bab i pendahuluan a. latar belakang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang, tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk peraturan pemerintah. 1 Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan bahwa: 2 (1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 1 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hal. 3. 2 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Upload: trinhdieu

Post on 08-Mar-2019

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penelitian ini hendak membahas eksistensi peraturan

pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam konstitusi di

Indonesia serta tolok ukur dalam pembentukan peraturan pemerintah

pengganti undang-undang (Perppu). Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu) merupakan salah satu jenis peraturan

perundang-undangan dalam sistem norma hukum negara Republik

Indonesia. Perppu dikonsepsikan sebagai suatu peraturan yang dari

segi isinya seharusnya ditetapkan dalam bentuk undang-undang,

tetapi karena keadaan kegentingan memaksa ditetapkan dalam bentuk

peraturan pemerintah.1

Di dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disebutkan

bahwa:2

(1) Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945;

1 Jimly Ashiddiqie, Hukum Tata Negara Darurat, Edisi ke-1, PT. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, 2007, hal. 3. 2 Lihat Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-undangan.

2

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan

hierarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Jika dilihat dari hierarki peraturan perundang-undangan pada

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 dapat

dikatakan bahwa UU dan Perppu memiliki kedudukan yang

sejajar/sederajat, hanya saja keduanya dibentuk dalam keadaan yang

berbeda. Selama ini UU selalu dibentuk oleh Presiden dengan

persetujuan DPR, dan dalam keadaan normal, atau menurut

Perubahan UUD 1945 dibentuk oleh DPR dan disetujui bersama oleh

DPR dan Presiden, serta disahkan oleh Presiden, sedangkan Perppu

dibentuk oleh Presiden tanpa persetujuan DPR karena adanya “suatu

hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”3 Hal tersebut dinyatakan

dalam Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”):

“Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak

menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Selain itu, penetapan Perppu yang dilakukan oleh Presiden ini

juga tertulis dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun

3 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan Proses dan Teknik

Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta. 2007, hal 80.

3

2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang

berbunyi: “Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah

Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam

hal ikhwal kegentingan yang memaksa.”Jika mengacu pada rumusan

ini maka jelaslah bahwa sejatinya Perppu merupakan suatu peraturan

pemerintah, namun berfungsi sebagai undang-undang. Dengan

demikian Perppu merupakan salah satu instrumen hukum yang dapat

ditetapkan oleh Presiden tanpa memerlukan keterlibatan Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR). Peran DPR dalam konteks Perppu baru

terlihat pada Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 yang

menegaskan bahwa “peraturan pemerintah itu harus mendapat

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut”

dan “jika tidak mendapatkan persetujuan maka peraturan pemerintah

itu harus dicabut”.

Berbeda dengan undang-undang, masa berlakunya Perppu

sangat singkat yakni sampai dengan persidangan DPR yang terdekat

dengan tanggal penetapan Perppu tersebut. Setelah itu, diperlukan

ketegasan sikap dari DPR apakah akan menyetujui atau tidak

menyetujui Perppu tersebut. Pengajuan Perppu ke DPR dilakukan

dalam bentuk pengajuan rancangan undang-undang tentang

penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang. Dalam hal DPR

4

menyetujui Perppu tersebut maka rancangan undang-undang tentang

penetapan Perppu tersebut menjadi undang-undang disahkan menjadi

Undang-Undang, sedangkan jika Perppu itu ditolak oleh DPR maka

Perppu tersebut tidak berlaku dan Presiden mengajukan rancangan

undang-undang tentang pencabutan Perppu tersebut yang dapat

mengatur pula segala akibat dari penolakan tersebut. Kondisi inilah

yang kemudian membuat kedudukan Perppu yang dibentuk tanpa

persetujuan DPR kadang-kadang dianggap memiliki kedudukan di

bawah UU.4

Sebelum adanya perubahan UUD 1945 terdapat penjelasan

Pasal 22 UUD 1945 yang menyatakan, “Pasal ini mengenai

noodverordeningsrecht Presiden, aturan seperti ini memang

diperlukan supaya keselamatan negara dapat dijamin oleh pemerintah

dalam keadaan genting, yang memaksa pemerintah untuk bertindak

lekas dan tepat.”5 Huda berpandangan bahwa Pasal 22 tersebut adalah

isyarat bahwa dalam keadaan yang lebih genting dan amat terpaksa

dan memaksa, tanpa menunggu adanya syarat-syarat yang ditentukan

oleh dan dalam suatu undang-undang, serta bagaimana akibat-akibat

4 Hukum Online, Kedudukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perpu), http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5235ce3d531c8/kedudukan-peraturan-

pemerintah-pengganti-undang-undang-(perpu), diakses pada tanggal 28 November 2014. 5 Ibnu Sina Chandranegara. Pengujian Perppu Terkait Sengketa Kewenangan

Konstitusional Antar-Lembaga Negara: Kajian Atas Putusan MK No. 138/PUU-VII/2009.

Jurnal Yudisial, Vol. 5 No. 1, April 2012. hal 3.

5

yang tidak sempat ditunggu dan ditetapkan dalam suatu undang-

undang, Presiden berhak menetapkan Perppu sekaligus menyatakan

suatu keadaan bahaya dan darurat.6

Dinamika sejarah peraturan perundang-undangan di Indonesia

menunjukkan bahwa latar belakang penetapan Perppu oleh Presiden

umumnya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena tolok ukur

“kegentingan yang memaksa” selalu bersifat multitafsir dan besarnya

subyektivitas Presiden dalam menafsirkan frase “kegentingan yang

memaksa” sebagai dasar untuk menetapkan Perppu. Hal yang selalu

menjadi kontroversi hingga saat ini adalah tolok ukur mengenai

“kegentingan yang memaksa” sebagai dasar bagi pembentukan

Perppu. Bahkan seringkali muncul pameo di masyarakat bahwa

Perppu umumnya dibentuk bukan karena adanya kegentingan yang

memaksa, melainkan karena adanya kepentingan yang memaksa.

Melalui penelitian ini penulis hendak berargumen bahwa

sampai sejauh ini, tidak ada kriteria tolok ukur yang jelas dari makna

“hal ikhwal kegentingan yang memaksa” tersebut, karenanya

kehadiran Perppu lebih pada pertimbangan subjektif Presiden.

Penjelasan Pasal 22 UUD 1945 menerangkan bahwa Pasal ini

mengenai noodverordeningsrecht Presiden. Oleh sebab itu, maka

6 Huda, Ni’matul, dalam Ibnu Sina Chandranegara, Ibid.

6

penulis hendak menganalisis eksistensi Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia

serta mengkaji tolok ukur dalam pembentukan Perppu.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah

dalam penelitian ini adalah:

1. Apa hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) dalam konstitusi di Indonesia?

2. Apa makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”

sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu)?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan:

1. Mengetahui hakikat Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia.

2. Mengetahui makna konsep “hal ikhwal kegentingan yang

memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu).

7

D. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan bagi

pengetahuan dalam ilmu hukum, khususnya mengenai eksistensi

peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) dalam

konstitusi di Indonesia.

2. Secara praktis hasil pengkajian penelitian ini diharapkan dapat

bermanfaat bagi pemerintah terkait sebagai eksistensi Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi

di Indonesia.

E. Landasan Teori

Landasan teori dalam penelitian ini, yaitu:

1. Teori PERPPU

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan:

“Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang adalah Peraturan

Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal

kegentingan yang memaksa.” Perppu juga dinyatakan dalam Pasal 22

UUD 1945: 7

(1) Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden

berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti

undang-undang.

7 Lihat Pasal 22 ayat UUD 1945.

8

(2) Peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut.

(3) Jika tidak mendapat persetujuan, maka peraturan pemerintah

itu harus dicabut.

Berdasarkan hal tersebut, maka Pasal 22 memberikan

kewenangan kepada Presiden untuk secara subjektif menilai keadaan

negara atau hal ikhwal yang terkait dengan negara yang

menyebabkan suatu undang-undang tidak dapat dibentuk segera,

sedangkan kebutuhan akan pegaturan materiil mengenai hal yang

perlu diatur sudah sangat mendesak sehingga Pasal 22 UUD 1945

memberikan kewenangan kepada Presiden untuk menetapkan

peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu).8 Namun,

peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut (vide Pasal 22

ayat (2) UUD 1945) dan jika tidak mendapat persetujuan, maka

peraturan pemerintah itu harus dicabut (vide Pasal 22 ayat (3) UUD

1945). Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menyatakan

bahwa Perppu harus diajukan ke DPR dalam “persidangan berikut”.

Yang dimaksud dengan “persidangan berikut” menurut

Penjelasan Pasal 52 ayat (1) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan adalah masa

8 Jimly Ashiddiqie, Op.cit, hal 209.

9

sidang pertama DPR setelah Perppu ditetapkan. Jadi, pembahasan

Perppu untuk di DPR dilakukan pada saat sidang pertama DPR dalam

agenda sidang DPR setelah Perppu itu ditetapkan untuk mendapat

persetujuan atau tidak dari DPR.

2. Teori Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan atas hukum

Reschsstaat.9 Ciri-ciri negara hukum ialah, pertama, adanya

pembagian kekuasaan dalam negara, kedua, diakuinya hak asasi

manusia yang dituangkan dalam konstitusi, ketiga, adanya dasar

hukum bagi kekuasaan pemerintah (asas legalitas), keempat, adanya

peradilan yang bebas dan merdeka, kelima, semua warga negara sama

kedudukannya dalam hukum dan pemerintah wajib menjunjung

hukum10

. Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu dalam

pembentukan undang-undang harus didasarkan pada undang-undang

dasar (konstitusi)11

. Undang-undang yang ada harus mencerminkan

apa yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945 yang

merupakan konstitusi Indonesia. Indonesia adalah negara hukum,

9 Lihat Penjelasan Umum Undang-Undang Dasar 1945 Bagian Sistem

Pemerintahan Negara. Angka 1. 10

Jimly Asshiddiqie, Negara Hukum Indonesia, Ceramah Umum Ikatan Alumi

Universitas Jayabaya, Jakarta, 23 Januari 2010. 11

Hans Kelsen, Teori Hukum Murni: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, Nusa

Media, Bandung, 2008, hal: 243-253.

10

maka semua produk undang-undang harus didasarkan pada Undang-

Undang Dasar 1945.

Kebijakan mengenai pembentukan peraturan perundang-

undangan sebenarnya telah diatur sejak dikeluarkannya Instruksi

Presiden (Inpres) Nomor 15 Tahun 1970 tentang Mempersiapkan

Rancangan Undang-Undang dan Rancangan Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia, namun pengaturannya tidak secara tegas dan

rinci. Pengaturan lebih tegas terkait harmonisasi kemudian diatur

berdasarkan Kepres Nomor 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara

Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, yang merupakan

pengganti Inpres Nomor 15/1970 tersebut.

Kebijakan pengharmonisasian berdasarkan Kepres Nomor

188 Tahun 1998 kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor

10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Hal ini sejalan dengan amanat dari Pasal 22A UUD 1945.12

Oleh

karena Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dalam tataran praktik

empririkal masih banyak mengandung kelemahan, maka DPR

bersama Pemerintah telah berhasil menyusun kembali dan melakukan

penyempurnaan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011

12

Pasal 22A UUD 1945 mengatur bahwa Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara

pembentukan undang-undang diatur dengan undang-undang.

11

tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagai

pengganti Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Pembentukan suatu Undang-Undang bilamana ditinjau dari

aspek substansialnya, pada dasarnya berkaitan dengan masalah

pengolahan isi dari suatu peraturan perundang-undangan yang

memuat asas-asas dan kaidah hukum sampai dengan pedoman

perilaku konkret dalam bentuk aturan-aturan hukum.13

Lebih jauh

aspek materiil ini berkenaan dengan pembentukan struktur, sifat dan

penentuan jenis kaidah hukum yang akan dirumuskan dalam

peraturan perundang-undangan. Sedangkan aspek formal berkaitan

dengan kegiatan pembentukan peraturan perundang-undangan yang

berlangsung terutama diarahkan pada upaya pemahaman terhadap

metode, proses dan teknik perundang-undangan.14

Aspek materiil dan aspek formal ini saling berhubungan

secara timbal balik dan dinamis. Aspek materiil yang memuat jenis-

jenis kaidah memerlukan aspek formal agar pedoman-pedoman

perilaku yang hendak direalisasikan dalam bentuk peraturan

perundang-undangan dapat diwujudkan atau dikonkretkan memiliki

13

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik,

PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal.222. 14

Ibid.

12

legitimasi dan daya laku efektif dalam realitas kehidupan

kemasyarakatan.15

Demikian sebaliknya dimana sebuah produk perundang-

undangan yang dihasilkan melalui aspek formal/prosedural yang

terdiri dari metode, proses dan teknik perundang-undangan sampai

menjadi aturan hukum positif agar mempunyai makna serta mendapat

respek dan pengakuan yang memadai dari pihak yang terkena

dampak pengaturan tersebut memerlukan landasan dan legitimasi dari

aspek materiil/ substansial.16

Melalui proses sinkronisasi materi

muatan Undang-Undang akan mendukung pelaksanaan harmonisasi

sehingga dapat mencegah terjadinya pengaturan ganda dan

pertentangan norma antar berbagai Undang-Undang.

Fungsi peraturan perundang-undangan jika dikaitkan dengan

hukum sebagai sebuah ideal ialah mencegah timbulnya kesewenang-

wenangan oleh penguasa terhadap warga negara.17

Sehubungan

dengan penetapan berbagai produk hukum yang bersifat penetapan,

menurut Sjachran Basah ada beberapa persyaratan yang perlu

diperhatikan, yakni :18

15

Ibid. 16

Ibid, hal. 223. 17

Titon Slamet Kurnia, Pengantar Sistem Hukum Indonesia, PT Alumni, Bandung,

2009, hal 50. 18

Sjachran Basah, Perlindungan Hukum Terhadap Sikap Tindak Administrasi

Negara, Alumni, Bandung, 1986, hal 4.

13

a. memenuhi asas legalitas (wetmatige) dan asas yuridis

(rechtmatige)

b. tidak menyalahi atau menyimpang dari ketaat-asasan

hierarki peraturan perundang-undangan;

c. tidak melanggar hak dan kewajiban asasi warga

masyarakat;

d. diterapkan dalam rangka mendukung (memperlancar)

upaya mewujudkan atau merealisasi kesejahteraan umum.

3. Teori Kekuasaan Legislasi Presiden

Melalui ajarannya Montesquieu berpendapat bahwa:

“Apabila kekuasaan negara itu dipisahkan secara tegas menjadi

tiga, yaitu: kekuasaan perundang-undangan, kekuasaan

melaksanakan pemerintahan, dan kekuasaan kehakiman, dan

masing-masing kekuasaan itu dipegang oleh badan yang berdiri

sendiri, ini akan menghilangkan kemungkinan timbulnya

tindakan yang sewenang-wenang dari seorang penguasa, atau

tegasnya tidak memberikan kemungkinan dilaksanakannya

sistem pemerintahan absolutisme.” 19

Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan

rujukan doktrin separation of power. Cara bekerja dan berhubungan

ketiga poros kekuasaan tersebut dapat disebut sebagai sistem

pemerintahan negara. Dengan demikian yang dimaksud sistem

pemerintahan negara adalah sistem hubungan dan tata kerja antar

lembaga negara.20

Di Indonesia, kekuasaan Presiden merupakan

kekuasaan yang melaksanakan pemerintahan.

19

Montesquieu, dalam Andy Wiyanto, Pertanggungjawaban Presiden dan

Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Volume 7, Nomor 3, Juni 2010, hal 209. 20

Mohammad Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia Edisi

Revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, hal 74.

14

Perubahan (amandemen) UUD 1945 telah membawa

pembaharuan dalam ketatanegaraan Indonesia. Bergesernya

kekuasaan pembentukan undang-undang dari Presiden ke Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) adalah salah satu konsekuensi dari

perubahan Konstitusi, sehingga fungsi legislatif dari DPR menjadi

lebih kuat dari pada yang biasanya (sebelum amandemen UUD

1945). Akan tetapi di dalam pembentukan undang-undang Presiden

masih mempunyai kewenangan. Hal ini dapat dilihat dengan adanya

suatu keharusan bahwa undang-undang itu dibentuk harus dengan

persetujuan bersama antara Presiden dan DPR (vide Pasal 20 ayat (2)

UUD 1945). Artinya, Presiden mempunyai peranan yang sangat

menentukan dalam pembentukan undang-undang. Begitu juga dalam

pengesahan undang-undang, Presiden mempunyai kewenangan untuk

mengesahkan undang-undang dengan batas waktu tertentu untuk

mengesahkan suatu undang-undang (vide Pasal 20 ayat (4) UUD

1945).

Walaupun kekuasaan membentuk undang-undang telah

berada di DPR, dalam hal-hal tertentu Presiden juga diberikan

kekuasaan dalam menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang,

derajatnya sama dengan undang-undang. Dalam UUD 1945,

15

kekuasaan Presiden dalam menetapkan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang, terdapat pada Pasal 22 UUD 1945.

Selain itu Menurut Pasal 5 ayat (1) UUD 1945, Presiden berhak

mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan

Rakyat.

4. Teori Prinsip Kegentingan yang Memaksa

Mengenai “hal ikhwal kegentingan yang memaksa”, Bagir

Manan menyatakan bahwa unsur kegentingan yang memaksa harus

menunjukkan 2 (dua) ciri umum, yaitu: (i) ada krisis (crisis), dan (ii)

ada kemendesakan (emergency).21

Menurutnya suatu keadaan krisis

apabila terdapat gangguan yang menimbulkan kegentingan dan

bersifat mendadak (a grave and sudden disturbunse). Kemendesakan

(emergency), apabila terjadi berbagai keadaan yang tidak

diperhitungkan sebelumnya dan menuntut suatu tindakan segera

tanpa menunggu permusyawaratan terebih dahulu. Atau telah ada

tanda-tanda permulaan yang nyata dan menurut nalar yang wajar

apabila tidak diatur segera akan menimbulkan gangguan baik bagi

masyarakat maupun terhadap jalannya pemerintahan.

Sedangkan Jimly Asshiddiqie mengenai “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa”, berpendapat:

21

Bagir Manan. Lembaga Kepresidenan, PSH-FH UII dan Gama Media,

Yogyakarta, 1999, hal 158-159.

16

“Bagaimanapun, perpu itu sendiri memang merupakan undang-

undang yang dibentuk dalam keadaan yang darurat yang

menurut istilah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 disebutkan

”Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa”. Istilah hal-

ihwal kegentingan yang memaksa dan darurat di sini tentu

tidak boleh dikacaukan atau diidentikkan dengan pengertian

”keadaan bahaya” menurut ketentuan Pasal 12 UUD 1945.

Keadaan darurat atau dalam hal ikhwal kegentingan yang

memaksa di sini adalah keadaan yang ditafsirkan secara

subjektif dari sudut pandang Presiden/Pemerintah, di satu pihak

karena (i) Pemerintah sangat membutuhkan suatu undang-

undang untuk tempat menuangkan sesuatu kebijakan yang

sangat penting dan mendesak bagi negara, tetapi di lain pihak

(ii) waktu atau kesempatan yang tersedia untuk mendapatkan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat tidak mencukupi

sebagaimana mestinya. Oleh karena itu, dari segi substansinya

sebenarnya juga merupakan undang-undang dalam arti materiel

(wet in materiele zin). Sebab, substansi norma yang terkandung

di dalamnya adalah materi undang-undang bukan materi

peraturan pemerintah.”22

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Sesuai dengan karakteristik perumusan masalah yang

ditujukan untuk menganalisa eksistensi Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia

serta mengetahui tolok ukur dalam pembentukan Perppu, maka

metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah suatu

proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

22

Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid I, Sekretariat

Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hal 210.

17

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang

dihadapi.23

2. Pendekatan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan oleh

penulis, maka untuk menjawab isu hukum dalam penelitian, penulis

akan menggunakan pendekatan sebagai berikut:

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan diperlukan karena yang menjadi

fokus sekaligus tema sentral penelitian ini yaitu eksistensi

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam

konstitusi di Indonesia serta mengetahui tolok ukur dalam

pembentukan Perppu. Dalam metode pendekatan perundang-

undangan, peneliti perlu memahami hierarki, dan asas-asas dalam

peraturan perundang-undangan.24

Dengan demikian, pendekatan

perundang-undangan dalam penelitian ini merupakan legislasi

dan regulasi mengenai hakikat pembentukan Perppu.

b. Pendekatan konsep (conceptual approach).

Pendekatan konseptual dilakukan manakala peneliti tidak

beranjak dari aturan hukum yang ada.25

Dalam penelitian ini,

23

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, cetakan keenam, Kencana, Jakarta,

2010, hal. 35. 24

Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 96. 25

Ibid, hal 137.

18

maka penulis akan menggali makna konsep “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu)

berdasarkan pandangan-pandangan tokoh-tokoh dan doktrin-

doktrin hukum yang berkembang dalam Ilmu Hukum. Meskipun

tidak secara eksplisit, konsep hukum dapat juga diketemukan di

dalam undang-undang.26

Jadi konsep-konsep hukum tersebut

akan dijadikan penulis sebagai pijakan dalam membangun

argumen-argumen hukum mengenai makna konsep “hal ikhwal

kegentingan yang memaksa” sebagai tolok ukur pembentukan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu).

3. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum dan Sumber Penelitian

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam

penelitian adalah penelusuran kepustakaan yang berupa literatur dan

dokumen-dokumen yang ada, yang berkaitan dengan objek

penelitian. Oleh karena itu, sumber bahan hukum penelitian ini

adalah bahan hukum sekunder, yang meliputi bahan hukum primer,

bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier.27

Bahan hukum

yang dikaji meliputi beberapa hal berikut:

26

Ibid, hal 138. 27

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Rajawali Press, Jakarta, 1995, hal.39.

19

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas

peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

penelitian, seperti misalnya: UUD 1945, Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan.

b. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas

buku-buku teks yang ditulis para ahli hukum, jurnal-jurnal

hukum, pendapat para sarjana dan hasil simposium yang relevan

dengan penelitian ini.

c. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan

petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder.

4. Metode Analisis

Penelitian ini menggunakan pula metode analisis deskriptif

kualitatif. Deskripsi atau pemaparan merupakan kegiatan menentukan

isi aturan hukum setepat mungkin, sehingga kegiatan

mendeskripsikan tersebut dengan sendirinya mengandung kegiatan

interpretasi.28

Dalam penelitian ini yang diinterpretasikan yaitu

mengenai eksistensi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

28

Bernard Arief Sidharta, Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju,

Bandung, 2000, hal. 149-150.

20

Undang (Perppu) dalam konstitusi di Indonesia serta mengetahui

tolok ukur dalam pembentukan Perppu.

G. Sistematika Penulisan

Bab II membahas tentang eksistensi Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu). Pada tataran historis, penulis

akan memaparkan hirarki Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia di Indonesia. Pada tataran konseptual, penulis akan

memaparkan Perppu dalam sistem perundang-undangan Indonesia

dan kekuasaan legislasi Presiden. Pada tataran konseptual, penulis

akan memaparkan hakikat Perppu di Indonesia.

Bab III membahas tentang tolok ukur “hal ikhwal kegentingan

yang memaksa” dalam pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang (Perppu). Dalam bab ini, pada tataran historis

penulis akan memaparkan penerbitan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perppu) di Indonesia. Pada tataran

analisis, penulis akan mengkaji frasa “hal ikhwal kegentingan yang

memaksa” (Pasal 22 ayat (1) UUD 1945) Vs frasa ”keadaan bahaya”

(Pasal 12 UUD 1945). Selain itu penulis juga akan menganalisa

perihal tolok ukur “hal ikhwal kegentingan yang memaksa” dalam

21

pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

(Perppu) berdasarkan konstitusi di Indonesia.

Bab IV merupakan bab Penutup yang berisi mengenai

kesimpulan yang menjawab rumusan masalah dan tujuan penelitian.

Pada akhir bab ini penulis akan mengemukakan sarannya terkait

dengan pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang (Perppu) di Indonesia.