bab i pendahuluan a.ar belakang masalah...

31
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Kewenangan pemerintah berkaitan erat dengan persoalan asas legalitas, asas yang tentunya mendunia. Hal ini disebabkan asas legalitas merupakan salah satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara dengan sistem hukum kontinental. 1 Senada dengan pendapat F. J. Stahl, bahwa salah satu unsur pokok yang harus dimiliki negara hukum, yakni pemerintah berdasarkan undang-undang (hukum). Ini sesuai dalam konsep Hukum Administrasi, asas legalitas juga dikenal, dikatakan bahwa pejabat tata usaha negara dapat berbuat hukum asalkan ada dasar wewenang yang bersumber dari undang-undang. 2 Menurut sejarah, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal dari pemikiran hukum abad ke-19 yang didominsi oleh pemikiran legalistik- positivistik. 3 Secara normatif, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan undang-undang (hukum) atau kewenangan yang melekat padanya. Penerapan asas legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan kesamaan perlakuan. 4 1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, eds. kesatu, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, hlm. 94. 2 Dikutip dari catatan mata kuliah Hukum Pajak pada tanggal 20 Februari 2007. 3 http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12884 diakses pada tanggal 25 Oktober 2008. 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 97 sebagaimana dikutip dari Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 83-84. 1

Upload: truongthu

Post on 23-Apr-2018

217 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Kewenangan pemerintah berkaitan erat dengan persoalan asas legalitas,

asas yang tentunya mendunia. Hal ini disebabkan asas legalitas merupakan salah

satu prinsip utama yang dijadikan sebagai dasar dalam setiap penyelenggaraan

pemerintahan dan kenegaraan di setiap negara hukum, terutama negara dengan

sistem hukum kontinental.1 Senada dengan pendapat F. J. Stahl, bahwa salah satu

unsur pokok yang harus dimiliki negara hukum, yakni pemerintah berdasarkan

undang-undang (hukum). Ini sesuai dalam konsep Hukum Administrasi, asas

legalitas juga dikenal, dikatakan bahwa pejabat tata usaha negara dapat berbuat

hukum asalkan ada dasar wewenang yang bersumber dari undang-undang.2

Menurut sejarah, asas pemerintahan berdasarkan undang-undang berasal

dari pemikiran hukum abad ke-19 yang didominsi oleh pemikiran legalistik-

positivistik.3 Secara normatif, setiap tindakan pemerintah harus berdasarkan

undang-undang (hukum) atau kewenangan yang melekat padanya. Penerapan asas

legalitas, menurut Indroharto, akan menunjang berlakunya kepastian hukum dan

kesamaan perlakuan.4

                                                            1 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, eds. kesatu, PT. RajaGrafindo Persada,

Jakarta, 2006, hlm. 94. 2 Dikutip dari catatan mata kuliah Hukum Pajak pada tanggal 20 Februari 2007. 3http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=12884

diakses pada tanggal 25 Oktober 2008. 4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 97 sebagaimana dikutip dari

Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara : Buku I, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1993, hlm. 83-84. 

1

Penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan asas legalitas, dalam

prakteknya tidak memadai apalagi di tengah dinamika masyarakat yang sering

terjadi perubahan dalam kehidupannya. Hal ini karena hukum tertulis senantiasa

mengandung kelemahan-kelemahan. Menurut Bagir Manan, hukum tertulis

memiliki berbagai cacat bawaan dan cacat buatan.5

Meskipun asas legalitas mengandung kelemahan, tetap saja asas ini

dianut oleh banyak negara dalam hal penyelenggaraan negara dan pemerintahan,

karena telah disebutkan bahwa asas legalitas merupakan dasar atau sebagai

pijakan penyelenggaraan negara dan pemerintahan. Dengan kata lain, dalam

penyelenggaraan negara pemerintah harus memiliki legitimasi, yakni kewenangan

yang diberikan undang-undang (hukum). Dengan demikian, substansi asas

legalitas adalah wewenang.6

Ketika konsepsi negara hukum sebagai negara jaga malam

(nachwakerstaat) masih dipertahankan dengan falsafah laissez fairie-nya,

masyarakat yang lemah cenderung tertindas oleh masyarakat yang kuat, karena

laissez faire memang menginginkan minimnya peran serta negara dalam hal

kesejahteraan umat. Atas perkembangan yang terjadi, konsepsi negara hukum ini

beralih, dan berkembang menjadi negara kesejahteraan (welvaarstat).

Konsekuensinya, negara harus menjamin adanya kemakmuran, kesejahteraan

masyarakat, atau dengan kata lain negara harus menjadi pelayan masyarakat.

Dalam suatu negara hukum yang demikian ini, tugas negara sebagai pelayan

                                                            5 Bagir Manan, Peranan Hukum Administrasi Negara dalam Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan dalam makalah pada Penataran Nasional Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UNHAS, Ujung Pandang, 31 Agustus 1995, hlm. 1-2. 

6 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 6 November 2008. 

2

publik adalah menyelenggarakan dan mengupayakan suatu kesejahteraan sosial

(yang oleh Lemaire disebutnya dengan : bestuurzog) bagi masyarakatnya.7

Peran serta negara dalam menyelenggarakan kesejahteraan masyarakat

dilaksanakan oleh pejabat administrasi negara (pejabat tata usaha negara), atau

yang biasa disebut dengan administrasi negara (dalam Hukum Administrasi). Di

dalam menjalankan fungsinya, administrasi negara haruslah menundukkan dirinya

pada aturan hukum yang telah ada (berdasarkan asas legalitas), namun mengingat

sedemikian luasnya aspek kehidupan sosial dan kesejahteraan masyarakat yang

digeluti itu, tentunya tidak semua dapat diakomodasi oleh aturan (hukum) yang

telah tersedia. Dalam kondisi yang demikian, membawa administrasi negara pada

konsekuensi khusus, yakni adanya kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan

kebijaksanaannya sendiri, terutama pada permasalahan yang genting, dan belum

ada instrumen hukum yang mengaturnya.

Kemerdekaan bertindak atas inisiatif dan kebijaksanaannya sendiri ini,

dalam Hukum Administrasi disebut dengan pouvoir discretionnaire atau freies

Ermessen.8 Freies Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi

kekurangan dan kelemahan di dalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid van

bestuur).9 Adanya freies Ermessen ini lalu bukannya tidak menimbulkan masalah,

karena dengan adanya kewenangan bebas maka pada saat yang sama berarti

terbuka celah bagi penyalahgunaan wewenang (detournement de pouvoir) atau

                                                            7 Saut P. Panjaitan, Makna dan Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi

Negara dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2001, hlm. 104. 

8 Ibid., hlm. 107, diambil dari Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1985, hlm. 12. Lihat juga E. Utrecht dalam Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FH UNPAD, 1960, hlm. 23. 

9 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Op. Cit., hlm. 179. 

3

tindakan sewenang-wenang (willekeur) yang dapat merugikan warga negara.

Bahkan mungkin saja dengan sikap-tindak administrasi negara yang demikian ini

bisa merugikan keuangan atau perekonomian negara (baca : korupsi).

Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan :

“Barangsiapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan, yang secara langsung atau tidak langsung dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Undang-undang tersebut akhirnya dihapus, dan digantikan dengan

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi. Rumusan yang hampir mirip dengan Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-

Undang Nomor 3 Tahun 1971, Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

menyatakan :

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000 (satu miliar rupiah).” Rumusan pasal ini menekankan pada pelaku dalam kapasitas pejabat

publik yang berhubungan dengan pelaksanaan kesejahteraan masyarakat sebagai

subjek delik tindak pidana korupsi, karena terdapat rumusan delik yang berbunyi

“menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya

karena jabatan atau kedudukan”. Menurut Philipus M. Hadjon, dengan

4

dicantumkannya unsur “menyalahgunakan wewenang” dalam UU Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi menimbulkan suatu “grey area” dimana kebijakan pejabat

dapat mempunyai dimensi Hukum Pidana.10 Dan setelah ditelaah dengan

seksama, ternyata kesemua undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi (baik yang lama maupun yang baru) tidak mempunyai batasan yang

limitatif baik dalam isi pasal maupun dalam penjelasan mengenai satu rumusan

pasal tersebut. Jika demikian bagi hemat Penulis, akan terjadi banyak penafsiran

pada rumusan pasal ini, dan akan menjadi preseden buruk penegakan hukum di

Indonesia.

Berikut, Penulis akan menampilkan praktek penegakan hukum dalam

kasus korupsi yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki jabatan atau

mempunyai wewenang publik karena kewenangannya. Ada 2 (dua) kasus korupsi

yang melibatkan pejabat publik yang menyalahgunakan kewenangannya ketika

menjalankan wewenangnya.

Pengadilan Negeri Lubuklinggau beberapa waktu yang lalu, tepatnya

tanggal 10 Februari 2009 telah memutus bersalah 2 (dua) orang atas nama

terdakwa H. M. Syarif Hidayat dan Heriansyah.

Berdasarkan Surat Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor 821. 2/ 127/

KPTS/ BKD/ 2004 tanggal 15 April 2004, H. M. Syarif Hidayat merupakan

seorang pejabat publik selaku Sekretaris Daerah Kabupaten Musi Rawas.

Sedangkan Heriansyah, terdakwa kedua selaku Pemegang Kas Sekretaris Daerah

                                                            10 Dikutip dari Kata Pengantar Pakar oleh Philipus M. Hadjon dalam

“Penyalahgunaan Wewenang dan Tindak Pidana Korupsi dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” oleh Nur Basuki Minarno hlm. vii. 

5

Kabupaten Musi Rawas berdasarkan Keputusan Bupati Musi Rawas Nomor : 36/

KPTS/ VIII tertanggal 7 Maret 2004.

Keduanya terbukti dalam dakwaan subsidair tim Jaksa Penuntut Umum

Eben Nesser Silalahi dan Oktafian Syah Efendi, yakni melanggar Pasal 3 Jo.

Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diatur dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo.

Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.11

Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Encep Yuliadi,

mengenai unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang

ada padanya karena jabatan atau kedudukan” disebutkan sebagai berikut :12

Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan adalah menggunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang diduduki atau dijabat untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan atau sarana tersebut; Menimbang, bahwa selaku Sekretaris Daerah Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri adalah Pejabat Pengguna Anggaran pada pos Sekretariat Daerah pada APBD Tahun anggaran 2004 yang kewenangannya adalah : 1. Pengelola anggaran pada pos sekretariat daerah; 2. Membantu Bupati meneliti SKO sesuai permintaan atau

tidak; 3. Atasan langsung Pemegang Kas, menandatangani SPP

(Surat Permintaan Pembayaran) yang diajukan Pemegang Kas;

4. Memberikan persetujuan pembayaran terhadap anggaran yang ada pada saldo kas bendahara (Kas Pemegang Kas) selaku atasan langsung Pemegang Kas.

                                                            11 Putusan Pengadilan Negeri Lubuklinggau Nomor : 466/ Pid. B/ 2008/ PN. LLG. 12 Ibid., hlm. 52-53. 

6

Menimbang, bahwa kewenangan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin sebagai Pemegang Kas Sekretariat Daerah Kabupaten Musi Rawas adalah menerima uang derah yang dicairkan berdasarkan SPMU (Surat Perintah Membayar Uang) yang diterima, menyimpan uang daerah yang dicairkan dari SPMU pada brankas dan pada Bank Sumsel, rekening giro atas nama Pemegang Kas, mengeluarkan uang daerah atas perintah Ka.Bag Keuangan, Sekretaris Daerah, dan Bupati dan melakukan penatausahaan keuangan serta bertanggung jawab kepada Sekretaris Daerah Selaku atasan langsung Pemegang Kas; Menimbang bahwa berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan Terdakwa I - Drs. H. M. Syarif Hidayat, MM bin H. Jahri selaku Pengguna Anggaran pada pos Sekretaris Daerah Musi Rawas dan Terdakwa II - Heriansyah bin Ali Kusin selaku Pemegang Kas dengan menggunakan jabatan yang ada padanya telah membuat keluarnya uang dari APBD Kabupaten Musi Rawas sebesar Rp 1.800.000.000,- (satu milyar delapan ratus juta rupiah) dari Dana Operasional Sekretarit Daerah untuk dibagi-bagikan kepada 45 (empat puluh lima) Anggota DPRD Musi Rawas periode 1999-2004 meskipun para tedakwa mengetahui selaku Pengguna Anggaran dan Pemegang Kas dalam APBD Kabupaten Musi Rawas tahun anggaran 2004 dananya tidak tersedia dan tidak mencukupi untuk keperluan itu, sehingga dalam Nota Dinas permintaan pencairan dana direkayasa seolah-olah dana tersebut dikeluarkan untuk beaya operasional seperti cetak, jilid, foto kopi, konsumsi harian, konsumsi rapat, beaya pemeliharaan bangunan kantor, pemeliharaan bangunan tempat tinggal dan beaya pemeliharaan alat angkutan darat yang telah dikeluarkan pada tahun anggaran 2004 karena tidak mencukupi lalu dimintakan dan menjadi beban bagi anggaran APBD tahun 2005; Menimbang, bahwa maksud kewenangan yang diberikan Undang-Undang kepada terdakwa adalah agar mereka terdakwa dapat menjaga agar uang yang kelur dari APBD Kabupaten Musi Rawas benar-benar sesuai dengan mata anggaran yang ada dalam APBD Kabupaten Musi Rawas pada tahun anggaran 2004; Menimbang, bahwa dengan demikian para terdakwa telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dari maksud diberikannya kewenangan, sarana dan kesempatan yang ada pada mereka terdakwa, sehingga unsur menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan telah terpenuhi.

7

Masih dalam kasus korupsi oleh pejabat publik, pada tahun 2002 yang

lalu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menggelar sidang perkara pidana atas nama

terdakwa : Akbar Tanjung, Dadang Sukandar, dan Winfried Simatupang

dengan dakwaan primair-subsidair yang dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum,

Fahmi tertanggal 14 Maret 2002.13

Primair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Subsidair : Pasal 1 ayat (1) sub b Jo. Pasal 28 Jo. Pasal 34 c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Jo. Pasal 43 A Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo. Pasal 65 KUHP. Akbar Tanjung saat itu berkedudukan sebagai Menteri Sekretaris

Negara (MENSESNEG) pada pemerintahan presiden BJ. Habibie, telah

menerima dan menggunakan uang Badan Urusan Logistik (BULOG) sebesar Rp

40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah), namun bertentangan dengan tugas

dan fungsi Kantor Sekretariat Negara. Dalam kasus ini telah terjadi pengaliran

dana untuk bantuan korban bencana alam di Indonesia yang dialirkan dari

pemerintah melalui rapat kabinet dan diputuskan memakai dana non budgeter

BULOG yang dikepalai oleh Rahardi Ramelan (terdakwa di persidangan yang

lain) dan disalurkan ke MENSESNEG, dan dari MENSESNEG disalurkan kepada

Yayasan Raudlatul Jannah yang hal ini melibatkan Dadang Sukandar dan

Winfried Simatupang, dan Winfried Simatupang adalah salah satu kader

                                                            13 Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum No. Reg. Perk. : PDS-118/ JKTPS/ 03/ 2002

dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan Akbar Tanjung oleh Mahkamah Agung : Keterbukaan Keterukuran Sanksi, ctk. kesatu, UII Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 1-15. 

8

Golkar.14 Pokok permasalahan adalah pengaliran dana dari Rapat Kabinet dan

penyaluran dana dari Yayasan Raudlatul Jannah, karena menurut hemat Penulis,

bagaimana bisa dana anggaran untuk Badan Urusan Logistik sebesar Rp

40.000.000.000,- (empat puluh milyar) dengan begitu mudahnya mengalir dari

Badan Urusan Logistik ke Menteri Sekretasi Negara dan dengan begitu mudah

turun ke Yayasan Raudlatul Jannah yang sama sekali tidak dikenal dan ada

kemungkinan fiktif.

Dalam pertimbangan majelis hakim yang diketuai oleh Amiruddin

Zakaria setelah menyimak pandangan-pandangan hukum baik dari Penasihat

Hukum maupun, Penuntut Umum maka Majelis bependapat sebagai berikut :15

a. Bahwa Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sebagai koordinator yang ditunjuk oleh Presiden R.I., (Prof. Dr. B.J. Habibie), seharusnya mempedomani asas-asas pengelolaan keuangan negara semisal APBN, membentuk staff atau panitia, pimpinan proyek apapun namanya ataukah menunjuk staff yang professional yang bertugas memonitor, memantau secara cermat pelaksanaan yang dilakukan oleh kontraktor pelaksana (Yayasan Raudlatul Jannah);

b. Bahwa fakta hukum di persidangan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG sama sekali tidak membentuk panitia atau panitia kecil, untuk itu sehingga bagi Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tidak mempunyai sarana internal untuk mengontrol pertanggung jawaban keuangan negara sebesar Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) yang diperuntukkan untuk penyaluran sembako berdasarkan amanat penunjukkan Presiden R.I. (Prof. Dr. B.J. Habibie) pada pertemuan tanggal 10 Februari 1999;

c. Bahwa fakta hukum yang terungkap ternyata penerimaan cek senilai Rp 40.000.000.000,- (empat puluh milyar rupiah) dari BULOG kemudian Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyerahkan begitu saja kepada Ketua Yayasan Raudlatul Jannah in casu Terdakwa II – H. DADANG

                                                            14 http://kompas.com/berita-terbaru/0112/06/headline/024.htm diakses pada tanggal 1

Januari 200915 Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 449/ Pid. B/ 2002/ PN. Jkt Pst

dalam SF Marbun (penyunting), Akuntabilitas Putusan … Op. Cit., hlm. 292-293. 

9

SUKANDAR lalu Terdakwa III – WINFRIED SIMATUPANG melalui (alm.) Dadi Suryadi tercemin suatu sikap yang kurang cermat;

d. Bahwa kekurangcermatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG tersebut berarti bukan hanya bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum pengelolaan keuangan negara tetapi juga justru memberi peluang banyak kepada pihak Yayasan Raudlatul Jannah menyalahgunakan keuangan negara;

e. Bahwa sebenarnya apabila Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menyadari begitu pentingnya dibentuknya suatu panitia atau tim atau apapun namanya di bawah pengawasan internalnya selaku administrator yang ditunjuk Presiden R.I. (Prof Dr. B.J. Habibie), misalnya yang menjadi kelaziman dalam suatu kerja proyek dilakukan pembayaran atau pengeluaran dana secara bertahap (pertemijn) dilakukan setelah ada kontra prestasi dalam arti ada hasil laporan kerja dan berita acara pelaksanaan dari kontraktor;

f. Bahwa dari pertimbangan-pertimbangan di atas, dalam kaitannya satu sama lain, Majelis berpendapat dengan tidak tergambarnya suatu mekanisme koordinasi kerja yang terpadu yang baik maka perbuatan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG menurut hukum bertentangan dengan asas-asas kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian dalam melakukan pengelolaan uang negara pada Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG memiliki kewenangan untuk itu, bahkan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG mempunyai pengalaman setelah sebelumnya telah menduduki jabatan penting di negeri ini.

Pada tanggal 24 September 2002, dalam persidangan yang terbuka untuk

umum, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana

terhadap Akbar Tanjung selama 3 (tiga) tahun penjara, dan terhadap Dadang

Sukandar dan Winfried Simatupang masing-masing dipidana selama 1 (satu)

tahun dan 6 (enam) bulan, dan ketiga terdakwa tersebut dikenakan denda masing-

masing Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah). Terhadap putusan ini, ketiga

terdakwa tersebut mengajukan banding.

10

Dalam putusan banding Pengadilan Tinggi Jakarta ternyata menolak

banding dari masing-masing terdakwa dan menguatkan putusan Pengadilan

Negeri Jakarta Pusat.16 Selanjutnya ketiga terdakwa tersebut mengajukan upaya

hukum kasasi.

Pada pemeriksaan tingkat kasasi ini, ternyata Mahkamah Agung dalam

amarnya mengadili sendiri : Menyatakan Terdakwa I – Ir. AKBAR TANJUNG

tersebut tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana didakwakan kepadanya dalam dakwaan Primair dan

Subsidair.17 Pada pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan

atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan” pada Pasal 1 ayat

(1) sub b Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971, karena telah keluar dari koridor

surat dakwaan dan hanya menggunakan ukuran/ parameter ketentuan-ketentuan

tidak tertulis, Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut :18

Pertimbangan Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang pada dasarnya mengambil alih pertimbangan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tersebut, adalah jelas-jelas salah dalam penerapan hukumnya, dengan alasan-alasan sebagai berikut : Dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah jelas hanya dapat digunakan ukuran/ pedoman aturan tertulis, dan tidak dapat digunakan parameter hukum tidak tertulis, baik berupa asas-asas kepatutan pada umumnya, asas-asas kepatutan dalam pengelolaan keuangan negara maupun asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994; Baik asas-asas kepatutan, maupun “asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres 16 Tahun 1994”, adalah sama-sama merupakan ketetentuan yang tidak

                                                            16 Putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (Putusan Banding) Nomor : 171/ Pid./ 2002/ PT.

DKI dalam Ibid., hlm. 307-358. 17 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Reg. No. 572 K/ pid./ 2003 dalam

Ibid., hlm. 359-531. 18 Ibid., hlm. 434-436. 

11

tertulis, karena Majelis Hakim dalam pertimbangannya hanya menyebutkan “asas-asas dan tidak menunjuk kepada ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres 16 Tahun 1994 yang dijadikan pedoman atau parameter dan yang dilanggar oleh Terdakwa I dalam melaksanakan tugas sebagai koordinator pengadaan dan penyaluran sembako bagi masyarakat miskin tersebut”; Dalam Undang-Undang No. 3 ahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi asas-asas kepatutan dan aturan atau parameter tidak tertulis hanya dapat diterapkan secara terbatas dalam pembuktian Pasal 1 ayat (1) sub a, berkaitan dengan bestanddeel delict (delik inti) unsur (wederrechtelijk), berdasarkan adanya “wederrechtelijk” (melawan hukum materiil) yang terkandung dalam delik korupsi pada Pasal 1 ayat (1) sub a tersebut; Prinsip tersebut ditegaskan dalam Penjelasan Umum Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 yang menyatakan bahwa “sarana melawan hukum mengandung pengertian formal maupun materiil.” Sarana melawan hukum yang mengandung pengertian formal maupun materiil pada Pasal 1 ayat (1) sub a ini, tidak dapat diterapkan pada unsur “menyalahgunakan kewenangan … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b, karena menyalahgunakan kewenangan merupakan perbuatan melawan hukum, tetapi perbuatan melawan hukum tidak selalu merupakan penyalahgunaan kewenangan; Sesuai dengan Surat Dakwaan seperti telah dikutip secara singkat di atas, dalam menilai apakah perbuatan Terdakwa I telah menyalahgunakan kewenangannya atau tidak, maka yang menjadi ukuran atau parameternya adalah Keppres No. 104 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Negara, Keppres No. 16 Tahun 1994, tentang pelaksanaan APBN, sebagaimana telah diubah dengan Keppres No. 24 Tahun 1995 dan Keppres No. 8 Tahun 1997, dan DAB (Dasar Akuntansi BULOG); Khusus mengenai Keppres No. 16 Tahun 1994, Judex Facti dalam hal ini Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta yang mengambilalih pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, telah menegaskan bahwa dana BULOG non budgeter (non-neraca) tidak termasuk pengaturannya dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, sehingga terhadap dana non budgeter sebesar Rp 40.000.000.000,- tersebut tidak diberlakukan Keppres No. 16 Tahun 1994. Mengenai parameter berupa Keppres No. 104 Tahun 1994, ternyata sama sekali tidak dipertimbangkan oleh Judex Facti, karena kecuali Keppres No. 104 tersebut tidak mengatur tentang kewenangan penyaluran sembako untuk masyarakat miskin lagi pula Terdakwa I sama

12

sekali tidak terbukti melanggar Keppres No. 104 tersebut. Sedangkan mengenai parameter berupa DAB yang memang merupakan parameter akuntansi intern instansi BULOG, tidak dipertimbangkan oleh judex Facti; Oleh karena itu dalam pertimbangan Judex Facti dalam putusan a quo, Judex Facti hanya menyebutkan parameter berupa asas-asas kepatutan, dan asas-asas pengelolaan keuangan negara yang baik yang ada dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, tanpa menyebutkan ketentuan atau pasal-pasal tertentu dari Keppres No. 16 Tahun 1994, yang dijadikan parameter untuk menilai apakah Terdakwa I benar terbukti melakukan perbuatan penyalahgunaan kewenangan yang dimaksud pada Dakwaan Primair tersebut; Dengan demikian, pertimbangan judex Facti dalam pembuktian unsur “menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya … dst” pada Pasal 1 ayat (1) sub b UU No. 3 Tahun 1971 adalah salah dalam menerapkan hukum karena kecuali telah tidak didasarkan atu keluar dari koridor Surat Dakwaan, dan juga karena hanya didasarkan pada parameter ketentuan tak tertulis berupa asas-asas belaka, walaupun disebutkan sebagai asas-asas pengelolaan keuangan negara di dalam Keppres No. 16 Tahun 1994, namun Keppres No. 16 Tahun 1994 itu sendiri telah dinyatakan oleh Judex Facti sebagai aturan yang tidak relevan untuk dijadikan parameter penyalahgunaan kewenangan Terdakwa I dalam perkara ini. Kasasi dari Akbar Tanjung ini akhirnya dikabulkan oleh Mahkamah

Agung dan ia diputus bebas, sedangkan kedua terdakwa yang lain, Dadang

Sukandar dan Winfried Simatupang dipidana penjara 1 (satu) tahun dan 3 (tiga)

bulan.19

Berangkat dari berbagai macam pandangan para sarjana hukum

mengenai konsep penyalahgunaan wewenang sebagaimana dimaksud Pasal 3 UU

PTPK, dan pandangan para hakim yang beraneka ragam dalam memutus perkara

korupsi yang diawali dari penyalahgunaan wewenang ini, maka Penulis tertarik

                                                            19 Ibid. 

13

untuk meneliti keterkaitan doktrin para pakar hukum mengenai penyalahgunaan

kewenangan dengan putusan pengadilan.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka

permasalahan yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi?

2. Bagaimanakah putusan pengadilan terhadap perkara-perkara korupsi

yang terkait dengan penyalahgunaan wewenang?

C. TUJUAN PENELITIAN

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai

berikut :

1. Untuk mengetahui doktrin Hukum Pidana dalam penyalahgunaan

wewenang yang dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi;

2. Untuk mengetahui dan menganalisis putusan pengadilan terhadap

perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan

wewenang.

D. TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan hukum berkaitan erat dengan perkembangan masyarakat,

karena terdapat adagium bahwa “hukum selalu ketinggalan dengan perubahan

14

masyarakat”, hal ini tidak lain karena masyarakat selalu bergerak dinamis, dan

hukum seringkali terlambat untuk mengakomodasi kepentingan masyarakat.

Fakta ini diperjelas dengan perbuatan masyarakat yang merugikan

kepentingan publik, atau dalam hal ini seseorang melakukan tindak pidana yang

dulunya dapat dikualifikasikan perbuatannya dalam Wetboek van Strafrecht

(KUH-Pidana peninggalan Kolonial). Namun, seiring perkembangan zaman dan

dinamika masyarakat, hukum menjadi ketinggalan pada saat masyarakat

melakukan kriminalitas di luar pengaturan Hukum Pidana.

Suatu penelitian oleh Fakultas Hukum Universitas Diponegoro mengenai

penelitian terhadap “Perkembangan Delik-Delik Khusus dalam Masyarakat yang

mengalami Modernisasi”, menunjukkan hasil-hasil antara lain sebagai berikut :20

1. Ditinjau dari intensitas dan frekuensi terjadinya kejahatan, yang paling banyak dilakukan adalah delik-delik terhadap harta benda, kemudian menyusul delik-delik lalu lintas, delik-delik terhadap orang, delik-delik terhadap ketertiban umum dan delik-delik kesusilaan.

2. Ada pengaruh kemajuan teknologi terhadap pola tingkah laku tindak pidana terhadap perkembangan teknik pelaksanaan tindak pidana.

3. Ada hubungan lamgsung antara kemajuan-kemajuan dalam sektor perhubungan dan gerak kemasyarakatan yang berkenaan dengan ruang geografi (mobilitas horizontal) dengan peningkatan tindak pidana.

4. Intensitas kejahatan menimbulkan rasa takut, gelisah dan cemas di kalangan masyarakat, adapun delik-delik yang dirasakan paling mencemaskan adalah pelanggaran lalu lintas, penodongan, penjambretan, perampokan, perdagangan dan penyalahgunaan narkotika, perkosaan, penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum-oknum penguasa.

                                                            20 Muladi dan Barda Nawawi A., Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni,

Bandung, 1992, hlm. 86-87. 

15

Oleh karena itu, berkaca dari hasil penelitian tersebut, hendaknya hukum,

dan lebih spesifik adalah Hukum Pidana harus mengikuti perkembangan

masyarakat, meskipun penegakan Hukum Pidana bersifat ultimum remidium

(senjata pamungkas).21 Hal ini penting, karena hukum, termasuk Hukum Pidana

adalah merupakan salah satu instrumen terpenting dalam penyelesaian konflik

yang tersedia dalam masyarakat.22

Korupsi, adalah salah satu dari sekian banyak tindak pidana yang diatur

di luar KUHP. Hal ini karena KUHP sudah tidak mampu mengakomodasi

berbagai macam bentuk korupsi dan modusnya. Sebagai contoh, awalnya suatu

tindak pidana diyakini hanya dilakukan oleh orang (natuurlijk persoon)

sebagaimana diatur dalam Pasal 59 KUHP, namun dengan berbagai

perkembangan pemikiran dan teknologi, baik orang maupun korporasi (yang

berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum) dapat dikategorikan

sebagai pelaku tindak pidana. Hal ini menimbulkan permasalahan dalam Hukum

                                                            21 Di antara ahli hukum pidana masih belum ada kesepahaman pendapat berkaitan

dengan apakah hukum pidana sebagai ultimum remidium ataukah ia sebagai primum remidium? Muladi misalnya mengusulkan, bahwa hukum pidana tidak lagi ditempatkan sebagai senjata pamungkas (ultimum remidium) di dalam menanggulangi kejahatan, lebih-lebih akhir-akhir ini marak sekali bermunculan kejahatan-kejahatan baru yang sangat kompleks tetapi ia ditempatkan sebagai senjata awal (primum remidium). Sebaliknya Romli Atmasasmita mengatakan, bahwa penempatan hukum pidana sebagai ultimum remidium masih relevan daripada primum remidium baik pada kejahatan biasa yang modus operandinya tidak begitu kompleks maupun pada kejahatan yang dilakukan oleh mereka yang bukan sindikat kriminal, seperti kejahatan korporasi. Lihat Muladi, “Fungsionalisasi Hukum Pidana di Dalam Kejahatan Yang Dilakukan Oleh Korporasi”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 23-24 November 1989, hlm. 5. Badingkan dengan Loebby Loqman, “Tinjauan Yuridis Fraudulent Misrepresentation”, dalam Kiki Pranasari dan Adrianus Meliala (editor), Praktek Pemberian Keterangan yang Tidak Benar : Suatu Modus Penyimpangan Ekonomi, UI Press, Jakarta, 1991, hlm. 98. Lihat juga Romli Atmasasmita,”Bentuk-bentuk Tindak Pidana Yang dilakukan oleh Produsen pada Era Perdagangan Bebas: Suatu Upaya Antisipatif, Preventif, dan Represif”, makalah disampaikan pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era perdagangan Bebas, Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, Bandung, 9 Mei 1998, hlm. 12-13. 

22 Salman Luthan, “Anatomi Rancangan Undang Undang Komisi Kebenaran Dan Rekonsiliasi” dalam Makalah, Yogyakarta, 4 Oktober 2003, hlm. 1. 

16

Pidana itu sendiri, khususnya menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.

Apakah unsur kesalahan tetap dapat dipertahankan seperti halnya pada manusia,

kesalahan dalam Hukum Pidana ini berarti jantungnya, demikianlah; dikatakan

Idema.23

Payung hukum pemberantasan tindak pidana korupsi yang berlaku

sekarang ini adalah Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Juncto Undang-

Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(UU PTPK). Dalam undang-undang ini terdapat sebuah delik yang berisi unsur

penyalahgunaan wewenang yang termaktub dalam Pasal 3 UU PTPK, adapun

selengkapnya unsur delik pasal ini adalah sebagai berikut :

1. Setiap orang;

2. Dengan tujuan;

3. Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

4. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada

padanya karena jabatan atau kedudukan;

5. Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Konsep menyalahgunakan wewenang dalam Pasal 3 ini hanya dimiliki

oleh pejabat publik, karena wewenang yang dimaksud adalah yang bersumber dari

peraturan perundang-undangan (sesuai dengan asas legalitas). Secara teoretis,

                                                            23 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah, ctk. kedua, Laksbang Mediatama, Yogyakarta, 2009, hlm. 2 sebagaimana dari Sudarto, Hukum Pidana I (Semarang : Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah FH UNDIP, 1987) hlm. 86 (Sudarto I) dari Muladi dan Dwija Priyatno, Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana, Sekolah Tinggi Hukum, Bandung, 1991, hlm. 5. 

17

kewenangan yang bersumber dari peraturan perundang-undangan tersebut

diperoleh melalui tiga cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Mengenai atribusi, delegasi, dan mandat ini, H. D. van Wijk/ Willem

Konijnenbelt mendefinisikan sebagai berikut (terjemahan):24

1. Atribusi adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat

undang-undang kepada organ pemerintahan;

2. Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ

pemerintahan kepada organ pemerintahan lainnya;

3. Mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan

kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Dalam konsep hukum administrasi, setiap pemberian wewenang kepada

suatu badan atau kepada pejabat Administrasi Negara selalu disertai dengan

“tujuan dan maksud” diberikannya wewenang itu,25 sehingga penerapan

wewenang itu harus sesuai dengan “tujuan dan maksud” diberikannya wewenang

itu. Dalam hal penggunaan wewenang tersebut tidak sesuai dengan tujuan dan

maksud pemberian wewenang itu maka telah melakukan penyalahgunaan

wewenang (detournement de pouvoir).26

Selain itu, masih dalam Hukum Administrasi, setiap penggunaan

wewenang oleh pejabat Administrasi Negara haruslah berdasarkan pada hukum

formil atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (sesuai dengan asas

                                                            24 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 104-105 dari H. D. van

Wijk/ Willem Konijnenbelt, Hoofdstukken van Administratief Recht, Vuga, ‘s-Gravenhage, 1995, hlm. 129 bandingkan dengan B. de Goede, Beeld van het Nederlands Bestuursrecht. bewerkt door H. van den Brink, Vuga Uitgeverij b.v., ‘s-Gravenhage, 1986, hlm. 56 lihat juga P. J. P. Tak, Rechtsvorming in Nederland. Samson H. D. Tjeenk Willink Open Universiteit, 1991, hlm. 99-103. 

25 http://www.jpip.or.id/articles/view/96. diakses pada tanggal 13 Januari 2009. 26 Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang ... Op. Cit., hlm. 80. 

18

legalitas). Namun, jika dalam hal tidak ada aturan yang memberikan wewenang

kepada pejabat pemerintah, maka akan lahir suatu kondisi dimana pemerintah

bertindak di luar ketentuan undang-undang. Hal seperti ini lah yang

dikhawatirkan, bahwa pemerintah menggunakan wewenang untuk tujuan lain,

berarti terjadi penyalahgunaan wewenang.

Diskresi merupakan wewenang dari pejabat. Ada yang mengartikan

diskresi adalah pengambilan keputusan (beschikking) berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku. Namun ada pula yang mendeskripsikan bahwa

diskresi adalah penyimpangan atas peraturan perundangan yang berlaku oleh

pejabat (karena bisa saja undang-undang tidak mengatur demikian, atau

mengaturnya, tapi samar-samar) untuk mengambil keputusan yang bersifat segera,

dan mendesak. Kondisi demikian juga berpotensi terjadi penyalahgunaan

wewenang pemerintah oleh pejabat Administrasi Negara.

Melihat dari dua pendapat demikian, jika mendasarkan pada asas

legalitas dalam Hukum Pidana (nullum delictum, noella poena sine praevia lega

poenali), inilah yang menurut Indriyanto Seno Adji, Hukum Administrasi dan

Hukum Pidana memasuki “grey area” dengan segala teknikalitas kesulitan dengan

proses pemidanaan, bahkan hingga kini menimbulkan debatebelitas di kalangan

ahli Hukum Pidana. Betapa tidak, keputusan pejabat negara baik dalam rangka

“beleid” maupun “diskresi” menjadi ajang kajian akademis untuk dijadikan alasan

penolakan maupun justifikasi pemidanaan dalam area Hukum Pidana.27

                                                            27 Indriyanto Seno Adji, “Overheidsbeleid Dalam Perspektif Tindak Pidana Korupsi di

Indonesia”, artikel pada Jurnal Keadilan, Edisi No. 2 Vol. 4, 2006, hlm. 10 lihat juga Nur Basuki Minarno, Penyalahgunaan Wewenang… Op.Cit., hlm. 15. 

19

Jika secara formil, penyalahgunaan wewenang dalam ranah Hukum

Pidana tidak dijelaskan secara eksplisit, bagaimana atau seperti apa batasan

penyalahgunaan wewenang tersebut. Apakah mungkin formulasi penyalahgunaan

wewenang mendasarkan pada hukum materiil? Mengingat bahwa Hukum Pidana

menyanjung tinggi terhadap asas legalitas. Hal ini penting sekali mengingat unsur

“penyalahgunaan wewenang” sebagai bagian inti delik (bestanddeel delict) dan

harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam proses persidangan.

Apabila penyalahgunaan wewenang dilihat dari perspektif Hukum

Administrasi, ukurannya jelas. Menurut Patuan Sinaga, supaya kebebasan atau

pouvoir discretionnaire dapat ditolerir menurut Hukum Administrasi, maka selain

memenuhi asas legalitas (wetmatigheid) dan asas yuridiktas (rechtmatigheid),

administrasi negara (pejabat publik) harus memenuhi tiga tolok ukur lainnya :28

1. Tidak melanggar atau menyimpangi ketaatasasan yang dianut dalam

hirarki peraturan perundang-undangan;

2. Tidak melanggar hak dan kewajiban asasi masyarakat;

3. Dilakukan untuk meningkatkan kesejahteraan umum.

Badan peradilan merupakan institusi yang mampu menyumbang salah

satu sumber hukum berupa yurisprudensi, melalui hakim yang memeriksa dan

mengadili suatu perkara.

                                                            28 Patuan Sinaga, Hubungan Antara Kekuasaan Dengan Pouvoir Discretionnaire

Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan, dalam SF Marbun dkk (penyunting), Dimensi-Dimensi Pemikiran … Op.Cit., hlm. 103. 

20

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan

Kehakiman, beberapa tugas hakim antara lain :29

1. Tugas pokok dalam bidang peradilan (teknis yudisial), diantaranya adalah : a. Menerima, memeriksa dan mengadili serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya;

b. Mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang (pasal 5 ayat [1]);

c. Membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan rintangan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan beaya ringan (Pasal 5 ayat [2]);

2. Tidak boleh menolak untuk memeriksa dengan dalih bahwa hukum tidak/ kurang jelas, melainkan wajib memeriksa dan mengadilinya (Pasal 16 ayat [1]).

3. Tugas yuridis, yaitu memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada lembaga Negara lainnya apabila diminta (Pasal 27);

4. Tugas akademis/ ilmiah dalam melaksanakan tugas pokoknya, yaitu hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat [1]).

Di dalam konsep Hukum Pidana, secara formal, tidak ada pengertian

tentang penyalahgunaan wewenang, hanya di dalam formulasi Hukum

Administrasi-lah hal ini ada batasan-batasan tertentu.

Ketika seseorang didudukkan dalam kursi pemeriksaan sebagai terdakwa

dalam pengadilan dengan dakwaan penyalahgunaan wewenang, kemanakah

seorang hakim akan mencari penyelesaian perkara itu? Melalui pemeriksaan di

pengadilan (kebenaran materiil) mungkin saja dapat ditempuh, namun hemat

Penulis saat ini banyak sekali modus para pelaku korupsi yang mungkin saja dia

dapat mengelak dari hukum formil tentang korupsi. Ini karena tidak ada batasan                                                             

29 Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman lihat juga Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman Di Indonesia, ctk. Pertama, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm. 125-126 dan143-172. 

21

jelas apa dan bagaimana unsur penyelahgunaan wewenang dalam Pasal 3

tersebut.30

Berdasarkan tugas hakim sebagaimana diatur dalam Pasal 16 ayat (1)

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, bahwa seorang hakim tidak boleh

menolak suatu perkara yang secara formil tidak ada aturannya, karena itu hakim

juga dituntut menemukan hukum atas apa yang dia periksa (rechtsvinding).

Di dalam menjalankan tugasnya, kemandirian hakim dapat diukur

melalui 2 (dua) faktor, yaitu faktor internal yang datangnya dari dalam hakim itu

sendiri (iman, SDM, pendidikan hakim, dan sebagainya); dan faktor eksternal

yang berupa peraturan perundangan, intervensi proses peradilan, hubungan hakim

dengan penegak hukum lain, tekanan dari luar, kesadaran hukum, dan faktor

sistem pemerintahan.31

Saat ini di tengah-tengah dunia yang berkecamuk (perang, bencana alam,

kesengsaraan, korupsi, dan sebagainya), masyarakat (umat) cenderung

mengutamakan habl min Allah (hubungan vertikal kepada Tuhan sendiri), belum

habl min al-nas (hubungan horisontal dengan sesama), yang didengungkan baru

amar ma’ruf (ajaran kepada kebaikan), belum nahi munkar (larangan

kemungkaran, alias kritik sosial). Seharusnya agama dapat berperan optimal dan

positif.

Senyatanya korupsi, penyalahgunaan wewenang berada dalam tataran

perbuatan munkar, dan merupakan hubungan antar manusia (habl min al-nas).

                                                            30http://www.antikorupsi.org/mod.php?mod=publisher&op=viewarticle&cid=13&artid=

12884. 31 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Aspek-Aspek Perkembangan …

Op.Cit., hlm. 58-63. 

22

Berkaitan dengan hal ini, Islam mengajarkan anti korupsi, dalam bahasa agama,

korupsi masuk dalam kategori kemunkaran yang harus dihentikan oleh siapapun

yang menyaksikannya. Rasulullah Saw. bersabda : “Barang siapa di antara kamu

melihat kemungkaran, hendaklah dia merobahnya dengan tangannya. Kalau tidak

sanggup (dengan tangan, maka robahlah) dengan lisannya. Dan apabila tidak

sanggup (dengan lisan), maka robahlah dengan hatinya. Yang demikian itu

adalah selemah-lemahnya iman.” (H.R. Muslim).

Selanjutnya, dalam konsep Islam, wewenang erat kaitannya dengan

amanah. Amanah dalam pengertian yang sempit adalah memelihara titipan dan

mengembalikannya kepada pemiliknya dalam bentuk semula. Sedangkan dalam

pengertian luas, amanah mencakup banyak hal seperti : menjaga rahasia,

memelihara semua nikmat yang diberikan Allah Swt., menunaikan kewajiban

dengan baik dan tidak menyalahgunakan jabatan.32 Allah Swt. memikulkan ke

atas pundak manusia tugas-tugas yang wajib dia laksanakan, baik hubungannya

dengan Allah Swt. maupun dengan sesama manusia dan makhluk lainnya. Tugas

seperti itu disebut taklif, manusia yang ditugasi disebut mukallaf, dan amanahnya

disebut amanah taklif. Amanah inilah yang secara metaforis digambarkan oleh

Allah Swt. tidak akan mampu dipikul oleh langit, bumi, dan gunung-gunung

karena beratnya, tapi manusia bersedia memikulnya.33 Allah Swt. berfirman :

“Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan

gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka

                                                            32 Yunahar Ilyas, Korupsi Dalam Perspektif Agama-Agama : Panduan Untuk Pemuka

Umat, ctk. pertama, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Pendidikan (LP3) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta, 2004, hlm. 99. 

33 Ibid., hlm. 101. 

23

khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.

Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzab 33 : 72).

Dari kajian singkat yang telah dilakukan oleh Penulis, adalah Nur

Basuki Minarno, salah seorang pakar Hukum Pidana di Indonesia yang pernah

mengaji tentang konsep penyalahgunaan kewenangan dalam tindak pidana

korupsi. Di dalam bukunya yang berjudul “Penyalahgunaan Wewenang Dan

Tindak Pidana Korupsi Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah” yang diterbitkan

oleh Laksbang Mediatama, Surabaya, menguraikan tentang kualifikasi subjek atau

pelaku penyalahgunaan wewenang yang berimbas korupsi, berbagai macam

perbuatan atau modus pelaku, sampai dengan praktek putusan pengadilan yang

cukup kontroversial diangkat olehnya.

Melalui penelitian yang akan dilakukan oleh Penulis, secara garis besar

tidak jauh berbeda dengan apa yang telah dilakukan oleh Peneliti sebelumnya.

Namun dalam penelitian ini, Penulis akan menampilkan secara jelas, siapa dan

bagaimana tindak pidana korupsi yang diawali dengan penyalahgunaan

kewenangan itu dilakukan. Melalui kajian secara mendalam tentang pelaku tindak

pidana dan parameter-parameter perbuatan penyalahgunaan kewenangan.

E. DEFINISI OPERASIONAL

Doktrin atau sering disebut juga dengan pendapat sarjana hukum.

Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan

24

berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim, apalagi jika sarjana

hukum itu menentukan bagaimana seharusnya.34

Penyalahgunaan wewenang. Penyalahgunaan adalah melaksanakan di

luar tujuan,35 bisa juga dikatakan dengan melaksanakan suatu pekerjaan yang

sebenarnya bukan porsinya. Sedangkan wewenang merupakan pengertian yang

berasal dari hukum organisasi pemerintahan, yang dapat dijelaskan sebagai

keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan penggunaan

wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik di dalam hubungan hukum

publik.36 Menurut Bagir Manan, wewenang dalam bahasa hukum tidak sama

dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat

atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang sekaligus berarti hak dan kewajiban

(rechten en plichten.)37

Pemerintah adalah adalah badan hukum publik (berisi jabatan-jabatan

atau complex van ambten), penyelenggara kesejahteraan masyarakat yang

menyandang hak dan kewajiban dalam tugasnya menyelenggarakan amanah

konstitusi dan/ atau peraturan perundang-undangan.

Korupsi secara harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan,

kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari

                                                            34 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, ctk. Kedelapan,

Balai Pustaka, Jakarta, 1989, hlm. 51 lihat juga Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, ctk. Pertama, Sinar Grafika Ofset, Jakarta, 2004, hlm. 17. 

35 Diskusi atau wawancara dengan Salman Luthan, dosen Hukum Pidana FH UII (dosen pembimbing skripsi Penulis), 11 Maret 2009. 

36 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara … Op. Cit., hlm. 101sebagaimana dikutip dari H.D. Stout, de Betekenissen van de Wet, W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, 1994, hlm. 23. 

37 Ibid., hlm. 102 sebagaimana dari Bagir Manan, Wewenang Provinsi, Kabupaten, dan Kota dalam rangka Otonomi Daerah, Makalah pada Seminar Nasional, Fakultas Hukum UNPAD, Bandung, 13 Mei 2000, hlm. 1-2. 

25

kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah.38 Sedangkan

menurut Transparansi Internasional, korupsi adalah “perilaku pejabat publik, baik

politisi maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal

memperkaya diri atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan

menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan kepada mereka.”39

Namun dalam penulisan karya ilmiah kali ini, Penulis membatasi pada tindak

pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

yang mengatur tentang tindak pidana korupsi.

Putusan pengadilan. Berdasarkan Kamus umum Bahasa Indonesia,

putusan pengadilan berarti barang apa yang sudah diputus (sudah pasti, tentu,

tetap) oleh pengadilan.40

Jadi judul penelitian skripsi yang mengaji tentang “Doktrin

Penyalahgunaan Wewenang Pemerintah dalam Kasus Korupsi dan

Implementasinya dalam Putusan Pengadilan” ini akan menelaah pendapat-

pendapat para sarjana hukum mengenai perbuatan, sikap-tindak yang dalam hal

ini dilakukan oleh pelaku tindak pidana korupsi yang bagaimana yang dinilai

menjadi perbuatan penyalahgunaan wewenang dalam konsep rumusan delik

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di samping itu,

penelitian ini juga mengaji bagaimana praktek putusan pengadilan atas berbagai

pandangan tentang konsep penyalahgunaan kewenangan sebagaimana dimaksud

                                                            38 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan

Internasional, ed. Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm. 5. 39 Mohammad Amien Rais, Agenda-Mendesak Bangsa : Selamatkan Indonesia!, ctk.

Ekstra, PPSK Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 177 sebagaimana dikutip dari Indonesia Corruption Watch. 

40 W. J. S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, ctk. Kelima, PN Balai Pustaka tahun 1976. 

26

Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Jo. Undang-Undang Nomor 20

Tahun 2001 tentang Pemberantasn Tindak Pidana Korupsi.

F. METODE PENELITIAN

Adapun metode penelitian yang akan Penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah :

1. Fokus Penelitian

Fokus yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini adalah doktrin-

doktrin Hukum Pidana tentang perbuatan penyalahgunaan wewenang

yang dilakukan oleh pelaku dalam kasus korupsi dan putusan pengadilan

terhadap perkara-perkara korupsi yang terkait dengan penyalahgunaan

wewenang.

2. Nara Sumber41

Nara sumber dalam penelitian ini adalah para pakar atau ahli atau pihak-

pihak yang mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau

yang berwenang dalam masalah yang diteliti. Dalam hal ini Penulis

membagi antar pakar Hukum Administrasi dan Hukum Pidana serta para

praktisi, pihak-pihak yang dimaksud antara lain :

a. Ridwan HR, S.H., M.Hum;

                                                            41 Pada kenyataannya di lapangan, Penulis tidak dapat menemui nara sumber seperti :

Ridwan HR, SF Marbun, dan Edward OS. Hieraij karena aktivitas nara sumber yang sangat padat. Namun demikian, Penulis mewawancarai pakar yang terkait dengan penulisan skripsi ini, antara lain : Masnur Marzuki (dosen HTN FH UII) dan Muh. Ali Muthohar (Pengkaji di Gedung Bundar Jaksa Agung Muda bagian Pidana Khusus dan HAM Kejaksaan Agung Republik Indonesia). Mengenai pendapat kedua nara sumber tersebut dapat dilihat pada bab II dan bab III. 

27

b. Dr. SF. Marbun, S.H., M.Hum;

c. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H.;

d. Dr. Edward Oemar Syarief Hieraij, S.H., M.Hum; dan

e. Hakim-hakim yang pernah memeriksa dan mengadili perkara korupsi

penyalahgunaan wewenang.

3. Bahan Hukum

Bahan hukum dalam kajian yang akan diteliti ini berupa :

a. Bahan Hukum Primer, yaitu peraturan perundang-undangan dan/ atau

konvensi internasional yang relevan dengan permasalahan yang

dibahas. Antara lain :

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP);

2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi;

3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Negara yang Bersih dan Bebas dari Kolusi, Korupsi, dan

Nepotisme; dan

4) Berbagai Putusan Pengadilan yang terkait dengan perkara korupsi

penyalahgunaan wewenang.

b. Bahan Hukum Sekunder.

Pada penelitian ini, Penulis akan mengambil bahan yang tidak

mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti data dari buku-

buku (literatur), jurnal, rancangan peraturan-peraturan perundangan,

28

hasil wawancara dan penelitian terdahulu serta karangan-karangan

ilmiah yang berhubungan dengan masalah yang diteliti.

c. Bahan Hukum Tersier, berupa :

1) Kamus Hukum;

2) Kamus Bahasa Inggris (dan termasuk bahasa asing lainnya);

3) Kamus Umum Bahasa Indonesia;

4) Al Qur’an dan Al Hadits beserta Terjemahannya; dan

5) Berita, Majalah, Tabloid, dan Surat Kabar, termasuk bahan-bahan

atau artikel-artikel terkait yang berasal dari Internet.

d. Sebagai penunjang penelitian ini, maka Penulis juga mencari data

berupa hasil dari wawancara (interview) pada nara sumber yang telah

direncanakan.

4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum

a. Studi Pustaka, yaitu dengan mengumpulkan, mengaji karangan-

karangan ilmiah berupa jurnal, hasil penelitian hukum terdahulu, dan

literatur yang berhubungan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis

dan diambil kesimpulannya.

b. Studi Dokumen, yaitu dengan mengumpulkan dokumen-dokumen

resmi institusional berupa putusan-putusan pengadilan, risalah sidang

dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini, kemudian dianalisis

dan diambil kesimpulannya.

c. Teknik wawancara (interview) bebas terpimpin, yaitu dengan

mengajukan pertanyaan langsung kepada para pakar atau ahli yang

29

mempunyai kompetensi atau ahli dalam suatu masalah atau yang

berwenang dalam masalah yang diteliti, dengan menggunakan

pedoman pertanyaan berupa pokok-pokok pertanyaan dan masih dapat

mengurangi kekakuan dengan prinsip bebas.42

5. Metode Pendekatan

Metode pendekatan ialah sudut pandang yang digunakan peneliti dalam

memahami dan menyelesaikan permasalahan. Pendekatan yang

digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan

atau yuridis normatif. Dan jika dianggap perlu digunakan pendekatan lain

sebagai penunjang dari pendekatan yuridis tersebut, misalnya :

pendekatan konseptual.

a. Pendekatan yuridis normatif, yaitu penelitian yang mengacu pada

norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-

undangan dan putusan-putusan pengadilan. Metode penelitian ini

dikenal juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal research) yang

menganalisis baik hukum sebagai law as it is written in the books,

maupun hukum sebagai law as it is decided by the judge through

judicial process.43 Penelitian hukum normatif merujuk baik pada

hukum positif di dalam peraturan perundang-undangan nasional dan

negara lain. Di samping itu, penelitian hukum normatif juga merujuk

                                                            42 Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Juri Metri, Ghalia

Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 73. 43 Hendra Tanu Atmadja, Hak Cipta Musik Atau Lagu, Program Pascasarjana,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2003, hlm. 32 

30

pada putusan hakim in concreto atau judge made law.44 Peter

Mahmud Marzuki menyebutnya dengan istilah pendekatan undang-

undang (statute approach) yang dilakukan dengan menelaah semua

undang undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan fokus

penelitian untuk mencari tahu ratio legis dan ontologisnya sebuah

undang-undang.45

b. Pendekatan konseptual filosofis adalah pendekatan yang beranjak

dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum

yang berhubungan dengan fokus penelitian. 46

6. Metode Pengolahan dan Analisis Bahan-Bahan Hukum

Data yang terkumpul dari hasil penelitian ini dianalisa secara deskriptif

kualitatif, yaitu penguraian data-data yang diperoleh dalam penelitian

tersebut digambarkan dan ditata secara sistematis dalam wujud uraian-

uraian kalimat yang diambil maknanya sebagai pernyatan atau

kesimpulan.47 Kesimpulan yang diberikan selalu jelas dasar faktualnya

sehingga semuanya selalu dapat dikembalikan langsung pada data yang

diperoleh.48

                                                            44 Ibid. 45 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Ctk. Kesatu, Kencana, Jakarta, 2005,

hlm. 93. 46 Ibid., hlm. 95. 47 Rony Hanitijio Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum …, Op. Cit., hlm. 82, 98. 48 Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, Ctk. Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,

1999, hlm. 6. 

31