bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan aktivitas masyarakat banyak menyebabkan perubahan dalam
berbagai bidang di antaranya ekonomi, sosial, pembangunan, dan lain-lain.
Kondisi ini menuntut pemerintah agar dapat menciptakan berbagai macam produk
jasa yang dibutuhkan masyarakat. Hal ini mengakibatkan barang dan/atau jasa
yang ditawarkan bervariasi, baik produksi dalam maupun luar negeri. Tentunya
hal ini memberikan manfaat kepada konsumen dalam memilih aneka jenis dan
kualitas barang dan/atau jasa yang disediakan. Produk jasa yang dikeluarkan pun
harus menguntungkan konsumen maupun pelaku usaha. Konsumen maupun
pelaku usaha dibatasi oleh peraturan yang dibuat pemerintah sebagai acuan dalam
menjalankan usaha sekaligus untuk melindungi hak-hak konsumen atau pelaku
usaha.
Dalam rangka usaha untuk melindungi konsumen secara umum dan
mengingat posisi konsumen yang lemah, maka ia harus dilindungi oleh hukum,
karena tujuan hukum adalah memberikan perlindungan kepada masyarakat.1
Keseimbangan perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dan konsumen tidak
terlepas dari adanya pengaturan tentang hubungan-hubungan hukum yang terjadi
antara para pihak.2 Melihat hal itu, sejak tanggal 20 April 1999 telah disahkan
1Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, edisi revisi, PT Gramedia Widiasarana
Indonesia, 2004, hlm. 11. 2Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Ctk. Kedua, PT Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 29.
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen atau biasa
disingkat dengan UUPK dan mulai diberlakukan pada tanggal 20 April 2000.3
UUPK ini bertujuan
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri serta mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa;
2. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan
menuntut hak-haknya sebagai konsumen;
3. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur
kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi;
4. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan
konsumen, sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggung jawab dalam
berusaha. Selain itu meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
diproduksi.
Tujuan UUPK itu merupakan suatu usaha untuk menanggapi tuntutan
masyarakat yang meminta perlindungan atas kepentingan dan hak-haknya, serta
sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang
hukum perlindungan konsumen. Berlakunya UUPK memberikan dampak positif
bagi konsumen sebagai pihak yang banyak dirugikan selama ini. Untuk itu pelaku
usaha dituntut untuk beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya,
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
3Najmudin Ansorullah, Menyoal Nasib Undang- Undang Perlindungan Konsumen, terdapat
dalam, Jurnal Najmu. Htm.
barang dan/atau jasa yang diberikannya, serta memberi penjelasan mengenai
penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan.
Pelaku usaha juga harus memperlakukan dan melayani konsumen secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif, menjamin mutu barang dan/atau jasa
yang diproduksi dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang dan/atau jasa yang berlaku, memberi kesempatan kepada konsumen untuk
menguji dan atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan
dan atau garansi atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan,
memberikan kompensasi berupa ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian
akibat penggunaan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang
diperdagangkan, serta memberikan ganti rugi apabila barang yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Selain itu, pelaku usaha harus memperhatikan hak-hak konsumen agar dapat
tercipta kerjasama yang baik antara konsumen dan pelaku usaha, mengingat
konsumen tidak secara langsung memiliki hubungan hukum dengan pelaku
usaha.4 Hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4 UUPK yaitu a)
Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang
dan/atau jasa b) Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan
barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan
yang dijanjikan c) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai
kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa d) Hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan e) Hak untuk mendapatkan
4J.Widijantoro, “Undang- Undang Perlindungan Konsumen dan Prospek Perlindungan
Konsumen di Indonesia”, makalah disampaikan dalam Diskusi Panel, Bidang Kajian Pusat Studi
Hukum, Fakultas Hukum UII, Kamis 23 Maret 2003, hlm. 3.
advokasi, perlindungan, dan upaya penyelasaian sengketa perlindungan konsumen
secara patut f) Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen g) Hak
untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
h) Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya.
Melihat adanya hak-hak konsumen sebagaimana disebutkan dalam Pasal 4
UUPK, sebaiknya membuat para pelaku usaha tidak bertindak sewenang-wenang
terhadap konsumen yang selama ini dinilai lemah. Contohnya listrik sebagai
bentuk usaha pelayanan umum yang sangat rawan terhadap pelanggaran hak-hak
konsumen. Dalam hal ketenagalistrikan, konsumen tidak hanya dilindungi oleh
UUPK, melainkan juga dilindungi oleh Undang-Undang No. 20 Tahun 2002
tentang Ketenagalistrikan. Dalam Pasal 32-34 UU Ketenagalistrikan ini juga
diatur mengenai hak dan kewajiban dari pengguna jasa listrik maupun penyedia
tenaga listrik.
Menurut Pasal 34 UU Ketenagalistrikan tersebut, hak pengguna jasa listrik
yaitu a) Mendapat pelayanan baik b) Mendapat tenaga listrik secara terus menerus
dengan mutu dan keandalan yang baik c) Memperoleh tenaga listrik dengan harga
yang wajar d) Mendapat pelayanan untuk perbaikan apabila ada gangguan tenaga
listrik e) Mendapat ganti rugi apabila terjadi pemadaman yang diakibatkan
kesalahan dan/atau kelalaian pengoperasian yang dilakukan oleh Pemegang Izin
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik sesuai syarat-syarat yang diatur dalam
perjanjian jual beli tenaga listrik, sedangkan kewajiban dari pengguna jasa listrik
yaitu a) Melaksanakan pengamanan terhadap bahaya yang mungkin timbul akibat
pemanfaatan tenaga listrik b) Menjaga keamanan instalasi ketenagalistrikan c)
Memanfaatkan tenaga listrik sesuai dengan peruntukannya d) Membayar uang
langganan atau harga tenaga listrik sesuai ketentuan atau perjanjian e) Konsumen
tenaga listrik bertanggung jawab apabila karena kelalaiannya mengakibatkan
kerugian Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik f) Konsumen tenaga
listrik wajib mentaati persyaratan teknis di bidang ketenagalistrikan.
Penyedia tenaga listrik juga memiliki hak dan kewajiban yang harus
dilaksanakannya, Pasal 32 UU Ketenagalistrikan menyatakan hak tersebut
diantaranya a) Untuk kepentingan umum diberi kewenangan untuk melintas
sungai atau danau baik di atas maupun di bawah permukaan, melintas laut baik di
atas maupun di bawah permukaan, dan melintas jalan umum dan jalan kereta api
b) Sepanjang tidak bertentangan dan dengan memperhatikan peraturan perundang-
undangan yang berlaku diberi kewenangan untuk masuk ke tempat umum atau
perorangan dan menggunakannya untuk sementara waktu, menggunakan tanah,
melintas di atas atau di bawah tanah, melintas di atas atau di bawah bangunan
yang dibangun di atas atau di bawah tanah, dan memotong dan/atau menebang
tanaman yang menghalanginya, dengan mendapat persetujuan terlebih dahulu dari
pihak yang berhak atas tanah, bangunan, dan/atau tanaman.
Pasal 33 UU Ketenagalistrikan menyatakan kewajiban dari penyedia tenaga
listrik yaitu a) Menyediakan tenaga listrik yang memenuhi standar mutu dan
keandalan yang berlaku b) Memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada
masyarakat dan memperhatikan hak-hak konsumen sesuai peraturan perundang-
undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen c) Memperhatikan
keselamatan ketenagalistrikan.
Secara umum konsumen dapat diartikan sebagai pengguna barang dan/atau
jasa, tetapi dalam Pasal 1 ayat (5) UU Ketenagalistrikan, konsumen dapat
diartikan setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari Pemegang Izin
Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan
tidak untuk diperdagangkan. Di dalam Pasal 1 ayat (10) UU Ketenagalistrikan ini,
hubungan konsumen listrik atau pengguna jasa listrik dengan pihak PT. PLN
adalah jual beli tenaga listrik yang diatur dalam Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga
Listrik. Dalam perjanjian tersebut pengguna jasa listrik mengikatkan dirinya untuk
membayar rekening listrik dan berhak mendapatkan tenaga listrik dan/atau
pelayanan ketenagalistrikan, dan PT. PLN berkewajiban menyediakan tenaga
listrik serta jasa pelayanan ketenagalistrikan kepada pengguna jasa listrik sehingga
PT. PLN berhak menerima pembayaran berupa sejumlah uang dari pengguna jasa
listrik.
Konsumen merupakan pengguna jasa listrik yang harus dilindungi,
mengingat banyaknya kasus-kasus di bidang listrik yang banyak merugikan
konsumennya, misalnya kerugian akibat pemadaman listrik yang dilakukan oleh
PT. PLN tanpa memberikan informasi terlebih dahulu kepada konsumen, selain
itu ada konsumen yang dirugikan karena pembongkaran KWH meter yang
dilakukan oleh petugas PT. PLN, sehingga mengakibatkan padamnya aliran
listrik. Pembongkaran KWH meter yang mengakibatkan padamnya aliran listrik
menimbulkan kerugian yang sangat besar bagi konsumen, berupa kerugian
materiil maupun inmateriil. Kerugian materiil berupa pembelian alat bantu
penerangan seperti genset, dan kerugian inmateriil karena aliran listrik tidak dapat
bekerja sebagaimana mestinya.
Contoh kasus di lapangan, pernah terjadi di Kota Padang antara pengguna
jasa listrik yang bernama Honda Wijaya dengan pihak PT. PLN cabang Padang.
Honda Wijaya merupakan pelanggan listrik dari Tahun 1970 sampai dengan 21
Februari 2006 yang beralamat di Jalan Imam Bonjol Nomor 27 Padang. Sekitar
Februari 2006, pelanggan listrik ini memanggil pihak PT. PLN agar dapat
memeriksa dan memperbaiki gangguan listrik yang terjadi di rumahnya. Setelah
pihak PLN menerima pemberitahuan gangguan listrik tersebut, pihak PT. PLN
mengirimkan petugas pelaksananya yang bernama Yusril dan Yunasri. Petugas
tersebut kemudian membuka segel KWH meter dengan Nomor Kontak AA 00355
dengan tarif daya B2/23.000 VA.
Setelah membuka segel, petugas menyarankan kepada pelanggan untuk
mengganti kabel 3 pas dari tiang listrik ke meteran PT. PLN dengan biaya Rp.
2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah). Keesokan harinya petugas akan
kembali memasang segel meteran yang telah diperbaiki tersebut dengan meminta
biaya tambahan sebesar Rp. 300.000,- (tiga ratus ribu rupiah). Pelanggan sangat
keberatan atas tambahan biaya yang diminta petugas PT. PLN tersebut. Akibat
keberatan yang diajukan pelanggan, maka petugas PT. PLN tidak memasang
kembali segel meteran listrik sampai tanggal 22 Juni 2006.
Pada tanggal 22 Juni 2006 tanpa alasan yang jelas petugas PT. PLN
melakukan penyitaan terhadap KWH meter yang berada di rumah pelanggan
sekaligus memberikan tagihan susulan kepada orang tua pelanggan yang bernama
Suradi Wijaya sebesar Rp.49.000.000,- (empat puluh sembilan juta rupiah), dan
apabila lewat dari 60 hari sejak tanggal pemeriksaan tidak diselesaikan maka
petugas akan membongkar instalasi PT. PLN yang berada di rumah pelanggan.5
Tindakan yang dilakukan oleh petugas PT. PLN sangat merugikan pelanggan
pengguna listrik, sehingga pelanggan mengajukan gugatannya ke Badan
Penyelesaian Sengketa Konsumen agar dapat diselesaikan. BPSK merupakan
lembaga penyelesaikan sengketa konsumen dan pelaku usaha di luar pengadilan.
Berdasarkan uraian latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik untuk
memilih judul: “PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN
LISTRIK ATAS PEMUTUSAN LISTRIK SEPIHAK DI KOTA PADANG”
B. Rumusan Masalah
Setelah menguraikan latar belakang masalah, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen listrik berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku?
2. Bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen dalam Putusan BPSK
Kota Padang No. 05/P3K/2007?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diperoleh konsumen listrik
berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
5Putusan BPSK Kota Padang No. 05/P3K/2007. hlm. 3.
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen dalam Putusan
BPSK Kota Padang No. 05/P3K/2007.
D. Tinjauan Pustaka
Menurut Pasal 1 ayat (2) UUPK, konsumen adalah setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk
diperdagangkan. Menurut Pasal 1 ayat (5) UU Ketenagalistrikan, konsumen yaitu
setiap orang atau badan yang membeli tenaga listrik dari Pemegang Izin Usaha
Penyediaan Tenaga Listrik untuk digunakan sebagai pemanfaatan akhir dan tidak
untuk diperdagangkan.
Pasal 1 ayat (15) Undang- Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat atau disingkat dengan LPM
PUTS juga memuat pengertian konsumen, yaitu setiap pemakai dan atau
pengguna barang dan/atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk
kepentingan pihak lain. Az. Nasution memberikan batasan tentang pengertian
konsumen, yaitu6
a. Konsumen adalah setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
digunakan untuk tujuan tertentu.
b. Konsumen antara yaitu setiap orang yang mendapatkan barang dan/atau jasa
untuk digunakan dengan tujuan membuat barang dan/atau jasa untuk
diperdagangkan.
6Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen Suatu Pengantar, Diadit Media, Jakarta,
2002, hlm. 13.
c. Konsumen akhir yaitu setiap orang alami yang mendapatkan atau
menggunakan barang dan/atau jasa untuk tujuan memenuhi kebutuhan
hidupnya pribadi, keluarga, dan tidak untuk diperdagangkan kembali.
Terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai
perlindungan konsumen, diantaranya Hukum Pidana, Hukum Perdata, dan UUPK.
UU LPM PUTS dapat dijadikan dasar hukum bagi perlindungan konsumen,
karena tujuan akhirnya merupakan perlindungan konsumen. Dalam hubungan ini,
perlindungan konsumen menjalankan fungsinya berdampingan dengan hukum
persaingan usaha.7
Antara konsumen dan pelaku usaha terdapat hubungan timbal balik yang
saling menguntungkan. Pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk menjadi
pasar bagi produk atau jasanya agar mendapatkan keuntungan, sedangkan
konsumen membutuhkan pelaku usaha untuk menyediakan barang dan/atau jasa
untuk memenuhi kebutuhannya. Kemiskinan hukum perlindungan konsumen dan
rendahnya pengetahuan sebagian besar masyarakat Indonesia merupakan
penghalang bagi konsumen untuk mendapatkan perlindungan yang memadai.8
Oleh karena itu, konsumen harus melindungi dirinya sendiri dan hal ini dapat
tercapai apabila konsumen sadar akan hak-haknya.
7Yusuf shofie, “Norma- Norma Hukum Materiel Undang- Undang Perlindungan Konsumen:
Telaah Kasus- Kasus Dalam Penegakan Hukum Perlindungan Konsumen”, makalah disampaikan
pada kegiatan Peningkatan Pemahaman UUPK bagi Aparat Penegak Hukum, Direktorat
Perlindungan Konsumen, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri, Departemen
Perdagangan RI, Padang, 1- 3 Mei 2006, hlm. 28. 8Hanafi, “Perilaku menyimpang pelaku bisnis dan perlindungan konsumen”, makalah
disampaikan pada Diskusi Panel tentang Tinjauan Yuridis terhadap Undang- Undang
Perlindungan Konsumen, Pusat Studi Hukum, Fakultas Hukum UII, 23 Maret 2000. hlm. 5.
Hak-hak konsumen menurut Pasal 4 UUPK yaitu (a) Hak atas kenyamanan,
keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa (b) Hak
untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa
tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan (c)
Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa (d) Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang
dan/atau jasa yang digunakan (e) Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan,
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut (f) Hak
untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen (g) Hak untuk
diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur secara tidak diskriminatif (h)
Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan atau penggantian apabila
barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak
sebagaimana mestinya (i) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Pada pelaksanaannya, hak-hak konsumen sering terabaikan. Oleh sebab itu,
apabila konsumen benar-benar akan dilindungi, maka hak konsumen yang
tersebut harus dipenuhi, baik oleh pemerintah maupun produsen, karena
pemenuhan hak-hak konsumen tersebut akan melindungi kerugian konsumen dari
berbagai aspek.9 Hak-hak konsumen tersebut harus diimbangi dengan adanya
kewajiban yang dimilikinya oleh setiap konsumen. Menurut Pasal 5 UUPK
kewajiban konsumen yaitu (a) Membaca dan mengikuti petunjuk informasi dan
prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan
9Ahmadi Miru dan SutarmanYodo, op. cit, hlm. 47.
keselamatan (b) Beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang
dan/atau jasa (c) Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati (d)
Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara
patut.
Adanya pengaturan kewajiban ini, memberikan konsekuensi pelaku usaha
tidak bertanggung jawab jika konsumen yang bersangkutan menderita kerugian
akibat mengabaikan kewajiban tersebut. Pelaku usaha di dalam melakukan
kegiatan usahanya juga memunyai hak dan kewajiban yang perlu diperhatikan.
Hak pelaku usaha sebagaimana disebutkan dalam Pasal 6 UUPK yaitu (a) Hak
untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi
dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (b) Hak untuk mendapat
perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang tidak beritikad baik (c) Hak
untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum
sengketa konsumen (d) Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara
hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan (e) Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Selain itu, di dalam Pasal 7 UUPK juga dijelaskan mengenai kewajiban
pelaku usaha, yaitu (a) Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya (b)
Memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan
pemeliharaan (c) Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur
serta tidak diskriminatif (d) Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi
dan atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa
yang berlaku (e) Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan atau
mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan atau garansi
atas barang yang dibuat dan atau yang diperdagangkan (f) Memberi kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan
pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan (g) Memberi kompensasi,
ganti rugi dan atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau
dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Kewajiban ini kemudian melahirkan suatu tanggung jawab yang dimiliki
pelaku usaha. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak
mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan
hukum.10
Tanggung jawab atas suatu barang dan/atau jasa yang diproduksi oleh
perusahaan atau industri, dalam pengertian yuridis biasa disebut product
liability.11
Dalam melakukan kegiatan usahanya, pelaku usaha harus bertanggung
jawab terhadap kerugian yang ditimbulkan oleh konsumen. Tanggung jawab
pelaku usaha sebagaimana terdapat dalam Pasal 19 ayat (1) UUPK yaitu
bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan atau
kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan
atau diperdagangkan.
Ganti kerugian tersebut berupa pengembalian sejumlah uang, penggantian
barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara, perawatan kesehatan, dan pemberian
santunan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip
10N. H. T. Siahaan, Hukum Konsumen: Perlindungan Konsumen dan Tanggungjawab
Ptoduk, Ctk. Pertama, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm. 137. 11Ibid. hlm. 144.
pertangungjawaban yang digunakan oleh UUPK adalah prinsip praduga
bertanggung jawab yaitu seseorang atau tergugat dianggap bertanggung jawab
sampai ia dapat membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah.
Dalam hubungannya dengan perlindungan konsumen, yang sering terjadi
adalah tuntutan hak yang dikemukakan oleh konsumen karena merasa dirugikan
oleh suatu barang dan/atau jasa. Biasanya dimulai oleh perasaan tidak puas,
bersifat subjektif dan tertutup yang dialami oleh perorangan maupun kelompok.12
Konsumen yang merasa dirugikan tersebut dapat mengajukan gugatan baik secara
individual maupun kelompok untuk menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha
dengan konsumen.
Sengketa konsumen merupakan sengketa antara konsumen dengan pelaku
usaha (publik atau privat) tentang produk konsumen, barang dan/atau jasa
konsumen tertentu.13
Penyelesaian sengketa konsumen dengan menggunakan
hukum acara yang berlaku pada umumnya, membawa segala keuntungan dan
kerugian bagi konsumen dalam proses perkaranya, antara lain tentang beban
pembuktian dan beaya perkara yang dibebankan pada pihak penggugat. Keadaan
seperti ini lebih berfungsi melemahkan dan tidak memberdayakan konsumen.14
Ada 2 cara penyelesaian sengketa:15
1. Penyelesaian sengketa secara damai
Yaitu penyelesaian antar pihak melalui cara damai, atau disebut juga
penyelesaian sengketa kekeluargaan.
12Abdul Halim Barkatulah, Hukum Perlindungan Konsumen Kajian Teoritis dan
Perkembangan Pemikiran, Ctk. Pertama. Nusa Media, Bandung, 2008, hlm.108. 13A.z Nasution, op cit, hlm. 221. 14Az. Nasution, op cit, hlm. 223 15Ibid, hlm. 224
2. Penyelesaian sengketa melalui lembaga atau instansi yang berwenang
Yaitu penyelesaian sengketa melalui pengadilan umum atau melalui lembaga
yang khusus dibentuk oleh UU yaitu BPSK.
Menurut UU penyelesaian sengketa ada 2:16
1. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan
UUPK membuka kesempatan kepada konsumen yang merasa dirugikan,
untuk mengajukan gugatannya melalui jalur di luar pengadilan. Lembaga
yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan
yaitu BPSK. Hasil putusan BPSK, memiliki daya hukum yang kuat untuk
memberikan peringatan bagi para pelaku usaha yang nakal.
Ini berarti penyelesaian sengketa melalui BPSK, tidak menghilangkan
tanggung jawab pidana menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.17
BPSK diberikan tugas oleh UUPK untuk menjatuhkan sanksi
administratif kepada pelaku usaha yang melanggar larangan-larangan tertentu
yang dikenakan bagi pelaku usaha. Dalam memutuskan atau penetapan
eksekusinya, BPSK harus meminta keputusan dari pengadilan.
2. Penyelesaian sengketa di pengadilan
Seorang konsumen yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ganti rugi
langsung ke pengadilan atau di luar pengadilan melalui Lembaga
Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, sedangkan gugatan yang
dilakukan oleh sekelompok konsumen, lembaga konsumen swadaya
masyarakat maupun pemerintah atau instansi terkait hanya dapat diajukan ke
pengadilan.18
16Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Ctk.
Pertama, PT. Gramedia Pustaka Umum, Jakarta, 2000, hlm. 73. 17Ibid. hlm. 73. 18Abdul Halim Barkatulah, op cit, hlm. 118.
Putusan BPSK yang bersifat final dan mengikat, tetap memberi
kesempatan kepada para pihak yang tidak setuju atas putusan tersebut, dapat
mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri untuk memutus sengketa
para pihak tersebut. Apabila para pihak tidak puas dengan putusan yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri, maka dapat mengajukan kasasi ke
Mahkamah Agung.
Proses beracara penyelesaian sengketa konsumen:
1. Small Claim
Yaitu jenis gugatan yang dapat diajukan oleh konsumen, sekalipun dilihat
secara ekonomis, nilai gugatannya sangat kecil.19
2. Class Action
Yaitu gugatan yang diajukan oleh sekelompok orang sebagai perwakilan
untuk mewakili kepentingan mereka yang mempunyai kesamaan fakta.
3. Legal Standing
Hak yang dimiliki oleh lembaga tertentu yang legal standing disebut dengan
hak gugat LSM. Rumusannya diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf (c) UUPK
yaitu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi
syarat yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran
dasarnya menyebutkan dengan tegas, tujuan didirikannya organisasi tersebut
untuk kepentingan perlindungan konsumen dan melaksanakan kegiatan sesuai
dengan anggaran dasarnya.
19Ibid. hlm. 133.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka memperoleh data, metode penelitian yang digunakan adalah:
1. Fokus Penelitian
a. Perlindungan hukum terhadap konsumen listrik berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan
b. Perlindungan hukum terhadap konsumen listrik berdasarkan putusan
BPSK Kota Padang no. 05/P3K/2007
2. Bahan hukum
1) Bahan hukum primer yaitu bahan yang dipelajati peraturan perundangan
yang berlaku dan relevan dengan objek penelitian atau bahan-bahan yang
mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu:
a) UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
b) UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan
Persaingan Usaha Tidak Sehat
c) UU No. 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan
d) Keputusan BPSK Kota Padang No. 05/P3K/2007
e) Surat Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik
2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan pustaka yang mempelajari atau yang
memberikan informasi tentang bahan hukum primer, misalnya
a) Buku-buku tentang hukum perlindungan konsumen di Indonesia
b) Jurnal hukum perlindungan konsumen
c) Makalah hukum
3. Teknik pengumpulan data
a. Penelitian Kepustakaan
Penelitian yang dilakukan dengan cara mempelajari dan menggali literatur,
makalah, artikel, dokumen-dokumen, dan peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan pokok pembahasan yang akan diteliti.
b. Studi Dokumen
Penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji berbagai dokumen resmi
institusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan
pengadilan, risalah sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan
permasalahan penelitian.
4. Metode pendekatan
Dalam melakukan penelitian, penulis menggunakan pendekatan yuridis
normatif yaitu pendekatan dari sudut pandang ketentuan hukum atau
perundang-undangan yang berlaku.
5. Analisis Data
Data yang diperoleh dari penelitian akan dianalisa dengan menggunakan
metode:
a. Metode Deskriptif, yaitu cara menganalisis data yang diperoleh dari hasil
penelitian yang kemudian diolah, disusun secara sistematis sehingga
diperoleh gambaran yang jelas dan lengkap tentang objek penelitian.
b. Metode Kualitatif, yaitu cara menganalisis data dengan melakukan
pemisahan dan pemilihan data yang telah diperoleh berdasarkan
kualitasnya, dan kemudian diteliti untuk memperoleh kesimpulan dan
pemecahan masalah tersebut.