bab i pendahuluan a.latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Secara sosiologis, hukum merupakan refleksi dari tata nilai
yang diyakini masyarakat sebagai suatu pranata dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.1 Itu berarti, muatan
hukum yang berlaku selayaknya mampu menangkap aspirasi
masyarakat yang tumbuh dan berkembang bukan hanya yang
bersifat kekinian, melainkan juga sebagai acuan dalam
mengantisipasi perkembangan sosial, ekonomi, dan politik di masa
depan.
Begitu pula dengan hukum Islam dan implementasinya.
Pluralitas agama, sosial dan budaya di Indonesia tidak cukup
menjadi alasan untuk membatasi implementasi hukum Islam hanya
sebagai hukum keluarga. Dalam bidang muamalah (ekonomi
syari’ah) misalnya, hukum perbankan dan perdagangan dapat diisi
dengan konsep hukum Islam. Terlebih kegiatan di bidang ekonomi
syari’ah di Indonesia dalam perkembangannya telah mengalami
pertumbuhan yang signifikan, namun banyak menyisakan
permasalahan karena belum terakomodir secara baik dalam
regulasi formil yang dijadikan rujukan oleh Pengadilan Agama
sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan persoalan
1 Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Toko Agung Tbk, Jakarta, 2002, hal 2.
tersebut. Hal ini wajar, mengingat belum adanya hukum subtansial
dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang mengatur
kegiatan ekonomi syari’ah sebagaimana Pasal 49 Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006.2
Pembangunan hukum nasional secara obyektif mengakui
pluralitas hukum dalam batas-batas tertentu. Pemberlakuan hukum
adat dan hukum agama untuk lingkungan tertentu dan subyek
hukum tertentu adalah wajar karena tidak mungkin memaksakan
satu unifikasi hukum untuk beberapa bidang kehidupan. Oleh
karena itu tidak perlu dipersoalkan jika terhadap subyek hukum
Islam, yang melakukan kegiatan dibidang muamalah, diperlakukan
hukum ekonomi syari’ah. Selanjutnya wajar pula dalam hubungan
keluarga terkadang hukum adat setempat lebih dominan. Prinsip
unifikasi hukum memang harus jadi pedoman, namun sejauh
unifikasi tidak mungkin, maka pluralitas hukum haruslah secara
realitas diterima. Idealnya pluralitas hukum ini haruslah diterima
sebagai bagian dari tatanan hukum nasional.3
Untuk memenuhi kebutuhan hukum terhadap bidang-bidang
yang tidak dapat diunifikasi, negara dengan segala kedaulatan dan
kewenangan yang ada padanya dapat mengakui atau
mempertahankan hukum yang hidup dalam masyarakat, sekalipun
2 Mubarok, “Memahami Lembaga Peradilan Agama”, Makalah pada Acara Pemahaman UU Pengadilan Agama Departemen Hukum dan HAM, Yogyakarta: tanggal 7 September 2006, hlm. 6.
3 Todung Mulya Lubis, Cita-Cita Hukum Nasional dan RUUPA Dalam Zuffran Sabrie (editor), Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila, Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hlm. 107.
itu bukan produk hukum negara, seperti hukum adat yang
merupakan warisan nenek moyang, hukum Islam yang bersumber
dari ajaran agama dan hukum Barat yang merupakan peninggalan
kolonialis.4
Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi civil law yang ciri
utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang
terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun mempunyai
sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an as-Sunnah dan pendapat
para fuqaha (doktrin fikih) pada umumnya tidak terkodifikasi dalam
bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuki Oleh
karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya juga hukum
adat sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis dalam bentuk
perundang-undangan.5
Berdasarkan paparan di atas, maka umat Islam yang
menghendaki pemberlakuan fikih muamalah sebagai hukum positif
juga harus mengupayakan politik hukum melalui proses legislasi
dengan menyusun draft Rancangan Undang-Undang (RUU) yang
diajukan kepada badan legislatif (DPR) untuk mendapatkan
persetujuan.6 Berkenaan dengan proses legislasi, dapat dikatakan
mencakup kegiatan mengkaji, merancang, membahas dan
4 Yusril Ihza Mahendra, Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama Dalam Zuffran Sabrie (editor), Peradilan Agama Dalam Wadah Negara Pancasila, Pustaka Antara, Jakarta, 1990, hal. 43.
5 Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia, Majalah Hukum Suara Uldilag Vol.II No.5, Jakarta, September 2004, hlm. 50.
6 Sri Wahyuni, Politik Hukum Islam di Indonesia (Studi Terhadap Legislasi Kompilasi Hukum Islam), Jurnal Mimbar Hukum No. 59 Thn XIV, Al-Hikmah, 2003., hlm. 84.
mengesahkan undang-undang. Pengajuan RUU bisa melalui
Presiden atau melalui inisiatif DPR.7
Membaca catatan sejarah yang ada pada masa pasca
kemerdekaan, kesadaran umat Islam untuk melaksanakan hukum
Islam dapat dikatakan semakin meningkat. Perjuangan mereka atas
hukum Islam tidak berhenti hanya pada tingkat pengakuan hukum
Islam sebagai subsistem hukum yang hidup di masyarakat, tetapi
juga sampai pada tingkat lebih jauh, yaitu legalisasi dan legislasi.
Mereka menginginkan hukum Islam menjadi bagian dari sistem
hukum nasional, bukan semata-mata substansinya, tetapi secara
legal formal dan positif.8
Perjuangan melegal-positifkan hukum Islam mulai
menampakkan hasil ketika akhirnya hukum Islam mendapat
pengakuan konstitusional yuridis. Berbagai peraturan perundang-
undangan yang sebagian besar materinya diambil dari kitab fikih,
yang dianggap representatif, telah disahkan oleh pemerintah
Indonesia. Diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun
1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Khusus untuk yang terakhir,
ia merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.9
7 Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm. 29.
8 Abdul Ghofur Anshori, Pengadilan Agama di Indonesia: Pasca UU No. 3 Tahun 2006 (Sejarah, kedudukan dan Kewenangan), UII Press, Yogyakarta, 2006, hlm. 18.
9 Ibid, hlm. 19.
Setelah lahirnya Undang-Undang yang berhubungan erat
dengan nasib legislasi hukum Islam di atas, kemudian lahir Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebuah
lembaga peradilan yang khusus diperuntukkan bagi umat Islam. Hal
ini mempunyai nilai strategis, sebab keberadaannya telah
membuka kran lahirnya peraturan-peraturan baru sebagai
pendukung (subtansi hukumnya). Sehingga pada tahun 1991
Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 yang berisi tentang sosialisasi Kompilasi
Hukum Islam (KHI). Terlepas dari pro dan kontra keberadaan KHI
nantinya diproyeksikan sebagai Undang-Undang resmi negara
(hukum materiil) yang digunakan di lingkungan Pengadilan Agama
sebagai hukum terapan.10
Perkembangan terakhir, sebagai tuntutan reformasi di
bidang hukum khususnya lembaga peradilan dimulai dengan
diamandemennya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman oleh Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1970 yang kini kembali direvisi menjadi Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Perubahan Undang-Undang diatas secara otomatis membawa efek
berantai pada Peradilan Agama, sehingga Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama juga mengikuti jejak, yakni
diamandemen dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
10 Ibid, hlm. 23.
tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama.11
Lahirnya Undang-Undang di atas membawa lompatan besar
hukum Islam dalam perkembangan hukum nasional. Sebab unsur-
unsur hukum positif yang berupa nilai, norma, peraturan,
pengadilan, penegakan hukum, dan kesadaran hukum masyarakat
menjadi sempurna. Dengan demikian hukum Islam yang telah
menjadi bagian hukum nasional dengan sempurna ialah hukum
perkawinan, hukum waris, hukum hibah serta wasiat, hukum wakaf,
hukum zakat dan hukum bisnis Islam (ekonomi syari’ah). Perubahan
tersebut sebenarnya merupakan tantangan bagi Peradilan Agama
dalam bidang organisasi, sumber daya manusia, sarana dan
prasarana.Oleh karena itu perubahan tersebut merupakan amanat
yang sangat berat bagi jajaran Pengadilan Agama.
Adanya kewenangan baru di atas, semakin menguatkan
eksistensi hukum Islam dalam sistem hukum nasional, namun
permasalahannya bertambahnya kewenangan baru tersebut belum
diimbangi dengan adanya hukum substansial, sehingga hakim
kembali dihadapkan pada kitab-kitab fikih untuk menemukan
penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang pada dekade terakhir
ini perkembangannya cukup signifikan. Adapun untuk menguji
tingkat keabsahan putusan hakim tersebut dari segi penerapan
asas-asas hukum belum teruji dalam tataran akademis, sehingga
hal ini perlu untuk terus dikaji.
11 Ibid, hlm. 24
Berdasarkan alasan yang dikemukakan di atas maka penulis
mencoba menguak sejauh mana implementasi kewenangan
pengadilan agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang
Pengadilan Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta serta faktor-
faktor yang menjadi pendukung dan penghambat implementasi
kewenangan tersebut.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana implementasi kewenangan pengadilan agama
berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama di
Pengadilan Agama Yogyakarta?
2. Faktor-faktor apa yang menjadi pendukung dan penghambat
implementasi kewenangan pengadilan agama berdasarkan UU
No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama di Pengadilan
Agama Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui implementasi kewenangan pengadilan
agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta
2. Untuk mengetahui pendukung dan penghambat implementasi
kewenangan pengadilan agama berdasarkan UU No 3 Tahun
2006 tentang Pengadilan Agama di Pengadilan Agama
Yogyakarta
D. Tinjauan Pustaka
Untuk memahami maksud atau tujuan dari penelitian ini,
maka diperlukan pemahaman terhadap konsep kewenangan
hukum, kekuasaan kehakiman dan budaya hukum masyarakat;
1. Kewenangan
Dalam Program kamus WordWeb Dictionary kewenangan
(authority) diartikan sebagai kekuasaan atau hak untuk
mengatur dan membuat berbagai keputusan dan seseorang
atau kelompok yang mengendalikan orang atau kelompok lain.12
Menurut Soekanto, kewenangan atau wewenang (authority)
adalah kekuasaan yang ada pada seseorang atua sekelompok
orang yang mempunyai dukungan atau mendapat pengakuan
dari masyarakat. Karena memerlukan pengakuan masyarakat,
maka di dalam masyarakat yang sudah kompleks susunannya
dan sudah mengenal pembagian kerja yang terinci, wewenang
biasanya terbatas pada hal-hal yang diliputinya seperti waktu
penggunaan wewenang dan cara menggunakan wewenang
tersebut. Adanya kewenangan bertujuan untuk menetapkan
12 Program WordWeb Dictionary, Princeton University 2006.
kebijaksanaan, menentukan berbagai keputusan mengenai
segala masalah penting serta menyelesaikan pertentangan-
pertentangan.13
Dalam kajian hukum kewenangan bersinonim dengan
yurisdiksi. Pada awalnya Yurisdiksi merupakan konsekuensi logis
dari kedaulatan negara atas wilayahnya. Yurisdiksi negara atas
individu, benda dan lain-lain. Black’s law Dictionary memberi
makna yurisdiksi adalah:14
a. Suatu istilah menyeluruh yang merujuk pada segala macam
tindakan penadilan.
b. Legalitas, kapasitas, kekuasaan dan hak untuk bertindak
c. Kekuasaan seseorang yang mempunyai hak menghakimi.
Kewenangan menurut Robert Bierstedt dalam
karangannya yang berjudul An Analysis of Social Power adalah
kekuasaan yang dilembagakan (institutionalized power).
Pengertian ini bersesuaian pula dengan pandangan Laswell dan
Kaplan, yang menyatakan bahwa kewenangan adalah
kekuasaan formal (formal power), dalam arti dimilikinya hak
untuk mengeluarkan perintah dan membuat peraturan-
13 Soerjono Soekanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, hlm. 266.
14 Anonim, Yuridiksi Negara, http://www.lpp.uns.ac.id/web/moodle/moodledata/22/Yurisdiksi_Negara/YURISDIKSI%20NEGARA.doc, 20 Januari 2008, hlm. 1
peraturan serta dimilikinya hak untuk mengharap kepatuhan
orang lain terhadap peraturan yang dibuatnya.15
Dengan demikian hakikat makna yurisdiksi secara umum
merupakan satu kekuasaan, kemampuan, otoritas, hak serta
wewenang formal untuk mengambil keputusan/tindakan melalui
berbagai organ yang ada (pengadilan, pemerintahan maupun
jalur perundang-undangan) berdasarkan hukum.
Yurisdiksi akan berjalan efektif jika mengikuti suatu azas
hukum. Menurut beberapa pakar, dalam Erwina, azas hukum
adalah: 16
a. Azas hukum adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan
secara luas danmendasari adanya suatu norma hukum (C.W.
Paton).
b. Azas hukum adalah dasar umum (petunjuk) bagi hukum yang
berlaku bukan norma hukum yang konkrit (Van Eikema
Hommes).
c. kecenderungan yang disyaratkan oleh pandangan kesusilaan
pada hukum yang merupakan sifat-sifat umum dengan
segala keterbatasanya sebagai pembawaan umum.( P.
Scholten).
15 Tri Widodo W. Utomo, Pembatasan Kekuasaan Pemerintah Dan Pemberdayaan Demos, http://www.geocities.com/mas_tri/PembatasanKekuasaan.pdf, Diakses tanggal 26 April 2008, hal. 4.
16 Liza Erwina, Azas Hukum, Modul Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, http://library.usu.ac.id/modules.php?op=modload&name=Downloads&file=index&req=getit&lid=480, 20 Januari 2008, hal. 1.
d. Azas hukum adalah unsur penting dan pokok dari peraturan
hukum. Azas hukum adalah jantungnya peraturan hukum
karena ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya
peraturan hukum ( Ia adalah ratio legisnya peraturan hukum)
(Satjipto Raharjo).
Azas-azas hukum perdata meliputi:17
a. Azas Pacta Sunt Servanda (setiap janji itu mengikat)
b. Azas Contracts Vrij heid/party autonomis (kebebasan para
pihak untuk berkontrak)
c. Azas T.e. Goede Trouw (iktikad baik).
Ketiga azas tersebut telah dicantumkan dalam bentuk
peraturan yang konkrit yaitu dalam pasal 1338 KUHPerdata,
yang berbunyi :
a. “Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan UU berlaku
sebagai UU bagi para pihak yang membuatnya”.
b. 2. “Persetujuan tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan ke 2 belah pihak atau karena alasan-alasan
yang ditentukan oleh UU”.
c. “Persetujuan harus dengan iktikad baik”.
Jika azas hukum telah dirumuskan secara konkrit dalam
bentuk peraturan/norma hukum maka ia sudah dapat
diterapkan secara langsung pada peristiwanya. Sedangkan azas
hukum yang belum konkrit dirumuskan dalam peraturan/norma
17 Ibid, hlm. 2.
hukum maka belum dapat dipergunakan secara langsung pada
peristiwanya.
2. Kekuasaan Kehakiman
Istilah kekuasaan dalam bahasa Inggris disebut power, macht
(dalam bahasa Belanda) dan pouvoir atau puissance (dalam bahasa
Perancis). Dalam Black’s Law Dictionary, istilah kekuasaan (power)
berarti: “The right, ability, authority, or faculty of doing something. .
. . A power is an ability on the part of a person to produce a change
in a given legal relation by doing or not doing a given act”18 Istilah
kekuasaan berbeda maknanya dengan kewenangan. Dalam
literatur berbahasa Inggris istilah kewenangan atau wewenang
disebut authority atau competence, sedang dalam bahasa Belanda
disebut gezag atau bevoegdheid.
Wewenang adalah kemampuan untuk melakukan suatu
tindakan hukum publik atau kemampuan bertindak yang diberikan
oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan-
hubungan hukum.19 Berdasarkan definisi tersebut di atas,
kekuasaan secara sosiologis adalah kemampuan untuk
mempengaruhi pihak lain agar mengikuti kehendak pemegang
kekuasaan, baik dengan sukarela maupun dengan terpaksa.
Sedangkan, kewenangan adalah kekuasaan yang diformalkan
18 Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th Ed., West Publishing Co., St. Paul Minnesota, 1990, hal. 1169
19 S.F. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hal. 153.
(secara hukum) baik terhadap segolongan orang tertentu maupun
terhadap suatu bidang pemerintahan tertentu.
Dalam suatu kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang menganut sistem negara hukum, kekuasaan sering
bersumber dari wewenang formal (formal authority) yang
memberikan kekuasaan atau wewenang kepada seseorang dalam
suatu bidang tertentu. Hal ini berarti kekuasaan itu bersumber pada
hukum, yaitu ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
pemberian wewenang tadi. Mengingat bahwa hukum itu
memerlukan paksaan bagi penaatan ketentuan-ketentuannya,
maka dapat dikatakan bahwa hukum memerlukan kekuasaan bagi
penegakannya. Tanpa kekuasaan, hukum itu tak lain akan
merupakan kaidah sosial yang berisikan anjuran belaka.Hubungan
hukum dan kekuasaan dalam masyarakat, oleh Mochtar
Kusumaatmadja digambarkan sebagai berikut:
hukum memerlukan kekuasaan bagi pelaksanaannya, sebaliknya kekuasaan itu sendiri ditentukan batas-batasnya oleh hukum. Secara populer, kesimpulan ini barangkali dapat dirupakan dalam slogan bahwa: “hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”20
20 Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Binacipta, Jakarta, t.t., hal. 4-5.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan (power), Lord Acton
telah memperingatkan bahwa: “Power tends to corrupt; and
absolute power tends to corrupt absolutly” (Semakin besar
kekuasaan, akan semakin besar pula kecenderungan untuk
disalahgunakan).21 Karena itu, dalam konsep negara hukum,
sumber untuk memperoleh dan menggunakan kekuasaan serta
batas-batasnya harus secara jelas diatur dan
dipertanggungjawabkan menurut peraturan perundang-undangan.
Inilah esensi kekuasaan menurut konsep negara hukum (rule of law;
rechtsstaat). Oleh karena itu, dalam perspektif sosiologis, ide rule of
law mengandung makna bahwa otoritas harus diberi bentuk hukum
dan bahwa kekuasaan harus dilaksanakan dengan cara-cara
hukum.22
Secara epistemologis, baik atau buruknya kekuasaan itu
sendiri sangat tergantung dari bagaimana cara menggunakan
kekuasaan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus
diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan faktor
penting dalam hal digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai
dengan kehendak masyarakat. Karena bagi pemegang kekuasaan
diperlukan syarat antara lain kejujuran dan rasa pengabdian yang
tinggi terhadap kepentingan masyarakat.23
21 Miriam Budiharjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1993, hal. 52.22 A.A.G. Peters dan Koesriani S, Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku III, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta, 1990, hal. 52.23 Lili Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Mandar Maju, Bandung,
2002, hal. 71.
Kekuasaan merupakan suatu yang mutlak bagi kehidupan
masyarakat yang tertib, bahkan bagi setiap organisasi yang teratur
(seperti negara).24 Akan tetapi karena sifat dan hakikatnya, supaya
baik dan bermanfaat harus ditetapkan ruang lingkup, arah dan
batas-batasnya. Sekali ditetapkan, hendaknya pengaturan
kekuasaan dipegang teguh. Inilah inti dari pengertian bahwa
kekuasaan itu harus tunduk pada hukum. Mengingat sifat dan
hakikat kekuasaan, jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan
begitu saja dapat diserahi kekuasaan, harus dipersiapkan untuk itu.
Seorang pemegang kekuasaan harus memiliki semangat mengabdi
kepentingan umum (sense of public service). Sebaliknya, mengenai
sikap orang yang dikuasai, di satu pihak ia mempunyai kewajiban
tunduk pada penguasa (the duty of civil obedience), tetapi di pihak
lain ia pun harus sadar akan haknya untuk memperoleh
perlindungan hukum terhadap diri dan harta bendanya.25
Adapun tugas “penguasa” menurut van Apeldoorn, dibagi
dalam empat bidang perundang-undangan, peradilan, polisi, dan
pemerintahan. Tugas penguasa di bidang perundang-undangan
adalah membentuk undang-undang dalam arti materiil, yakni
menentukan peraturan-peraturan yang umum mengikat. Di bidang
peradilan, menetapkan hukum dalam hal-hal yang konkrit. Di
bidang kepolisian, tugas penguasa adalah pengawasan dari
penguasa atas paksaan yang dilakukannya, supaya orang-orang
24 Soerjono Soekanto, Pengantar Sosiologi Hukum, Bhratara Karya Aksara, Jakarta, 1977, hal. 19.
25 Ibid. 7
mentaati hukum yang telah ditetapkan. Sedang, di bidang
pemerintahan, tugas penguasa adalah mencakup semua tindakan
penguasa yang tidak termasuk perundang-undangan, peradilan,
dan polisi.26 Istilah tugas penguasa dalam hal ini mencakup seluruh
tugas negara yang dijalankan oleh lembaga legislatif, eksekutif, dan
yudisial.
Pada negara yang berdasarkan atas hukum (rule of law),
maka hukum ditempatkan sebagai acuan tertinggi dalam
penyelenggaraan negara dan pemerintahannya (supremasi hukum).
Dalam hal ini dianut suatu “ajaran kedaulatan hukum” yang
menempatkan hukum pada kedudukan tertinggi. Hukum dijadikan
guiding principle bagi segala aktivitas organ-organ negara,
pemerintahan, pejabat-pejabat beserta rakyatnya. Pemerintahan
yang berdasarkan hukum merupakan pemerintahan yang
menjunjung supremasi hukum dan tidak berdasarkan kepada
kemauan manusianya. Sudikno Mertokusumo mengatakan dengan
sebutan “the governance not by man but by law”.27 Hal ini sejalan
dengan prinsip “pembagian kekuasaan pemerintahan (distribution
of power) yang dianut oleh UUD 1945” yang dimaksudkan untuk
membatasi dan mencegah kemungkinan penumpukan maupun
penyalahgunaan kekuasaan pada badan/lembaga atau pejabat
penyelenggara pemerintahan.28
26 L.J. van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Cet. Ke-29, Pradnya Paramita, Jakarta, 2001, hal. 301.
27 I Made Arya Utama, Sistem Hukum Perizinan Berwawasan Lingkungan Hidup dalam Mewujudkan Pembangunan Daerah yang Berkelanjutan, Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung, 2005, hal. 21.
28 Ibid, hal. 22.
Kekuasaan lembaga-lembaga negara dalam konteks rule of
law oleh Roberto M. Unger didefinisikan lewat gagasan tentang sifat
netral (neutrality), seragam (uniformity), dan dapat diprediksikan
(predictability). Penggunaan kekuasaan pemerintah harus
berlangsung di dalam batasan-batasan peraturan yang berlaku bagi
cukup banyak kategori orang dan tindakan.29 Segenap peraturan ini,
apapun bentuknya, harus diberlakukan secara seragam. Kehendak
pembuat undang-undang (lawgiver) harus diwujudkan lewat
peraturan-peraturan umum. Pembuat undang-undang (legislator)
tidak dapat menghukum ataupun memihak individu-individu
tertentu secara langsung, sehingga terhindar pula dari melakukan
kontrol personal secara langsung. Pelaksana undang-undang
(administrator) berurusan dengan individu hanya sebatas aturan-
aturan yang ditentukan, dan aturan-aturan ini bukan dia yang
membuatnya. Maka, berdasarkan pemikiran ini, pelaksana undang-
undang terhindar dari upaya penggunaan kekuasaan publik untuk
mencapai tujuan pribadi. Sebab, untuk bertindak dalam batas-batas
yang ditentukan oleh undang-undang harus ada orang lain dengan
kewenangan terakhir untuk menentukan makna hukum, dan dalam
pelaksanaannya membutuhkan metode yang berbeda dengan
metode administratif. Pejabat ini adalah hakim (judge).30
Perhatian pelaksana hukum terpusat pada sarana terefektif
untuk mewujudkan tujuan-tujuan kebijakan yang sudah ditentukan
29 Roberto M. Unger, Teori Hukum Kritis: Posisi Hukum dalam Masyarakat Modern, Nusamedia, Bandung, 2007, hal. 234.
30 Ibid, 235
di dalam batasan-batasan hukum. Bagi Roberto M. Unger, rule of
law adalah kerangka tempat pengambilan keputusan dilaksanakan.
Sebaliknya, bagi hakim, hukum disahkan dari batas luar ke pusat
perhatian. Hukum adalah bidang kajian utama bagi aktivitasnya.
Ajudikasi membutuhkan jenis perdebatan tersendiri; integritasnya
menuntut institusi dan personel khusus. Supaya terhindar dari
penumpukan kekuasaan yang dapat mengarah pada tindakan
penyalahgunaan kekuasaan, maka dalam konsep negara hukum
juga disyaratkan adanya pemisahan atau pembagian kekuasaan
(separation of power), di samping peradilan yang bebas,
perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia dan supremasi
hukum. Pada abad ke-17 dan 18, pandangan John Locke mengenai
hak-hak asasi manusia dan asas pemisahan kekuasaan semakin
diperkuat oleh pemikiran Montesquieu yang menghendaki
pemisahan kekuasaan negara secara tegas ke dalam organ
legislatif, eksekutif dan yudisial, serta pemikiran J.J. Rousseau
tentang paham “kedaulatan rakyat”. Asas pemisahan kekuasaan
dan paham kedaulatan rakyat dari ketiga ahli pikir tersebut boleh
dikatakan sangat besar pengaruhnya terhadap berdirinya negara-
negara modern di Eropa Kontinental dan Anglo-Saxon pada abad
ke-17 sampai ke-19, tentu saja perjuangan politik yang panjang dan
revolusi kerakyatan berdasarkan paham kedaulatan rakyat dan
kedaulatan hukum yang kemudian dituangkan dalam konstitusi
negara-negara hasil dari revolusi tersebut.31
31 Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, hal. 5.
Terkait dengan teori pemisahan kekuasaan, baik John Locke
maupun Montesquieu sama-sama membagi kekuasaan negara
menjadi tiga bidang, tetapi ada perbedaannya. John Locke
mengatakan bahwa kegiatan negara bersumber dari tiga kekuasaan
negara, yaitu kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan
eksekutif (executive power), dan kekuasaan federatif (federative
power). Sedang Montesquieu melalui ajaran Trias Politica membelah
seluruh kekuasaan negara secara terpisah-pisah (separation of
power; separation du pouvoir) dalam tiga bidang (tritochomy), yakni
bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif.32
Ajaran Trias Politika didasarkan pada pemikiran bahwa
kekuasaan negara harus dipisahkan (separation of powers) dan
tidak boleh berada dalam satu tangan (concentration of powers).
Berbeda dengan Montesquieu, Hans Kelsen membagi segenap
unsur power dalam negara itu dalam dua bidang pokok, yakni:
legislatio yang meliputi law creating function; dan legis executio,
yang meliputi: (1) legislative power dan (2) judicial power.33
Tugas legis executio menurut Kelsen bersifat luas, yakni
melaksanakan the constitution beserta seluruh undang-undang
yang ditetapkan oleh kekuasaan legislatif. Dengan demikian, ia
mencakup selain kekuasaan administratif juga seluruh judicial
power. Selanjutnya Kelsen membagi kekuasaan administratif itu
dalam dua bidang, yaitu: (a) political function yang disebutnya
32 Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan dan Peradilan Administrasi Negara, Alumni, Bandung, 1985, hal. 20.
33Ibid
government dan meliputi tugas kepolisian; serta (b) administrative
function (Verwaltung; Bestuur). Pembagian kekuasaan negara
dalam dua bidang ini disebutnya dichotomy.34
Demikian juga pendirian Hans Nawiasky. Menurut
pendapatnya, seluruh kegiatan negara juga dibagi menjadi dua
bidang, yakni: (1) Normgebung dan Normvollziehung. Yang
dimaksud normgebung adalah: der Schaffung von Rechtsnormen
(pembentukan norma-norma hukum) dan termasuk juga
pengundangannya (der Erlasz von Gesetzen), yang sifatnya bebas
dalam memilih obyeknya menurut keperluan (inhaltlich frei).
Sedangkan, Normvollziehung merupakan fungsi pelaksanaan
undang-undang (eksekutif) yang terikat pada norma-norma atau
undang-undang yang harus dijalankannya (inhaltlich gebunden).
Selanjutnya, Nawiasky membagi fungsi Normvollziehung ke dalam
dua bagian, yaitu: (1) Verwaltung atau pemerintahan (pangreh);
dan (2) Rechtsplege atau peradilan. Dengan demikian, pendirian ini
sangat dekat dengan teori dichotomy-nya Kelsen. Adanya
pemisahan kekuasaan itu dimaksudkan untuk lebih menjamin hak-
hak kebebasan warga masyarakat dalam kehidupan bernegara.
Kendatipun demikian, dalam prakteknya ajaran pemisahan
kekuasaan tidak dapat dijalankan secara konsekuen. Pemisahan
kekuasaan secara absolut yang meniadakan sistem pengawasan
atau keseimbangan (checks and balance) antara cabang kekuasaan
yang satu dengan cabang kekuasaan yang lain dapat menimbulkan
34 Ibid, hal. 21.
kesewenang-wenangan dalam lingkungan masing-masing cabang
kekuasaan itu.35
Negara Indonesia tidak menganut ajaran Trias Politika
sebagaimana dikemukakan oleh Montesquieu yang menghendaki
adanya pemisahan kekuasaan (separation of power). Berdasarkan
UUD 1945, Negara Indonesia hanya mengenal sistem pembagian
kekuasaan yang menekankan adanya pembagian fungsi-fungsi
pemerintahan, bukan pada pemisahan organ-organnya.36 Adapun
UUD 1945 menggunakan istilah-istilah yang berasal dari ajaran
Trias Politika dari Montesquieu seperti legislative power, executive
power dan judicial power, hal itu tidak boleh diartikan bahwa UUD
1945 menganut ajaran tersebut. Penggunaan peristilahan itu
sekedar memberikan penjelasan dan perbandingan semata
mengenai sistem ketatanegaraan yang sesungguhnya diikuti oleh
UUD 1945.37 Meskipun Montesquieu hanya membagi dalam tiga
cabang kekuasaan, tetapi dalam praktek ada negara-negara
tertentu yang mempunyai lebih dari tiga cabang kekuasaan yang
dimaksud. Di antaranya adalah Indonesia yang ternyata
mempunyai 6 (enam), bahkan lebih, cabang kekuasaan negara
yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang ada (MPR,
35 Ibid, hal. 736 Ismail Sunny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Aksara Baru, Jakarta, 1983, hal. 15-16.37 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi, Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1990, hal. 116.
DPR, BPK, MA, Mahkamah Konstitusi (MK), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Presiden).38
3. Budaya Hukum Masyarakat
Upaya penegakan hukum melalui kewenangan peaturan
perundang-undangan dan kekuasan kehakiman di peradilan agama
mensyaratkan berfungsinya beberapa faktor dari komponen sistem
hukum. Soerjono Soekanto menyatakan bahwa untuk dapat
terlaksananya suatu peraturan perundang-undangan secara efektif,
itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu sebagai berikut:39
a. Faktor hukumnya sendiri.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegak
hukum.
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa
yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Faktor-faktor tersebut diatas saling berkaitan erat satu sama
lain, sebab merupakan esensi dari penegakan hukum, juga
merupakan tolak ukur dari efektivitas berlakunya undang-undang
38 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, PSH UII dan Gama Media, Yogyakarta, 1999, hal. 11.
39 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 3.
atau peraturan. Keempat faktor tersebut dapat dikaji berdasarkan
Teori Sistem Hukum dari Lawrence M. Friedman.
Teori sistem hukum dari Lawrence M. Friedman menyatakan:
bahwa sebagai suatu sistem hukum dari sistem kemasyarakatan,
maka hukum mencakup tiga komponen yaitu:40
a. legal substance (substansi hukum); merupakan aturan-
aturan, norma-norma dan pola prilaku nyata manusia
yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem
hukum itu, mencakup keputusan yang mereka
keluarkan atau aturan baru yang mereka susun.
b. legal structure (struktur hukum); merupakan kerangka,
bagian yang tetap bertahan, bagian yang memberikan
semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhan
instansi-instansi penegak hukum. Di Indonesia yang
merupakan struktur dari sistem hukum antara lain;
institusi atau penegak hukum seperti advokat, polisi,
jaksa dan hakim.
c. legal culture (budaya hukum); merupakan suasana
pikiran sistem dan kekuatan sosial yang menentukan
bagaimana hukum itu digunakan, dihindari atau
disalahgunakan oleh masyarakat.
40 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspektive. Russel Soge Foundation. New York, 1969, hal. 16.
Lebih jauh tentang budaya hukum masyarakat. Budaya
hukum sendiri menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk
mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat
hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat
ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan
kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga
besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis.41 Dengan
demikian, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya
hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang
pendidikan, lingkungan budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan
kepentingan-kepentingan.42
Secara sempit, budaya hukum Indonesia diartikan sebagai
tradisi hukum yang dimiliki atau dianut oleh masyarakat hukum
Indnesia. Sedangkan secara luas, budaya hukum Indonesia
diartikan sebagai keseluruhan endapan dari kegiatan dan karya
hukum masyarakat Indonesia.43
Perlu diketahui, bahwa budaya hukum juga tidak terlepas
dari budaya yang kemudian menjadi kebudayaan suatu
masyarakat. Budaya berarti Pikiran ; akal budi ; hasil atau Sesuatu
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang (beradab, maju).44
Budaya Indonesia pada hakikatnya : satu, sedangkan corak ragam
41 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung. .2003, Hal. 156.
42 Cita Citrawinda Priapantja. Budaya Hukum Indonesia Menghadapi globalisasi : Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, Chandra Pratama. Jakarta, 1999, hal. 196
43 Ibid, hal. 193.44 Pusat Bahasa Departemen P dan K, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka
Jakarta, 2002, hal. 169
budaya yang ada menggambarkan kekayaan budaya bangsa
seluruhnya dengan tidak menolak nilai-nilai budaya lain yang tidak
bertentangan dengan nilai budaya bangsa yang hasilnya dapat
dinikmati oleh bangsa.45
Sedangkan yang dimaksud dengan kebudayaan secara
sempit adalah pikiran, karya dan hasil karya manusia yang
memenuhi hasratnya akan keindahan.46 luas, kebudayaan berarti
seluruh total dari pikiran, karya dan hasil karya manusia yang tidak
berakar kepada nalurinya dan yang karena itu hanya bisa
dicetuskan oleh manusia sesudah suatu proses belajar.47
Menurut Koentjaraningrat, kebudayaan tersebut paling
sedikit memiliki 3 (tiga) wujud, yaitu :48
a. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya.
b. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas
kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat.
c. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya
manusia
45 Tim Tatanusa, Kamus Istilah : Memuat Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia 1945 – 1998, PT. Tatanusa Indonesia, Jakarta, 1999, hal. 76
46 Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan.. Gramedia, Jakarta, 1994., ha. 1.
47 Ibid, hal. 148 J.W,M. Bakker. Sj, Filsafat Kebudayaan : Sebuah Pengantar, Kanisius, Yogyakarta 1984,
hal. 5.
Berdasarkan 3 (tiga) wujud tersebut, yang patut disoroti
adalah wujud kebudayaan yang pertama. Pada wujud pertama ini,
adat merupakaan wujud ideel dari kebudayaan, karena adat
berfungsi sebagai pengatur kelakukan. Adat dapat dibagi lebih
khusus dalam empat tingkat ialah :49 (1) tingkat nilai-budaya, (2)
tingkat norma-norma, (3) tingkat hukum dan (4) tingkat aturan
khusus. Hal ini berarti ada keterkaitan antara kebudayaan dengan
nilai budaya, norma dan hukum (disini tentunya juga termasuk
sistem hukum yang memuat mengenai budaya hukum).
Selanjutnya, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks
idee-idee, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan
sebagainya, karena berkaitan dengan budaya hukum, yakni
merupakan konsep abstrak dari manusia yang berkaitan dengan
sistem hukum, maka perlu untuk diperhatikan bahwa budaya
hukum tersebut memberi pengaruh kepada perubahan nilai-nilai,
ide-ide dan sikap dalam masyarakat. Artinya untuk mengubah
kesadaran hukum dan kepastian hukum dalam masyarakat, maka
harus mengubah nilai-nilai, ide-ide dan sikap-sikap dalam diri
masyarakat.
Pada kutipan lain dijelaskan bahwa budaya hukum adalah
tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan
pandangan terhadap nilai-nilai dan prilaku hukum. Jadi budaya
hukum menunjukkan tentang pola prilaku individu sebagai anggota
49 Koentjaraningrat,. Op. Cit., hal. 11.
masy yg menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama
terhadap kehidupan hukum yang dihayati masyarakat yang
bersangkutan. Kemudian, budaya hukum tidak sekedar berarti
himpunan fragmen-fragmen tingkah laku dan pemikiran yang sah
terlepas, akan tetapi diartikan sebagai keseluruhan nilai sosial yang
berhubungan dengan hukum, berikut sikapyang mempengaruhi
hukum 50
Dari ketiga komponen-komponen dalam sistem hukum yang
saling mempengaruhi satu sama lainnya tersebut, maka dapat
dikaji bagaimana bekerjanya hukum dalam praktek sehari-hari.
Hukum merupakan budaya masyarakat, oleh karena itu tidak
mungkin mengkaji hukum secara satu atau dua sistem hukum saja,
tanpa memperhatikan kekuatan-kekuatan sistem yang ada dalam
masyarakat. Dengan demikian teori sistem hukum ini menganalisa
masalah-masalah terhadap penerapan substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum.
E. Definisi Operasional
Judul skripsi ini adalah Implementasi Kewenangan
Pengadilan Agama Berdasarkan UU No 3 Tahun 2006
Tentang Pengadilan Agama (Studi Di Pengadilan Agama
Yogyakarta), dari judul tersebut terdapat beberapa hal yang perlu
dijelaskan sebagai berikut :
50 Hilman Hadikusuma, Antropologi Hukum Indonesia, Alumni, Bandung 1986. Hal. 51
1. Dalam penelitian ini, implementasi berarti penerapan
kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3
Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.
2. Definisi operasional kewenangan dalam penelitian ini
mencerminkan yurisdiksi atau hak beserta kekuasaan para
hakim Pengadilan Agama Yogyakarta untuk menafsirkan dan
mengoperasionalisasikan kewenangan baru Pengadilan Agama
berdasarkan UU No 3 Tahun 2006
3. Studi, yaitu jenis penelitian ini. Lengkapnya adalah studi kasus.
Yakni, suatu penelitian empiris yang menyelidiki penerapan
kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3
Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.
4. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 adalah ketentuan
perundang-undangan yang merupakan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
Dengan demikian sesuai dengan paparan di atas berkaitan
dengan judul skripsi, maka secara general skripsi ini akan
melakukan pengkajian secara empiris yang menyelidiki penerapan
kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan UU No 3 Tahun
2006 menurut para hakim Pengadilan Agama Yogyakarta.
F. Metode Penelitian
1. Obyek Penelitian
Implemetasi kewenangan baru Pengadilan Agama berdasarkan
UU No 3 Tahun 2006 menurut para hakim Pengadilan Agama
Yogyakarta.
2. Subyek Penelitian
Hakim anggota Pengadilan Agama Kota Yogyakarta yang
beralamat di Jalan Wijilan Nomor 14 Yogyakarta.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Yaitu sumber data yang diperoleh langsung dari pihak-pihak
yang berhubungan dengan masalah yang dibahas (subyek
penelitian)
b. Data Sekunder
Yaitu data yang diperoleh dari bahan-bahan hukum yang
terdiri dari :
1) Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang
mengikat yang terdiri dari norma atau kaidah dasar,
peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer
yang terdiri dari hasil-hasil penelitian, karya dari kalangan
hukum, jurnal hukum, dan literatur-literatur hukum
lainnya yang terkait dengan objek penelitian
4. Teknik Pengumpulan Data
a. Interview atau wawancara
Yaitu penelitian yang dilakukan dengan wawancara secara
langsung kepada responden yang ada kaitannya dengan
obyek penelitian
b. Studi Pustaka
Yaitu dengan mempelajari buku-buku literatur, majalah surat
kabar, dan peraturan perundag-undangan yang berhubungan
dengan obyek yang diteliti.
5. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, pendekatan yang digunakan adalah
pendekatan yuridis-normatif. Dengan pendekatan ini akan
dianalisis bagaimana implementasi kewenangan pengadilan
agama berdasarkan UU No 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan
Agama di Pengadilan Agama Yogyakarta. Selain melihat
substansi yang terkandung dalam perundang-undangan,
pendekatan ini juga akan membantu untuk mengetahui apakah
undang-undang organik telah mengejawantahkan ketentuan,
atau tidak bertentangan dengan ketentuan yang diatur oleh
konstitusi.
6. Analisa Data
Analisa data yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yaitu
penganalisaan data untuk menggambarkan data penelitian yang
diperoleh melalui subyek penelitian baik secara tertulis, lisan,
maupun perilaku nyata di lapangan kemudian diolah sedemikian
rupa dengan mendasarkan pada kaidah-kaidah dan teori-teori
hukum yang ada untuk mendapatkan kesimpulan yang
diharapkan.
G. Kerangka Skripsi
Dalam penulisan skripsi ini. peneliti membagi menjadi empat
bab, yaitu:
BAB I : Pendahuluan, yaitu terdiri dari latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, dan metode penelitian.
BAB II : Tinjauan umum tentang negara hukum,
kekuasaan kehakiman dan peradilan agama di
Indonesia.
BAB III : Masalah pokok dalam penelitian yaitu mengenai
analisa deskriptif tentang implementasi
kewenangan Pengadilan Agama berdasarkan UU
No 3 Tahun 2006 pada legal substance (substansi
hukum), legal structure (struktur hukum) dan legal
culture (budaya hukum) di Pengadilan Agama
Yogyakarta beserta faktor-faktor penghambat dan
pendukungnya.
BAB IV : Penutup, berisi kesimpulan dan saran-saran.