bab i-iii

83
BAB I PENDAHULUAN Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis sudah dikenal sejak lebih kurang dua ribu tahun yang lalu. Pada waktu itu, dua ahli kesehatan Yunani yaitu Cecus dan Areteus, memberikan nama atau sebutan ‘diabetes’ pada orang yang menderita banyak minum dan banyak kencing. Dalam dunia kedokteran, dikenal dengan istilah ‘Diabetes Melitus’ (bahasa latin: diabetes = penerusan; mellitus = manis). 1 Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. 2,3 Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, jumlah itu akan mencapai menjadi 300 juta orang. 4 Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, 1

Upload: siti-annisa-nurfathia

Post on 11-Dec-2014

44 views

Category:

Documents


9 download

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I-III

BAB I

PENDAHULUAN

Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis sudah dikenal sejak lebih

kurang dua ribu tahun yang lalu. Pada waktu itu, dua ahli kesehatan Yunani yaitu

Cecus dan Areteus, memberikan nama atau sebutan ‘diabetes’ pada orang yang

menderita banyak minum dan banyak kencing. Dalam dunia kedokteran, dikenal

dengan istilah ‘Diabetes Melitus’ (bahasa latin: diabetes = penerusan; mellitus =

manis).1

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,

atau kedua-duanya.2,3 Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan

yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat

perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun

berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, jumlah itu akan

mencapai menjadi 300 juta orang.4

Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka

panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,

jantung, dan pembuluh darah.2 Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka

kejadian komplikasi akut maupun kronik dari DM juga akan meningkat, termasuk

komplikasi hipoglikemia.

Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai komplikasi akut dari diabetes

mellitus, yaitu hipoglikemia. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana

perjalanan penyakit diabetes bisa menyebabkan komplikasi tersebut, serta tanda dan

manifestasi klinisnya karena berpengaruh dalam tatalaksana yang diberikan pada

setiap kondisi.

1

Page 2: BAB I-III

BAB II

LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. RSM

Umur : 57 tahun

Pekerjaan : IRT

Agama : Islam

Alamat : RT.9 Kel. Budiman Jambi Timur

MRS : 22 April 2013

2.2 Anamnesa (Alloanamnesa dan autoanamnesa, 23 April 2013)

1. Keluhan Utama

Penurunan kesadaran sejak ± 3 jam SMRS

2. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien masuk via IGD dengan penurunan kesadaran sejak ± 3 jam

SMRS. Menurut keterangan keluarga, sebelum terjadi penurunan kesadaran

pasien mengeluh badannya terasa lemas, keringat dingin, jantungnya

berdebar-debar, tangan gemetar dan kepala terasa berat. Sebelumnya pasien

meminum obat hiperglikemi oral dan tidak makan setelahnya.

Selama beberapa tahun ini pasien merasakan berat badannya semakin

menurun, dan badan terasa lemas, nafsu makan kadang menurun dan kadang

meningkat. Pasien sering merasa cepat lapar dan haus, dan sering BAK

terutama pada malam hari. Pasien juga merasakan kakinya sering merasakan

kesemutan atau rasa baal. Tidak ada keluhan dalam BAB selama ini.

Keluhan sekarang yang dirasakan pasien saat ini adalah lemas, nafsu

makan menurun, mual(+), muntah (-), pusing (-) dan rasa tidak nyaman pada

kakinya.

2

Page 3: BAB I-III

3. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit dengan keluhan yang sama disangkal

Riwayat kencing manis (+), pasien sudah menderita kencing manis selama

4 tahun, dan selama ini meminum obat hiperglikemi oral glibenklamid,

namun tidak diminum teratur dan tidak sesuai dengan anjuran dokter,

pasien juga tidak makan setelah meminum obat hiperlikemi oral.

Riwayat darah tinggi disangkal

Riwayat asma disangkal

Riwayat malaria disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

riwayat penyakit kuning disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga disangkal

Riwayat penyakit kencing manis: ibu menderita kencing manis

Riwayat penyakit darah tinggi disangkal

Riwayat penyakit asma disangkal

Riwayat penyakit jantung disangkal

3

Page 4: BAB I-III

2.3 Pemeriksaan Fisik (23 April 2013)

1. Keadaan umum : Tampak sakit berat

2. Kesadaran : Composmentis, GCS: 15

Di IGD Somnolen, GCS: 10

3. Tanda Vital : TD = 150/100 mmHg N= 75 x/i

RR = 20 x/I T = 36,5ºC

4. Status Gizi:

BB : 45 kg

TB : 150 cm

BBI : (TB-100cm) kg ± 10%

: (150-100) kg ± 10%

: (50–5) – (50+5) = 45kg – 55 kg

IMT : 45/(1,5)2 = 20 BB Normal

5. Kulit

Warna : sawo matang

Eflorensensi : (-)

Pigmentasi : hiperpigmentasi (+) di lengan kiri,

hipopigmentasi (-).

Jaringan parut/ koloid : (-)

Pertumbuhan rambut : normal

Lembab kering : keringat (+)

Turgor : < 2 detik (baik)

6. Kepala dan leher

Rambut : Warna hitam keputihan, ikal, tidak mudah dicabut,

alopesia (-)

Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar

4

Page 5: BAB I-III

Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Skera ikterik (-/-), edema

pelpebra (-/-), Pupil Isokhor θ: 2,5mm

Hidung : Nafas cuping hidung (-), Epistaksis (-), sekret (-)

Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-)

Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1

Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP (5

– 2) cmH2O, Kaku kuduk (-), Pulsasi vena jugularis (-).

7. Thoraks

Paru

Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, thoracoabdominal, sela iga

melebar (-), sela iga menyempit (-)

Palpasi : Vocal Fremitus sama kanan dan kiri

Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis

dekstra,

Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula

sinistra sekitar 1 jari kearah medial, tidak kuat angkat.

Perkusi :

o Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra

o Batas jantung kanan linea parasternal dekstra

o Batas jantung kiri ICS V sekitar 1 jari kearah medial

o Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra

Auskultasi : BJ1-BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)

5

Page 6: BAB I-III

8. Abdomen

Inspeksi : Datar, jaringan parut (-), kaput medusa (-), striae (-)

Palpasi : supel, nyeri tekan (+) di daerah epigastrium dan

hipochondrium sinistra , asites (-), defans muskuler (-),

hepatomegali (-), Splenomegali (-), Ballotement (-)

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-).

Auskultasi : Bising usus normal

9. Genitalia dan anus : Tidak diperiksa secara langsung

10. Ekstremitas

Superior : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time (N),

Clubbing finger (-/-), Palmar eritem (-/-), hiperpigmentasi

di antebrachii sinistra

Inferior : Akral hangat, Pitting edema pretibial (-/-)

Dextra: Tes sensibilitas (-), Refleks fisiologis (-),

pemeriksaan arteri dorsalis pedis pulsasi

menurun.

Sinistra: Tes sensibilitas (-), refeks fisiologis (-),

pemeriksaan arteri dorsalis pedis menurun.

6

Page 7: BAB I-III

2.4 Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

Darah rutin (Tanggal 22 April 2013)

WBC : 7,1 103/mm3 (3,5-10,0 103/mm3)

RBC : 3,49 106/mm3(3,80-5,80 106/mm3)

HGB : 9,6 g/dl (11,0-16,5 g/dl)

HCT : 30,0 % (35,0-50%)

PLT : 226 103/mm3 (150-390 103/mm3)

PCT : .169% (0,100-0,500 %)

MCV : 86 µm3 (80-97 µm3)

MCH : 27,4 pg (26,5-33,5 pg)

MCHC : 31,8 g/dl (31,5-35,0 g/dl)

RDW : 13,3% (10,0-15,0 %)

MPV : 7,5 µm3 (6,5-11,0 µm3)

PDW : 14,9% (10,0-18,0 %)

Diff:

% LYM : 20,0 % (17,0-48,0 %)

% MON : 13,8 % (4,0-10,0 %)

% GRA : 66,2% (43,0-76,0 %)

# LYM : 1,4 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3)

# MON : 0,9 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)

# GRA : 4,8 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3)

GDS (jam 12.37 WIB, 23 April 2013)

46 mg/dl dan 52 mg/dl (2x pemeriksaan)

7

Page 8: BAB I-III

2. EKG (Tanggal: 22 April 2013)

HR: 75/min,

Interval: RR (797 ms), P (48), PR (168), QRS(82 ms), QT (450 ms),

QTC (506ms)

Axis: P (-), QRS (12”), T (28”), P (II) (0,03 mV), S (V1) (-1,22 mV),

R (V5) (1,91 mV), Sokol (3,34 mV)

Kesan:

Sinus Rhythm, axis ke kiri, QRS (T) contour abnormality

8

Page 9: BAB I-III

Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien ini:

GDP, GD2PP/TTGO

Cek darah rutin

(WBC, RBC, Hb, Ht, Trombosit)

Cek Faal hati

(SGOT, SGPT)

Cek Faal ginjal

(Ureum, Kreatinin)

EKG

2.5 Diagnosis Kerja

Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia e.c diabetes mellitus tipe II normoweight

tidak terkontrol

2.6 Diagnosis Banding

Hipoglikemi e.c Diabetes Melitus tipe I

Koma Hiperglikemi

2.7 Tatalaksana

Tatalaksana awal di IGD:

O2 4l nasal canul

IVFD D10%, 20 gtt/i

Infus D40% 2 flash

Inj. Ranitidine 2x1 amp

Cek GDS tiap 1 jam

Tatalaksana di ruangan:

IVFD Dextrose 10 % 20 gtt/i

Inj. Ranitidine 2x1 amp

9

Page 10: BAB I-III

Cek GDS tiap 6 jam

Tatalaksana tambahan/disarankan:

Bed rest tidak total

Edukasi

2.8 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad fungsionam: dubia ad bonam

2.9 Follow Up

Tanggal 22 April 2013

S : Badan terasa lemas, mual (+), muntah (-), pusing (+), nyeri ulu hati

O : TD = 150/100 mmHg, N = 75x/mnt, RR = 22 x/mnt, T = 36,5°C

GDS = 12.30 : 52 mg/dl

18.30 : 91 mg/dl

24.30 : 45 mg/dl

A: Penurunan kesadaran e.c hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight

tidak terkontrol

P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

Saran Pemeriksaan:

- Cek GDS tiap 6 jam

- Cek Faal hati

- Cek Faal ginjal

10

Page 11: BAB I-III

Tanggal 23 April 2013

S : Badan terasa lemas, mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri ulu hati

O : TD = 200/100 mmHg, N = 82x/mnt, RR = 22 x/mnt, T = 36,5°C

GDS = 06.30 : 27 mg/dl

08.15 : 82 mg/dl

11.30 : 111 mg/dl

A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol

P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1

Hasil Pemeriksaan:

- Faal Hati

SGOT : 24 U/L (<40 U/L)

SGPT : 12 U/L (<41 U/L)

- Faal Ginjal

Ureum : 81,1 mg/dl (15-39 mg/dl)

Kreatinin : 5,3 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)

Tanggal 24 April 2013

S : Badan terasa lemas, mual (+), nyeri ulu hati

O : TD = 160/100 mmHg, N = 70x/mnt, RR = 17 x/mnt, T = 36,6°C

GDS = 117 mg/dl

A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol dan

suspect Gagal Ginjal Kronik

P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1

11

Page 12: BAB I-III

Saran Pemeriksaan:

- USG Abdomen

Tanggal 25 April 2013

S : mual (+), nyeri ulu hati

O : TD = 160/100 mmHg, N = 80x/mnt, RR = 18 x/mnt, T = 36°C

GDS = 143 mg/dl

A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol dan

suspect Gagal Ginjal Kronik

P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i

- Inj. Ranitidine 2x1 amp

- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1

12

Page 13: BAB I-III

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pankreas

Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang dan ±12,5

cm dan tebal ± 2,5 cm. Pankreas terbentang dari atas sampai kelengkungan besar dari

perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum (usus 12 jari) organ

ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian yaitu kelenjar endokrin dan eksokrin.6

a. Struktur Pankreas terdiri dari :

1) Caput pankreas

Merupakan bagian yang paling lebar, terletak disebelah kanan rongga

abdomen dan di dalam lekukan duodenum dan yang praktis melingkarinya.

2) Corpus pankreas

Merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di belakang lambung

dan di depan vertebra lumbalis pertama.

3) Ekor pankreas

Merupakan bagian yang runcing di sebelah kiri dan yang sebenarnya

menyentuh limfa.

b. Saluran Pankreas

Pada pankreas terdapat dua saluran yang mengalirkan hasil sekresi pankreas ke

dalam duodenum :

1) Ductus Wirsung, yang bersatu dengan ductus chole dukus, kemudian masuk

ke dalam duodenum melalui sphincter oddi

2) Ductus Sartonni, yang lebih kecil langsung masuk ke dalam duodenum di

sebelah atas sphincter oddi.

c. Jaringan pankreas

Ada 2 jaringan utama yang menyusun pankreas :

1) Asini berfungsi untuk mensekresi getah pencernaan dalam duodenum

2) Pulau langerhans

13

Page 14: BAB I-III

d. Pulau-pulau langerhans

1) Hormon-hormon yang dihasilkan

a) Insulin

Adalah suatu poliptida mengandung dua rantai asam amino yang

dihubungkan oleh gambaran disulfide.

b) Enzim utama yang berperan adalah insulin protease, suatu enzim

dimembran sel yang mengalami internalisasi bersama insulin

c) Efek faali insulin yang bersifat luas dan kompleks

2) Efek-efek tersebut biasanya dibagi:

a) Efek cepat (detik)

Peningkatan transport glukosa, asam amino dan k+ ke dalam sel peka

insulin.

b) Efek menengah (menit)

Stimulasi sintesis protein, penghambatan pemecahan protein,

pengaktifan glikogen sintesa dan enzim-enzim glikolitik.

c) Efek lambat (jam)

3) Peningkatan Massenger Ribonucleic Acid (MRNA) enzim lipogenik dan

enzim lain

Pengaturan fisiologi kadar glukosa darah sebagian besar tergantung dari:

a) Ekstraksi glukosa

b) Sintesis glikogen

c) Glikogenesis

4) Glukogen

Molekul glukogen adalah polipeptida rantai lurus yang mengandung 29 n

residu asam amino dan memiliki 3485 glukogen merupakan hasil dari sel-

sel alfa, yang mempunyai prinsip aktivitas fisiologi meningkatkan kadar

glukosa darah.

14

Page 15: BAB I-III

a) Somatostatin

Somatostatin menghambat sekresi insulin, glukogen dan polipeptida

pankreas dan mungkin bekerja di dalam pulau-pulau pankreas,

b) Polipeptida pankreas

Polipeptida pankreas manusia merupakan suatu polipeptida linear yang

dibentuk oleh sel pulau langerhans.

Gambar 3.1. Anatomi Pankreas7

15

Page 16: BAB I-III

3.2 Diabetes Melitus

3.2.1 Definisi

Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan

metabolisme karbohidrat, yakni penurunan penggunaan glukosa yang rendah

sehingga mengkibatkan adanya penumpukan glukosa di dalam darah

(hiperglikemia).1 Adapun penyebab terjadinya penimbunan kadar glukosa di dalam

darah tersebut ialah adanya gangguan berupa kurangnya sekresi enzim insulin pada

pancreas (DM tipe 1), atau terjadin gangguan fungsi pada enzim insulin tersebut

dalam metabolisme glukosa (DM tipe 2).

3.2.2 Epidemiologi

Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup

besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000

menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan

akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat 46 juta dan

diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun

2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan urutan

keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak setelah

India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil.1,4

3.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko

3.2.3.1 Etiologi3,8

1. Diabetes Melitus Tipe 1

a) Melalui proses imunologik

b) Idiopatik

2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin

disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi

insulin bersama resistensi insulin).

16

Page 17: BAB I-III

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

a) Defek genetik funsi sel-β:

Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)

Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)

Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)

DNA mitokondria

Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)

HNF-1 (MODY 5)

NeuroD1 (MODY 6)

Subunits of ATP-sensitive potassium channel

Proinsulin or insulin conversion

b) Defek genetik kerja insulin:

Type A insulin resistance

Sindrom Rabson-Mendenhall

Sindrom Lipodystrophy

c) Penyakit eksokrin pankreas:

Pankreatitis

Trauma/pankreatektomi

Neoplasma

Kista fibrosis

Hemokromatosis

Pankreatopati fibro kalkulus

d) Endokrinopati:

Akromegali

Sindrom cushing

Feokromositoma

Hipertiroidisme

e) Karena obat/zat kimia:

Vancor, interferon

17

Page 18: BAB I-III

Pentamidin, tiazin, dilatin

Asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid

f) Infeksi : rubella kongenital dan CMV

g) Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin

h) Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Kliniferter, Turner,

Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi.

4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)

3.2.3.2 Faktor Resiko

Sudah lama diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan. Artinya

bila orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya akan menderita diabetes juga.

Hal itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup. Diperlukan faktor

lain yang disebut faktor resiko atau faktor pencetus misalnya:1

Adanya infeksi virus (pada DM tipe 1)

Obesitas (terutama yang bersifat sentral)

Pola makan yang salah

Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat

Proses penuaan

Hipertensi (TD ≥ 140/90 mm Hg)2

Dyslipidemia HDL kolesterol < 40 mg/dL atau TG > 150 mg/dL

Stress

3.2.4 Klasifikasi

3.2.4.1 Diabetes Melitus Tipe I / Juvenile

Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen

insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes

tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua

subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan

(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.3

18

Page 19: BAB I-III

3.2.4.2 Diabetes Melitus Tipe II / Onset maturitas

Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan

tipe nondependen insulin.Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.3

Tabel 3.1 Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2.1

Type 1 (insulin dependent) Type 2 (non-insulin dependent)

Nama lama

Epidemiologi

DM Juvenil

Anak-anak/remaja(biasanya

berumur < 30 tahun)

DM Dewasa

Orang tua (biasanya berumur >

30 tahun)

Berat badan  Biasanya kurus Sering obesitas

Heredity HLA-DR3 or DR4 in > 90% Tidak ada hubungan HLA

Patogenesis Penyakit Autoimmune : Tidak berhubungan dengan

autoimun

  Islet cell autoantibodies Insulin resistance

  Insulitis  

Klinikal Defisiensi Insulin Defisiensi Partial insulin

  Berhungan dengan ketoacidosis Berhubungan dengan

hyperosmolar

 Pengobatan Insulin, diet, olah raga Diet, olah raga, tablet, insulin

Biochemical Kemungkinan kehilanganpeptida-C Persisten peptida-C

3.2.4.3 Diabetes Gestasional (GDM)

Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kah selama kehamilan dan

memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia

tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional

terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek

19

Page 20: BAB I-III

metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabeto-

genik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin

akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada

kehamilan.3

Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah

kriteria yang diusulkan oleh O'Sullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini,

GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui

sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; I jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165

mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita

berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi

kematian janin viabel yang lebih tinggi. kematian janin viabel yang lebih tinggi.

Kebanyakan perempuan hamil harus menjalani penapisan untuk diabetes selama usia

kehamilan 24 hingga 28 minggu.3

3.2.5 Patofisiologi

3.2.5.1 Diabetes Melitus Tipe 1

Pada diabetes tipe 1 timbul karena adanya reaksi autoimin yang disebabkan

adanya peradangan pada sel-β insulinitis. Ini menyebabkan timbulnya anti bodi

terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta)

dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel-β.

Insulinitis bisa disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie,

rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Yang diserang pada insulinitis itu hanya sel-β,

biasanya sel-α dan delta tetap utuh.3,9,10

20

Page 21: BAB I-III

Gambar 3.2 Skema proses perjalanan DM tipe 1.

3.2.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2

Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih

banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.

Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.

Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga meskipun anak

kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka

glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan

glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama

dengan pada DM tipe 1. Peebedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa

tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal keadaan ini disebut resistensi insulin.3,9,10

Gambar 3.3: Mekanisme skeresi insulin pada sel-β pankreas.10,11

21

Page 22: BAB I-III

Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel-β berkurang sampai 50-60% dari

normal. Jumlah sel-α meningkat. Yang menyolok adalah adanya peningkatan jumlah

jaringan amiloid pada sel-β yang disebut amilin.

Gambar 3.4. Mekanisme signal transduksi insulin normal, berbeda pada orang penderita DM jumlah

reseptor insulin menurun sehungga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah

meningkat.6,11

3.2.5.3 Diabetes Gestational

Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan

memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia

tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional

terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek

metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabeto-

genik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin

akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada

kehamilan.3

22

Page 23: BAB I-III

Gambar 3.5 Skema pada diabetes gestasional6

3.2.6 Manifestasi dan Gejala Klinis

3.2.6.1 Gejala Khas1,3,12

1. Banyak kencing (poliuria)

Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak

kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu

penderita, terutama pada waktu malam. Untuk mekanisme lihat gambar 05 dibawah

ini.

2. Banyak minum (polidipsia)

Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang

keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Dikiranya sebab

rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan

rasa haus itu penderita minum banyak. Untuk lebih jelanya lihat gambar 05 dibawah

ini.

23

Page 24: BAB I-III

3. Banyak makan (polifagia)

Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi

glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, oleh karena itu penderita

selalu merasa lapar.

4. Penurunan berat badan dan rasa lemah

Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus

menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan penurunan prestasi

di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan glukosa dalam

darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk

menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil

dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan

lemak dan otot sehingga menjadi kurus.

3.2.6.2 Gejala Tidak Khas1,3,12

1. Gangguan saraf tepi/kesemutan

Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu

malam, sehingga mengganggu tidur.

2. Gangguan penglihatan

Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang

mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat

melihat dengan baik.

3. Gatal/bisul

Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah

lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya

bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele

seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.

24

Page 25: BAB I-III

4. Gangguan ereksi

Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara

terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat

yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut

kemampuan atau kejantanan seseorang.

5. Keputihan

Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan

dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.

3.2.7 Diagnosis

Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan berdasarkan:

a. Anamnesis

b. Pemeriksaan Fisik

c. Pemeriksaan Penunjang

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM

berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat

dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,

kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae

pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200

mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.3,12

25

Page 26: BAB I-III

Gambar 3.6 Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu3

Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah

yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis

DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,

baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200

mg/dl pada hari lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan

kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.3,12

26

Page 27: BAB I-III

Gambar 3.7 Langkah Diagnostik DM dan TGT dari TTGO3

Cara pelaksanaan TTGO:3,12

3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)

Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan

Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air

putih diperbolehkan

Diperiksa kadar glukosa darah puasa

Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa

Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak

merokok.

Langkah diagnostik Diabetes Mellitus

Kriteria diagnostik diabetes mellitus * dan gangguan toleransi glukosa

1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau

2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl atau

3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75

gram pada TTGO**

27

Page 28: BAB I-III

* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari lain,

kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi

metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi,

polifagi dan berat badan menurun cepat.

** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik. Untuk

penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik

kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional

juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.3,12

Pemeriksaan Penunjang lain:

Pemeriksaan penunjang yang digunakan pada pasien DM selain kadar glukosa darah

puasa, 2 jam PP, yaitu pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta

pemeriksaan fruktosamine. Pemeriksaan lain yang digunakan yaitu urine rutin.

Pemeriksaan untuk diagnosis banding:13

1. Kadar C peptida darah

Pemeriksaan ini dapat menggambarkan potensi sel untuk memproduksi

insulin dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam penentuan terapi

insulin.Pada semua tipe DM kadarnya lebih rendah dibandingkan orang

normal. Makin lemah respon C peptida terhadap rangsang glukosa berarti

makin tinggi ketergantungan terhadap insulin. Pemeriksaan C peptida

dilakukan dengan metoda RIA (Radio Immuno Assay).

2. Kadar insulin darah

NIDDM dijumpai dalam kadar rendah, normal, atau bahkan tinggi.

3. Pemeriksaan HLA

Pemeriksaan HLA DR dan B dilakukan untuk memperjelas tipe DM, karena

IDDM berkaitan dengan HLA DR 3, DR 4, Bb, B15.

3.2.8 Tatalaksana

28

Page 29: BAB I-III

Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala, mengusahakan

keadaan gizi dimana berat badan ideal dan mencegah terjadinya komplikasi.5,13,14,15

Secara garis besar pengobatannya dilakukan dengan:

1. Diet5

Prinsip umum : diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari

penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes

diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:

a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misal : vitamin dan mineral)

b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai

c. Memenuhi kebutuhan energi

d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan

mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara

yang aman dan praktis

e. Menurunkan makan pada penderita DM

Pencernaan makan pada penderita DM

1) Kebutuhan kalori

Tujuan yang paling penting adalah pengendalian asupan kalori total

untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang sesuai dan

pengendalian kadar glukosa darah.

Rencana makan bagi penyandang diabetes juga memfokuskan

presentase kalori yang berasal dari karbohidrat, protein dan lemak

Ada 2 tipe karbohidrat yang utama, yaitu :

a) Karbohidrat kompleks (seperti : roti, sereal, nasi dan pasta)

b) Karbohidrat sederhana (seperti : buah yang manis dan gula)

Jumlah kalori diperhitungkan sebagai berikut :

a) BB ideal = (TB cm – 100) kg – 10 % . pada waktu istirahat,

diperlukan 25 kkal/kg BB ideal

b) Kemudian diperhitungkan pula

29

Page 30: BAB I-III

Aktivitas, kerja ringan : ditambah 10 – 20 %, kerja sedang

ditambah 30 %, kerja berat ditambah 50 % dan kerja berat sekali

ditambah 20 – 30 %)

Stress : ditambah 20 – 30 %, hamil trimester 2 – 3 ditambah 400

kal dan laktasi ditambah 600 kal

2) Karbohidrat

Tujuan diet ini adalah meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks

(khususnya yang berserat tinggi) seperti roti, gandum utuh, nasi beras

tumbuk, sereal dan pasta / mie yang berasal dari gandum yang masih

mengandung bekatul.

Karbohidrat sederhana tetap harus dikonsumsi dalam jumlah yang

tidak berlebihan dan lebih baik jika dicampur ke dalam sayuran atau

makanan lain daripada dikonsumsi secara terpisah

3) Lemak

Pembatasan asupan total kolesterol dari makanan hingga < 300 mg /

hr untuk membantu mengurangi faktor resiko, seperti kenaikan kadar

kolesterol serum yang berhubungan dengan proses terjadinya penyakit

koroner yang menyebabkan kematian pada penderita diabetes

4) Protein

Makanan sumber protein nabati (misal : kacang-kacangan dan biji-

bijian yang utuh) dapat membantu mengurangi asupan kolesterol serta

lemak jenuh. (Brunner & Suddarth, 2002)

2. Olah raga / latihan

Sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena afeknya dapat

menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko

kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan

meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian

insulin, sirkulasi darah dan tonus otot.

30

Page 31: BAB I-III

Latihan ini sangat bermanfaat pada pendrita diabetes karena dapat

menurunkan BB, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran

tubuh. Mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar High Density

Lipoprotein (HDL)-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta

trigliserida.

Meskipun demikian penderita diabetes dengan kadar glukosa >250

mg/dl (14 mmol/dL) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak boleh

melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urine memperlihatkan hasil

negatif dan kadar glukosa darah telah mendekati normal.

Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan

sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin. Peningkatan

hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi

kenaikan kadar glukosa darah

3. Obat-obatan13,14,15

Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan

sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan

benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat

tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal

Klasifikasi Obat Hiperglikemik Oral:

Golongan Insulin Sensitizing

Golongan insulin sensitizing terdiri dari: Biguanid dan Glitazone

Golongan Sekretagok Insulin

Golongan sekretagok insulin terdiri dari: Sulfonil Urea dan Glinid

Penghambat Alfa glukosidase

31

Page 32: BAB I-III

a. Golongan biguanid

Tidak sama dengan sulfonilurea, karena tidak merangsang sekresi insulin.

1) Menurunkan kadar GD menjadi normal dan istimewanya tidak

menyebabkan hipoglikemia

2) Cara kerja belum diketahui secara pasti, tetapi jelas terdapat:

a) Gangguan absorbsi glukosa dalam usus

b) Peningkatan kecepatan ambalan glukosa dalam otot

b. Golongan sulfonilurea

1) Cara kerja :

a) Merangsang sel beta pancreas untuk mengeluarkan insulin, jadi

hanya bekerja bila sel-sel beta utuh

b) Menghalangi pengikatan insulin

c) Mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin

d) Menekan pengeluaran glukogen

2) Indikasi

a) Bila BB ideal ± 10% dan BB ideal

b) Bila kebutuhan insulin < 40 u/hr

c) Bila tidak ada stress akut, misal: infeksi berat / operasi

d) Dipakai pada diabetes dewasa, baru dan tidak pernah ketoasidosis

sebelumnya

3) Efek samping

a) Mual, muntah, sakit kepala, vertigo dan demam

b) Dermatitis, pruritus

c) Lekopeni, trombositopeni, anemia

4) Kontra indikasi

Penyakit hati, ginjal dan thyroid

32

Page 33: BAB I-III

c. Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose)

Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik

sesudah makanTerutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa

darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50

mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan

gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien

yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati

dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan

faal hati dan ginjal

d. Insulin

1) Indikasi

a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM / NIDDM)

dalam keadaan ketoasidosis

b) Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDM yaitu juvenile

diabetes

c) Penderita yang kurus

d) Bila dengan obat oral tidak berhasil

e) Kehamilan

f) Bila ada komplikasi mikroangiopati, misal: retinopati / nefropati

g) ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat

h) stres berat (infeksi sistemik, operasi berat)

i) berat badan yang menurun dengan cepat

j) kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan

perencanaan makan.

2) Efek samping

a) Lipodistrofi : atrofi jaringan subkutan pada tempat penyuntikan

b) Hipoglikemia : dosis insulin berlebih atau kebutuhan insulin yang

berkurang

33

Page 34: BAB I-III

c) Reaksi alergi

d) Resistensi terhadap insulin

3) Jenis Insulin

Jenis Awitan

kerja (jam)

Puncak kerja

(jam)

Lama kerja

(jam)

Insulin kerja pendek 0,5 - 1 2 – 4 5 – 8

Insulin kerja menengah 1 – 2 4 – 12 8 – 24

Insulin kerja panjang 2 6 – 20 18 – 36

Insulin campuran 0,5 - 1 2 - 4 dan 6 -12 8 – 24

Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai

dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai

dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau metformin

sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,

perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda

(sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea, acarbose +

metformin atau sulfonilurea). Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin

(OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi

hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan

adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat

diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin

yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang

malam hari.

34

Page 35: BAB I-III

3.2.9 Komplikasi DM16,17

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronik.

a. Komplikasi akut :

        - ketoasidosis diabetik

        - hiperosmolar non ketotik

        - hipoglikemia

b. Komplikasi kronik

1. Makroangiopati:

        - Pembuluh darah jantung (penyakit jantung kororner)

        - Pembuluh darah tepi

        - Pembuluh darah otak (stroke)

2. Mikroangiopati:

        - retinopati diabetik

        - nefropati diabetik

3. Neuropati

4. Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi

saluran kemih

5. Kaki diabetik/Ulkus Diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)

35

Page 36: BAB I-III

Gambar 3.8 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus

36

RetinopathyCataractsBlindness

Cerebrovascular disease (stroke)Prematur coronary artery disease (angina, MI, CHF)

Autonomic (gastroparesis, diarrhea) Impot

ence

Nephropathy (renal failure)

Peripheral vascular disease (amputation)

Peripheral neuropathy (pain, loss of sensory)

Page 37: BAB I-III

3.3 Hipoglikemia

3.3.1 Definisi

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan

glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan

kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid.16

3.3.2 Epidemiologi

Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk,

memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun,

dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM.

meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi

biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau

belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya18

3.3.3 Faktor Predisposisi Hipoglikemia

Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi

hipoglikemia adalah:18

1. Kadar insulin berlebihan

Dosis berlebihan

Peningkatan bioavaibilitas insulin

2. Peningkatan sensitivitas insulin

Defisiensi hormone counter-regulatory: penyakit Addison, hipopituitarism

Penurunan berat badan

Latihan jasmani, postpartum

3. Asupan kabohidrat kurang

Makan tertunda atau lupa, porsi makan berkurang

Diet

Muntah

37

Page 38: BAB I-III

Menyusui

4. Lain-lain

Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot

Alklohol, penggunaan obat (salisilat, sulfonamide, dll)

3.3.4 Tanda Hipoglikemia19

1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.

2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug

sederhana.

3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau

tangan, berdebar-debar.

4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.

Gambar 3.9 Respon Fisiologis Hipoglikemia18

38

Page 39: BAB I-III

3.3.5 Diagnosis

Diagnosis hipoglikemia relaif mudah, yaitu dengan pemeriksaan gula darah.

Trias Whipple:

Keluhan dan gejala hipoglikemia s/d kesadaran menurun,

Kadar Glukosa < 45 mg/dL (pada wanita dapat < 30 mg/dL),

Bangun kembali setelah diberikan glukosa

3.3.4 Tatalaksana Hipoglikemia

Terapi hipoglikemia pada penderita diabetes:18

Glukosa Oral

Sesudah diagnose hipoglikemia ditegakkan, 10-20 g glukosa oral harus segera

diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200ml minuman yang

mengandung glukosa.

Glukagon Intramuskular

Glucagon 1mg intramuscular dpat diberikan dalm 10 mwnit. Kecepatan kerja

glucagon sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar,

pemberian glucagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan

dilanjutkan dengan pemberian 40 g kabohidrat.

Glukosa Intravena

Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan

konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100ml glukosa 20% atau

150-200ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50% dapat

menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.

39

Page 40: BAB I-III

Gambar 3.10 Alur tatalaksana hipoglikemia pada diabetes16

40

Page 41: BAB I-III

3.3 Gagal Ginjal Kronik

3.3.1 Definisi

Gagal ginjal kronik pada diabetes mellitus biasa disebut nefropati diabetic,

yang didefiniskan dengan sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai

dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua

kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi

glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa

penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.4

3.3.2 Epidemiologi

Angka kejadian pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden

pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus

tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Ras kulit hitam 3-6 kali lipat lebih banyak dari ras

kulit putih.

Faktor Resiko 4

· Hipertensi dan Predisposisi Genetik

· Kepekaan Nefropati Diabetik

Tidak semua orang dengan diabetes akan mengalami nefropati diabetik,

duduga karena setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap

nefropati, yang diduga memegang peranan dalam dal ini adalah antigen HLA dan

GLUT.

· Hiperglikemia Tidak Terkendali

· Konsumsi Protein Hewani

· Umur dan Obesitas

Merupakan faktor resiko untuk DM tibe 2 juga, karena pada umumnya DM

tipe 2 menyerang usia dewasa dan berat badang yang berlebih.

· Faktor Resiko Progresi Nefropati pada DM II

41

Page 42: BAB I-III

3.3.3 Klasifikasi

Tabel 3.2 Klasifikasi Nefropati Diabetik4

Perjalanan penyakit nefropati diabetic dibagi menjadi 5 tahapan oleh

mogensen4, yaitu:

Tahap 1 (Stadium Hiperfiltrasi)

Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis ditegakkan.

Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat, disertai

pembesaran ukuran ginjal. Tekanan darah biasanya normal. Tahap ini reversible dan

berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes mellitus. Dengan pengendalian

glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali normal.

Tahap 2 (Stadium Silent)

Secara klinis belum ada kelainan yang berarti, laju filtrasi glomeroulus meningkat,

ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan

histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik. Terjadi 5-10

tahun setelah didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini dapat berlangsung lama dan

hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.

Tahap 3 (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient)

Merupakan tahap awal dari nefropati. Tekanan darah mulai meningkat. Pada tahap ini

ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipient, laju filtrasi glomerulusnya

meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam

urin adalah 20-200 ig/ menit (30-300 mg/ 24 jam). Secara histologis, didapatkan

42

Page 43: BAB I-III

peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional dalam

glomerulus. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes

mellitus.

Tahap 4 (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)

Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien.

Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi

glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun. Terjadi setelah 15-20 tahun

didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal hanya dapat

diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.

Tahap 5 (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)

Memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis, maupun cangkok ginjal.

Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium 4 dan 5-7 tahun

kemudian akan sampai stadium 5.

Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara

diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali

dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel

dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II

merupakan prognosis yang buruk.

43

Page 44: BAB I-III

3.3.4 Patofisiologi

Gambar 3.11 Patofisiologi Nefropati Diabetik4

Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan

produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced

44

Page 45: BAB I-III

Glicosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway),

glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada

kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena

hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada

membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini

akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga

terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang

ditandai dengan timbulnya albuminuria. 4,10,11

Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju

kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif,

glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang

masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju

filtrasi glomerulus pada nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan oleh dilatasi

arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon

vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari

hiperglikemia adalah perangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta

produksi Transforming growth factor-beta (TGF-β) yang diperantarai oleh aktivasi

protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki

fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan

permeabilitas kapiler. TGF-beta menyebabkan peregangan mesangial dan fibrosis

melalui stimulasi kolagen dan fibronectin.4,17,20

Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam

amino dan protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan

mengikat residu amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi

penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible

dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk

Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan

menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi molekul adhesi

yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi

45

Page 46: BAB I-III

sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan

terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta

fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Akibat kelainan

rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII) meningkat pada nefropati

diabetikum, sehingga menyebabkan konstriksi arteriola efferentia di glomerulus,

menyebabkan peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta

menstimulasi fibrosis dan inflamasi pada glomerulus.4,10,11

Patogenesis dari nefropati diabetikum sejalan dengan patogenesis diabetes

mellitus pada umumnya, dan mikroangiopati pada khususnya. Progresivitas nefropati

diabetikum ditandai dengan adanya proteinuria yang merupakan penanda penurunan

fungsi ginjal, peningkatan creatinine clearance (crcl), glomerulosklerosis, dan

fibrosis interstitial. Saat ini diketahui bahwa connective tissue growth factor (CTGF)

merupakan faktor penting pada nefropati diabetikum. Pada sel ginjal, CTGF diinduksi

oleh kadar glukosa darah yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks

ekstraselular, migrasi sel, serta transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan

protein yang disekresi dan dapat dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada

pasien dengan nefropati diabetikum lebih tinggi daripada pasien dengan

normoalbuminuria. Pada pasien dengan nefropati diabetikum, peningkatan CTGF di

atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen terhadap ESRD

dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan dengan

penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum

dibandingkan normoalbuminuria, yaitu berturut-turut 5,4 dan 3,3ml/menit/1,73 m2

per tahun.4,10,17

Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya

sebagai predictor ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen

terhadap mortalitas secara keseluruhan. Namun, CTGF plasma pada pasien

normoalbuminuria tidak berkorelasi dengan parameter klinis serta tidak memprediksi

hasil. Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,

46

Page 47: BAB I-III

membrane basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks imun

pada penderita diabetes mellitus.4,17,20

1. Endotel

Hiperglikemia pada diabetes mellitus akan menyebabkan pembengkakan endotel

akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu yang

mengakibatkan celah endotel bertambah luas dan timbulnya proteinuria.

Kerentanan terjadinya agregasi trombosit akibat sintesis Faktor VIII meningkat,

phosphoglucoisomerase (PGI) sebagai anti agregan menurun dan activator

plasminogen yang menurun.

2. Membrana basalis glomerulus

Diabetes mellitus dan hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penebalan

membrane basalis glomerulus sebagai akibat dari deposisi kolagen tipe I, III, IV

dan glikoprotein, serta menurunnya kadar glikoaminoglikans dan sistein, sehingga

menyebabkan hilangnya sifat anionik dari membrane basalis glomerulus yang

mengakibatkan permeabilititasnya meningkat dan terjadi albuminuria.

Albuminuria akan meningkat bila tekanan intraglomeruler meningkat, misalnya

pada latihan dan hipertensi. Setelah 2 tahun mengidap diabetes mellitus,

membrane basalis glomerulus menebal kurang lebih 15%, sesudah 5 tahun 30%,

dan setelah 20 tahun penebalan menjadi dua kali lipat.

3. Mesangium

Pada diabetes mellitus dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium

meningkat, sehingga pelebaran mesangium terjadi dengan akibat permukaan

filtrasi efektif mengecil. Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang

lanjut, maka permukaan tersebut semakin mengecil dan akhirnya glomerulus

tidak berfungsi lagi.

4. Kompleks imun

Kompleks imun (Ag-Ab) pada diabetes mellitus meningkat, dan endapan

kompleks Ag-Ab banyak didapatkan pada membrane basalis glomerulus dan

mesangium. Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit (RES)

47

Page 48: BAB I-III

dan sel-sel mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali glukosa

yang rendah, fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu membersihkannya,

sehingga matriks mesangium bertambah lebar dan permukaan filtrasi efektif

bertambah sedikit. Kelebihan kompleks imun di dalam darah juga akan

merangsang sistem komplemen dan faktor koagulasi, sehingga memacu terjadinya

mikroangiopati diabetes mellitus dengan akibat munculnya dan bertambah

beratnya nefropati diabetikum. Kompleks imun yang berlebihan pada diabetes

mellitus juga akan merangsang sintesis Tromboksan A di trombosit, sehingga

mudah terjadi agregasi trombosit. Seperti diketahui, agregasi trombosit adalah

bahan dasar untuk terbentuknya mikrotrombus.

3.3.5 Penegakan Diagnosis4

Diagnosis nefropati diabetikum dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan

seperti dibawah ini:

1. Diabetes Mellitus

2. Retinopati Diabetika

3. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua

kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria

yang lain.

Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:

1. Anamnesis

Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari

gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,

penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar

sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.

48

Page 49: BAB I-III

2. Pemeriksaan Fisik

Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda

retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa (1) obstruksi

kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina, (2)

mikroaneurisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena,

(3) Eksudat berupa Hard exudates (berwarna kuning, karena eksudasi plasma

yang lama), Cotton wool patches (berwarna putih, tak berbatas tegas,

dihubungkan dengan iskhemia retina), (4) Shunt arteri-vena, akibat pengurangan

aliran darah arteri karena obstruksi kapiler, (5) Perdarahan bintik atau perdarahan

bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler, (6)

Neovaskularisasi.

Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,

didapatkan perubahan seperti pembesaran jantung dan edema paru.

3. Pemeriksaan Laboratorium

Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua

kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan

filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial

tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.

Mikroalbuminuria dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati

diabetikum.

Tabel 3.2 Laju ekskresi albuminurin4

49

Page 50: BAB I-III

Gambar 3.12 Penapisan Mikroalbuminuria4

3.3.6 Penatalaksanaan4

Penatalaksanaan nefropati diabetic adalah dengan melakukan evaluasi terlebih

dahulu, melihat kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal. Menurut American

Diabetes Association (ADA) evaluasi dilakukan dengan melakukan pemeriksaan

terhadap adanya mikroalbuminuria dan penurunan kreatinin serum dan klirens

kreatinin.

Terapi pada kasus nefropati diabetic tergantung tahapannya, namun prinsip

utamanya adalah:

1. Pengendalian gula darah

50

Page 51: BAB I-III

2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi), targetnya

adalah <130/80 mmHg, dengan pemberian ACE-I/ ARB, kemudian diuretika dan

Beta Blocker/ Calccium Channel Blocker.

3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I dan atau ARB)

4. Pengendalian faktor risiko lain jika ada.

Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang laju filtrasinya mencapai 10-12

ml/menit (kliren kratinin <15 ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan

untuk melakukan dialisis.

51

Page 52: BAB I-III

BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini, pasien Ny. RSM (57 tahhun) didiagnosa dengan

Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia e.c diabetes mellitus Tipe II Normoweight

tidak terkontrol + Gagal Ginjal Kronik. Dasar diagnosa pada pasien ini adalah

sebagai berikut:

4.1 Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia

Hal ini didapatkan pada saat keterangan di IGD bahwa pasien datang ke

IGD dengan penurunan kesadaran sejak ± 3 jam SMRS. Menurut keterangan

keluarga, sebelum terjadi penurunan kesadaran pasien mengeluh badannya terasa

lemas, keringat dingin, jantungnya berdebar-debar, tangan gemetar dan kepala

terasa berat. Sebelumnya pasien meminum obat hiperglikemi oral dan tidak

makan setelahnya.

Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan: TD 150/100 mmHg, N

75 x/i, RR 20 x/i, T 36,5ºC. Dari hasil pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan

GDS, didapatkan: hasil darah rutin normal dan GDS 46 mg/dl dan 52 mg/dl

(dilakukan dua kali pemeriksaan). Maka dapat disimpulkan pasien ini mengalami

penurunan kesadaran yang disebabkan hipoglikemia.

Kemungkinan mekanisme penurunan kesadaran pada pasien ini:

Asupan glukosa yang berkurang (keterangan: pasien belum makan malam)

Glukosa merupakan bahan metabolik dasar dari otak. Otak dapat

menggunakan glikogen namun dalam jumlah terbatas, contohnya glikogen

yang bersumber dari otot, akibat keterbatasan glikogen di otot dan

keterbatasan otak untuk menggunakan glikogen sebagai sumber energi,

akhirnya otak kehilangan sumber energinya, maka terjadilah syok

hipoglikemik yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang

52

Page 53: BAB I-III

menyebabkan pasien menjadi pingsan, dapat juga kejang, yang lebih fatal

adalah koma

Karena penggunaan obat hiperglikemi oral yang tidak terkontrol

Kemungkinan pasien ini mendapatkan obat dari Puskesmas yaitu obat

sulfonylurea. Obat ini dapat merangsang sekresi insulin dari granul – granul

sel β pankreas, melalui ATP-sensitive K channel sehingga kanal Ca

depolarisasi yang mengakibatkan insulinnya keluar. Namun apabila faktor

resiko penggunaan obat (dosis berlebih, pemakaian tidak teratur, dan tidak ada

kontrol dari dokter) dapat menyebabkan ambilan glukosa juga berlebih,

sehingga gula darah menjadi turun dan menyebabkan hipoglikemi

Tatalaksana awal pada pasien ini, yaitu:

Pasien diberikan terapi bolus glukosa 40% (dekstose 40%) IV dilakukan karena

terjadinya syok hipoglikemik, diberikan D40% IV agar keadaan glukosa dalam

darah lebih cepat meningkat. Selama pemantauan pasien mengalami peningkatan

kadar gula darah. Kemudaian diberikan infus glukosa maintanance 10% untuk

mempertahankan glukosa serum. Glukosa serum diukur setiap 6 jam setelah terapi

dimulai sampai pengukuran berada diatas 40mg/dL. Selanjutnya, kadar harus

diperikasa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap dikurangi dan akhirnya

dihentikan bila kadar glukosa serum telah berada pada kisaran normal.

4.2 Diabetes mellitus tipe II normoweight, tidak terkontrol

Hal ini didapatkan dari hasil anamnesis bahwa selama beberapa tahun ini

pasien merasakan berat badannya semakin menurun, dan badan terasa lemas,

nafsu makan kadang menurun dan kadang meningkat. Pasien sering merasa cepat

lapar dan haus, dan sering BAK terutama pada malam hari. Pasien juga

merasakan kakinya sering merasakan kesemutan atau rasa baal. Tidak ada

keluhan dalam BAB selama ini.

53

Page 54: BAB I-III

Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa selama ini pasien

mengalami diabetes mellitus tipe II normoweight, tidak terkontrol. Sesuai dengan

gejala dari diabetes, yaitu: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

4.3 Gagal Ginjal Kronik

Hal ini didapatkan dari pemeriksaan faal ginjal bahwa terdapat

peningkatan ureum dan kreatini serum. Gagal ginjal terjadi karena adanya

defisiensi insulin atau resistensi sel terhadap insulin pada penderita diabetes

mellitus akan menyebabkan ginjal bekerja hiperfungsi. Hiperfungsi ini

menyebabkan ginjal menjadi hipertropi dan terjadi peningkatan tekanan

intrakapiler glomerulus. Peningkatan tekanan intra kapiler menyebabkan

kerusakan glomerulus sehingga terjadi glomerulosklerosis. Namun, ketika terjadi

glomerulosklerosis arteriol afferen vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi

vasokonstriksi pembuluh darah arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan

tekanan darah sistemik. Hal ini terjadi karena arteriol afferen yang secara

patobiologi hipokontraktil memiliki sedikit autoregulasi. Sehingga peningkatan

tekanan intraglomerulus menyebabkan peningkatan tekanan darah sistemik dan

variasi ini menghasilkan gangguan hemodinamik.

54

Page 55: BAB I-III

BAB V

KESIMPULAN

Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang

yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat

kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.

Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka

panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,

jantung, dan pembuluh darah. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka

kejadian komplikasi akut maupun kronik DM juga akan meningkat, termasuk

komplikasi hipoglikemia dan ulkus diabetic.

Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan

glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan

kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral

golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid.

Gagal ginjal kronik atau pada penderita diabetes mellitus disebut nefropati

diabetik merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan

albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi

glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa

penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.

55