bab i pendahuluan 1. latar belakangrepository.untag-sby.ac.id/1699/1/bab i.pdf · istilah etika...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Bertens menjelaskan, Etika berasal dari bahasa Yunani Kuno ethos dalam bentuk
tunggal yang berarti adat kebiasaan, adat istiadat, akhlak yang baik. Bentuk jamak
dari ethos adalah ta etha, artinya adat kebiasaan. Dari bentuk jamak ini terbentuklah
istilah etika yang oleh Filsuf Yunani Aristoteles (384-322 BC) sudah dipakai untuk
menunjukkan filsafat moral. Berdasarkan asal-usul kata ini, maka etika berarti ilmu
tentang apa yang bisa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Tahun 1998, Etika dirumuskan dalam tiga arti, yaitu:
(1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban
moral (akhlak);
(2) Kumpulan adat atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
(3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bertens mengemukakan bahwa urutan arti tersebut kurang kena, sebaiknya arti ketiga
ditempatkan di depan karena lebih mendasar dari pada arti pertama dan rumusannya
juga bisa dipertajam lagi.
Dengan demikian, menurut Bertens tiga etika dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2
Arti ini disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan
atau hidup bermasyarakat. Misalnya Etika orang Jawa, Etika agama Budha.
(2) Etika dipakai dalam arti: kumpulan atau nilai moral.
Yang dimaksud disini adalah kode etik, misalnya Kode Etik Advokat Indonesia,
Kode Etik Notaris Indonesia.
(3) Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti etika disini
sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan Etika Profesi Hukum, Etika dalam arti pertama dan kedua
adalah relevan karena kedua arti tersebut berkenaan dengan perilaku seseorang atau
kelompok profesi hukum. misalnya Advokat tidak bermoral, artinya perbuatan
advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang berlaku dalam
kelompok profesi advokat. Dihubungkan dengan arti yang kedua, Etika Profesi
Hukum berarti Kode Etik Profesi Hukum.1
Untuk menjaga dan mencegah jangan sampai harkat dan martabat serta kehormatan
profesi advokat tidak tercoreng oleh anggota advokat itu sendiri, maka disusunlah
kode etik profesi oleh organisasi advokat.
Kode etik tersebut bersifat mengikat serta wajib dipatuhi oleh mereka yang bukan
advokat/penasehat hukum sebagai pekerjaannya (sebagai mata pencahariannya)
maupun oleh mereka yang bukan advokat/penasehat hukum, akan tetapi menjalankan
fungsi sebagai advokat/penasehat hukum atas dasar kuasa insidentil atau diberikan
izin secara insidentil dari pengadilan setempat.
1. Abdul Kadir., Etika profesi hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, 2006, h.13-14.
3
Dengan demikian, kode etik advokat merupakan kriteria prinsip profesional yang
telah digariskan, sehingga dapat diketahui dengan pasti kewajiban professional
anggota lama, baru, atau calon anggota kelompok profesi. Jadi kode etik advokat
berfungsi untuk mencegah kemungkinan terjadi konflik kepentingan antara sesama
anggota kelompok profesi, atau antara anggota kelompok profesi dan masyarakat.
Anggota kelompok profesi atau anggota masyarakat dapat melakukan kontrol melalui
rumusan kode etik profesi, apakah anggota kelompok profesi telah memenuhi
kewajiban profesionalnya sesuai dengan kode etik profesi.
Dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 18
tahun 2003 tentang Advokat disebutkan bahwa :
(1) Untuk menjaga martabat dan kehormatan profesi advokat, disusun kode etik
profesi advokat oleh Organisasi Advokat.
(2) Advokat wajib tunduk dan mematuhi Kode Etik Profesi Advokat dan ketentuan
tentang Dewan Kehormatan Organisasi Advokat.
(3) Kode Etik Profesi Advokat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
(4) Pengawasan atas pelaksanaan Kode Etik Profesi Advokat dilakukan oleh
Organisasi Advokat.
Bertitik tolak dari ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan ayat
(4) di atas, terdapat gambaran bahwa campur tangan dari luar organisasi advokat
dalam mengawasi advokat menjalankan profesinya telah tidak diperkenankan lagi.
akan tetapi yang perlu diwaspadai jangan sampai ketentuan ini disalahgunakan oleh
kalangan advokat sendiri dalam membela anggotanya yang melakukan pelanggaran
kode etik profesi tersebut.
4
Kode etik advokat merupakan kaidah yang telah ditetapkan untuk dipedomani
oleh advokat dalam berbuat dan sekaligus menjamin mutu moral profesi dimata
masyarakat. Kode etik advokat merupakan produk etika terapan karena dihasilkan
berdasarkan penerapan pemikiran etis atas suatu profesi.
Selanjutnya menurut Rop Aun Rombe menjelaskan bahwa kode etik advokat adalah
pengaturan tentang perilaku anggota-anggota baik dalam interaksi sesama anggota
atau rekan anggota organisasi advokat lainnya maupun dalam kaitannya di mata
pengadilan, baik beracara di dalam maupun di luar pengadilan.2
Istilah hak imunitas tidak ditemukan dalam Undang-Undang Advokat tetapi,
untuk memahami pengertian hak imunitas, kita dapat memulainya dari pengertian
hak. Hak dapat didefinisikan sebagai alokasi kekuasaan kepada seseorang secara
terukur dalam arti keluasan dan kedalamnya. Dari asal-usul kata, istilah imunitas
dapat ditelusuri ke immunis, kata latin yang antara lain berarti pembebasan dari
kewajiban umum, kebebasan/pembebasan pajak/kewajiban militer/pekerjaan rodi, hak
istimewa.
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa hak immunitas adalah
kebebasan advokat untuk melakukan atau tidak melakukan setiap tindakan atau
mengeluarkan atau tidak mengeluarkan pendapat, keterangan atau dokumen kepada
siapapun dalam melaksanakan tugasnya sehingga advokat tersebut tidak dapat
dihukum dalam melaksanakan tugasnya.
Ruang lingkup keberlakuan hak imunitas advokat sering tidak diketahui
sehingga sering terjadi kesalahpahaman antara advokat dan penyidik mengenai hal
2. Ishaq., Pendidikan Keadvokatan, Jakarta, Sinar Grafika, 2012, h.. 50-51.
5
tersebut. Munir Fuady berpendapat bahwa advokat mempunyai hak imunitasnya yang
berlaku dalam dua ruang lingkup: hak imunitas dalam sidang pengadilan dan di luar
sidang pengadilan, yaitu :
a. Hak Imunitas dalam Sidang Pengadilan
Advokat mempunyai hak imunitas dalam melakukan pekerjaannya dalam sidang
pengadilan. Hal itu dengan jelas di atur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor
18 Tahun 2003, yang berbunyi: “Advokat bebas mengeluarkan pendapat atau
pernyataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam
sidang pengadilan dengan tetap berpegang teguh pada ketentuan perundang-
undangan.” Dari penjelasan Pasal 14 dapat diketahui bahwa yang dimaksud
dengan “bebas” adalah tanpa tekanan, ancaman, hambatan, rasa takut, atau
perlakuan yang merendahkan martabat. Namun, kebebasan itu tetap dan harus
dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan kode etik profesi.
Dari pengaturan tersebut dapat dilihat bahwa asas kebebasan diberikan kepada
advokat, yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaannya.
Hak imunitas dalam sidang pengadilan lebih mudah dilaksanakan karena
persidangan bersifat terbuka untuk umum sehingga upaya untuk melemahkan hak
imunitas, terutama dari pihak pengadilan, akan lebih sulit diwujudkan. Akan
tetapi, hak imunitas ini belum tentu dipahami oleh advokat sehingga, dalam
persidangan, dia dapat saja tidak memberikan upaya maksimal dalam membela
kliennya.
b. Hak Imunitas di Luar Sidang Pengadilan
Dengan hanya berpedoman pada pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2003, hak imunitas advokat hanya diberikan dalam melakukan pekerjaan dalam
sidang pengadilan. Hak imunitas advokat di luar pengadilan harus dikaitkan
6
dengan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang selengkapnya
berbunyi: “Advokat bebas dalam menjalankan tugasnya untuk membela perkara
yang menjadi tanggung jawabnya dengan berpegang pada kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan.” Dari penjelasan Pasal 15 tersebut, dapat
dipahami bahwa advokat mempunyai kekebalan dalam dua hal :
1) Kekebalan Advokat dalam Menjalankan Profesinya di Luar Sidang
Pengadilan
Mengenai kekebalan di luar sidang, sebagaimana telah dipaparkan
pada bagian terdahulu, advokat dapat melakukan pekerjaan di bidang litigasi
dan non-litigasi atau sesuai dengan bunyi undang-undang advokat,
melakukan tugas-tugas di dalam dan di luar sidang pengadilan.
Kekebalan ini diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Udvokat yang
selengkapnya berbunyi: “Advokat adalah orang yang berprofesi memberikan
jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi
persayaratan berdasarkan undang-undang ini.”
Tugas advokat dalam bidang yang berkaitan dengan hal-hal yang
berpotensi untuk perkara baik perdata maupun pidana, meliputi
pendampingan klien pada saat melakukan pelaporan atas dugaan tindak
pidana, pendampingan dalam proses penyidikan pada tingkat kepolisian,
antara lain hak untuk menghubungi klien pada saat ditangkap atau ditahan
dan menghubungi tersangka pada setiap tingkat pemeriksaan. Advokat juga
dapat melakukan pendampingan pada tersangka pada penyidikan tambahan
pada kejaksaan.
7
Justru pada tingkat penyidikan di atas, ketika proses pemeriksaan
tidak terbuka untuk masyarakat umum, hak imunitas melekat pada advokat
untuk mencegah unsur subyektif penyidik terhadap advokat dalam
menjalankan tugasnya. Dengan memiliki hak imunitas, advokat akan dapat
melakukan perlindungan maksimal terhadap kliennya. Demikian juga,
masyarakat yang dibela akan merasa aman, dan terlindungi.
Sangat mungkin terjadi bahwa penyidik dapat meminta advokat
keluar dari ruang penyidikan dengan alasan bahwa advokat memberikan
komentar pada waktu penyidikan berlangsung, sesuatu yang dianggap
penyidik mengganggu proses penyidikan.
Bukankah tempat penyidikan tersebut merupakan ‘rumah polisi”?
dengan menggunakan pasal-pasal KUHAP akan dengan mudah ditafsirkan
bahwa advokat menyalahgunakan haknya dalam melakukan tugasnya. Lain
halnya, dalam persidangan di pengadilan yang terbuka untuk masyarakat
umum, meskipun unsur subyektif hakim dapat saja muncul, karena tindakan
hakim disaksikan masyarakat, kontrol, sosial masih dapat berjalan.
Di samping hal di atas, advokat menjalankan tugas untuk hal-hal di
luar pengadilan, seperti melakukan peringatan/somasi kepada perorangan,
perusahaan atau bahkan negara berdasarkan surat kuasa klien. Juga, advokat
mengambil peran sebagai salah satu profesi penunjang pasar modal
(konsultan hukum) untuk memberikan pendapat hukum ( legal opinion )
dalam rangka perluasan saham perusahaan kepada masyarakat ( go public )
sebagaimana di atur dalam Pasal 64 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 58 tentang Pasar Modal.
8
2) Kekebalan dalam Dengar Pendapat di Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat
Mengenai kekebalan dalam dengar pendapat di lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, dalam kaitan dengan kedudukannya sebagai penegak
hukum yang mandiri, advokat dapat memberikan masukan atau
mengajukan keberatan atas pembuatan undang-undang atau membicarakan
sesuatu yang berkaitan dengan masalah lain dalam bidang hukum.
Berkaitan dengan uraian pengaturan kekebalan advokat di atas,
dapat ditarik kesimpulan bahwa ada kesamaan hak pada advokat dalam
melakukan pekerjaan di luar sidang pengadilan dan memberikan pendapat
di Lembaga Dewan Perwakilan Rakyat. Munir Fuady berpendapat bahwa
advokat mempunyai hak kekebalan di luar pengadilan meskipun diakui
bahwa dengan pengaturan Pasal 16 Undang-Undang Advokat seakan-akan
hak imunitas hanya berlaku di pengadilan dan pengaturan yang tidak
sistematis dan tidak konsisten menyebabkan masalah ini membingungkan
kita.
Berdasarkan pemberian kebebasan yang sama kepada advokat pada
tugas-tugas baik di luar sidang pengadilan maupun di Lembaga Dewan
Perwakilan Rakyat, semakin jelas dapat disimpulkan bahwa advokat
mempunyai kekebalan baik di dalam maupun di luar sidang pengadilan.3
3 V.Harlen Sinaga,,Dasar-dasar Profesi Advokat,Jakarta,Erlangga,2011,h.120-125.
9
2. Rumusan Masalah
1. Kenapa seorang profesional advokat bisa dianggap melanggar hukum?
2. Apakah selama bertugas, advokat dijamin imunitasnya?
3. Tujuan Penelitian
1. Penulisan ini bertujuan untuk mengkaji pelanggaran oleh Profesional Advokat
yang menyimpang dalam suatu pedoman Etika Profesi Hukum.
2. Penulisan ini bertujuan untuk mengupas unsur-unsur delik (unsur yuridis) yang
ada pada pasal berbunyi jaminan imunitas kinerja profesi advokat pada Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang ADVOKAT.
4. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:
1. Memberikan kontribusi keilmuwan di bidang Etika Profesi Hukum, khususnya
problematika sosial dalam keberanian untuk mengungkap Profesi Advokat
terhadap publik (masyarakat) dimana membutuhkan bantuan hukum.
2. Dari segi praktek, diharapkan dapat menjadi bahan masukan atau referensi bagi
calon-calon Profesi Advokat terutama mahasiswa dan mahasiswi yang sedang
menimbah ilmu di bangku pendidikan perkuliahan dibidang hukum.
5. Metode Penelitian
1. Penelitian Hukum Normatif
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terbitan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, Etika dirumuskan dalam tiga arti yaitu:
10
(1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan tentang hak dan
kewajiban moral (akhlak);
(2) kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak;
(3) nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Bertens mengemukakan bahwa urutan tiga arti tersebut kurang kena, sebaiknya
arti ketiga ditempatkan di depan karena lebih mendasar daripada arti pertama dan
rumusannya juga bisa dipertajam lagi. Dengan demikian, menurut Bertens tiga arti
Etika dapat dirumuskan sebagai berikut:
(1) Etika dipakai dalam arti: nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi pegangan
bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Arti ini
disebut juga sebagai “sistem nilai” dalam hidup manusia perseorangan atau
hidup bermasyarakat, misalnya: Etika orang Jawa, Etika agama Budha.
(2) Etika dipakai dalam arti: kumpulan asal atau nilai moral.
Yang dimaksud disini adalah Kode Etik, misalnya: Kode Etik Advokat
Indonesia, Kode Etik Notaris Indonesia.
(3) Etika dipakai dalam arti: ilmu tentang yang baik atau yang buruk. Arti Etika
disini sama dengan filsafat moral.
Dihubungkan dengan Etika prosesi hukum, Etika dalam arti pertama dan
kedua adalah relevan karena kedua arti tersebut berkenaan dengan perilaku
seseorang atau kelompok profesi hukum. misalnya: Advokat tidak bermoral,
artinya perbuatan advokat itu melanggar nilai-nilai dan norma-norma moral yang
11
berlaku dalam kelompok profesi advokat. Dihubungkan dengan arti yang kedua,
Etika profesi hukum berarti Kode Etik Profesi Hukum.4
Ruang lingkup keberlakuan hak imunitas advokat sering tidak diketahui
sehingga sering terjadi kesalah pahaman antara advokat dan penyidik mengenai
hal tersebut. Munir Fuady berpendapat bahwa advokat mempunyai hak
imunitasnya yang berlaku dalam dua ruang lingkup: hak imunitas dalam sidang
pengadilan dan di luar pengadilan, yaitu :
a. Hak Imunitas dalam Sidang Pengadilan
Advokat mempunyai hak imunitas dalam melakukan pekerjaannya dalam
sidang pengadilan. Hal itu dengan jelas di atur dalam Pasal 14 Undang-
Undang Nomor 18 Tahun 2003, yang berbunyi: “Advokat bebas
mengeluarkan pendapat atau pernyataan dalam membela perkara yang menjadi
tanggung jawabnya di dalam sidang pengadilan dengan tetap berpegang teguh
pada ketentuan perundang-undangan.” Dari penjelasan Pasal 14 dapat
diketahui bahwa yang dimaksud dengan “bebas” adalah tanpa tekanan,
ancaman, hambatan, rasa takut, atau perlakuan yang merendahkan martabat.
Namun, kebebasan itu tetap dan harus dilakukan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan dan kode etik profesi. Dari pengaturan tersebut dapat
dilihat bahwa asas kebebasan diberikan kepada advokat, yang berkaitan
dengan pelaksanaan pekerjaannya.
Hak imunitas dalam sidang pengadilan lebih mudah dilaksanakan
karena persidangan bersifat terbuka untuk umum sehingga upaya untuk
melemahkan hak imunitas , terutama dari pihak pengadilan, akan lebih sulit
diwujudkan. Akan tetapi, hak imunitas ini belum tentu dipahami oleh advokat
4 Abdul Kadir Muhammad,Op.Cit..h.13-14.
12
sehingga, dalam persidangan, dia dapat saja tidak memberikan upaya
maksimal dalam membela kliennya.
b. Hak Imunitas di Luar Sidang Pengadilan
Dengan hanya berpedoman pada pasal 16 Undang-Undang No. 18 Tahun
2003, hak imunitas advokat hanya diberikan dalam melakukan pekerjaan
dalam sidang pengadilan. Hak imunitas advokat di luar pengadilan harus
dikaitkan dengan Pasal 15 Undang-Undang No. 18 Tahun 2003, yang
selengkapnya berbunyi: “Advokat bebas dalam menjalankan tugasnya untuk
membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya dengan berpegang pada
kode etik profesi dan peraturan perundang-undangan.” Dari penjelasan Pasal
15 tersebut, dapat dipahami bahwa advokat mempunyai kekebalan dalam dua
hal:
1) Kekebalan advokat dalam menjalankan profesinya dalam sidang
pengadilan.
2) Kekebalan dalam dengar pendapat di lembaga Dewan Perwakilan
Rakyat.5
2. Metode Pendekatan
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pengawasan terhadap advokat. Tentang pengawasan ini, dalam Pasal 1 angka
5 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 ditentukan sebagai berikut:
“Pengawasan adalah sebagai tindakan teknis dan administratif terhadap
advokat dalam menjalankan profesinya sesuai dengan kode etik profesi dan
peraturan perundang-undangan yang mengatur profesi advokat.”
5 Ibid.,h.122-123
13
Sementara itu, siapa yang akan mengawasi ditentukan dalam Pasal 13 ayat (1)
Undang-Undang Advokat, yaitu: “Pelaksanaan pengawasan sehari – hari
dilakukan oleh komisi pengawasan yang dibentuk oleh organisasi advokat.”
Kalau Undang-Undang Advokat dibolak-balik, tidak satu pasal pun
menerangkan cakupan pengawasan teknis maupun pengawasan administraf,
selain hanya mengatur bahwa organisasi advokatlah yang akan menentukan
lebih lanjut mengenai tata cara pengaturan, namun, tentu saja jelas bahwa
maksud pengawasan tersebut adalah agar advokat dalam menjalankan
profesinya selalu menjunjung tinggi kode etik dan peraturan serta undang-
undang yang berlaku.
Menurut Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang Advokat, pengawasan
sehari-hari terhadap advokat sekarang dilakukan oleh komisi pengawas, yang
terdiri atas advokat senior, ahli atau akademisi, dan masyarakat. Keberadaan
komisi pengawas merupakan hal baru dalam sejarah advokat Indonesia.
Khususnya disertakannya unsur non-advokat. Hanya saja, kesulitan tersebut
dengan jelas kemudian terjawab melalui pengaturan tentang komisi pengawas
dalam pasal 20 dan 21 Anggaran Dasar Peradi. Berdasarkan kedua pasal
tersebut, komisi pengawas dapat melakukan temuan pelanggaran KEAI (Kode
Etik Advokat Indonesia ), yang akan disampaikan kepada Dewan Pimpinan
Nasional dan Dewan Kehormatan untuk ditindak lanjuti. Pengaturan tersebut
merupakan penegasan kembali fungsi pengawas karena telah ditentukan
bahwa komisi pengawas menjadi salah satu subyek hukum pengadu
sebagaimana diatur dalam pasal 11 KEAI, yang selengkapnya meliputi:
1. Klien;
14
2. Teman sejawat;
3. Pejabat pemerintah;
4. Anggota masyarakat;
5. Dewan Pimpinan Cabang/pusat/cabang/daerah dan organisasi profesi
dimana berada.
Sayangnya, dewasa ini belum terlihat kegiatan nyata fungsi komisi
pengawas sehingga komisi ini seyogyanya melaksanakan peran nya dengan
lebih aktif agar hasil temuan dalam pekerjaannya dapat di gunakan sebagai
salah satu sumber penegakan KEAI.6
2. Pendekatan Konseptual (conceptual approach)
a. Asal – Usul dan Pengertian Advokat
Akar kata advokat, apabila didasarkan pada Kamus Latin-
Indonesia. Dapat ditelusuri dari bahasa, yaitu advocatus, yang berarti
antara lain yang membantu seseorang dalam perkara, saksi yang
meringankan. Sedangkan, menurut Black’s Law Dictionary, kata advokat
juga berasal dari kata Latin, yaitu advocare, suatu kata kerja yang berarti
to defend, to call one’s aid, to vouch to warrant. Sebagai kata benda (
noun ), kata tersebut berarti:
”One who assits, defends, or pleads for another. One who renders
legal advice and aid and pleads the cause of another before a court or a
tribunal. A person learned in the law and duly admitted to practice, who
assists his client with advice, and pleads for him in open court. An
assistant, advicer; plead for causes.”
6 Ibid.,h.96-97.
15
Artinya seseorang yang membantu, mempertahankan, membela
orang lain. Seseorang yang memberikan nasihat dan bantuan hukum dan
berbicara untuk orang lain di hadapan pengadilan. Seseorang yang
mempelajari hukum dan telah diakui untuk berpraktek, yang memberikan
nasihat kepada klien dan berbicara untuk orang lain di hadapan
pengadilan. Seseorang yang mempelajari hukum dan telah diakui untuk
berpraktik, yang memberikan nasihat kepada klien dan berbicara untuk
yang bersangkutan di hadapan. Seorang asisten, penasihat, atau pembicara
untuk kasus – kasus.
Sedangkan menurut English Language Dictionary, advokat
didefinisikan sebagai berikut:
“An advocase is a lawyer who speaks in favour of someone or
defends them in a court of law.”
Artinya, advokat adalah seorang pengacara yang berbicara atas
nama seseorang atau membela mereka di pengadilan. Definisi atau
pengertian advokat tersebut menunjukkan bahwa cakupan pekerjaan
advokat dapat meliputi pekerjaan yang berhubungan dengan pengadilan
dan pekerjaan di luar pengadilan.
Perkataan advokat sudah dikenal sejak abad pertengahan ( abad ke
5-15 ), yang dinamakan advokat gereja ( kerkelijke advocaten, duivel
advocaten ), yaitu advokat yang tugasnya memberikan segala macam
keberatan-keberatan dan/atau nasihat dalam suatu acara pernyataan suci
bagi seorang yang telah meninggal. Pada zaman kerajaan Romawi,
advokat hanya memberikan nasihat-nasihat, sedangkan yang bertindak
16
sebagai pembicara dinamakan patronus-procureur. Terakhir, pengertian
advokat menurut Undang-Undang Nomer 18 Tahun 2003 tentang
Advokat, dalam Pasal 1 angka ( 1 ) dikatakan:
“advokat adalah orang yang berprofesi memberikan jasa hukum
baik didalam maupun diluar pengadilan yang memenuhi persyaratan
berdasarkan ketentuan Undang-Undang ini.”
Berdasarkan uraian diatas, pengertian advokat memperoleh
penekanan pada pekerjaan yang berkaitan dengan pengadilan. Sedangkan
dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003, sudah ditegaskan bahwa
advokat adalah orang yang melakukan pekerjaannya baik di dalam
maupun di luar pengadilan.
Berdasarkan pemaparan di atas, cakupan advokat meliputi mereka
yang melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar pengadilan,
Sebagaimana diatur undang-undang advokat. Berdasarkan hal tersebut
dan apabila kita mengikuti pendapat Purnadi Purbacaraka dan Soerjono
Soekanto, dari sudut ilmu hukum, cakupan advokat tersebut sebagai
politik hukukm ( legal policy ). Politik hukum yang dimaksudkan di sini
adalah mencari kegiatan untuk memilih nilai-nilai dan menerapkan nilai-
nilai.
Nilai – nilai ( value ) di atas merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat. Masyarakat yang dimaksud di sini
adalah pembentuk undang-undang ( pemerintah dan dewan perwakilan
rakyat ) yang mewujudkan aspirasi masyarakat, yang dalam hal ini antara
lain mencakup para praktisi hukum. Hal itu dimaksudkan antara lain agar
17
antara para praktisi hukum yang dulu terkotak-kotak ( advokat/pengacara
dan konsultasi hukum ) kiranya dapat bersatu dan dihimpun dalam wadah
( organisasi ) yang diharapkan dapat meningkatkan kualitas advokat dan
menjadi professional yang disegani pada masa mendatang.
b. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 sebagai Ius Constitutum dan
Penyebutan Advokat sebelum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Berdasarkan klarifikasi hukum, dari sudut saat berlakunya hukum,
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 merupakan ius constitutum,
artinya hukum yang diterapkan berlaku sekarang ini, yang sering juga
disebut sebagai hukum positif. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa
hukum positif ( positive law ) dapat menunjukkan hukum yang berlaku
dan dapat dipaksakan dalam suatu daerah ( territory ) tertentu dan
penduduknya ( inhabitant ), terlepas dari apakah bangsa yang berdaulat
tersebut berbentuk demokrasi ( democracy ) atau kedikatoran (
dictatorship ).
Apabila dicari pemahaman yang lebih mendalam, hukum positif
adalah keseluruhan asas dan kaidah yang mengatur hubungan manusia
dalam masyarakat Indonesia. Penonjolan asas dan kaidah menjadi sangat
penting karena dengan memahami hal tersebut dapat diketahui dengan
pasti makna sejati atau sesungguhnya suatu hal dalam undang-undang
atau hukum.
Hukum positif dapat dilawankan dengan hukum alam ( natural
law ), yang dikatakan sebagai hukum yang secara universal berlaku di
setiap negara. Kerena itu, hukum alam ini dapat menjadi bagian dari
hukum dari setiap negara.
18
Selain ius constitutum, dikenal juga ius conctituendum, artinya
hukum yang akan datang atau hukum yang dicita-citakan. Ius constitutum
dapat diartikan sebagai hukum yang akan diberlakukan pada masa
mendatang. Hukum itu dimaksudkan untuk mengatur perubahan atau
aspirasi masyarakat dalam arti seluas-luasnya. Ius constitutum dapat
dilakukan dengan pembuatan hukum atau undang-undang baru dan dapat
juga dengan perubahan ( amandemen ) atas undang-undang yang ada.
Kembali pada penyebutan advokat sebelum Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003, jauh sebelum diberlakukan Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2003, kita sudah mengenal istilah procureur atau pokrol
bambu dapat terdiri atas:
1 Mantan panitera pengadilan, termasuk pensiunan hakim yang tidak
mempunyai gelar penuh, tetapi mereka mempunyai hubungan erat
dengan pengadilan;
2 Mahasiswa hukum yang tidak lulus, yang dapat mempunyai klien
dan mempunyai pengalaman atas perkara yang ditanganinya;
3 Generalis amatir ( tetapi sering juga disebut ahli ), yang memiliki
kepribadian luar biasa karena dia harus siap menghadapi pejabat
tinggi.
Dapat dikatakan pokrol bamboo adalah juga pihak-pihak dalam
perkara perdata yang berwenang untuk memasukkan kesimpulan,
yaitu orang yang berwenang untuk menentukan perbuatan perkara
secara resmi seperti megajukan perkara di pengadilan, memohon
penundaan perkara, dan sebagainya.7
7 Ibid.,h.2-5.
19
3. Sumber dan Jenis Bahan Hukum
1. Bahan Hukum Primer
Yaitu bahan hukum yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan
yang sesuai dengan isu hukum (legal issue) yang diangkat oleh peneliti,
yang terdiri dari:
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2003 tentang
ADVOKAT.
2. Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI).
2. Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan hukum yang diperoleh dari khususnya buku-buku tetang
hukum yang terkait dengan isu hukum ( legal issue ) yang diangkat, serta
jurnal ilmiah bidang hukum.
3. Bahan Hukum Tersier
Yaitu bahan hukum yang diperoleh dari kamus, kamus hukum, dan
ensiklopedia yang berfungsi untuk mendukung bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder.
4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Penelitian ini dilakukan dengan membaca dan mempelajari: Undang-
Undang Republik Indonesia Nomer 18 Tahun 2003 Tentang ADVOKAT
dan Kode Etik Advokat Indonesia ( KEAI ).
5. Teknik Analisis Bahan Hukum
Dari penelitian hukum tentang Profesi Advokat Indonesia yang sudah
dikumpulkan bahan hukumnya merupakan dalam penelitian hukum
normative, teknik analisis yang bersifat preskriptif analisis secara
20
normatif. kemudian diolah dan dianalisis secara kualitatif sehingga
menjadi uraian interprestasi hukum.
6. Pertanggung Jawaban Penelitian
Apabila dalam melakukan penelitian yang termuat dalam Skripsi ini
maka, peneliti berkewajiban akan bertanggung jawab dan berkewajiban
merevisi suatu kutipan dari sumber yang salah atau kurang tepat bagi yang
mengamati dan mempelajari tentang hukum. Guna memberikan deskripsi
normatif tentang Etika Profesi Advokat di kalangan masyarakat luas
(public).