bab i mklh esl kelapa sawit.docx
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan lahan yang semakin meningkat, langkanya lahan pertanian yang subur dan
potensial, serta adanya persaingan penggunaan lahan antara sektor pertanian dan non-
pertanian, memerlukan teknologi tepat guna dalam upaya mengoptimalkan penggunaan lahan
secara berkelanjutan. Untuk dapat memanfaatkan sumber daya lahan secara terarah dan
efisien diperlukan tersedianya data dan informasi yang lengkap mengenai keadaan iklim,
tanah dan sifat lingkungan fisik lainnya, serta persyaratan tumbuh tanaman yang diusahakan,
terutama tanaman-tanaman yang mempunyai peluang pasar dan arti ekonomi cukup baik.
Data iklim, tanah, dan sifat fisik lingkungan lainnya yang berpengaruh terhadap pertumbuhan
tanaman serta terhadap aspek manajemennya perlu diidentifikasi melalui kegiatan survei dan
pemetaan sumber daya lahan. Data sumber daya lahan ini diperlukan terutama untuk
kepentingan perencanaan pembangunan dan pengembangan pertanian. Data yang dihasilkan
dari kegiatan survei dan pemetaan sumber daya lahan masih sulit untuk dapat dipakai oleh
pengguna (users) untuk suatu perencanaan tanpa dilakukan interpretasi bagi keperluan
tertentu.
Kelapa sawit merupakan salah satu komoditas strategis sebagai penghasil devisa
Negara utama dari sektor non migas. Beberapa komoditas perkebunan yang menunjukkan
peningkatan ekspor yang cukup tajam adalah kakao dan mente, sedangkan komoditas yang
dinilai masih memberikan sumbangan yang cukup tinggi bagi devisa diantaranya karet, kopi,
kakao, dan minyak sawit (Suryana, et, al., 1998).
Kesesuaian lahan perlu di perhatikan untuk tanaman budidaya agar mendapatkan
pertumbuhan yang optimal, walau tanaman kelihatan dapat tumbuh bersama di satu wilayah,
akan tetapi setiap jenis tanaman mempunyai karakter yang membutuhkan persyaratan yang
berbeda-beda. Dengan demikian supaya produksi dapat optimal maka harus di perhatikan
antara kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian dan persyaratan tumbuh tiap jenis tanaman.
Evaluasi lahan merupakan proses pendugaan potensi lahan untuk bermacam
alternative penggunaan lahan. Ini merupakan cara yang biasa digunakan dalam perencanaan
1
penggunaan lahan. Survey tanah adalah salah satu cara atau metoda untuk mengevaluasi
lahan guna mendapat data langsung dari lapangan. Kegiatan survey terdiri dari kegiatan
lapangan, membuat analisis data, interpretasi data terhadap tujuan dan membuat laporan
survey. Survey tanah menurut Abdullah (1993) merupakan pekerjaan pengumpulan data
kimia, fisik, dan biologi dilapangan maupun dilaboratorium dengan tujuan pendugaan
penggunaan lahan umum maupun khusus. Suatu survey tanah baru memiliki kegunaan yang
tinggi jika diteliti dalam pengambilan sampel, deskripsi dan analisa data serta interpretasi
yang dilakukan sudah tepat atau benar.
Budidaya pengembangan perkebunan kelapa sawit sangat erat kaitannya dengan daya
dukung lahan sebagai media tanam komoditi ini. Besarnya pengaruh kesesuaian lahan untuk
mendukung pertumbuhan tanaman akan berpengaruh secara langsung terhadap kesuburan
tanah yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas hasil (Pangudijatno, 1981).
Dengan luas wilayah Kecamatan Ulu talo 22.716Ha atau 9.46% dari luas Kabupaten
Seluma, potensi sumber daya lahan yang ada sangat mendukung untuk dikembangkannya
komoditi sejenis. Dengan letak geografis yang dekat dengan pusat perdagangan, serta
karakteristik perekonomian yang bersifat agraris-industri, sangat potensial untuk
dikembangkan perkebunan kelapa sawit. Namun, berlawanan dengan potensi tersebut,
Kondisi topografi Kabupaten Seluma sebagian besar Berbukit, menjadi tantangan bagi
pengembangan kelapa sawit secara optimum. Dengan informasi kelas kesesuaian untuk
pengembangan tanaman perkebunan ini diharapkan dapat dilakukan alternative manajemen
praktis yang tepat, guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat diKecamatan Ulu Talo
Kabupaten Seluma.
B. Rumusan masalah
1. Apa saja yang melatar belakangi evaluasi kesesuaian lahan kelapa sawit ?
2. Bagaimana kesesuaian lahan kelapa sawit Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui latar belakang evaluasi kesesuaian lahan kelapa sawit.
2. Untuk mengetahui kesesuaian lahan kelapa sawit Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Lahan
Lahan merupakan bagian dari bentang alam (landscape) yang mencakup pengertian
lingkungan fisik termasuk iklim, topografi/relief, tanah, hidrologi, dan bahkan keadaan
vegetasi alami (natural vegetation) yang semuanya secara potensial akan berpengaruh
terhadap penggunaan lahan (FAO, 1976). Lahan dalam pengertian yang lebih luas termasuk
yang telah dipengaruhi oleh berbagai aktivitas flora, fauna dan manusia baik di masa lalu
maupun saat sekarang, seperti lahan rawa dan pasang surut yang telah direklamasi atau
tindakan konservasi tanah pada suatu lahan tertentu.Penggunaan yang optimal memerlukan
keterkaitan dengan karakteristik dan kualitas lahannya. Hal tersebut disebabkan adanya
keterbatasan dalam penggunaan lahan sesuai dengan karakteristik dan kualitas lahannya, bila
dihubungkan dengan pemanfaatan lahan secara lestari dan berkesinambungan.
Pada peta tanah atau peta sumber daya lahan, hal tersebut dinyatakan dalam satuan
peta yang dibedakan berdasarkan perbedaan sifat-sifatnya terdiri atas: iklim, landform
(termasuk litologi, topografi/relief), tanah dan/atau hidrologi. Pemisahan satuan lahan/tanah
sangat penting untuk keperluan analisis dan interpretasi potensi atau kesesuaian lahan bagi
suatu tipe penggunaan lahan (Land Utilization Types = LUTs).Evaluasi lahan memerlukan
sifat-sifat fisik lingkungan suatu wilayah yang dirinci ke dalam kualitas lahan (land qualities),
dan setiap kualitas lahan biasanya terdiri atas satu atau lebih karakteristik lahan (land
characteristics). Beberapa karakteristik lahan umumnya mempunyai hubungan satu sama
lainnya di dalam pengertian kualitas lahan dan akan berpengaruh terhadap jenis penggunaan
dan/atau pertumbuhan tanaman dan komoditas lainnya yang berbasis lahan (peternakan,
perikanan, kehutanan).
Lahan sendiri merupakan lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air dan
vegetasi serta benda yang diatasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.
Sedangkan penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi manusia terhadap lahan
dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual.
3
Pembangunan di Indonesia yang gencar dilakukan seiring perkembangan jaman dan
pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan akan lahan semakin besar. Kebutuhan lahan
yang semakin besar ini memicu alih fungsi lahan yang sudah sering terlihat saat ini. Selama
ini kebutuhan akan lahan diidentikan dengan kebutuhan lahan untuk pertanian karena
memang saat ini pertanian merupakan sumber utama pangan manusia. Peralihan fungsi lahan
perlu mendapat perhatian lebih karena penggunaan lahan sedikit banyak pasti berpengaruh
terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Pengetahuan akan kondisi lahan dan kemampuan lahan sangat penting karena banyak
masyarakat kurang mengetahui sehingga mereka menggunakan lahan secara sembarangan
yang akhirnya merusak lahan itu sendiri. Setelah lahan menjadi rusak, maka pemulihan
kembali sangatlah sulit dan masyarakat sendiri yang akan dirugikan.
B. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan untuk pertanian secara umum dapat dibedakan atas: penggunaan
lahan semusim, tahunan, dan permanen. Penggunaan lahan tanaman semusim diutamakan
untuk tanaman musiman yang dalam polanya dapat dengan rotasi atau tumpang sari dan
panen dilakukan setiap musim dengan periode biasanya kurang dari setahun. Penggunaan
lahan tanaman tahunan merupakan penggunaan tanaman jangka panjang yang pergilirannya
dilakukan setelah hasil tanaman tersebut secara ekonomi tidak produktif lagi, seperti pada
tanaman perkebunan.
Penggunaan lahan permanen diarahkan pada lahan yang tidak diusahakan untuk
pertanian, seperti hutan, daerah konservasi, perkotaan, desa dan sarananya, lapangan terbang,
dan pelabuhan.Dalam Juknis ini penggunaan lahan untuk keperluan evaluasi diarahkan pada:
kelompok tanaman pangan (serealia, umbi-umbian, dan kacang-kacangan), kelompok
tanaman hortikultura (sayuran, buah-buahan, dan tanaman hias), kelompok tanaman
industri/perkebunan, kelompok tanaman rempah dan obat, kelompok tanaman hijauan pakan
ternak, dan perikanan air payau. Seluruhnya ada 112 jenis komoditas pertanian yang dapat
dilihat pada Lampiran 1 sampai Lampiran 6.Dalam evaluasi lahan penggunaan lahan harus
dikaitkan dengan tipe penggunaan lahan (Land Utilization Type) yaitu jenis-jenis penggunaan
lahan yang diuraikan secara lebih detil karena menyangkut pengelolaan, masukan yang
4
diperlukan dan keluaran yang diharapkan secara spesifik. Setiap jenis penggunaan lahan
dirinci ke dalam tipe-tipe penggunaan lahan.
Tipe penggunaan lahan bukan merupakan tingkat kategori dari klasifikasi penggunaan
lahan, tetapi mengacu kepada penggunaan lahan tertentu yang tingkatannya dibawah kategori
penggunaan lahan secara umum, karena berkaitan dengan aspek masukan, teknologi, dan
keluarannya.Sifat-sifat penggunaan lahan mencakup data dan/atau asumsi yang berkaitan
dengan aspek hasil, orientasi pasar, intensitas modal, buruh, sumber tenaga, pengetahuan
teknologi penggunaan lahan, kebutuhan infrastruktur, ukuran dan bentuk penguasaan lahan,
pemilikan lahan dan tingkat pendapatan per unit produksi atau unit areal. Tipe penggunaan
lahan menurut sistem dan modelnya dibedakan atas dua macam yaitu multiple dan
compound.Multiple: Tipe penggunaan lahan yang tergolong multiple terdiri lebih dari satu
jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan secara serentak pada suatu areal yang sama
dari sebidang lahan. Setiap penggunaan memerlukan masukan dan kebutuhan, serta
memberikan hasil tersendiri. Sebagai contoh kelapa ditanam secara bersamaan dengan kakao
atau kopi di areal yang sama pada sebidang lahan.
Demikian juga yang umum dilakukan secara diversifikasi antara tanaman cengkih
dengan vanili atau pisang.Compound: Tipe penggunaan lahan yang tergolong compound
terdiri lebih dari satu jenis penggunaan (komoditas) yang diusahakan pada areal-areal dari
sebidang lahan yang untuk tujuan evaluasi diberlakukan sebagai unit tunggal. Perbedaan jenis
penggunaan bisa terjadi pada suatu sekuen atau urutan waktu, dalam hal ini ditanam secara
rotasi atau secara serentak, tetapi pada areal yang berbeda pada sebidang lahan yang dikelola
dalam unit organisasi yang sama. Sebagai contoh suatu perkebunan besar sebagian areal
secara terpisah (satu blok/petak) digunakan untuk tanaman karet, dan blok/petak lainnya
untuk kelapa sawit. Kedua komoditas ini dikelola oleh suatu perusahaan yang sama.
C. Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan
tertentu. Kesesuaian lahan tersebut dapat dinilai untuk kondisi saat ini (kesesuaian lahan
aktual) atau setelah diadakan perbaikan (kesesuaian lahan potensial). Kesesuaian lahan aktual
merupakan kesesuaian lahan berdasarkan data sifat biofisik tanah atau sumber daya lahan
sebelum lahan tersebut diberikan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi
kendala. Data biofisik tersebut berupa karakteristik tanah dan iklim yang berhubungan
dengan persyaratan penggunaan sebuah lahan tersebut, misalkan untuk permukiman maka
5
karakteristik tanah seperti apa yang cocok untuk membangun sebuah permukiman.
Sedangkan kesesuaian lahan potensial menggambarkan kesesuaian lahan yang akan dicapai
apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan.
Lahan yang dievaluasi dapat berupa hutan konversi, lahan terlantar atau tidak
produktif, atau lahan pertanian yang produktivitasnya kurang memuaskan tetapi masih
memungkinkan untuk dapat ditingkatkan bila komoditasnya diganti dengan tanaman yang
sesuai.
D. Klasifikasi Kesesuaian Lahan
Klasifikasi kesesuaian lahan merupakan perbandingan (matching) antara kualitas
lahan dengan persyaratan penggunaan lahan yang diinginkan. Kesesuaian lahan ini dapat
dipakai untuk klasifikasi kesesuaian lahan secara kuantitatif maupun kualitatif tergantung
pada data yang tersedia. Dalam hal kesesuaian lahan untuk permukiman ini yang dipakai
adalah klasifikasi kesesuaian lahan secara kualitatif karena penilaian kesesuaian lahan
ditentukan berdasarkan penilaian karakteristik (kualitas) lahan secara kualitatif (tidak dengan
angka-angka) (Hardjowigeno, 2003). Kesesuaian lahan diklasifikasikan menjadi beberapa
macam. Menurut FAO (1976) struktur klasifikasi kesesuaian lahan dapat dibedakan menurut
tingkatannya , yaitu tingkat Ordo, Kelas, Subkelas, dan Unit. Ordo adalah keadaan
kesesuaian lahan secara global, dimana ia menunjukkan apakah suatu lahan sesuai atau tidak
sesuai untuk penggunaan tertentu. Pada tingkat Ordo kesesuaian lahan dibedakan antara lahan
yang tergolong sesuai (S= Suitable) dan lahan yang tidak sesuai (N= Not Suitable).
Lahan yang termasuk pada golongan S atau sesuai merupakan lahan yang bisa
digunakan dalam jangka waktu lama dan tidak terbatas pada penggunaan tertentu yang telah
dipertmbangkan sebelumnya. Lahan yang masuk dalam ordo ini tidak akan memiliki
kerusakan yang berarti saat digunakan. Sedangkan lahan yang masuk pada ordo N atau tidak
sesuai merupakan lahan yang memiliki kesulitan-kesulitan yang sedemikian rupa sehingga
menghambat penggunaan atau bahkan mencegah penggunaannya untuk suatu tujuan.
Kelas adalah keadaan tingkat kesesuaian dalam tingkat ordo yang menunjukkan
tingkat kesesuaian suatu lahan. Berdasarkan tingkat detail data yang tersedia pada masing-
masing skala pemetaan, kelas kesesuaian lahan dibedakan menjadi: (1) Untuk pemetaan
tingkat semi detail (skala 1:25.000-1:50.000) pada tingkat kelas, lahan yang tergolong ordo
6
sesuai (S) dibedakan ke dalam tiga kelas, yaitu: lahan sangat sesuai (S1), cukup sesuai (S2),
dan sesuai marginal (S3). Sedangkan lahan yang tergolong ordo tidak sesuai (N) dibedakan
ke dalam dua kelas yaitu N1 (tidak sesuai pada saat ini) dan N2 (tidak sesuai untuk
selamanya). (2) Untuk pemetaan tingkat tinjau (skala 1:100.000-1:250.000) pada tingkat
kelas dibedakan atas Kelas sesuai (S), sesuai bersyarat (CS) dan tidak sesuai (N).
Kelas S1 (sangat sesuai): Lahan tidak mempunyai faktor pembatas yang berarti atau
nyata terhadap penggunaan secara berkelanjutan, atau faktor pembatas bersifat minor dan
tidak akan berpengaruh terhadap produktivitas lahan secara nyata.
Kelas S2 (cukup sesuai): Lahan mempunyai faktor pembatas, dan faktor pembatas ini
akan berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan tambahan masukan (input).
Pembatas ini biasanya masih dapat diatasi dengan cukup mudah.
Kelas S3 (sesuai mariginal): Lahan mempunyai faktor pembatas yang berat, dan
faktor pembatas ini akan sangat berpengaruh terhadap produktivitasnya, memerlukan
tambahan masukan yang lebih banyak daripada lahan yang tergolong S2. Untuk mengatasi
faktor pembatas pada S3 memerlukan modal tinggi, sehingga perlu adanya bantuan atau
campur tangan (intervensi) pemerintah atau pihak swasta.
Kelas N1 (tidak sesuai pada saat ini): Lahan memiliki faktor pembatas yang sangat
besar namun masih dapat digunakan setelah mengalami pengolahan dengan modal yang juga
tidak sedikit.
Kelas N2 (tidak sesuai untuk selamanya): Lahan memiliki faktor pembatas yang
permanen sehingga tidak memungkinkan digunakan untuk penggunaan lahan yang lestari
dalam jangka waktu yang sangat lama.
Subkelas adalah keadaan tingkatan dalam kelas kesesuaian lahan. Kelas kesesuaian
lahan dibedakan menjadi subkelas berdasarkan kualitas dan karakteristik lahan (sifat-sifat
tanah dan lingkungan fisik lainnya) yang menjadi faktor pembatas terberat. Sedangkan
subkelas merupakan pembagian tingkat lanjut dari subkelas berdasarkan atas besarnya faktor
pembatas.
7
E. Kriteria Lokasi Yang Tepat Tanaman Kelapa Sawit
Tiga aspek lingkungan yang berpengaruh terhadap tanaman kelapa sawit adalah iklim,
vegetasi, dan tanah.
a. Iklim
Habitat asli kelapa sawit adalah di hutan yang dekat dengan sungai di Guinea Savanna
Afrika Barat yang kering dan radiasi matahari yang rendah. Kondisi ini menyebabkan
produksi kelapa sawit rendah. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah di luar habitat
aslinya, yaitu 16º lintang utara (Honduras) hingga 15º lintang selatan (Brazil) dengan 20
negara di antara jarak tersebut. Kelapa sawit dapat tumbuh baik dengan tanaman lain dan
mengkoloni tempat dimana terdapat sinar matahari dan kelembaban tanah yang cukup untuk
siklus hidupnya. Produksi tertinggi terdapat di Asia Tenggara dan Asia Pasifik dengan
produksi 7 ton/th. Sehingga, kondisi iklim mempengaruhi pertumbuhan, hasil, unsur hara,
dan kejadian hama penyakit. Setiap perkebunan memerlukan data curah hujan, panjang hari
terang, temperatur minimal dan maksimal, kelembaban, dan evaporasi (penguapan). Faktor
iklim yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan keragaan kelapa sawit adalah total hari
hujan dan distribusi hujan, radiasi matahari, temperatur, dan angin.
1. Total hari hujan dan distribusi hujan
Kelapa sawit bertranspirasi air 5-6 mm/hari/th. Kebutuhan kelembaban tanah yang
terus-menerus diperlukan untuk kebutuhan fungsi fisiologis jaringan kelapa sawit,
transportasi unsur hara dan asimilasi tanaman. Kelapa sawit dapat beradaptasi terhadap
kekeringan dengan penutupan stomata, keterlambatan pembukaan daun, dan pengurangan
produksi tandan (Ng, 1972). Kekeringan menyebabkan menurunkan rasio bunga betina dan
jantan, menurunkan hasil 19-22 bulan kemudian, berpengaruh terhadap rasio tandan buah,
dan proses pemasakan buah. Curah hujan ideal untuk tanaman kelapa sawit 2000-3500
mm/th dengan distribusi 100 mm/bulan.
Tanaman seringkali menunjukkan indikator yang baik terhadap kekeringan karena
adanya integrasi tanaman dengan tipe tanah dan ketersediaan air di tanah. Gejala kekeringan
pada kelapa sawit antara lain akumulasi daun yang tidak membuka, kekeringan dini pada
daun paling rendah tanaman muda, daun hijau menjadi rusak, kekeringan tandan atau aborsi,
tajuk mati, dan tanaman mati.
8
Keseimbangan air yang dibutuhkan kelapa sawit dapat diukur berdasarkan air tanah
yang terserap, curah hujan, dan potensial evapotranspirasi dengan formula:
B = Res + R – Etp …………………………………………….. (1)
Dimana B adalah keseimbangan periode awal dan akhir, Res adalah air tanah yang
tersedia pada awal periode, R ialah curah hujan selama periode, dan Etp merupakan
evapotranspirasi selama periode. Produksi tinggi diperoleh apabila kekurangan kelembaban
<200 mm atau > 500 mm dengan irigasi.
2. Radiasi matahari
Kelapa sawit membutuhkan panjang hari >5-7 jam/hari setiap bulan. Setelah hujan,
radiasi matahari merupakan faktor iklim kedua yang penting. Penelitian menunjukkan
hubungan antara radiasi matahari dan hasil produksi antara lain:
Radiasi matahari berpengaruh terhadap pertumbuhan, asimilasi bersih, dan
pembentukan bunga betina (Hartley, 1988), Hasil produksi lebih dari 28 bulan berkorelasi
dengan radiasi matahari pada periode 12 bulan sebelumnya (Hartley, 1988), Jumlah ekstraksi
minyak meningkat 18-20 bulan setelah periode panjang hari yang tinggi (Chow and Chang,
1998), Tandan buah, mesokarp, rasio buah, dan jumlah ekstraksi minyak menurun setelah
periode panjang hari yang tinggi (Prabowo dan Foster, 1998), Pembakaran hutan menurunkan
radiasi matahari di Sumatera Utara tahun 1997-1998 dan menyebabkan penurunan hasil 1.3-
4.6 ton tandan buah segar (TBS) per tahun.
3. Temperatur
Kelapa sawit cocok ditanam di daerah tropis (≤38ºC, optimum 22-32ºC) dan sangat
sensitif di temperatur rendah. Temperatur rendah menyebabkan stomata tertutup dan
mengurangi fotosintesis. Henry (1957) menyebutkan pertumbuhan rata-rata tanaman fase
bibit ≤15ºC, namun dapat meningkat menjadi 17-25ºC setelah 3-5 tahun dan temperatur
<18ºC untuk pematangan buah. Produksi meningkat dengan rata-rata temperatur <\27ºC di
Vanuatu dan menurun pada <18-19ºC di Madagaskar untuk 4-5 bulan dalam satu tahun
(Olivin, 1986).
Temperatur menurun 0.6ºC per 100 m ketinggian di atas permukaan air laut (dpl).
Hal ini telah dilaporkan dari Sumatera bahwa tanaman kelapa sawit yang ditanam pada
ketinggian >500 m mengalami cekaman lingkungan pada tahun pertama dan produksi lebih
9
rendah dari tanaman yang ditanam pada dataran rendah (<100 m dpl) (Hartley, 1988). Hal ini
diduga radiasi matahari yang diterima berkurang dengan tingkat ketinggian dan ketebalan
kabut.
4. Angin
Angin yang besar menyebabkan kerusakan pada daun, tumbang, atau akar yang keluar
dari tanah. Di kepulauan Solomon, >25% tanaman kelapa sawit rusak karena besarnya angin,
namun dapat berproduksi kembali setelah 3-4 tahun. Klasifikasi kesesuaian iklim untuk
kelapa sawit (Paramanthan, 2000) adalah sinar matahari >5.5 jam/hari, radiasi matahari >16
MJ/m2, curah hujan per tahun 2000-2500 mm/tahun, curah hujan per bulan >100 mm/bulan,
bulan kering <200 mm/tahun, kelembaban 75-85%, suhu rata-rata 28ºC, dan rata-rata
kecepatan angin 0-10 m/detik.
b. Vegetasi
Vegetasi di sekitar tanaman kelapa sawit harus diuji sebagai bagian dari survei lahan
dan tanah. Vegetasi tersebut dapat digunakan sebagai informasi penting tentang kesuburan
tanah, biaya pembersihan lahan (land-clearing), drainase dan manajemen air, lokasi
penanaman, serta agronomi dan keragaan kelapa sawit di lahan tersebut. Saat ini hutan
primer yang dibuka untuk pengembangan kelapa sawit sangat sedikit dan lahan baru
kebanyakan terbentuk dari hutan sekunder setelah spesies tanaman utama diambil. Sehingga,
pengujian tanaman yang tumbuh diperlukan untuk menduga biaya land-clearing (pembukaan
lahan) dan kondisi drainase.
Alang-alang (Imperata cylindrical), Rhododendron (Melastoma malabathricum), dan
tropical bracken (Dicranopteris linearis) merupakan vegetasi yang mengindikasikan lahan
kering dan miskin unsur hara. Penambahan pupuk posfor (P) dalam jumlah besar (100-200
kg P/ha) diperlukan untuk memperbaiki defisiensi P dan sumber P bagi tanaman penutup
legum (LCP) dan pertumbuhan awal tanaman.
c. Tanah
Kelapa sawit memiliki perakaran yang relatif dangkal, dan perakaran yang aktif
menyerap unsur hara dapat terlihat 30 cm di kedalaman tanah (Gray, 1969). Dibandingkan
dengan tanaman semusim dan kebanyakan tanaman dikotil, sistem perakaran kelapa sawit
tergolong buruk dan tidak efisien (Tinker, 1976). Padahal kebutuhan kelapa sawit akan unsur
10
hara justru sangat besar (Goh dan Hardter, volume ini) dan sangat sulit untuk memperoleh
hasil panen yang ‘ekonomis’ tanpa adanya pupuk tambahan. Kebutuhan unsur hara
bergantung kepada jumlah total penyerapan hara yang diperlukan untuk mencapai target
produksi, kapasitas hara yang sudah tersedia didalam tanah, dan efisiensi hara tambahan
(dalam meningkatkan kesuburan tanah dan pertumbuhan tanaman) (Foster, volume ini).
Setiap tanah memiliki karakteristik tersendiri dan sangatlah penting memilih tanah
yang terbaik untuk lahan budidaya kelapa sawit. Selama lebih dari sepuluh tahun ini, harga
minyak kelapa sawit masih tinggi, bahkan berada pada tren yang terus meningkat secara
stabil (Fry, 1998: Fry, 2000, Hardter and Fairhurst, volume ini). Hal ini mendorong investor
membuka perkebunan pada tanah-tanah marginal dan kondisi klimatik dimana potensi hasil
cenderung rendah namun ongkos pengelolaan yang tinggi. Survei lahan dan tanah yang
menyeluruh akan memberikan dasar bagi perhitungan potensi hasil dan biaya, sehingga
investor dapat melakukan analisis kepekaan terkait efek dari perubahan harga minyak kelapa
sawit yang mungkin terjadi dan input-input yang diberikan kepada perkebunannya.
Langkah yang tak kalah penting adalah mengidentifikasi dan mengimplementasikan
teknik manajemen yang spesifik bagi kondisi lahan tertentu, sehingga masalah-masalah
seputar tanah yang teridentifikasi dapat diatasi. Oleh karena itu, menjadi suatu keharusan
untuk mengidentifikasi detail permasalahan menggunakan set kriteria (Paramanathan, 1987)
(Tabel 2 & 3).
Sebagai tambahan dari faktor-faktor iklim yang telah dipaparkan sebelumnya, ada
empat karakteristik utama lahan/tanah :
1) Topografi dan kemiringan
2) Kelembaban (drainase dan genangan)
3) Sifat fisika tanah (tekstur dan struktur, kedalaman dan volume)
4) Sifat kimia tanah (KTK/Kapasitas Tukar Kation, kelarutan basa, karbon organik, salinitas
dan masalah hara mikro)
Bagian ini dibahas pengaruh sifat fisika dan topografi tanah berdasarkan kebutuhan
tipe-tipe manajemen pengairan dan konservasi tanah dan sifat tanah yang mempengaruhi
kemampuan tanah untuk men-suplai hara dan kebutuhan pupuk mineral.
11
F. Kondisi Tanah Dan Topografi Untuk Kelapa Sawit
Untuk dapat mencapai pertumbuhan yang optimum, kelapa sawit memerlukan
persyaratan tumbuh tanaman, diantaranya adalah lahan berada pada dataran rendah dengan
ketinggian tempat < 400 mdpl., temperatur berkisar antara 20-350 C, dengan temperatur
optimum 25-280 C. Curah hujan berkisar 1.250-4.000mm/tahun, tetapi yang optimum sekitar
1.700-2.500mm/tahun, dengan distribusi merata sepanjang tahun dan bulan kering kurang
dari 2 bulan.
Menurut tipe hujannya (Schmidt and Ferguson, 1951), lahan kering dataran rendah
berada pada berbagai tipe hujan, yaitu A, B, C, D, E dan F. (Puslitbangtanak, 2001) dalam
menyusun Atlas Arahan Tataruang Pertanian Indonesia skala 1 : 1.000.000, menggolongkan
tipe hujan A, Bdan C sebagai wilayah beriklim basah, sedangkan tipe hujan D, E dan F
digolongkan sebagai wilayah beriklim kering. Berdasarkan regim kelembaban tanahnya,
wilayah beriklim basah termasuk Udik atau Perudik, sedangkan wilayah beriklim kering
termasuk Ustik atau peralihan ustik-aridik (Soil survey staff, 1999).iklim basah umumnya
curah hujan tinggi (>1.500mm/thn) dengan masa hujan relatif panjang, sedangkan iklim
kering mempunyai curah hujan relatif rendah (1.500mm/thn) dengan masa curah hujan yang
pendek 3-5 bulan (Irianto et al., 1998)
Persyaratan tanah untuk pertumbuhan kelapa sawit secara optimal sangat ditentukan
oleh kedalaman efektif tanah (solum tanah >75 cm) dan berdrainase baik. Kelapa sawit dapat
tumbuh pada lahan dengan tingkat kesuburan tanah yang bervariasi mulai dari lahan yang
subur sampai lahan-lahan marginal. Hal ini dicirikan bahwa kelapa sawit dapat tumbuh pada
lahan dengan pH masam sampai netral (>4,2-7,0). Dan yang optimum pada pH 5,0-6,5.
Kapasitas Tukar Kation, Kejenuhan Basa tidak menjadi pembatas utama. Media perakaran
yang optimal adalah lahan yang mempunyai tekstur halus (liat berpasir, liat, liat berdebu),
agak halus (lempung berliat, lempung liat berpasir, lempung liat berdebu) dan sedang
(lempung berpasir sangat halus, lempung, lempung berdebu, debu) serta mempunyai
kandungan bahan kasar tidak lebih dari 55% (Djaenudin et al., 2000).
Kelapa sawit dapat tumbuh baik pada berbagai ordo tanah seperti Ultisol, Oxisols,
Inceptisols, Alfisols, Mollisols bahkan pada tanah gambut (Histosols), asalkan persyaratan
tumbuh lainnya seperti tersebut diatas terpenuhi.
12
G. Peluang Pengembangan Kelapa Sawit Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma
Kecamatan Ulu Talo, Kabupaten Seluma berdasarkan luas lahan yang akan
dikembangkan yaitu sekitar 1200 Ha yang menyebar ditiga desa antara lain desa Simpur
ijang, desa Air Keruh dan desa Muara Nibung. Identifikasi kelas kesesuaian lahan dibedakan
menjadi 3 kelompok wilayah yakni Intensifikasi, Ekstensifikasi dan Diversifikasi. Sebaran
kelompok wilayah kesesuaian lahan tersebut pada masing-masing desa di kecamatan Ulu
talo, Kabupaten Seluma disajikan pada Tabel.1. dari total luas lahan mineral tersebut,
pengembangan lahan mineral yang dapat dimanfaatkan untuk kelapa sawit seluas ± 620 Ha
atau 51 % dari luas total Kecamatan Ulu Talo.
Tabel 1. Luas lahan yang sesuai untuk intensifikasi, ekstensifikasi, dan diversifikasi tanaman
kelapa sawit kecamatan Ulu talo.
Desa Intensifikasi Ekstensifikasi Diversifikasi Jumlah
( I ) ( E ) ( D ) Ha %
Simpur Ijang 150 300 150 600 50
Air Keruh 50 185 115 350 30
Muara Nibung 30 135 85 250 20
Jumlah 230 620 350 1200 100
Dari tabel diatas luas lahan areal intensifikasi seluas 230 Ha menujukkan bahwa lahan
tersebut saat ini digunakan untuk kelapa sawit. Ekstensifikasi 620 Ha lahan yang belum
dimanfaatkan (semak belukar, alang-alang, hutan konversi) sehingga dapat dicadangkan
untuk pembukaan lahan baru, dan lahan diversifikasi 350 Ha yakni lahan yang sesuai tetapi
lahan tersebut telah digunakan untuk pengembangan komoditas lain. Hal ini dapat
memberikan informasi bagi kemungkinan pengembangan komoditas tertentu sebagai
alternatif, apabila kesesuaian lahan untuk tanaman alternatif tersebut jauh lebih baik (Mulyani
et al., 2000).
13
Kelas Kesesuaian Lahan mineral aktual untuk tanaman kelapa sawit
Berdasarkan hasil overlay pada layer peta kelas kesesuaian lahan untuk tanaman
kelapa sawit. Secara garis besar faktor pembatas lahan mineral potensial untuk
pengembangan kelapa sawit disajikan pada tabel berikut.
Kelas kesesuaian lahan mineral untuk tanaman kelapa sawit
Kelas
Lahan
Faktor Pembatas Luas
Ha %
S2 Cukup Sesuai 475 39,58
S3 nr, w, l Sesuai Marginal
(Kesuburan tanah rendah, Kemiringan lereng
berbukit, dan Ketinggian tempat).
600 50
N Tidak Sesuai 125 10,42
Jumlah 120
0
100
Peta kelas kesesuaian lahan actual untuk tanaman kelapa sawit Kecamatan Ulu Talo Kabupaten Seluma
14
Kelas lahan cukup sesuai (S2)
Kecamatan Ulu talo secara umum memiliki lahan yang potensial untuk
pengembangan kelapa sawit seluas ±475 Ha atau 39,58% dari luas total Kecamatan Ulu Talo.
Kelas lahan S2 tersebar didesa Air keruh seluas ± 180Ha dan Muara Nibung ± 295 Ha.
Faktor pembatas yang memiliki kemungkinan untuk menghambat produktivitas
tanaman kelapa sawit secara garis besar dibatasi oleh kelas draenase sedang. Draenase
merupakan keadaan tata air dalam tubuh profil tanah yang merupakan resultan atau akhir dari
gerakan air yang turun ke bawah (air perkolasi) dan air aliran permukaan (run off).
Kedalaman muka air tanah ikut mempengaruhi basah atau keringnya tubuh tanah (Singh,
1983).
Kelas lahan sesuai bersayarat (S3)
Kelas lahan S3 tersebar didesa Simpur ijang seluas ± 600Ha. Faktor pembatas yang
memiliki kemungkinan untuk menghambat produktivitas tanaman kelapa sawit secara garis
besar yakni :
A. Kesuburan tanah rendah (nr)
Kesuburan tanah dalam hal ini yang dimaksudkan adalah kesuburan alami tanah yang
ditentukan oleh sifat-sifat fisik kimia dan biologis tanah. Akan tetapi sifat fisik disini sudah
masuk kedalam kriteria cukup sesuai, hanya saja untuk sifat kimia dan sifat biologi tanah
masih rendah.
Sifat-sifat kimia tanah mencakup cadangan potensi/jumlah total dan tersedianya
unsur-unsur hara tanaman. Potensi hara tanaman ini biasanya dikaitkan dengan kandungan
N,P, dan K total. Status tersedianya hara tanaman lebih berkaitan dengan ketersediaan P dan
pH, kejenuhan basa dan total basa-basa serta daya/kapasitas tanah untuk menahan basa-basa.
Selain sifat-sifat kimia yang disebutkan diatas, keadaan beberapa unsur mikro dan unsur-
unsur yang bersifat racun seperti aluminium bila terdapat dalam konsentrasi yang tinggi
dalam larutan tanah perlu mendapat perhatian.
Pada lahan mineral Kecamatan Ulu Talo, diketahui dari analisis sampel tanah C
berkisar 1,33%, N berkisar 0,09%, P berkisar 0,83ppm, dan K berkisar 0,20me/100g
termasuk kriteria rendah sampai sangat rendah.
Reaksi (pH) tanah masam
15
Reaksi tanah (pH) adalah parameter yang dikendalikan oleh sifat-sifat elektrokimia
koloid-koloid tanah. Istilah ini menunjukkan kemasaman dan kebasaan tanah yang
derajadnya ditentukan kadar ion hidrogen didalam tanah. Tingkat kemasaman tanah
mempengaruhi ketersediaan unsur hara yang dapat diserap oleh perakaran tanaman dimana
setiap unsur hara didalam tanah ketersediaannya secara maksimal dijumpai pada kisaran
tertentu (Hakim, dkk, 1986).
Secara teoritis pH yang terbaik untuk pertumbuhan tanaman antara 6,0-7,0, karena
pada kisaran pH tersebut ketersediaan unsur-unsur hara tanaman terdapat dalam jumlah besar,
karena pada kisaran pH ini kebanyakan unsur hara mudah larut didalam air sehingga mudah
diserap akar tanaman. Demikian pula mikroorganisme tanah akan menunjukkan aktivitas
terbesar pada kisaran pH ini (Hakim, dkk, 1986).
Pada lahan mineral kecamatan Ulu Talo mempunyai nilai pH tergolong masam
dengan kisaran 4,1-4,8, ini masih kurang memenuhi syarat tumbuh tanaman kelapa sawit.
Untuk menghasilkan produksi yang optimal diperlukan usaha peningkatan pH tanah. Dapat
dilakukan dengan penambahan pupuk organik maupun pupuk kimia.
B. Kemiringan Lereng (w) dan ketinggian tempat ( l )
Pada lahan mineral kecamatan Ulu Talo diketahui kemiringan lereng berkisar 15-
30% kriteria berbukit, hal ini masih kurang memenuhi syarat pertumbuhan tanaman kelapa
sawit karena kemiringan lereng > 15 % dapat menyebabkan terjadinya erosi yang cukup
intensif. Tanah-tanah yang tererosi akan mengalami degradasi yang ditandai dengan
berkurangnya kualitas fisik, kimia dan biologi tanah (Hermawan and Bomke, 1997).
Adapun upaya konservasi tanah dan air untuk mencegah erosi akibat kemiringan
lereng > 15% yaitu secara metode vegetatif dan metode mekanik. Metode vegetatif adalah
penggunaan tanaman atau sisa-sisa tanaman untuk mengurangi daya tumbuh butir hujan yang
jatuh, mengurangi jumlah dan kecepatan aliran permukaan (run off) yang pada akhirnya
mengurangi erosi tanah. Dan metode mekanik adalah semua perlakuan fisik mekanik yang
diberikan terhadap tanah dan pembuatan bangunan untuk mengurangi aliran permukaan dan
erosi, dan meningkatkan kemampuan penggunaan tanah. Dengan cara pengolahan tanah,
guludan, teras, waduk dan perbaikan draenase (Arsyad, 2006).
16
Kelas Lahan tidak sesuai (N)
Kelas lahan tidak sesuai untuk tanaman kelapa sawit dikecamatan Ulu Talo memiliki
luas ± 125 Ha.
1. Ketinggian tempat
Umumnya untuk Kecamatan Ulu Talo khususnya desa simpur ijang memiliki
ketinggian tempat > 400. Dalam kaitannya dengan tanaman kelapa sawit erat kaitannya
dengan tempratur dan radiasi matahari. Semakin tinggi tempat diatas permukaan laut, maka
tempratur semakin menurun. Demikian pula dengan radiasi matahari cenderung menurun
dengan semakin tinggi dari permukaan laut. Ketinggian tempat dapat dikelaskan sesuai
kebutuhan tanaman. Seperti kelapa sawit lebih sesuai didaerah dataran rendah (<400 mdpl)
(Sys, dkk. 1993)
2. Kemiringan lereng
Kelapa sawit sebaiknya ditanam dilahan yang memiliki kemiringan lereng < 30%,
lahan yang kemiringan lereng >30% masih bisa ditanami sawit, namun dengan kemiringan
lereng yang tinggi akan menyebabkan terjadinya aliran permukaan yang besar. Untuk itu
perlu dilakukan pembuatan terasering. Akibatnya biaya produksi akan meningkat. Jika tidak
dilakukan terasering maka akan menyulitkan dalam pengangkutan buah saat panen dan
beresiko terjadinya erosi (Setyamidjaja, 1992).
17
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Produktivitas tanaman bergantung pada proses fotosintesis untuk pertumbuhan
vegetatif dan generatif. Pertumbuhan tanaman dipengaruhi faktor lingkungan mikro dan tipe
tanah. Faktor lingkungan radiasi cahaya berpengaruh terhadap kelembaban kanopi dan
temperatur berpengaruh terhadap aktivitas fotosintesis. Kombinasi faktor-faktor tersebut
apabila diukur dengan bahan tanan dapat diketahui potensial produksi yang spesifik.
Potensial produksi menjadi terbatas karena kondisi iklim, termasuk manajemen air, nutrisi,
gulma, dan penyakit. Sehingga, survei lahan dan tanah merupakan tahap awal menyeleksi
lahan untuk pengembangan kelapa sawit.
Aspek-aspek yang diperhatikan pada saat melakukan survei lahan adalah 1)
kesesuaian tempat/ lahan untuk pengembangan kelapa sawit, seperti tipe tanah, kapabilitas
kesuburan tanah, curah hujan, dan radiasi cahaya; 2) ketidaksesuaian lahan untuk budidaya
kelapa sawit; 3) potensial produksi untuk tempat tertentu; 4) biaya pengembangan (drainase,
perbaikan tanah); dan 5) biaya perawatan (pemupukan, potensi untuk mekanisasi lahan).
Survei tanah menghasilkan informasi dasar tentang pemetaan lahan, termasuk
karakteristik, level atau tipe tanah, dan lokasi lahan. Informasi lain yang diperlukan sebelum
menanam kelapa sawit adalah hasil produksi, status nutrisi daun dan tanah, pupuk yang
digunakan sebelumnya, dan kejadian hama penyakit). Walaupun survei tanah menunjukkan
prediksi performa dari lahan tersebut, tetapi sebaiknya tidak menjadi acuan seluruhnya untuk
lahan yang akan digunakan. Diperhatikan juga aspek sosial ekonomi, akses pemasaran, dan
penjelasan dari pemilik lahan. Teknik manajemen yang baik dapat meningkatkan hasil
produksi di semua lahan, namun produksi optimal diperoleh dari adaptasi teknik manajemen
pada lahan tertentu berdasarkan pada kondisi agroekologi pada tiap lokasi.
18
DAFTAR PUSTAKA
19