makalah tjp hakim

29
BAB I KARAKTERISTIK DASAR PROFESI HAKIM 1.1 Profesi Hukum Menurut kamus besar bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu. 1 Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa profesi memiliki karakteristik yang membedakannya dengan pekerjaan lain. Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan pengetahuan, penerapan keahlian, tanggung jawab sosial, self control, serta pengakuan oleh masyarakat. 2 Suatu profesi juga biasanya memiliki asosiasi, kode etik, dan proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Sedangkan professional adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, sesuatu yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalaninya. 3 Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu Negara. 4 Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi yang ada. Frans Magnis Suseno membedakan profesi menjadi dua, yaitu profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi hukum 1 Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal 789. 2 Liliana Tedjo saputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal 32 3 CST Kansil, dkk, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), hal.4. 4 Ibid., hal.8 1

Upload: jayaniwn

Post on 14-Nov-2015

65 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

BAB IKARAKTERISTIK DASAR PROFESI HAKIM

1.1 Profesi HukumMenurut kamus besar bahasa Indonesia, profesi diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan dan keahlian (keterampilan, kejuruan, dan sebagainya) tertentu.[footnoteRef:2] Dari pengertian tersebut dapat dilihat bahwa profesi memiliki karakteristik yang membedakannya dengan pekerjaan lain. Menurut Liliana Tedjosaputro, agar suatu pekerjaan dapat dikategorikan sebagai profesi diperlukan pengetahuan, penerapan keahlian, tanggung jawab sosial, self control, serta pengakuan oleh masyarakat.[footnoteRef:3] Suatu profesi juga biasanya memiliki asosiasi, kode etik, dan proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Sedangkan professional adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, sesuatu yang memerlukan kepandaian khusus untuk menjalaninya.[footnoteRef:4] [2: Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi kedua (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hal 789.] [3: Liliana Tedjo saputro, Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana (Yogyakarta: Bigraf Publishing, 1995), hal 32] [4: CST Kansil, dkk, Pokok-Pokok Etika Profesi Hukum (Jakarta: Pradnya Paramita, 1995), hal.4.]

Profesi hukum adalah profesi yang melekat pada dan dilaksanakan oleh aparatur hukum dalam suatu pemerintahan suatu Negara.[footnoteRef:5] Profesi hukum merupakan salah satu dari sekian profesi yang ada. Frans Magnis Suseno membedakan profesi menjadi dua, yaitu profesi pada umumnya dan profesi luhur. Profesi hukum termasuk dalam profesi luhur dimana motivasi utama profesi ini bukan untuk mencari nafkah dari pekerjaan yang dilakukannya, tetapi mendahulukan kepentingan orang yang dibantu dan mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Profesi hukum memiliki ciri tersendiri, karena profesi ini sangat bersentuhan langsung dengan kepentingan manusia. Adanya suatu paradigma baru dalam dunia hukum dewasa ini yang mengarah kepada penegakan hukum, terutama penegakan hak asasi manusia, membuat profesi hukum memiliki daya tarik tersendiri. Namun, masih terdapat beberapa masalah yang merupakan kelemahan dalam mengembangkan profesi tersebut. Menurut Sumaryono, terdapat lima masalah yang dihadapi sebagai kendala yang cukup serius bagi profesi hukum, yaitu kualitas pengetahuan professional hukum, penyalahgunaan profesi, profesi hukum menjadi kegiatan bisnis, kurang kesadaran dan kepedulian sosial, serta kontinuitas sistem yang telah usang.[footnoteRef:6] [5: Ibid., hal.8] [6: Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991), hal 67-73.]

1.2 Karakteristik Dasar Profesi HakimHakim merupakan suatu profesi luhur/mulia (officium noble), yaitu profesi yang pada hakikatnya merupakan pelayanan kepada manusia atau masyarakat. Motivasi utama profesi ini bukan untuk mencari nafkah dari pekerjaan yang dilakukannya, tetapi mendahulukan kepentingan orang yang dibantu dan mengabdi pada tuntutan luhur profesi. Peran hakim dalam menegakkan keadilan salah satunya direalisasikan dengan kewajibannya untuk bertindak adil, tidak memihak, tidak membeda-bedakan para pihak yang berperkara, dan menjunjung asas praduga tak bersalah Menurut pasal 1 butir 8 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili. Mengadili, menurut undang-undang yang sama adalah serangkaian tindakan hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang. Hakim merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan, yang pada dasarnya mengadili. Hakim di Indonesia berada di Mahkamah Agung dan empat badan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang terdiri dari badan peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer dengan kekuasaan mengadili yang bersifat absolut.Diantara para penegak hukum yang lainnya posisi hakim adalah istimewa. Hakim adalah konkretisasi hukum dan keadilan yang abstrak, generalis bahkan ada yang menggambarkan hakim sebagai wakil Tuhan di bumi untuk menegakkan hukum dan keadilan.[footnoteRef:7] Hakim merupakan aktor utama lembaga peradilan dan pengemban hukum praktis yang menjadi tulang punggung dalam kegiatan penalaran hukum. Melalui putusannya, hakim dapat mengubah, mengalihkan, atau bahkan mencabut hak dan kebebasan warga negara, dan semua itu dilakukan dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. Dengan demikian, melalui segala tugas dan kewenangannya, hakim memiliki kedudukan dan peran yang sangat vital dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan. [7: Catur Iriantoro, Peranan Hakim dalam Menerapkan Hukum dan Mentransformasikan Ide Keadilan, .]

Tugas utama seorang hakim adalah mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara berdasarkan asas bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan. Dalam memutus perkara hakim tetap harus memutus menurut hukum, baik dalam arti harfiah maupun hukum yang sudah ditafsirkan atau dikonstruksi. Keadilan atau kepastian yang lahir dari hakim adalah keadilan atau kepastian yang dibangun atas dasar dan menurut hukum, bukan sekedar kehendak hakim yang bersangkutan atau sekedar memenuhi tuntutan masyarakat.[footnoteRef:8] Indonesia sebagai Negara civil law yang mengutamakan hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan sebagai sendi utama sistem hukum, hakimnya lebih banyak berperan dalam kegiatan menerapkan hukum dalam kasus konkrit sesuai dengan peraturan yang sudah ditetapkan oleh legislatif dan eksekutif. [8: Sambutan dari Bagir Manan Pada Peresmian Pengadilan Tinggi Agama Ternate, Tugas Hakim: Antara Melaksanakan Fungsi Hukum dan Tujuan Hukum, , 18 April 2006.]

Seorang hakim pun memiliki wewenang untuk melakukan penemuan hukum atau yurisprudensi. Hukum yang berfungsi untuk mengatur manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, baik individu dan kelompok apabila diterapkan dalam peristiwa konkrit tidak permah tepat. Hal ini karena permasalahan manusia bergerak dinamis atau terus berkembang di masyarakat sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia tidak mungkin bisa mencakup seluruh problema manusia. Oleh karena itu, diperlukan suatu penemuan hukum atau yurisprudensi. Dalam pasal 16 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara yang diajukkan dengan dalih bahwa tidak ada aturannya atau hukum tidak jelas. Selanjutnya, pasal 28 ayat 1 menyatakan bahwa hakim wajib memeriksa dan mengadili dengan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan dalam masyarakat. Dengan demikian, apabila tidak ada hukum yang mengatur atau hukum yang ada tidak jelas, hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya, tetapi wajib melakukan penemuan hukum (yurisprudensi) dengan menggunakan hukum-hukum yang tidak tertulis. Dalam tradisi hukum common law, hakim menempati posisi yang sangat penting dan strategis dalam pembentukan hukum. Karena Pada hakekatnya common law adalah sebuah judge made law, artinya hukum yang dibentuk oleh peradilan hakim-hakim kerajaan dan dipertahankan berkat kekuasaan yang diberikan kepada preseden-preseden (putusan) hakim-hakim.[footnoteRef:9] Sistem Hukum common law terikat oleh Asas stare decisis yakni asas yang menyatakan bahwa keputusan hakim yang terdahulu harus diikuti oleh hakim yang memutuskan kemudian.[footnoteRef:10] [9: Sirajjudin, Profesi Hakim dalam Pusaran Krisis, , Desember 2007.] [10: John Gillisen dan Frits Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar ( Bandung: Refika Aditama, 1995), hal 105.]

Dari pengertian hakim yang dijelaskan sebelumnya, dijelaskan bahwa hakim adalah pelaksana kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maksud dari merdeka adalah adanya independensi seorang hakim dimana tidak ada suatu kekuatan atau kekuasaan Negara ekstra yudisial apapun yang dapat mencampuri urusan keputusan seorang hakim, kecuali dalam hal-hal yang diizinkan dalam UUD 1945. Dengan kata lain, dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh tekanan, paksaan, direktif, dan rekomendasi dari pihak lain. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila.

1.2.1 Persyaratan Calon HakimBerdasarkan Pasal 14 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum, seseorang hanya dapat diangkat menjadi hakim jika telah memenuhi persyaratan sebagai berikut:a. Warga Negara Indonesia.b. Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.c. Setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.d. Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia termasuk organisasi massanya atau bukan seorang yang terlibat langsung ataupun tak langsung dalam Gerakan Kontra Revolusi G30S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.e. Pegawai Negeri.f. Sarjana hukum.g. Berumur serendah-rendahnya 25 (dua puluh lima) tahun.h. Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan baik.

1.2.2 Prosedur Pengangkatan HakimBerdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H.,[footnoteRef:11] Sistem perekrutan hakim adalah melalui lowongan hakim untuk menjalani ujian calon hakim. Mengenai lowongan hakim tersebut tidak diadakan secara periodik, hanya sesuai kebutuhan saja. Syarat utama untuk dapat melamar tentunya adalah seorang sarjana hukum. Tahapan pertama penyaringan adalah mengikuti ujian tertulis yang berisi materi-materi tentang hukum. Apabila mereka lulus ujian tersebut, maka mereka dapat mengikuti tahap selanjutnya, yaitu mengikuti ujian lisan. Setelah lulus ujian lisan, mereka harus mengikuti tahapan ujian psikotes. Setelah dinyatakan lulus ujian tersebut, mereka akan mengikuti program pendidikan dan latihan (diklat). [11: Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., seorang hakim di Seorang hakim di Pengadilan Negeri Depok. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 15 Oktober 2009 pukul 15.00 di Pengadilan Negeri Depok.]

Setelah mendapatkan surat pengangkatan sebagai Pegawai Negeri Sipil, mereka akan mengikuti magang di Pengadilan Negeri yang sudah ditetapkan dengan status sebagai calon hakim. Pada masa magang ini, mereka dikaryakan sebagai staf administrasi pengadilan dengan sistem rolling setiap triwulan di semua bagian administrasi. Selanjutnya, dalam jangka waktu maksimal 3-4 tahun, Ketua Pengadilan Negeri di mana calon hakim tersebut ditempatkan akan mengusulkan para peserta yang dianggap layak untuk diangkat penuh sebagai hakim. Pengangkatannya sendiri akan dilakukan oleh Presiden melalui Menteri Hukum dan HAM.

1.3 Kode Etik ProfesiEtika berasal dari bahasa yunani yaitu ethikos yang artinya moral dan dari kata ethos yang artinya karakter. Menurut kamus besar bahasa Indonesia, etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).[footnoteRef:12] Dengan mengikuti penjelasan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, K. Bartens menyatakan bahwa etika dapat dibedakan dalam tiga arti. Pertama, etika dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya. Kedua etika dalam arti kumpulan asas atau nilai moral, contohnya kode etik suatu profesi. Ketiga, etika sebagai ilmu tentang yang baik dan yang buruk.[footnoteRef:13] Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk bertindak secara otonom, bukan secara heteronom dan membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat dipertanggungjawabkan. [12: Kamus Besar Bahasa Indonesia, op.cit., hal. 271.] [13: K. Bartens, Etika (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994), hal. 4.]

Kode etik adalah norma dan asas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku.[footnoteRef:14] Kelompok profesi memerlukan suatu built-in mechanism yang berfungsi efektif secara otonom guna menegakkan dan melestarikan eksistensi profesi yang bisa diakui dan dipercaya oleh masyarakat.[footnoteRef:15] Untuk itu, setiap profesi membentuk kode etik profesinya sendiri yang berisi nilai-nilai moral, kaedah, atau aturan tentang perilaku yang seyogianya dipegang teguh dan dijunjung tinggi dalam kehidupan profesi yang bersangkutan dan khusus diciptakan untuk tegaknya dan kebaikan jalannya profesi tersebut. Kode etik profesi dibutuhkan oleh suatu kelompok profesi sebagai pedoman dalam menjalankan profesi sekaligus menjaga keluhuran martabat dan kehormatan profesi agar profesi yang bersengkutan tetap terjaga kehormatannya. Kode etik pun berperan sebagai sarana kontrol sosial dan melindungi masyarakat dari segala bentuk penyimpangan atau penyalahgunaan keahlian. [14: E.Y. Kanter, Etika Profesi Hukum: Sebuah Pendekatan Sosio-Religius (Jakarta: Storia Grafika, 2001), hal.4.] [15: Sirajjudin, op.cit.]

Seperti yang dikatakan Bartens bahwa kode etik ibarat kompas yang memberikan atau menunjukan arah bagi suatu profesi dan sekaligus menjamin mutu moral profesi itu di dalkam masyarakat.[footnoteRef:16] Dengan demikian kode etik adalah refleksi dari sebuah self control, karena segala sesuatunya dibuat dan diterapkan dari dan untuk kepentingan kelompok profesi itu sendiri sebagai pedoman agar mereka dapat menjalankan tugasnya secara profesional. [16: K. Bartens, op.cit., hal. 280-281]

Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral dalam menjalankan profesinya. Hal ini tak lain karena profesi ini sangat erat kaitannya dengan penegakan hukum dan keadilan di suatu negara. Redupnya penegakan hukum di suatu negara sangat dipengaruhi oleh adanya penyalahgunaan tujuan profesi hukum yang sangat mullia itu sendiri dan berjalan tidaknya penegakan hukum dalam suatu masyarakat tergantung pada baik buruknya profesional hukum yang menjalani profesinya tersebut. Dengan demikian, adanya kode etik profesi hukum sangat berperan untuk menghindari penyalahgunaan tujuan profesi hukum sehingga anggota suatu profesi hukum dapat menjalankan tugas, kewajiban, dan kewenangannya secara profesional untuk menegakan hukum dan keadilan di masyarakat.

1.3 Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI)Setiap profesi memiliki suatu wadah organisasi. Dalam profesi hakim, terdapat suatu organisasi yaitu Ikatan Hakim Indonesia yang biasa disebut IKAHI. Berdasarkan wawancara dengan Bapak Syahri Adamy, S.H.,M.H[footnoteRef:17] IKAHI berfungsi untuk menjalankan fungsi advokasi atau memberikan perlindungan bagi hakim bila sedang dihadapkan pada suatu masalah. IKAHI berjuang untuk membela hak-hak yang seharusnya didapatkan atau diterima oleh hakim. Dalam hal terdapat seorang hakim yang terlibat suatu permasalahan, seperti pelanggaran kode etik, maka IKAHI akan memperjuangkan hak-hak hakim tersebut dalam proses persidangan seperti hak seorang hakim untuk membela diri dan mengemukakan pendapatnya. [17: Syahri Adamy, S.H.,M.H., seorang hakim di Pengadilan Negeri Depok. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 15 Oktober pukul 10.00 di Pengadilan Negeri Depok.]

Disamping itu, dalam rangka penegakkan kode etik, IKAHI pernah mengeluarkan kode etik hakim dalam Musyawarah Nasional (Munas) XIII di Bandung.[footnoteRef:18] Melalui kode etik ini terbentuk Majelis Kehormatan Profesi Hakim, yaitu suatu komisi yang dibentuk oleh Pengurus Pusat IKAHI dan Pengurus Daerah IKAHI untuk memantau, memeriksa, membina, dan merekomendasikan tingkah laku hakim yang melanggar atau diduga melanggar Kode Etik profesi. Majelis ini bertujuan untuk menegakkan kode etik hakim agar ketentuan di dalamnya dapat terlaksana sekaligus mengawasi pelaksanaannya tersebut. Selain itu, Komisi Kehormatan Hakim juga berwenang memberikan pertimbangan dan sanksi bagi hakim yang melakukan pelanggaran kode etik sebagai tindak lanjut fungsi pengawasan. [18: Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.]

BAB IITANGGUNG JAWAB PROFESI HAKIM

2.1Kode Etik HakimSemua profesi hukum, termasuk profesi hakim terikat dalam suatu aturan baik itu aturan normatif yang bersumber dari hukum positif yang berlaku maupun kaidah-kaidah etika yang tertuang dalam kode etik profesi masing-masing. Sebagai profesi hukum yang sangat berperan dalam rangka penegakan hukum dan keadilan di masyarakat, adanya kode etik profesi sebagai pedoman dalam menjalankan profesi sekaligus menjaga keluhuran martabat profesinya merupakan suatu hal yang sangatlah penting. Menurut Ibu Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H.,[footnoteRef:19] kode etik sangatlah penting untuk mengharumkan nama profesi hakim dan keadilan. Dengan adanya moral yang baik maka akan menghasilkan putusan yang baik sehingga keadilan dapat ditegakkan. [19: Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., Seorang hakim di Pengadilan Negeri Bogor. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 10 November pukul 16.00 di Pengadilan Negeri Bogor.]

Kode etik profesi dibuat secara internal oleh organisasi profesi dan ditegakkan oleh suatu badan kehormatan profesi yang dibentuk dari dan oleh anggota profesi itu masing-masing. Dalam kode etik profesi hakim, lembaga yang berwenang untuk membuat kode etik hakim adalah Mahkamah Agung sebagai lembaga pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang ada dibawahnya.[footnoteRef:20] Dengan dibentuknya Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawasan eksternal peradilan di Indonesia yang berfungsi untuk menegakkan harkat dan martabat profesi hakim, maka Komisi Yudisial pun diberikan kewenangan untuk membentuk kode etik hakim.[footnoteRef:21] Adanya kewenangan Komisi Yudisial untuk membentuk kode etik hakim banyak dipertentangkan oleh banyak pihak.[footnoteRef:22] Hal ini dikarenakan peraturan perundang-undangan yang ada tidak mengatur secara tegas apakah sebagai salah satu lembaga pengawas peradilan yang berfungsi menegakkan harkat dan martabat serta menjaga perilaku hakim berwenang juga untuk membentuk kode etik hakim. Banyak pihak berpendapat bahwa Komisi Yudisial seharusnya tidak berwenang menyusun kode etik karena kode etik mengatur mengenai profesi mereka sendiri agar suatu profesi tetap terjaga martabat dan kehormatannya dan profesi tersebutlah yang lebih mengenal profesi tersebut serta berkepentingan untuk menjaga citra profesi tersebut.[footnoteRef:23] Dengan demikian, sebaiknya kode etik hakim disusun dan dirumuskan oleh profesi hakim itu sendiri. [20: Ibid,.] [21: Ibid.,] [22: Ibid.,] [23: Ibid,.]

Kode etik hakim terus mengalami perkembangan dan penyempurnaan dari waktu ke waktu. Kode etik pertama yang berlaku bagi profesi hakim adalah Kode Kehormatan Hakim sebagaimana ditetapkan dalam Rapat Kerja para Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri di bawah pimpinan Mahkamah Agung yang diadakan pada tahun 1986, dan dikukuhkan oleh Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada tanggal 23 Maret 1988. Kode kehormatan hakim tersebut dirumuskan sebagai Tri Prasetya Hakim Indonesia. Berdasarkan hasil Munas IKAHI ke-XIII pada tanggal 30 Maret 2001 di Bandung, dibentuklah peraturan tentang kode etik hakim. Selanjutnya, pada bulan 30 Mei 2006, Mahkamah Agung mengeluarkan pedoman perilaku hakim. Pedoman perilaku hakim ini mendapatkan banyak kritikan karena memberikan kelonggaran bagi hakim dalam menerima hadiah sehingga Mahkamah Agung melakukan revisi dan mengeluarkan kembali pedoman perilaku hakim pada tanggal 22 Desember 2006. Baru-baru ini, telah dibentuk pedoman perilaku hakim yang baru yang disusun atas kerjasama antara MA dengan KY. Pedoman perilaku hakim ini ditetapkan dan sudah mulai berlaku pada tanggal 8 April 2009.2.1.1Aturan Benturan Kepentingan dalam Kode Etik HakimSeorang hakim wajib menjunjung tinggi nilai objektivitas dan integritas. Dalam pedoman perilaku hakim, asas tersebut diterapkan dengan adanya pengaturan mengenai masalah benturan kepentingan dimana Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang beralasan (reasonable) patut diduga mengandung konflik kepentingan. Yang dimaksud dengan hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang berasal yang patut diduga mengandung konflik kepentingan diatur lebih lanjut dalam pedoman perilaku hakim, yaitu:[footnoteRef:24] [24: Pedoman Perilaku Hakim yang dibuat oleh Mahkamah Agung, disahkan tanggal 22 Desember 2006.]

1. Hubungan Pribadi dan Kekeluargaan.a. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai, Ketua Majelis, Hakim anggota lainnya, Penuntut, Advokat, dan Panitera yang menangani perkara tersebut.b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila Hakim itu memiliki hubungan pertemanan yang akrab dengan pihak yang berperkara, Penuntut, Advokat, yang menangani perkara tersebut.2. Hubungan Pekerjaana. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah mengadili atau menjadi Penuntut, Advokat atau Panitera dalam perkara tersebut pada persidangan di Pengadilan tingkat yang lebih rendah.b. Hakim dilarang mengadili suatu perkara apabila pernah menangani hal-hal yang berhubungan dengan perkara atau dengan para pihak yang akan diadili, saat menjalankan pekerjaan atau profesi lain sebelum menjadi Hakim.c. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.d. Hakim dilarang mengijinkan seseorang yang akan menimbulkan kesan bahwa orang tersebut seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat mempengaruhi Hakim secara tidak wajar dalam melaksanakan tugas-tugas peradilan.e. Hakim dilarang mengadili suatu perkara yang salah satu pihaknya adalah organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik apabila Hakim tersebut masih atau pernah aktif dalam organisasi, kelompok masyarakat atau partai politik tersebut.3. Hubungan Finansial.a. Hakim harus mengetahui urusan keuangan pribadinya maupun beban-beban keuangan lainnya dan harus berupaya secara wajar untuk mengetahui urusan keuangan para anggota keluarganya.b. Hakim tidak boleh menggunakan wibawa jabatan sebagai Hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga dalam hubungan finansial.c. Hakim tidak boleh mengijinkan pihak lain yang akan menimbulkan kesan bahwa seseorang seakan-akan berada dalam posisi khusus yang dapat memperoleh keuntungan finansial.4. Prasangka dan Pengetahuan atas Fakta.Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila Hakim tersebut telah memiliki prasangka yang berkaitan dengan salah satu pihak atau mengetahui fakta atau bukti yang berkaitan dengan suatu perkara yang akan disidangkan.Dengan adanya larangan bagi seorang hakim untuk mengadili suatu perkara apabila terdapat unsur benturan kepentingan, maka Hakim yang memiliki konflik kepentingan wajib mengundurkan diri dari memeriksa dan mengadili perkara yang bersangkutan.[footnoteRef:25] Keputusan untuk mengundurkan diri harus dibuat seawal mungkin untuk mengurangi dampak negatif yang mungkin timbul terhadap lembaga peradilan atau persangkaan bahwa peradilan tidak dijalankan secara jujur dan tidak berpihak. Apabila muncul keragu-raguan bagi Hakim mengenai kewajiban mengundurkan diri memeriksa dan mengadili suatu perkara lebih baik memilih mengundurkan diri. Adanya aturan benturan kepentingan sangat penting untuk menghindari adanya ketidakadilan dalam memutus.[footnoteRef:26] [25: Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.] [26: Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.]

Pelanggaran terhadap aturan benturan kepentingan ini merupakan pelanggaran ringan, kecuali aturan mengenai larangan hakim mengadili suatu perkara apabila memiliki hubungan keluarga sedarah atau semenda yang merupakan suatu pelanggaran berat. Dalam hal ini, peran lembaga pengawasan adalah mengawasi hakim agar dalam menjalankan tugasnya, yaitu mengadili dan memutus suatu perkara, tidak mengandung suatu konflik kepentingan di dalamnya.[footnoteRef:27] Disamping itu, lembaga pengawas pun melakukan suatu penyelidikan apabila terdapat laporan bahwa terdapat hakim yang melakukan pelanggaran aturan benturan kepentingan, serta melakukan penindakan apabila seorang hakim terbukti melanggar aturan ini dengan memberikan sanksi yang sesuai dengan tingkat pelanggarannya.[footnoteRef:28] [27: Ibid.] [28: Ibid.]

1.1.2 Pengaturan Pola Hubungan Hakim Dengan Pihak Ketiga dalam Kode EtikDalam pedoman perilaku hakim, terdapat berbagai pengaturan mengenai pola hubungan hakim dengan pihak ketiga. Dalam berhubungan dengan pihak ketiga, hakim dibatasi oleh kewajiban dan larangan yang diatur dalam kode etik hakim tersebut, diantaranya adalah:[footnoteRef:29] [29: Pedoman Perilaku Hakim, Op.cit.]

1. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat, Penuntut, dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan. 2. Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat hakim tersebut menjabat. 3. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan di dalam lingkungan gedung pengadilan demi kepentingan kelancaran persidanagn yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip perlakuan dan ketidakberpihakan.4. Hakim tidak boleh meminta atau menerima dan harus mencegah suami atau istri Hakim, orang tua, anak, atau anggota keluarga Hakim lainnya, untuk meminta, menerima janji, hadiah, hibah, warisan, pemberian, penghargaan dan pinjaman atau fasilitas dari Advokat; Penuntut; Orang yang sedang diadili; Pihak lain yang kemungkinkan kuat akan diadili; atau Pihak yang memiliki kepentingan langsung atu tidak langsung terhadap suatu perkara yang sedang atau kemungkinan kuat akan diadili oleh Hakim yang bersangkutan yang secara wajar patut dianggap untuk mempengaruhi Hakim dalam menjalankan tugas peradilannya.5. Pemimpin Pengadilan diperbolehkan menjalin hubungan yang wajar dengan lembaga eksekutif dan legislatif serta dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat hukum selama hal tersebut tidak berhubungan dengan suatu perkara yang sedang disidangkan atau yang diduga akan diajukan ke Pengadilan.

2.2 Pelanggaran Kode Etik HakimSelain peraturan perundang-undangan yang berlaku, setiap hakim wajib mematuhi kode etik yang berlaku bagi profesinya. Seseorang dapat dikatakan melanggar suatu kode etik hakim apabila dalam menjalankan tugasnya tidak memperhatikan atau tidak sesuai dengan kode etik profesi hakim tersebut.[footnoteRef:30] Pelanggaran terhadap kode etik dapat dikelompokan menjadi tiga tingkatan, yaitu pelanggaran ringan, pelanggaran sedang, dan pelanggaran berat. Pelanggaran ringan diantaranya adalah apabila hakim tidak menjalankan kewajibannya seperti berikut: [30: Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.]

a. Hakim harus mendorong Pegawai Pengadilan, Advokat dan Penuntut serta pihak lainnya tunduk pada arahan dan pengawasan Hakim untuk menerapkan standar perilaku yang sama dengan hakim.b. Hakim harus menghindari hubungan, baik langsung maupun tidak langsung dengan Advokat, Penuntut dan pihak-pihak dalam suatu perkara yang tengah diperiksa oleh Hakim yang bersangkutan.c. Hakim harus membatasi hubungan akrab, baik langsung maupun tidak langsung dengan advokat yang sering berperkara di wilayah hukum Pengadilan tempat Hakim tersebut menjabat, dan sebagainya.Pelanggaran sedang diantaranya adalah apabila hakim melakukan apa yang dilarang seperti hal-hal berikut ini:a. Hakim tidak boleh berkomunikasi dengan pihak yang berperkara di luar persidangan, kecuali dilakukan dalam lingkungan gedung pengadilan demi kelancaran persidangan yang dilakukan secara terbuka, diketahui pihak-pihak yang berperkara, tidak melanggar prinsip persamaan perlakuan dan ketidakberpihakan.b. Hakim tidak boleh mengadili suatu perkara apabila memiliki konflik kepentingan, baik karena hubungan pribadi dan kekeluargaan atau hubungan-hubungan lain yang patut diduga memiliki konflik kepentingan.c. Hakim dilarang terlibat dalam transaksi keuangan dan transksi usaha yang berpotensi memanfaatkan posisi sebagai hakim, dan sebagainya.Sedangkan pelanggaran berat diantaranya adalah apabila hakim melakukan larangan sebagai berikut:a. Hakim tidak boleh memberi keterangan atau pendapat mengenai substansi suatu perkara di luar proses persidangan peradilan, baik terhadap perkara yang diperiksa atau diputusnya maupun perkara lain.b. Hakim dilarang menggunakan wibawa jabatan sebagai hakim untuk mengejar kepentingan pribadi, anggota keluarga atau siapapun juga.c. Hakim tidak boleh menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau pihak lain, dan sebagainya.

2.3 Sanksi Pelanggaran Kode Etik HakimPelanggaran terhadap kode etik ini dapat diberikan sanksi. Dalam menentukan sanksi yang layak dijatuhkan, harus dipertimbangkan faktor-faktor yang berkaitan dengan pelanggaran, yaitu latar belakang, tingkat keseriusan, dan akibat dari pelanggaran tersebut terhadap lembaga peradilan maupun pihak lain. Terhadap pelanggaran kode etik, sanksi yang dikenakan merujuk kepada Hukuman Disiplin sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 30 tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil (PNS), diantaranya adalah hukuman ringan seperti teguran lisan, teguran tertulis, dan pernyataan tidak puas secara tertulis.[footnoteRef:31] Untuk hukuman sedang diantaranya adalah penundaan kenaikan gaji paling lama 1 tahun, penurunan gaji sebesar satu kali kenaikan gaji berkala untuk paling lama 1 tahun, dan penundaan kenaikan pangkat paling lama satu tahun. Sedangkan hukuman disiplin berat antara lain penurunan pangkat pada pangkat yang setingkat lebih rendah paling lama 1 tahun, pembebasan dari jabatan, pemberhentian dengan hormat tidak atas permohonan sendiri sebagai PNS, dan pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS. [31: Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.]

Dalam hal pelanggaran sedang dan berat, disamping hukuman disiplin tersebut juga dapat dikenakan tindakan antara lain:a. Tidak diperkenankan menangani perkara selama 6 bulan untuk pelanggaran sedang dan minimal 1 tahun dan maksimal 2 tahun untuk pelanggaran berat.b. Mutasi ke pengadilan lain tanpa promosic. Pembatalan atau penangguhan promosid. Didemosi/diturunkan dari jabatan struktural2.4 Pengawasan 2.4.1Pengawasan InternalSesuai pasal 11 ayat (4) UU Kekuasaan Kehakiman, Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan pengadilan dan dalam lingkungan peradilan yang ada dibawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang. Pengawasan di Mahkamah Agung dilakukan oleh Ketua Muda di bidang pengawasan. Bentuk pengawasan yang menjadi kewenangan Mahkamah Agung berdasarkan pasal 32 Undang-Undang Mahkamah Agung meliputi:1. Mengawasi penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan kekuasaan kehakiman.2. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya.3. Meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan.4. Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.Obyek pengawasan Mahkamah Agung meliputi tiga hal, yaitu:[footnoteRef:32] [32: Wildan Suyuti, Etika Profesi, Kode Etik, dan Hakim dalam Pandangan Agama dalam Pedoman Perilaku Hakim (Code of Conduct), Kode Etik Hakim dan Makalah Berkaitan (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), hal 80.]

1. Pengawasan Internal Bidang Teknis Peradilan, yaitu pengawasan terhadap segala sesuatu yang menjadi tugas pokok hakim, yaitu menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, termasuk pula bagaimana pelaksanaan putusan tersebut dilakukan. Tujuan pengawasan dalam konteks ini adalah peningkatan putusan hakim. 2. Pengawasan Internal Bidang Administrasi Peradilan, yaitu pengawasan segala sesuatu yang menjadi tugas pokok kepaniteraan pada lembaga pengadilan. Administrasi peradilan perlu mendapat pengawasan dari Mahkamah Agung untuk menghindari ketidaksempurnaan suatu putusan pengadilan. 3. Pengawasan Internal Bidang Perilaku Pejabat Peradilan. Bidang pengawasan ini menjadikan tingkah laku dan perbuatan hakim dan pejabat kepaniteraan sebagai obyek pengawasannya. Pelaksanaan pengawasan tersebut dilakukan berdasarkan temuan-temuan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh hakim dan pejabat kepaniteraan, baik yang berdasarkan laporan hasil pengawasan internal maupun yang berasal dari laporan masyarakat, media massa, dan pengawasan eksternal lainnya.[footnoteRef:33]. [33: Ibid, hal. 81.]

2.4.2Pengawasan EksternalMelihat fenomena yang terjadi di tengah-tengah masyarakat bahwa masih banyaknya hakim yang bertindak tidak sesuai dengan kode etik dan peraturan perundang-undangan dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, maka pemerintah membentuk sebuah lembaga yang memantau dan melakukan evaluasi terhadap perilaku hakim. Lembaga tersebut yaitu Komisi Yudisial yang dibentuk sesuai dengan Undang-Undang nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial (UUKY). Dengan dibentuknya lembaga tersebut maka pengawasan terhadap perilaku hakim tidak hanya dilakukan oleh pihak internal dari Mahkamah Agung saja, tetapi juga lembaga lain di luar MA. Dalam diktum pertimbangan poin b UUKY dinyatakan bahwa komisi yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka melalui pencalonan hakim agung serta pengawasan terhadap hakim yang transparan dan partisipatif guna menegakan kehormatan dan keluhuran martabat, serta menjaga perilaku hakim.Kewenangan Komisi Yudisial sebagaimana diatur dalam pasal 24 B UUD 1945 dan juga pasal 13 UUKY adalah mengusulkan pengangkatan hakim agung kepada DPR dan menegakkan kehormatan dan keluhuran martabat serta menjaga perilaku hakim. Dalam pasal 20 UUKY diatur lebih lanjut bahwa dalam melaksanakan wewenang yang kedua diatas, Komisi Yudisial mempunyai tugas melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim. Tugas Komisi Yudisial dalam melaksanakan tanggung jawab ini, yaitu dengan menerima laporan masyarakat tentang perilaku hakim, dan melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran hakim, serta membuat laporan pemeriksaan dan rekomendasi yang disampaikan kepada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, dengan tembusan pada Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).Dalam menjalankan tugasnya melakukan pengawasan terhadap perilaku hakim, KY tetap berpegang pada norma dan hukum yang berlaku dan wajib menjaga kerahasiaan keterangan yang karena sifatnya merupakan rahasia KY yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota. Komisi Yudisial pun dalam melakukan pengawasan terhadap hakim yang diduga melanggar kode etik dan/atau peraturan perundang-undangan, wajib menghormati kebebasan hakim dalam menjalankan tugasnya untuk memeriksa dan memutus perkara.[footnoteRef:34] Dengan demikian, fungsi pengawasan yang dilakukan KY hanya terbatas pada perilaku hakim. KY tidak berwenang masuk kedalam wilayah teknis, seperti mengomentari atau melaporkan berkaitan dengan putusan hakim.[footnoteRef:35] Yang berwenang untuk menilai putusan hakim adalah lembaga peradilan yang lebih tinggi melalui banding dan kasasi. [34: Supriadi, Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia ( Jakarta: Sinar Grafika, 2006), Hal 126.] [35: Tirolan Nainggolan, S.H.,M., op.cit.]

2.5 Penegakan Kode EtikKode etik sudah seharusnya selalu ditegakkan mengingat adanya kewenangan hakim untuk memutus atau mengadili suatu perkara secara mandiri dalam rangka menegakan keadilan. Penegakan kode etik hakim tidak hanya harus dilakukan oleh lembaga pengawas peradilan saja, seperti Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung. Penegakkan kode etik pun harus dilakukan oleh pimpinan pengadilan dan anggota profesi hakim yang bersangkutan.[footnoteRef:36] [36: Syahri Adamy, S.H.,M.H., op.cit.]

1. Penegakan oleh Lembaga PengawasSebagai lembaga pengawas, Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial berwenang untuk menegakan kode etik hakim dengan secara aktif mengawasi dilaksanakannya kode etik dengan baik oleh para hakim, menerima laporan adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh seorang hakim, melakukan penyelidikan, dan memberikan penindakan atau sanksi yang tegas apabila seorang hakim terbukti telah melakukan pelanggaran kode etik.[footnoteRef:37] [37: Ibid.]

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Syahri Adamy, S.H.,M.H.,[footnoteRef:38] dalam hal terjadi pelanggaran kode etik oleh hakim, dibentuk suatu badan pengawas untuk mengumpulkan data dan melakukan pemeriksaan untuk membuktikan kebenaran dugaan pelanggaran tersebut, serta selanjutnya membuat laporan hasil pemeriksaan yang disertai kesimpulan, pendapat, dan rekomendasi yang disampaikan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Ketua Pengadilan Tingkat Banding, atau Ketua Mahkamah Agung tergantung hakim di pengadilan mana yang melakukan pelanggaran. Apabila perilaku hakim tersebut masuk kriteria sebagai pelanggaran kode etik yang mendapatkan sanksi pemberhentian, maka Ketua Mahkamah Agung memerintahkan untuk membentuk Majelis Kehormatan Hakim yang terdiri dari MA dan KY untuk memberikan kesempatan kepada hakim melakukan pembelaan diri dan kemudian merekomendasikan sanksi yang sesuai dengan pelanggaran kepada ketua MA. Dalam hal dugaan tersebut terbukti, maka Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, Ketua Pengadilan Tingkat Banding, atau Ketua Mahkamah Agung yang akan menjatuhkan sanksi kepada hakim tersebut. [38: Ibid.]

2. Penegakan oleh Pemimpin PengadilanKewenangan pemimpin pengadilan dalam menegakkan kode etik dapat dilihat dari adanya kewajiban pimpinan hakim berupaya secara sungguh-sungguh untuk memastikan agar hakim di lingkungannya mematuhi pedoman perilaku hakim. Pimpinan Pengadilan wajib melakukan pembinaan terhadap para Hakim, baik pembinaan teknis, profesi, moral, maupun perilaku. Dalam rangka penegakan kode etik, Pimpinan Pengadilan pun harus mampu melakukan pencegahan-pencegahan agar hakim tidak melakukan penyimpangan dan pelanggaran.[footnoteRef:39] [39: Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.]

3. Penegakan melalui Pengawasan Horizontal Sesama HakimSeorang hakim sebagai anggota suatu profesi pun berwenang untuk melakukan penegakan kode etik. Hal ini terkait dengan adanya suatu mekanisme pengawasan horizontal yang dilakukan oleh sesama professional. Setiap hakim berkepentingan serta berkewajiban untuk menjunjung tiunggi dan menjaga citra, martabat, kewibawaan, dan kehormatan lembaga Peradilan dan profesi baik di dalam maupun di luar pengadilan. Untuk itu, pengawasan secara horizontal tersebut sangat penting dalam rangka menegakkan kode etik hakim. Salah satu mekanisme pengawasan horizontal adalah adanya kewajiban seorang hakim untuk melakukan upaya yang layak, seperti melaporkan atau memberi informasi kepada pihak yang berwenang dalam pengawasan hakim atas setiap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh hakim lainnya apabila hakim tersebut mengetahui atau menerima informasi yang dapat dipercaya bahwa seorang hakim lain telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan. Usaha yang layak ini wajib dilakukan untuk menghindari hal tersebut berulang dan menimbulkan perlakukan yang tidak adil bagi para pihak. Dengan demikian, seorang hakim dimungkinkan untuk melaporkan hakim yang lain dalam hal terjadi pelanggaran kode etik.[footnoteRef:40] Membiarkan pelanggaran yang terjadi bertentangan dengan semangat membela korps Hakim dan lembaga peradilan pada umumnya karena pelanggaran yang dilakukan oleh individu-individu hakim pada akhirnya akan melahirkan ketidakpercayaan masyarakat pada seluruh Hakim dan lembaga peradilan serta buruknya citra dan kehormatan profesi hakim dan lembaga peradilan. [40: Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.]

Menurut Ibu Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H,[footnoteRef:41] penegakkan kode etik saat ini sudah maksimal. Hal itu dilihat dari adanya kinerja yang baik dari pimpinan hakim, Mahkamah Agung, dan Komisi Yudisial yang selalu menanggapi dan menyelidiki sekecil apapun pengaduan dari semua pihak. Disamping itu, hal ini juga dapat dilihat dari adanya pembinaan secara rutin setiap enam bulan sekali dari Mahkamah Agung. [41: Tirolan Nainggolan, S.H.,M.H., op.cit.]

2.5 Tanggung Jawab Hukum Seorang Hakim dalam Pelaksanaan TugasSetiap profesi hukum mempunyai peran dan fungsi tersendiri dalam rangka mewujudkan pengayoman hukum berdasarkan pancasila dalam masyarakat, yang harus diterapkan sesuai dengan mekanisme hukum berdasarkan perundang-undangan yang berlaku (memenuhi asas legalitas dalam Negara hukum).[footnoteRef:42] Oleh karena itu, dalam menjalankan tugasnya, selain harus senantiasa mematuhi kode etik yang berlaku bagi profesinya atau yang disebut pedoman perilaku hakim, seorang hakim pun harus tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seorang hakim bertugas untuk menjalankan peraturan perundang-undangan dan bersikap sesuai dengan peraturan hukum.[footnoteRef:43] Seorang hakim harus menguasai hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, memutus berdasarkan aturan-aturan hukum yang berlaku, dan harus menjalankan segala tugasnya sesuai dengan hukum yang berlaku.[footnoteRef:44] Dalam kode etik hakim dinyatakan bahwa hakim wajib mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, khususnya hukum acara agar dapat menerapkan hukum secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan bagi setiap pencari keadilan.[footnoteRef:45] Dengan demikian, seorang hakim memiliki suatu tanggung jawab hukum, yaitu tanggung jawab yang menjadi beban aparat untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan tidak melangar rambu-rambu hukum. Wujud pertanggungjawaban hukum adalah berupa sanksi. [42: Amir Syamsuddin, Modul Kuliah Tanggung Jawab Profesi dan Etika Advokat.] [43: Ibid.] [44: Lucas Sahabat Duha, S.H.,M.H., op.cit.] [45: Pedoman Perilaku Hakim, op.cit.]

Pemenuhan ketentuan hukum sejalan dengan pemenuhan kode etik. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memiliki kaitan dengan hakim dan peradilan mencantumkan dan mengatur pula hal-hal seputar tanggung jawab hukum profesi hakim, seperti Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Undang-Undang ini mencantumkan beberapa tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim, yaitu:a. bahwa hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 28 ayat (1));b. bahwa dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa (Pasal 28 ayat (2)); c. bahwa hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa, Advokat, atau Panitera (Pasal 29 ayat (3)).Apabila dalam melaksanakan tugasnya seorang hakim telah melanggar suatu peraturan perundang-undangan, seperti penyuapan, pemerasan, dan sebagainya, maka selain hakim tersebut mendapatkan sanksi akibat melakukan suatu pelanggaran terhadap kode etik hakim, ia pun memiliki tanggung jawab hukum berupa sanksi pidana atas tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, sanksi pelanggaran kode etik yang telah diberikan tidak menghalangi pemeriksaan tindak pidana yang dilakukannya.20