bab i - iii edit cha

Upload: aisyah-haderus

Post on 16-Jul-2015

1.184 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Globalisasi dalam perdagangan dan sistem informasi, pertumbuhan pasar modern yang pesat, menjamurnya outlet makanan siap saji, dan gencarnya iklan makanan merupakan fenomena yang kini terjadi di Indonesia Di sisi lain, sistem informasi makin terbuka yang mengiklankan berbagai jenis makanan atau minuman jadi. Dampak dari hal tersebut adalah terjadinya perubahan permintaan akan makanan dan minuman yang merupakan bagian dari gaya hidup masyarakat Indonesia. (Kresna, 2010). Hal ini berpengaruh pada angka kejadian Penyakit Tidak Menular (Noncommunicable Diseases) terutama di negara-negara dengan tingkat income rendah sampai menengah. Dalam beberapa dasawarsa ke depan diprediksi akan menunjukkan trend yang semakin meningkat. Peningkatan angka Penyakit Tidak Menular (PTM) dapat menyebabkan kenaikan beban pada negara, salah satunya adalah beban ekonomi karena penyakit ini dapat mempengaruhi pertumbuhan, kecerdasan, dan produktivitas kerja individu sehingga secara langsung berhubungan dengan pendapatan keluarga dan sampai pada penurunan pertumbuhan ekonomi negara. Prevalensi PTM dari sisi mortalitas dan morbiditas, Laporan Badan Kesehatan Dunia PBB (WHO), dari 57 juta kematian di seluruh dunia pada 2008, 36 juta atau 63% di antaranya disebabkan oleh penyakit tidak menular terutama penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, dan penyakit saluran pernafasan

kronik. Selain itu, data WHO menunjukkan angka kejadian PTM meningkat di negara-negara berkembang, hampir 80% dari seluruh kematian akibat PTM terjadi di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, kecuali Afrika. Pada tahun 2004 WHO melaporkan kematian di dunia akibat penyakit jantung iskemik sebesar 7,2 juta (12,6%), cerebrovascular 5,5 juta (9,7%), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) 2,7 juta (4,8%), kanker paru 1,2 juta (2,2%), dan diabetes mellitus 1 juta (1,7%). Menurut profil pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan (2006) prevalensi penyakit tidak menular di dunia pada tahun 2005 mencapai 61%. PTM mengakibatkan 56% dari kematian serta 44% dari beban penyakit di Asia Tenggara yang menurut data Kementerian Kesehatan 1995 proporsi kematian di Indonesia adalah 41,7% meningkat menjadi 49,9% pada 2001 dan meningkat lagi menjadi 59,5% di tahun 2007 dengan penyebab kematian tertinggi adalah stroke (15,4%) disusul hipertensi, diabetes, kanker, dan penyakit paru obstruktif kronis. Angka kejadian Di Indonesia sendiri, menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tidak menular dari 7,5% pada tahun 2001 menjadi 10,4% pada tahun 2004. Prevalensi obesitas dan overweight di Indonesia menurut Riskesdas 2007, prevalensi obesitas pada penduduk berusia 15 tahun berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) adalah 10,3%, sedangkan menurut Depkes 2009 prevalensi overweight pada anak-anak usia 6-14 tahun adalah 9,5% pada laki-laki dan 6,4% pada perempuan. Surveilans rutin penyakit tidak menular pada puskesmas di Sulawesi Selatan pada tahun 2008 menemukan sebanyak 99.862 kasus penyakit

tidak menular yang didominasi oleh penyakit hipertensi, kecelakaan, asma dan diabetes mellitus. Hal yang mengkhawatirkan adalah hampir setengah dari kematian akibat PTM terjadi pada usia lebih dini dan usia produktif (35-60 tahun) yang dapat menjadi ancaman serius bagi tingkat sosial ekonomi masyarakat, terlebih bagi negara berkembang seperti Indonesia yang penduduknya kebanyakan miskin menyebabkan terbatasnya akses pelayanan kesehatan sehingga PTM tidak menutup kemungkinan akan semakin meningkat. Data Riskesdas 2007 menunjukkan di perkotaan, kematian akibat stroke pada kelompok usia 45-54 tahun sebesar 15,9%, sedangkan di pedesaan sebesar 11,5%. Hal tersebut menunjukkan PTM (utamanya stroke) menyerang usia produktif. Meningkatnya prevalensi penyakit tidak menular salah satunya disebabkan karena terjadinya perubahan perilaku masyarakat, perubahan gaya hidup masyarakat menjadi gaya hidup tidak sehat seperti perubahan pola konsumsi makanan tidak seimbang dan penurunan aktivitas fisik. Hal ini tak lain dikarenakan globalisasi yang mempengaruhi urbanisasi, pertumbuhan ekonomi, perubahan teknologi di rumah dan tempat kerja, kemudahan transportasi, industrialisasi, promosi makanan dan minuman, serta pertumbuhan media massa (Popkin, B., 2001). Adapun indikator gaya hidup sehat menurut Depkes (2002) yaitu perilaku tidak merokok, pola makan seimbang, dan aktivitas fisik yang teratur. Indikator hidup sehat yang dinyatakan Depkes telah diidentifikasi dan sejalan dengan issue global dan regional. Masalah rokok telah menjadi issue global, karena selain mengakibatkan berbagai penyakit, rokok juga dipercaya

sebagai entry point untuk narkoba. Pola makan yang tidak seimbang berakibat buruk bagi kesehatan pada semua golongan umur. Kurang aktivitas fisik dapat mengakibatkan metabolisme tubuh terganggu. Apabila hal ini berlangsung lama maka akan menyebabkan berbagai penyakit. Pada Sidang Kesehatan Dunia tahun 2004 disahkan Global Strategy on Diet, Physical Activity, and Health atau Strategi Global pada Pola Konsumsi, Aktivitas Fisik, dan Kesehatan yang tujuan utamanya adalah untuk menurunkan faktor resiko PTM dengan pendekatan upaya preventif dan promotif, melalui peningkatan kesadaran para penentu kebijakan di semua sektor termasuk masyarakat madani, swasta dan media baik cetak maupun elektronik. Untuk pengaktualisasiannya pemerintah memiliki peran sentral, bekerja sama dengan stakeholder lainnya, untuk menciptakan lingkungan yang memberdayakan dan mendorong perubahan perilaku oleh individu, keluarga dan masyarakat, untuk membuat perilaku yang positif, peningkatan kualitas kehidupan dengan cara pengaplikasian diet sehat dan pola aktivitas fisik. Departemen Pertanian, 2005 mengemukakan yang dimaksud dengan pola makan seimbang adalah pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlah) dan terdiri dari sumber karbohidrat (kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian), sumber protein hewani dan nabati (pangan hewani dan kacang-kacangan), penambah citarasa/ pelarut vitamin (minyak dan lemak, buah biji berminyak, gula), serta vitamin dan mineral. Laporan Kesehatan Dunia tahun 2002 melaporkan kejadian penyakit tidak menular dan hubungannya dengan pola konsumsi. Faktor resiko umum berupa

pola konsumsi yang salah yakni konsumsi makanan tidak beragam, makanan tidak bergizi seimbang, dan tidak aman seperti penambahan bahan pengawet. Baik di perdesaan maupun di perkotaan, perubahan perilaku pola konsumsi ini menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Mobilitas yang sangat tinggi di kota besar membuat orang cenderung mengkonsumsi makanan cepat saji tanpa mempertimbangkan kandungan gizinya yang umumnya tidak bergizi seimbang yaitu tinggi lemak dan garam, serta rendah kandungan seratnya juga minuman tidak sehat yang tinggi gula dan kalori serta terdapat bahan tambahan pada makanannya (BTM) (Chandra, S. dkk., 2007). Di Indonesia, menurut data Riskesdas 2007 prevalensi penduduk 10 tahun ke atas dengan konsumsi makanan berisiko menurut kabupaten/kota. Sering mengonsumsi makanan yang diawetkan dilakukan oleh 7,0% penduduk Sulawesi Selatan yang berusia 10 tahun, sedikit lebih tinggi dari angka nasional (6,3%). Walau begitu di dalam undang-undang kesehatan No.23 tahun 1992 disebutkan bahwa peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan diselenggarakan melalui 15 macam kegiatan, salah satunya adalah pengamanan makanan dan minuman. Upaya pengamanan makanan dan minuman akan ditingkatkan untuk mendukung peningkatan dan pemantapan upaya kesehatan secara berhasil guna dan berdaya guna. Semua itu merupakan upaya untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi persyaratan mutu ( Depkes RI, 1992). Makanan tidak selalu dikonsumsi dalam bentuk seperti bahan mentahnya, tetapi sebagian besar biasanya terlebih dahulu diolah menjadi berbagai bentuk dan jenis makanan lain (Winarno,1980). Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang

memadai jumlahnya bagi masyarakat kota, peranan teknologi pangan sangat menentukan. Pada masa kini tidak lagi memungkinkan orang menggantungkan kebutuhannya akan pangan hanya pada pangan segar hasil produksi setempat. Pangan yang diangkut dari daerah penghasilnya di pedesaan ke kota sering kali harus menempuh jarak yang sangat jauh. Jika tidak diolah atau diawetkan, pada saat mencapai konsumen kebanyakan bahan pangan tersebut tidak layak lagi dikonsumsi (Gaman, 1992) Tujuan pengolahan pangan adalah agar bahan menjadi awet dan praktis dalam penanganan. Seiring dengan kemajuan teknologi saat ini banyak jenis makanan yang mengalami berbagai proses mekanis dan kimia, baik dalam skala kecil maupun skala industri sehingga bahan pangan kehilangan kesegaran, dan sebagian atau sebagian besar zat gizi yang terkandung di dalamnya hilang atau rusak. Kemajuan ilmu dan teknologi dapat juga membuat berbagai jenis makanan menjadi lebih awet, lebih bergizi, lebih menarik dalam penampilan, lebih aman, lebih enak, serta lebih praktis bagi konsumen. Keamanan pangan adalah faktor yang sangat penting dalam pemilihan makanan. Setinggi apapun nilai gizi yang dihasilkan dan senikmat apapun suatu hidangan, tetapi bila beracun atau tidak aman bagi kesehatan, tidak ada artinya (Winarno, 1993). Berdasarkan hasil uji produk yang dilakukan oleh BPOM pusat pada tahun 2003 terhadap 1465 sampel produk pangan yang beredar dipasaran, sebanyak 5,6% dari sampel tersebut tidak memenuhi mutu dan keamanan. Produk tersebut terdiri dari 195 jenis makanan yang mengandung pewarna bukan untuk makanan, 94 jenis menggunakan boraks, 70 menggunakan formalin, dan 50 menggunakan bahan pengawet yang berlebihan. BPOM juga melakukan pemeriksaan terhadap

1335 perusahan industri makanan selama tahun 2003 hasilnya 36 industri makanan yang memiliki produk terdaftar di Depkes dengan kode MD belum memenuhi persyaratan cara memproduksi makanan yang baik. Selain itu 927 industri rumah tangga makanan yang telah memperoleh sertifikat dari Departemen kesehatan ditemukan 542 diantaranya belum memenuhi persyaratan kesehatan dan sanitasi pengolahan (suara karya online,2005). Balai badan pengawasan obat dan makanan dan dinas kesehatan pangan SulSel pada tahun 2002 menemukan sedikitnya 121 jenis makanan serta minuman yang beredar di masyarakat tidak layak konsumsi sebab mengandung zat makanan tambahan berlebihan (www.liputan6.com, 2002). Hasil pengujian balai BPOM Makassar pada tahun 2001 terhadap 1600 sampel makanan dan minuman yang diuji, 121 item diantaranya melebihi batas maksimum bahan tambahan makanan (BTM) yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan (Guntur, 2002). Data yang diperoleh dari BPOM kota Makassar tahun 2002 terdapat 42 industri rumah tangga yang melanggar peraturan perundangan dibidang pangan. Jenis produk yang diproduksi oleh industri rumah tangga tersebut antara lain markisa, saos lombok, saos tomat, sirup squash dan roti. Pelanggaran yang dilakukan yaitu adanya penggunaan bahan pemanis dan pengawet yang berlebihan (elyawati, 2002) . Menurut Yenrina,2005 dalam Aisyiyah 2009, makanan yang diawetkan adalah makanan dengan kadar natrium tinggi. Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya hipertensi. Makanan awetan biasanya memiliki rasa gurih (umami), sehingga dapat meningkatkan nafsu makan.

Salah satu faktor yang berpengaruh

terhadap terjadinya transisi pola

konsumsi masyarakat adalah semakin mewabahnya toko waralaba franchise convenience store seperti minimarket di seluruh pelosok kota sampai ke perdesaan yang menyediakan kebutuhan sehari-hari, umumnya dengan menjual makanan dan minuman kemasan (siap saji) atau olahan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk menjangkau suatu produk makanan atau minuman yang sebelumnya biasanya telah dipromosikan secara gencar melalui media. Semakin gencarnya promosi makanan cepat saji di media massa ditambah semakin dekatnya penyedia atau tempat menjangkau makanan tersebut dengan pemukiman dapat menjadi penyumbang terhadap semakin berubahnya pola konsumsi masyarakat. Penjualan yang dilakukan dengan berbagai strategi pemasaran yang gencar dengan tempat pembelian yang nyaman dan terlihat berkelas membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanja di toko-toko waralaba tersebut dibandingkan tempat berbelanja seperti pasar tradisional. Kehadiran minimarket ini telah mempengaruhi pola belanja masyarakat khususnya masyarakat di sekitar wilayah minimarket yang secara langsung kembali mempengaruhi pola konsumsi keluarga. Letak minimarket yang dekat dengan daerah pemukiman atau perumahan membuat masyarakat semakin tertarik untuk berbelanja di toko-toko tersebut tanpa harus membuang tenaga lebih untuk pergi ke tempat berbelanja lainnya dengan memperoleh kepuasan berbelanja dalam tempat perbelanjaan yang nyaman dan mudah dijangkau. Hasil penelitian dalam salah satu jurnal administrasi mengungkapkan bahwa dari 146 responden di empat kota besar yakni Bandung, Jakarta, Medan, dan Surabaya sebanyak 67,23% lebih memilih pasar

modern sebagai tempat berbelanja dan selebihnya memilih pasar tradisional. Penelitian lain di Depok mengemukakan pilihan tempat berbelanja tertinggi adalah supermarket/ hipermarket dengan persentase 44,1%, kemudian pasar

tradisional dan minimarket Franchise dengan persentase yang sama sebesar 22,4%, dan terakhir adalah Toko kelontong dengan persentase 12,6% (Aryanti, T., 2011). Dari data Lembaga Riset Nielsen didapatkan bahwa pada tahun 2010 jumlah toko (tradisional dan modern) di Indonesia mencapai 2,5 juta toko. Untuk penyebaran toko, paling banyak di pulau Jawa sebanyak 57%, Sumatera sebanyak 22%, sisanya 21% di pulau lain. Ritel modern pada tahun 2010 tumbuh 38% dengan 18.152 toko di Indonesia, dibandingkan tahun 2009. Dari jumlah tersebut, sekitar 16.000 toko merupakan minimarket. Pertumbuhan minimarket sepanjang tahun 2010 di Indonesia meningkat menjadi 16.922 unit dibanding tahun sebelumnya sebesar 11.927 unit. Di seluruh Indonesia jumlah minimarket sudah mencapai 17 ribu. Menurut data Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Makassar, jumlah minimarket yang terdaftar di kota Makassar hingga Agustus 2011 adalah 129 unit dan meningkat hingga Desember 2011 sebesar 168 unit. Unit-unit ini tersebar di 14 kecamatan se kota Makassar. Maraknya pertumbuhan minimarket ini dan belum ditemukannya penelitian akan gaya hidup masyarakat terutama pola konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat yang bermukim sekitar minimarket di kota Makassar membuat peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana gaya hidup masyarakat tersebut.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan dari uraian tersebut, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana gambaran pola konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat yang bermukim sekitar minimarket di kota Makassar tahun 2012?.

C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk mengetahui gambaran pola konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat yang bermukim sekitar minimarket di kota Makassar tahun 2012.

2. Tujuan Khusus a. Untuk mengetahui gambaran frekuensi konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat yang bermukim sekitar minimarket di kota Makassar tahun 2012.

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Peneliti Menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang pengetahuan pola belanja, pola konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat di wilayah sekitar minimarket dan sebagai bahan informasi untuk penelitian lebih lanjut.

2. Bagi Mahasiswa Memperkaya dan memberikan wacana konseptual bagi pengembangan kajian teori dan kebijakan kesehatan juga ekonomi. 3. Bagi Masyarakat Memberikan informasi kepada masyarakat yang terkait mengenai pola konsumsi makanan yang diawetkan pada masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar minimarket.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Menurut Anies (2006) penyakit tidak menular adalah penyakit yang dianggap tidak dapat disebarkan dari seseorang terhadap orang lain secara langsung, sebagian muncul ketika lahir, sedangkan lainnya disebabkan oleh gaya hidup dan lingkungan, diantaranya adalah asma, talasemia, auitisme, penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, kanker. Penyakit degeneratif telah menjadi penyebab kematian terbesar di dunia hingga saat ini. Menurut laporan WHO, seperti yang dilansir situs resmi organisasi kesehatan dunia tersebut, disebutkan hampir 17 juta orang meninggal lebih awal tiap tahunnya sebagai akibat epidemi global penyakit degeneratif. Fakta yang mencengangkan, ternyata epidemi global ini ditemukan lebih buruk di banyak negara dengan pendapatan nasional rendah dan sedang, dimana 80% dari kematian akibat penyakit degeneratif. Upaya dalam bentuk kerjasama global yang diusulkan WHO untuk menanggulangi epidemi penyakit degeneratif ini, dapat menyelamatkan kehidupan 36 juta orang yang akan meninggal hingga tahun 2015 (Depkes, 2005). Peningkatan penyakit tidak menular (PTM) disebabkan salah satunya karena gaya hidup yang tidak sehat. Becker (1979) dalam Notoadmojo (2007), mengklasifikasi gaya hidup sehat yang mencakup; makan dengan menu seimbang, olahraga teratur, tidak merokok, tidak minum-minuman keras dan narkoba, istirahat yang cukup, mengendalikan stress, dan bergaya hidup positif bagi

kesehatan. Sementara perilaku yang tidak sehat dimaksud yaitu perilaku merokok, pola makan yang tidak seimbang, rendahnya asupan buah dan sayur, kebiasaan meminum alkohol, dan rendahnya aktivitas fisik. Semua perilaku itu sebenarnya bisa dirubah guna mencegah terjadinya sebagian besar penyakit tidak menular . Kemajuan yang terjadi pada era globalisasi telah mengubah cara pandang penduduk dunia dan melahirkan kebiasaan-kebiasaan baru yang tidak sesuai dengan gaya hidup sehat (Cahyono, 2008). Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya transisi gaya hidup sehat diantaranya pola konsumsi dan pola aktivitas masyarakat adalah semakin mewabahnya toko waralaba franchise convenience store seperti minimarket di seluruh pelosok kota sampai ke perdesaan yang menyediakan kebutuhan seharihari, umumnya dengan menjual makanan dan minuman kemasan (siap saji) atau olahan yang membuat masyarakat lebih mudah untuk menjangkau suatu produk makanan atau minuman yang sebelumnya biasanya telah dipromosikan secara gencar melalui media. Semakin gencarnya promosi makanan cepat saji di media massa ditambah semakin dekatnya penyedia atau tempat menjangkau makanan tersebut dengan pemukiman dapat menjadi penyumbang terhadap semakin berubahnya pola konsumsi masyarakat. Penjualan yang dilakukan dengan berbagai strategi pemasaran yang gencar dengan tempat pembelian yang nyaman dan terlihat berkelas membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanja di tokotoko waralaba tersebut dibandingkan tempat berbelanja seperti pasar tradisional. Kehadiran minimarket ini telah mempengaruhi pola belanja masyarakat

khususnya masyarakat di sekitar wilayah minimarket yang secara langsung kembali mempengaruhi pola konsumsi keluarga.

A. Tinjauan Umum tentang Minimarket 1. Pengertian Minimarket Toko Modern adalah Sebuah toko yang menjual macam-macam barang kebutuhan pokok yang lengkap. Toko modern ini terletak di tempat yang strategis dan selalu ramai dikunjungi banyak konsumen. Toko modern ini menawarkan berbagai produk yang terjamin kualitas dan kuantitasnya. Tidak hanya itu, toko modern ini juga menawarkan promosi-promosi harga barang baru dan diskondiskon yang menarik minat konsumen untuk berbelanja di toko tersebut. Suasana penataan toko modern ini tergolong sangat baik yang tersusun rapi dan bersih. Toko modern ini memiliki tingkat pelayanan lebih baik dari pada toko-toko lainnya. Disamping itu toko modern ini mempunyai fasilitas-fasilitas yang membuat nyaman konsumen seperti AC dan Musik yang membuat konsumen betah berbelanja di toko tersebut. Berbeda dengan Toko Tradisional (toko kecil) adalah sebuah toko yang juga menjual barang-barang kebutuhan pokok. Toko ini didirikan oleh satu orang sebagai usaha di rumah untuk membatu kebutuhan ekonomi keluarga. Usaha ini tergolong usaha yang tidak begitu susah karena modal yang diperlukan untuk mendirikannya tidak begitu banyak dan bisa dilakukan di rumah sendiri, sehingga semakin banyak orang yang mendirikan usaha serupa (Ahyani, D., dkk. 2010).

Toko modern yang dimaksud seperti swalayan, supermarket, dan minimarket. Swalayan adalah sebuah toko yang menjual segala kebutuhan seharihari. Kata yang secara harfiah yang diambil dari bahasa Inggris ini artinya adalah pasar yang besar. Barang barang yang dijual di Swalayan biasanya adalah barang barang kebutuhan sehari hari. Seperti bahan makanan, minuman, dan barang kebutuhan seperti tissue dan lain sebagainya. Sedangkan Supermarket adalah sebuah toko yang ukurannya lebih besar. Di Supermarket semua barang ada, dari kelontong, sepeda, TV dan camera, furnitur, baju, ikan dan daging, buah-buhaan, minuman, dan kebutuhan sehari-hari lainnya. Contohnya Giant Supermarket, Carrefour Express, Foodmart, Foodmart Gourmet, Super Indo dan lain-lain. Minimarket sendiri adalah sebenarnya adalah semacam toko kelontong yang menjual segala macam barang dan makanan, namun tidak selengkap dan sebesar sebuah supermarket. Berbeda dengan toko kelontong, minimarket menerapkan sistem swalayan, dimana pembeli mengambil sendiri barang yang ia butuhkan dari rak-rak dagangan dan membayarnya di kasir. Sistem ini juga membantu agar pembeli tidak berhutang. Minimarket yang ada di Indonesia diantaranya adalah Alfamart, Indomaret, dan lain-lain. Perbedaan istilah minimarket, supermarket dan hypermarket adalah di format, ukuran dan fasilitas yang diberikan. Contohnya (Wikipedia, 2012): Minimarket berukuran kecil (100m2 s/d 999m2) Supermarket berukuran sedang (1.000m2 s/d 4.999m2) Hypermarket berukuran besar (5.000m2 ke atas) Grosir berukuran besar (5.000m2 ke atas)

Dalam dunia perdagangan saat ini, toko barang kebutuhan sehari-hari dengan ruangan yang tidak terlalu luas (minimarket) bukan lagi merupakan istilah asing bagi masyarakat umum, terutama yang tinggal dikota-kota besar. Minimarket merupakan perantara pemasar antara produsen dan konsumen akhir dimana aktivitasnya adalah melaksanakan penjualan eceran Menurut Hendri maruf (2005:84) pengertian minimarket adalah toko yang mengisi kebutuhan masyarakat akan warung yang berformat modern yang dekat dengan permukiman penduduk sehingga dapat mengungguli toko atau warung. 2. Kelebihan Minimarket Kelebihan yang ditawarkan jika berbelanja di minimarket adalah memberikan kemudahan bagi konsumen untuk mencari barang yang diinginkan, memberikan kepuasan bagi konsumen dari pelayanannya, memberikan

kenyamanan pada konsumen dalam berbelanja, menyediakan berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari, dan memberikan diskon atau potongan harga bagi konsumen. Hal ini membuat masyarakat lebih tertarik untuk berbelanjan di minimarket dibandingkan toko tradisional lain. Letak minimarket yang dekat dengan daerah pemukiman atau perumahan membuat masyarakat semakin tertarik untuk berbelanja di toko-toko tersebut tanpa harus membuang tenaga lebih untuk pergi ke tempat berbelanja lainnya dengan memperoleh kepuasan berbelanja dalam tempat perbelanjaan yang nyaman dan mudah dijangkau. Hasil penelitian dalam salah satu jurnal administrasi mengungkapkan bahwa dari 146 responden di empat kota besar yakni Bandung, Jakarta, Medan, dan Surabaya sebanyak 67,23% lebih memilih pasar

modern sebagai tempat berbelanja dan selebihnya memilih pasar tradisional. Penelitian lain di Depok mengemukakan pilihan tempat berbelanja tertinggi adalah supermarket/ hipermarket dengan persentase 44,1%, kemudian pasar

tradisional dan minimarket Franchise dengan persentase yang sama sebesar 22,4%, dan terakhir adalah Toko kelontong dengan persentase 12,6% (Aryanti, T., 2011). Dari hasil pengamatan, terdapat beberapa faktor yang membuat masyarakat cenderung berbelanja di minimarket dibanding pasar tradisional. Pertama, faktor harga, dimana minimarket banyak memberi potongan-potongan harga yang membuat harga barang tersebut relative lebih murah. Kedua, faktor fasilitas, dimana minimartket memiliki fasilitas-fasilitas yang lebih seperti AC dan Musik yang membuat konsumen merasa betah untuk belanja di tempat tersebut. Ketiga, faktor yang paling penting adalah pelayanan terhadap konsumen yang dimana Minimarket memberikan pelanyanan yang sangat bagus, misalnya: kesopanan, penyambutan, sampai dengan mencarikan barang yang diinginkan oleh konsumen (Suryadana, ddk. 2007).

B. Tinjauan Umum tentang Pola Konsumsi 1. Pengertian Pola Konsumsi Perilaku konsumtif adalah pencarian konsumen dalam

mempertimbangkan, menggunakan, mengevaluasi, dan memanfaatkan suatu produk untuk memuaskan kebutuhan mereka. Selain itu mereka juga mengatakan bahwa perilaku konsumen adalah bagaimana individu membuat keputusan dalam

apa yang mereka beli, kapan dan dimana mereka membeli, dan seberapa serius mereka membeli suatu barang (Listyorini, 2001). Perilaku konsumsi ialah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan daya guna suatu benda, baik berupa barang maupun jasa, untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan secara langsung. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Jika tujuan pembelian produk tersebut untuk dijual kembali, maka dia disebut pengecer atau distributor. Pada masa sekarang ini bukan suatu rahasia lagi bahwa sebenarnya konsumen adalah raja sebenarnya, oleh karena itu produsen yang memiliki prinsip holistic marketing sudah seharusnya memperhatikan semua yang menjadi hak-hak konsumen (Wikipedia). Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji, 2006). Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Pola makan merupakan ciri khas untuk status kelompok masyarakat tertentu. Pola makan suatu daerah dapat berubahubah. Pola makan masyarakat pedesaan di Indonesia pada umumnya diwarnai oleh jenis-jenis bahan makanan yang umum dan diproduksi setempat. Misalnya pada masyarakat nelayan di daerah-daerah pantai ikan merupakan makanan sehari-hari yang dipilih karena dapat dihasilkan sendiri. Daerah-daerah pertanian

padi, masyarakat berpola makan pokok beras. Daerah-daerah dengan produk utama jagung seperti pulau Madura dan Jawa Timur bagian selatan, masyarakatnya berpola pangan pokok jagung. Gunung Kidul dan beberapa daerah lain di Jawa Tengah dan Jawa Timur masyarakatnya berpola pangan pokok ubi kayu karena produksi tanaman pangan utama adalah ubi kayu (Suwiji, 2006). Pengertian pola makan lain adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola makan ini dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain adalah: kebiasaan kesenangan, budaya, agama, taraf ekonomi, lingkungan alam, dan sebagainya. Sejak zaman dahulu kala, makanan selain untuk kekuatan atau pertumbuhan, memenuhi rasa lapar, dan selera, juga mendapat tempat sebagai lambang yaitu lambang kemakmuran, kekuasaan, ketentraman dan persahabatan. Semua faktor di atas bercampur membentuk suatu ramuan yang kompak yang dapat disebut pola konsumsi (Santoso dan Ranti, 2005).

2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pola Konsumsi Pola makan masyarakat atau kelompok di mana anak berada, akan sangat mempengaruhi kebiasaan makan, selera, dan daya terima anak akan suatu makanan. Oleh karena itu, di lingkungan anak hidup terutama keluarga perlu pembiasaan makan anak yang memperhatikan kesehatan dan gizi (Santoso dan Ranti, 2007). Kebiasaan makan adalah cara-cara individu dan kelompok individu memilih, mengkonsumsi, dan menggunakan makanan-makanan yang tersedia,

yang didasarkan kepada faktor-faktor sosial dan budaya di mana ia/mereka hidup. Kebiasaan makan individu, keluarga dan masyarakat dipengaruhi oleh : 1. Faktor perilaku termasuk di sini adalah cara berpikir, berperasaan, berpandangan tentang makanan. Kemudian dinyatakan dalam bentuk tindakan makan dan memilih makanan. Kejadian ini berulang kali dilakukan sehingga menjadi kebiasaan makan. 2. Faktor lingkungan sosial, segi kependudukan dengan susunan, tingkat, dan sifat-sifatnya. 3. Faktor lingkungan ekonomi, daya beli, ketersediaan uang kontan, dan sebagainya. 4. Lingkungan ekologi, kondisi tanah, iklim, lingkungan biologi, system usaha tani, sistem pasar, dan sebagainya. 5. Faktor ketersediaan bahan makanan, dipengaruhi oleh kondisi-kondisi yang bersifat hasil karya manusia seperti sistem pertanian (perladangan), prasarana dan sarana kehidupan (jalan raya dan lain-lain), perundang-undangan, dan pelayanan pemerintah. 6. Faktor perkembangan teknologi, seperti bioteknologi yang menghasilkan jenis-jenis bahan makanan yang lebih praktis dan lebih bergizi, menarik, awet dan lainnya. Pemilihan bahan makanan ternyata dipengaruhi oleh unsur-unsur tertentu. Pertama, sumber-sumber pengetahuan masyarakat dalam memilih dan mengolah pangan mereka sehari-hari. Termasuk dalam sumber pengetahuan dalam memilih dan mengolah pangan adalah: sistem sosial keluarga secara turun temurun, proses

sosialisasi dan interaksi anggota keluarga dengan media massa. Kedua, aspek aset dan akses masyarakat terhadap pangan mereka sehari-hari. Unsur aset dan akses terhadap pangan adalah berkenaan dengan pemilikan dan peluang upaya yang dapat dimanfaatkan oleh keluarga guna melakukan budidaya tanaman pangan dan atau sumber nafkah yang menghasilkan bahan pangan atau natura (uang). Ketiga, pengaruh tokoh panutan atau yang berpengaruh. Pengaruh tokoh panutan terutama berkenaan dengan hubungan bapak anak, jika keluarga yang memperoleh pangan atau nafkah berupa uang kontan melalui usaha tani majikan (Santoso dan Ranti, 2007). Kesalahan dalam memilih makanan dan kurang cukupnya pengetahuan tentang gizi akan mengakibatkan timbulnya masalah gizi yang akhirnya mempengaruhi status gizi. Status gizi yang baik hanya dapat tercapai dengan pola makan yang baik, yaitu pola makan yang didasarkan atas prinsip menu seimbang, alami dan sehat (Sediaoetama, 2000).

3. Survei Konsumsi Survei konsumsi makanan adalah metode penentuan status gizi secara tidak langsung dengan melihat jumlah dan jenis zat gizi yang dikonsumsi. Metode survei konsumsi makanan untuk individu antara lain : 1. Metode recall 24 jam 2. Metode esthimated food record 3. Metode penimbangan makanan (food weighting) 4. Metode dietary history 5. Metode frekuensi makanan (food frequency)

4. Pola Konsumsi Seimbang Menu seimbang adalah menu yang terdiri dari beraneka ragam makanan dalam jumlah dan proporsi yang sesuai, sehingga memenuhi kebutuhan gizi seseorang guna pemeliharaan dan perbaikan sel-sel tubuh dan proses kehidupan serta pertumbuhan dan perkembangan (Almatsier, 2004). Ilmuwan

memperkirakan 75% kanker bisa dicegah melalui diet yang lebih baik. Konsumsi makanan yang salah dapat membuat tubuh kekurangan nutrisi-nutrisi vital yang diperlukan agar tubuh dapat bekerja dengan baik. Kunci menuju kesehatan yang baik adalah diet yang seimbang dan bervariasi (Weekes, 2008). Departemen Pertanian, 2005 mengemukakan yang dimaksud dengan pola makan seimbang adalah pangan yang dikonsumsi harus memenuhi kualitas (mutu) maupun kuantitas (jumlah) dan terdiri dari sumber karbohidrat (kelompok pangan padi-padian dan umbi-umbian), sumber protein hewani dan nabati (pangan hewani dan kacang-kacangan), penambah citarasa/ pelarut vitamin (minyak dan lemak, buah biji berminyak, gula), serta vitamin dan mineral. Kemajuan di bidang ekonomi terutama di perkotaan menyebabkan terjadinya perubahan gaya hidup antara lain perubahan pola makan dan kebiasaan makan yang memberikan kontribusi terhadap pesatnya fast food. Perubahan dari pola makan tradisional ke pola makan barat seperti fast food yang banyak mengandung kalori, lemak dan kolesterol, ditambah kehidupan yang disertai stress dan kurangnya aktivitas fisik, terutama di kota-kota besar mulai menunjukkan dampak dengan meningkatnya masalah gizi lebih (obesitas) dan penyakit

degeneratif seperti jantung koroner, hipertensi dan diabetes mellitus (Hermina, 2003). Junk food adalah kata lain untuk makan yang jumlah nutrisinya terbatas. Umumnya, yang termasuk dalam golongan junk food adalah makanan yang kandungan garam, gula, lemak, dan kalorinya tinggi, tetapi kandungan gizinya sedikit. Yang paling mudah masuk dalam jenis ini adalah keripik kentang (kentang russet) yang mengandung garam, permen, semua pencuci mulut yang manis, makanan fast food yang digoreng dan minuman soda atau minuman berkarbonasi (Sari, 2008). Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Nurses Health Study di Harvard University terhadap 65.000 wanita selama 6 tahun menunjukkan bahwa wanita yang pola makannya tinggi gula dan rendah serat makanan, 2.5 kali beresiko lebih tinggi terhadap diabetes dibandingkan wanita yang biasa makan banyak serat makanan dan sedikit gula. Menurut penjelasan dokter, serat larut memang mampu mengurangi kebutuhan tubuh akan insulin karena serat larut dapat memperlambat penyerapan karbohidrat dan mencegah kenaikan gula darah secara tiba-tiba. Sebaliknya, asupan serat larut yang rendah dibarengi dengan konsumsi gula yang berlebihan dapat memicu kebutuhan insulin yang tinggi, melebihi jumlah yang mampu diproduksi pankreas. Para peneliti di National Institute of Diabetes, Digestive and Kidney Diseases di Amerika membandingkan komunitas suku Pima Indian yang tinggal di Meksiko dan di Arizona. Meskipun secara genetika mereka sama, tetapi pola makan dan gaya hidupnya jauh berbeda. Suku Pima Indian di Meksiko umumnya pekerja keras dan sehari-hari banyak mengkonsumsi makanan rendah lemak dan

tinggi serat, seperti corn tortilla dan taco. Sedangkan suku Pima Indian yang tinggal di Arizona jarang melakukan aktivitas fisik serta mengkonsumsi makanan rendah serat dan tinggi lemak, seperti hot dog dan french fries. Akibatnya, 50% suku Pima Indian di Arizona yang berusia 30 sampai 64 tahun banyak menderita diabetes dan hanya 9% suku Pima Indian Meksiko yang terkena diabetes. Penemuan ini menunjukkan bahwa untuk penyakit diabetes, pola makan dan gaya hidup memiliki pengaruh lebih besar daripada faktor genetik.

C. Tinjauan Umum tentang Makanan yang Diawetkan 1. Pengertian Makanan yang Diawetkan Makanan yang diawetkan adalah makanan dengan kadar natrium tinggi. Natrium adalah mineral yang sangat berpengaruh pada mekanisme timbulnya hipertensi. Makanan asin dan awetan biasanya memiliki rasa gurih (umami), sehingga dapat meningkatkan nafsu makan (Krisnatuti dan Yenrina 2005). 2. Bahan Pengawet Menurut peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 722/Menkes/Per/IX/1988, pengawet merupakan bahan tambahan pangan yang mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman atau peruraian lain terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Definisi lain bahan pengawet adalah senyawa atau bahan yang mampu menghambat, menahan atau menghentikan dan memberikan perlindungan bahan makanan dari proses pembusukan (Cahyadi, 2006).

3. Tujuan Penggunaan Bahan Pengawet Menurut Cahyadi (2006), secara umum penambahan bahan pengawet pada pangan bertujuan sebagai berikut: 1. Menghambat pertumbuhan mikroba pembusuk pada pangan baik yang bersifat patogen maupun tidak patogen. 2. Memperpanjang umur simpan pangan. 3. Tidak menurunkan kualitas gizi, warna, cita rasa, dan bau bahan pangan yang diawetkan. 4. Tidak untuk menyembunyikan keadaan pangan yang berkualitas rendah. 5. Tidak digunakan untuk menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak memenuhi persyaratan. 6. Tidak digunakan untuk menyembunyikan kerusakan pangan. 4. Jenis Pengawet 4.1 Pengawet Organik Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada anorganik karena bahan ini lebih mudah dibuat. Bahan organik digunakan baik dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Zat kimia yang sering dipakai sebagai bahan pengawet dalam minuman ialah asam sorbat, paraben, asam benzoat dan asam asetat (Winarno, 1992). 4.2 Pengawet Anorganik Zat pengawet anorganik yang masih sering dipakai adalah sulfit, nitrat, dan nitrit. Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K

sulfit, bisulfit, dan metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang terdisosiasi dan terutama terbentuk pH di bawah 3. Garam nitrat dan nitrit umumnya digunakan pada proses curing daging untuk memperoleh warna yang baik dan mencegah pertumbuhan pertumbuhan mikroba. Didalam daging nitrit akan membentuk nitrooksida yang dengan pigmen daging akan membentuk nitrosomioglobulin yang berwarna merah cerah (Anonim, 1992). 5 Penggunaan Pengawet dalam Bahan Makanan Zat pengawet sangat dekat dengan kehidupan kita, penggunaannya dari minuman dan makanan. Zat pengawet seperti benzoat yang sering digunakan untuk mengawetkan minuman ringan, kecap, sari buah, jeli, saus, manisan, sambal, dan makanan lainnya. Ada juga propionat sebagai bahan pengawet untuk roti dan keju olahan, dan sorbat sebagai bahan pengawet untuk potongan kentang goreng, udang beku dan pekatan sari nenas. Sedangkan nitrit sering digunakan untuk bahan pengawet daging olahan seperti sosis dan kornet dalam kaleng, bahan ini juga untuk mengawetkan keju (Syah, 2005). 6 Toksisitas Pengawet Penggunaan bahan pengawet yang paling banyak digunakan di Indonesia adalah sulfit, nitrit dan benzoat. Perdebatan para ahli mengenai aman tidaknya bahan pengawet itu masih berlangsung. Sebagian orang beranggapan, belum ada bahan tambahan makanan (BTM) yang pernah menyebabkan reaksi serius bagi manusia dalam jumlah yang sering ditemukan pada makanan. Seperti asam benzoat tidak akan mengalami penumpukan sehingga cukup aman untuk

dikonsumsi. Bukti- bukti menunjukkan, pengawet ini mempunyai toksisitas sangat rendah terhadap hewan maupun manusia. Ini karena hewan dan manusia mempunyai mekanisme detoksifikasi benzoat yang efisien. Sampai saat ini benzoat dipandang tidak mempunyai efek teratogenik (menyebabkan cacat bawaan) dan karsinogenik. Namun, bukti lain menunjukkan bahwa pemakaian dalam jangka panjang dapat menimbulkan masalah kesehatan seperti memberikan dampak negatif pada penderita asma karena bahan pengawet ini bisa mempengaruhi mekanisme pernafasan paru-paru sehingga kerja paru-paru tidak normal (Yuliarti, 2007).

4. Hubungan Makanan yang Diawetkan dengan Kejadian PTM Salah satu PTM yakni penyakit Asma, Hasil Riskesdas 2007 menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang diawetkan mempengaruhi terjadinya asma, kelompok yang makan makanan yang diawetkan satu kali/hari berisiko 1,2 kali terkena asma dibandingkan dengan yang tidak pernah mengkonsumsi makanan yang diawetkan (Oemiati, 2010).

D. Kerangka Teori Adapun kerang teori yang digunakan :

Sumber: WHO, 2005, Riskesdas, 2007.

E. Kerangka Konsep

POLA KONSUMSI

MAKANAN YANG DIAWETKAN

NON COMMUNICABLE DISEASES NCDs/PENYAKIT TIDAK MENULAR

Keterangan: = Variabel Independent = Variabel Dependent = Variabel yang Diteliti = Variabel yang Tidak Diteliti

F. Definisi Operasional dan Kriteria Objektif Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional berdasarkan karakteristik yang diamati, memungkinkan peneliti untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau fenomena (Hidayat, 2007). 1. Variable Dependent a. Makanan yang Diawetkan 1). Definisi

Pola Makan 1) Definisi

Pola makan adalah gambaran pola menu, frekuensi, dan jenis bahan makanan yang dikonsumsi setiap hari dimana merupakan bagian dari gaya hidup atau ciri khusus suatu kelompok (Suwiji, 2006). Menurut Harper (1986), pola makan (dietary pattern) adalah cara yang ditempuh seseorang atau sekelompok untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial 2) Kriteria Objektif a) Alat Ukur FFQ (food frequency questionaire) dimana terdiri dari daftar nama-nama jenis makanan yang diurut berdasarkan kandungannya seperti makanan tinggi lemak, makanan tinggi kalori, makanan rendah serat, makanan sumber karbohidrat, makanan sumber protein, makanan sumber serat, sumber vitamin dan mineral, sumber natrium, sumber lemak, pemanis, dan minuman, dan frekuensi /jumlah berapa kali konsumsi dalam 1 bulan terakhir. b) Nilai Ukur (De Wijn (1997) dalam Thaha, 1986). 0 1 10 15 25 : tidak pernah : jarang : < 3 kali seminggu : > 3 kali seminggu : 1 kali sehari

50

: setiap kali makan : jika skor semua kategori makanan mendekati atau sama dengan skor rata-rata 1 cluster.

- Baik

- Tidak baik :

jika salah satu atau beberapa dari kategori makanan skornya diatas skor rata-rata 1 cluster.

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah penelitian kuantitatif deskriptif. Merupakan salah satu bentuk penelitian untuk melihat gambaran pola makan makanan yang diawetkan dalam suatu populasi.

B. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi penelitian Penelitian dilaksanakan di rumah-rumah masyarakat yang bermukim di wilayah sekitar minimarket yang ada di kota Makassar. 2. Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2012.

C. Populasi dan Sampel 1. Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh masyarakat kota Makassar yang bermukim di wilayah sekitar minimarket pada tahun 2012. 2. Sampel Sampel dalam penelitian ini adalah masyarakat kota Makassar yang bermukim di wilayah sekitar 30 titik minimarket pada saat penelitian

berlangsung yang tersebar dalam tiap-tiap kecamatan (14 kecamatan) di kota Makassar. Total sampel sebanyak 810 sampel dengan kriteria, sebagai berikut: a. Kriteria Inklusi. Kriteria inklusi adalah karakteristik umum setiap penelitian dari suatu populasi target yang terjangkau yang akan diteliti. Kriteria tersebut adalah sebagai berikut : 1) Rumah tangga yang telah terdaftar di kota Makassar tahun 2012 2) Tinggal menetap. 3) Di sekitar rumahnya terdapat mini market. 4) Tidak mengalami komplikasi yang mempengaruhi pola makan 5) Bisa membaca dan menulis 6) Bersedia diikutsertakan menjadi sampel penelitian

b. Kriteria Eksklusi Kriteria eksklusi adalah keadaan yang menyebabkan subyek yang memenuhi kriteria Inklusi namun tidak dapat diikutsertakan dalam penelitian. Kriteria tersebut adalah : 1) Selalu berpindah pindah (tidak menetap) 2) Tidak terdapat minimarket di sekitar tempat tinggalnya 3) Tidak bersedia menjadi responden. 4) Tidak bisa membaca dan menulis.

5) Responden mengalami komplikasi yang mempengaruhi pola makan. 3. Pengambilan Sampel Teknik pengambilan sampel dengan menggunakan teknik cluster survey yaitu pengambilan sampel dengan 2 tahap sedehana cluster sample. Tahap pertama cluster dipilih melalui random sampling. Unit yang terpilih akan di digunakan dalam sistematik sampling (Ahmed, 2009). Sampel adalah masyarakat di wilayah sekitar minimarket sedangkan kluster adalah minimarketnya. Dalam penelitian ini, peneliti berdasarkan pada WHO dimana sampel yang akan peneliti teliti yaitu 810 sampel yang tersebar dalam jumlah maksimum kluster menurut WHO yaitu 30 kluster. Kluster dipilih secara random dengan mengambil beberapa titik kluster minimarket di tiap kecamatan di kota Makassar. Sampel dipilih berdasarkan letak 30 titik kluster terpilih, yakni rumahrumah masyarakat yang termasuk dalam RW (Rukun Warga) dimana titik kluster minimarket tersebut berada. Adapun pemilihan kepala keluarga yang dijadikan sebagai sampel dilakukan melalui random sampling. Jumlah sampel maksimum menurut WHO yakni 810 akan dibagi dengan jumlah kluster maksimum yakni 30 kluster yang menghasilkan 27 sampel dalam tiap titik kluster minimarketnya. Rumus yang digunakan dalam pengambilan sampel di tiap titik kluster minimarket, adalah: N =

N

= = 27 sampel/kluster

Ket: N Nmax Cmax = sampel = jumlah populasi maksimum dalam cluster = jumlah cluster maksimum

D. Pengumpulan Data Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer terdiri dari data karakteristik responden yang meliputi, identitas, jenis kelamin, umur, posisi dalam keluarga. Data kebiasaan makan yang meliputi data food frekuensi makanan yang diawetkan. Pengumpulan data primer yang menyangkut beberapa variable yang diteliti diperoleh melalui wawancara langsung dengan berpedoman pada koesioner yang telah dipersiapkan sebelumnya. Data konsumsi makanan dikumpulkan secara kualitatif. Penentuan secara kualitatif menggambarkan tentang jenisjenis pangan dan frekuensi penggunaan jenis-jenis pangan tersebut, data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner Food Frekuensi.

2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi jumlah minimarket dan penyebarannya di kota Makassar, serta data-data penunjang lain yang diperoleh sesuai maksud dan tujuan penelitian. Data tersebut diperoleh di Dinas Perindustrian dan Perdagangan kota Makassar.

E. Pengolahan dan Penyajian Data 1. Pengolahan Data Data yang telah diperoleh diolah dengan program SPSS (Software Statistical Package for Sosial Science) dengan langkah sebagai berikut: a. Pengolahan Data 1) Editing Data yang didapat diperiksa kelengkapannya 2) Coding Apabila semua data telah terkumpul dan selesai diedit, kemudian akan dilakukan pengkodean data berdasarkan buku kode yang telah disusun sebelumnya dan telah dipindahkan ke format aplikasi program SPSS di komputer. 3) Entry data Data selanjutnya diinput ke dalam lembar SPSS. Urutan input data berdasarkan nomor responden dalam kuisioner. 4) Cleaning data

Cleaning dilakukan pada semua lembar kerja untuk membersikan kesalahan yang mungkin terjadi selama proses input data. Proses ini dilakukan melalui analisis frekuensi pada variabel. Data missing dibersihkan dengan menginput data yang benar. 5) Analisis Proses analisis dilakukan dengan menggunakan program analisis data yang telah tersedia dalam program SPSS berupa analisis univariat. b. Penyajian Data Penyajian data dilakukan dalam bentuk tabel, grafik, dan narasi untuk membahas hasil penelitian.

F. Analisis Data Analisis data dilakukan dengan sistem komputerisasi menggunakan program SPSS dengan cara analisis univariat yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum masalah penelitian dengan cara

mendeskripsikan variabel yang digunakan dalam penelitian ini, yakni dengan melihat gambaran distribusi frekuensi serta persentase tunggal yang terkait dengan tujuan penelitian.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmed, S. 2009. Methodes in Sample Survey WHO. Dept. of Biostatistics School of Hygine and Public Health. Journal. Department of Biostatistics. Johns Hopkins University, Baltimore, Maryland. Ahyani, D., Viki A., & Dani A. 2010. Dampak Negatif Adanya Alfamart dan Indomart Terhadap Toko Sanjaya di Jalan MT. Haryono No 196 Dinoyo. Tugas Akhir. Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi. Universitas Islam Malang, Malang. Almatsier, S. 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. ___________. 2009. Penuntun Diet Edisi Baru. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Anies. 2006. Waspada Ancaman Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Ansar. 2009. Hubungan Pola Makan Dan Aktifitas Fisik Dengan Kejadian Sindrom Metabolik Pada Pasien Rawat Jalan Di RSUP dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar tahun 2009. Skripsi. Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat. Universitas Hasanuddin, Makassar. Aryanti, T. 2011. Analisis Perilaku Konsumen dalam Pemilihan Tempat Belanja dengan Pendekatan Analytical Hierarchy Process (Studi Kasus pada Masyarakat di Kota Depok). Skripsi. Jurusan Manajemen, Fakultas Ekonomi. Universitas Gunadarma, Jakarta. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2005. Survei Kesehatan Rumah Tangga Tahun 2004 Vol. 3. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. ______________________________________. 2007. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional. Jakarta: Departemen Kesehatan RI. Bajry, H. 2008. Tubuh Anda Adalah Dokter yang Terbaik. Bandung: PT. Karya Kita. Bustan. 2007. Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: Rineka Cipta. Cahyono, B. Suharjo. 2008. Gaya Hidup dan Penyakit Modern. Yogyakarta: Kanisius.

Citrakesumasari. 2009. Model Prediksi Suspek PJK pada Individu dan Masyarakat di Indonesia. Disertasi. Pascasarjana Unhas, Makassar.

Departemen Kesehatan. 2002. Indikator Perilaku Sehat Skala Nasional. Jakarta: Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. ___________________. 2005. Kerjasama Global dalam Memerangi Penyakit Degeneratif. [online]. http://www.depkes.go.id/oktober/2005 [diakses 15 Februari 2012]. ___________________. 2006. Profil Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan 2006. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua. Jakarta: Balai Pustaka. Departemen Pertanian. 2005. Rencana Strategis Konsumsi dan Keamanan Pangan Tahun 2005-2009. Jakarta: Departemen Pertanian RI. Elyawati. 1997. Teknologi pengolahan kerupuk di P. K. Sumber Jaya. Laporan Praktek Lapang. Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Fathonah, S., dkk. 1996. Prevalensi Gizi Lebih pada Anak-Anak SMA dan FaktorFaktor yang Mempengaruhinya. Laporan Tesis. IKIP, Semarang. Gibney JM, Margetts MB, Kearney MJ, & Arab L. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat . Hartono A., Penerjemah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Gibson, RS. 2009. Principles of Nutritional Assessment. New York: Oxford University Press. Hadju, V. 2005. Diktat Ilmu Gizi Dasar. Makassar: Jurusan Gizi FKM UNHAS. ________. 1997. Diktat Gizi UNHAS. Dasar, Edisi II. Makassar: Jurusan Gizi FKM

Harper, I. J. , B. J. Draton & J. A. Driskel. 1986. Pangan, Gizi, dan Pertanian (Suhardjo, penerjemah). Jakarta: Universitas Indonesia Press. Hutapea, A. 1993. Menuju Gaya Hidup Sehat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kabo, P. 2008. Mengungkap Pengobatan Penyakit Jantung Koroner. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Khumaidi, 1994. Bahan Pengajaran Gizi Masyarakat. Jakarta: BPK Gunung Muka. Kristianti, N. 2009. Hubungan Pengetahuan Gizi Dan Frekuensi Konsumsi Fast Food Dengan Status Gizi Siswa Sma Negeri 4 Surakarta. KTI D3. Fakultas Ilmu Kesehatan. Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta. Kresna,Yoanita., dan Sonny Andrianto. 2010. Hubungan antara Perilaku Mengkonsumsi Junk Food dengan Harga Diri Remaja. Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Listyorini, I. 2001. Kecenderungan Perilaku Terhadap Junk Food Ditinjau Dari Harga Diri. Skripsi. Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang. Mangga, E. 2009. Hubungan Aktivitas Fisik, Pola Makan dan Obesitas Terhadap Gangguan Tekanan Darah Pada Ibu Yang Menggunakan Alat Kontrasepsi Hormonal Di Wilayah Kerja Puskesmas Lumpe Kecamatan Bacukiki Kota Pare Pare Tahun 2008. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Maruf, H. 2005. Pemasaran Ritel. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Nadesul, H., 1997. Pola dan Gaya Hidup Sehat. Jakarta: Puspawara. Notoadmojo, S. 2007. Kesehatan Masyarakat, Ilmu, dan Seni. Jakarta: Rineka Cipta. Nugroho, K. 2010. Fenomena Menjamurnya Minimarket. [online]. http://krisnonugroho.wordpress.com/ [diakses 15 Februari 2012]. Popkin B. The Nutrition Transition and Obesity in the Developing World. J Nutr. 2001; 131: 871S-3S. Pusat Promosi Kesehatan Departemen Kesehatan RI. 2006. Lakukan aktifitas fisik 30 menit sehari. [online]. http://www.eurekaindonesia.org/lakukanaktivitas-fisik-30-menit-sehari/ [diakses 15 Februari 2012]. Rachman, H. & Supriyati. 1998. Pola Konsumsi dan Pengeluaran Rumah Tangga. Jawa.

Raharjo, T. 2008. Iklan Makanan Ringan terhadap Sikap Konsumtif Anak-anak SD. Seminar Hasil Penelitian & Pengabdian kepada Masyarakat. Universitas Lampung, Lampung. Rahman, A. 2005. Perilaku Hedonisme. [online]. http://www.blogspot.com/perilaku-hedonisme. [diakses 15 Februari 2012]. Rusdi, F. 2002. Analisa Strategi Bauran Ritel untuk Meningkatkan Daya Saing Mini Market Sub-Mart. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Salam, M.A. 1989. Epidemiologi dan Patologi Obesitas dalam Obesitas Permasalahan dan Penanggulangannya. Yogyakarta: Laboratorium Farmakologi Klinik Fakultas Kedokteran UGM. Santoso, S., & Ranti, A.L. 2004. Kesehatan dan Gizi. Jakarta: Rineka Cipta. Sari, R. W. 2008. Dangerous Junk Food: Bahaya Makanan Cepat Saji dan Gaya Hidup Sehat. Yogyakarta: O2. Saveatina. 2005. Pola Perubahan Konsumsi Masyarakat Perkotaan. Skripsi. Pendidikan Sosiologi. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Sediaoetama, 2000. Ilmu Gizi untuk Mahasiswa dan Profesi di Indonesia Jilid I. Jakarta: Penerbit Dian Rakyat. Soeharto, I. 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: PT Gramedia Pustaka. Subardja, D. 2005. Obesitas Pada Anak, Penyakit Masa Depan yang Terabaikan. Disampaikan dalam Pertemuan Ilmiah Nasional Dietetic II. Bandung. Supriyono, M. 2008. Faktor-Faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Penyakit Jantung Koroner pada Kelompok Usia 45 Tahun. Tesis. Program Pascasarjana Magister Epidemiologi. Universitas Diponegoro, Semarang. Suwiji, E. 2006. Hubungan Pola Asuh Gizi dengan Praktek Pemberian Makanan Pada Anak Balita Di Wilayah Kerja Puskesmas Medang Kabupaten Blora. Fakultas Ilmu Keolahragaan Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Utami, HMK., 2007. Hubungan Antara Kesegaran Jasmani Denga Tekanan Darah Pada Karang Taruna Tunas Harapan Usia 20-39 Tahun di Bulakrejo Sragen. Skripsi. Universitas Negeri Semarang, Semarang.

Wardoyo. 2010. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat Beli Konsumen pada Iklan Flexy. Makalah Penelitian. Universitas Gunadarma, Depok. Wicaksono, P. 2004. Membangun Kemandirian Masyarakat dalam Wacana Kesehatan. Rubrik Online-Edisi 24.Tahun VIII. Universitas Atmajaya, Yogyakarta. Widyarini, M. & Nina, S. 2009. Perubahan Pola Belanja Masyarakat: Sebuah Kajian di Lingkungan Masyarakat Perkotaan. Jurnal Administrasi Bisnis Vol.5. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Wikipedia. 2010. Konsumsi. [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Konsumsi [diakses 15 Februari 2012]. ________. 2012. Supermarket. [online]. http://id.wikipedia.org/wiki/Supermarket [diakses 15 Februari 2012]. World Health Organization. 2004. Global Strategy on Diet, Physical Activity and Health. ______________________. 2008. Interventions Diet and Physical Activity: What Works. ______________________. 2010. Physical Activity. In Guide to Community Preventive Services Web site. ______________________. 2011. Global Status Report on Noncommunicable Diseases 2010.

Lampiran 1 No. Responden : GAMBARAN POLA BELANJA, POLA KONSUMSI DAN POLA AKTIVITAS MASYARAKAT DI WILAYAH SEKITAR MINIMARKET KECAMATAN XX KOTA MAKASSAR TAHUN 2012 KUESIONER PENELITIAN I. Identitas Responden 1. 2. 3. 4. 5. 6. Nama pasien Jenis kelamin Umur Alamat/ No. Telepon Posisi dalam keluarga Pekerjaan 1. 2. 3. 4. 5. 6. 1. 2. 3. 4. 5. 6. PNS TNI/Polri Pegawai swasta Pedagang IRT Lainnya.. SD SMP SMA Sarjana Diploma Lainnya /bulan II. Riwayat Aktifitas Fisik 1. Apakah anda melakukan olah raga? a. Ya b. tidak 1. Laki_laki 2. Perempuan

7.

Pendidikan

8.

Pendapatan: Rp

2.

Jika ya, Apakah jenis olahraga yang a. sepak bola rutin atau teratur anda lakukan tiap b. jogging minggu ? c. bulu tangkis d. senam e. Lainnya

3.

Berapa kali anda biasa melakukannya dalam seminggu? Berapa lama biasa anda berolahraga?

4.

a. 1 kali b. 2 kali c. >2 kali a. 10 menit b. 15 menit c. >15 menit Menyapu/mengepel Memasak Mencuci Berkebun

5.

Apakah jenis kegiatan fisik anda seharihari?

III. Pola Belanja1. 2. 3. Dimana anda sering berbelanja? Apakah anda pernah berbelanja di minimarket? Berapa kali ibu ke minimarket dalam sebulan? Siapa yang minimarket? sering berbelanja ke a. pasar b. mini market a. ya b. tidak a. 1 kali b. 2 kali c. >2 kali a. ibu/bpk sendiri b. anak c.lainnya: a. naik becak/bentor b. naik motor/mobil c. jalan kaki a.mingguan b.bulanan c. setiap ada kebutuhan a. ya b. tidak

4.

Bagaimana anda ke mini market? 5. Bagaimana frekuensi belanja ibu? 6.

7.

8.

Apakah ibu berbelanja ke minimarket dengan membawa list atau hanya mengandalkan ingatan? *Apakah jenis bahan makanan yang a. biskuit sering ibu beli di minimarket? b. snack c. mie instant d. minuman berkarbonasi e. sayur atau buah f minuman elektrolit g. lainnya

9. 10.

Apakah dalam berbelanja ibu sering membeli bahan makanan yang tidak direncanakan sebelumnya? Apakah bahan makanan yang ibu beli selalu habis dikonsumsi oleh keluarga?

a. ya b. tidak a. ya b. tidak

Penilaian Aktivitas Fisik Isila: Apakah bapak/ibu melakukan aktivitas fisik dengan banyak bergerak minimal 10 menit dalam satu kegiatan dan lebih dari 30 menit sehari dalam seminggu terakhir? Kode 1 bila Ya Kode 2 bila tidak (A) (B) (C) Waktu senggang./olah raga/rekreasi Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu Senin Selasa Rabu Kamis Jumat Sabtu Minggu A B C

bekerja/sekolah/rumah Perjalanan/transportasi tangga

Lampiran 2 FORMULIR DATA AKTIVITAS SEHARI RESPONDEN (SELAMA 24 JAM) No 1. 2. 1. 4. 5. 1. 2. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. Baring Aktivitas Tidur Istrahat Membaca Menulis Membalik Menonton TV Berbicara Tidak aktif Membaca Berbicara Menulis Mengetik Makan Main piano Mengemudi Main game Nnonton TV Tidak aktif Erbicara Menulis Memasak Mencuci piring Menyanyi Makan Tenis Basket Pingpong Bersepeda Membungkuk Aktif Yoga Menggiling Mengurus diri (MCK, Faktor energy 0,9 1,0 1,0 1,1 1,1 1,0 1,0 1,2 1,2 1,2 1,4 1,7 2,1 2,3 2,1 1,7 1,2 1,4 1,4 1,7 1,9 2,7 1,4 1,7 6,0 7,0 4,0 6,0 1,4 2,5 1,4 1,7 2,9 Durasi (perhari ) Jumlah jam

Duduk

Berdiri

35. 36. 37. 38. 34 40 41 42. 43. 4. 45.

berhias,dll) Sembahyang Berbelanja Kerja kantor Pesta Pindahkan barang Membersihkan Mengecet rumah Turun tangga Naik gunung Berjalan Jogging

1,4 1,7 1,7 1,8 3,7 3,7 4,5 3,5 6,5 3,5 9,0

Lampiran 3 KODE AKTIFITAS DAN FAKTOR ENERGI

Kode

Aktifitas

Faktor Energi 0,9 1,0 1,0 1,1

Faktor Kode Aktifitas energi

00 01 02 03

Baring

Tidur Istirahat Membaca Menulis

24 25 26 27

Membungkuk Aktif Yoga Menggiling Mengurus diri

1,4 2,5 1,4 1,7

04

Membalik

1,1

28

(MCK, berhias, dll).

2,9

05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 Berdiri Duduk

Menonton TV Berbicara Tidak Aktif Membaca Berbicara Menulis Mengetik Makan Main Piano Mengemudi Main game Nonton TV Tidak aktif Berbicara Menulis Memasak

1,0 1,0 1,2 1,2 1,2 1,4 1,7 2,1 2,3 2,1 1,7 1,2 1,4 1,4 1,7 1,9

29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44

Sembahyang Berbelanja Kerja kantor Pesta Pindahkan barang Merangkak Membersihkan Mengecat rumah Berjalan datar Turun lereng Turun tangga Naik gunung Naik Tangga Hiking Berjalan cepat Berdiri dengan

1,4 1,7 1,7 1,8 3,7 2,9 3,7 4,5 2,9 3,5 3,5 6,5 8,0 5,0 3,5 3,7

beban 21 22 23 48 49 50 51 Mencuci Piring Menyanyi Makan Tenis Basket Pingpong Bersepeda 2,7 1,4 1,7 6,0 7,0 4,0 6,0 45 46 47 52 53 54 Berdiri dan makan Bowling Jogging Dancing Exercise Volleyball 2,9 3,5 9,0 5,0 5,0 3,1

*Faktor ini dikalikan dengan REE untuk memberikan jumlah energi yang digunakan pada setiap aktifitas. (disebut juga dengan MET; 1 MET = 3,5 ml O2/kg/min)

Lampiran 4 FOOD FREQUENCY QUESTIONNARE (FFQ) Petunjuk: Untuk setiap item pangan beri tanda () berapa kali (frekuensi) biasanya dikonsumsi. Frekuensi Penggunaan Tidak Jarang 3 Pernah x/mgg x/mgg

No

Konsumsi Pangan

1 x/hr

Setiap x mkn

Makanan Tinggi Lemak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 Biskuit/wafer Coklat Ice cream Kerupuk Sereal KacangKacangan Kue Mie Instan Pasta Nugget Sozis Abon Sarden Bubur Bayi Biskuit Lainnya

Makanan Tinggi Kalori 17 Biskuit/wafer 18 Coklat 19 Ice cream 20 Kerupuk 21 Sereal 22 KacangKacangan 23 Kue 24 Mie Instan 25 Pasta

26 27 28 29 30 31 32

Nugget Sozis Abon Sarden Bubur Bayi Biskuit Lainnya

Makanan rendah serat 33 Biskuit/wafer 34 Coklat 35 Ice cream 36 Kerupuk 37 Sereal 38 KacangKacangan 39 Kue 40 Mie Instan 41 Pasta 42 Nugget 43 Sozis 44 Abon 45 Sarden 46 Bubur Bayi 47 Biskuit 48 Lainnya Makanan Sumber Karbohidrat 49 Tepung perenyah 50 Tepung Pisang 51 Beras 52 Roti 53 Lainnya Makanan Sumber Protein 54 Telur 55 Lainnya Makanan Sumber Serat 56 Agar-Agar 57 Selai/Meses 58 Sayur Hijau 59 Sayur Merah 60 Buah 61 Lainnya

Makanan Sumber Vitamin dan Mineral 62 Sayur Hijau 63 Sayur Merah 64 Buah 65 Bumbu masak 66 Lainnya Makanan Sumber Natrium 69 Kecap 70 Saus Sambel/Tomat 71 MSG 72 Lainnya Makanan Sumber Lemak 73 Mentega / Margarine 74 Minyak 75 Santan Instan 76 Lainnya Pemanis 77 Gula 78 Permen 79 Madu 80 Lainnya Minuman 81 Minuman Berkarbonasi 82 Air Mineral 83 Minuman Susu 84 Minuman Teh/Kopi 85 Minuman Penyegar 86 Minuman Multivitamin 87 Minuman Sari Buah 88 Minuman Elektrolit 89 Minuman Beralkohol 90 Lainnya