bab i makalah politik.docx

22
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan politik Indonesia terbentuk dengan lahirnya negara-bangsa (nation-state) Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut, baru merupakan titik awal dari perjuangan yang sebenaranya untuk mewujudkan Negara-bangsa Indonesia yang merdeka baik secara de jure maupun de fakto. Perjuangan tersebut dapat berhasil secara sempurna porsesnya sejak akhir tahun 1949 (27 Desember, sebagai tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia), hingga integrasi NKRI pada pertengahan tahun 1950 (Suwarno 2012:55). Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan (Maf’ul 2010:77). Dalam perkembangan politik masa orde lama yang identik dengan kepemimpinan Soekarno, telah memberikan ruang luas bagi partai politik untuk 1

Upload: kasman-renyaan

Post on 06-Nov-2015

49 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUANA. Latar BelakangPerkembangan politik Indonesia terbentuk dengan lahirnya negara-bangsa (nation-state) Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Meskipun peristiwa proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 tersebut, baru merupakan titik awal dari perjuangan yang sebenaranya untuk mewujudkan Negara-bangsa Indonesia yang merdeka baik secara de jure maupun de fakto. Perjuangan tersebut dapat berhasil secara sempurna porsesnya sejak akhir tahun 1949 (27 Desember, sebagai tanggal penyerahan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia), hingga integrasi NKRI pada pertengahan tahun 1950 (Suwarno 2012:55).Dalam perjalanan sejarahnya, bangsa Indonesia mengalami berbagai perubahan asas, paham, ideologi dan doktrin dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, melalui berbagai hambatan dan ancaman yang membahayakan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan serta mengisi kemerdekaan (Maful 2010:77). Dalam perkembangan politik masa orde lama yang identik dengan kepemimpinan Soekarno, telah memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan politiknya. Ini ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya Partai Politik di Indonesia. Pemilu sebagai cirri dari negara demokratis, diera Soekarno diselengarakan dengan baik. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan sistem kepartaian yang bebas menyebabkan gerakan perkembangan politik Indonesia menjadi lambat. Demokrasi Parlamenter yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan luas. Sebab, dimasa ini Presiden menjadi pimpinan negara yang absolut, dengan Soekarno menobatkan dirinya sebagai presiden semur hidup dengan doktrin demokrasi terpimpin (http://www.anneahira.com/perkembangan-politik.htm).B. Fokus PermasalahanYang menjadi fokus permasalahan dalam makalah ini yaitu perkembangan politik indonesia masa Orde Lama.C. Tujuan PenulisanMakalah ini bertujuan yaitu sebagai berikut:1. Untuk menetahui bagaimana perkembangan politik di Indonesia masa Orde Lama2. Untuk mengetahui kebijakan presiden Soekarno menerapkan konsep demokrasi liberal atau parlementer3. Untuk mengetahui kebijakan politik presiden Soekarno terkait demokrasi terpimpin.D. Manfaat PenulisanMakalah ini diharapkan dapat bermanfaat baik yaitu sebagai berikut:1. Makalah ini diharapkan dapat menambah khasana keilmuan baik bagi penulis makalah maupun peminat politik.2. Makalah ini diharapkan dapat memberikan sumbangsi pemikiran bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam politik Indonesia Masa Orde Lama

BAB IIPEMBAHASANA. Perkembangan Politik Masa Orde Lama (1945-1950)Ada tiga pandangan yang berbeda tentang perkembangan politik masa Orde Lama, yaitu masa personal kekuasaan Soekarno. Pandangan pertama di kemukakan oleh Mahfud MD, menurutnya, masa ini bermula ketika Sokerno mengumumkan dengkrit persidenya, pada tanggal 5 Juli 1959 yang memerintahkan (1) pembubaran konstituante; (2) berlakunya kembali UU 1945; (3) tidak berlakuknya lagi UUD Sementara tahun 1950; (4) dibentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dan Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Selanjutnya, Orde Lama tamat ketika Soeharto mengambil alih kekuasaan kepresidenan dari tangan Soekarno pada tahun 1966 (Indrayana 2007:137).Pendangan kedua, dikemukakan Wiliam Liddle, Orde Lama berawal pada tahun 1950 dan berakhir di tahun 1965. Rentang waktu sepanjang lima belas tahun ini dibagi menjadi satu periode Demokrasi Parlementer (1950-1957), dan satu periode Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Tapi Liddle sepakat dengan Mahfud, bahwa periode akhir Orde Lama menjadi rezim yang otoriter. Liddle merujuk pada Lev, berpendapat bahwa Demokrasi Terpimpin efektif dimulai pada tahun 1957 dan berakhir pada tahun 1965. Menurut Lev sendiri, 1957 adalah tahun terbentuknya Demokrasi Terpimpin. Ketika Soekarno menyatakan berlakukanya keadaan darurat dengan kedaan perang dan siaga yang menetapkan seluruh wilayah Indonesia sedang berperang dan dalam keadaan darurat, sehingga militerlah yang memegang perioritas utama. Pernyataan Keadaan darutar perang ini menandai tamatnya demokrasi liberal (Indrayana 2007: 138).Pandangan ketiga, dikemukakan oleh Lindsey, bahwa Orde Lama berawal pada tahun 1945 dan berakhir di tahun 1966. Rentang waktu ini mencangkup tiga kepersidenan Soekarno. Lindsey memandang bahwa periode pertama Orde Lam (1945-1950) adalah masa perang kemerdekaan Indonesia melawan Belanda. Kemudian Indonesia mengalami Demokrasi Parlementer (1950-1957), dan periode pemerintahan persidensial dari tahun 1957 hingga 1956. Lidsey juga sepakat bahwa pada rentang waktu terakhir itulah Soekarno menjelma menjadi pengendali sistem hukum Indonesia dan membagun rezim Otoriter. Senda dengan Lindesy, Adnan Buyung Nasution, berpendapat bahwa konsep Soekarno tentang Demokrasi Terpimpin adalah sebuah rumusan baru yang berisi bentuk pemerintahan yang lebih otoriter. Michaer J. Vatikiotis, juga berpendapat bahwa dengan menerapkan Demokrasi Terpimpin, Soekarno membungkus dirinya dalam perangkap-perangkap kekuasaan. (Indrayana 2007: 138).Antara Mahfud, Liddle, dan Lindsey berbeda pendapat dalam hal kapan tepatnya periode Orde Lama bermula, mereka sepakat bahwa sebagian besar masa jabatan kepresidenan Soekarno pada tahun 1950-an adalah satu konfigurasi yang lebih Demokratis. Mereka juga sepakat bahwa selam periode setelah itu, ketika Soekarno memperlakukan lagi UUD 1945 dan menjalangkan apa yang disebutnya Demokrasi Terpimpin, pemerintahannya lebih otoriter ketimbang pperiode-periode lain sepanjang masa kekuasaannya. Masa Jabatan Soekarno sebagi presiden berawal pada tanggal 18 Agustus 1945 dan resmi dicabut dengan sebuah ketetapan (Tap) MPRS pada tahun 1967. Masa jabatan ini dibagi menjadi empat periode, yang masing-masing ditandai dengan pergantian konstitusi. Dari tahun 1945 hingga 1949, berdasarkan UUD 1945. Dari tahun 1950 hingga 1959, berdasarkan konstitusi RIS 1949. Dari tahun 1950 hingga 1959, berdasarkan UUD Sementara 1950. Dan sejak tahun 1959 sampai 1966, kembali mengunakan UUD 1945 (Sunarso, 2012).Konfigurasi politik pada masa Orde Lama, membawa bangsa Indonesia berada dalam suatu rezim pemerintahan yang otoriter dengan berbagai produk-produk hukum yang konservatif dan pergeseran struktur pemerintahan yang lebih sentralistik melalui ketatnya pengawasan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Pada masa ini pula politik kepartaian sangat mendominasi konfigurasi politik yang terlihat melalui revolusi fisik serta sistem yang otoriter sebagai esensi feodalisme. Konfigurasi Politik kata Mahfud, mengandung arti sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. B. Demokrasi Palamenter (1950-1959)Secara defakto dan de jure, sistem demokrasi Indonesia pada periode ini menganut sitem demokrasi liberal atau demikrasi perlamenter, dengan cirri untamanya kebebasan politik, sosial, ekonomi yang luas; keterbukaan dalam proses politik; kebebasan pers dan media massa, serta penghargaan yang terbesar terhadap HAM (Suwarno 2012:60). Sistem Parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam hal ini parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan semacam mosi tidak percaya (http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_parlementer).Dalam pengamatan Feith dan Lance Castles (1988:41), hingga 1955, parlemen meskipun merupakan badan yang diangkat, namun merupakan lembaga yang kuat. Manakala Kabinet tidak lagi menguasai mayooritas di parlamen, maka kabinet pun jatuh. Jadi yang kuat pada saat itu adalah partai, dan angkatan bersenjata. Dalam masa demokrasi parlamenter ini pula, berlakunya Konstitusi RIS dan UUDS 1950, partai-partai politik tetap berperan sebagai kekuatan politik yang amat berpengaruh. Parlemen yang pengisi ananggotanya masih dilakukan melalui pengangkatan tidak lepas dari pengaruh partai politik. Kabinet-kabinet yang terbentuk tidak dapat menguasai mayoritas parlemen. Disisi lain, kekuasaan Presiden dan Angkatan Bersenjata semakin berkurang. Pada saat itu pula mulai muncul keinginan tokoh militer untuk berperan dalam politik. Itu disebabkan oleh semakin menurunnya kepercayaan militer terhadap partai politik dalam menjalankan roda pemerintahan (Feith & Lance Castle 1998: 41).Kelemahan utama dalam praktek sistem demokrasi parlamenter di Indonesia pada 1950-an itu ialah sulitnya elit para elit politik mengalang koalisi yang kokoh diantara partai-partai yang berbeda aliran partai politik, praktek politik dagang sapi yang hanya menguntungkan segelintir elit politik, persaingan elit politik di parlamen yang mengarah pada mosi tidak percaya untuk menjatuhkan kabinet yang berkuasa, kendala komunikasi antara pusat dan daerah dalam sebuah wilayah kepulauan yang luas dengan sarana transportasi yang belum memadai. Akibat yang timbul dari keadaan semacam ini ialah terjadinya instabilitas politik, sosial, dan ekonomi, serta munculnya pergolakan-pergolakan di daerah-daerah, misalnya gerakan DI/TII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Daud Beureu di Acah, dan Kahar Muzakar di Silawesi Selatan; setra PRRI di Sumatra Barat dan Premesta di Sulawesi Utara (Feith, 1988: xiix).Dalam konteks praktek politik dagang sapi hal ini berkaitan dengan koalisi dari dua atau lebih partai untuk membentuk kabinet (pemerintahan), dimana masing-masing partai berada dalam keadaan memberikan penawaran (bergening position) untuk menempatkan orang-orang (SDM)-nya guna mengisi pos-pos kementrian tertentu. Dengan demikian, praktek politik dagang sapi lebih berorintasi pada kekuatan dan kepentingan sebuah partai politik, ketimbang kepentingan rakyat (Gazzali, dkk, 1998:12-13).Dalam masa Demokrasi Liberal ini dilaksanakan pemilihan umum pertama pada tanggal 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember 1955 untuk memilih anggota Konstituante. Pemilihan umum 1955 dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Rancangan Undang-Undang tersebut diserahkan kepada DPR pada 25 Nopember 1952 dan disahkan pada 4 April 1953. Peraturan yang dijadikan sebagai landasan pemilu itu di susun pada masa pemerintahan perdana menteri Wilopo dari PNI (30 Maret 1995-2 Juli 1953). Tetapi, barulah pada masa Pemerintahan Perdana Menteri Burhanuddin Haharap dari Masyumi (29 Juli 1955-2 Maret 1956), dilaksanakannya pemilu (Suwarno 2012:97).Peserta pemilihan umum 1955 tidak terbatas pada organisasi partai politik tetapi juga, organisasi lain dan calon perseorangan. Namun demikian, walaupun suatu organisasi menyatakan diri bukan sebagai partai politik, jika mengikuti pemilihan umum berarti telah bergerak dilapangan politik. Dengan demikian dapat disebut sebagai partai politik. Partai politik pada masa demokrasi liberal adalah untuk memudahkan penyusunan kekuatan dan perundingan guna membentuk pemerintahan melalui pemilihan umum. Namun dalam kenyataannya, karena tidak ada partai politik yang mempunyai suara mayoritas, penyusunan kabinet tidak dapat dilakukan dengan mudah.Pemilu 1955 diikuti lebih dari 118 peserta untuk pemilu DPR dan 91 peserta untuk pemilu Konstituante, yang terdiri dari partai politik dan organisasi kemasyarakatan serta calon perorangan. Jumlah kursi DPR yang diperebutkan sebanyak 260. Sedangkan jumlah kursi Dewan Konstituante sebanyak 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah. Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai politik yang memperoleh kursi di DPR.Banyak pengamat politik yang berpendapat bahwa pemilu 1955 telah berlangsung secara demokratis dengan memenuhi prinsip luber (Langsung Bebas Umum dan Rahasia) dan JURDIL (Jujur dan Adil, setidaknya jika dibandingkan dengan pemilu-pemilu era Orde Baru yang semu dan kurang demokratis karenya hasilnya telah dapat diketahui sebelumnya. Menurut Feith (1999: ix) salah satu bukti bahwa pemilu 1955 berlangsung demokratis adalah bahwa pemerintah yang menyiapkan dan menyelengarakan pemilu tersebut berhasil menegangkan kopotensi antarpartai yang bebas sekali, meskipun konflik antarpartai sering berlangsung sengit, terutama antara kubu PNI dan Masyumi. Hal ini karena pemilahan politik aliran (ideologi) telah memicu timbulnya fragmenasi politik, seperti tampak pada perdebatan dua kubu di Dewan Konstituante (antara kubu Nasionalis Islam) yang di motori oleh partai-partai Islam, semisal Masyumi dan NU, dengan kubu Nasionalis Sekuler yang dipimpin oleh partai-partai abangan semisal PNI dan PKI). Kubu Nasionalis Islam menginginkan beberapa rumusan dari Piagam Jakarta dimasukuan ke dalam konstitusi negara RI, sementara kubu Nasionalis Sekuler menolaknnya. Ketegangan kedua kubu yang mengarah pada proses jalan buntu (deadlock) di Dewan Konstituante inilah yang memicu presiden Soekarno mengeluarkan Dengrit Presiden 5 Juli 1995, yang menandai dimulainya era Demokrasi Terpimpin (Suwarno 2012:100-101).Beberapa kejadian politik yang cukup penting pasca pemilu 1955 adalah pecahnya duet Soekarno-Muhammad Hatta, dua tokoh dwi tunggal RI. Pada Desember 1956, Bung Hatta mengundurkan diri dari jabatan wakil presiden RI karena memberikan kesempatan kepada Bung Karno untuk merealisasikan konsepnya, yang dikenal dari Nasakom. Latar belakang yang sebenarnya dari pengunduran diri Bung Hatta adalah karena Bung Hatta merasa sudah tidak cocok lagi dengan Bung Karno, dalam persoalan politik dan ideologi (Gazali, dkk., 1989:71; bdk. Lubis 1988:25-26).

C. Demokrasi Terpimpin (1959-1966)Latar belakang dicetuskannya sistem demokrasi terpimpin oleh Presiden Soekarno:1. Dari segi keamanan nasional: Banyaknya gerakan separatis pada masa demokrasi liberal, menyebabkan ketidakstabilan negara.2. Dari segi perekonomian : Sering terjadinya pergantian kabinet pada masa demokrasi liberal menyebabkan program-program yang dirancang oleh kabinet tidak dapat dijalankan secara utuh, sehingga pembangunan ekonomi tersendat.3. Dari segi politik: Konstituante gagal dalam menyusun UUD baru untuk menggantikan UUDS 1950.Masa Demokrasi Terpimpin yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno diawali oleh anjuran Soekarno agar Undang-Undang yang digunakan untuk menggantikan UUDS 1950 adalah UUD 1945. Namun usulan itu menimbulkan pro dan kontra di kalangan anggota konstituante. Sebagai tindak lanjut usulannya, diadakan pemungutan suara yang diikuti oleh seluruh anggota konstituante . Pemungutan suara ini dilakukan dalam rangka mengatasi konflik yang timbul dari pro kontra akan usulan Presiden Soekarno tersebut. Hasil pemungutan suara menunjukan bahwa:a. 269 orang setuju untuk kembali ke UUD 1945b. 119 orang tidak setuju untuk kembali ke UUD 1945Melihat dari hasil voting, usulan untuk kembali ke UUD 1945 tidak dapat direalisasikan. Hal ini disebabkan oleh jumlah anggota konstituante yang menyetujui usulan tersebut tidak mencapai 2/3 bagian, seperti yang telah ditetapkan pada pasal 137 UUDS 1950. Bertolak dari hal tersebut, Presiden Soekarno mengeluarkan sebuah dekrit yang disebut Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Isi Dekrit Presiden 5 Juli 1959:1. Tidak berlaku kembali UUDS 19502. Berlakunya kembali UUD 19453. Dibubarkannya konstituante4. Pembentukan MPRS dan DPAS.Dengan dilelurkanya Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Persiden Soekarno mengambil kebikanan pemberlakukan kembali UUD Negara RI. Sistem politik yang berlaku pada waktu itu adalah Demokrasi Terpimpin. Demokrasi terpimpin digambarkan sebagai sebagai sebuah sitem demokrasi murni yang berdasarkan pada suatu ideology Negara Pancasila, terutama sila keempat (kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan), yang disepakati secara mufakat untuk golongan progresif dan revolusioner. Dalam prakteknya kemudian, istilah terpimpin tidak lagi mengacu padaa ideology tetapi pada wujud yang berupa pribadi pemimpin (Gazali, dkk. 1989:99-100). Dalam hal ini adalah Seokarno selaku presiden RI, pimpinan besar revolusi dan Penyambung Lidah Rakyat.Periode Demokrasi terpimpin ditandai oleh beberapa ciri yang menonjol sebagai bentuk, pertama, kekuasaan presiden Soekarno makin besar, tidak hanya dalam bidang esekutif (pemerintah), tetapi juga dalam bidang legeslatif (Dewan Perwakilan Rakyat) dan Yudikatif (badan peradilan). Beberapa Indikasi kearah hal ini dapat disebutkan, antar lain; (1) pada tanggal 20 Maret 1960 Presiden Soekarno membubarkan Parlamen (DPRS) dan mengantinya dengan DPRGR, yang anggotanya dipilih dan ditunjuk oleh Presiden Sokarno sendiri. Alasanya karena presiden berani menolak RAPBN yang diajukan oleh pemerintah; (2) lewat Penetapan Presiden No.1/1960, manifesto politik dari Presiden Sokarno ditetapkan menjadi Haluan Negara (GBHN), yang kemudian ditambah dengan USDEK (UUD 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kebadian Indonesia); (3), pembubaran partai Masyumi pada 1860; serta ide sokarno untuk membangun semua partai-partai politik dalam satu gabungan besar dibawah pimpinannya. Menurut Soekarno, Partai Murba, PNI dan PKI, dan NU berdiri pada landasan yang sama, yakni nasionalisme. Sebuah gagasan yang sangat aneh karena landasan PKI berupa ideologi Marxisme-Leninisme ersifat nasional dan bertentangan dengan nasionalisme (Lubis, 1988:65).Kedua, kedudukan kaum komunis (PKI) menjadi semakin kuat. Hal ini tejadi karena kepemimpinan PKI waktu itu (Aidit, Lukman dan Nyoto) berhasil merangkul Presiden Soekarno agar bersimpati dengan PKI.Sejarah demokrasi terpimpin sebagian besar merupakan sejarah pergeseran perimbangan kekuatan tiga kaki, yaitu Presiden Soekarno sendiri, Tentara (TNI AD), dan PKI. PKI dapat bertahan dalam pangung politik Nasional hal itu berkat perlindungan Presiden Soekarno.Ketiga, Unsur militer (tentara) mulai masuk dalam pemerintahan. Hal ini ditandai dengan semakin banyaknya tokoh-tokoh atau perwira militer yang diangkat untuk duduk dalam GPRGR. Cabinet dan jabatan-jabatan penting dalam BUMN dan depertemen-depertemen pemerintah.Keempat, kekuatan umat Islam, khususnya kalangan islam modernis, semakin dipingirkan. Pembubaran Masyumi melalui Surat Keputusan Presiden No. 200/th.1960, tertanggal 17 Agustus 1960 adalah atas bujuk rayu PKI (atau tekanan TNI AD?) yang berhasil mempengaruhi presiden Soekarno dengan alas an Masyumi menolak konsepsi Presiden (Nasakom) dan beberapa tokohnya dituduh terlibat dalam pemberontakan PRRI dan Premesta.Kelima, Merosotnya perekonomian negara. Kondidi ini barangkali disebabkan oleh kebijakan ekonomi Presiden Soekarno. Politik Mercusuar Presiden Soekarno, Masjid Itqlal, Stadion Senayan, Jembatan Semangi telah menyedot dana yang besar sehingga mengakibatkan kemerosotan ekonomi. Kendatipun Politik mercusuar tersebut dapat dipahami sebagai bagaian dalam konteks Perang Dingin (The Cold Ward), antara kubu kapitalis Amerika Serikat (AS) dan Uni Soviet (US), dimana presiden Sokarno mengambil prakarsa di pihak Non Blonk tidak memihak satu kubu tersebut (Suwarno 2012:64-68).

BAB IIIPENUTUPA. Kesimpulan Orde Lama dalam sejarah politik Indonesia merujuk kepada masa pemerintahan Soekarno (1945-1965). Istilah ini tentu saja tidak digunakan pada saat itu, dan baru dicetuskan pada masa pemerintahan Soeharto yang disebut juga dengan Orde Baru.Dalam perkembangan politik masa orde lama yang identik dengan kepemimpinan Soekarno, telah memberikan ruang luas bagi partai politik untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan politiknya. Ini ditandai dengan tumbuh dan berkembangnya Partai Politik di Indonesia. Pemilu sebagai cirri dari negara demokratis, diera Soekarno diselengarakan dengan baik. Namun hal itu tidak berlangsung lama. Era kepemimpinan kemudian ditandai dengan sistem kepartaian yang bebas menyebabkan gerakan perkembangan politik Indonesia menjadi lambat. Demokrasi Parlamenter yang memegang peranan penting dalam pemerintahan tidak lagi dipandang sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan luas. Sebab, dimasa ini Presiden menjadi pimpinan negara yang absolut, dengan Soekarno menobatkan dirinya sebagai presiden semur hidup dengan doktrin demokrasi terpimpin.B. SaranPemerintah Negeri ini sudah seharusnya belajar dari sejarah bangsa Indonesia, sehingga dalam mengambil kebijakan politik harusnya mengutamakan kepentingan umum, diatas kepentingan partai politik, golongan, atau kelompok tertentu. Agar kesejateraan rakyat dapat terwujud sesuai cita-cita bangsa Indonesia.

Daftar PustakaAnneahira. Perkembangan Politik Indonesia. (Online) http://www.anneahira.com/perkembangan-politik.htm, diakses pada tanggal 19 Mei 2015.Maful, M. Arsyad. 2010. Partai Politik Pada Masa Orde Baru dan Orde Lama Supremasi, Jurnal Volume V Nomor 2, Oktober 2010, ISSN 1412-517X. Makassar : Universitas Negeri Makassar.Gazzali, Zulfikar, Anhar Gongong dan JR. Caniago. 1989. Sejarah Politik Indonesia. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Sejarah dan Nilai-Nilai Tradisional Proyek Infetarisasi dan Dokumen Sejarah NasionalIndrayana, Dedy. 2007. Amandemen UUD 1945: Antara Mitos dan Pembongkaran. Bandung: Penerbit Mizan.Lubis, Mochtar. 1988. Hati Nurani Melawan Kezaliman Surat-Surat Bung Hatta Kepada Presiden Soekarno (1957-1965). Jakarta: Sinar Harapan.Sunarso, 2012. Perkembangan Politik Pendidikan di Indonesia (Kajian Era Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi). Laporan Penelitian, Jogjakarta: Universitas Negeri Jogjakarta.Suwarno, 2012. Sejarah Politik Indonesia Modern. Jogjakarta: Penerbit Ombak.Feith, Herbert & Lance Castle (eds.), 1988 Pemikiran Politik Indonesia 19451965. Jakarta: LP3ES. http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_parlementer

1