bab i pendahuluan a. latar belakang...1 bab i pendahuluan a.latar belakang penelitian ini hendak...

17
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme). Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2 (dua) aliran yakni: a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini dipengaruhi oleh aliran legisme. 1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan- wenangan. 2 Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest 1 Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2 J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan, 2000.

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Penelitian ini hendak mengkritisi praktek ajudikasi atau peradilan oleh hakim

    yang legisme, dimana hakim yang legisme tidak akan mampu memberikan rasa

    keadilan dalam putusannya, sebab dalam putusan hakim hanya melihat pada apa

    yang dikatakan oleh Undang-undang, tanpa menggunakan/mempertimbangkan nilai

    keadilan. Praktek kehakiman seringkali dipandang oleh masyarakat hanya sebatas

    penerapan Undang-undang pada perkara konkret secara rasional belaka (legisme).

    Pada hakekatnya hakim dalam menjatuhkan putusannya dipengaruhi oleh 2

    (dua) aliran yakni:

    a. Aliran Konservatif yaitu putusan hakim yang didasarkan semata-mata ada

    ketentuan hukum tertulis (Peraturan Perundang-undangan). Karakter ini

    dipengaruhi oleh aliran legisme.1 Selanjutnya aliran ini menyatakan pula

    bahwa Undang-undang (kodifikasi), diadakan untuk membatasi hakim, yang

    kerena kebebasannya telah menjurus kearah kesewenangan-

    wenangan.2Berdasarkan hal tersebut maka hakim dalam menjatuhkan

    putusannya harus mengikuti apa yang tertulis dalam hukum (Lex dura tamest

    1Legisme yaitu aliran dalam ilmu hukum dan peradilan yang tidak mengakui hukum yang tidak

    tertulis/Undang-undang. Menurut aliran ini hukum identik dengan undang-undang, sedangkan

    kebiasaan dan ilmu pengetahuan hukum lainnya dapat diakui sebagai hukum apabila undang-undang

    menunjuknya (Sudikno Mertokusumo & A.Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum, Citra Aditya

    Bakti, Jakarta, 1993, hal.10) 2J.A Pontiner, Penemuan Hukum ( Rechtsvinding). Diterjemahkan oleh Arief Sdharta, Bandung,

    Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katoloik Parahayangan, 2000.

  • 2

    suntscripta), biarpun in concreto menurut rasa keadilan masyarakat, putusan

    hakim tersebut dinilai merupakan suatu ketidakadilan.

    b. Aliran Progresif yaitu putusan hakim yang tidak semata-mata mendasarkan

    pada ketentuan hukum tertulis tetapi hakim harus pula mendasarkan pada

    pengetahuan dan pengalaman empiris. Oleh sebab itu hakim tidak lagi sebagai

    corong Undang-undang tetapi hakim harus menemukan nilai-nilai keadilan

    yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini hakim harus menjadi otonom,

    bukan lagi heteronom.3

    Begitupun juga gagasan tentang hukum Represif yang digagas oleh Philippe

    Nonet dan Philippe Selzinick, bahwa tertib hukum tentu dapat berupa ketidak-adilan

    yang benar-benar parah. Keberadaan hukum semata tidak akan menjamin tegaknya

    keadilan, apalagi keadilan subtantif, sebaliknya tertib hukum memiliki potensi

    reprasif sebab hingga tingkat tertentu Ia akan selalu terikat pada status quo dan

    memberikan jubah otoritas pada penguasa, membuat kekuasaan menjadi makin

    efektif.4Rezim represif adalah rezim yang menempatkan seluruh kepentingan dalam

    bahaya, dan khususnya kepentingan yang tidak dilindungi oleh sistem yang berlaku

    dalam hak keistimewaan dan kekuasaan.5 Para penegak hukum (hakim) sendiri

    dihadapkan oleh dua situasi, yaitu: penerapan hukum beresiko rendah dan penerapan

    hukum beresiko tinggi. Penerapan hukum berisiko rendah, bahwa hakim sebagai

    corong Undang-undang, dengan demikian semua putusan yang dibuat hakim, hanya

    berdasarkan pada pertimbangan undang-undang saja. Penerapan hukum beresiko

    3 Van Eikeme Hommes, Logica en Rechtsvinding(reneografie), Vrije Universiteit,1999, hal. 26.

    4 Philippe Nonet & Philippe Selzinick, Hukum Responsif, Nusa Media, Bandung, 2010, hal. 33.

    5Ibid.,hal. 34.

  • 3

    tinggi, dimana hakim tidak hanya melihat hukum sebagai Undang-undang saja, akan

    tetapi hukum yang ada diluar Undang-undang juga. Dalam hal ini hukum yang hidup

    didalam masyarakat.

    Cicero mengatakan “ubi societas ibi ius”, dimana ada masyarakat disitu ada

    hukum.Tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian, idealnya hukum

    memang harus mengakomodasikan ketiganya.Dalam putusan hakim harus

    mempertimbangkan ketiga hal itu.Akan tetapi Bismar Siregar mengatakan, bila untuk

    menegakan keadilan maka dia akan korbankan kepastian hukumdan tujuannya

    adalah keadilan.6 Dalam rangka menyeimbangkan konflik kepentingan dalam

    masyarakat tersebut maka hukum negara harus berhakekat pada keadilan dan

    kekuatan moral, sebab tanpa adanya keadilan dan moralitas maka hukum akan

    kehilangan supremasi dan ciri independennya, sebaliknya ide keadilan dan moralitas

    akan penghargaan terhadap kemanusiaan hanya akan memiliki nilai dan kemanfaatan

    jika terwujud dalam hukum formal dan materil serta diterapkan dalam kehidupan

    masyarakat. Keadilan tersebut sebenarnya merupakan suatu keadaan keseimbangan

    dan keselarasan yang membawa ketentraman didalam hati orang. Sebuah tatanan

    yang tidak berakar pada keadilan sama artinya dengan bersandar pada landasan yang

    tidak aman dan berbahaya.7Dengan teknik inferensial Peter Mahmud Marzuki

    merumuskan esensi dari pengertian keadilan yang berpangkal pada moral manusia

    yaitu rasa cinta kasih dan kebersamaan. Pandangan tersebut sangat berguna jika

    6 Bismar Siregar, Rasa Keadilan, PT Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hal.7.

    7 Abdul Ghofur Anshori, Filsafat Hukum: Sejarah,Aliran dan Pemaknaan, Gadjah Madah

    University Pres, 2006, hal. 57.

  • 4

    misalnya, dikaitkan dengan maxim klasik tentang keadilan yang dikemukakan oleh

    Ulpianus yaitu “justitia est perpetua et constansnvoluntas jus suum cuique

    tribuendi”(atau keinginan yang terus menerus dan tetap memberikan kepada orang

    yang menjadi haknya).8Prespektif tersebut seyogianya menjadi sumber inspirasi bagi

    hakim untuk mempertimbangkan dalam pengambilan keputusan.

    Istilah positive dimaksudkan bahwa hukum itu ditetapkan dengan pasti, tegas

    dan nyata, dan pengunaan istilah ini juga untuk membedakannya dengan nilai-nilai

    yang berasal dari Tuhan dan moral yang bersifat abstrak dan tidak nyata. Karena telah

    begitu dibedakannya maka positivisme sendiri memandang perlunya memisahkan

    antara hukum dan moral atau antara hukum yang berlaku (das sein) dengan hukum

    yang seharusnya (das sollen).9Dalam kacamata aliran hukum positif, tiada hukum lain

    kecuali perintah penguasa atau dengan kata lain, inti dari dari aliran positivisme

    adalahnorma hukum dikatakan sah apabila ia ditetapkan oleh lembaga atau otoritas

    yang berwewenang dan didasarkan pada aturan yang lebih tinggi, bukan

    digantungkan pada nilai atau moral. Norma hukum yang ditetapkan itu tidak lain

    adalah undang-undang yang adalah sumber hukum dan diluar undang-undang tidak

    dapat dikatakan sebagai hukum. Teori hukum positif mengakui adanya norma hukum

    yang sebenarnya bertentangan dengan nilai dan moral tetapi tidak mengurangi

    keabsahan norma hukum tersebut.

    8 Krisna Djaya Darumurti, Diskresi, Kajian Teori Hukum, Genta Publishing, Yogyakarta, 2016,

    hal. 79. 9Erwin Muhamad,Filsafat Hukum “Refleksi Kritis Terhadap Hukum dan Hukum Indonesia (dalam

    Dimensi Ide dan Aplikasi), PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hal. 234.

  • 5

    Dalam positivisme hukum, pandangan yang paling berpengaruh adalah Hans

    Kelsen dengan teori hukum murni. Kelsen mangatakan bahwa hukum dan keadilan

    adalah dua konsep yang berbeda sehingga keadilan itu harus dipisahkan dari hukum

    (law and justice are two different). Tidak mungkin memakai keadilan, karena

    keadilan itu bukan urusan hukum tetapi urusan politik.10

    jika dalam teori hukum

    murni, adil dipisahkan dari hukum maka hal ini berbanding terbalik dengan tujuan

    dari hukum itu sendiri, maka sudah pasti keadilan tidak akan dipertimbangkan oleh

    hakim dalam menegakan hukum. Sebab positivisme itu bebas nilai, keadilan ada

    didalam nilai, oleh sebab itu keadilan tidak bisa dimasukan ke dalam positivisme

    sehingga hukum tidak akan membicarakan keadilan itu sendiri.Aliran positivisme

    hukum telah memperkuat pelajaran legisme, yaitu suatu pelajaran yang menyatakan

    bahwa tidak ada hukum diluar Peundang-undangan.Hakim legisme merupakan hakim

    yang dipengaruhi oleh mazhab atau aliran positivisme hukum. H. L. A. Hart, yang

    berpandangan sebagai berikut.11

    a. Hukumadalah perintah.

    b. Analisis terhadap konsep-konsep hukum berbeda dengan studi

    sosiologis, historis, dan penilaian kritis.

    c. Keputusan-keputusan dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-

    peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa perlu menunjuk kepada

    tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan dan moralitas.

    10

    Ibid., hlm. 242. 11

    Lili Rasdjidi dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, Citra Aditya Bakti,

    Bandung, 2001, hal.57-58.

  • 6

    d. Penghukuman secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan

    oleh penalaran rasional, pembuktian atau pengujian.

    e. Hukum sebagaimana diundangkan, ditetapkan positum, harus

    senantiasa dipisahkan dari hukum yang seharusnya diciptakan dan

    diinginkan.12

    Positivisme hukum berpendapat bahwa satu-satunya sumber hukum adalah

    Undang-undang, sedangkan peradilan berarti semata-mata penerapan undang-undang

    pada peristiwa yang konkrit.13

    Undang-undang dan hukum diidentikkan.14

    Hakim

    positivis juga dapat dikatakan sebagai corong Undang-undang. Hakim yang

    menganut positivisme hukum sejalan dengan pengutamaan kepastian hukum, yang

    beranggapan bahwa apabila hakim diberikan wewenang menafsirkan undang-undang

    atau menemukan hukum sendiri langsung ke masyarakat, maka kepastian hukum

    akan terganggu.15

    Hakim dalam memutus perkara dapat dianggap tidak perlu

    memperhatikan tujuan penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan dan

    kemanfaatan.

    Hakim yang legisme tentu akan menganut ajaran-ajaran positivisme yang selalu

    mengutamakan bunyi pasal dalam Undang-undang atau dengan kata lain hakim

    merupakan corong Undang-undang. Sebagai contoh hakim yang legisme, terlihat

    dalam putusan pencurian tiga biji kaka yang dilakukan oleh Nenek Minah dengan

    12

    Muhamad Erwin, Op.,Cit, hal. 249-250. 13

    Sudikno Mertokusumo dan Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum , Citra Aditya Bakti,

    Yogyakarta, 1993, hal. 5. 14

    Ibid., hal. 120.

    15Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Sapta Artha Jaya, Jakarta,1996, hal. 114.

  • 7

    nomor perkara 247/PID.B/2009/PN.PWT.dan kasus pencurian 6 piring yang

    dilakukan oleh Rasmina, Pengadilan Negeri Tangerang Nomor

    1346/Pid.B/2010/PN.TNG menyatakan Rasminah bebas. Akan tetapi Putusan

    Mahkamah Agung tanggal 31 Mei 2011 mengabulkan kasasi Nomor 653K/Pid.2011

    dan menyatakan Rasminah bersalah dan dihukum penjara 4 Bulan 10 hari. kasus

    pencurian dua ekor ayam atas nama Arman. putusan no. 1104 K/Pid/2010. Kasus

    pencurian hasil hutan (kayu) atas nama Doni Setyo Jatmiko. No putusa perkara,

    132/Pid.sus/2011/PN.MLG. kasus pencurian kayu bakar dengan putusan no 2615

    K/Pid.Sus/201. Atas nama Muhammd Mufid.

    Contoh-contoh kasus diatas menggambarkan kedudukan hakim yang legisme,

    dimana hakim memutuskan dengan hanya merujuk berdasarkan pada unsur-

    unsur(formil) perbuatan pidana yang telah tepenuhi. Dalam kasus ini, menurut

    penulis hakim tidak mencoba menggali nilai keadilan, dimana nilai keadilan itu tidak

    serta merta melekat pada bunyi Undang-undang, tetapi yang perlu dipahami oleh

    hakim secara mendalam adalah bahwa keadilan harus dimaknai secara filosofis

    sehingga tujuan sesungguhnya dari hukum dapat tercapai.

    Berbicara mengenai keadilan, maka sedang membicarakan mengenai tujuan

    yang esensi dari hukum16

    yaitu untuk memberikan rasa keadilan, selain kemanfaatan

    dan kepastian. Keadilan sudah dijamin dan tertuang secara eksplisit dalam Pancasila

    yang disebut sebagai staats fundamental norm/ rechtsideesekaligus berfungsi sebagai

    16

    Teguh Prasetyo,Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015,

    hal. 101.

  • 8

    norma dasar dalam keseluruhan peraturan hukum yang berlaku sebagai hukum positif

    di Indonesia. Oleh sebab itu putusan yang dibuat oleh hakim wajib menjiwai nilai-

    nilai yang ada dalam Pancasila.Pancasila yang merupakan norma fundamental dalam

    proses penegakan hukum seharusnya menjadi guiding star dalam setiap putusan

    hakim, artinya bahwa dalam memutuskan suatu perkara hakim tidak seharusnya

    hanya melihat pada apa yang dikatakan oleh Undang-undang saja tetapi hakim juga

    harus menggali nilai-nilai keadilan yang ada dalam Pancasila.Hakekat dari norma

    dasar adalah syarat bagi berlakunya suatu Kontitusi, norma dasar terlebih dahulu ada

    sebelum adanya konstitusi atau Undang-undang Dasar.17

    Oleh sebab sebab itu posisi hakim yang positivis tidak akan mampu

    memberikan rasa keadilan dalam setiap putusannya, sebab dalam pertimbangan

    hakim hanya menggunakan Undang-undang sebagai tolok ukur saja, tanpa

    menggunakan moral untuk melihat penyebab seseorang melakukan pencurian.

    B. Rumusan Masalah.

    Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah dalam penelitian ini

    adalah;

    1. Bagaimana posisi hakim dalam sistem peradilan pidana?

    2. Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka

    mengupayakan keadilan?

    C. Tujuan Penelitian.

    17

    Teguh Praseryo, Hukum Dan System Hukum Berdasarkan Pancasila, Media Perkasa,

    Yogyakarta, 2013, hal. 69.

  • 9

    Untuk menganalisis posisi hakim dalam sistem peradilan pidana dan,

    Bagaimana hakim menyikapi kasus Mina dan Rasmina dalam rangka mengupayakan

    keadilan.

    D. Manfaat Penelitian

    Hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun

    secara praktis, yaitu:

    a. Manfaat teoritis,hasil Penelitian ini dapat memberikan manfaat dalam kajian

    pengembangan ilmu hukum, khususnya ilmu hukum pidana.

    b. Manfaat praktis, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat membuka

    cakrawala pikir dan menjadi bahan sumbangan pemikiran bagi para hakim

    yang positivis supaya dapat mempertimbangkan keadilan melalui putusannya.

    E. Kerangka Pemikiran:Peran filsafat hukum dalam putusan pengadilan.

    Dalam hal ini filsafat hukum berkedudukan sebagai metateori bagi teori

    interpretasi yuridis secara umum. Fungsionalitas dari beragam teori itu untuk

    menjembatani antara proses dan produk ajudikasi supaya dihasilkan putusan yang

    tepat atau benar sehingga finalitasnya tidak diganggu gugat atau dipertanyakan.

    Teori Adjudikasi

    Teori Adjudikasisebagai metateori interpretasi.Dipengaruhi oleh aliran atau

    tradisi filsafat hukum tertentu, metateori interpretasi yang ada telah lazim

    dikategorikan menjadi teori formalisme, teori realisme dan teori normativisme. Teori-

    teori tersebut pada hakekaknya merupakan bentuk penerapan aliran filsafat hukum

    tertentu ke dalam ajudikasi sehingga konsekuensi lebih dikenal dengan predikat teori

  • 10

    ajudikasi yaitu “theories of how judges do or should decide cases”18

    atau lebih

    tepatnya tentang “how should a judge decide what law governs the case before

    her?19

    ”dalam arti demikian maka yang menjadi fokus teori-teori tersebut adalah

    judicial reasoning sebagai spesies dari legal reasoning.Teori-teori tersebut sangat

    penting dalam rangka fungsionalitas badan yudisial dan hakim terutama hakikak

    fungsi hakim dan makna atau hakikak hukum di dalamnya.20

    Menurut Thomas, “ a basic understanding of legal theory is a essential for the

    complete performance of the judicial function….to fulfil their judicial function, and to

    be able to assess whether they are fulfilling that function, judge must explore,

    examine and know the theoretical framework for their judicial thingking”.

    Pernyataan ini sangat tepat sasaran manakala diyakini bahwa ajudikasi dan

    interpretasi adalah aktivitas intelektual yang sophisticated. 21

    Makna atau hakikat dalam fungsi hakim adalah isu teoritis sangat penting

    dalam rangka membekali hakim ketika melakukan ajudikasi.Isu ini merupakan salah

    satu bidang kajian filsafat hukum maupun teori hukum yang lebih konkrit. Untuk

    lebih memahami pemahaman isu filsafat hukum tentang makna atau hakekak hukum

    dapat dikategorikan secara dikotomis dengan mengacu pada Alexy yaitu konsep yang

    positivistik: “there are only two defining elements:that of issuance in accordance

    with the system, or authoritative issuance, and that of social efficacy….Common to

    18

    Brian Leiter, Legal Formalism and Legal Realism: What is the Issue?, 16 Legal Theory, 2010,

    hal.111. 19

    Robert Justun Lipkin, conventionalism, pragmatism and contutional Revolutions, 21 Uc Davis

    Law Review, 1988, hal. 651. 20

    Titon Slamet Kurnia, Kontitusi HAM, Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI), Yogyakarta, 2014, Hlm

    105 21

    Ibid. Hlm 105-106

  • 11

    all of the variations is the notion what law is depends solely on what has been issued

    and/or is effication. Correctness of content-however achieved-count for nothing”

    dan konsep yang non positivistik “defend the connection thesis, which says that the

    concept of law is to be defined such that moral element are included. No serious non-

    positivis is thereby excluding from the concept of law either the element of

    authoritative issuance or the element of social efficacy. Rather, what distinguishes

    the non-positivist from the positivist is the view that the concept of law is to be

    defined such that, alongside these fact-oriented properties, moral elements are also

    included”.22

    Formalisme, realisme dan normativisme pada hakekaknya adalah teori tentang

    makna atau hakekak hukum dalam ajudikasi, mengandung dimensi penerapan atas

    study filsafat hukum, yang bertujuan menghasilkan postulat-postulat mengenai

    makna atau hakikat hukum sebagai pendirian, word view bagi hakim ketika

    melakukan ajudikasi tentang bagaimana hakim memutuskan atau seyogianya

    memutus kasus dalam lingkup tugas yudisialnya. Menurut D’Amato: “the way judges

    decide a case is informed by their own conception of what the law is-not just what a

    statute might say, or a previous case might have held, but what the law is in the sense

    of how they should interpret those statutes or cases. Aliran atau tradisi filsafat hukum

    tertentu membentuk dan menetukan makna atau hakekak hukum tertentu, dan yang

    pada analisis akhir menentukan hakim tentang bagaimana mengembannya ketika

    memeriksa, menggali dan memutuskan. 23

    22

    Ibid., hal. 106. 23

    Ibid.,hal. 107.

  • 12

    a. Formalisme

    Teori ajudikasi paling dominan dalam praktek ajudikasi. Tentang keampuhan

    teori ini, Thomas memberikan gambaran “At the turn of the twentieth century a basic

    from of positivism dominated legal thinking. The law was perceived as closed and

    cloisterd edifice, an independent and authonomous discipline, and a sovereign, self-

    contained system of internally rational and predictable rules to which the judge,

    having no or little discretion, would mechanically apply deductive reasoning. Such

    dogmatic formalism embraced the declaratory theory of law and fostered the belief

    that law could be determined with quasi-mathematical precision. Idolatry of certainty

    and predictabililyin the law displaced the search for justice and relevance. Justice, if

    justice was to be done, would be systemic-the product ot adhering to rules of form”.

    Secara lebih spesifik Tamanaha menyimpulkan sebagai generalisasi inti dari

    teori formalisme yaitu: formalism entails rule-bound judging that prohibits

    considerations of purposes or consequences”. Dengan demikian ajudikasi adalah

    bebas nilai. Teori formalisme hukum dipengaruhi baik secara langsung maupun tidak

    langsung, atau merupakan penerapan , pemikiran filsafat positivisme yuridis (legal

    positivism). Obsesi utama positivme yuridis adalah konsepsi hukum yang benar-

    benar hukum dan validitas sumber-sumbernya. Atas dasar premis tersebut maka

    positivisme yuridis membedakan secara tegas antara law as it dan law as it ought to

    be, antara hukum dan nilai atau moral. Konsisten dengan itu, pembuktian utama

    eksistensi hukum adalah pada sumbernya, yaitu sumber-sumber hukum positif dari

    negara, dengan demikian pengaruhnya ke dalam ajudikasi, yang disebut formalisme

  • 13

    adalah semata-mata penerapan sumber-sumber hukum positif (law as it is) secara

    subtantif.

    b. Realisme

    Secara genelogis, teori realism sebagai teori ajudikasi merupakan reaksi

    terhadap teori formalisme, “ Formalism offers us right and wrong answers, it

    encourages rigidity and a dismissive attitude to any analysis of the impact of non-

    legal factors on the law, in other word it treats law as an isoled, closed an logical

    system”. dengan kata lain, kritik terhadap formalisme adalah kritik terhadap terhadap

    doktrin separation thesis dari teori positivisme yuridis yang menghasilkan regiditas

    terhadap konsep hukum (khusus menyangkut teori sumber hukum yang dimonopoli

    oleh produk-produk hukum positif atau hukum yang ditetapkan oleh penguasa) dalam

    ajudikasi. Teori realisme pada hakikatnya masih teramasuk dalam bilangan

    positivisme, seperti halnya teori formalisme sebagai teori ajudikasi dari filsafat legal

    positivism.

    Teori realisme merupakan kritikan atas kelemahan pendirian dari teori

    formalisme yang memiliki kecenderungan kuat pada rule application tanpa dibantu

    interpretasi. Menurut pandangan realisme hal tidak mungkin terjadi pada situasi hard

    cases dimana existing rules mengandung pengertian atau makna panubra. Tanpa

    referensi pada pertimbangan-pertimbangan factual, judicial reesoning berdasarkan

    formalisme akan berubah menjadi legalistik,legisme. Dalam kaca mata realisme, isu

  • 14

    utama teori formalisme adalah kegagalan untuk menjembatangi pengunaan kata-kata

    dalam ketentuan hukum sebagai premis mayor tersebut berlaku secara presisi.24

    c. Teori Normativisme.

    Pada teori normativisme, bahwa memutus menurut lex dengan memutus

    menurut ius tidak selalu sama maknanya. Sehingga, legal reasoning serta judical

    reasoning yang lebih dari sekedar merujuk pada peraturan perundang-undangan

    (formalism) adalah esensi yang menjadikan teori normativisme khas, termasuk

    dengan realism (memutus dengan mempertimbngkan social demands).

    Normativisme berbeda dengan formalisme menyangkut isu hubungan antara

    hukum dengan moral: although we do separate law and morals, we do not separate

    them entirely. Normtivisme juga berbeda dengan realisme walaupun sama-sama

    bertolak dari tesis indeterminate legas rules. Normativisme lebih berorientasi pada

    nilai (morality, justice, fairns) namun realism kebalikannya, lebih berorientasi pada

    fakta.Normativisme hadir sebagai kritik terhadap formalisme maupun realisme,

    formalisme dikritik karena penderian bebas nilainnya.Sementara realisme dikritik

    karena kecendurungan metamtis dan prakmatisnya.Pendiri normativisme kontenporer

    adalah Ronald Dworkin.Filsuf hukum yang teorinya secara khusus beroperasi di

    ranah ajudikasi.Pemikiran Dworkin sangat penting kontribusinya bagi pengembangan

    teori norvativisme dalam ajudikasi, kontribusi utamanya adalah menunjukan bahwa

    ajudikasi merupakan interpretasi dan interpretasi tersebut memiliki landasan

    moralitas yang kuat.Dengan demikian maka Dworkin menggugurkan tesis

    positivisme yuridis dan formalism yaitu separation of law and morals dan unsure

    24

    Ibid.,hal. 120.

  • 15

    ajudikasi yang semata-mata adalah penerapan sumber-sumber hukum positif secara

    bebas nilai.25

    Jadi dapat disimpulkan bahwa ketiga teori ini beranjak dari hukum itu norma,

    akan tetapi ketiga teori ini melihat sumber dari norma itu berbeda-beda. Orang yang

    berbicara hukum mempunyai keyakinan tentang filsafat hukum.Oleh peran filsafat

    hukum sebagai dasar berpikirnya hakim dalam pengambilan keputusan. Menurut

    penulis, hakim yang positivis tidak akan mampu memberikan rasa keadilan melalui

    putusannya.

    25

    Ibid.,

  • 16

    F. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian hukum (legal

    research) yaitu untuk mencari dan menemukan prinsip-prinsip dan

    kaidah-kaidah yang mengatur status, yang hendak dikemukakan adalah

    kecocokan antara aturan hukum dengan norma hukum.26

    Dengan demikian penelitian ini hendak mencari, menemukan dan

    menjelaskan kaidah-kaidah atau prinsip-prinsip berkaitan dengan keadilan

    dalam ruang-ruang pengadilan.

    2. Jenis pendekatan

    Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan

    perundang-undangan (statute approach) karena akan menelaah dan

    melihat kembali fungsi dan kewenangan hakim dalam memutuskan

    perkara pidana, serta pendekatan konsep (conceptual approach) teoritis

    karena akan mengkaji konsep keadilan dalam putusan hakim, berdasarkan

    konsep maupun teori yang ada dalam praktek adjudikasi. Dan pendekatan

    kasus (case approach)

    G. Bahan Hukum

    a. Bahan hukum Primer, yakni bahan-bahan hukum yang mengikat

    yang terdapat dalam unit amatan, yaitu:

    1) Pancasila

    26

    Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Kencana Prenanda Media Grup,

    Jakarta, 2013, hal. 41.

  • 17

    2) UUD 1945

    3) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

    Kehakiman

    4) Putusan Mahkamah Agung Nomor 247/PID.B/2009/PN.PWT

    5) Putusan Mahkama Agung Nomor 1346/Pid.B/2010/PN.TNG

    b. Bahan hukum sekunder, yakni yang memberikan penjelasan

    mengenai bahan hukum perimer. Misalnya hasil-hasil penelitian dan

    buku-buku yang berkaitan dengan penelitian ini.

    c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk

    maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

    H. Unit Analisa

    Yang menjadi unit analis dalam penelitian ini adalah

    kedudukan hakim dalam sistem peradilan pidana dan hakim dalam hal

    menyikapi kasus Mina dan Rasmina.