bab i pendahuluan - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/710/1/bab1.pdfpembangunan juga...

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berdasarkan konstitusi tertinggi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya pada Pasal 27 ayat 2, menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”. Dan hal ini dipertegas kembali pada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada pasal 28D mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Landasan hukum diatas jelaslah bahwa salah satu kewajiban dari negara/pemerintah adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan bagian dari hak asasi warga negara seperti yang sudah dijelaskan diatas. Landasan teoritis intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan terdapat pada pembukaan Undang- Undang Dasar 1945 alinea keempat menetapkan tujuan Negara Republik Indonesia yakni “ melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Dari ketentuan ini setidaknya ada 4 tujuan bernegara, yakni : 1. Protection function, negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia; 2. Walfare function, negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat; 3. Education function, negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa; 4. Peacefulness function, wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar.

Upload: dangngoc

Post on 15-Aug-2019

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Berdasarkan konstitusi tertinggi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945

tepatnya pada Pasal 27 ayat 2, menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas

pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”. Dan hal ini dipertegas kembali

pada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada pasal 28D

mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan

perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.

Landasan hukum diatas jelaslah bahwa salah satu kewajiban dari negara/pemerintah

adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan

bagian dari hak asasi warga negara seperti yang sudah dijelaskan diatas. Landasan teoritis

intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan terdapat pada pembukaan Undang-

Undang Dasar 1945 alinea keempat menetapkan tujuan Negara Republik Indonesia yakni “

melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk

memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Dari ketentuan ini setidaknya ada 4 tujuan bernegara, yakni :

1. Protection function, negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia;

2. Walfare function, negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat;

3. Education function, negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa;

4. Peacefulness function, wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan

bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar.

Selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat 4 menegaskan bahwa perlindungan (protection),

pemajuan (futherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment) hak asasi

manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Namun sebelumnya pemerintah

telah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal

38 ayat 2 menyebutkan “setiap orang berhak dengan bebas memilih perkerjaan yang

disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”1. Dengan amanat

Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang mengenai Hak Asasi Manusia, pemerintah

melakukan pembangunan nasional.

Dimana pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat

Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan

masyarakat yang sejahterah, adil, makmur dan merata. Baik secara meteril maupun spritual

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan

nasional, tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku

dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan

pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam

pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat

kemanusiaan.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-

hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja, serta pada saat yang bersamaan dapat

mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan

ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya

dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga

keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,

diperukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencangkup

1Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 13.

pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja

Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan

pembinaan hubungan industrial.

Di atas dikatakan bahwa pembangunan merupakan upaya yang diarahkan untuk

memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Pembangunan merupakan sarana untuk mencapai

kesejahteraan manusia. Upaya tersebut dapat tercapai dengan cara memperoleh pekerjaan.

Pembangunan juga dilaksanakan dalam rangka pembagunan manusia Indonesia seutuhnya

dan pembagunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang

sejahtera, adil, makmur, dan merata. Baik secara materil maupun spriritual berdasarkan

Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional,

tenaga kerja mempunya peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan

pembagunan.

Sesuai dengan peran dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan

ketenagakerjaan untuk mengikatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta

melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian.

Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhinya hak-hak

dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja, serta pada saat yang bersamaan dapat

mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan

ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.

Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan

masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan konprehensif, antara lain

mencangkup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing

tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan kerja, dan

pembinaan hubungan industrial.2

Sebagai wujud dari realisasi pembangunan tersebut, maka pemerintah membentuk

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada bab 1 ketentuan umum Pasal 1

angka 1 memberikan pengertian bahwa “ketenagakerjaan adalah segala hal yang

berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.

Dan pada Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa, “tenaga kerja adalah setiap orang yang

mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi

kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Berdasarkan Pasal 1 angka 3, “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan

menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam suatu pekerjaan ada yang disebut

dengan hubungan kerja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan pada bab 1 ketentuan umum Pasal 1 angka 15 pengertian dari hubungan

kerja, “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan

perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Hubungan kerja

terjadi antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja.

Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk

hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan

pengusaha3. Dengan adanya hubungan kerja maka buruh atau sekarang yang lebih dikenal

dengan pekerja dan pemberi kerja, mereka diwajibkan membuat perjanjian kerja. Dimana

perjanjian kerja memiliki beberapa pengetian. Berdasarkan Pasal 1601a Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata memberikan pengertian “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian

2 Koesparmono Irsan, dkk., Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga , Jakarta, 2016,hlm. 2

3 Ibid., hlm. 61.

dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain,

si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”

Perjanjian kerja merupakan faktor penting dalam hubungan kerja sebab dalam

perjanjian kerja diatur mengenai hak-hak perusahaan dengan pekerja. Dengan adanya

perjanjian kerja, pengusaha/perusahaan dan pekerja terikat oleh aturan-aturan yang harus

dipenuhi dan ditaati, sehingga hal tersebut dapat meminimalisasi masing-masing pihak

mencurangi pihak yang lainnya, yang tentunya dapat mengakibatkan kerugian bagi salah satu

pihak.4

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada

bab 1 ketentuan umum Pasal 1 angka 14, “perjanjian kerja adalah perjanjian atara

pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerjaa yang memuat syarat-syarat kerja, hak,

dan kewajiban para pihak”.

Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas, Iman Soepomo berpendapat bahwa

“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri

untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan

mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.”Menyimak

pengertian perjanjian kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti tersebut

diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “dibawah perintah pihak lain,” dibawah

perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan

bawahan dan atasan (subordinasi).5

Pada perjanjian kerja wajiblah menjelaskan apa-apa saja hak dan kewajiban dari para

pihak (pekerja dan pengusaha). Kewajiban pekerja yang terpenting adalah melaksanakan

pekerjaan menurut petunjuk pengusaha6. Hal ini dipertegas pada Pasal 1603 Kitab Undang-

4 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,Jakarta, 2016, hlm. 2.

5 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 62.6 Abdussalam, dkk., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), PTIK, Jakarta, 2016, hlm. 61.

Undang Hukum Perdata, menyebutkan buruh wajib melakukan perkerjaan yang telah

dijanjikan. Selain itu buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha.

Dan pekerja/buruh wajib membayar ganti rugi dan denda jika melakukan perbuatan yang

merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian.7 Dalam perjanjian kerja, juga

termuat hak dan kewajiban pengusaha. Dimana kewajiban pengusaha membayar upah,

memberikan istirahat/cuti, mengurus perawatan dan pengobatan bagi pekerja yang bertempat

tinggal di rumah majikan8.

Pada perjanjian kerja juga haruslah memuat hal-hal yang berhubungan dengan

pemutusan hubungan kerja (PHK), untuk menjamin kesejahteraan pekerja setelah

berakhirnya hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai pengakhiran

hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban

antara pekerja dan perusahaan9. Namun mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK),

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur dengan

jelas hal-hal yang dapat dijadikan dasar memutuskan hubungan kerja sebagaimana diatur

pada Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Salah satu penyebab pemutusan hubungan

kerja yakni pekerja telah melakukan kesalahan berat yang terdiri dari tindakan-tindakan

seperti melaukan penipuan, pencurian, memakai dan/atau mengedarkan narkotika10, dan hal –

hal lain yang dapat merugikan perusahaan dan/atau merusak citra perusahaan.

Namun pemutusan hubungan keja (PHK) juga dapat terjadi dengan cara

mengundurkan diri secara suka rela maupun mengundurkan diri karena usia pensiun.

Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan

7 Lalu Husni, op. cit., hlm. 69.8 R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,

2004, hlm. 414.9 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,

Jakarta, 2016, hlm. 76.10 Ibid., hlm. 78.

uang penggantian hak yang seharusnya diterima11. Selain mengenai uang pesangon, bahwa

pekerja mendapat perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengusaha

hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja setelah

memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja (PHK) diajukan secara tertulis disertai

alasan yang menjadi dasarnya. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK)

hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perseisihan hubungan industrial jika

ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundigkan, tetapi perundingan

tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.12

Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 pada Pasal 164 ayat (1)

“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena

perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus

selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh

berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang

penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang

penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”

Dalam hal terjadinya pemutusaan hubungan kerja, sudah dijelaskan bahwa pengusaha

diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan

penggantian hak yang seharusnya diterima13. Dan untuk pembayan hak-hak pekerja setelah

terjadinya pemutusan hubungan kerja ini wajib bagi dilaksanakan badan usaha yang berbadan

hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik

milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya14.

11 Lihat Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan12 Lihat Pasal 151-152 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.13 Lihat pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.14 Lihat pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.

Tidak terkecuali untuk salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di

Pekanbaru yaitu PT. Surveyor Indonesia. PT. Surveyor Indonesia bergerak di

bidang survei, inspeksi, dan konsultasi.15 Sesuai pada Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah dijelaskan bahwa badan usaha milik negara atau

bukan wajib membayar uang pesangon dan hak-hak lainnya setelah terjadinya pemutusan

hubungan industrial. Namun pekerja PT. Surveyor Indonesia ditemukan beberapa hal yang

mencerminkan lemahnya perlindungan yang diberikan PT. Surveyor Indonesia kepada

pekerja terutama pada daerah Pekanbaru.

Diantaranya tidak dibayarnya hak-hak pekerja setelah terjadinya pemutusan hubungan

kerja (PHK). Minimnya pengetahuan dari pekerja tersebut mengenai peraturan yang tertera

pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan mengakibatkan

pekerja masih menunggu niat baik dari PT Surveyor Indonesia untuk segera membayar hak-

hak mereka.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih

lanjut perlindungan hukum yang terdapat didalam pembayaran pesangon antara PT. Surveyor

Indonesia dengan pekerja. Penelaahan pembayaran hak-hak pekerja setelah terjadinya

pemutusan hubungan kerja akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul

“Perlindungan Hukum Terhadap Pembayaran Hak-Hak Pekerja Akibat Terjadinya

Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan Pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru “.

B. Rumusan Masalah

15 https://id.wikipedia.org/wiki/Surveyor_Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 21 Maret 2017.

1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pembayaran hak-hak pekerja setelah

terjadinya pemutusam hubungan kerja ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru ?

2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam pembayaran hak-hak pekerja

setelah terjadinya pemutusam hubungan kerja dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun

2003 Tentang Ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu:

1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja

menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada PT

Surveyor Indonesia di Pekanbaru.

2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendukung dan penghambat didalam

memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja menurut Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru.

Dengan dilakukannya penelitian ini tentu akan memberikan pengetahuan baru dari

hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, sehingga penulis berharap agar penelitian

ini dapat bermanfaat bagi :

1. Penulis sendiri untuk mengetahui lebih mendalam pengetahuan tentang gejala yang ada

didalam penelitian penulis. Selain itu juga, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses

pembelajaran untuk lebih mendalami materi-materi perkuliahan khususnya didalam

bidang ketenagakerjaan.

2. Para peneliti selanjutnya, guna sebagai referensi apabila karakteristik dari penelitiannya

tidak jauh berbeda, sehingga dapat menjadi rujukan dan memberikan sedikit gambaran

terhadap permasalahan yang sedang terjadi.

D. Tinjauan Pustaka

1. Hubungan Kerja

Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi

setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah

hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang

mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian, jelaslah bahwa

hubungan kerja adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.

Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai

bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara

pekerja dengan pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh

bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada, demikian halnya

dengan peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan PKB.16

2. Perjanjian Kerja

Menurut Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian kerja

adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh) mengikatkan dirinya untuk

16 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 61.

dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan

pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah

suatu perjanjian natara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat

syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. 17

Adapun syarat sah suatu perjanjian antara lain :

1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.18

Dan ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat

atas dasar :

1. Kesepakatan kedua belah pihak;

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;

3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan

4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,

kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Didalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :

1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;3. Jabatan atau jenis pekerjaan;4. Tempat pekerjaan;5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.19

17 Ibid., hlm. 62.18R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,

2004, hlm. 339.

3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan mengenai kewajiban

buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c menyatakan bahwa

buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama

dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin

pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh

pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keterampilan dan

keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja

meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (Pemutusan

hubungan kerja demi hukum). Selain itu buruh/pekerja juga wajib untuk menaati aturan

dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib

menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh

pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang

lingkup dari petunjuk tersebut. Dan buruh/pekerja wajib untuk membayar ganti rugi

dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan peruahaan baik

karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib

membayar ganti rugi daan denda20.

Adapun yang menjadi kewajiban pengusaha adalah membayar upah; dalam

hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada

pekerja secara tepat waktu. Ketetuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan

pengaturan ke arah hukum publik. Dan mengenai pembayaran upah ini diatur lebih

lanjut pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan tepatnya

pada Pasal 88 – Pasal 98. Selain itu pengusaha juga berkewajiban memberikan

19 Lihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.20Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 69.

istirahat/cuti; pihak majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat kepada

pekerja seperti istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setentah jam setelah

bekerja 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam

kerja. Selain itu pengusaha juga berkewajiban untuk memberikan cuti tahunan kepada

pekerja secara teratur. Dan ini terdapat pada Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13

Tahun 2003. Selain itu pengusaha juga wajib untuk mengurus perawatan dan

pengobatan; majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja

yang bertempat tinggal di rumah majikan21.

Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas

bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang

tidak bertempat tinggal di rumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit,

kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur

dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

(Jamsostek).

Pengusaha juga wajib memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan

pada ketentuan Pasal 1602a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menentukan

bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan

dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat

pekerjaan yang dilakukan, lama hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan itu juga

diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja.22

4. Jenis Perjanjian Kerja

Ada 2 macam jenis perjanjian kerja, yaitu :

a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

21R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,2004, hlm. 414.

22 Lalu Husni, op. cit., hlm. 70.

Perjanjian kerja tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang didasarkan pada

suatu pekerjaan yang penyelesaian dapat di perkirakan23. Perjanjian kerja waktu

tertentu (PKWT) disebut juga pegawai kontrak. Dimana PKWT ini perjanjiannya

harus dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin. Dan

didalam perjanjian kerja ini harus memuat jangka waktu atau selesainya suatu

pekerjaan tertentu.24

Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,

disyaratkan adanya masa percobaan bagi pekerja. Namun itu hanya berlaku bagi

perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), sedangkan pada perjanjian kerja

waktu tertentu(PKWT) tidak diperkenankan adanya masa percobaan, dan jika itu

terjadi maka perjajian kerja waktu tertetu (PKWT) tersebut batal demi hukum.

Pada Pasal 59 ayat 4 menentukan bahwa perjanjian kerja tidak tertentu

(PKWT) hanya dapat di perpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun

dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, sehingga

total keseluruhan perjajian kerja waktu tertentu adalah 3 (tiga) tahun.

b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)

Dasar dari pekerjaan yang berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu adalah

adanya suatu pekerjaan yang pasti akan selesai dalam jangka waktu tertentu25.

Perjanjian kerja waktu tidak tertenju juga didasarkan pada pekerjaan yang bersifat

terus-menerus dan tidak bersifat pekerjaan khusus, seperti pekerjaan untuk

membangun jembatan.

Pada perjanjian kerja waktu tertentu, untuk dapat diangkat menjadi karyawan

permanen, diisyaratkan adanya masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan jika

23 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,Jakarta, 2016, hlm. 2.

24 Lihat Pasal 56 - 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.25Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,

Jakarta, 2016, hlm. 5.

kinerja pekerja yang bersangkutan memenuhi persyaratan, status dari pekerja yang

besangkutan berubah dari pekerja kontrak menjadi pekerja permanen26.

5. Berakhirnya Perjanjian Kerja

Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir apabila pekerja itu meninggal dunia,

berakhirnya waktu perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau

penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah

mempunyai hukum tetap, atau adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan

dalam perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.

Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atua beralihnya hak

atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, maupun hibah.27

6. Pemutusan Hubungan Kerja

Adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang

mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan.

Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis

kontrak.28 Tetapi pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya tanpa ada diperlukan

adanya tindakan dari semua pihak baik buruh, pihak majikan maupun pihak pengadilan.

Dalam Pasal 1630e ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, habisnya waktu

perjanjian untuk waktu tertentu, dan ayat 2 buruh meninggal dunia. Hubungan kerja

berakhir demi hukum, apabila habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau

peraturan majikan atau dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu

tidak ada, menurut kebiasaan. Hubungan kerja diadakan untuk waktu tertentu, jika

26 Jimmy Joses Sembiring,op. cit., hlm. 9.27 Lihat Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.28 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 175.

berakhirnya dikaitkan dengan kejadian yang tidak semata-mata tergantung kepada

kehendak salah satu pihak29.

7. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja

a. Pemutusan Demi Hukum

Hubungan kerja putus demi hukum dalam waktu telah habis adalah waktu yang

ditentukan telah berakhir, maka berakhir pula pekerjaan yang dilakukan oleh buruh

tersebut dan pengusaha tidak dapat menempatkannya dibagian lain dari

perusahaannya, artinya bagi pekerja sudah tidak ada pekerjaan lagi. Untuk itu perlu

adanya kewajiban bagi pengusaha memberitahukan kepada pekerja/buruh akan

putusnya hubungan kerja. Selain habis masa waktu kerja, menurut Pasal 1603 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, meninggalnya pekerja/buruh juga merupakan

putusnya hubungan kerja demi hukum30.

b. Pemutusan Oleh Pihak Buruh

Pemutusan oleh pekerja/buruh, dilakukan sebelum berakhirya perjanjian kerja

dan itu merupakan hak dan wewenang pekerja/buruh untuk memutuskan hubungan

kerja baik atas persetujuan maupun dilakukan secara sepihak oleh pekerja/buruh

sendiri. Pekerja/buruh yang mengakhiri hubungan kerja tanpa pernyataan pengakhiran

atau tanpa mengindahkan aturan yang berlaku bagi pernyataan pengakhiran, dengan

tiada persetujuan majikan, bertindak berlawanan dengan hukum, kecuali bila ia

serentak membayar ganti rugi kepada majikan atau pekerja/buruh mengakhiri

hubungan kerja sedemikian itu dengan alasan mendesak seketika itu juga

29Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 165,sebagaimana dikutib oleh Abdussalam, dkk., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), PTIK, Jakarta,2016, hlm. 95.

30 Ibid., hlm. 97

diberitahukan kepada majikan berdasarkan Pasal 1603n Kitab Undang-Undang

Perdata seperti majikan menganiaya, tidak membayar upah, maupun membujuk untuk

melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang31.

c. Pemutusan Oleh Majikan

Pemutusan oleh majikan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Bila ada

perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan diluar dari syarat-syarat

yang terdapat dalam perjanjian kerja, hal tersebut harus diselesaikan melalui

permusyawaratan atau melalui panitia penyelesaian pemutusan perselisihan

perburuhan32.

d. Pemutusan Oleh Pengadilan

Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan adalah pemutusan oleh hakim perdata

pengadilan atas permintaan kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja

berdasarkan alasan-alasan yang kuat yang disertai dengan bukti, bukan putusan

pidana33. Alasan-alasan yang kuat seperti pekerja pada waktu mengadakan perjanjian

mengelabui pengusaha maupun ternyata pekerja tidak mempunyai kemampuan atau

kesanggupan pada pekerjaan yang diperjanjikan34.

8. Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Penggantian Hak

Pesangon merupakan uang guna pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada

pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja.35 Dimana uang pesangon

juga termasuk dalam uang penghargaan dan uang ganti rugi. Untuk perhitungan uang

31Ibid., hlm. 100.32Ibid., hlm. 109.33Ibid., hlm. 125.34R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,

2004, hlm. 413.35Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Pustaka Mahardika, hlm. 414.

pesangon, uang penghargaan, dan uang ganti rugi secara jelas tertuang pada Pasal 156

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dimana

perhitungannya sebagai berikut :

Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud paling sedikit sebagai

berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan

upah;c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan

upah;d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)

bulan upah;e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)

bulan upah;f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)

bulan upah;g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)

bulan upah.h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)

bulan upah;i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Dan untuk perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagai berikut:

a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulanupah;

b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)bulan upah;

c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun,4 (empat) bulan upah;

d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan upah;

e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)tahun, 6 (enam) bulan upah;

f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)tahun, 7 (tujuh) bulan upah;

g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluhempat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4)

Mengenai uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:

a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;

b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana

pekerja/buruh diterima bekerja;

c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas

perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang

memenuhi syarat;

d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau

perjanjian kerja bersama.

E. Konsep Operasional

Untuk memberikan arah dan tidak menimbulkan salah pengertian yang berbeda dalam

penelitian maupun dalam pembahasannya secara lebih lanjut, maka penulis perlu untuk

memberikan batasan judul penelitian sebagai berikut:

Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek

hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat

represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum

sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan

suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.36

Pembayaran adalah proses, cara, perbuatan membayar37. Pembayaran disini adalah

sejumlah uang dalam rangka pembayaran seperti gaji.

Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita38.

Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan

dalam bentuk lain.39

36http//www.artikata.com/arti perlindungan hukum.html. Pada hari Selasa, 21 Maret 201737Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Pustaka Mahardika, hlm. 345.38Ibid., hlm. 195.39Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal

tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan

pengusaha40.

Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-

undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan

bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat

untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam

rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan

sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan

hubungan di antara keduanya.41

Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu

sebelum, selama dan sesudah masa kerja.42

PT. Surveyor Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di

bidang survei, inspeksi, dan konsultasi.43

Pekanbaru adalah ibu kota Provinsi Riau, Indonesia.

F. Metode Penelitian

Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

a. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini tergolong kepada penelitian penelitian hukum observasi atau

penelitian survei, yaitu penelitian yang langsung diadakan dilokasi penelitian dengan

40Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan41Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan42Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan43https://id.wikipedia.org/wiki/Surveyor_Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 21 Maret 2017

menggunakan alat pengumpul data yang berupa angket atau quisioner dan interview

atau wawancara. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya maka penelitian ini bersifat

deskriftif sosiologis,44 yaitu suatu penelitian yang bertujuan membuat gambaran atau

kejadian secara sistematis, aktual dan akurat berdasarkan fakta-fakta yang nyata serta

menganalisa hubungan dengan gejala yang sedang diteliti di PT. Surveyor Indonesia

di Pekanbaru.

Maksudnya adalah menggambarkan secara lengkap dan terperinci mengenai

perlindungan hukum terhadap pembayaran hak-hak pekerja akibat pemutusan

hubungan kerja ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan pada PT. Surveyor Indonesia di Pekanbaru dan untuk mengetahui

faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hukum

terhadap terhadap pembayaran hak-hak pekerja akibat pemutusan hubungan kerja

ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada

PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru.

b. Lokasi Penelitian

Untuk lokasi penelitian, penulis memilih PT Surveyor Indonesia yang ada di

Pekanbaru untuk menjadi lokasi penelitian. Dikarenanya ada pelanggaran terhadap

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang penulis lihat.

c. Populasi dan Responden

Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari obyek yang akan diteliti yang

mempunyai karakteristik yang sama (homogen). Dimana yang penulis memilih populasi

44 Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 5.

yaitu pekerja yang ada di PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru , khususnya yang

melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menjadi sample.

Sample adalah bagian dari populasi yang akan diteliti. Dan dalam menetapkan

sample, penulis menggunakan metode sensus. Dimana metode sensus ini semua populasi

dijadikan sample. Metode ini digunakan karena jumlah populasi yang sedikit.

Tabel I.IPopulasi dan Sampel

Sub Populasi Jumlah Persentase Keterangan

Pegawai Bidang

Pengawasan Dinas Tenaga

Kerja dan Transmigrasi

Provinsi Riau

1 100% Sensus

Pekerja PT. Surveyor

Indonesia di Pekanbaru7 100% Sensus

Sumber : data lapangan setelah diolah Maret 2017

d. Jenis Data dan Sumber Data

Adapun data dan sumber data dalam penelitian ini adalah :

a. Data primer, adalah data utama yang diperoleh dari penelitian ini melalui responden

sample. Adapun yang menjadi responden pada penelitian ini adalah pekerja yang

melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap PT Surveyor Indonesia di

Pekanbaru.

b. Data sekunder, yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari

bahan hukum mengikat, seperti buku-buku literatur yang mendukung dengan pokok

masalah yang dibahas dan peraturan perundang-undangan. Penulis mengambil dari

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga dari buku-

buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

e. Alat Pengumpul Data

Sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah

data yang diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya dengan

penelitian ini kepada responden dengan secara langsung yang dianggap perlu dalam

melengkapi data. Adapun responen pada wawancara ini adalah pegawai bidang pengawasan

Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau, dan pekerja PT Surveyor Indonesia di

Pekanbaru yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).

f. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang terkumpul dari data

responden dengan cara wawancara. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengolahan

datanya disajikan dalam bentuk kalimat, dan dibahas dengan merujuk kepada peraturan yang

berlaku dan pendapat para ahli.

g. Metode Penarikan Kesimpulan

Metode penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode indukif, yaitu menarik

kesimulan dari ketentuan yang bersifat khusus yang dalam hal ini adalah Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dihubungkan dengan ketentuan yang

bersifat umum yaitu data yang diperoleh dari responden.