bab i pendahuluan 1.1. latar belakangrepository.untag-sby.ac.id/1105/2/bab i.pdf · 2018. 12....
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pelayanan kesehatan yang baik merupakan kebutuhan bagi setiap orang.
Semua orang ingin dilayani dan mendapatkan kedudukan yang sama dalam
pelayanan kesehatan. Dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28 dan
Pasal 34 menyatakan negara menjamin setiap warga negara mendapatkan hidup
sejahtera, tempat tinggal, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang ada di
Indonesia, namun sering terjadi dikotomi dalam upaya pelayanan kesehatan,
pelayanan kesehatan yang baik hanya diberikan bagi kalangan masyarakat yang
mampu sedangkan masyarakat yang kurang mampu tidak mendapatkan perlakuan
yang adil dan proporsional (Info Askes, 2010).
Pelayanan kesehatan yang diminta oleh pemerintah dalam upaya
mendukung pemerintah mewujudukan Visi Indonesia 2025 yaitu menjadi negara
maju pada tahun 2025. Namun Pemerintah juga sepenuhnya menyadari bahwa
kualitas sumber daya manusia (SDM) masih menjadi suatu tantangan dalam
mewujudkan visi dimaksud. Para pakar dibidang SDM menyatakan bahwa
kualitas SDM secara dominan ditentukan oleh kemudahan akses pada pendidikan
dan fasilitas kesehatan yang berkualitas. Pertimbangan tingkat urgensi dari
kesehatan, maka Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah telah melakukan
beberapa upaya untuk meningkatkan kemudahan akses pada fasilitas kesehatan.
Di antaranya adalah dengan menerbitkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004
2
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Adanya undang-undang dimaksud, Pemerintah diwajibkan untuk
memberikan lima jaminan dasar bagi seluruh masyarakat Indonesia yaitu jaminan
kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, pensiun, dan tunjangan hari tua. Jaminan
dimaksud akan dibiayai oleh perseorangan, pemberi kerja, dan/atau Pemerintah.
Dengan demikian, Pemerintah akan mulai menerapkan kebijakan Universal
Health Coverage dalam hal pemberian pelayanan kesehatan kepada masyarakat,
dimana sebelumnya Pemerintah (Pusat) hanya memberikan pelayanan kesehatan
bagi Pegawai Negeri Sipil dan ABRI-Polisi. Kebijakan ini umumnya diterapkan
di negara-negara yang menganut paham welfare state yaitu negara di Eropa Barat
dan negara jajahan mereka serta beberapa negara Amerika Latin.
Perubahan kebijakan dalam layanan kesehatan dimaksud tidak terlepas
dari himbauan World Health Assembly (WHA), pada sidang ke-58 pada tahun
2005 di Jenewa, agar setiap negara anggota memberikan akses terhadap pelayanan
kesehatan kepada seluruh masyarakat khususnya bagi yang kurang mampu. Ada
pun mekanisme yang digunakan adalah mekanisme asuransi kesehatan sosial. Hal
ini pun sudah sejalan dengan 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan yang menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang
sama dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan
terjangkau. Adanya keputusan 2 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan, pemerintah akan membentuk dua Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) yaitu BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. BPJS Kesehatan
akan menyelenggarakan program jaminan kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan
3
akan menyelenggarakan program jaminan atas kecelakaan kerja, kematian,
pensiun dan hari tua. Selanjutnya semua program jaminan kesehatan yang
diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan, Kementerian Pertahanan, Tentara
Nasional Indonesia, Kepolisian Republik Indonesia, PT Jamsostek (Persero), dan
PT Askes (Persero) akan diambil alih oleh BPJS Kesehatan. Jaminan Kesehatan
yang di mulai pada tahun 2014 yang secara bertahap menuju ke Universal Health
Coverage. Hal itu menuntut tenaga kesehatan untuk memberikan pelayanan
keperawatan kepada pasien peserta BPJS baik di Rumah Sakit Negeri ataupun
Rumah Sakit Swasta yang telah ditunjuk. Tujuan Jaminan Kesehatan secara
umum yaitu mempermudah masyarakat untk mengakses pelayanan kesehatan
yang bermutu.
Pelayanan kesehatan merupakan salah satu hak mendasar masyarakat yang
penyediaannya wajib diselenggarakan oleh pemerintah sebagaimana telah
diamanatkan dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) “Setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Salah satu bentuk fasilitas pelayanan kesehatan untuk masyarakat yang di
selenggarakan oleh pemerintah adalah puskesmas dan Rumah Sakit. Fasilitas
pelayanan kesehatan ini merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat
dalam membina peran serta masyarakat juga memberikan pelayanan secara
menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat.
Puskesmas dan Rumah Sakit mempunyai wewenang dan tanggung jawab
4
atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Pelayanan
kesehatan yang diberikan puskesmas adalah pelayanan kesehatan menyeluruh
yang meliputi pelayanan: kuratif (pengobatan), preventif (upaya pencegahan),
promotif (peningkatan kesehatan), dan rehabilitatif (pemulihan kesehatan).
Pelayanan tersebut ditujukan kepada semua penduduk, tidak membedakan jenis
kelamin dan golongan umur, sejak pembuahan dalam kandungan sampai tutup
usia. Dalam konteks pelayanan, pemerintah memang sudah harus menerapkan
sistem jemput bola, dan bukan hanya menunggu bola. Dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan bagi masyarakat dibutuhkan pembiayaaan kesehatan yang
cukup, guna memenuhi hak mendasar masyarakat tersebut.
Pemerintah bertanggung jawab atas pelaksanaan jaminan kesehatan
masyarakat melalui program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Usaha ke
arah itu sebenarnya telah lama dirintis pemerintah dengan menyelenggarakan
beberapa bentuk jaminan sosial di bidang kesehatan, diantaranya adalah melalui
PT. Askes (Persero) dan PT. Jamsostek (Persero) yang melayani antara lain
pegawai negeri sipil, TNI, penerima pensiun, veteran, dan pegawai swasta. Untuk
masyarakat miskin dan tidak mampu, pemerintah memberikan jaminan melalui
skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan
Daerah (Jamkesda). Namun demikian, skema-skema tersebut masih
terfragmentasi, terbagi-bagi sehingga biaya kesehatan dan mutu pelayanan
menjadi sulit dikendalikan. Untuk mengatasi hal tersebut, pada tahun 2004
dikeluarkan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 ini
mengamanatkan bahwa program jaminan sosial wajib bagi seluruh penduduk
5
termasuk program Jaminan Kesehatan melalui suatu badan penyelenggara
jaminan sosial.
Badan penyelenggara jaminan sosial telah diatur dengan Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
yang terdiri dari BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Untuk program
Jaminan Kesehatan yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, implementasinya
telah dimulai sejak awal tahun 2014. Program tersebut selanjutnya disebut
sebagai program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Respon masyarakat
terhadap JKN sangat positif. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kunjungan layanan
kesehatan yang meningkat tajam. Sejak diberlakukannya Jaminan Kesehatan
Nasional/JKN per tanggal 1 Januari 2014, pesertanya bertambah terus. Menurut
Direktur Kepesertaan dan Pemasaran BPJS Kesehatan, Sri Endang Tidarwati
Wahyuningsih, sampai dengan tanggal 10 Desember 2014 total peserta BPJS
telah mencapai 131,9 juta peserta. Jumlah peserta yang cukup besar ini berdampak
kepada aspek pendanaan yang harus disediakan oleh pemerintah. Pelaksanaan
lebih lanjut program JKN dituangkan dalam pengalokasian dana jaminan
kesehatan/JKN, sebesar Rp.33 Triliun atau 3,7% pada APBN 2014.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengimplementasikan kebutuhan
masyarakat akan pelayanan kesehatan yang telah diamanatkan dalam Undang
Undang Dasar 1945 adalah Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang Undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional merupakan undang-undang yang mengatur jaminan atau perlindungan
sosial untuk seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak diselenggarakan oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.
6
Dalam undang-undang ini, jenis program jaminan sosial meliputi jaminan
kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun dan
jaminan kematian. Jaminan kesehatan diberikan pada seluruh warga negara yang
telah membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah (Info Askes,
2010).
BPJS Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk
menyelenggarakan program kesehatan yang didirikan pada tanggal 1 Januari 2014
oleh suatu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang sesuai dengan
tujuan Organisasi Kesehatan Dunia dalam mengembangkan jaminan kesehatan
untuk semua penduduk. Tujuan dari BPJS adalah memberikan jaminan
terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta dan atau
anggota keluarganya (BPJS Kesehatan, 2014).
Sistem kesehatan di Indonesia menunjukkan bahwa derajat kesehatan di
Indonesia saat ini masih tertinggal dari negara-negara lain. Berdasarkan laporan
Human Development Report dari United Nations Development Programme
(UNDP), yang dirilis pada Oktober 2009, peringkat Human Development Index
(Indeks Pembangunan Manusia/IPM) Indonesia pada tahun 2009 menurun dari
posisi ke-107 pada 2006 menjadi peringkat ke-111. Penilaian indeks ini dilakukan
terhadap 182 negara. Bahkan, untuk kawasan ASEAN pun, Indonesia hanya
unggul dari Vietnam, Laos, Myanmar, Kamboja, dan Timor Leste. Indonesia
tertinggal dibandingkan dengan Singapura yang menduduki peringkat ke-23,
Brunei (30), Malaysia (66), Thailand (86), dan Filipina (105). Angka IPM
Indonesia adalah sebesar 0,734 pada tahun 2009 (publikasi UNDP terbaru ini
didasarkan pada data tahun 2007). Semua ini menjadikan Indonesia masuk dalam
7
kategori sedang. Karena itu, diperlukan upaya yang lebih memadai bagi
peningkatan derajat kesehatan Indonesia.
Pembangunan kesehatan yang telah dilaksanakan selama ini telah
mengalami kemajuan yang cukup berarti bagi peningkatan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia. Walaupun demikian, jika dibandingkan dengan status
kesehatan penduduk negara-negara tetangga misalnya maka status kesehatan
penduduk Indonesia masih jauh tertinggal yang ditunjukkan dengan masih
tingginya Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian Ibu (AKI)
dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Laporan World Health
Organization (WHO) tahun 2000 menunjukkan bahwa angka kematian bayi di
Indonesia pada tahun 1998 masih 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian
bayi tersebut jauh lebih tinggi dari angka kematian bayi di Muangtai (29), Filipina
(36), Srilanka (18) dan Malaysia (11). Berbagai studi, termasuk yang dilaporkan
dalam World Health Report 2000, menunjukkan bahwa rendahnya angka
kematian bayi dan kinerja sistem kesehatan lainnya mempunyai korelasi
yang kuat dengan pembiayaan kesehatan. Laporan WHO tersebut menempatkan
kinerja sistem kesehatan Indonesia pada urutan ke-92, yang jauh lebih rendah
dari kinerja sistem kesehatan negara tetangga seperti Malaysia (urutan ke 49),
Muangtai (urutan ke 47) dan Filipina (urutan ke 60). Secara rata-rata, laporan
tersebut menunjukkan bahwa pembiayaan kesehatan Indonesia menurut nilai
tukar yang berlaku pada tahun 1997 adalah US$ 18 per kapita per tahun.
Sementara negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia dan
Muangthai sudah menghabiskan berturut-turut sebesar US$ 40, US$ 110, dan
US$ 133. Pengeluaran kesehatan perkapita Indonesia tidak sampai separuh dari
8
yang dikeluarkan masyarakat Filipina tahun 1997, sedangkan pendapatan per
kapita Filipina tahun 2001 sebesar US$ 1.069 tidak lebih dari dua kali lipat dari
PDB per kapita Indonesia yaitu US$ 670 (WHO, 2000). Hal ini menunjukkan
bahwa tingkat investasi Indonesia memang jauh lebih rendah dari tingkat
investasi negara tetangga tersebut, sehingga dapat dimaklumi jika tingkat
kesehatan Indonesia juga jauh di bawah. Pengeluaran kesehatan Indonesia yang
rendah tersebut, baik yang bersumber dari masyarakat maupun yang bersumber
dari pemerintah, diduga tidak mengalami kenaikan berarti selama ini. Banyak
laporan menyampaikan bahwa pemerintah mempunyai kontribusi sebesar 20-30%
dari pembiayaan kesehatan secara keseluruhan. Sementara pembiayaan kesehatan
oleh sektor swasta, yang pada umumnya merupakan pengeluaran yang
dibayarkan langsung dari kantong sebdiri (out of pocket) kepada pemberi
pelayanan kesehatan (PPK) mencapai 60%-70% (Depkes, 2002).
Tingginya pengeluaran out of pocket ini bersifat regresif, yakni semakin
berat dirasakan oleh mereka yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan
mereka yang berpendapatan tinggi. Sistem pembiayaan yang regresif ini dikenal
sebagai sistem pembiayaan yang tidak adil (unfair) dalam konsep equity
egalitarian karena justru memberatkan penduduk golongan bawah. Penelitian
yang dilakukan Thabrany dan Pujiyanto (2000) menunjukkan bahwa penduduk
10% terkaya mempunyai akses rawat inap di rumah sakit yang 12 kali lebih besar
dari penduduk 10% termiskin. Keadaan ini sudah berlangsung lebih dari satu
dekade dan tanpa upaya yang sistematik dan serius, kesenjangan tersebut akan
terus berlangsung. Untuk melihat tingkat keadilan pembiayaan ini, WHO
mengembangkan indeks keadilan pembiayaan kesehatan (fairness in health care
9
financing). Dalam indeks inilah Indonesia berada jauh di bawah negara-negara
tetangga yang memang telah memiliki infrastruktur pembiayaan kesehatan yang
jauh lebih baik. Berbagai Penelitian menunjukkan bahwa kesenjangan pelayanan
(inequity) dapat diperkecil dengan memperbesar porsi pembiayaan publik atau
asuransi kesehatan publik. Sayangnya, cakupan asuransi kesehatan yang
sustainable di Indonesia masih rendah yaitu berkisar pada 16% penduduk
(Thabrany, 2002)
Rendahnya pendanaan kesehatan dan cakupan asuransi kesehatan sosial di
Indonesia sangat dipengaruhi oleh ketidaktahuan dan ketidakpedulian
pemerintah dalam melindungi penduduknya dari proses pemiskinan karena
mahalnya biaya kesehatan (Thabrany, 2008). Untuk penduduk miskin telah
terjamin oleh program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang
dananya berasal dari Anggaran Pemerintah Belanja Negara (APBN) dan Jaminan
Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesmasda) yang dananya berasal dari
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kabupaten Pamekasan. Akibat
diberlakukan kebijakan pelayanan kesehatan gratis ternyata menimbulkan
implikasi-implikasi dalam pelaksanaannya antara lain dengan digratiskannya
pelayanan kesehatan di puskesmas menimbulkan dorongan masyarakat untuk
memanfaatkan pelayanan kesehatan secara berlebih di puskesmas sehingga
menimbulkan ketidakpuasan pasien dalam menggunakan layanan BPJS. Hal ini
juga sebagia akibat adanya pelayanan publik yang harus diperhatikan oleh
pemerintah.
Pelayanan publik merupakan proses pemenuhan kebutuhan melalui
aktivitas orang lain secara langsung, dimana pelayanan tersebut memiliki sasaran
10
akhir yaitu keputusan bagi pihak yang dilayani, sehingga pada akhirnya kepuasan
masyrakat dapat tercapai. Kepuasan masyarakat dapat tercapai apabila kebutuhan,
keinginan, dan harapan masyarakat dapat terpenuhi.
Reformasi birokrasi dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan dan
pelayanan publik diarahkan untuk menciptakan kinerja birokrasi yang
professional dan akuntabel. Birokrasi dalam melakukan berbagai kegiatan
perbaikan pelayanan diharapkan lebih berorientasi pada kepuasan pelanggan,
yakni masyarakat dan pengguna jasa tersebut dapat dicapai apabila birokrasi
pelayanan menempatkan masyarakat sebagai pengguna jasa dalam pemberian
pelayanan. Perubahan Paradigma pelayananan kepada publik, melalui instrument
pelayanan yang memiliki orientasi pelayanan lebih cepat, lebih baik dan lebih
murah (Dwiyanto,2006:224).
Reformasi pelayanan publik di Indonesia sendiri masih tertinggal
dibanding reformasi di berbagai bidang lainnya. Regulasi pelayanan publik yang
masih tersebar dalam banyak peraturan yang sifatnya sektoral, menjadikan
pelayanan publik di Indonesia berada pada kondisi yang belum managable.
Definisi dari reformasi itu sendiri adalah perubahan administrasi yang
menggambarkan perbaikan dalam praktek administrasi, organisasi, prosedur, dan
proses. Artinya setiap perubahan prosedur dapat dikategorikan sebagai reformasi
administrasi. Konsep dari reformasi itu sendiri peningkatan sistemik kinerja
operasional sektor publik secara terencana (Caiden, 1991:44). Sementara tujuan
dari reformasi adalah perbaikan administrasi, seperti perbaikan produk dan
layanan, struktur, proses, dan teknologi dan perbaikan tingkat politik, seperti
perbaikan peraturan, dukungan, legitimasi (Caiden, 1991:45). Kondisi iklim
11
investasi, kesehatan, dan pendidikan saat ini sangat tidak memuaskan, sebagai
akibat tidak jelasnya dan rendahnya kualitas pelayanan yang ditawarkan oleh
institusi-institusi pemerintahan. Ketidakpastian hukum khususnya, sidang
pengadilan yang berlarut-larut dan penuh praktek korupsi, membuat para investor
berpaling. Pegawai negeri hanya memiliki sedikit insentif untuk memperbaiki
pelayanan. Hal ini, digabung dengan administrasi yang berbelit-belit dan
ketinggalan zaman, berakibat pada ketidakpuasan masyarakat. Karena
administrasi yang berbelit dan prosedur yang rumit serta pelayanan yang kurang
baik dapat menyebabkan ketidakpuasan masyarakat terhadap penanggapan
pelayanan tersebut, maka hendaknya kualitas pelayanan dapat diperbaruhi
sehingga masyarakat atau pelanggan merasa puas dengan pelayanan tersebut.
Menurut Kotler (dalam Lupiyoadi, 2013) kepuasan adalah hasil
perbandingan atas kinerja produk jasa yang diterima dengan yang diharapkan oleh
individu. Apabila kinerja produk atau jasa tidak sesuai dengan yang diterima atau
yang diharapkan maka akan menimbulkan perasaan kecewa pada individu.
Sebaliknya, apabila kinerja produk atau jasa sesuai dengan yang diterima atau
yang diharapkan maka akan menimbulkan perasaan puas atau senang dan individu
tersebut akan menggunakan jasa atau produk kembali di masa yang akan datang.
Kepuasan adalah evaluasi terhadap produk/ jasa yang didasarkan pada
apakah barang/ jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan (Zeithaml and
Bitner, 1996). Adamson, et al., (2003) mengemukakan bahwa “Dalam melakukan
pemasaran, bank memiliki beberapa sasaran yang hendak dicapai. Artinya, nilai
penting pemasaran bank terletak dari tujuan yang ingin dicapai tersebut dalam hal
meningkatkan mutu pelayanan dan menyediakan ragam produk yang sesuai
12
dengan keinginan dan kebutuhan. Untuk mencapai sasaran tersebut maka bank
perlu : (1) menciptakan produk yang sesuai dengan keinginan dan kebutuhan nya;
(2) memberikan nilai lebih terhadap produk yang ditawarkan dibandingkan
dengan produk pesaing; (3) menciptakan produk yang memberikan keuntungan
dan keamanan terhadap produknya; (4) memberikan informasi yang benar-benar
dibutuhkan dalam hal keuangannya pada saat dibutuhkan; (5) memberikan
pelayanan yang maksimal mulai dari calon hingga menjadi bank yang
bersangkutan; (6) berusaha menarik minat konsumen untuk menjadi bank; (7)
berusaha untuk mempertahankan yang lama dan berusaha mencari baru baik dari
segi jumlah maupun kualitas; (8) berusaha terus menerus meningkatkan kualitas
produk dan kepuasan pelanggan atau produk yang bagus tetapi tidak diikuti
dengan layanan yang memuaskan akan kalah dalam persaingan. Kualitas layanan
barang dan jasa merupakan faktor utama untuk memenangkan persaingan.
Parasuraman et al., (1985) mengembangkan definisi dari kualitas dengan
memasukkan lima aspek dari kualitas: reliability, responsiveness, assurance,
empathy, dan tangibles. Skala SERVQUAL sesuai yang dikemukakan oleh
Parasuraman et al., (Schiffman dan Kanuk, 2004:188) merupakan desain
kesenjangan pengukuran antara harapan pelanggan tentang layanan dan persepsi
mereka tentang layanan yang sesungguhnya. Selain kualitas layanan, harapan
konsumen dan nilai (value) juga merupakan faktor yang mempengaruhi kepuasan.
Penyampaian layanan yang berkualitas dewasa ini dianggap suatu strategi
yang esensial agar instansi/perusahaan sukses dan dapat bertahan (Buttle, F.,
1996). Penerapan manajemen kualitas dalam industri jasa menjadi kebutuhan
pokok apabila ingin berkompetisi di pasar domestik apalagi di pasar global
13
(Fornel and Wernefelt, 1987). Hal ini disebabkan kualitas pelayanan dapat
memberi kontribusi pada kepuasan pelanggan, pangsa pasar dan profitabilitas.
Oleh karena itu, perhatian saat ini lebih diprioritaskan pada pemahaman dampak
kualitas layanan terhadap keuntungan dan hasil-hasil financial yang lain dalam
instansi/perusahaan (Geykens, et al., 1999).
Kualitas pelayanan merupakan salah satu faktor kunci bagi
keberhasilan instansi/perusahaan jasa dan tidak dapat dipungkiri dalam dunia
bisnis saat ini, karena tidak ada yang lebih penting lagi bagi sebuah
instansi/perusahaan jasa kecuali menempatkan masalah kepuasan dan kepuasan
terhadap konsumen melalui pelayanan sebagai salah satu komitmen bisnisnya.
(Parasuraman, 1997) Selain dari instansi/perusahaan asuransi yang mengelola jasa
secara murni, setiap instansi/perusahaan asuransi dengan produk apapun baik
disadari maupun tidak disadari, pasti bersinggungan dengan jasa. Komponen
jasa tersebut bahkan dapat menjadi bagian penting walaupun hanya menjadi
bagian minor dari keseluruhan kegiatan instansi/perusahaan.
Berdasarkan hakekat bisnis jasa yang mana inti dari bisnis ini adalah
bagaimana memuaskan konsumen, yakni dengan cara memberikan layanan yang
berkualitas. Banyak faktor yang mendukung atau dapat dikatakan berpengaruh
pada kualitas pelayanan. Faktor-faktor tersebut akan dibahas satu persatu secara
detail pada penelitian ini. Hal tersebut menjadi sangat penting dan menarik untuk
dibahas sebab dalam bidang jasa, kepuasan pelanggan sangat bergantung atau
bahkan bergantung sepenuhnya terhadap kualitas layanan yang diberikan. Apabila
kita kaji lebih dalam, kepuasan pelanggan tersebut akan berdampak lebih jauh lagi
pada kepuasan pelanggan terhadap instansi/perusahaan. Dengan kepuasan
14
pelanggan, dapat dikatakan bahwa hal tersebut adalah wujud nyata dari
keberhasilan suatu instansi/perusahaan jasa dalam menjalankan segala
kegiatannya.
Kualitas pelayanan berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan
konsumen. Ada dua faktor yang mempengaruhi kualitas jasa yaitu expected
service dan perceived service (Gronroos, 1984). Kualitas harus dimulai dari
kebutuhan konsumen dan berakhir pada persepsi konsumen. Hal ini berarti citra
kualitas yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang atau persepsi penyedia
jasa melainkan berdasarkan sudut pandang atau persepsi konsumen. Baik
buruknya kualitas pelayanan menjadi tanggung jawab seluruh bagian organisasi
instansi/perusahaan.
Penelitian yang dilakukan Crosby dan Stephens (1987) pada industri jasa
menyebutkan bahwa ketidakpuasan merupakan salah satu penyebab beralihnya
konsumen. Penelitian lain Fornel (1992) juga menyebutkan bahwa konsumen
yang puas cenderung menjadi konsumen yang loyal. Sehingga apabila tingkat
kepuasan pelanggan meningkat akan diikuti tingkat kepuasan pelanggan. Menurut
Ho and Wu, (1999) dalam Saha and Zhao, (2005) hal-hal yang membentuk
kepuasan pelanggan adalah logistical support, technical characteristhics,
information characteristhics, home page presentation dan product
characteristhics. Sedangkan penelitian Selnes (1993), Goodman, et al., (1995)
dan Geykens, et al., (1999) menyatakan bahwa indikator yang membentuk
kepuasan pelanggan adalah rasa senang, kepuasan terhadap pelayanan, kepuasan
terhadap sistem dan kepuasan finansial.
15
Semakin tingginya intensitas persaingan bisnis serta semakin homogennya
produk serta pelayanan membuat instansi/perusahaan asuransi, baik yang
bergerak dalam bidang kerugian maupun jasa, saat ini mengalami kesulitan untuk
menerapkan strategi agar unggul dari para pesaing mereka untuk mencapai
kinerja yang diharapkan. Pekerjaan marketing tidak lagi sesederhana dulu,
konsumen zaman sekarang sangat mudah mendapat informasi dan
membandingkan beberapa tawaran dari produk serupa (Kertajaya, 2010:3)
Kecenderungan yang ada adalah bahwa kegiatan pemasaran sudah tidak lagi
ditujukan untuk pertukaran atau transaksi yang terjadi sekali saja, tetapi sudah
mulai mengarah pada pertukaran yang terus menerus dan berkesinambungan. Jika
pada masa lalu proses pemasaran berakhir ketika transaksi jual beli telah terjadi,
dimana barang berpindah kepemilikan dari penjual ke pembeli, maka sekarang
agar dapat merangkul perubahan ini, pemasar di seluruh dunia memperluas konsep
marketing untuk berfokus pada emosi manusia, mereka memperkenalkan konsep
baru seperti, emotional marketing, relationship marketing, experiential marketing
dan brand equity yang berpandangan bahwa pemasaran seharusnya
memberikan perhatian pada transaksi yang sedang berlangsung dan
memanfaatkannya sebagai dasar untuk hubungan pemasaran yang berkelanjutan
di masa depan (Kertajaya, 2010:29). Dengan demikian sebenarnya yang penting
pada masa sekarang adalah bagaimana menciptakan kepuasan pelanggan.
Bloemer, et al., (1998) dalam penelitiannya menekankan akan arti
pentingnya pembentukan kepuasan instansi/perusahaan sebagai dasar bagi
instansi/perusahaan untuk bertahan dan menghadapi persaingan. Menurutnya
kepuasan pelanggan terhadap suatu instansi/perusahaan dapat tumbuh disebabkan
16
oleh beberapa faktor, seperti citra baik yang dimiliki instansi/perusahaan tersebut,
kualitas pelayanan yang diberikan dan kepuasan terhadap instansi/perusahaan.
Faktor-faktor tersebut memegang peran penting dalam meningkatkan posisi
persaingan instansi/perusahaan. Dick and Basu (1994) menyatakan bahwa
Kepuasan pelanggan dipandang sebagai kekuatan hubungan antara sikap relatif
individu dan dukungan ulang. Hubungan anatara penjual dan pembeli menjadi
mediasi antara sosial norma dan faktor situasional. Kognitif, afektif, dan konatif
anteseden dari sikap relatif diidentifikasikan sebagai kontributor terhadap
kepuasan, bersama dengan konsekuensi motivasi, persepsi, dan perilaku dalam
menciptakan kepuasan pelanggan.
Masalah kepuasan dalam penelitian ini dikaitkan dengan pengaruh kualitas
layanan dokter terhadap pasien BPJS Kesehatan. Kepuasan pasien adalah tingkat
perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja produk atau hasil yang pasien
rasakan dengan harapannya. Adanya kepuasan pasien terhadap suatu
penggunaan jangka panjang, menyebabkan rasa puas pasien akan
mempengaruhi tindakan yang didasarkan pada pengalaman masa lalu dimana
selanjutnya mereka tidak akan mudah berpindah jasa karena stimulasi pemasaran.
Era Globalisasi telah menjanjikan suatu peluang dan tantangan bisnis baru
bagi rumah sakit yang beroperasi di Indonesia. Di satu sisi era globalisasi
memperluas pasar baik produk atau jasa dari rumah sakit di Indonesia dan di sisi
lain keadaan tersebut memunculkan persaingan yang semakin ketat baik antar
rumah sakit domestik maupun dengan rumah sakit asing (Tjiptono, 2002).
Pesatnya pertumbuhan ekonomi serta tantangan era perdagangan menyebabkan
semakin ketatnya kompetisi dalam dunia bisnis, begitu juga dengan bisnis dalam
17
pelayanan kesehatan khususnya rumah sakit, yang dituntut untuk dapat memenuhi
kebutuhan dan keinginan pelanggan yang tidak hanya terbatas pada pelayanannya
saja (Kuncoro, 2000). Dalam rangka menjaga kesetiaan pasien, rumah sakit yang
ingin berkembang atau paling tidak bertahan hidup harus dapat memberikan
kepada para pasien berupa jasa pelayanan yang bermutu lebih baik, harga
lebih murah dari pesaingnya. Pasien merasa tidak puas atau mutu pelayanan
yang diberikan oleh pihak rumah sakit tersebut kurang baik, maka pasien akan
pindah ke rumah sakit lain yang dapat memberikan pelayanan lebih bermutu
dan kepuasan yang jauh lebih baik, agar suatu rumah sakit dapat bertahan
memenangkan persaingan tersebut, maka rumah sakit harus memiliki pasien yang
setia (customer loyalty) untuk mencapai maka rumah sakit harus melakukan
reformasi program demi mendapatkan pasien yang setia.
Tingkat kepuasan pasien juga dipengaruhi berbagai faktor lainnya
seperti sikap pemberi pelayanan seperti dokter dan perawat, kondisi ruangan,
kelengkapan sarana dan fasilitas, termasuk didalamnya hak pasien dari hak atas
badan sendiri/hak privasi yang timbul dari TROS (The Right Of Self
determination) (Fred, 1988). Faktor yang mempengaruhi tingkat kepuasan pasien
adalah kebutuhan dan keinginan, pengalaman masa lalu, pengalaman dari
teman-teman dan komunikasi melalui iklan pemasaran. Selain itu faktor umur,
pendidikan, jenis kelamin, kepribadian, suku dan latar belakang budaya, serta
kasus penyakit turut mempengaruhi persepsi dan ekspektasi pasien (Nelson dan
Brown). Saat ini kenyataannya sebagian besar rumah sakit di Indonesia belum
memberikan pelayanan yang memuaskan seperti yang diharapkan oleh pasien /
konsumen. Mengingat begitu banyak masalah yang dialami pasien ketika pertama
18
kali datang ke rumah sakit antara lain pelayanan awal, sikap perawat dan dokter
dalam menangani pasien, sarana yang tersedia, kelengkapan obat-obatan dan
kebersihan rumah sakit, dan akhirnya pasien akan pindah ke rumah sakit lain yang
memberikan pelayanan yang lebih bagus.
Salah satu wilayah di Indonesia yang mengalami permasalahan tentang
layanan kesehatan berkaitan dengan sistem BPJS Kesehatan adalah Kabupaten
Pamekasan Provinsi Jawa Timur. Salah satu kabupaten di Jawa Timur yang
berada di pulau Madura yang merupakan daerah yang kering dengan ketersediaan
air yang sangat terbatas. Kondisi ini membuat warga rentan terhadap serangan
wabah penyakit. Belum lagi ancaman berbagai persoalan kesehatan lain yang kini
menggerogoti masyarakat seperti penyakit menular baru dan yang kembali
bermunculan, kedaruratan kesehatan masyarakat, perubahan iklim, serta krisis
energi dan pangan. Rendahnya kesadaran masyarakat akan pola hidup sehat,
ketersediaan fasilitas kesehatan termasuk obat-obatan yang terbatas dan
langkanya tenaga kesehatan memperburuk situasi itu.
Kondisi ini menyebabkan kendala dalam masalah pelayanan kesehatan
yang mengakibatkan ketidakpuasan pasien bagi rumah sakit dan puskesmas.
Ketidakpuasan ini juga didukung dengan beberapa fenomena yang terjadi dalam
kesehatan di Indonesia berkaitan dengan pelayanan BPJS Kesehatan seperti Tabel
1.1.
19
Tabel 1.1 Hasil Survey Awal Ketidakpuasan Pasien BPJS Kesehatan
No Masalah Keterangan
1. Peningkatan pasien secara
berlebih khususnya yang
telah terdaftar
menggunakan Kartu
BPJS Kesehatan.
Menurut BPS (Badan Pusat Statistik)
Pamekasan, bahwa peserta jamkesmas di
Kabupaten Pamekasan bertambah, dari
sebelumnya 305.834 jiwa menjadi 444.737
jiwa di tahun 2014 dan terus meningkat sampai
awal tahun 2015 menjadi 504.000 jiwa.
Meningkatnya peserta secara drastis ini terjadi
setelah diberlakukanya kebijakan mengenai
kesehatan gratis (BPJS)
2. Pelayanan yang kurang
maksimal.
Kurangnya pelayanan yang diberikan oleh
Petugas Puskesmas dalam memberikan resep
obat dimana pasien tidak hanya diberikan obat
yang bersifat pengobatan tetapi juga yang
bersifat pencegahan dan selain itu juga pasien
yang berobat seharusnya mendapatkan obat
yang sesuai penyakit yang dideritanya.
3. Tidak adanya sistem data
yang Akurat
Masih adanya Puskesmas yang tidak memiliki
data yang valid mengenai pasien yang terdaftar
tidaknya sebagai pasien yang tidak mampu.
Hal ini disebabkan karena kurangnya
komunikasi dengan BPS setempat yang
menimbulkan kurangnya data yang akurat di
setiap puskesmas.
4. Perilaku tenaga kesehatan
yang bersikap kurang
ramah.
Adanya tenaga atau petugas kesehatan yang
masih bersikap kurang professional dalam
menjalankan tugasnya. Misalnya masih
membeda-bedakan antara pengguna BPJS
Kesehatan dengan pasien umumnya.
20
No Masalah Keterangan
5. Pembagian kelas pada
pengguna BPJS
Kesehatan.
Perbedaan Kelas pada pengguna BPJS
Kesehatan membuat pengguna merasa dibeda-
bedakan dalam pelayanan, khususnya pada
pemberian obat yang diberikan.
6 Kurang pahamnya cara
mendaftar program BPJS
Kesehatan.
Kurangnya sosialisasi dari pemerintah,
sehingga kurang mengerti dalam cara
mendaftar dan mengakses layanan BPJS
Kesehatan.
7 Kurangnya petugas dan
Infrastruktur
Adanya perbedaan antar pasien umum dan
pasien BPJS Kesehatan. Dimana para pasien
sering kali diterlantarkan oleh petugas nya
sendiri selain itu juga adanya pembatasan
waktu rawat inap bagi pasien BPJS Kesehatan,
dan terbatasnya kuota kamar untuk pasien
program BPJS Kesehatan.
Sumber: hasil survey awal di Kabupaten Pamekasan, 2017
Hal ini dapat terlihat dengan adanya peningkatan jumlah kunjungan pasien
yang cukup tinggi bila dibandingkan sebelum dilaksanakan kebijakan ini.
Sebenarnya indikator keberhasilan program pelayanan kesehatan gratis dapat
dilihat dengan meningkatnya akses masyarakat untuk datang memeriksakan
kesehatannya di puskesmas yang kian meningkat. Dengan adanya implikasi dari
pelaksanaan kebijakan pelayanan kesehatan gratis di Kabupaten Pamekasan
seperti peningkatan kunjungan pasien yang dilayani di puskesmas dan
keterlambatan pada mekanisme pembayaran pengganti jasa medis dikhawatirkan
dapat berakibat terhadap kinerja dari petugas kesehatan sehingga dapat
mempengaruhi pula mutu pelayanan kesehatan bagi masyarakat yang
memanfaatkan pelayanan kesehatan gratis di Kabupaten Pamekasan. Penjelasan
21
tentang pelayanan kesehatan gratis di sini adalah bahwa mereka peserta BPJS
Kesehatan tidak dipungut biaya lagi (iur biaya) selama masih sesuai dengan
ketentuan pemakaian obat dan alat kesehatan serta jenis kamar rawat inap yang
telah ditentukan dalam kerjasama antara fasilitas kesehatan dengan BPJS
Kesehatan.
Tabel 1.2 Permasalahan Layanan BPJS Kesehatan di Kabupaten Pamekasan
No Data Masalah Jumlah
1 Pasien Gratis Meningkatnya pasien secara drastis
yang menggunakan program BPJS.
dari 305.834 jiwa
menjadi
444.737 jiwa di
tahun 2014 dan
meningkat
menjadi
504.000 jiwa di
awal 2015.
2 Keluhan
Masyarakat
a. Adanya pembeda-bedaan kelas
antara pasien pengguna BPJS
dengan pasien pada umumnya.
b. Mekanisme pengambilan obat
dimana sering terjadinya antrian
panjang ketika proses. pengambilan
obat
c. Profesionalitas dari tenaga atau
petugas kesehatan, dimana masih
adanya petugas yang bersikap
kurang ramah dalam melayani
pasien.
3 Obat-obatan Pemberian obat tidak sesuai dengan
penyakit yang diderita pasien.
Harus mengeluarkan uang untuk
membayar obat yang tidak ada.
Sering terjadi kekosongan obat
sehingga pasien harus membeli obat di
tempat lain seperti di apotek.
Sumber: hasil survey awal di Kabupaten Pamekasan, 2017
22
Menurut data BPS (2015), Kabupaten Pamekasan masyarakat yang
mendaftar untuk menjadi pasien pengguna BPJS Kesehatan meningkat setiap
tahunnya dimana pada tahun 2014 terjadi kenaikan dari 305.834 jiwa menjadi
444.737 jiwa dan terus meningkat hingga awal 2015 yaitu menjadi 504.000 jiwa.
Bahkan pada laporan terakhir BPJS Kesehatan Cabang Pamekasan sampai
dengan bulan Juli 2017 sudah tercatat 661.287 peserta BPJS Kesehatan di
Kabupaten Pamekasan dari jumlah penduduk 869.636 jiwa, dengan demikian
masih ada 208.349 orang yang belum terdaftar (Tabel 4.8).
Akibat dampak dari kunjungan pasien yang cukup tinggi banyak pasien
yang seharusnya mendapatkan haknya tetapi tidak dapat terpuaskan, itu
dikarenakan puskesmas tidak memiliki sistem data yang akurat disetiap
puskesmas di Kabupaten Pamekasan tentang berapa jumlah pasien yang dilayani
oleh jaminan kesehatan nasional oleh Pemerintah Kabupaten baik di tingkat
pelayanan kesehatan dasar (puskesmas) maupun pada tingkat pelayanan
kesehatan lanjutan (Rumah Sakit).
Selain itu juga sikap dan perilaku tenaga kesehatan harus diperhatikan
dalam penyelenggaraan jaminan kesehatan bagi masyarakat. Profesionalitas
seorang petugas kesehatan juga perlu diperhatikan sebab dalam prakteknya
seorang tenaga atau petugas kesehatan yang melayani pasien harus bersikap adil,
dimana adil disini yaitu tanpa adanya pandang bulu antar sesama pasien baik itu
pasien yang menggunakan program kesehatan nasional ataupun pasien umum.
Perlu ditegaskan juga bahwa pelayanan kesehatan nasional tidak berarti bahwa
tenaga kesehatan tanpa imbal jasa dalam memberikan pelayanan kesehatan gratis
pada pasien. Pasienlah yang mendapat pelayanan kesehatan nasional yang
23
sifatnya gratis karena tidak mengeluarkan sepeserpun untuk pelayanan kesehatan
yang diterimanya, karena biaya tersebut ditanggung oleh Pemerintah Kabupaten
Pamekasan, yang membayarkannya melalui pagu dana yang telah disiapkan
baik pada tingkat puskesmas maupun pada tingkat rumah sakit dan juga pasien
berhak mendapatkan pelayanan secara maksimal tanpa membandingkan satu sama
lain antara yang mendapatkan pelayanan kesehatan gratis ataupun dengan pasien
yang berobat secara normal/pasien umum.
Dalam era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini jenis pembayaran
keikutsertaan adalah sebagai berikut ada tiga yaitu: 1) Iuran Jaminan Kesehatan
bagi peserta PBI Jaminan Kesehatan dibayar oleh pemerintah, 2) Iuran Jaminan
Kesehatan bagi penduduk yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah dibayar oleh
Pemerintah Daerah. Iuran Jaminan Kesehatan bagi peserta pekerja penerima upah
dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja, dan 3) Iuran Jaminan Kesehatan bagi
peserta pekerja bukan penerima upah dan peserta bukan pekerja dibayar oleh
peserta yang bersangkutan.
Tabel 1.3 Rekapan Keluhan Atau Ketidakpuasan Peserta BPJS Kesehatan di
Pamekasan Terhadap Layanan Di FKTP/FKTL Tahun 2015 dan 2016
No Fasilitas Tahun 2015 Tahun 2016
Kesehtan
Klasifikasi Keluhan/
Ketidakpuasan
Klasifikasi Keluhan/
Ketidakpuasan
(FASKES)
Admi-
nistrasi
Iur
Biaya
Non
Medis Medis
Admi-
nistrasi
Iur
Biaya
Non
Medis Medis
1 FKTP 9 7 3 1 8 11 1 1
2 FKTL 3 5 0 1 6 5 2 0
Jumlah 12 12 3 2 14 16 3 1
Sumber: hasil survey awal di Kabupaten Pamekasan, 2017
Keluhan yang menyangkut administrasi seperti antara lain ketidakjelasan
informasi, kartu peserta yang tidak aktif, permintaan penggantian kartu
24
askes/jamkesmas ke kartu BPJS Kesehatan, klaim (ditolak), sikap petugas,
rujukan (ditolak). Keluhan yang menyangkut iur biaya seperti penarikan biaya
kepada pemegang kartu BPJS Kesehatan yang terjadi di UGD, Laboratorium, poli
pelayanan, dan apotik menyuruh membeli obat, sedangkan keluhan non medis dan
medis menyangkut ketidak hadiran dokter, keterlambatan pelayanan oleh dokter
dan tenaga kesehatan lain seperti perawat.
Salah satu layanan yang dapat berkaitan dengan kepuasan pasien
pengguna BPJS adalah kualitas layanan dokter. Indikator yang dapat digunakan
sebagai objektif dalam kepuasan pasien adalah jumlah keluhan pasien atau
keluarga, kritik dalam kolom surat pembaca, pengaduan mal praktek, laporan dari
staf medik dan perawatan. Dalam pengalaman sehari-hari, ketidakpuasan pasien
yang paling sering dikemukakan dalam kaitannya dengan sikap dan prilaku
petugas rumah sakit yaitu, keterlambatan pelayanan dokter dan perawat, dokter
sulit ditemui, dokter yang kurang komunikatif dan informatif, lamanya proses
masuk, dan lain-lain. Diantara bentuk jasa layanan kesehatan di rumah sakit
antara lain mampu menangani penyakit yang diderita pasien dengan cepat dan
akurat, oleh karena itu dibutuhkan keramahan para dokter, kecepatan pelayanan
para perawat dan juga pegawai di rumah sakit yang bersangkutan, sehingga
diharapkan akan terbentuk kepuasan dan loyalitas pada pengguna jasa rumah sakit
dan pasien akan menaruh kepercayaan dan komitmen terhadap rumah sakit dan
akhirnya akan kembali menggunakan jasa di rumah sakit dan puskesmas.
Berdasarkan hasil penelitian yang diberitakan dalam Kompas (2017)
menjelaskan sisi empati dari para tenaga kesehatan dirasakan kurang di mata para
pasien Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Riset yang
25
dilakukan oleh Perkumpulan Prakarsa di 11 kabupaten/kota yang melibatkan
1.344 responden rumah tangga menunjukkan beragam keluhan yang dirasakan
dalam prosedur pemeriksaan dokter. Keluhan pertama yaitu kurang pedulinya
dokter pada pasien BPJS Kesehatan. Sebesar 50,57 persen responden merasa
bahwa dokter kurang peduli. Sebesar 14,94 persen merasa tenaga kesehatan
kurang komunikatif, dan sebesar 12,64 persen merasa dokter tidak datang tepat
waktu sehingga harus menunggu lama. Salah satu temuan menarik dari peneltiian
tersebut adalah adanya kuota yang ditetapkan oleh pihak dokter atau fasilitas
kesehatan untuk menerima pasien yang menggunakan Jaminan Kesehatan
Nasional (JKN). Penelitian ini menjelaskan kondisi itu menyebabkan terbatasnya
jumlah layanan yang dapat dimanfaatkan oleh pasien. Menanggapi banyaknya
keluhan terhadap sisi empati dokter itu, Kepala Bidang Evaluasi Ekonomi
Pembiayaan Kesehatan, Kementerian Kesehatan Armansyah mengatakan para
tenaga kesehatan memang perlu mengubah cara pandang mereka terhadap peserta
BPJS Kesehatan.Polling yang dilakukan salah satu media daring menyebutkan,
kepuasan peserta BPJS kesehatan tak lebih dari 39 persen. Keluhan yang diterima
oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengenai BPJS antara lain
penolakan rumah sakit terhadap pasien BPJS, kesulitan prosedur, pengobatan
yang tidak tuntas, pelayanan dokter yang tidak maksimal, antrian yang panjang
pada unit gawat darurat, serta tidak dibayarkan fasilitas laboratorium.
Pada dasarnya semua warga Indonesia sama dimata pemerintah, tidak
membeda-bedakan status sosial, kasta ataupun derajat dimana telah diamanatkan
dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) yang berbunyi “setiap
orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
26
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan” dan Pasal 34 ayat (3) yang isinya “Negara bertanggung jawab atas
penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang
layak”.
Jelas bahwa apa yang telah tertulis di dalam Undang-Undang Dasar 1945
pada dasarnya semua warga masyarakat Indonesia mendapatkan pelayanan
kesehatan yang maksimum tanpa terkecuali dan pemerintah pun wajib
memberikan pelayanan yang maksimum kepada masyarakatnya dengan tanpa
terkecuali.
1.2. Perumusan Masalah
Menurut Tjiptono (2006: 46), kepuasan pelanggan adalah respon
konsumen terhadap evaluasi persepsi atas perbedaan antara harapan awal sebelum
pembelian dan kinerja aktual setelah memakai atau mengkonsumsi produk / jasa
yang bersangkutan. Bagi perusahaan, kepuasan pelanggan terhadap kualitas
layanan akan membawa pengaruh bagi kelangsungan hidup perusahaan jasa itu
sendiri. Oleh karena itu, kualitas layanan harus mendapat perhatian lebih, guna
untuk mewujudkan harapan-harapan konsumennya.
Kepuasan pelanggan harus diwujudkan bagi setiap organisasi perusahaan.
Konsep ini hampir pasti selalu hadir di buku teks standar yang mengupas strategi
bisnis dan pemasaran. Slogan dan motto perusahaan juga menyinggungnya.
Adanya kepuasan akan mempertahankan kepuasan pelanggan. Menurut Tjiptono
(2008:169), kepuasan pelanggan juga berpotensi memberikan sejumlah manfaat
spesifik, diantaranya: (1) berdampak positif terhadap loyalitas konsumen; (2)
27
berpotensi menjadi sumber pendapatan masa depan, terutama melalui pembelian
ulang; (3) menekan biaya transaksi konsumen di masa depan, terutama biaya-
biaya komunikasi pemasaran, penjualan, dan jasa konsumen; (4) menekan resiko
berkenaan dengan prediksi aliran kas masa depan. Kepuasan pelanggan berkaitan
erat dengan kualitas layanan. Jika kenyataan jasa lebih dari yang diharapkan,
maka dapat dikatakan bermutu. Sebaliknya jika kenyataan kurang dari yang
diharapkan dapat dikatakan kurang bermutu.
Menurut Parasuraman dalam Tjiptono (1999), penilaian pasien terhadap
kualitas ditentukan oleh dua hal, yaitu harapan pasien terhadap kualitas (expected
quality) dan persepsi pasien atas kualitas (perceived quality). Berdasarkan
pertimbangan tersebut, maka pengukuran keberhasilan suatu sarana kesehatan
seperti Rumah Sakit dan Puskesmas lebih banyak ditentukan oleh penilaian dan
persepsi pasien tentang kualitas pelayanan yang diberikan. Persepsi pasien tentang
pelayanan memegang peranan yang sangat penting. Kualitas pelayanan akan
terpenuhi apabila proses penyampaian pelayanan dari pemberi jasa kepada pasien
sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pasien. Lebih lanjut Welch dalam
Kotler (2002) menyatakan bahwa kualitas layanan merupakan jaminan terbaik
untuk menciptakan dan mempertahankan kesetiaan konsumen dan benteng
pertahanan dalam menghadapi persaingan global.
Parasuraman, et al. (1994) menyatakan bahwa kualitas layanan merupakan
konsep yang terdiri dari lima dimensi, yaitu tangible, reliability, responsiveness,
assurance dan empaty. Lima dimensi ini sangat berperan dalam membentuk
tingkat kepuasan pelanggan.
28
Model SERVQUAL (service quality) yang dikembangkan Zeithalm dan
Parasuraman (1990) banyak dipakai sebagai landasan konsep penelitian tentang
kepuasan pasien di banyak tempat. Model ini menyebutkan bahwa pertanyaan
mendasar yang cukup sensitif untuk mengukur pengalaman konsumen
mendapatkan pelayanan tercakup dalam lima dimensi kualitas pelayanan yaitu: 1)
reliability (keandalan): kemampuan untuk menampilkan pelayanan yang
dijanjikan dengan segera dan akurat, 2) responsiveness (ketanggapan atau
kepedulian): kemampuan untuk membantu konsumen dan meningkatkan
kecepatan pelayanan, 3) assurance (jaminan kepastian): kompetensi yang dimiliki
sehingga memberikan rasa aman, bebas dari bahaya, risiko atau keraguan dan
kepastian yang mencakup pengetahuan, perilaku dan sifat yang dapat dipercaya,
4) empathy (perhatian): sifat dan kemampuan untuk memberikan perhatian penuh
kepada pasien, kemudahan melakukan kontak dan komunikasi yang baik, 5)
tangibles (wujud nyata/penampilan): penampilan fisik dari fasilitas, peralatan,
sarana informasi atau komunikasi dan petugas atau pegawai.
Dari uraian di atas, maka dilakukan penelitian tentang pengaruh kualitas
layanan dalam Sistem BPJS Kesehatan terhadap kepuasan pasien BPJS Kesehatan
di Rumah Sakit Umum Daerah Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan
Puskesmas se-Kabupaten Pamekasan. Pemilihan Rumah Sakit Umum Daerah Dr.
H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan Puskesmas se-Kabupaten Pamekasan
sebagai obyek penelitian ini didasarkan atas pertimbangan bahwa pasien BPJS
Kesehatan akan dirujuk ke rumah sakit tersebut dan juga semua pasien BPJS
Kesehatan yang terdaftar di puskesmas pasti berobat ke puskesmas masing-
29
masing bila menggunakan kartu BPJS Kesehatan sesuai dengan fasilitas kesehatan
(FASKES) yang tertera di kartu BPJS Kesehatan tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
a. Bagaimana pengaruh kualitas layanan dokter terhadap Sistem BPJS
Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan Puskesmas
se Kabupaten Pamekasan?
b. Bagaimana pengaruh layanan dokter terhadap kepuasan pasien BPJS
Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan Puskesmas
se Kabupaten Pamekasan?
c. Apakah ada pengaruh Sistem BPJS Kesehatan terhadap kepuasan pasien
BPJS Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan
Puskesmas se Kabupaten Pamekasan?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pengaruh kualitas layanan dokter terhadap Sistem BPJS
Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan Puskesmas
se Kabupaten Pamekasan.
b. Untuk mengetahui pengaruh layanan dokter terhadap kepuasan pasien BPJS
Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan Puskesmas
se Kabupaten Pamekasan.
30
c. Untuk mengetahui pengaruh Sistem BPJS Kesehatan terhadap kepuasan
pasien BPJS Kesehatan di RSUD Dr. H. Slamet Martodirdjo Pamekasan dan
Puskesmas se Kabupaten Pamekasan
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini;
a. Manfaat teoritis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan kontribusi
positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan khususnya pada bidang
administrasi mengenai pentingnya pengelolaan terhadap variabel-variabel
yang dapat mempengaruhi kepuasan pelanggan, Service Quality dan dapat
dijadikan sebagai tambahan referensi atau bahan pembanding bagi penelitian
sejenis selanjutnya.
b. Manfaat praktis, diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
pemikiran dalam bidang administrasi yang berkaitan baik bagi Pemerintah,
BPJS Kesehatan, Rumah Sakit atau Puskesmas.