bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan kota di Indonesia saat ini semakin maju, seperti pembangunan
pusat-pusat perbelanjaan modern yang sering kita sebut ‘Mal’ terus menjamur di
mana-mana, penambahan jumlah kendaraan bermotor seperti mobil dan sepeda motor
terus bertambah banyak seiring dengan itu kebutuhan tempat penitipan kendaraan
atau yang biasa di sebut tempat ‘parkir’ kendaraan juga meningkat.
Bagi mereka yang memiliki kendaraan pasti pernah menggunakan sarana
parkir. Parkir diartikan sebagai suatu keadaan tidak bergerak suatu kendaraan bersifat
sementara (Pasal 1huruf g Peraturan daerah kota Yogyakarta nomor 17 tahun 2002
tentang penyelenggaraan perparkiran). Parkir sudah menjadi kebutuhan bagi pemilik
kendaraan, terutama pada kota-kota besar, oleh sebab itu masalah parkir diatur dalam
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang lalulintas angkutan jalan. Keberadaan
tempat parkir sangat membantu masyarakat khususnya bagi mereka yang memiliki
kendaraan, sehingga lahan parkir selalu disediakan pada tempat-tempat umum seperti
Mal. Hal inilah yang membuat lahan parkir dapat dijadikan suatu bisnis yang sangat
menguntungkan, kerena setiap orang yang yang memiliki kendaraan pasti
membutuhkan tempat parkir dan setiap Mal pasti akan menyediakan tempat parkir
untuk pengunjungnya, ditambah lagi jumlah kendaraan bermotor yang terus
bertambah.
Dari paparan diatas jelas bahwa bisnis parkir adalah bisnis yang sangat
menggiurkan. Namun dalam hal lain konsumen pengguna jasa parkir juga sering
menjadi korban dari bisnis ini. Menurut data dari Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia (YLKI) periode april-mei 2000 sendiri 80% pengaduan adalah mengenai
penetapan oleh pengguna jasa parkir yang semena-mena dan pada tahun 2006 saja
YLKI telah menerima pengadaun resmi hilangnya mobil dan motor sebanyak 5
laporan.1
Di Yogyakarta para pelaku usaha parkir yang berada dalam area Mal sering
mengunakan klausula baku dalam setiap perjanjian. Kontrak baku selalu disiapkan
oleh pengelola parkir (kreditur) secara sepihak. Di dalam kontrak itu lazimnya syarat-
syarat yang membatasi kewajiban kreditur, syarat-syarat itu dinamakan eksonerasi
klausules atau ezemption claus. Syarat ini sangat merugikan konsumen (debitur),
tetapi debitur tidak dapat membantah syarat tersebut, karena kontrak itu hanya
memberi dua alternatif, diterima atau ditolak oleh debitur. Melihat kebutuhan yang
mendesak dari debitur maka debitur akan secara diam-diam debitur menyetujuinya.
Ketidakberdayaan konsumen dalam menghadapi pelaku usaha ini jelas sangat
merugikan kepentingan masyarakat. Pada umumnya pelaku usaha berlindung di balik
standard conrtract atau perjanjian baku yang telah disepakati oleh kedua belah pihak
(antara pelaku usaha dengan konsumen ).
1 David M. L. Tobing, Parkir & Perlindungan hukum komsumen,ctk. Pertama, PT Toko
Gunung Agung Tbk, Jakarta,2007, Hlm. 6
Meningkatnya kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa mengakibatkan
kedududkan pelaku usaha dan konsuman tidak seimbang. Konsumen selalu berada
pada posisi yang lemah karena menjadi objek dalam aktifitas bisnis mereka dalam
mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya. Berdasarkan kondisi tersebut maka
pada tanggal 20 April 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah mengeluarkan dan
mengundangkan Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen yang diharapkan dapat mendidik konsumen untuk menyadari hak dan
kewajibamya.
Sebelum ada Undang-undang perlindungan konsumen, sudah ada beberapa
Undang-undang yang sebelumnya secara subtansi melindungi konsumen. Dengan
berlakunya Undang-undang perlindungan konsumen maka Undang-undang ini
menjadi lexgeneralis dari Undang-undang yang mengatur secara khusus (lex
spesialis). Hal ini dapat dilihat dari ketentuan peralihan dalam Undang-undang
perlindungan konsumen (UUPK) yaitu segala ketentuan peraturan perundang-
undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-
undang itu di undangkan, dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara
khusus dan/atau tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.
Beberapa Undang-undang yang meterinya melindungi kepentingan konsumen
antara lain :
a. Undang-undang Nomor 10 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Penganti Undang-undang Nomor 1 tahun 1961 tentang barang menjadi
Undang-undang;
b. Undang-undang Nomor 2 tahun 1966 tentang tentang Higiene;
c. Undang-undang Nomor 5 tahun 1974 Tentang pokok-pokok
Pemerintahan Daerah;
d. Undang-undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang metrologi legal;
e. Undang-undang Nomor 3 tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan;
f. Undang-undang Nomor 5 tahun 1984 tentang perindustrian;
g. Undang-undang Nomor 15 tahun 1985 tentang ketenagalistrikan;
h. Undang-undang Nomor 1 tahun 1987 tentang kamar dagang dan
industri;
i. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang kesehatan;
j. Undang-undang Nomor 7 tahun 1994 tentang Agreement Establishing
the World Trade organization (Persetujuan Pembuntukan Organisasi
Perdagangan Dunia);
k. Undang-undang Nomor 1 tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (PT);
l. Undang-undang Nomor 9 tahun 1995 tentang usaha kecil;
m. Undang-undang Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan;
n. Undang-undang Nomor 12 tahun 1997 tentang perubahan Undang-
undang hak cipta sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 7 tahun 1987;
o. Undang-undang Nomor 13 tahun 1997 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 6 tahun 1989 tentang paten;
p. Undang-undang Nomor 14 tahun 1997 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 19 tahun 1989 tentang merek;
q. Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang pengelolaan
lingkungan hidup;
r. Undang-undang Nomor 24 tahun 1997 tentang penyiaran;
s. Undang-undang Nomor 25 tahun 1997 tentang ketenaga kerjaan;
t. Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang perbangkan.2
Keberadaan Undang-undang perlindunagan konsumen tersebut pada dasarnya
bermanfaat bagi konsemen sebagai pihak yang sering dirugikan oleh pelaku usaha.
Hal ini sebagai mana tampak dari tujuan undang-undang tersebut, yaitu :
(1).Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri, (2).mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkanya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
(3).Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan
menuntut haknya sebagai konsumen, (4).Menciptakan sistem perlindungan konsumen
yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses
untuk mendapatkan informasi, (5).Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang
menjamin kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen (Pasal 3
undang-undang nomor 8 tahun 1999) . Dalam undang-undang ini secara tegas dan
2 Gunawan widjaja dan Ahmad yani, Hukum tentang Perlindungan Konsumn, PT.Gramedia
pustaka utama Jakarta, 2000, hlm. 20-21
jelas mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen, selain itu juga mengatur
mengenai hak dan kewajiban konsumen, dan juga mengatur mengenai hak dan
kewajiban pelaku usaha serta larangan-larangan bagi pelaku usaha.
Dalam Undang-undang nomer 8 tahun 1999 tentang perlindaungan konsumen,
sebenarnya memperbolehkan adanya perjanjian baku yang memuat klausula baku di
dalam setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang
dan/atau jasa. Namun tidak boleh mencantumkan ketentuan-ketentuan yang
tercantum dalam pasal 18 ayat (1) dan ayat (2) undang-undang perlindungan
konsumen.
Pasal 18 undang-undang perlindungan konsumen mengatur mengenai
ketentuan pencantuman klausula baku, dimana ada ayat (1) berbunyi : Pelaku usaha
dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan untuk perdagangan dilarang
membuat atau mencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian
apabila :
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
barang yang di beli konsumen,
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli
konsumen,
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakuakan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang di beli oleh
konsumen secara angsuran,
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya penggunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang di beli oleh konsumen,
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan yang menjadi jual beli jasa,
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau penggabungan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang dibelinya,
h. Menyatakan bahwa konsumen memmberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang akan dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Pada pasal 18 ayat (2) undang-undang perlindungan konsumen mengatur
mengenai pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat terbaca secara jalas atau pengungkapannya
sulit di mengerti.
Lebih lanjut dalam pasal 18 ayat (3) mengatur mengenai konsekuensi apabila
melanggar ketentuan pada ayat (1) dan (2) maka dapat dinyatakan batal demi hukum.
Pada pasal 18 ayat (4) mengatakan para pelaku usaha wajib untuk menyesuikan
klausula baku yang bertentangan dengan undang-undang ini.
Namun yang menjadi permasalahan, pada jasa parkir yang ada pada saat ini,
pelaku usaha selalu menggunakan klusal baku pada setiap karcis/tanda parkir, klasul
baku menjadi pilihan dari pelaku usaha jasa parkir karena akan memudahkan dalam
menjalankan bisnisnya. Meskipun undang-undang No.8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumnen telah dikeluarkan pada masa peralihan 1 (satu) tahun namun
masih banyak pelaku usaha yang belum mengubah atau bahkan enggan untuk
mengubah ketentuan klausula baku dalam karcis/bukti penerimaan. Hal ini
disebabkan oleh kebutuhan akan sistem administrsi yang standar, cepat dan efisien.
Pada masa sebelumnya telah menjadi budaya para pelaku usaha secara bebas dapat
menentukan isi suatu perjanjian secara sepihak.3 Penerapan klusal baku oleh pelaku
usaha jasa parkir belum menyesuaikan dengan peraturan yang ada menyebabkan
kerugian harus dihadapi oleh konsumen.
Bentuk-bentuk klusal baku sering digunakan oleh para pelaku usaha parkir
Mal adalah sebagai berikut;
1. Tarif parkir yang berlaku adalah sebagaimana tercantum pada rambu
tarif
2. Jika tiket ini hilang, maka petugas berwenang memeriksa STNK dan
indentitas pengendara, dan dikenakan denda sebesar Rp 10.000 untuk
sepeda motor dan Rp 10.000 untuk mobil
3. Segala kerusakan ataupun kehilangan dari (bagian dari) kendaraan
menjadi tanggung jawab dari pengendara.
3 Republika online/http://www.Republa.co.id./berita/05 oktober 2002
4. Mohon tiket dibawa dan jangan di tinggalkan barang berharga di pada
kendaraan.
5. Untuk keluhan dan saran, mohon hubungi customer service Sunparking
di (021) 5630203-5649849.
Bentuk klausula baku diatas secara jelas mengandung klausula eksonerasi
atau klausul pelapasan tanggung jawab yang melanggar ketentuan pasal 18 angka (1)
huruf (a). Bentuk klausula eksonerasi dalam nota tersebut seperti: “Segala kerusakan
ataupun kehilangan dari (bagian dari) kendaraan menjadi tanggung jawab dari
pengendara”. Selain klausul baku; jika tiket ini hilang, maka petugas berwenang
memeriksa STNK dan indentitas pengendara, dan dikenakan denda sebesar Rp
10.000 untuk sepeda motor dan Rp 10.000 untuk mobil. Selain klusal seperti diatas,
pelaku usaha sering melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal 18 ayat (2)
dimana masih terdapat klusal baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak
dapat terbaca secara jelas atau menggunakan pengungkapan yang sulit di mengerti.
Dengan bentuk klusul-klausul baku seperti diatas maka selama ini konsumen
selalu dirugikan apabila terjadi sengketa yang terjadi terhadap kendaraannya. Pelaku
usaha parkir sering berlindung di balik perjanjian baku yang dibuat secara sepihak.
Perjanjian yang di buat oleh pelaku usaha parkir merupakan sebuah bentuk
pelanggaran yang dapat merugikan konsumen.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah disampaikan, maka rumusan
masalah penelitian ini adalah:
1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen dalam perjanjian baku pada
jasa parkir Mal (pusat-pusat pembelanjaan modern) di wilayah Yogyakarta?
2. Bagaimana penyelesaian sengketa dalam perjanjian baku pada jasa parkir
Mal (pusat-pusat pembelanjaan modern) di wilayah Yogyakarta?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dari pelaksanaan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen, apabila pelaku
usaha parkir menggunakan perjanjian baku.
2. Untuk mengetahui bagaimana upaya penyelesaian sengketa konsumen.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam sebuah kegiatan bisnis, setidaknya terjadi hubungan antara dua pihak
yaitu pelaku usaha dan konsumen. Pelaku usaha mengharapkan keuntungan atau laba
dari barang dan/atau jasa yang ditawarkan, sementara konsumen mengharapkan akan
mendapat manfaat dan kepuasan dari barang dan/atau jasa tersebut.
Pada tanggal 20 april 1999 Pemerintah Republik Indonesia telah
mengeluarkan dan mengundangankan Undang-undang nomer 8 tahun 1999 tentang
perlindaungan konsumen. Undang-undang tentang perlindaungan konsumen ini di
harapkan dapat mendidik masyarakat Indonesia untuk lebih menyadari akan segala
hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dimiliki terhadap pelaku usaha.4
Sebelum adanya Undang-undang nomer 8 tahun 1999 tentang perlindaungan
konsumen. Belum pernah ada di dalam peraturan Perundangan-undangan yang secara
eksplisit memberikan pengertian tentang konsumnen adalah “setiap orang pemakai
barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri
sendiri, keluarga, orang lain, maupun mahluk hidup lain dan tidak dan tidak untuk di
perdagangkan”. Sedangkan pelaku usaha didalam pasal 1 angka (3) Undang-undang
perlindaungan konsumen adalah “setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang
berbentuk badang hukum maupun bukan badan hukumyang didirikan dan kedudukan
atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik
sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha
dalam berbagai bidang ekonomi’.
Fenomena konsumen di Indonesia yaitu, konsumen tidak hanya di hadapkan
pada persoalan ketidak-mengertian dirinya ataupun kejelasan akan pemanfaatan,
pengguna maupun pemakai barang dan/atau jasa yang di sediakan oleh pelaku usaha,
karena kurang atau terbatasnya informasi yang di seadiakan, melainkan juga terhadap
bargaining position yang kadang kala sangat tidak seimbang, yang pada umumnya
tercermin dalam perjanjian baku yang siap untuk di tandatangani maupun dalam
4 Gunawan widjaja dan Ahmad yani, op.,cit, hlm.2
bentuk klausala, atau kententuan baku yang sangat informatif, serta tidak dapat
ditawar-tawar oleh konsumen maupun.5
Didalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tidak terdapat definisi
perjanjian baku tetapi merumuskan klausula baku. Klausal baku dalam Undang-
undang Perlindungan Konsumen adalah setiap aturan atau ketentuan-ketentuan dan
syarat-syarat yang telah disiapkan dan di tetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh
pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang
mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Perjanjian baku disebut juga perjanjian standar, dalam bahasa inggris disebut
standard contrac, standart agreement. Kata baku atau standar artinya tolak ukur yang
di pakai sebagai patokan. Dalam hubungn ini, perjanjian baku artinya perjanjian yang
menjadi tolak ukur yang di pakai sebagai patokan atau pedoman bagi konsumen yang
mengadakan hubungan hukum dengan pengusaha. Yang di bakukan dalam perjanjian
baku ialah meliputi model, rumusan dan ukuran.6 Sehingga apabila pelaku usaha
mengagunakan perjanjian baku, maka model, rumusan dan ukuran tidak dapat di
rubah lagi, karena sudah berbentuk nota atau formulir yang dibuat secara sepihak oleh
pelaku usaha.
Suatu ketentuan dalam perjanjian disebut sebagai klausula baku apabila
perjanjian tersebuat dibuat secara sepihak oleh pelaku usaha, konsumen tidak
dilibatkan dalam menentukan isi perjanjian, di buat dalam bentuk tertulis dan bersifat
5 Ibid hlm. 3
6 Abdulkadir Muhamad, perjanjian baku dalam praktekperusahaan perdagangan, Ctk
pertama, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm 6
massal. Konsumen terpaksa menerima karena didorong oleh keperluan/kebutuhan, di
dalamnya juga terdapat klausula eksonerasi yang membatasi tanggung jawab pelaku
usaha.7
Perjanjian berdasarkan pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
adalah suatu perbuatan yang mengikat dirinya antara satu orang atau lebih terhadap
satu orang lain atau lebih. Hukum perjanjian menganut asas hukum kebebasan
berkontrak, sistemnya terbuka dan merupakan hukum pelengkap.8
Suatu perjanjian dapat dikatakan sebagai perjanjian yang sah apabila telah
memenuhi syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 kitab Undang-undang Hukum
perdata.9 Syarat-syarat tersebut antara lain:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. Suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal.
Buku III KUHPerdata menganut azas “kebebasan” dalam hal membuat
perjanjian (beginsel der contractsvrijheid). Azas ini dapat di simpulkan dari pasal
1338 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Perdata ditegaskan bahwa: “semua
persetujuan yang telah dibuat secara sah adalah berlaku sebagai Undang-undang bagi
mereka yang membuatnya”
7 Republika online/http://www.Republika,co.id/berita/05 oktober 2002
8 Republika online/ http/://www.Republika.co.id./berita/05 oktober 2002
9 Az. Nasition, hukum perlindungan Konsumen Sebuah Pengantar, Cet. Pertama, Daya
Widya, Jakarta, 1999, hlm 46
“Semua” mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya
dikenal oleh Undang-undang. Azas kebebasan berkontrak (contractvrijheid)
berhubungan dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan “apa” dan dengan
“siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai Pasal 1320
KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian maka, kebebasan
berkontrak adalah salah satu asas yang penting di dalam hukum Perjanjian.
Kebebasan ini adalah perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.10
Asas kebebasan berkontrak memberi kebebasan bagi para pihak untuk
menentukan dengan siapa melakukan perjanjian ataupun tidak melakukan perjanjian
ataupun tidak melakukan perjanjian ataupun tidak melakukan perjanjian, bebas
menentukan objek perjanjian, isi dan bentuk perjanjian. Apabila asas kebebasan
berkontrak digunakan, maka posisi para pihak akan seimbang karena berawal dari
kesepakatan ke dua belah pihak. Semua orang bebas melakukan perjanjian asalkan
tidak boleh melanggar Undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan, tetapi pada
umumnya juga di perbolehkan menyampingkan peraturan-peraturan yang dalam buku
III itu.
Peraturan-peraturan yang di tetapkan dalam buku III B.W itu hanya di
sediakan dalam hal para pihak berkontrak tidak membuat peraturan sendiri. Dengan
kata lain peraturan-peraturan dalam buku ke III, pada umumnya hanya merupakan
10
Mariam darus badrulzaman dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, Ctk pertama,PT Citra aditya,
Bandung, 2001. hlm. 84
“hukum pelengkap” (aanvullend rech), bukan hukum keras atau hukum memaksa.11
Sehingga aturan umum yang secara tegas mengatur mengenai perjanjian baku atau
klausula baku adalah Undang-undang Perlindungan Konsumen.
Dengan asas kebebasan berkontrak, sistem terbuka dan bahwa hukum
perjanjian itu merupakan hukum pelengkap saja, lengkaplah suatu kebebasan setiap
orang untuk mengadakan perjanjian, termasuk perjanjian yang di paksakan
kepadanya. Kalau yang mengadakan perjanjian adalah mereka yang seimbang
kedudukan ekonomi, tingkat pendidikan dan/atau kemampuan daya saingnya,
mungkin masalah menjadi lain. Tetapi dalam keadaan sebaliknya, yaitu para pihak
tidak seimbang, pihak yang lebih kuat akan dapat memaksakan kehendak atas pihak
yang lemah.12
Dalam Hukum Islam terdapat asas-asas dari suatu perjanjian. Asas ini
berpengaruh pada status akad. Ketika asas ini tidak terpenuhi, maka akan
mengakibatkan batal atau tidaksahnya perikatan/perjanjian yang dibuat. Adapun
Asas-asasnya adalah:13
Al-Hurriyah (kebebasan), Al-Musawah (persamaan), Al-
Adilah (keadilan), Al-Ridha (kerelaan), Ash-Shidq (Kejujuran dan kebenaran) dan
Al-Kitabah (tertulis).
11
Subekti, pokok-pokok hukam Perdata, Cet. 29, PT Interrnasa, jakarta 2001, hlm 128 12
Az. Nasution, loc.cit. 13
Mariam darus badrulzaman dkk, op.cit, hlm 249
Asas kebebasan dan persamaan pada asas-asas dalam perjanjian syariah diatas
menunjukan kebebasan dari para pihak dalam menentukan isi maupun bentuk
perjanjian sehingga dapat mewujudkan keseimbangan. Asas kebebasan dalam hukum
islam dibatasi dengan ketentuan syariah Islam.
Dengan adanya Undang-undang nomer 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen maka konsumen secara hukum memiliki kekuatan untuk melaksanakan
seluruh hak-hak yang dimilikinya. Perlindungn konsumen diselenggarakan sebagai
upaya atau usaha bersama berdasarkan 5(lima) asas yang relevan, yaitu:14
a. Asaa manfaat
Asas manfaat dimaksud untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam
penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-
besarnya bagi kepentingan konsumen.
b. Asas keadilan
Asas keadilan dimaksusd agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan
secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada kosumen dan pelaku usaha
untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibanya.
c. Asas keseimbangan
Asas keseimbangan dimaksud untuk memberikan keseimbangan antara
kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil maupun
spiritual.
14
Penjelasan Pasal 2, undang-undang Nomer 8 tahun 1999
d. Asas keamanan dan keselamataan konsumen
Asas keamanan dan keselamatan kosumen dimaksud untuk memberikan
jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan,
pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang di konsumsi dan digunakan.
e. Asas kepastian hukum
Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun
konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan
perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Sedangkan tujuan dari Undang-undang Nomer 8 tahun 1999 tentang
perlindungan konsumen adalah:
a Meningkatkan kesadaran, kemampuan, dan kemandirian konsumen untuk
melindungi diri,
b Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara
menghindarkanya dari akses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
c Meningkatkan pemberdayaan dalam memilih, menentukan dan menuntut
hak-haknya sebagai konsumen,
d Menciptakan sistem perlindungan yang menghandung unsur kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi,
e Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai kepentinganya
perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggung jawab dalam berusaha,
f Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan
usaha produsi barang dan atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan
dan keselamatan konsumen.
Pemerintah telah membuat Undang-undang yang bertujuan untuk melindungi
konsumen, khususnya dari ketentuan klausula baku pada setiap perjanjian yang di
buat secara sepihak oleh pelaku usaha. Aturan mengenai ketentuan pencantuman
klausula baku pada setiap perjanjian yang di buat secara sepihak oleh pelaku usaha.
Aturan mengenai ketentuan pencantuman klausula baku terdapat pada pasal 18
Undang-undang perlindungan konsumen. Larangan ini dimaksudkan untuk
menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip
kebebasan berkontrak (Penjelasan pasal 18, Undang-undang nomor 8 Tahun 1999) .
Pasal 18 Undang-undang perlindungan konsumen terdapat ketentuan
pencantuman klausula baku yaitu:
1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditunjukan
untuk di perdagangkan dilarang membuat dan mencantumkan klausula
baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyeraha kembali
barang yang di beli konsumen,
c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali
uang yang di bayarkan atas barang yang di beli konsumen,
d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha
baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala
tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang di beli oleh
konsumen secara angsuran,
e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau
pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen,
f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa
atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual
beli jasa,
g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa
aturan baku, tambahan, lanjutan dan/atau penggabungan lanjutan yang
dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen
memanfaatkan jasa yang di belinya,
h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha
untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan
terhadap barang yang di beli oleh konsumen secara angsuran.
2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau
bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat terbaca secara jelas, atau yang
mengungkapkanya sulit dimengerti
3. Setiap klausula baku yang telah di tetapkan oleh pelaku usaha pada
dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentauan sebagai dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum
4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertantangan
dengan undang-undang ini.
Dengan adanya pencantuman klausula baku, maka larangan tersebut dijadikan
parameter untuk menuntukan suatu perjanjian baku atau klausula baku yang akan
dibuat oleh pelaku usaha.
Apabila konsumen mengalami kerugian, maka konsumen dapat meminta
pertanngungjawaban dan sekaligus ganti rugi atas kerugian yang dideritanya.
Undang-undang nomor 8 tahun 1999 dalam pasal 23 mengatakan apabila pelaku
usaha tidak memberikan tangapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan
konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat melalui Badan
Penyelesaian Konsumen (BPSK) atau Badan peradilan di tempat kedudukan
konsumen.
Penyelesaian sengketa melaluai Badan Penyelesaian Konsumen adalah
sederhana dalam arti langsung menunjuk pada pasal-pasal dalam undang-undang
perlindungan konsumen atau undang-undang sektor lain. Disamping itu. Cara
penyelesaian bervariasi antara arbitrase, mediasi, perdamaian dan konsiliasi.15
Parkir merupakan salah satu perjanjian yang terkait dengan perlindungan
konsumen. Seiring dengan pertambahan jumlah kendaraan di perkotaan kebutuhan
15
Inosentius samsul, Perlindngan Konsumnen kemungkinan penerapan tanggung jawab
mutlak, Ctk. Pertam, Progaram pasca sarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, jakarta, 2004,
hlm 203
jasa parkir juga semakin bertambah dan menjadi bagian yang sangat penting pada
setiap bangunan di perkotaan.
Pada penerapanya parkir terbagi menjadi dua, yang pertama adalah parkir
Onstreet (pada bahu jalan) atau retribusi yaitu tempat parkir yang berada di tepi jalan
umum tertentu dan telah di teteapkan oleh walikota sebagai tempat parkir kendaraan
yang di kelola oleh pemerintah daerah (Pasal 1 huruf i Peraturan daerah kota
Yogyakarta nomor 17 tahun 2002 tentang penyelenggaraan perparkiran) dan juga
parkir off street (diluar bahu jalan) atau tempat parkir khusus yaitu Tempat khusus
parkir adalah tempat pemberhentian kendaraan yang secara khusus di mililiki oleh
pemerintah daerah, orang pribadi atau badan yang meliputi gedung parkir, taman
parkir dan pelataran, yang dapat di kelola oleh swasta (Pasal 1 dan 2 huruf j Peraturan
daerah kota Yogyakarta nomor 17 tahun 2002 tentang penyelenggaraan perparkiran).
Dari paparan di atas, parkir mall adalah termasuk pada golongan parkir pada
tempat khusus parkir yang dapat di kelola oleh swasta dan sesuai dengan
yurisprudensi Mahkamah Agung RI No 3416K/Pdt/1985, yang menyatakan bahwa
hubungan hukum antara pemilik barang dengan pengusaha parkir in casu pengelola
parkir mall lembuswana (samarinda) yang menangani parkir adalah perjanjian
penitipan barang dan putusan pengadilan tinggi Yogyakarta pada tanggal 31
desember 1984 No.19/1983/Pdt/P.T.Y., yang dalam pertimbanganya Pengadilan
Tinggi menyatakan bahwa hubungan hukum antara pemilik barang dengan pengusaha
parkir, i.c.P.D. Argajasa adalah perjanjian penitipan yang juga di perkuat dengan
Yurisprudensi Mahkamah Agung dalam perkara No.3416K/Pdt/1985,jo.Perkara
No.19/1983/Pdt/P.T.Y., jo Perkara No.1/1982/Pdt/G/PN.Slm. Maka hubungan hukum
antara pengelola parkir dengan konsumen adalah perjanjian penitipan barang.
Usaha jasa parkir adalah usaha dimana pelaku usaha di berikan tugas untuk
menjaga kendaraan konsumen. Sehingga harus dilihat juga perjanjian untuk
melakukan pekerjaan. Undang-undang membagi perjanjian untuk melakukan
pekerjaan dalam tiga macam, yaitu;16
a. Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu;
b. Perjanjian kerja/perburuhan; dan
c. Perjanjian pemborongan pekerjaan.
Hubungan antara konsumen dan pelaku usaha jasa parkir termasuk perjanjian
untuk melakukan jasa-jasa tertentu. Hukum perdata tidak menjelaskan apa yang
dimaksud dengan perjanjian untuk melakuakan jasa-jasa yang tertentu. Menurut
Prof.R Subekti, S.H. perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu adalah suatu pihak
menghendaki dari pihak lawanya dilakukan suatu pekerjaan untuk mencapai suatu
tujauan, untuk mana ia bersedia membayar upah, sedangkan apa yang dilakukan
untuk mencapai tujauan tersebut terserah kepada pihak lawan itu.17
Perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu diatuar oleh ketentuen-
ketentuan yang khusus untuk itu (misalnya advokat dan klien diatur dalam pasal-
16
R. Subekti, aneka perjanjian, Ctk. Kedelapan, P.T Citra Aditya Bakti, Bandung, 1989, hlm
57 17
R. Subekti, op.cit., hlm 57-58
pasal mengenai perjanjian pemberi kuasa), oleh syarat-syarat yang di perjanjiakan
dan oleh kebiasaan.
E. Metode Penelitian
1. Objek Penelitian
Perlindungan hukum konsumen dalam perjanjian baku pada jasa
penitipan kendaraan atau parkir di wilayah kota Yogyakarta khususnya pada
Mal (pusat-pusat pembelanjaan modern) yang mennggunakan parkir Off
Street (di luar bahu jalan)
2. Subjek Penelitian
a. Pengguna jasa penitipan kendaraan parkir di Yogyakarta pada Mal
atau pusat-pusat pembelanjaan modern
b. Pelaku usaha penitipan kendaraan parkir di Yogyakarta pada Mal
atau pusat-pusat pembelanjaan modern
3. Sumber data
a. Data primer, yaitu data yang di peroleh secara langsung dari
subjek penelitian.
b. Data sekunder yang berupa bahan hukum, yaitu data yang di
peroleh dari penelitian kepustakaan (library research) yang
terdiri dari atas
1. Bahan hukum primer, yaitu berupa peraturan
perundang-undangan.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu berupa literatur yang
berhubungan dengan objek penelitian dan hasil
penelitian terdahulu.
3. Bahan hukum tersier, yaitu berupa kamus.
1. Teknik Pengumpulan Data
a Data primer, dilakukan dengan cara:
1. Wawancara : dengan mengajukan pertanyaan pada subjek
penelitian untuk memperoleh data-data.
2. Observasi : yang berupa observasi langsung (partisipan)
dan tidak langsung (non partisipan)
b Data sekunder, dilakukan dengan cara :
1. Studi kepustakaan, yakni dengan mengkaji berbagai peraturan
perundang-undangan atau literatur yang berhubungan dengan
pelaksanaan penelitian.
2. Studi dokomentasi, yaitu dengan mengkaji berbagai dokumen
resmi internasional yang berupa putusan pengadilan, risalah
sidang dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan
penelitian.
5. Metode Pendekatan
Pendekatan penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis
normatif, yaitu gejala dan fakta yang akan di tinjau dari segi hukum.
6. Analisis Data
Setelah data yang di peroleh, selanjutnya di analisis secara deskriptif
kualitatif, yaitu data-data yang diperoleh di sajikan secara deskriptif dan di
analisa secra kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a. Data penelitian diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan
penelitian,
b. Hasil klasifikasi selanjutnya disistematisasikan,
c. Data yang telah di sistematisasikan kemudian dianalisis untuk
dijadikan dasar dalam mengambil kesimpulan
BAB II
A.Tinjauan Umum mengenai perjanjian
1. Pengertian Perjanjian Secara Umum