bab i pendahuluan - repository.uir.ac.idrepository.uir.ac.id/710/1/bab1.pdfpembangunan juga...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan konstitusi tertinggi Indonesia, yaitu Undang-Undang Dasar 1945
tepatnya pada Pasal 27 ayat 2, menyatakan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusian”. Dan hal ini dipertegas kembali
pada Undang-Undang Dasar 1945 Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yaitu pada pasal 28D
mengamanatkan bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan
perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja.
Landasan hukum diatas jelaslah bahwa salah satu kewajiban dari negara/pemerintah
adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warga negaranya, karena bekerja merupakan
bagian dari hak asasi warga negara seperti yang sudah dijelaskan diatas. Landasan teoritis
intervensi pemerintah dalam bidang ketenagakerjaan terdapat pada pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945 alinea keempat menetapkan tujuan Negara Republik Indonesia yakni “
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.
Dari ketentuan ini setidaknya ada 4 tujuan bernegara, yakni :
1. Protection function, negara melindungi seluruh tumpah darah Indonesia;
2. Walfare function, negara wajib mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat;
3. Education function, negara memiliki kewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa;
4. Peacefulness function, wajib menciptakan perdamaian dalam kehidupan bernegara dan
bermasyarakat, baik ke dalam maupun ke luar.
Selanjutnya dalam Pasal 28 I ayat 4 menegaskan bahwa perlindungan (protection),
pemajuan (futherance), penegakan (enforcement), dan pemenuhan (fulfilment) hak asasi
manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Namun sebelumnya pemerintah
telah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal
38 ayat 2 menyebutkan “setiap orang berhak dengan bebas memilih perkerjaan yang
disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”1. Dengan amanat
Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang mengenai Hak Asasi Manusia, pemerintah
melakukan pembangunan nasional.
Dimana pembangunan nasional dilaksanakan dalam rangka pembangunan masyarakat
Indonesia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahterah, adil, makmur dan merata. Baik secara meteril maupun spritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan
nasional, tenaga kerja mempunyai peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku
dan tujuan pembangunan. Sesuai dengan peranan dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan
pembangunan ketenagakerjaan untuk meningkatkan kualitas dan kontribusinya dalam
pembangunan serta melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhi hak-
hak dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja, serta pada saat yang bersamaan dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan. Keterkaitan itu tidak hanya
dengan kepentingan tenaga kerja selama, sebelum, dan sesudah masa kerja tetapi juga
keterkaitan dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan masyarakat. Untuk itu,
diperukan pengaturan yang menyeluruh dan komprehensif, antara lain mencangkup
1Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 13.
pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja
Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan tenaga kerja, dan
pembinaan hubungan industrial.
Di atas dikatakan bahwa pembangunan merupakan upaya yang diarahkan untuk
memperoleh taraf hidup yang lebih baik. Pembangunan merupakan sarana untuk mencapai
kesejahteraan manusia. Upaya tersebut dapat tercapai dengan cara memperoleh pekerjaan.
Pembangunan juga dilaksanakan dalam rangka pembagunan manusia Indonesia seutuhnya
dan pembagunan masyarakat Indonesia seluruhnya untuk mewujudkan masyarakat yang
sejahtera, adil, makmur, dan merata. Baik secara materil maupun spriritual berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pelaksanaan pembangunan nasional,
tenaga kerja mempunya peran dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan
pembagunan.
Sesuai dengan peran dan kedudukan tenaga kerja, diperlukan pembangunan
ketenagakerjaan untuk mengikatkan kualitas dan kontribusinya dalam pembangunan serta
melindungi hak dan kepentingannya sesuai dengan harkat dan martabat kemanusian.
Pembangunan ketenagakerjaan harus diatur sedemikian rupa sehingga terpenuhinya hak-hak
dan perlindungan yang mendasar bagi tenaga kerja, serta pada saat yang bersamaan dapat
mewujudkan kondisi yang kondusif bagi pengembangan dunia usaha. Pembangunan
ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan.
Keterkaitan itu tidak hanya dengan kepentingan pengusaha, pemerintah, dan
masyarakat. Untuk itu, diperlukan pengaturan yang menyeluruh dan konprehensif, antara lain
mencangkup pengembangan sumber daya manusia, peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia, upaya perluasan kesempatan kerja, pelayanan penempatan kerja, dan
pembinaan hubungan industrial.2
Sebagai wujud dari realisasi pembangunan tersebut, maka pemerintah membentuk
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada bab 1 ketentuan umum Pasal 1
angka 1 memberikan pengertian bahwa “ketenagakerjaan adalah segala hal yang
berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.
Dan pada Pasal 1 angka 2 menjelaskan bahwa, “tenaga kerja adalah setiap orang yang
mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa, baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3, “pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan
menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Dalam suatu pekerjaan ada yang disebut
dengan hubungan kerja. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada bab 1 ketentuan umum Pasal 1 angka 15 pengertian dari hubungan
kerja, “hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan
perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah”. Hubungan kerja
terjadi antara buruh dan majikan setelah adanya perjanjian kerja.
Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai bentuk
hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
pengusaha3. Dengan adanya hubungan kerja maka buruh atau sekarang yang lebih dikenal
dengan pekerja dan pemberi kerja, mereka diwajibkan membuat perjanjian kerja. Dimana
perjanjian kerja memiliki beberapa pengetian. Berdasarkan Pasal 1601a Kitab Undang-
Undang Hukum Perdata memberikan pengertian “perjanjian kerja adalah suatu perjanjian
2 Koesparmono Irsan, dkk., Hukum Tenaga Kerja Suatu Pengantar, Penerbit Erlangga , Jakarta, 2016,hlm. 2
3 Ibid., hlm. 61.
dimana pihak kesatu (si buruh), mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain,
si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah.”
Perjanjian kerja merupakan faktor penting dalam hubungan kerja sebab dalam
perjanjian kerja diatur mengenai hak-hak perusahaan dengan pekerja. Dengan adanya
perjanjian kerja, pengusaha/perusahaan dan pekerja terikat oleh aturan-aturan yang harus
dipenuhi dan ditaati, sehingga hal tersebut dapat meminimalisasi masing-masing pihak
mencurangi pihak yang lainnya, yang tentunya dapat mengakibatkan kerugian bagi salah satu
pihak.4
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada
bab 1 ketentuan umum Pasal 1 angka 14, “perjanjian kerja adalah perjanjian atara
pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerjaa yang memuat syarat-syarat kerja, hak,
dan kewajiban para pihak”.
Selain pengertian normatif seperti tersebut diatas, Iman Soepomo berpendapat bahwa
“perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (buruh), mengikatkan diri
untuk bekerja dengan menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan
mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan membayar upah.”Menyimak
pengertian perjanjian kerja menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seperti tersebut
diatas tampak bahwa ciri khas perjanjian kerja adalah “dibawah perintah pihak lain,” dibawah
perintah ini menunjukkan bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha adalah hubungan
bawahan dan atasan (subordinasi).5
Pada perjanjian kerja wajiblah menjelaskan apa-apa saja hak dan kewajiban dari para
pihak (pekerja dan pengusaha). Kewajiban pekerja yang terpenting adalah melaksanakan
pekerjaan menurut petunjuk pengusaha6. Hal ini dipertegas pada Pasal 1603 Kitab Undang-
4 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,Jakarta, 2016, hlm. 2.
5 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 62.6 Abdussalam, dkk., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), PTIK, Jakarta, 2016, hlm. 61.
Undang Hukum Perdata, menyebutkan buruh wajib melakukan perkerjaan yang telah
dijanjikan. Selain itu buruh/pekerja wajib menaati aturan dan petunjuk majikan/pengusaha.
Dan pekerja/buruh wajib membayar ganti rugi dan denda jika melakukan perbuatan yang
merugikan perusahaan baik karena kesengajaan atau kelalaian.7 Dalam perjanjian kerja, juga
termuat hak dan kewajiban pengusaha. Dimana kewajiban pengusaha membayar upah,
memberikan istirahat/cuti, mengurus perawatan dan pengobatan bagi pekerja yang bertempat
tinggal di rumah majikan8.
Pada perjanjian kerja juga haruslah memuat hal-hal yang berhubungan dengan
pemutusan hubungan kerja (PHK), untuk menjamin kesejahteraan pekerja setelah
berakhirnya hubungan kerja. Pemutusan hubungan kerja adalah sebagai pengakhiran
hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja dan perusahaan9. Namun mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK),
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur dengan
jelas hal-hal yang dapat dijadikan dasar memutuskan hubungan kerja sebagaimana diatur
pada Bab XII tentang Pemutusan Hubungan Kerja. Salah satu penyebab pemutusan hubungan
kerja yakni pekerja telah melakukan kesalahan berat yang terdiri dari tindakan-tindakan
seperti melaukan penipuan, pencurian, memakai dan/atau mengedarkan narkotika10, dan hal –
hal lain yang dapat merugikan perusahaan dan/atau merusak citra perusahaan.
Namun pemutusan hubungan keja (PHK) juga dapat terjadi dengan cara
mengundurkan diri secara suka rela maupun mengundurkan diri karena usia pensiun.
Pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan
7 Lalu Husni, op. cit., hlm. 69.8 R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,
2004, hlm. 414.9 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,
Jakarta, 2016, hlm. 76.10 Ibid., hlm. 78.
uang penggantian hak yang seharusnya diterima11. Selain mengenai uang pesangon, bahwa
pekerja mendapat perlindungan terhadap pemutusan hubungan kerja (PHK). Pengusaha
hanya dapat melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) dengan pekerja setelah
memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Permohonan penetapan pemutusan hubungan kerja (PHK) diajukan secara tertulis disertai
alasan yang menjadi dasarnya. Penetapan atas permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK)
hanya dapat diberikan oleh lembaga penyelesaian perseisihan hubungan industrial jika
ternyata maksud untuk memutuskan hubungan kerja telah dirundigkan, tetapi perundingan
tersebut tidak menghasilkan kesepakatan.12
Di dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 pada Pasal 164 ayat (1)
“Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena
perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus
selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh
berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang
penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).”
Dalam hal terjadinya pemutusaan hubungan kerja, sudah dijelaskan bahwa pengusaha
diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan
penggantian hak yang seharusnya diterima13. Dan untuk pembayan hak-hak pekerja setelah
terjadinya pemutusan hubungan kerja ini wajib bagi dilaksanakan badan usaha yang berbadan
hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik
milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya14.
11 Lihat Pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan12 Lihat Pasal 151-152 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.13 Lihat pasal 156 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.14 Lihat pasal 150 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003.
Tidak terkecuali untuk salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berada di
Pekanbaru yaitu PT. Surveyor Indonesia. PT. Surveyor Indonesia bergerak di
bidang survei, inspeksi, dan konsultasi.15 Sesuai pada Pasal 150 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, telah dijelaskan bahwa badan usaha milik negara atau
bukan wajib membayar uang pesangon dan hak-hak lainnya setelah terjadinya pemutusan
hubungan industrial. Namun pekerja PT. Surveyor Indonesia ditemukan beberapa hal yang
mencerminkan lemahnya perlindungan yang diberikan PT. Surveyor Indonesia kepada
pekerja terutama pada daerah Pekanbaru.
Diantaranya tidak dibayarnya hak-hak pekerja setelah terjadinya pemutusan hubungan
kerja (PHK). Minimnya pengetahuan dari pekerja tersebut mengenai peraturan yang tertera
pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan mengakibatkan
pekerja masih menunggu niat baik dari PT Surveyor Indonesia untuk segera membayar hak-
hak mereka.
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut penulis tertarik untuk menelaah lebih
lanjut perlindungan hukum yang terdapat didalam pembayaran pesangon antara PT. Surveyor
Indonesia dengan pekerja. Penelaahan pembayaran hak-hak pekerja setelah terjadinya
pemutusan hubungan kerja akan dilakukan melalui suatu penelitian dengan judul
“Perlindungan Hukum Terhadap Pembayaran Hak-Hak Pekerja Akibat Terjadinya
Pemutusan Hubungan Kerja Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan Pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru “.
B. Rumusan Masalah
15 https://id.wikipedia.org/wiki/Surveyor_Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 21 Maret 2017.
1. Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap pembayaran hak-hak pekerja setelah
terjadinya pemutusam hubungan kerja ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru ?
2. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam pembayaran hak-hak pekerja
setelah terjadinya pemutusam hubungan kerja dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang hendak penulis capai yaitu:
1. Untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum terhadap pekerja
menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada PT
Surveyor Indonesia di Pekanbaru.
2. Untuk mengetahui faktor yang menjadi pendukung dan penghambat didalam
memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru.
Dengan dilakukannya penelitian ini tentu akan memberikan pengetahuan baru dari
hasil penelitian yang telah dilakukan oleh penulis, sehingga penulis berharap agar penelitian
ini dapat bermanfaat bagi :
1. Penulis sendiri untuk mengetahui lebih mendalam pengetahuan tentang gejala yang ada
didalam penelitian penulis. Selain itu juga, penelitian ini dapat dijadikan sebagai proses
pembelajaran untuk lebih mendalami materi-materi perkuliahan khususnya didalam
bidang ketenagakerjaan.
2. Para peneliti selanjutnya, guna sebagai referensi apabila karakteristik dari penelitiannya
tidak jauh berbeda, sehingga dapat menjadi rujukan dan memberikan sedikit gambaran
terhadap permasalahan yang sedang terjadi.
D. Tinjauan Pustaka
1. Hubungan Kerja
Hubungan kerja adalah hubungan antara pekerja dengan pengusaha yang terjadi
setelah adanya perjanjian kerja. Dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. Dengan demikian, jelaslah bahwa
hubungan kerja adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh.
Berdasarkan pengertian tersebut jelaslah bahwa hubungan kerja sebagai
bentuk hubungan hukum lahir atau tercipta setelah adanya perjanjian kerja antara
pekerja dengan pengusaha. Substansi perjanjian kerja yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) yang ada, demikian halnya
dengan peraturan perusahaan, substansinya tidak boleh bertentangan dengan PKB.16
2. Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 1601 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perjanjian kerja
adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu (si buruh) mengikatkan dirinya untuk
16 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 61.
dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan
pekerjaan dengan menerima upah. Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan pengertian perjanjian kerja adalah
suatu perjanjian natara pekerja/buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak. 17
Adapun syarat sah suatu perjanjian antara lain :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.18
Dan ketentuan ini juga tertuang dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat
atas dasar :
1. Kesepakatan kedua belah pihak;
2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
3. Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
4. Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Didalam perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat :
1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;3. Jabatan atau jenis pekerjaan;4. Tempat pekerjaan;5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.19
17 Ibid., hlm. 62.18R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,
2004, hlm. 339.
3. Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Kerja
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ketentuan mengenai kewajiban
buruh/pekerja diatur dalam Pasal 1603, 1603a, 1603b, dan 1603c menyatakan bahwa
buruh/pekerja wajib melakukan pekerjaan; melakukan pekerjaan adalah tugas utama
dari seorang pekerja yang harus dilakukan sendiri, meskipun demikian dengan seizin
pengusaha dapat diwakilkan. Untuk itulah mengingat pekerjaan yang dilakukan oleh
pekerja yang sangat pribadi sifatnya karena berkaitan dengan keterampilan dan
keahliannya, maka berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan jika pekerja
meninggal dunia, maka hubungan kerja berakhir dengan sendirinya (Pemutusan
hubungan kerja demi hukum). Selain itu buruh/pekerja juga wajib untuk menaati aturan
dan petunjuk majikan/pengusaha; dalam melakukan pekerjaan buruh/pekerja wajib
menaati petunjuk yang diberikan oleh pengusaha. Aturan yang wajib ditaati oleh
pekerja sebaiknya dituangkan dalam peraturan perusahaan sehingga menjadi jelas ruang
lingkup dari petunjuk tersebut. Dan buruh/pekerja wajib untuk membayar ganti rugi
dan denda; jika buruh/pekerja melakukan perbuatan yang merugikan peruahaan baik
karena kesengajaan atau kelalaian, maka sesuai dengan prinsip hukum pekerja wajib
membayar ganti rugi daan denda20.
Adapun yang menjadi kewajiban pengusaha adalah membayar upah; dalam
hubungan kerja kewajiban utama bagi pengusaha adalah membayar upah kepada
pekerja secara tepat waktu. Ketetuan tentang upah ini juga telah mengalami perubahan
pengaturan ke arah hukum publik. Dan mengenai pembayaran upah ini diatur lebih
lanjut pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang ketenagakerjaan tepatnya
pada Pasal 88 – Pasal 98. Selain itu pengusaha juga berkewajiban memberikan
19 Lihat Pasal 54 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.20Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 69.
istirahat/cuti; pihak majikan/pengusaha diwajibkan untuk memberikan istirahat kepada
pekerja seperti istirahat antara jam kerja sekurang-kurangnya setentah jam setelah
bekerja 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam
kerja. Selain itu pengusaha juga berkewajiban untuk memberikan cuti tahunan kepada
pekerja secara teratur. Dan ini terdapat pada Pasal 79 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003. Selain itu pengusaha juga wajib untuk mengurus perawatan dan
pengobatan; majikan/pengusaha wajib mengurus perawatan/pengobatan bagi pekerja
yang bertempat tinggal di rumah majikan21.
Dalam perkembangan hukum ketenagakerjaan, kewajiban ini tidak hanya terbatas
bagi pekerja yang bertempat tinggal di rumah majikan, tetapi juga bagi pekerja yang
tidak bertempat tinggal di rumah majikan. Perlindungan bagi tenaga kerja yang sakit,
kecelakaan, kematian telah dijamin melalui perlindungan Jamsostek sebagaimana diatur
dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja
(Jamsostek).
Pengusaha juga wajib memberikan surat keterangan; kewajiban ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 1602a Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang menentukan
bahwa majikan/pengusaha wajib memberikan surat keterangan yang diberi tanggal dan
dibubuhi tanda tangan. Dalam surat keterangan tersebut dijelaskan mengenai sifat
pekerjaan yang dilakukan, lama hubungan kerja (masa kerja). Surat keterangan itu juga
diberikan meskipun inisiatif pemutusan hubungan kerja datangnya dari pihak pekerja.22
4. Jenis Perjanjian Kerja
Ada 2 macam jenis perjanjian kerja, yaitu :
a. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
21R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,2004, hlm. 414.
22 Lalu Husni, op. cit., hlm. 70.
Perjanjian kerja tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja yang didasarkan pada
suatu pekerjaan yang penyelesaian dapat di perkirakan23. Perjanjian kerja waktu
tertentu (PKWT) disebut juga pegawai kontrak. Dimana PKWT ini perjanjiannya
harus dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa indonesia dan huruf latin. Dan
didalam perjanjian kerja ini harus memuat jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu.24
Pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan,
disyaratkan adanya masa percobaan bagi pekerja. Namun itu hanya berlaku bagi
perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT), sedangkan pada perjanjian kerja
waktu tertentu(PKWT) tidak diperkenankan adanya masa percobaan, dan jika itu
terjadi maka perjajian kerja waktu tertetu (PKWT) tersebut batal demi hukum.
Pada Pasal 59 ayat 4 menentukan bahwa perjanjian kerja tidak tertentu
(PKWT) hanya dapat di perpanjang untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun
dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, sehingga
total keseluruhan perjajian kerja waktu tertentu adalah 3 (tiga) tahun.
b. Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT)
Dasar dari pekerjaan yang berdasarkan perjanjian kerja waktu tertentu adalah
adanya suatu pekerjaan yang pasti akan selesai dalam jangka waktu tertentu25.
Perjanjian kerja waktu tidak tertenju juga didasarkan pada pekerjaan yang bersifat
terus-menerus dan tidak bersifat pekerjaan khusus, seperti pekerjaan untuk
membangun jembatan.
Pada perjanjian kerja waktu tertentu, untuk dapat diangkat menjadi karyawan
permanen, diisyaratkan adanya masa percobaan selama 3 (tiga) bulan dan jika
23 Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,Jakarta, 2016, hlm. 2.
24 Lihat Pasal 56 - 57 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.25Jimmy Joses Sembiring, Hak & Kewajiban Pekerja Berdasarkan Peraturan Terbaru, Visimedia,
Jakarta, 2016, hlm. 5.
kinerja pekerja yang bersangkutan memenuhi persyaratan, status dari pekerja yang
besangkutan berubah dari pekerja kontrak menjadi pekerja permanen26.
5. Berakhirnya Perjanjian Kerja
Berdasarkan Pasal 61 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, perjanjian kerja berakhir apabila pekerja itu meninggal dunia,
berakhirnya waktu perjanjian kerja, adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau
penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah
mempunyai hukum tetap, atau adanya keadaan atau kejadian tertentu dicantumkan
dalam perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Perjanjian kerja tidak berakhir karena meninggalnya pengusaha atua beralihnya hak
atas perusahaan yang disebabkan penjualan, pewarisan, maupun hibah.27
6. Pemutusan Hubungan Kerja
Adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan.
Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis
kontrak.28 Tetapi pemutusan hubungan kerja dengan sendirinya tanpa ada diperlukan
adanya tindakan dari semua pihak baik buruh, pihak majikan maupun pihak pengadilan.
Dalam Pasal 1630e ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, habisnya waktu
perjanjian untuk waktu tertentu, dan ayat 2 buruh meninggal dunia. Hubungan kerja
berakhir demi hukum, apabila habis waktunya yang ditetapkan dalam perjanjian atau
peraturan majikan atau dalam peraturan perundang-undangan atau jika semuanya itu
tidak ada, menurut kebiasaan. Hubungan kerja diadakan untuk waktu tertentu, jika
26 Jimmy Joses Sembiring,op. cit., hlm. 9.27 Lihat Pasal 61 ayat 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan.28 Lalu Husni, Pegantar Hukum Ketenagakerjaan edisi revisi, Rajawali Pers, Jakarta, 2015, hlm. 175.
berakhirnya dikaitkan dengan kejadian yang tidak semata-mata tergantung kepada
kehendak salah satu pihak29.
7. Jenis-Jenis Pemutusan Hubungan Kerja
a. Pemutusan Demi Hukum
Hubungan kerja putus demi hukum dalam waktu telah habis adalah waktu yang
ditentukan telah berakhir, maka berakhir pula pekerjaan yang dilakukan oleh buruh
tersebut dan pengusaha tidak dapat menempatkannya dibagian lain dari
perusahaannya, artinya bagi pekerja sudah tidak ada pekerjaan lagi. Untuk itu perlu
adanya kewajiban bagi pengusaha memberitahukan kepada pekerja/buruh akan
putusnya hubungan kerja. Selain habis masa waktu kerja, menurut Pasal 1603 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata, meninggalnya pekerja/buruh juga merupakan
putusnya hubungan kerja demi hukum30.
b. Pemutusan Oleh Pihak Buruh
Pemutusan oleh pekerja/buruh, dilakukan sebelum berakhirya perjanjian kerja
dan itu merupakan hak dan wewenang pekerja/buruh untuk memutuskan hubungan
kerja baik atas persetujuan maupun dilakukan secara sepihak oleh pekerja/buruh
sendiri. Pekerja/buruh yang mengakhiri hubungan kerja tanpa pernyataan pengakhiran
atau tanpa mengindahkan aturan yang berlaku bagi pernyataan pengakhiran, dengan
tiada persetujuan majikan, bertindak berlawanan dengan hukum, kecuali bila ia
serentak membayar ganti rugi kepada majikan atau pekerja/buruh mengakhiri
hubungan kerja sedemikian itu dengan alasan mendesak seketika itu juga
29Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Djambatan, Jakarta, 1983, hlm. 165,sebagaimana dikutib oleh Abdussalam, dkk., Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan), PTIK, Jakarta,2016, hlm. 95.
30 Ibid., hlm. 97
diberitahukan kepada majikan berdasarkan Pasal 1603n Kitab Undang-Undang
Perdata seperti majikan menganiaya, tidak membayar upah, maupun membujuk untuk
melakukan perbuatan yang bertentangan dengan undang-undang31.
c. Pemutusan Oleh Majikan
Pemutusan oleh majikan tidak dapat dilakukan secara sepihak. Bila ada
perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha/majikan diluar dari syarat-syarat
yang terdapat dalam perjanjian kerja, hal tersebut harus diselesaikan melalui
permusyawaratan atau melalui panitia penyelesaian pemutusan perselisihan
perburuhan32.
d. Pemutusan Oleh Pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh pengadilan adalah pemutusan oleh hakim perdata
pengadilan atas permintaan kedua belah pihak yaitu pengusaha dan pekerja
berdasarkan alasan-alasan yang kuat yang disertai dengan bukti, bukan putusan
pidana33. Alasan-alasan yang kuat seperti pekerja pada waktu mengadakan perjanjian
mengelabui pengusaha maupun ternyata pekerja tidak mempunyai kemampuan atau
kesanggupan pada pekerjaan yang diperjanjikan34.
8. Uang Pesangon, Uang Penghargaan, dan Uang Penggantian Hak
Pesangon merupakan uang guna pembayaran berupa uang dari pengusaha kepada
pekerja sebagai akibat adanya pemutusan hubungan kerja.35 Dimana uang pesangon
juga termasuk dalam uang penghargaan dan uang ganti rugi. Untuk perhitungan uang
31Ibid., hlm. 100.32Ibid., hlm. 109.33Ibid., hlm. 125.34R. Subekti, dkk., Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Cetakan Ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta,
2004, hlm. 413.35Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Pustaka Mahardika, hlm. 414.
pesangon, uang penghargaan, dan uang ganti rugi secara jelas tertuang pada Pasal 156
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2013 tentang Ketenagakerjaan. Dimana
perhitungannya sebagai berikut :
Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud paling sedikit sebagai
berikut:
a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan
upah;c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan
upah;d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat)
bulan upah;e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima)
bulan upah;f. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam)
bulan upah;g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh)
bulan upah.h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan)
bulan upah;i. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Dan untuk perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagai berikut:
a. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulanupah;
b. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga)bulan upah;
c. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun,4 (empat) bulan upah;
d. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5(lima) bulan upah;
e. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas)tahun, 6 (enam) bulan upah;
f. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu)tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
g. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluhempat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
h. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah. (4)
Mengenai uang penggantian hak yang seharusnya diterima meliputi:
a. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
b. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana
pekerja/buruh diterima bekerja;
c. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas
perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang
memenuhi syarat;
d. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau
perjanjian kerja bersama.
E. Konsep Operasional
Untuk memberikan arah dan tidak menimbulkan salah pengertian yang berbeda dalam
penelitian maupun dalam pembahasannya secara lebih lanjut, maka penulis perlu untuk
memberikan batasan judul penelitian sebagai berikut:
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek
hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat
represif, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum
sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep dimana hukum dapat memberikan
suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian.36
Pembayaran adalah proses, cara, perbuatan membayar37. Pembayaran disini adalah
sejumlah uang dalam rangka pembayaran seperti gaji.
Hak adalah sesuatu yang mutlak menjadi milik kita38.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan
dalam bentuk lain.39
36http//www.artikata.com/arti perlindungan hukum.html. Pada hari Selasa, 21 Maret 201737Charlie Rudyat, Kamus Hukum, Pustaka Mahardika, hlm. 345.38Ibid., hlm. 195.39Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Pemutusan Hubungan Kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal
tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan
pengusaha40.
Undang-Undang/Perundang-undangan (UU) adalah Peraturan Perundang-
undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan
bersama Presiden. Undang-undang memiliki kedudukan sebagai aturan main bagi rakyat
untuk konsolidasi posisi politik dan hukum, untuk mengatur kehidupan bersama dalam
rangka mewujudkan tujuan dalam bentuk Negara. Undang-undang dapat pula dikatakan
sebagai kumpulan-kumpulan prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintah, hak rakyat, dan
hubungan di antara keduanya.41
Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama dan sesudah masa kerja.42
PT. Surveyor Indonesia adalah Badan Usaha Milik Negara Indonesia yang bergerak di
bidang survei, inspeksi, dan konsultasi.43
Pekanbaru adalah ibu kota Provinsi Riau, Indonesia.
F. Metode Penelitian
Adapun metode penelitian yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut :
a. Jenis Penelitian dan Sifat Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong kepada penelitian penelitian hukum observasi atau
penelitian survei, yaitu penelitian yang langsung diadakan dilokasi penelitian dengan
40Lihat Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan41Lihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan42Lihat Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan43https://id.wikipedia.org/wiki/Surveyor_Indonesia. Diakses pada hari Selasa, 21 Maret 2017
menggunakan alat pengumpul data yang berupa angket atau quisioner dan interview
atau wawancara. Sedangkan jika dilihat dari sifatnya maka penelitian ini bersifat
deskriftif sosiologis,44 yaitu suatu penelitian yang bertujuan membuat gambaran atau
kejadian secara sistematis, aktual dan akurat berdasarkan fakta-fakta yang nyata serta
menganalisa hubungan dengan gejala yang sedang diteliti di PT. Surveyor Indonesia
di Pekanbaru.
Maksudnya adalah menggambarkan secara lengkap dan terperinci mengenai
perlindungan hukum terhadap pembayaran hak-hak pekerja akibat pemutusan
hubungan kerja ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan pada PT. Surveyor Indonesia di Pekanbaru dan untuk mengetahui
faktor pendukung dan faktor penghambat dalam pelaksanaan perlindungan hukum
terhadap terhadap pembayaran hak-hak pekerja akibat pemutusan hubungan kerja
ditinjau dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan pada
PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru.
b. Lokasi Penelitian
Untuk lokasi penelitian, penulis memilih PT Surveyor Indonesia yang ada di
Pekanbaru untuk menjadi lokasi penelitian. Dikarenanya ada pelanggaran terhadap
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang penulis lihat.
c. Populasi dan Responden
Populasi merupakan jumlah keseluruhan dari obyek yang akan diteliti yang
mempunyai karakteristik yang sama (homogen). Dimana yang penulis memilih populasi
44 Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 1989, hlm. 5.
yaitu pekerja yang ada di PT Surveyor Indonesia di Pekanbaru , khususnya yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) yang menjadi sample.
Sample adalah bagian dari populasi yang akan diteliti. Dan dalam menetapkan
sample, penulis menggunakan metode sensus. Dimana metode sensus ini semua populasi
dijadikan sample. Metode ini digunakan karena jumlah populasi yang sedikit.
Tabel I.IPopulasi dan Sampel
Sub Populasi Jumlah Persentase Keterangan
Pegawai Bidang
Pengawasan Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Riau
1 100% Sensus
Pekerja PT. Surveyor
Indonesia di Pekanbaru7 100% Sensus
Sumber : data lapangan setelah diolah Maret 2017
d. Jenis Data dan Sumber Data
Adapun data dan sumber data dalam penelitian ini adalah :
a. Data primer, adalah data utama yang diperoleh dari penelitian ini melalui responden
sample. Adapun yang menjadi responden pada penelitian ini adalah pekerja yang
melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap PT Surveyor Indonesia di
Pekanbaru.
b. Data sekunder, yang dimaksud dengan data sekunder adalah data yang diperoleh dari
bahan hukum mengikat, seperti buku-buku literatur yang mendukung dengan pokok
masalah yang dibahas dan peraturan perundang-undangan. Penulis mengambil dari
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan juga dari buku-
buku yang berkaitan dengan penelitian ini.
e. Alat Pengumpul Data
Sebagai alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah
data yang diperoleh dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang ada kaitannya dengan
penelitian ini kepada responden dengan secara langsung yang dianggap perlu dalam
melengkapi data. Adapun responen pada wawancara ini adalah pegawai bidang pengawasan
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Riau, dan pekerja PT Surveyor Indonesia di
Pekanbaru yang melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK).
f. Analisis Data
Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah yang terkumpul dari data
responden dengan cara wawancara. Data yang diperoleh dari hasil wawancara, pengolahan
datanya disajikan dalam bentuk kalimat, dan dibahas dengan merujuk kepada peraturan yang
berlaku dan pendapat para ahli.
g. Metode Penarikan Kesimpulan
Metode penarikan kesimpulan yang digunakan adalah metode indukif, yaitu menarik
kesimulan dari ketentuan yang bersifat khusus yang dalam hal ini adalah Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang dihubungkan dengan ketentuan yang
bersifat umum yaitu data yang diperoleh dari responden.