

4

sedangkan untuk menentukan apakah pelaku patut dipidana atau tidak menjadi kewenangan hakim.6

Tidak adanya kemampuan bertanggung-jawab menghapuskan kesalahan, tetapi perbuatannya tetap bersifat melawan hukum sehingga dapat dikatakan alasan penghapus kesalahan berdasarkan alasan pemaaf.

b. Daya Paksa (Overmacht) (pasal 48).

Pasal 48 KUHP menentukan "Tidak dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang didorong oleh daya paksa". Apa yang diartikan dengan daya paksa ini tidak dapat dijumpai dalam KUHP. Penafsiran bisa dilakukan dengan melihat MvT atau risalah penjelasan yang diberikan oleh pemerintah ketika Kitab Undang-undang (Belanda) itu dibuat. Dalam M.v.T. dilukiskan sebagai : "setiap kekuatan, setiap paksaan atau tekanan yang tak dapat ditahan“. Hal terakhir ini, yaitu "yang tak dapat di tahan“, memberi sifat kepada tekanan atau paksaan itu. Paksaan di sini bukan paksaan yang mutlak, bukan paksaan yang tidak memberi kesempatan kepada si-pembuat menentukan kehendaknya. Pengertian "tidak dapat ditahan" menunjukkan, bahwa menurut akal sehat tak dapat diharapkan dari si-pembuat untuk mengadakan perlawanan.

Sehubungan dengan adanya paksaan yang mutlak dan paksaan yang tidak mutlak, maka daya paksa (overmacht) dapat dibedakan dalam dua hal yaitu vis absoluta (paksaan yang absolut) dan vis compulsiva (paksaan yang relatif).

Daya paksa yang absolut (vis absoluta) dapat disebabkan oleh kekuatan manusia atau karena disebabkan alam. Dalam vis absoluta paksaan sama sekali tak dapat di tahan. Contoh :

Tangan seseorang dipegang oleh orang lain dan serta merta dipukulkan pada kaca, sehingga kaca pecah. Apabila yang terjadi demikian, maka orang yang dipegang tangannya tadi tak dapat dikatakan telah melakukan pengrusakan benda berdasarkan pasal 406 KUHP.

Seseorang yang berada di bawah pengaruh hipnotis melakukan pembunuhan, maka orang yang berada dibawah hipnotis tadi tak dapat di katakan telah melakukan perbuatan yang disebut pada Pasal 388 KUHP. Perbuatan yang dilakukan di luar kehendak si-pembuat. Namun hakim harus tetap memperhatikan keadaan si-pembuat yang sebenarnya. , Dalam hal hypnose ini harus dilihat bagaimana keadaan sebenarnya dari si pembuat itu. Kalau ia hanya dalam pengaruh yang kuat belaka, maka tak ada vis absoluta tetapi vis compulsiva. Jadi harus dilihat sampai berapajauh pengaruh hypnose itu pada orang yang bersangkutan.

Pengertian vis absoluta seperti contoh-contoh di atas tidak termasuk dalam pengertian daya paksa dari pasal 48 KUHP. Daya paksa Pasal 48 ialah daya paksa relatif (vis compulsiva), Istilah " didorong " (gedrongen) menunjukkan bahwa paksaan itu sebenarnya dapat ditahan tetapi dari orang yang di dalam paksaan itu tak dapat diharapkan bahwa ia akan dapat mengadakan perlawanan. (Prof. Muljatno hanya menyebut "karena pengaruh daya paksa").

6 Soedarto, ibid, hlm. 95

Page 5: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

5

Contoh : seorang kasir Bank tiba-tiba ditodong oleh seseorang dengan menempelkan pisau didada agar kasir bank menyerahkan uang yang ada di Brankas. Kasir bank masih ada kesempatan berpikir apakah ia akan memenuhi kewajibannya atau akan menyerahkan uangnya. Disini ada paksaan, tetapi tidak absolute. Perlawanan terhadap paksaan itu tak boleh disertai syarat-syarat yang tinggi sehingga harus menyerahkan nyawa misalnya, melainkan apa yang dapat diharapkan dari seseorang secara wajar, masuk akal dan sesuai dengan keadaan.

Antara sifat dari paksaan di satu pihak dan kepentingan hukum yang dilanggar oleh si-pembuat di lain pihak harus ada keseimbangan. Pada daya paksa (overmacht) orang ada dalam keadaan dwangpositie (posisi terjepit). Ia ada di tengah-tengah dua hal yang sulit yang sama-sama buruknya. Keadaan ini harus ditinjau secara obyektif. Sifat dari daya paksa ialah bahwa ia datang dari luar diri si-pembuat dan lebih kuat dari padanya. Jadi harus ada kekuatan (daya) yang mendesak dia kepada suatu perbuatan yang dalam keadaan lain tak akan ia lakukan, dan jalan lain juga tidak ada.

c. Keadaan Darurat (Noodtoestand)

Noodtoestand atau keadaan darurat tidak diatur dengan tegas di dalam Pasal 48 KUHP, namun soal ini oleh doktrin juga dimasukkan dalam pengertian overmacht. Dalam Vis compulsiva (daya paksa relatif) ada yang membedakan menjadi daya paksa dalam arti sempit (atau paksaan psychis) dan keadaan darurat. Daya paksa dalam arti sempit ditimbulkan oleh orang, sedang pada keadaan darurat, paksaan itu datang dari hal di luar perbuatan orang. K.U.H.P. kita tidak mengadakan pembedaan tersebut. Adapun yang dimaksud dengan noodtoestand atau keadaan darurat itu adalah keadaan, dimana suatu kepentingan hukum dalam keadaan bahaya, dan untuk menghindarkan bahaya itu terpaksa dilanggar kepentingan hukum yang lain. Keadaan itu dapat terjadi dalam bentuk:

1. Perbenturan antara dua kepentingan hokum;

Contoh klasiknya adalah kasus "Papan dari Carneades". Ada dua orang yang karena kapalnya karam hendak menyelamatkan diri dengan berpegangan pada sebuah papan, padahal papan itu tak dapat menahan dua orang sekaligus. Kalau kedua-duanya tetap berpengangan pada papan itu, maka kedua-duanya akan tenggelam. Maka untuk menyelamatkan diri, seorang di antaranya mendorong temannya sehingga yang didorong itu mati tenggelam dan yang mendorong terhindar dari maut. (Cerita ini berasal dari CICERO dalam bukunya De Republic et de officio)7.

Orang yang mendorong tersebut tidak dapat dipidana, karena ada dalam keadaan darurat. Mungkin ada orang yang memandang perbuatan itu tidak susila, namun menurut hukum perbuatan itu dapat difahami, karena adalah naluri setiap orang untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya. Dibeberapa negara (Rusia dan Inggris) orang yang mendorong temannya itu tetap dipidana, meskipun pidananya diringankan.

7 Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty, Yogyakarta, hlm.

153.

Page 6: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

6

2. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum.

Contoh klasiknya adalah Arrest optician. Seorang pemilik toko kaca mata yang menjual kaca mata kepada seorang yang kehilangan kaca matanya. Padahal pada saat itu menurut Peraturan Daerah, sudah saatnya jam penutupan took, sehingga pemilik toko dilarang melakukan penjualan. Namun karena si pembeli itu ternyata tanpa kaca mata tak dapat melihat, sehingga betul-betul dalam keadaan sangat memerlukan pertolongan, maka penjual kaca mata dapat dikatakan bertindak dalam kedaan memaksa dan khususnya dalam keadaan darurat.

Permintaan kasasi oleh jaksa terhadap putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa (opticien) tak dapat dipidana dan melepas terdakwa dari segala tuntutan, tak dapat diterima oleh H.R. (putusan tgl. 15 Oktober 1923). Terdakwa ada dalam keadaan darurat. Ia merasa dalam keadaan seperti itu mempunyai kewajiban untuk menolong sesama.

Orang yang sedang menghadapi bahaya kebakaran rumahnya, lalu masuk atau melewati rumah orang lain guna menyelamatkan barang- barangnya. Disini ada perbenturan antara kepentingan hukum untuk menyelamatkan barang-barang miliknya dengan kewajiban hukum menghormati hak orang lain.

3. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hukum :

Contoh klasiknya adalah putusan dokter tentara. Seorang perwira kesehatan (dokter angkatan laut) diperintahkan oleh atasannya untuk memeriksa dan melaporkan apakah para perwira-perwira laut yang bebas tugas dan berkunjung ke darat (kota pelabuhan) kejangkitan penyakit kelamin. Dokter tersebut tak mau melaporkan pada atasan, sebab dengan memberi laporan pada atasannya ia berarti melanggar sumpah jabatan sebagai dokter yang harus merahasiakan semua penyakit dari para pasiennya.

Di sini dihadapkan pada dua kewajiban hukum :

a) melaksanakan perintah dari atasannya (sebagai tentara).

b) memegang teguh rahasia jabatan sebagai dokter.

Dokter tersebut tidak melaporkan kepada atasannya dan memilih tetap merahasiakan penyakit pasiennya. Dokter tersebut memilih patuh pada sumpah dokter. Oleh Pengadilan Tentara ia dikenakan hukuman 1 (satu) hari, tetapi dokter tadi naik banding, dan Mahkamah Tentara Tinggi membebaskannya karena ia ada di dalam keadaan darurat (putusan tgl. 26 Nopember 1916).

Dalam satu hari yang sama seseorang dipanggil menjadi saksi di dua tempat saling berjauhan. Dalam hal ini yang bersangkutan tidak mungkin menghadiri

Page 7: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

7

persidangan di dua tempat dalam waktu yang bersamaan. Disini terdapat perbenturan antara kewajiban hukum dengan kewajiban hokum.

Menurut VAN HATTUM, daya paksa (overmacht) dengan keadaan darurat (noodtoestand) terdapat perbedaan. Pada daya paksa dalam arti sempit si-pembuat berbuat atau tidak berbuat dikarenakan satu tekanan psychis oleh orang lain atau keadaan. Bagi si-pembuat tak ada penentuan kehendak secara bebas. Ia didorong oleh paksaan psychis dari luar yang sedemikian kuatnya, sehingga ia melakukan perbuatan yang sebenarnya tak ingin ia lakukan. Pada keadaan darurat si-pembuat ada dalam suatu keadaan yang berbahaya yang memaksa atau mendorong dia untuk melakukan suatu pelanggaran terhadap Undang-undang.

Sehubungan daya paksa, di antara para penulis tidak ada kesatuan pendapat apakah daya paksa pada Pasal 48 ini merupakan alasan pembenar atau alasan pemaaf8.

MOELJATNO, yang diikuti oleh muridnya (Mr.Ruslan Saleh) daya paksa dipandang sebagai alasan pemaaf.

JONKERS : Setelah mengemukakan daya memaksa yang ada pada optician (penjual kacamata), dengan mensitir apa yang dimuat dalam arrest itu, suatu kewajiban yang mendorong terdakwa sedemikian hebatnya sehingga menghapuskan patut dipidananya pelanggaran menjadi akibatnya, maka Jonkers menganggap pasal 48 itu sebagai alasan pembenar.

UTRECHT

Seperti halnya pendirian H.R. tahun 1923 dalam arrestnya mengenai penjual kacamata, UTRECHT mengikuti pendapat VOS. Daya memaksa dalam arti yang sempit (psychische dwang) adalah alasan pemaaf, sedang keadaan darurat dapat merupakan alasan pemaaf atau alasan pembenar. Penentuan mengenai apakah keadaan darurat itu merupakan alasan pemaaf atau alasan pembenar harus diadakan secara kasuistis. Dalam halaman 365 ia menyatakan "apabila kita hendak menentukan apakah keadaan darurat itu suatu alasan pemaaf atau alasan pembenar, maka selalu terlebih dahulu kita harus menentukan apakah perbuatan yang dilakukan itu bukan suatu perbuatan yang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Apabila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah tidak dapat diterima oleh masyarakat tetapi si-pembuat tidak boleh dianggap bertanggungjawab atas perbuatan itu, maka keadaan darurat itu alasan pemaaf, karena keadaan darurat bertujuan menghapuskan pertanggungjawaban pidana si-pembuat.

Bila ternyata bahwa perbuatan yang bersangkutan adalah bukannya tidak diterima (jadi diterima) oleh masyarakat, maka keadaan darurat itu adalah alasan pembenar. karena keadaan darurat tersebut bertujuan menghapuskan anasir melawan hukum .

VAN HATTUM:

Overmacht sebagai alasan pemaaf (Verontschuldigingsgrond) halaman 346 :

8 Soedarto. Ibid, hlm. 145-147.

Page 8: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

8

"menurut perasaan saya alasan penghapus pidana tersebut dalam pasal 48 KUHP, hanya terpakai, jika perbuatan tetap bersifat melawan hukum. Perbuatan, yang terpaksa dilakukan karena keadaan, patut dimaafkan.

Demikian halnya dengan seorang sopir taksi yang takut hilang nyawanya,karena ditodong oleh seorang yang berpistol di belakangnya, melanggar undang-undang (mengendarai mobil dengan kecepatan yang melebihi batas maksimal).

Perbuatan sopir itu melawan hukum, tetapi patut dimaafkan karena padanya tidak dapat diharapkan untuk mempertaruhkan nyawanya".

Selanjutnya Van Hattum menyatakan '. “hanya mereka yang menolak ajaran sifat melawan hukum yang materiil terpaksa meluaskan alasan penghapus pidana dalam overmacht hingga meliputi perbuatan yang tidak melawan hukum".

SIMONS :

Dalam melihat apakah overmacht itu adalah alasan pembenar atau alasan pemaaf maka ia memandang:

1. overmacht sebagai alasan penghapus kesalahan.

2. keadaan darurat sebagai alasan pembenar.

Ad 1.

Kalau perbuatan orang yang dipaksa itu, masuk dalam rumusan delik maka perbuatannya bersifat melawan hukum; (Simons berpendirian sifat melawan hukum formil) maka itu patut dipidana, tapi ia tidak dapat di pertanggung-jawabkan atas perbuatannya itu. Keadaanlah yang membuat atau menyebabkan si-pembuat tidak dapat dicela. sehingga padanya tidak ada kesalahan.

Ad 2.

Yang termasuk alasan penghapus sifat melawan hukumnya perbuatan dan patut dipidananya perbuatan itu ialah perbuatan yang dilakukan dalam keadaan darurat. Artinya, dalam keadaan yang memaksa untukk melindungi jiwa dan harta si-pembuat sendiri tidak dapat dihindarkan lagi dan terpaksa menyerang kepentingan hukum orang Iain.

HAZEWINKEL - SURINGA:

Dalam halaman 171, tidak menyetujui pemisahan dari sebab daya memaksa dan juga tidak setuju orang yang melihat overmacht dalam arti sempit sebagai suatu alasan pemaaf dan keadaan darurat sebagai alasan pembenar. Beliau berpendirian bahwa karena sifat dari keadaan-keadaan overmacht itu sangat bermacam-macam maka tidak dapat dikatakan sebagai alasan pemaaf atau sebagai alasan pembenar. Hal ini tergantung pada sifat kejadiannya apakah itu dimasukkan dalam salah satu golongan tersebut.

d. Pembelaan Darurat (Noodweer).

Istilah noodweer atau pembelaan darurat tidak ditemukan di dalam KUHP. Istilah noodweer atau pembelaan darurat berasal dari doktrin. Pasal 49 (1) berbunyi : "tidak dapat dipidana seseorang yang melakukan perbuatan yang terpaksa dilakukan untuk membela

Page 9: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

9

dirinya sendiri atau orang lain, membela peri kesopanan sendiri atau orang lain terhadap serangan yang melawan hukum yang mengancam langsung atau seketika itu juga". Nampaklah di dalam noodweer itu yang dibela tidak perlu kepentingan hukum sendiri, tetapi dapat pula untuk membela kepentingan orang lain9.

Seolah-olah perbuatan orang yang melakukan pembelaan darurat itu merupakan eigenrichting atau main hakim sendiri, tetapi perbuatan itu tidak dipidana sepanjang memenuhi atau sesuai dengan syarat-syarat yang disebut dalam pasal 49. Perbuatan yang dilakukan dianggap tidak melawan hukum. Dalam pembelaan darurat harus dipenuhi dua hal yang pokok, yaitu :

1). ada serangan. Tidak terhadap semua serangan dapat diadakan pembelaan, melainkan pada serangan yang memenuhi syarat sebagai berikut :

a. seketika;

b. yang langsung mengancam;

c. melawan hokum;

d. sengaja ditujukan pada badan, peri-kesopanan dan harta benda.

2). ada pembelaan yang perlu diadakan terhadap serangan itu. Tindakan pembelaannya harus memenuhi syarat-syarat :

a. pembelaan harus dan perlu diadakan;

b. pembelaan harus menyangkut kepentingan-kepentingan yang disebut dalam undang-undang yakni adanya serangan pada badan (lijf), peri-kesopanan (eerbaarheid) dan harta-benda (goed) kepunyaan sendiri atau orang lain.

Pengertian mengancam dan dan seketika berarti serangan itu sedang berlangsung dan juga bahaya serangannya. Sedang berlangsung berarti serangan sudah dimulai , dan belum diakhiri. Berhubung dengan rumusan tersebut, maka jika serangan belum dimulai atau sudah diakhiri, maka tidak boleh dilakukan pembelaan. Selanjutnya serangan tersebut, haruslah bersifat melawan hokum. Serangan yang tidak melawan hukum tidak mungkin ada pembelaan darurat.

Misalnya Polisi mensita sepeda motor yang diduga hasil pencurian, jika tersangka tersebut melakukan pembelaan terhadap perbuatan (serangan) Polisi, maka Tersangka tidak dapat menyatakan melakukan pembelaan terpaksa.

Bagaimana jika yang melakukan serangan adalah binatang ? apakah disitu terdapat pembelaan darurat ? dalam hal serangan itu dilakukan oleh binatang tidak dapat dikatakan serangan yang yang melawan hokum, karena binatang tidak mungkin tunduk pada hokum, tetapi perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan membela diri, sehingga disitu terdapat keadaan darurat. Dalam serangan oleh binatang itu perlu dibedakan pula :

a). apakah binatang itu menyerang atas kehendaknya sendiri, atau 9 Satochid Kartanegara, hlm. 462.

Page 10: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

10

b). apakah binatang itu diusik seseorang untuk menyerang.

Apabila binatang diusik seseorang untuk menyerang, maka binatang itu adalah alat belaka.

Selanjutnya menyangkut pembelaan yang harus dilakukan atau yang harus diadakan. Ini berarti bahwa tidak ada jalan lain untuk menghindarkan diri dari serangan. Kata-kata ini tidak boleh diartikan secara sempit, sebab jika diartikan sempit, menurut Jonkers Pasal 49 tidak banyak artinya. Hampir tidak ada suatu pembelaan yang perlu dan harus diadakan. Pada umumnya orang dapat menghindarkan diri dengan jalan melarikan diri atau menerima saja serangan itu.

Maksud dari pada frasa pembelaan yang harus dilakukan atau yang harus diadakan adalah disitu terdapat keseimbangan antara penyerangan dan pembelaan atau keseimbangan antara perbuatan pembelaan dan kepentingan yang diserang. Apabila seseorang sakunya dirogoh oleh pencopet, kemudian memegang tangannya dan menmbak hingga mati, maka disitu tidak ada pembelaan terpaksa. Perbuatan menembak sehingga mati bukanlah pembelaan yang harus dilakukan.

Didalam pembelaan darurat terdapat azas subsidiaritas dan asas proporsional. Asas susidiaritas berhubungan dengan alat atau cara dalam melakukan perbuatan pembelaan. Pembelaan dilakukan dengan menempuh jalan yang seringan-ringannya, sehingga tidak merugikan orang lain. Sedangkan azas proporsionalitas berhubungan dengan keseimbangan antara penyerangan dan pembelaan atau keseimbangan antara perbuatan pembelaan dan kepentingan yang diserang.

Apakah perbedaan antara keadaan darurat dan pembelaan darurat?

Dalam keadaan darurat dapat dilihat adanya perbenturan antara kepentingan hukum dan kepentingan hukum, kepentingan hukum dan kewajiban hukum serta kewajiban hukum dan kewajiban hukum.

Dalam pembelaan darurat situasi darurat ini ditimbulkan oleh adanya perbuatan melawan hukum yang bisa dihadapi secara sah, dengan perkataan lain dalam keadaan darurat : hak berhadapan dengan hak, sedang dalam pembelaan darurat : hak berhadapan dengan bukan hak.

Dalam keadaan darurat tidak perlu adanya serangan, sedang dalam pembelaan darurat harus ada serangan.

Dalam keadaan darurat orang dapat bertindak berdasarkan berbagai kepentingan atau alasan sedang dalam pembelaan damrat, pembelaan itu syarat-syaratnya sudah ditentukan secara limitatif (pasal 49 ayat 1).

Sifat dari keadaan darurat tidak ada keseragaman pendapat dari pada penulis yakni ada yang berpendirian sebagai alasan pernaaf dan ada sebagai alasan pembenar; sedang dalam pembelaan darurat para penulis memandang sebagai alasan pembenar ialah sebagai penghapus sifat melawan hukum10.

e. Noodweer Exces (Pelampauan Batas Pembelaan Darurat)

10 Soedarto, 150-151

Page 11: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

11

Pasal 49 ayat (2) menyatakan “Pembelaan terpaksa yang melampaui batas yang langsung disebabkan oleh kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana”. Untuk adanya kelampauan batas pembelaan darurat ini harus memenuhi syarat- syarat sebagai berikut :

kelampauan batas pembelaan yang diperlukan. Syarat pembelaan yang tersebut dalam pasal 49 ayat 1 disebut juga sebagai syarat dalam pasal 49 ayat 2. Di sini pembelaan itu perlu dan harus diadakan dan tidak ada jalan lain untuk bertindak. Cara dan alat tersebut harus dibenarkan pula oleh keadaan.

pembelaan dilakukan sebagai akibat yang langsung dari kegoncangan jiwa yang hebat; Termasuk di sini adalah rasa takut, bingung, dan mata gelap.

kegoncangan jiwa yang hebat itu disebabkan karena adanya serangan, dengan kata lain : antara kegoncangan jiwa tersebut dan serangan harus ada hubungan kausal. Kegoncangan jiwa yang hebat itu harus dikarenakan adanya penyerangan dan bukan karena sifatnya yang mudah tersinggung. Di sini juga yang perlu dilihat apakah serangan itu dapat menimbulkan akibat kegoncangan jiwa yang hebat bagi orang biasa pada umumnya. Sifat dari noodweer exces adalah menghapuskan kesalahan (pertanggungan-jawab pidana), jadi sebagai alasan pemaaf. Perbuatannya tetap bersifat melawan hukum. Di sini pembelaannya tidak seimbang dengan serangannya.

f. Menjalankan Peraturan Undang-Undang (pasal 50).

Menjalankan Peraturan Undang-Undang tidak dipidana. Pasal 50 KUHP menyatakan Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan Undang-Undang, tidak dipidana. Pada awalnya yang diartikan Undang-Undang hanyalah dalam arti sempit atau formil, yaitu hanya produk peraturan yang dibuat oleh DPR/dan Raja. Pandangan itu lama-kelamaan berubah, kemudian H.R. mengartikan secara materiil, yaitu setiap peraturan yang dibuat oleh alat pembentuk undang-undang yang umum. Dengan demikian tidak hanya UU, tetapi dalam perundang-undangan Indonesia bisa meliputi Perpu, peraturan pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah, dan lain sebagainya. Dalam hubungan ini soalnya adalah apakah perlu bahwa peraturan perundang-undang itu menentukan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan sebagai pelaksanaan. Dalam hal ini umumnya cukup, apabila peraturan itu memberi wewenang untuk kewajiban tersebut, dalam melaksanakan perundang-undangan ini diberikan suatu kewajiban. Dengan perkataan lain kewajiban/tugas itu diperintahkan oleh peraturan undang-undang.

Dalam Hukum dapat dijumpai adanya kewajiban dan tugas-tugas atau wewenang yang diberikan pada pejabat/orang untuk bertindak, untuk dapat membebaskan diri dari tuntutan. Jadi untuk dapat menggunakan pasal 50 ini maka tindakan harus dilakukan secara patut, wajar dan masuk akal. Dalam menjalankan peraturan perundang-undangan, seperti halnya dalam daya paksa dan dalam pembelaan darurat harus ada keseimbangan antara tujuan yang hendak dicapai dengan cara melaksanakannya.

Misalnya : Pejabat polisi, yang menembak mati seorang pengendara sepeda yang melanggar peraturan lalu lintas karena tidak mau berhenti sesuai dengan tanda peluitnya, tidak dapat berlindung dibawah pasal 50 ini. Pejabat polisi itu tidak melaksanakan kewajiban atau tugasnya itu secara patut, wajar dan masuk akal

Page 12: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

12

sebagaimana diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Kejengkelan pejabat tersebut tidak dapat membenarkan tindakannya.

Perbuatan orang yang menjalankan peraturan undang-undang tidak bersifat melawan hukum, sehingga pasal 50 tersebut merupakan alasan pembenar.

g. Melaksanakan Perintah Jabatan (pasal 51 ayat 1 dan 2).

Pasal 51 ayat 1 : “barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh penguasa yang berwenang, tidak dipidana”. Apa yang dirumuskan pada Pasal 51 ayat 1 ini merupakan alasan penghapus pidana yang bersandarkan pada perintah yang sah.

Misal : Seorang Ajun Inspektur Polisi diperintah oleh Kombes Polisi untuk menangkap penjahat. Kombes Polisi tersebut berwenang untuk memerintahkannya. Jadi dalam hal ini Ajun Inspektur Polisi tersebut melaksanakan perintah jabatan yang sah.

Bilamanakah perintah itu dikatakan sah? Ialah bila perintah itu berdasarkan tugas, wewenang atau kewajiban yang didasarkan kepada sesuatu peraturan. Antara orang yang diperintah dan orang yang memerintah harus ada hubungan jabatan dan harus ada hubungan sub-ordinasi, meskipun sifatnya sementara. Hal ini juga harus ditinjau dari sudut UU yang mengatur kekuasaan pejabat yang diperintah dan yang memerintah. Polisi adalah bertugas menjaga keamanan, apabila Polisi itu diperintah untuk memungut pajak, maka perintah itu adalah tidak syah.

Dalam melaksanakan perintah itupun harus patut dan wajar. Seimbang dan tidak boleh melampaui batas kepatutan . Polisi diperintah oleh atasannya untuk menangkap seseorang yang telah melakukan kejahatan, dalam melaksanakan perintah itu cukup ia menangkap dan membawanya saja, tidak boleh polisi itu melakukan pemukulan atau penganiayaan lainnya. Perintah jabatan ini adalah alasan pembenar.

Selanjutnya Pasal 51 ayat 2 menentukan “Perintah jabatan tanpa wenang, tidak menghapuskan pidana, kecuali jika yang diperintah dengan itikad baik mengira bahwa perintah diberikan dengan wewenang dan pelaksanaanya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya”.

Suatu perintah jabatan yang tidak sah menghapuskan dapat dipidananya seseorang. Perbuatan orang ini tetap bersifat melawan hukum, akan tetapi pembuatnya tidak dipidana, apabila memenuhi syarat-syarat:

Jika perintah yang pada kenyataanya tidak sah itu, dikiranya perintah yang sah, atau secara patut ia mengira bahwa perintah itu adalah sah (ia mengira dengan iktikad baik jujur hati bahwa perintah itu sah);

Perintah itu terletak dalam lingkungan wewenang dari orang yang diperintah.

Contoh : Seorang Komisaris Besar Polisi memerintahkan Ajun Inspektur Polisi untuk menangkap seorang yang dituduh telah melakukan kejahatan, tetapi ternyata perintah tidak beralasan atau tidak sah. Di sini Ajun Inspektur Polisi itu tidak dapat dipidana karena :

a. ia patut menduga bahwa perintah itu sah.

Page 13: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

13

b. pelaksanaan perintah itu ada dalam batas wewenangnya.

Sebaliknya, jika seorang kepala kantor memerintahkan kepada bendaharawan untuk mengeluarkan sejumlah uang untuk pembelian sebuah mobil, yang tidak masuk dalam mata anggaran, maka jika bendaharawan itu melaksanakan perintah tersebut bendaharawan itu dapat dipidana, karena perintah tersebut tidak sah. Pembelian mobil itu tidak termasuk dalam wewenang bendaharawan, pengeluaran dari pemerintah sudah ditentukan dalam pos-pos tertentu. Di sini, sepatutnya bendaharawan dapat menduga bahwa perintah itu tidak sah.

Seorang bawahan tidak dapat berkilah bahwa apa yang dilakukan itu merupakan bentuk ketaatan seorang bawahan. Hazewinkel- Suringa (dalam balaman 189) mengatakan, bahwa ketaatan yang membuta tidak mendisculpeeit" (tidak menghapuskan patut di pidananya perbuatan).

Misal: Seorang kepala polisi memerintahkan anak buahnya untuk memukuli seorang tahanan yang menjengkelkan. Andaikata bawahan ini mengira bahwa perintah itu sah maka ia_tetap dapat dipidana, karena rnemukul seorang tahanan tidak termasuk wewenang dari seorang anggota polisi.

Sifat dari perbuatan seorang yang melakukan perbuatan karena perintah Jabatan yang tidak sah ialah : perbuatannya tetap perbuatan yang melawan hukum, tetapi berhubung dengan keadaan pribadinya maka ia tidak dapat di pidana. Keadaan tersebut adalah merupakan alasan pemaaf.

B. ALASAN PENGHAPUS PIDANA YANG ADA DI LUAR UNDANG - UNDANG

Selain karena hal-hal atau keadaan yang diatur di dalam UU seseorang yang melakukan perbuatan pidana tidak di pidana, diluar UU juga terdapat alasa-alasan yang menyebabkan seseorang yang melakukan perbuatan yang mencocoki lukisan UU tidak dipidana, misalnya:

1. hak orang tua mendidik anaknya dan hak guru untuk menertibkan anak-anak didiknya. Hak-hak ini disandarkan pada hak orang tua untuk mengajar anak/ anak didiknya (tuchtrecht van de ouders), yang harus dilakukan secara patut dan layak;

2. hak yang timbul dari pekerjaan (beroepsrecht) seorang dokter, apoteker, bidan dan penyelidik ilmiah (misalnya untuk vivisectie, yaitu suatu perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk memberantas suatu penyakit. Guna mencapai tujuan itu seringkali dilakukan percobaan- percobaan terhadap hewan. Perbuatan menyakiti atau menyiksa hewan itu dirumuskan sebagai perbuatan pidana Pasal 302, namun perbuatan ini tidak dipidana berdasarkan hak yang timbul dari pekerjaan) ;

3. ijin atau persetujuan dari orang yang dirugikan kepada orang lain mengenai suatu perbuatan yang dapat dipidana, apabila dilakukan tanpa ijin atau persetujuan (consent of the victim) ;

4. mewakili urusan orang lain (zaakwaarneming) ;

5. tidak adanya unsur sifat melawan hukum yang meteriil ( contoh klasiknya arrest dokter hewan) ;

6. tidak adanya kesalahan sama sekali (taksi atau avas).

Page 14: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

14

Alasan penghapus pidana yang tersebut nomor 1 - 5 merupakan alasan pembenar, yaitu menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan, sedang yang tersebut nomor 6 adalah alasan pemaaf yaitu menghapus kesalahannya11.

C. ALASAN PENGHAPUS PIDANA PUTATIEF

Alasan penghapus pidana putative terjadi apabila seseorang mengira telah berbuat sesuatu dalam daya paksa atau dalam keadaan pembelaan darurat atau dalam menjalankan undang-undang atau dalam melaksanakan perintah jabatan yang sah, pada kenyataannya ialah tidak ada alasan penghapus pidana tersebut. Dalam hal ini ada alasan penghapus pidana yang putatief. Apakah orang tersebut dapat dipidana ? Bemmelen berpendapat bahwa orang tersebut tidak dapat dipidana apabila dapat diterima secara wajar bahwa ia boleh berbuat seperti itu. Ia dapat berlindung pada "taksi" (avas). Ia tidak dapat dicela atas perbuatannya. Alasan penghapus pidana putatief merupakan alasan penghapus kesalahan (alasan pemaaf). Di pihak lain ada yang berpendapat semua bentuk putative merupakan hal yang mengurangi pidana12

II. ALASAN PENGHAPUS PENUNTUTAN

Seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana pada asasnya dapat dituntut di muka pengadilan untuk diadili. Apabila persidangan dapat membuktikan perbuatan pidana yang didakwakan, yang bersangkutan akan mendapat putusan bersalah untuk dapat dijatuhi pidana. Putusan pidana itu harus dijalankan setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Pada kenyataannya hukum tidak selalu berproses demikian, di dalam hukum terdapat hal-hal yang menurut hokum, hak menuntut menjadi gugur. Dasar aturan hapusnya hak menuntut dengan maksud adanya kepastian hukum bagi seseorang agar terhindar dari keadaan tidak menentu dalam menghadapi perkara pidana.

Peraturan hukum pidana menetapkan aturan tentang hal-hal yang menghapus penuntutan baik yang diatur di dalam KUHP maupun yang diatur di luar KUHP (dalam peraturan hukum yang lain). Dasar hukum yang mengatur gugurnya hak menuntut di dalam KUHP terdiri atas alasan:

1. ne bis in idem,

2. terdakwa meninggal dunia,

3. daluwarsa,

4. penyelesaian di luar acara, dan

5. tidak adanya aduan pada delik-delik aduan.

Sedangkan dasar aturan yang di luar KUHP terdiri atas: (1) abolisi dan (2) amnesti yang diatur dalam Undang-undang Dasar atau Undang-Undang. Di samping itu dalam ilmu pengetahuan hukum acara atau praktek hukum telah berkembang berbagai alasan tidak menuntut perkara antara lain penyampingan perkara serba ringan (dinyatakan dalam Penjelasan Umum Undang-undang No. 13/1961), tidak menuntut perkara demi Kepentingan umum berdasarkan asas

11 Soedarto, hlm. 155 12 Bambang Poernomo, Ibid, hlm. 203.

Page 15: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

15

opportun itas, tidak menuntut perkara dengan bersyarat atau voorwaardelike niet vervolging dan beberapa alasan tidak menuntut yang lainnya oleh pejabat yang berwenang.

1. Alasan ne bis in idem (Pasal 76 KUHP)

Wewenang menuntut dalam perkara pidana akan hapus untuk selama-lamanya, apabila terhadap perkara tersebut telah diperiksa dan diputus dan terhadap keputusan itu telah mempunyai kekuatan hukum tetap, karena orang tidak boleh dituntut dua kali atas perbuatan yang sama oleh hakim Indonesia. Pengertian putusan hakim Indonesia termasuk juga dalam pengertia hakim pengadilan adat.

Pelaksanaan Asas ne bis in idem dikandung maksud untuk menjaga keluhuran hakim pengadilan sebagai alat perlengkapan negara, dan mengandung jaminan kepastian hukum. Apabila putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan tetap berupa “dibebaskan dari tuduhan” karena ketika perkara itu diajukan tidak cukup bukti, dituntut lagi karena ditemukan alat bukti baru maka satu perkara akan mendapat beberapa keputusan yang kemungkinannya berlainan satu sama lainnya. Keputusan yang demikian akan menimbulkan rasa tidak percaya masyarakat terhadap pengadilan dan orang yang telah diputus bebas akan tetap khawatir karena ada kemungkinan dituntut lagi. Tanpa ada ketentuan Pasal 76 KUHP, maka tidak ada kepastian hukum terhadap putusan pengadilan.

Berlakunya asas ne bi in idem mengandung dua pokok aturan sebagai syarat penggunaan pasa 76 KUHP yaitu:

(1) orang yang sama dituntut melakukan satu perbuatan, dan

(2) mengenai perkara yang sama itu telah diputus oleh hakim dengan mempunyai kekuatan yang tetap.

Persoalan tentang arti perbuatan yang dilakukan untuk memenuhi syarat pasal 76 KUHP itu sama dengan arti perbuatan yang menjadi persoalan dalam pasal 63 - 66 KUHP. Paling sedikit terdapat tiga pendapat dalam memberikan arti perbuatan (feit) menurut hokum.

1. perbuatan dalam arti sempit yakni perbuatan materiil sebagaimana diajarkan oleh pandangan materieele feit yang menitikberatkan kepada "kelakuan" saja. Apabila pandangan tentang arti perbuatan yang disempitkan ini diikuti akan membawa konsekuensi bahwa bekerjanya asas ne bis in idem akan menjadi luas, karena tiap-tiap perkara yang didakwakan atas dasar inti kelakuan yang sama dengan putusan perkara yang terdahulu, maka akan tertutup kemungkinan dituntut lagi sekalipun perbuatan itu menjurus perbuatan pidana lain yang memenuhi unsur-unsur delik tidak boleh diajukan ke pengadilan oleh aturan pasal 76 KUHP.

2. perbuatan dalam arti luas yang menjurus pengertian suatu perbuatan pidana atau delik sebagaimana masuk dalam rumusan formal undang-undang, sehingga asalkan tuntutan yang berikutnya itu secara formal masuk dalam rumusan delik yang lain berarti bukan lagi menuntut kedua kalinya terhadap perkara terdahulu. Apabila pandangan yang kedua ini diikuti berarti bekerjanya asas ne bis in idem menjadi sempit, karena setiap suatu komplek kejadian merupakan beberapa perbuatan yang dapat dimasukkan dalam rumusan beberapa perbuatan pidana atau beberapa delik sehingga masing-masing delik dapat saja diadili sendiri-sendiri sehingga mungkin boleh diajukan ke pengadilan lagi berhubung tidak bertentangan dengan aturan pasal 76 KUHP.

Page 16: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

16

3. perbuatan merupakan kelakuan dan akibat atau keadaan tertentu yang menyertai kelakuan yang bersangkutan sehingga masing-masing dapat dipikirkan sebagai perbuatan pidana berdiri sendiri yang merupakan perbuatan-perbuatan jahat untuk diadili terlepas satu sama lain. Apabila mengikuti pandangan yang ketiga ini berarti tuntutan perkara yang kedua merupakan tuduhan delik lain yang dimungkinkan untuk dituntut lagi sebagai perkara lain dan tidak bertentangan dengan aturan pasal 76 KUHP. Putusan H.R. tahun 1932 termasuk mengikuti pandangan yang ketiga ini.

Pendirian H.R. tahun 1932 berdasarkan pertimbangan bahwa komplek kejadian mengenai seorang yang dalam keadaan mabuk mengemudikan motor pada waktu malam hari tanpa penerangan lampu itu, dianggap melakukan dua perbuatan pidana karena ciri yang melekat pada perbuatan memiliki dua ciri yang berlainan yaitu ciri yang pertama melekat pada perbuatannya atau orangnya dalam keadaan mabok mengendarai motor, dan ciri yang kedua melekat pada sarananya sepeda motor yang tidak dinyalakan lampunya dikendarai di jalan umum. Terdakwa melakukan perbuatan concorsus realis (meerdaadse samenloop) untuk diadili dengan penerapan pemberatan pidana. Menurut Pompe tentang penafsiran feit yang didasarkan atas pendapat H.R. tahun 1932 dapat dipergunakan terhadap persoalan pasal 76 KUHP (Pompe 1959 : 551).

Pendapat Pompe yang demikian itupun belum dapat memecahkan persoalan pada pasal 76 KUHP. Pertentangan penafsiran perbuatan dari pasal 63 - 66 KUHP masih tetap menjadi persoalan perbarengan dalam praktek, dengan demikian berarti memindahkan saja kesulitan serupa di bidang lain. Persoalan hukum mengenai perbarengan mempunyai titik kesamaan dengan persoalan ne bis in idem dalam kemungkinan "tuntutan berulang-ulang" atas perbuatan yang dianggap masuk kualifikasi rumusan delik atau peraturan hukum pidana lebih dari satu tuduhan. Penyusunan tuduhan kumulatif atau alternatif mengurangi persoalan.

Suatu tuduhan terhadap perbuatan pencurian dengan kekerasan, jelas tidak mungkin dipecah menjadi tuduhan pertama berupa perbuatan pencurian dan tuduhan kedua berupa penganiayaan. Demikian pula suatu tuduhan penipuan dengan surat, juga jelas tidak dapat dipecah dengan tuduhan pertama berupa tuduhan penipuan dan tuduhan pemalsuan surat. Tuduhan yang kedua dari contoh-contoh ini akan terhalang oleh aturan ne bis in idem dalam pasal 76 KUHP. Selain persoalan mengenai bentuk tuduhan alternatif seperti contoh tersebut di atas, juga sama persoalannya mengenai waktu terjadinya perbuatan pidana (tempus delicti) dan tempat terjadinya perbuatan pidana (locus delicti) dalam arti kegagalan tuntutan mengenai syarat tempat/waktu yang tidak terbukti dengan putusan 'bebas, tidak boleh diulang untuk tuntutan kedua kalinya mengenai tempat/waktu yang lain.

2. Alasan terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP .

Alasan menghentikan penuntutan karena terdakwa meninggal dunia dikarenakan adanya pandangan kesalahan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Pada masa dahulu hak untuk menuntut perkara pidana terhadap orang yang sudah meninggal dunia masih dapat diteruskan, dan apabila mendapat keputusan pidana denda atau perampasan barang, dapat dibebankan kepada ahli warisnya.

Pandangan tentang dapat diteruskannya penuntutan bagi terdakwa yang telah meninggal dunia kemungkinan masih ada gunanya apabila pemeriksaan perkara memperoleh keputusan yang berisi "bebas dari tuduhan", dan bukan putusan berupa pidana atau tindakan. Pokok pikiran yang demikian ini didasarkan alasan bahwa dalam

Page 17: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

17

proses perkara pidana mempunyai landasan utama untuk mencari kebenaran hukum secara materiel. Putusan pembebasan mempunyai arti penting memulihkan nama baik dari persangkaan terhadap seseorang yang didakwa melanggar hukum.

Wewenang menuntut pidana menjadi hapus karena terdakwa meninggal dunia menurut pasal 77 KUHP juga berlaku apabila penuntutan telah dimulai ketika terdakwa masih hidup tetapi kemudian meninggal dunia sebelum ada putusan terakhir perkara pidana itu, termasuk pula terdakwa yang meninggal dunia setelah mengajukan permohonan banding atau kasasi.

3. Alasan daluwarsa ( 78 - 81 KUHP).

Latar belakang yang mendasari daluwarsa sebagai alasan yang menghapuskan wewenang penuntutan digantungkan pada kemampuan daya ingat manusia dan keadaan alam yang memungkinkan petunjuk alat bukti lenyap atau tidak mempunyai nilai untuk hukum pembuktian. Sejalan dengan melemahnyadaya ingat seseorang terhadap peristiwa yang terjadi di masa yang lalu, maka kepentingan untuk melakukan penuntutan dari sisi preverensi general juga semakin melemah. Sehubungan dengan hal tersebut pembentuk UU lebih memilih tidak menuntut karena daluwarsa dengan tenggang waktu tertentu, seperti rumusan pasal 78 KUHP.

Tenggang waktu tertentu yang menjadi alasan daluwarsa penuntutan dibedakan menurut jenisnya atau berat-ringannya perbuatan pidana yang dilakukan oleh orang yang terlibat perkara pidana. Semakin berat perbuatan pidana yang dilakukan semakin lama hilangnya kesan dalam ingatan manusia, sehingga sudah sepatutnya semakin panjang tenggang waktu daluwarsa yang diperlukan. Menurut ketentuan undang-undang daluwarsa dibedakan kedalam empat golongan berdasarkan sifat perbuatan pidana yang dilakukan.

1. tenggang waktu satu tahun apabila mengenai kejahatan atau pelanggaran yang dilakukan dengan percetakan;

2. tenggang waktu enam tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam pidana denda, kurungan atau penjara paling lama tiga tahun;

3. tenggang waktu dua belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, dan

4. tenggang waktu delapan belas tahun apabila mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana mati.

Dalam KUHP tidak ada ketentuan mengenai saat kapan tenggang waktu daluwarsa mulai berlaku, melainkan diserahkan pada teori atau perkembangan ilmu pengetahuan hokum. Berdasarkan teori hukum pidana tentang penentuan tempus delicti pada umumnya diikuti pandangan bahwa perbuatan pidana ditentukan dari waktu kelakuan dan waktu akibat, tergantung pada rumusannya' sebagai delik yang formal ataukah delik yang materiel, atau jika tidak dapat ditentukan jenis rumusan deliknya ditentukan oleh waktu kelakuan dimulai sampai waktu berakhirnya akibat terjadi.

Menurut pasal 79 KUHP dapat ditarik kesimpulan bahwa mulai berlakunya tentang tenggang waktu daluwarsa dihitung pada hari berikutnya sesudah perbuatan pidana dilakukan sesuai dengan teori tempus delicti tersebut di atas, kecuali mengenai tiga hal, yaitu:

Page 18: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

18

1. saat hasil kejahatan pemalsuan/pengrusakan uang dipergunakan dari kejahatan pasal 244, 253, 263 KUHP,

2. saat sesudah dibebaskan/meninggal dunia orang yang langsung menjadi korban perampasan kemerdekaan dari kejahatan pasal 328, 329, 330, 333 KUHP, dan

3. saat penyerahan daftar Burgerlijke Stand ke panitera pengadilan sebagai pelanggaran pasal 556, 558a KUHP.

Sepanjang perjalanan masa daluwarsa dapat terjadi penghentian daluwarsa oleh karena tindakan penuntutan (stuiting van de verjaring, pasal 80 KUHP) dan oleh karena penundaan daluwarsa berhubung adanya perselisihan prae-judiciil (schorsing van de verjaring, pasal 81 KUHP).

Tiap-tiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asalkan tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut atau telah diberitahukan menurut cara yang ditentukan oleh aturan umum. Penafsiran tiap tindakan penuntutan dianggap telah jelas, namun perkembangan doktrin masih ada perbedaan pendapat yang menyangkut pejabat penuntut dan batasan tindakan penuntutan itu sendiri.

Pejabat penuntut diartikan jaksa selaku penuntut umum sehingga pejabat pengusut dalam penyidikan tidak termasuk tindakan penuntutan, namun sekalipun pejabat itu jaksa jika masih dalam urusan pengusutan untuk melengkapi penyidikan dianggap tidak termasuk tindakan penuntutan. Tinjauan dari sudut pemikiran hukum acara pidana dan hukum pidana materiel dapat diartikan bahwa tindakan penuntutan merupakan permintaan jaksa untuk diadakan pemeriksaan dan putusan oleh hakim, sehingga apabila jaksa atau hakim memandang orang yang terlibat sebagai terdakwa bukan sebagai terpidana, maka disitu masih dalam fase tindakan penuntutan yang dimulai dari pemberitahuan oleh jaksa tentang adanya perkara pidana kepada hakim, penahanan atau perpanjangannya yang dilakukan oleh jaksa dan sebelum hakim mengambil keputusannya.

Tindakan penuntutan secara konkrit dalam perkara pidana ialah:

1. apabila jaksa memberitahukan kepada hakim mengenai adanya perkara pidana yang antara lain mengirimkan daftar perkara,

2. terdakwa ditahan oleh jaksa atau perpanjangan penahanan yang dimintakan kepada hakim, dan

3. apabila semua tindakan itu diberitahukan/diketahui oleh terdakwa, maka hal itu ada tindakan penuntutan sebagaimana ditentukan dalam pasal 80 KUHP.

Pada masa dahulu sebelum berlaku Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pengertian tindakan penuntutan oleh jaksa itu disempitkan lagi sehubungan dengan adanya delik aduan yang mengharuskan adanya pernyataan pengaduan. Sejak berlakunya KUHAP yang menentukan -semua perkara pidana umum mulai tingkat awal harus melalui wewenang Polri, sehingga dalam hal delik aduan juga harus mengikuti ketentuan itu berarti tidak ada pengaruhnya terhadap pengertian tindakan penuntutan lagi.

Selanjutnya penundaan penuntutan yang dapat menunda jalannya daluwarsa merupakan suatu keadaan istimewa; karena pada umumnya perkara pidana tidak mutlak dipengaruhi oleh perkara lain yang akan diajukan kepada pengadilan. Perselisihan prae judisiil merupakan pengecualian dalam perkara pidana karena adanya beberapa pasal tertentu dalam KUHP yang mengisyaratkan pada perkara pidana masih membutuhkan hasil keputusan

Page 19: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

19

pengadilan dari perkara lain. Ketentuan pasal 81 KUHP memberikan kemungkinan perkara pidana ditangguhkan sehubungan dengan penyelesaian lebih dahulu pada perkara lain yang menurut hukum harus diputuskan oleh pengadilan tersendiri. Kemungkinan penundaan perkara pidana tersebut, antara lain mengenai perkara jinah pasal 284 ayat (5) KUHP menunggu putusan cerai oleh hakim perdata, atau mengenai perkara penghinaan dengan fitnah pasal 314 ayat (1) KUHP masih menunggu putusan penghinaan dengan pencemaran/nista oleh hakim pidana. Demikian pula untuk perkara pasal 311 ayat (3), pasal 332 ayat (4), pasal 385 KUHP.

4. Penyelesaian di luar acara (Pasal 82 KUHP)

Wewenang menuntut perkara pidana gugur atau hapus `karena penyelesaian di luar acara. Ketentuan Pasa 182 KUHP seringkali disebut lembaga penebusan (afkoop) atau juga disebut lembaga hukum perdamaian (schikking) hanya dimungkinkan pada perkara tertentu yaitu:

a. perkara pelanggaran yang diancam dengan pidana denda secara tunggal;

b. pembayaran denda harus sebanyak maksimum ancaman pidana denda beserta dengan biaya lain yang harus dikeluarkan, atau penebusan harga tafsiran bagi barang yang terkena perampasan; dan

c. harus bersifat sukarela dari inisiatif terdakwa sendiri yang sudah cukup, umur.

Penggunaan lembaga penebusan atau perdamaian tersebut tidak berlaku bagi orang yang belum cukup umur pada saat melakukan perbuatan belum berumur enam belas tahun.

Di negara Belanda pada tahun 1921 diadakan stelse transactie yang menambahkan penyelesaian di luar acara datam pasal 74 WvS Belanda dengan pengertian yang luas dibandingkan dengan "afkoop". Stelsel transactie harus berupa pembayaran denda yang ditentukan tersendiri oleh penuntut umum, jadi bukan suatu pembayaran maksimum ancaman dendanya. Penentuan pembayaran denda oleh penuntut umum inilah yang dianggap tidak sesuai dengan kewenangan hakim memutus perkara di Hindia Belanda, sehingga tidak masuk dalam KUHP.

5. Alasan tidak adanya'pengaduan pada delik aduan.

Beberapa delik dalam KUHP ada yang menentukan hanya dapat dituntut apabila orang yang terkena membuat pengaduan. Sistimatika beberapa pasal KUHP tersebut memang tidak ditempatkan dalam bab VIII buku I KUHP, namun seringkali dalam praktek keluarga korban melaporkan kepada polisi dan pihak kepolisian segera mengadakan penyidikan agar cukup bahan bukti, akan tetapi perkara yang cukup bahan buktinya itu setelah diajukan penuntutan ke pengadilan dilupakan syarat permohonan pengaduan. Perkara delik aduan yang tidak dipenuhi syarat pengaduan menjadi alasan wewenang penuntutan hapus atau gugur.

Pembatasan penuntutan terhadap delik aduan dimungkinkan dalam hal syarat pengaduan yang telah diajukan oleh pihak yang berkepentingan berhadapan dengan kewenangan tidak menuntut perkara berdasarkan asas opportunitas yang diatur oleh hukum acara pidana, karena pertimbangan untuk kepentingan umum oleh penuntut umum atau atas nama Jaksa Agung berhak mendeponer perkara.

Delik aduan dibedakan menjadi delik aduan yang absolut dan delik aduan yang relatif. Delik aduan yang absolut jika ada suatu, pengaduan yang bersifat umum dan dengan demikian

Page 20: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

20

pengaduan tidak terbatas pada orang tertentu yang diadukan saja, seperti ketentuan delik aduan pasal 284 KUHP harus diartikan pengaduan terhadap pelaku laki-laki berarti pula pengaduan terhadap pelaku perempuan. Jurisprudensi mengenai pasal 284 KUHP kemungkinan dipergunakan kewenangan asas opportunitas oleh penuntut umum untuk melakukan penuntutan kepada salah satu dari peserta perjinahan berdasarkan kepentingan umum. Dalam hukum Romawi kejahatan perjinahan hanya diajukan penuntutannya terhadap pihak pelaku perempuan. Delik aduan yang relatif ada jika syarat pengaduan harus ditujukan kepada orang tertentu, seperti kejahatan pencurian di kalangan keluarga menurut pasal 367 KUHP.

Menurut peraturan hukum pidana pihak yang berhak mengadu tidak selalu harus pihak (korban) yang terkena kejahatan sebagaimana ditentukan dalam pasa172 - 75 KUHP kecuali ketentuan khusus dalam pasal 284 dan pasai 332 KUHP.

6. Abolusi dan amnesti.

Pemberian abolusi menghentikan penuntutan berhubung pernyataan Presiden terhadap orang tertentu atau segolongan tertentu yang menjadi terdakwa tentang dihapuskannya penuntutan sebelum ada keputusan pengadilan. Pemberian amnesti adalah pernyataan Presiden terhadap semua terdakwa dan terhukum baik yang dikenal ataupun tidak dikenal untuk dihapuskan penuntutan dan pelaksanaan putusan pidana serta semua akibat hukumnya.

Kewenangan amnesti dan abolusi serta rehabilitasi diberikan oleh Presiden berdasarkan Pasal 14 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-undang Drt. No. 11 tahun 1954 L.N. 1954 No. 146.

III. GUGURNYA MENJALANI PIDANA

Putusan hakim pidana yang mempunyai kekuatan tetap wajib dijalankan, namun karena alasan tertentu sebelum dijalankan putusan tersebut dapat menjadi gugur. Dasar hukum yang mengatur gugurnya hak menjalankan putusan pidana yang diatur dalam KUHP karena alasan:

(1) terpidana telah meninggal dunia,

(2) daluwarsa, dan yang diatur di luar KUHP karena putusan.

(3) grasi.

Menurut ketentuan pasal 84 KUHP daluwarsa kewenangan menjalankan putusan pidana untuk semua pelanggaran dalam tenggang waktu 2 tahun, kejahatan percetakan dalam tenggang waktu 5 tahun, kejahatan lainnya sama dengan ketentuan pasal 78 KUHP, kecuali untuk pidana mati tidak ada daluwarsa. Mengenai penghentian dan peniandaan daluwarsa serta tenggang waktu menjalani putusan pidana diatur dalam pasal 85 KUHP.

Pemberian grasi pada masa yang lalu merupakan anugerah raja, tetapi sekarang harus diartikan sebagai pernyataan masyarakat melalui Kepala Negara berdasarkan pertimbangan terpidana pernah berjasa bagi negara, suatu penyakit yang tidak dapat sembuh, kepentingan keluarga dan kelakuan baik dari terpidana. Keputusan hakim tidak dapat dihapuskan, akan tetapi melalui grasi menghapus pelaksanaan pidana untuk seluruhnya/sebagian atau mengganti jenis pidana yang lain.

Bahan Bacaan:

Kartanegara, Satochid, Hukum Pidana, Balai lektur mahasiwa.

Page 21: Alasan Penghapus Pidana Dan Penuntutan Dan Gugurnya Menjalani Pidanaolehprof.marcus

21

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1997, Citra Aditya Bakti, Bandung.

-------------, Djisman Samosir, 1979, Hukum Pidana Indonesia, Sinarbaru, Bandung.

Moeljatno, 1969, Perbuatan Pidana dan Pertanggungan jawab dalam Pidana Pidana, Seksi Kepidanaan Fakultas Hukum UGM.

---------------, 1996, KUHP, Bumi Aksara

---------------, 2008, Azas-Asas hukum Pidana (edisi Revisi), Rineka Cipta, Jakarta.

Purnomo , Bambang azas-azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta,.

Schaffmeister, Nico Keizer, PH Sutorus., 1995, Hukum Pidana, penerjemah YE Sahetapy, liberty, Yogyakarta.

Soedarto, 1987, Hukum Pidana I, Yayasan Soedarto, Semarang.