bab i pendahuluan a.latar belakang...

31
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. 1 Itu berarti, muatan hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa depan. Begitu pula dengan hukum Islam dan implementasinya. Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan 1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal 2.

Upload: phungdan

Post on 09-Feb-2018

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai

yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Itu berarti, muatan

hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi

masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang

bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam

mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa

depan.

Begitu pula dengan hukum Islam dan implementasinya.

Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup

menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya

sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi

syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi

dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi

syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami

pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan

permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam

regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama

sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan

1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal 2.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial

dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur

kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2006.2

Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui

pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum

adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek

hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan

satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh

karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum

Islam, yang melakukan kegiatan dibidang muamalah, diperlakukan

hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan

keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip

unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh

unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara

realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima

sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.3

Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang

yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan

kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau

mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun

2 Mubarok, “Memahami Lembaga Peradilan Agama”, Makalah pada Acara Pemahaman UU Pengadilan Agama Departemen Hukum dan HAM, Yogyakarta: tanggal 7 September 2006, hlm. 6.

3 Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA Dalam Zuffran Sabrie (editor), Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila, Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hlm. 107.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang

merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber

dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan

kolonialis.4

Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri

utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang

terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun mempunyai

sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an as-Sunnah dan pendapat

para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi dalam

bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki Oleh

karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya juga hukum

adat sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis dalam bentuk

perundang-undangan.5

Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yang

menghendaki pemberlakuan fikih muamalah sebagai hukum positif

juga harus mengupayakan politik hukum melalui proses legislasi

dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang

diajukan kepada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan

persetujuan.6 Berkenaan dengan proses legislasi, dapat dikatakan

mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan

4 Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama Dalam Zuffran Sabrie (editor), Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila, Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 43.

5 Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol.II No.5, Jakarta, September 2004, hlm. 50.

6 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003., hlm. 84.

Page 4: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui

Presiden atau melalui inisiatif DPR.7

Membaca catatan sejarah yang ada pada masa pasca

kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum

Islam dapat dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas

hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum

Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi

juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.

Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem

hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara

legal formal dan positif.8

Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai

menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat

pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-

undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih,

yang dianggap representatif, telah disahkan oleh pemerintah

Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun

1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir,

ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun

1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.9

7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 29.

8 Abdul Ghofur Anshori, Pengadilan Agama di Indonesia: Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, kedudukan dan Kewenangan), UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 18.

9 Ibid, hlm. 19.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat

dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah

lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal

ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah

membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai

pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991

Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden

Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi

Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI

nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara

(hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama

sebagai hukum terapan.10

Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di

bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan

diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang

Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek

berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7

Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni

diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006

10 Ibid, hlm. 23.

Page 6: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989

tentang Peradilan Agama.11

Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar

hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-

unsur hukum positif yang berupa nilai, norma, peraturan,

pengadilan, penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat

menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah

menjadi bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum

perkawinan, hukum waris, hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf,

hukum zakat dan hukum bisnis Islam (ekonomi syari’ah). Perubahan

tersebut sebenarnya merupakan tantangan bagi Peradilan Agama

dalam bidang organisasi, sumber daya manusia, sarana dan

prasarana.Oleh karena itu perubahan tersebut merupakan amanat

yang sangat berat bagi jajaran Pengadilan Agama.

Adanya kewenangan baru di atas, semakin menguatkan

eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, namun

permasalahannya bertambahnya kewenangan baru tersebut belum

diimbangi dengan adanya hukum substansial, sehingga hakim

kembali dihadapkan pada kitab-kitab fikih untuk menemukan

penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang pada dekade terakhir

ini perkembangannya cukup signifikan. Adapun untuk menguji

tingkat keabsahan putusan hakim tersebut dari segi penerapan

asas-asas hukum belum teruji dalam tataran akademis, sehingga

hal ini perlu untuk terus dikaji.

11 Ibid, hlm. 24

Page 7: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas maka penulis

mencoba menguak sejauh mana implementasi kewenangan

pengadilan agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang

Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta serta faktor-

faktor yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi

kewenangan tersebut.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana implementasi kewenangan pengadilan agama

berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama di

Pengadilan Agama Yogyakarta?

2. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat

implementasi kewenangan pengadilan agama berdasarkan UU

No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama di Pengadilan

Agama Yogyakarta?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui implementasi kewenangan pengadilan

agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan

Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta

Page 8: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

2. Untuk mengetahui pendukung dan penghambat implementasi

kewenangan pengadilan agama berdasarkan UU No 3 Tahun

2006 tentang Pengadilan Agama di Pengadilan Agama

Yogyakarta

D. Tinjauan Pustaka

Untuk memahami maksud atau tujuan dari penelitian ini,

maka diperlukan pemahaman terhadap konsep kewenangan

hukum, kekuasaan kehakiman dan budaya hukum masyarakat;

1. Kewenangan

Dalam Program kamus WordWeb Dictionary kewenangan

(authority) diartikan sebagai kekuasaan atau hak untuk

mengatur dan membuat berbagai keputusan dan seseorang

atau kelompok yang mengendalikan orang atau kelompok lain.12

Menurut Soekanto, kewenangan atau wewenang (authority)

adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atua sekelompok

orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan

dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan masyarakat,

maka di dalam masyarakat yang sudah kompleks susunannya

dan sudah mengenal pembagian kerja yang terinci, wewenang

biasanya terbatas pada hal-hal yang diliputinya seperti waktu

penggunaan wewenang dan cara menggunakan wewenang

tersebut. Adanya kewenangan bertujuan untuk menetapkan

12 Program WordWeb Dictionary, Princeton University 2006.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

kebijaksanaan, menentukan berbagai keputusan mengenai

segala masalah penting serta menyelesaikan pertentangan-

pertentangan.13

Dalam kajian hukum kewenangan bersinonim dengan

yurisdiksi. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis

dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas

individu, benda dan lain-lain. Black’s law Dictionary memberi

makna yurisdiksi adalah:14

a. Suatu istilah menyeluruh yang merujuk pada segala macam

tindakan penadilan.

b. Legalitas, kapasitas, kekuasaan dan hak untuk bertindak

c. Kekuasaan seseorang yang mempunyai hak menghakimi.

Kewenangan menurut Robert Bierstedt dalam

karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah

kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power).

Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan

Kaplan, yang menyatakan bahwa kewenangan adalah

kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak

untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-

13 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 266.

14 Anonim, Yuridiksi Negara, http://www.lpp.uns.ac.id/web/moodle/moodledata/22/Yurisdiksi_Negara/YURISDIKSI%20NEGARA.doc, 20 Januari 2008, hlm. 1

Page 10: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan

orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.15

Dengan demikian hakikat makna yurisdiksi secara umum

merupakan satu kekuasaan, kemampuan, otoritas, hak serta

wewenang formal untuk mengambil keputusan/tindakan melalui

berbagai organ yang ada (pengadilan, pemerintahan maupun

jalur perundang-undangan) berdasarkan hukum.

Yurisdiksi akan berjalan efektif jika mengikuti suatu azas

hukum. Menurut beberapa pakar, dalam Erwina, azas hukum

adalah: 16

a. Azas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan

secara luas danmendasari adanya suatu norma hukum (C.W.

Paton).

b. Azas hukum adalah dasar umum (petunjuk) bagi hukum yang

berlaku bukan norma hukum yang konkrit (Van Eikema

Hommes).

c. kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan

pada hukum yang merupakan sifat-sifat umum dengan

segala keterbatasanya sebagai pembawaan umum.( P.

Scholten).

15 Tri Widodo W. Utomo, Pembatasan Kekuasaan Pemerintah Dan Pemberdayaan Demos, http://www.geocities.com/mas_tri/PembatasanKekuasaan.pdf, Diakses tanggal 26 April 2008, hal. 4.

16 Liza Erwina, Azas Hukum, Modul Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=480, 20 Januari 2008, hal. 1.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

d. Azas hukum adalah unsur penting dan pokok dari peraturan

hukum. Azas hukum adalah jantungnya peraturan hukum

karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya

peraturan hukum ( Ia adalah ratio legisnya peraturan hukum)

(Satjipto Raharjo).

Azas-azas hukum perdata meliputi:17

a. Azas Pacta Sunt Servanda (setiap janji itu mengikat)

b. Azas Contracts Vrij heid/party autonomis (kebebasan para

pihak untuk berkontrak)

c. Azas T.e. Goede Trouw (iktikad baik).

Ketiga azas tersebut telah dicantumkan dalam bentuk

peraturan yang konkrit yaitu dalam pasal 1338 KUHPerdata,

yang berbunyi :

a. “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku

sebagai UU bagi para pihak yang membuatnya”.

b. 2. “Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan

kesepakatan ke 2 belah pihak atau karena alasan-alasan

yang ditentukan oleh UU”.

c. “Persetujuan harus dengan iktikad baik”.

Jika azas hukum telah dirumuskan secara konkrit dalam

bentuk peraturan/norma hukum maka ia sudah dapat

diterapkan secara langsung pada peristiwanya. Sedangkan azas

hukum yang belum konkrit dirumuskan dalam peraturan/norma

17 Ibid, hlm. 2.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

hukum maka belum dapat dipergunakan secara langsung pada

peristiwanya.

2. Kekuasaan Kehakiman

Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht

(dalam bahasa Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa

Perancis). Dalam Black’s Law Dictionary, istilah kekuasaan (power)

berarti: “The right, ability, authority, or faculty of doing something. .

. . A power is an ability on the part of a person to produce a change

in a given legal relation by doing or not doing a given act”18 Istilah

kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam

literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang

disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda

disebut gezag atau bevoegdheid.

Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu

tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan

oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-

hubungan hukum.19 Berdasarkan definisi tersebut di atas,

kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan untuk

mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang

kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa.

Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan

18 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1990, hal. 1169

19 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 153.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

(secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun

terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu.

Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering

bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang

memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam

suatu bidang tertentu. Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada

hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu

memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya,

maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi

penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan

merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.Hubungan

hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar

Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut:

hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”20

20 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Jakarta, t.t., hal. 4-5.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Dalam kaitannya dengan kekuasaan (power), Lord Acton

telah memperingatkan bahwa: “Power tends to corrupt; and

absolute power tends to corrupt absolutly” (Semakin besar

kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk

disalahgunakan).21 Karena itu, dalam konsep negara hukum,

sumber untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan serta

batas-batasnya harus secara jelas diatur dan

dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan.

Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law;

rechtsstaat). Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of

law mengandung makna bahwa otoritas harus diberi bentuk hukum

dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara

hukum.22

Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu

sendiri sangat tergantung dari bagaimana cara menggunakan

kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus

diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang

sudah ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor

penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai

dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang kekuasaan

diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang

tinggi terhadap kepentingan masyarakat.23

21 Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993, hal. 52.22 A.A.G. Peters dan Koesriani S, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar

Harapan, Jakarta, 1990, hal. 52.23 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,

2002, hal. 71.

Page 15: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Kekuasaan merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan

masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur

(seperti negara).24 Akan tetapi karena sifat dan hakikatnya, supaya

baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan

batas-batasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan

kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian bahwa

kekuasaan itu harus tunduk pada hukum. Mengingat sifat dan

hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan

begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu.

Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi

kepentingan umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai

sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban

tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak

lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh

perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya.25

Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi

dalam empat bidang perundang-undangan, peradilan, polisi, dan

pemerintahan. Tugas penguasa di bidang perundang-undangan

adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil, yakni

menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang

peradilan, menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di

bidang kepolisian, tugas penguasa adalah pengawasan dari

penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang

24 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977, hal. 19.

25 Ibid. 7

Page 16: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

mentaati hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang

pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup semua tindakan

penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,

dan polisi.26 Istilah tugas penguasa dalam hal ini mencakup seluruh

tugas negara yang dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan

yudisial.

Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law),

maka hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam

penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum).

Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang

menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan

guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara,

pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan

yang berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang

menjunjung supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada

kemauan manusianya. Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan

sebutan “the governance not by man but by law”.27 Hal ini sejalan

dengan prinsip “pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution

of power) yang dianut oleh UUD 1945” yang dimaksudkan untuk

membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun

penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat

penyelenggara pemerintahan.28

26 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 301.

27 I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005, hal. 21.

28 Ibid, hal. 22.

Page 17: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of

law oleh Roberto M. Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat

netral (neutrality), seragam (uniformity), dan dapat diprediksikan

(predictability). Penggunaan kekuasaan pemerintah harus

berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi

cukup banyak kategori orang dan tindakan.29 Segenap peraturan ini,

apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak

pembuat undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat

peraturan-peraturan umum. Pembuat undang-undang (legislator)

tidak dapat menghukum ataupun memihak individu-individu

tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan

kontrol personal secara langsung. Pelaksana undang-undang

(administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-

aturan yang ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang

membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-

undang terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk

mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak dalam batas-batas

yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain dengan

kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam

pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan

metode administratif. Pejabat ini adalah hakim (judge).30

Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif

untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditentukan

29 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia, Bandung, 2007, hal. 234.

30 Ibid, 235

Page 18: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

di dalam batasan-batasan hukum. Bagi Roberto M. Unger, rule of

law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan.

Sebaliknya, bagi hakim, hukum disahkan dari batas luar ke pusat

perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi aktivitasnya.

Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya

menuntut institusi dan personel khusus. Supaya terhindar dari

penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan

penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum

juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan

(separation of power), di samping peradilan yang bebas,

perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan supremasi

hukum. Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai

hak-hak asasi manusia dan asas pemisahan kekuasaan semakin

diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang menghendaki

pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ

legislatif, eksekutif dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau

tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas pemisahan kekuasaan

dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh

dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-

negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad

ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan

revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan

kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi

negara-negara hasil dari revolusi tersebut.31

31 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hal. 5.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke

maupun Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara

menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John Locke

mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan

negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan

eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative

power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah

seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of

power; separation du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni

bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.32

Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa

kekuasaan negara harus dipisahkan (separation of powers) dan

tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration of powers).

Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap

unsur power dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni:

legislatio yang meliputi law creating function; dan legis executio,

yang meliputi: (1) legislative power dan (2) judicial power.33

Tugas legis executio menurut Kelsen bersifat luas, yakni

melaksanakan the constitution beserta seluruh undang-undang

yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif. Dengan demikian, ia

mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial

power. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu

dalam dua bidang, yaitu: (a) political function yang disebutnya

32 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, hal. 20.

33Ibid

Page 20: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

government dan meliputi tugas kepolisian; serta (b) administrative

function (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan negara

dalam dua bidang ini disebutnya dichotomy.34

Demikian juga pendirian Hans Nawiasky. Menurut

pendapatnya, seluruh kegiatan negara juga dibagi menjadi dua

bidang, yakni: (1) Normgebung dan Normvollziehung. Yang

dimaksud normgebung adalah: der Schaffung von Rechtsnormen

(pembentukan norma-norma hukum) dan termasuk juga

pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen), yang sifatnya bebas

dalam memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei).

Sedangkan, Normvollziehung merupakan fungsi pelaksanaan

undang-undang (eksekutif) yang terikat pada norma-norma atau

undang-undang yang harus dijalankannya (inhaltlich gebunden).

Selanjutnya, Nawiasky membagi fungsi Normvollziehung ke dalam

dua bagian, yaitu: (1) Verwaltung atau pemerintahan (pangreh);

dan (2) Rechtsplege atau peradilan. Dengan demikian, pendirian ini

sangat dekat dengan teori dichotomy-nya Kelsen. Adanya

pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-

hak kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara.

Kendatipun demikian, dalam prakteknya ajaran pemisahan

kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Pemisahan

kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan

atau keseimbangan (checks and balance) antara cabang kekuasaan

yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain dapat menimbulkan

34 Ibid, hal. 21.

Page 21: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing-masing cabang

kekuasaan itu.35

Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika

sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki

adanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Berdasarkan

UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem pembagian

kekuasaan yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi

pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya.36 Adapun

UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran

Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive

power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD

1945 menganut ajaran tersebut. Penggunaan peristilahan itu

sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata

mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh

UUD 1945.37 Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga

cabang kekuasaan, tetapi dalam praktek ada negara-negara

tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang

dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata

mempunyai 6 (enam), bahkan lebih, cabang kekuasaan negara

yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada (MPR,

35 Ibid, hal. 736 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 15-16.37 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 116.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan

Daerah (DPD), dan Presiden).38

3. Budaya Hukum Masyarakat

Upaya penegakan hukum melalui kewenangan peaturan

perundang-undangan dan kekuasan kehakiman di peradilan agama

mensyaratkan berfungsinya beberapa faktor dari komponen sistem

hukum. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat

terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif,

itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:39

a. Faktor hukumnya sendiri.

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk

maupun menerapkan hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak

hukum.

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut

berlaku atau diterapkan.

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa

yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan

hidup.

Faktor-faktor tersebut diatas saling berkaitan erat satu sama

lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga

merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-undang

38 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 11.

39 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 3.

Page 23: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

atau peraturan. Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan

Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman.

Teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman menyatakan:

bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan,

maka hukum mencakup tiga komponen yaitu:40

a. legal substance (substansi hukum); merupakan aturan-

aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia

yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang

dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem

hukum itu, mencakup keputusan yang mereka

keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.

b. legal structure (struktur hukum); merupakan kerangka,

bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan

semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan

instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang

merupakan struktur dari sistem hukum antara lain;

institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi,

jaksa dan hakim.

c. legal culture (budaya hukum); merupakan suasana

pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan

bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau

disalahgunakan oleh masyarakat.

40 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspektive. Russel Soge Foundation. New York, 1969, hal. 16.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Lebih jauh tentang budaya hukum masyarakat. Budaya

hukum sendiri menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk

mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat

hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat

ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan

kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga

besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.41 Dengan

demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya

hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang

pendidikan, lingkungan budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan

kepentingan-kepentingan.42

Secara sempit, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai

tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum

Indnesia. Sedangkan secara luas, budaya hukum Indonesia

diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya

hukum masyarakat Indonesia.43

Perlu diketahui, bahwa budaya hukum juga tidak terlepas

dari budaya yang kemudian menjadi kebudayaan suatu

masyarakat. Budaya berarti Pikiran ; akal budi ; hasil atau Sesuatu

mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju).44

Budaya Indonesia pada hakikatnya : satu, sedangkan corak ragam

41 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung. .2003, Hal. 156.

42 Cita Citrawinda Priapantja. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi globalisasi : Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Chandra Pratama. Jakarta, 1999, hal. 196

43 Ibid, hal. 193.44 Pusat Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka

Jakarta, 2002, hal. 169

Page 25: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa

seluruhnya dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak

bertentangan dengan nilai budaya bangsa yang hasilnya dapat

dinikmati oleh bangsa.45

Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan secara

sempit adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang

memenuhi hasratnya akan keindahan.46 luas, kebudayaan berarti

seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak

berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa

dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.47

Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan tersebut paling

sedikit memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu :48

a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,

gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan

sebagainya.

b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas

kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.

c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya

manusia

45 Tim Tatanusa, Kamus Istilah : Memuat Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1945 – 1998, PT. Tatanusa Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 76

46 Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.. Gramedia, Jakarta, 1994., ha. 1.

47 Ibid, hal. 148 J.W,M. Bakker. Sj, Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta 1984,

hal. 5.

Page 26: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Berdasarkan 3 (tiga) wujud tersebut, yang patut disoroti

adalah wujud kebudayaan yang pertama. Pada wujud pertama ini,

adat merupakaan wujud ideel dari kebudayaan, karena adat

berfungsi sebagai pengatur kelakukan. Adat dapat dibagi lebih

khusus dalam empat tingkat ialah :49 (1) tingkat nilai-budaya, (2)

tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan

khusus. Hal ini berarti ada keterkaitan antara kebudayaan dengan

nilai budaya, norma dan hukum (disini tentunya juga termasuk

sistem hukum yang memuat mengenai budaya hukum).

Selanjutnya, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks

idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan

sebagainya, karena berkaitan dengan budaya hukum, yakni

merupakan konsep abstrak dari manusia yang berkaitan dengan

sistem hukum, maka perlu untuk diperhatikan bahwa budaya

hukum tersebut memberi pengaruh kepada perubahan nilai-nilai,

ide-ide dan sikap dalam masyarakat. Artinya untuk mengubah

kesadaran hukum dan kepastian hukum dalam masyarakat, maka

harus mengubah nilai-nilai, ide-ide dan sikap-sikap dalam diri

masyarakat.

Pada kutipan lain dijelaskan bahwa budaya hukum adalah

tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap

gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan

pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum. Jadi budaya

hukum menunjukkan tentang pola prilaku individu sebagai anggota

49 Koentjaraningrat,. Op. Cit., hal. 11.

Page 27: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

masy yg menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama

terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang

bersangkutan. Kemudian, budaya hukum tidak sekedar berarti

himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang sah

terlepas, akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang

berhubungan dengan hukum, berikut sikapyang mempengaruhi

hukum 50

Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem hukum yang

saling mempengaruhi satu sama lainnya tersebut, maka dapat

dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari.

Hukum merupakan budaya masyarakat, oleh karena itu tidak

mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja,

tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam

masyarakat. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa

masalah-masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur

hukum dan budaya hukum.

E. Definisi Operasional

Judul skripsi ini adalah Implementasi Kewenangan

Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 Tahun 2006

Tentang Pengadilan Agama (Studi Di Pengadilan Agama

Yogyakarta), dari judul tersebut terdapat beberapa hal yang perlu

dijelaskan sebagai berikut :

50 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung 1986. Hal. 51

Page 28: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

1. Dalam penelitian ini, implementasi berarti penerapan

kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3

Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.

2. Definisi operasional kewenangan dalam penelitian ini

mencerminkan yurisdiksi atau hak beserta kekuasaan para

hakim Pengadilan Agama Yogyakarta untuk menafsirkan dan

mengoperasionalisasikan kewenangan baru Pengadilan Agama

berdasarkan UU No 3 Tahun 2006

3. Studi, yaitu jenis penelitian ini. Lengkapnya adalah studi kasus.

Yakni, suatu penelitian empiris yang menyelidiki penerapan

kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3

Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.

4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah ketentuan

perundang-undangan yang merupakan perubahan atas Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama

Dengan demikian sesuai dengan paparan di atas berkaitan

dengan judul skripsi, maka secara general skripsi ini akan

melakukan pengkajian secara empiris yang menyelidiki penerapan

kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3 Tahun

2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.

F. Metode Penelitian

1. Obyek Penelitian

Page 29: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Implemetasi kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan

UU No 3 Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama

Yogyakarta.

2. Subyek Penelitian

Hakim anggota Pengadilan Agama Kota Yogyakarta yang

beralamat di Jalan Wijilan Nomor 14 Yogyakarta.

3. Sumber Data

a. Data Primer

Yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak

yang berhubungan dengan masalah yang dibahas (subyek

penelitian)

b. Data Sekunder

Yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yang

terdiri dari :

1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang

mengikat yang terdiri dari norma atau kaidah dasar,

peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan

2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang

memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer

yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan

hukum, jurnal hukum, dan literatur-literatur hukum

lainnya yang terkait dengan objek penelitian

4. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview atau wawancara

Page 30: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

Yaitu penelitian yang dilakukan dengan wawancara secara

langsung kepada responden yang ada kaitannya dengan

obyek penelitian

b. Studi Pustaka

Yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, majalah surat

kabar, dan peraturan perundag-undangan yang berhubungan

dengan obyek yang diteliti.

5. Metode Pendekatan

Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah

pendekatan yuridis-normatif. Dengan pendekatan ini akan

dianalisis bagaimana implementasi kewenangan pengadilan

agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan

Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta. Selain melihat

substansi yang terkandung dalam perundang-undangan,

pendekatan ini juga akan membantu untuk mengetahui apakah

undang-undang organik telah mengejawantahkan ketentuan,

atau tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh

konstitusi.

6. Analisa Data

Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu

penganalisaan data untuk menggambarkan data penelitian yang

diperoleh melalui subyek penelitian baik secara tertulis, lisan,

maupun perilaku nyata di lapangan kemudian diolah sedemikian

rupa dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah dan teori-teori

Page 31: BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalahrepository.uii.ac.id/410/SK/I/0/00/000/000643/uii-skripsi-03410114... · BAB I PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah Secara sosiologis, hukum

hukum yang ada untuk mendapatkan kesimpulan yang

diharapkan.

G. Kerangka Skripsi

Dalam penulisan skripsi ini. peneliti membagi menjadi empat

bab, yaitu:

BAB I : Pendahuluan, yaitu terdiri dari latar belakang

masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, dan metode penelitian.

BAB II : Tinjauan umum tentang negara hukum,

kekuasaan kehakiman dan peradilan agama di

Indonesia.

BAB III : Masalah pokok dalam penelitian yaitu mengenai

analisa deskriptif tentang implementasi

kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU

No 3 Tahun 2006 pada legal substance (substansi

hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal

culture (budaya hukum) di Pengadilan Agama

Yogyakarta beserta faktor-faktor penghambat dan

pendukungnya.

BAB IV : Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.