bab i-iii
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Diabetes Melitus (DM) atau penyakit kencing manis sudah dikenal sejak lebih
kurang dua ribu tahun yang lalu. Pada waktu itu, dua ahli kesehatan Yunani yaitu
Cecus dan Areteus, memberikan nama atau sebutan ‘diabetes’ pada orang yang
menderita banyak minum dan banyak kencing. Dalam dunia kedokteran, dikenal
dengan istilah ‘Diabetes Melitus’ (bahasa latin: diabetes = penerusan; mellitus =
manis).1
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.2,3 Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan
yang cukup besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) membuat
perkiraan bahwa pada tahun 2000 jumlah penderita diabetes diatas umur 20 tahun
berjumlah 150 juta orang dan dalam kurun waktu 25 tahun kemudian, jumlah itu akan
mencapai menjadi 300 juta orang.4
Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah.2 Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka
kejadian komplikasi akut maupun kronik dari DM juga akan meningkat, termasuk
komplikasi hipoglikemia.
Pada laporan kasus ini, akan dibahas mengenai komplikasi akut dari diabetes
mellitus, yaitu hipoglikemia. Sangat penting bagi kita untuk mengetahui bagaimana
perjalanan penyakit diabetes bisa menyebabkan komplikasi tersebut, serta tanda dan
manifestasi klinisnya karena berpengaruh dalam tatalaksana yang diberikan pada
setiap kondisi.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. RSM
Umur : 57 tahun
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
Alamat : RT.9 Kel. Budiman Jambi Timur
MRS : 22 April 2013
2.2 Anamnesa (Alloanamnesa dan autoanamnesa, 23 April 2013)
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran sejak ± 3 jam SMRS
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien masuk via IGD dengan penurunan kesadaran sejak ± 3 jam
SMRS. Menurut keterangan keluarga, sebelum terjadi penurunan kesadaran
pasien mengeluh badannya terasa lemas, keringat dingin, jantungnya
berdebar-debar, tangan gemetar dan kepala terasa berat. Sebelumnya pasien
meminum obat hiperglikemi oral dan tidak makan setelahnya.
Selama beberapa tahun ini pasien merasakan berat badannya semakin
menurun, dan badan terasa lemas, nafsu makan kadang menurun dan kadang
meningkat. Pasien sering merasa cepat lapar dan haus, dan sering BAK
terutama pada malam hari. Pasien juga merasakan kakinya sering merasakan
kesemutan atau rasa baal. Tidak ada keluhan dalam BAB selama ini.
Keluhan sekarang yang dirasakan pasien saat ini adalah lemas, nafsu
makan menurun, mual(+), muntah (-), pusing (-) dan rasa tidak nyaman pada
kakinya.
2
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Penyakit dengan keluhan yang sama disangkal
Riwayat kencing manis (+), pasien sudah menderita kencing manis selama
4 tahun, dan selama ini meminum obat hiperglikemi oral glibenklamid,
namun tidak diminum teratur dan tidak sesuai dengan anjuran dokter,
pasien juga tidak makan setelah meminum obat hiperlikemi oral.
Riwayat darah tinggi disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat malaria disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
riwayat penyakit kuning disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit yang sama pada anggota keluarga disangkal
Riwayat penyakit kencing manis: ibu menderita kencing manis
Riwayat penyakit darah tinggi disangkal
Riwayat penyakit asma disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
3
2.3 Pemeriksaan Fisik (23 April 2013)
1. Keadaan umum : Tampak sakit berat
2. Kesadaran : Composmentis, GCS: 15
Di IGD Somnolen, GCS: 10
3. Tanda Vital : TD = 150/100 mmHg N= 75 x/i
RR = 20 x/I T = 36,5ºC
4. Status Gizi:
BB : 45 kg
TB : 150 cm
BBI : (TB-100cm) kg ± 10%
: (150-100) kg ± 10%
: (50–5) – (50+5) = 45kg – 55 kg
IMT : 45/(1,5)2 = 20 BB Normal
5. Kulit
Warna : sawo matang
Eflorensensi : (-)
Pigmentasi : hiperpigmentasi (+) di lengan kiri,
hipopigmentasi (-).
Jaringan parut/ koloid : (-)
Pertumbuhan rambut : normal
Lembab kering : keringat (+)
Turgor : < 2 detik (baik)
6. Kepala dan leher
Rambut : Warna hitam keputihan, ikal, tidak mudah dicabut,
alopesia (-)
Kepala : Bentuk simetris, tidak ada trauma maupun memar
4
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Skera ikterik (-/-), edema
pelpebra (-/-), Pupil Isokhor θ: 2,5mm
Hidung : Nafas cuping hidung (-), Epistaksis (-), sekret (-)
Mulut : Bentuk normal, bibir sianosis (-), Mukosa anemis (-)
Tenggorokan : Faring dan tonsil hiperemis (-), Tonsil T1-T1
Leher : Pembesaran KGB (-), pembesaran kel.Tyroid (-), JVP (5
– 2) cmH2O, Kaku kuduk (-), Pulsasi vena jugularis (-).
7. Thoraks
Paru
Inspeksi : Simetris kanan dan kiri, thoracoabdominal, sela iga
melebar (-), sela iga menyempit (-)
Palpasi : Vocal Fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : Sonor, batas paru hati ICS VI linea midclavikularis
dekstra,
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Ronkhi (-/-), Wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis teraba di sela iga V di linea midklavikula
sinistra sekitar 1 jari kearah medial, tidak kuat angkat.
Perkusi :
o Batas atas jantung ICS II linea parasternal sinistra
o Batas jantung kanan linea parasternal dekstra
o Batas jantung kiri ICS V sekitar 1 jari kearah medial
o Pinggang jantung ICS III linea parasternal sinistra
Auskultasi : BJ1-BJ2 reguler, murmur (-), gallop (-)
5
8. Abdomen
Inspeksi : Datar, jaringan parut (-), kaput medusa (-), striae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (+) di daerah epigastrium dan
hipochondrium sinistra , asites (-), defans muskuler (-),
hepatomegali (-), Splenomegali (-), Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-).
Auskultasi : Bising usus normal
9. Genitalia dan anus : Tidak diperiksa secara langsung
10. Ekstremitas
Superior : Akral hangat, edema (-/-), capillary refill time (N),
Clubbing finger (-/-), Palmar eritem (-/-), hiperpigmentasi
di antebrachii sinistra
Inferior : Akral hangat, Pitting edema pretibial (-/-)
Dextra: Tes sensibilitas (-), Refleks fisiologis (-),
pemeriksaan arteri dorsalis pedis pulsasi
menurun.
Sinistra: Tes sensibilitas (-), refeks fisiologis (-),
pemeriksaan arteri dorsalis pedis menurun.
6
2.4 Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Darah rutin (Tanggal 22 April 2013)
WBC : 7,1 103/mm3 (3,5-10,0 103/mm3)
RBC : 3,49 106/mm3(3,80-5,80 106/mm3)
HGB : 9,6 g/dl (11,0-16,5 g/dl)
HCT : 30,0 % (35,0-50%)
PLT : 226 103/mm3 (150-390 103/mm3)
PCT : .169% (0,100-0,500 %)
MCV : 86 µm3 (80-97 µm3)
MCH : 27,4 pg (26,5-33,5 pg)
MCHC : 31,8 g/dl (31,5-35,0 g/dl)
RDW : 13,3% (10,0-15,0 %)
MPV : 7,5 µm3 (6,5-11,0 µm3)
PDW : 14,9% (10,0-18,0 %)
Diff:
% LYM : 20,0 % (17,0-48,0 %)
% MON : 13,8 % (4,0-10,0 %)
% GRA : 66,2% (43,0-76,0 %)
# LYM : 1,4 103/mm3 (1,2-3,2 103/mm3)
# MON : 0,9 103/mm3 (0,3-0,8 103/mm3)
# GRA : 4,8 103/mm3 (1,2-6,8 103/mm3)
GDS (jam 12.37 WIB, 23 April 2013)
46 mg/dl dan 52 mg/dl (2x pemeriksaan)
7
2. EKG (Tanggal: 22 April 2013)
HR: 75/min,
Interval: RR (797 ms), P (48), PR (168), QRS(82 ms), QT (450 ms),
QTC (506ms)
Axis: P (-), QRS (12”), T (28”), P (II) (0,03 mV), S (V1) (-1,22 mV),
R (V5) (1,91 mV), Sokol (3,34 mV)
Kesan:
Sinus Rhythm, axis ke kiri, QRS (T) contour abnormality
8
Pemeriksaan yang dianjurkan untuk pasien ini:
GDP, GD2PP/TTGO
Cek darah rutin
(WBC, RBC, Hb, Ht, Trombosit)
Cek Faal hati
(SGOT, SGPT)
Cek Faal ginjal
(Ureum, Kreatinin)
EKG
2.5 Diagnosis Kerja
Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia e.c diabetes mellitus tipe II normoweight
tidak terkontrol
2.6 Diagnosis Banding
Hipoglikemi e.c Diabetes Melitus tipe I
Koma Hiperglikemi
2.7 Tatalaksana
Tatalaksana awal di IGD:
O2 4l nasal canul
IVFD D10%, 20 gtt/i
Infus D40% 2 flash
Inj. Ranitidine 2x1 amp
Cek GDS tiap 1 jam
Tatalaksana di ruangan:
IVFD Dextrose 10 % 20 gtt/i
Inj. Ranitidine 2x1 amp
9
Cek GDS tiap 6 jam
Tatalaksana tambahan/disarankan:
Bed rest tidak total
Edukasi
2.8 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad fungsionam: dubia ad bonam
2.9 Follow Up
Tanggal 22 April 2013
S : Badan terasa lemas, mual (+), muntah (-), pusing (+), nyeri ulu hati
O : TD = 150/100 mmHg, N = 75x/mnt, RR = 22 x/mnt, T = 36,5°C
GDS = 12.30 : 52 mg/dl
18.30 : 91 mg/dl
24.30 : 45 mg/dl
A: Penurunan kesadaran e.c hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight
tidak terkontrol
P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
Saran Pemeriksaan:
- Cek GDS tiap 6 jam
- Cek Faal hati
- Cek Faal ginjal
10
Tanggal 23 April 2013
S : Badan terasa lemas, mual (+), muntah (-), pusing (-), nyeri ulu hati
O : TD = 200/100 mmHg, N = 82x/mnt, RR = 22 x/mnt, T = 36,5°C
GDS = 06.30 : 27 mg/dl
08.15 : 82 mg/dl
11.30 : 111 mg/dl
A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol
P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1
Hasil Pemeriksaan:
- Faal Hati
SGOT : 24 U/L (<40 U/L)
SGPT : 12 U/L (<41 U/L)
- Faal Ginjal
Ureum : 81,1 mg/dl (15-39 mg/dl)
Kreatinin : 5,3 mg/dl (0,6-1,1 mg/dl)
Tanggal 24 April 2013
S : Badan terasa lemas, mual (+), nyeri ulu hati
O : TD = 160/100 mmHg, N = 70x/mnt, RR = 17 x/mnt, T = 36,6°C
GDS = 117 mg/dl
A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol dan
suspect Gagal Ginjal Kronik
P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1
11
Saran Pemeriksaan:
- USG Abdomen
Tanggal 25 April 2013
S : mual (+), nyeri ulu hati
O : TD = 160/100 mmHg, N = 80x/mnt, RR = 18 x/mnt, T = 36°C
GDS = 143 mg/dl
A: Hipoglikemi e.c diabetes mellitus Tipe II normoweight tidak terkontrol dan
suspect Gagal Ginjal Kronik
P: IVFD Dextrose 10% 20 gtt/i
- Inj. Ranitidine 2x1 amp
- Inj. Amlodipin 10 mg 1x1
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Anatomi dan Fisiologi Kelenjar Pankreas
Pankreas merupakan suatu organ berupa kelenjar dengan panjang dan ±12,5
cm dan tebal ± 2,5 cm. Pankreas terbentang dari atas sampai kelengkungan besar dari
perut dan biasanya dihubungkan oleh dua saluran ke duodenum (usus 12 jari) organ
ini dapat diklasifikasikan ke dalam dua bagian yaitu kelenjar endokrin dan eksokrin.6
a. Struktur Pankreas terdiri dari :
1) Caput pankreas
Merupakan bagian yang paling lebar, terletak disebelah kanan rongga
abdomen dan di dalam lekukan duodenum dan yang praktis melingkarinya.
2) Corpus pankreas
Merupakan bagian utama pada organ itu dan letaknya di belakang lambung
dan di depan vertebra lumbalis pertama.
3) Ekor pankreas
Merupakan bagian yang runcing di sebelah kiri dan yang sebenarnya
menyentuh limfa.
b. Saluran Pankreas
Pada pankreas terdapat dua saluran yang mengalirkan hasil sekresi pankreas ke
dalam duodenum :
1) Ductus Wirsung, yang bersatu dengan ductus chole dukus, kemudian masuk
ke dalam duodenum melalui sphincter oddi
2) Ductus Sartonni, yang lebih kecil langsung masuk ke dalam duodenum di
sebelah atas sphincter oddi.
c. Jaringan pankreas
Ada 2 jaringan utama yang menyusun pankreas :
1) Asini berfungsi untuk mensekresi getah pencernaan dalam duodenum
2) Pulau langerhans
13
d. Pulau-pulau langerhans
1) Hormon-hormon yang dihasilkan
a) Insulin
Adalah suatu poliptida mengandung dua rantai asam amino yang
dihubungkan oleh gambaran disulfide.
b) Enzim utama yang berperan adalah insulin protease, suatu enzim
dimembran sel yang mengalami internalisasi bersama insulin
c) Efek faali insulin yang bersifat luas dan kompleks
2) Efek-efek tersebut biasanya dibagi:
a) Efek cepat (detik)
Peningkatan transport glukosa, asam amino dan k+ ke dalam sel peka
insulin.
b) Efek menengah (menit)
Stimulasi sintesis protein, penghambatan pemecahan protein,
pengaktifan glikogen sintesa dan enzim-enzim glikolitik.
c) Efek lambat (jam)
3) Peningkatan Massenger Ribonucleic Acid (MRNA) enzim lipogenik dan
enzim lain
Pengaturan fisiologi kadar glukosa darah sebagian besar tergantung dari:
a) Ekstraksi glukosa
b) Sintesis glikogen
c) Glikogenesis
4) Glukogen
Molekul glukogen adalah polipeptida rantai lurus yang mengandung 29 n
residu asam amino dan memiliki 3485 glukogen merupakan hasil dari sel-
sel alfa, yang mempunyai prinsip aktivitas fisiologi meningkatkan kadar
glukosa darah.
14
a) Somatostatin
Somatostatin menghambat sekresi insulin, glukogen dan polipeptida
pankreas dan mungkin bekerja di dalam pulau-pulau pankreas,
b) Polipeptida pankreas
Polipeptida pankreas manusia merupakan suatu polipeptida linear yang
dibentuk oleh sel pulau langerhans.
Gambar 3.1. Anatomi Pankreas7
15
3.2 Diabetes Melitus
3.2.1 Definisi
Diabetes mellitus adalah salah satu penyakit metabolik berupa gangguan
metabolisme karbohidrat, yakni penurunan penggunaan glukosa yang rendah
sehingga mengkibatkan adanya penumpukan glukosa di dalam darah
(hiperglikemia).1 Adapun penyebab terjadinya penimbunan kadar glukosa di dalam
darah tersebut ialah adanya gangguan berupa kurangnya sekresi enzim insulin pada
pancreas (DM tipe 1), atau terjadin gangguan fungsi pada enzim insulin tersebut
dalam metabolisme glukosa (DM tipe 2).
3.2.2 Epidemiologi
Prevalensi diabetes melitus di dunia mengalami peningkatan yang cukup
besar. Data statistik organisasi kesehatan dunia (WHO) pada tahun 2000
menunjukkan jumlah penderita diabetes di dunia sekitar 171 juta dan diprediksikan
akan mencapai 366 juta jiwa tahun 2030. Di Asia tenggara terdapat 46 juta dan
diperkirakan meningkat hingga 119 juta jiwa. Di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun
2000 diperkirakan menjadi 21,3 juta pada tahun 2030. Indonesia merupakan urutan
keenam di dunia sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbanyak setelah
India, Cina, Uni Soviet, Jepang, Brazil.1,4
3.2.3 Etiologi dan Faktor Resiko
3.2.3.1 Etiologi3,8
1. Diabetes Melitus Tipe 1
a) Melalui proses imunologik
b) Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan resistensi insulin
disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi
insulin bersama resistensi insulin).
16
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a) Defek genetik funsi sel-β:
Kromosom 12, HNF-1 alfa (dahulu MODY 3)
Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2)
Kromosom 20, HNF-4 alfa (dahulu MODY 1)
DNA mitokondria
Insulin promoter factor-1 (IPF-1; MODY 4)
HNF-1 (MODY 5)
NeuroD1 (MODY 6)
Subunits of ATP-sensitive potassium channel
Proinsulin or insulin conversion
b) Defek genetik kerja insulin:
Type A insulin resistance
Sindrom Rabson-Mendenhall
Sindrom Lipodystrophy
c) Penyakit eksokrin pankreas:
Pankreatitis
Trauma/pankreatektomi
Neoplasma
Kista fibrosis
Hemokromatosis
Pankreatopati fibro kalkulus
d) Endokrinopati:
Akromegali
Sindrom cushing
Feokromositoma
Hipertiroidisme
e) Karena obat/zat kimia:
Vancor, interferon
17
Pentamidin, tiazin, dilatin
Asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid
f) Infeksi : rubella kongenital dan CMV
g) Imunologi (jarang) : antibodi anti reseptor insulin
h) Sindroma genetik lain : Sindrom Down, Kliniferter, Turner,
Huntington Chorea, Sindrom Prader Willi.
4. Diabetes Melitus Gestasional (Kehamilan)
3.2.3.2 Faktor Resiko
Sudah lama diketahui bahwa diabetes merupakan penyakit keturunan. Artinya
bila orang tuanya menderita diabetes, anak-anaknya akan menderita diabetes juga.
Hal itu memang benar. Tetapi faktor keturunan saja tidak cukup. Diperlukan faktor
lain yang disebut faktor resiko atau faktor pencetus misalnya:1
Adanya infeksi virus (pada DM tipe 1)
Obesitas (terutama yang bersifat sentral)
Pola makan yang salah
Diet tinggi lemak dan rendah karbohidrat
Proses penuaan
Hipertensi (TD ≥ 140/90 mm Hg)2
Dyslipidemia HDL kolesterol < 40 mg/dL atau TG > 150 mg/dL
Stress
3.2.4 Klasifikasi
3.2.4.1 Diabetes Melitus Tipe I / Juvenile
Diabetes tipe 1 dulu dikenal sebagai tipe juvenile-onset dan tipe dependen
insulin; namun, kedua tipe ini dapat muncul pada sembarang usia. Insidens diabetes
tipe 1 sebanyak 30.000 kasus baru setiap tahunnya dan dapat dibagi dalam dua
subtipe: (a) autoimun, akibat disfungsi autoimun dengan kerusakan sel-sel beta; dan
(b) idiopatik, tanpa bukti adanya autoimun dan tidak diketahui sumbernya.3
18
3.2.4.2 Diabetes Melitus Tipe II / Onset maturitas
Diabetes tipe 2 dulu dikenal sebagai tipe dewasa atau tipe onset maturitas dan
tipe nondependen insulin.Obesitas sering dikaitkan dengan penyakit ini.3
Tabel 3.1 Perbedaan antara DM tipe 1 dengan DM tipe 2.1
Type 1 (insulin dependent) Type 2 (non-insulin dependent)
Nama lama
Epidemiologi
DM Juvenil
Anak-anak/remaja(biasanya
berumur < 30 tahun)
DM Dewasa
Orang tua (biasanya berumur >
30 tahun)
Berat badan Biasanya kurus Sering obesitas
Heredity HLA-DR3 or DR4 in > 90% Tidak ada hubungan HLA
Patogenesis Penyakit Autoimmune : Tidak berhubungan dengan
autoimun
Islet cell autoantibodies Insulin resistance
Insulitis
Klinikal Defisiensi Insulin Defisiensi Partial insulin
Berhungan dengan ketoacidosis Berhubungan dengan
hyperosmolar
Pengobatan Insulin, diet, olah raga Diet, olah raga, tablet, insulin
Biochemical Kemungkinan kehilanganpeptida-C Persisten peptida-C
3.2.4.3 Diabetes Gestasional (GDM)
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kah selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia
tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional
terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek
19
metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabeto-
genik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin
akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada
kehamilan.3
Kriteria diagnosis biokimia diabetes kehamilan yang dianjurkan adalah
kriteria yang diusulkan oleh O'Sullivan dan Mahan (1973). Menurut kriteria ini,
GDM terjadi apabila dua atau lebih dari nilai berikut ini ditemukan atau dilampaui
sesudah pemberian 75 g glukosa oral: puasa, 105 mg/dl; I jam, 190 mg/dl; 2 jam, 165
mg/dl; 3 jam, 145 mg/dl. Pengenalan diabetes seperti ini penting karena penderita
berisiko tinggi terhadap morbiditas dan mortalitas perinatal dan mempunyai frekuensi
kematian janin viabel yang lebih tinggi. kematian janin viabel yang lebih tinggi.
Kebanyakan perempuan hamil harus menjalani penapisan untuk diabetes selama usia
kehamilan 24 hingga 28 minggu.3
3.2.5 Patofisiologi
3.2.5.1 Diabetes Melitus Tipe 1
Pada diabetes tipe 1 timbul karena adanya reaksi autoimin yang disebabkan
adanya peradangan pada sel-β insulinitis. Ini menyebabkan timbulnya anti bodi
terhadap sel beta yang disebut ICA (Islet Cell Antibody). Reaksi antigen (sel beta)
dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel-β.
Insulinitis bisa disebabkan macam-macam diantaranya virus, seperti virus cocksakie,
rubella, CMV, herpes dan lain-lain. Yang diserang pada insulinitis itu hanya sel-β,
biasanya sel-α dan delta tetap utuh.3,9,10
20
Gambar 3.2 Skema proses perjalanan DM tipe 1.
3.2.5.2 Diabetes Melitus Tipe 2
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin normal, malah mungkin lebih
banyak tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang.
Reseptor insulin ini dapat diibaratkan sebagai lubang kunci pintu masuk ke dalam sel.
Pada keadaan tadi jumlah lubang kuncinya yang kurang, sehingga meskipun anak
kuncinya (insulin) banyak, tetapi karena lubang kuncinya (reseptor) kurang, maka
glukosa yang masuk sel akan sedikit, sehingga sel akan kekurangan glukosa dan
glukosa di dalam pembuluh darah meningkat. Dengan demikian keadaan ini sama
dengan pada DM tipe 1. Peebedaannya adalah DM tipe 2 di samping kadar glukosa
tinggi, kadar insulin juga tinggi atau normal keadaan ini disebut resistensi insulin.3,9,10
Gambar 3.3: Mekanisme skeresi insulin pada sel-β pankreas.10,11
21
Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah sel-β berkurang sampai 50-60% dari
normal. Jumlah sel-α meningkat. Yang menyolok adalah adanya peningkatan jumlah
jaringan amiloid pada sel-β yang disebut amilin.
Gambar 3.4. Mekanisme signal transduksi insulin normal, berbeda pada orang penderita DM jumlah
reseptor insulin menurun sehungga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel sehingga glukosa darah
meningkat.6,11
3.2.5.3 Diabetes Gestational
Diabetes gestasional (GDM) dikenali pertama kali selama kehamilan dan
memengaruhi 4% dari semua kehamilan. Faktor risiko terjadinya GDM adalah usia
tua, etnik, obesitas, multiparitas, riwayat keluarga, dan riwayat diabetes gestasional
terdahulu. Karena terjadi peningkatan sekresi berbagai hormon yang mempunyai efek
metabolik terhadap toleransi glukosa, maka kehamilan adalah suatu keadaan diabeto-
genik. Pasien-pasien yang mempunyai predisposisi diabetes secara genetik mungkin
akan memerlihatkan intoleransi glukosa atau manifestasi klinis diabetes pada
kehamilan.3
22
Gambar 3.5 Skema pada diabetes gestasional6
3.2.6 Manifestasi dan Gejala Klinis
3.2.6.1 Gejala Khas1,3,12
1. Banyak kencing (poliuria)
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan menyebabkan banyak
kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah banyak akan sangat mengganggu
penderita, terutama pada waktu malam. Untuk mekanisme lihat gambar 05 dibawah
ini.
2. Banyak minum (polidipsia)
Rasa haus amat sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan yang
keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalahtafsirkan. Dikiranya sebab
rasa haus ialah udara yang panas atau beban kerja yang berat. Untuk menghilangkan
rasa haus itu penderita minum banyak. Untuk lebih jelanya lihat gambar 05 dibawah
ini.
23
3. Banyak makan (polifagia)
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisasikan menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, oleh karena itu penderita
selalu merasa lapar.
4. Penurunan berat badan dan rasa lemah
Penurunan BB yang berlangsung dalam waktu relatif singkat harus
menimbulkan kecurigaan. Rasa lemah hebat yang menyebabkan penurunan prestasi
di sekolah dan lapangan olah raga juga mencolok. Hal ini disebabkan glukosa dalam
darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan bahan bakar untuk
menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup, sumber tenaga terpaksa diambil
dari cadangan lain yaitu sel lemak dan otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan
lemak dan otot sehingga menjadi kurus.
3.2.6.2 Gejala Tidak Khas1,3,12
1. Gangguan saraf tepi/kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki di waktu
malam, sehingga mengganggu tidur.
2. Gangguan penglihatan
Pada fase awal penyakit diabetes sering dijumpai gangguan penglihatan yang
mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya berulang kali agar ia tetap dapat
melihat dengan baik.
3. Gatal/bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan atau daerah
lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering pula dikeluhkan timbulnya
bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka ini dapat timbul akibat hal yang sepele
seperti luka lecet karena sepatu atau tertusuk peniti.
24
4. Gangguan ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering tidak secara
terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait dengan budaya masyarakat
yang masih merasa tabu membicarakan masalah seks, apalagi menyangkut
kemampuan atau kejantanan seseorang.
5. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering ditemukan
dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang dirasakan.
3.2.7 Diagnosis
Diagnosis Diabetes Melitus dapat ditegakkan berdasarkan:
a. Anamnesis
b. Pemeriksaan Fisik
c. Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM
berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah,
kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae
pada pasien wanita. Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200
mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM.3,12
25
Gambar 3.6 Langkah-Langkah Diagnostik DM dan Toleransi Glukosa Terganggu3
Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan glukosa darah
yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan diagnosis
DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka abnormal,
baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu 200
mg/dl pada hari lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTGO) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan 200 mg/dl.3,12
26
Gambar 3.7 Langkah Diagnostik DM dan TGT dari TTGO3
Cara pelaksanaan TTGO:3,12
3 hari sebelum pemeriksaan makan seperti biasa (karbohidrat cukup)
Kegiatan jasmani seperti yang biasa dilakukan
Puasa paling sedikit 8 jam mulai malam hari sebelum pemeriksaan, minum air
putih diperbolehkan
Diperiksa kadar glukosa darah puasa
Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa), atau 1,75 gram/kgBB (anak-
anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.
Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa
Selama proses pemeriksaan subjek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Langkah diagnostik Diabetes Mellitus
Kriteria diagnostik diabetes mellitus * dan gangguan toleransi glukosa
1. Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl atau
2. Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl atau
3. Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75
gram pada TTGO**
27
* Kriteria diagnostik tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik berat, seperti ketoasidosis, gejala klasik : poliuri, polidipsi,
polifagi dan berat badan menurun cepat.
** Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik. Untuk
penelitian epidemiologis pada penduduk dianjurkan memakai kriteria diagnostik
kadar glukosa darah puasa dan 2 jam pasca pembebanan. Untuk DM gestasional
juga dianjurkan kriteria diagnostik yang sama.3,12
Pemeriksaan Penunjang lain:
Pemeriksaan penunjang yang digunakan pada pasien DM selain kadar glukosa darah
puasa, 2 jam PP, yaitu pemeriksaan glycated hemoglobin, khususnya HbA1C, serta
pemeriksaan fruktosamine. Pemeriksaan lain yang digunakan yaitu urine rutin.
Pemeriksaan untuk diagnosis banding:13
1. Kadar C peptida darah
Pemeriksaan ini dapat menggambarkan potensi sel untuk memproduksi
insulin dan dapat dipakai sebagai pegangan dalam penentuan terapi
insulin.Pada semua tipe DM kadarnya lebih rendah dibandingkan orang
normal. Makin lemah respon C peptida terhadap rangsang glukosa berarti
makin tinggi ketergantungan terhadap insulin. Pemeriksaan C peptida
dilakukan dengan metoda RIA (Radio Immuno Assay).
2. Kadar insulin darah
NIDDM dijumpai dalam kadar rendah, normal, atau bahkan tinggi.
3. Pemeriksaan HLA
Pemeriksaan HLA DR dan B dilakukan untuk memperjelas tipe DM, karena
IDDM berkaitan dengan HLA DR 3, DR 4, Bb, B15.
3.2.8 Tatalaksana
28
Pengobatan bertujuan untuk mengurangi gejala-gejala, mengusahakan
keadaan gizi dimana berat badan ideal dan mencegah terjadinya komplikasi.5,13,14,15
Secara garis besar pengobatannya dilakukan dengan:
1. Diet5
Prinsip umum : diet dan pengendalian berat badan merupakan dasar dari
penatalaksanaan diabetes. Penatalaksanaan nutrisi pada penderita diabetes
diarahkan untuk mencapai tujuan berikut ini:
a. Memberikan semua unsur makanan esensial (misal : vitamin dan mineral)
b. Mencapai dan mempertahankan berat badan yang sesuai
c. Memenuhi kebutuhan energi
d. Mencegah fluktuasi kadar glukosa darah setiap harinya dengan
mengupayakan kadar glukosa darah mendekati normal melalui cara-cara
yang aman dan praktis
e. Menurunkan makan pada penderita DM
Pencernaan makan pada penderita DM
1) Kebutuhan kalori
Tujuan yang paling penting adalah pengendalian asupan kalori total
untuk mencapai atau mempertahankan berat badan yang sesuai dan
pengendalian kadar glukosa darah.
Rencana makan bagi penyandang diabetes juga memfokuskan
presentase kalori yang berasal dari karbohidrat, protein dan lemak
Ada 2 tipe karbohidrat yang utama, yaitu :
a) Karbohidrat kompleks (seperti : roti, sereal, nasi dan pasta)
b) Karbohidrat sederhana (seperti : buah yang manis dan gula)
Jumlah kalori diperhitungkan sebagai berikut :
a) BB ideal = (TB cm – 100) kg – 10 % . pada waktu istirahat,
diperlukan 25 kkal/kg BB ideal
b) Kemudian diperhitungkan pula
29
Aktivitas, kerja ringan : ditambah 10 – 20 %, kerja sedang
ditambah 30 %, kerja berat ditambah 50 % dan kerja berat sekali
ditambah 20 – 30 %)
Stress : ditambah 20 – 30 %, hamil trimester 2 – 3 ditambah 400
kal dan laktasi ditambah 600 kal
2) Karbohidrat
Tujuan diet ini adalah meningkatkan konsumsi karbohidrat kompleks
(khususnya yang berserat tinggi) seperti roti, gandum utuh, nasi beras
tumbuk, sereal dan pasta / mie yang berasal dari gandum yang masih
mengandung bekatul.
Karbohidrat sederhana tetap harus dikonsumsi dalam jumlah yang
tidak berlebihan dan lebih baik jika dicampur ke dalam sayuran atau
makanan lain daripada dikonsumsi secara terpisah
3) Lemak
Pembatasan asupan total kolesterol dari makanan hingga < 300 mg /
hr untuk membantu mengurangi faktor resiko, seperti kenaikan kadar
kolesterol serum yang berhubungan dengan proses terjadinya penyakit
koroner yang menyebabkan kematian pada penderita diabetes
4) Protein
Makanan sumber protein nabati (misal : kacang-kacangan dan biji-
bijian yang utuh) dapat membantu mengurangi asupan kolesterol serta
lemak jenuh. (Brunner & Suddarth, 2002)
2. Olah raga / latihan
Sangat penting dalam penatalaksanaan DM karena afeknya dapat
menurunkan kadar glukosa darah dan mengurangi faktor resiko
kardiovaskuler. Latihan akan menurunkan kadar glukosa darah dengan
meningkatkan pengambilan glukosa oleh otot dan memperbaiki pemakaian
insulin, sirkulasi darah dan tonus otot.
30
Latihan ini sangat bermanfaat pada pendrita diabetes karena dapat
menurunkan BB, mengurangi rasa stress dan mempertahankan kesegaran
tubuh. Mengubah kadar lemak darah yaitu meningkatkan kadar High Density
Lipoprotein (HDL)-kolesterol dan menurunkan kadar kolesterol total serta
trigliserida.
Meskipun demikian penderita diabetes dengan kadar glukosa >250
mg/dl (14 mmol/dL) dan menunjukkan adanya keton dalam urine tidak boleh
melakukan latihan sebelum pemeriksaan keton urine memperlihatkan hasil
negatif dan kadar glukosa darah telah mendekati normal.
Latihan dengan kadar glukosa darah yang tinggi akan meningkatkan
sekresi glukogen, Growth Hormone (GH) dan katekolamin. Peningkatan
hormon ini membuat hati melepas lebih banyak glukosa sehingga terjadi
kenaikan kadar glukosa darah
3. Obat-obatan13,14,15
Pada umumnya dalam menggunakan obat hipoglikemik oral, baik golongan
sulfonilurea, metformin maupun inhibitor glukosidase alfa, harus diperhatikan
benar fungsi hati dan ginjal. Tidak dianjurkan untuk memberikan obat-obat
tersebut pada pasien dengan gangguan fungsi hati atau ginjal
Klasifikasi Obat Hiperglikemik Oral:
Golongan Insulin Sensitizing
Golongan insulin sensitizing terdiri dari: Biguanid dan Glitazone
Golongan Sekretagok Insulin
Golongan sekretagok insulin terdiri dari: Sulfonil Urea dan Glinid
Penghambat Alfa glukosidase
31
a. Golongan biguanid
Tidak sama dengan sulfonilurea, karena tidak merangsang sekresi insulin.
1) Menurunkan kadar GD menjadi normal dan istimewanya tidak
menyebabkan hipoglikemia
2) Cara kerja belum diketahui secara pasti, tetapi jelas terdapat:
a) Gangguan absorbsi glukosa dalam usus
b) Peningkatan kecepatan ambalan glukosa dalam otot
b. Golongan sulfonilurea
1) Cara kerja :
a) Merangsang sel beta pancreas untuk mengeluarkan insulin, jadi
hanya bekerja bila sel-sel beta utuh
b) Menghalangi pengikatan insulin
c) Mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin
d) Menekan pengeluaran glukogen
2) Indikasi
a) Bila BB ideal ± 10% dan BB ideal
b) Bila kebutuhan insulin < 40 u/hr
c) Bila tidak ada stress akut, misal: infeksi berat / operasi
d) Dipakai pada diabetes dewasa, baru dan tidak pernah ketoasidosis
sebelumnya
3) Efek samping
a) Mual, muntah, sakit kepala, vertigo dan demam
b) Dermatitis, pruritus
c) Lekopeni, trombositopeni, anemia
4) Kontra indikasi
Penyakit hati, ginjal dan thyroid
32
c. Inhibitor Glukosidase Alfa (Acarbose)
Obat golongan ini mempunyai efek utama menurunkan puncak glikemik
sesudah makanTerutama bermanfaat untuk pasien dengan kadar glukosa
darah puasa yang masih normal. Biasanya dimulai dengan dosis 2 kali 50
mg setelah suapan pertama waktu makan. Jika tidak didapati keluhan
gastrointestinal, dosis dapat dinaikkan menjadi 3 kali 100 mg. Pada pasien
yang menggunakan acarbose jangka panjang perlu pemantauan faal hati
dan ginjal secara serial, terutama pasien yang sudah mengalami gangguan
faal hati dan ginjal
d. Insulin
1) Indikasi
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM / NIDDM)
dalam keadaan ketoasidosis
b) Diabetes yang masuk dalam klasifikasi IDDM yaitu juvenile
diabetes
c) Penderita yang kurus
d) Bila dengan obat oral tidak berhasil
e) Kehamilan
f) Bila ada komplikasi mikroangiopati, misal: retinopati / nefropati
g) ketoasidosis, koma hiperosmolar dan asidosis laktat
h) stres berat (infeksi sistemik, operasi berat)
i) berat badan yang menurun dengan cepat
j) kehamilan/DM gestasional yang tidak terkendali dengan
perencanaan makan.
2) Efek samping
a) Lipodistrofi : atrofi jaringan subkutan pada tempat penyuntikan
b) Hipoglikemia : dosis insulin berlebih atau kebutuhan insulin yang
berkurang
33
c) Reaksi alergi
d) Resistensi terhadap insulin
3) Jenis Insulin
Jenis Awitan
kerja (jam)
Puncak kerja
(jam)
Lama kerja
(jam)
Insulin kerja pendek 0,5 - 1 2 – 4 5 – 8
Insulin kerja menengah 1 – 2 4 – 12 8 – 24
Insulin kerja panjang 2 6 – 20 18 – 36
Insulin campuran 0,5 - 1 2 - 4 dan 6 -12 8 – 24
Pada umumnya pemberian OHO maupun insulin selalu dimulai
dengan dosis rendah, untuk kemudian dinaikkan secara bertahap sesuai
dengan kadar glukosa darah pasien. Kalau dengan sulfonilurea atau metformin
sampai dosis maksimal ternyata sasaran kadar glukosa darah belum tercapai,
perlu dipikirkan kombinasi 2 kelompok obat hipoglikemik oral yang berbeda
(sulfonilurea + metformin atau metformin + sulfonilurea, acarbose +
metformin atau sulfonilurea). Ada berbagai cara kombinasi OHO dan insulin
(OHO + insulin kerja cepat 3 kali sehari, OHO + insulin kerja sedang pagi
hari, OHO + insulin kerja sedang malam hari). Yang banyak dipergunakan
adalah kombinasi OHO dan insulin malam hari mengingat walaupun dapat
diperoleh keadaan kendali glukosa darah yang sama, tetapi jumlah insulin
yang diperlukan paling sedikit pada kombinasi OHO dan insulin kerja sedang
malam hari.
34
3.2.9 Komplikasi DM16,17
Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi komplikasi akut dan kronik.
a. Komplikasi akut :
- ketoasidosis diabetik
- hiperosmolar non ketotik
- hipoglikemia
b. Komplikasi kronik
1. Makroangiopati:
- Pembuluh darah jantung (penyakit jantung kororner)
- Pembuluh darah tepi
- Pembuluh darah otak (stroke)
2. Mikroangiopati:
- retinopati diabetik
- nefropati diabetik
3. Neuropati
4. Rentan infeksi, seperti misalnya tuberkulosis paru, ginggivitis, dan infeksi
saluran kemih
5. Kaki diabetik/Ulkus Diabetik (gabungan 1 sampai dengan 4)
35
Gambar 3.8 Komplikasi Kronis Diabetes Melitus
36
RetinopathyCataractsBlindness
Cerebrovascular disease (stroke)Prematur coronary artery disease (angina, MI, CHF)
Autonomic (gastroparesis, diarrhea) Impot
ence
Nephropathy (renal failure)
Peripheral vascular disease (amputation)
Peripheral neuropathy (pain, loss of sensory)
3.3 Hipoglikemia
3.3.1 Definisi
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan
glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan
kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid.16
3.3.2 Epidemiologi
Hasil penelitian di RSCM 1990-1991 yang dilakukan Karsono dkk,
memperllihatkan kekerapan episode hipoglikemia sebanyak 15,5 kasus pertahun,
dengan wanita lebih besar daripada pria, dan sebesar 65% berlatar belakang DM.
meskipun hipoglikemia sering pula terjadi pada pengobatan dengan insulin, tetapi
biasanya ringan. Kejadian ini sering timbul karena pasien tidak memperlihatkan atau
belum mengetahui pengaruh beberapa perubahan pada tubuhnya18
3.3.3 Faktor Predisposisi Hipoglikemia
Berbagai faktor yang merupakan predisposisi atau mempresipitasi
hipoglikemia adalah:18
1. Kadar insulin berlebihan
Dosis berlebihan
Peningkatan bioavaibilitas insulin
2. Peningkatan sensitivitas insulin
Defisiensi hormone counter-regulatory: penyakit Addison, hipopituitarism
Penurunan berat badan
Latihan jasmani, postpartum
3. Asupan kabohidrat kurang
Makan tertunda atau lupa, porsi makan berkurang
Diet
Muntah
37
Menyusui
4. Lain-lain
Absorbsi yang cepat, pemulihan glikogen otot
Alklohol, penggunaan obat (salisilat, sulfonamide, dll)
3.3.4 Tanda Hipoglikemia19
1) Stadium parasimpatik: lapar, mual, tekanan darah turun.
2) Stadium gangguan otak ringan: lemah, lesu, sulit bicara, kesulitan menghitug
sederhana.
3) Stadium simpatik: keringat dingin pada muka terutama di hidung, bibir atau
tangan, berdebar-debar.
4) Stadium gangguan otak berat: koma dengan atau tanpa kejang.
Gambar 3.9 Respon Fisiologis Hipoglikemia18
38
3.3.5 Diagnosis
Diagnosis hipoglikemia relaif mudah, yaitu dengan pemeriksaan gula darah.
Trias Whipple:
Keluhan dan gejala hipoglikemia s/d kesadaran menurun,
Kadar Glukosa < 45 mg/dL (pada wanita dapat < 30 mg/dL),
Bangun kembali setelah diberikan glukosa
3.3.4 Tatalaksana Hipoglikemia
Terapi hipoglikemia pada penderita diabetes:18
Glukosa Oral
Sesudah diagnose hipoglikemia ditegakkan, 10-20 g glukosa oral harus segera
diberikan. Idealnya dalam bentuk tablet, jelly, atau 150-200ml minuman yang
mengandung glukosa.
Glukagon Intramuskular
Glucagon 1mg intramuscular dpat diberikan dalm 10 mwnit. Kecepatan kerja
glucagon sama dengan pemberian glukosa intravena. Bila pasien sudah sadar,
pemberian glucagon harus diikuti dengan pemberian glukosa oral 20 g dan
dilanjutkan dengan pemberian 40 g kabohidrat.
Glukosa Intravena
Glukosa intravena harus diberikan dengan hati-hati. Pemberian glukosa dengan
konsentrasi 50% terlalu toksik untuk jaringan dan 75-100ml glukosa 20% atau
150-200ml glukosa 10% dianggap lebih aman. Ekstravasasi glukosa 50% dapat
menimbulkan nekrosis yang memerlukan amputasi.
39
Gambar 3.10 Alur tatalaksana hipoglikemia pada diabetes16
40
3.3 Gagal Ginjal Kronik
3.3.1 Definisi
Gagal ginjal kronik pada diabetes mellitus biasa disebut nefropati diabetic,
yang didefiniskan dengan sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai
dengan albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa
penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.4
3.3.2 Epidemiologi
Angka kejadian pada diabetes mellitus tipe 1 dan 2 sebanding, tetapi insiden
pada tipe 2 sering lebih besar daripada tipe 1 karena jumlah pasien diabetes mellitus
tipe 2 lebih banyak daripada tipe 1. Ras kulit hitam 3-6 kali lipat lebih banyak dari ras
kulit putih.
Faktor Resiko 4
· Hipertensi dan Predisposisi Genetik
· Kepekaan Nefropati Diabetik
Tidak semua orang dengan diabetes akan mengalami nefropati diabetik,
duduga karena setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda-beda terhadap
nefropati, yang diduga memegang peranan dalam dal ini adalah antigen HLA dan
GLUT.
· Hiperglikemia Tidak Terkendali
· Konsumsi Protein Hewani
· Umur dan Obesitas
Merupakan faktor resiko untuk DM tibe 2 juga, karena pada umumnya DM
tipe 2 menyerang usia dewasa dan berat badang yang berlebih.
· Faktor Resiko Progresi Nefropati pada DM II
41
3.3.3 Klasifikasi
Tabel 3.2 Klasifikasi Nefropati Diabetik4
Perjalanan penyakit nefropati diabetic dibagi menjadi 5 tahapan oleh
mogensen4, yaitu:
Tahap 1 (Stadium Hiperfiltrasi)
Terjadi hiperfiltrasi dan hipertrofi glomerulotubulus pada saat diagnosis ditegakkan.
Laju filtrasi glomerulus dan laju ekskresi albumin dalam urin meningkat, disertai
pembesaran ukuran ginjal. Tekanan darah biasanya normal. Tahap ini reversible dan
berlangsung 0-5 tahun sejak awal didiagnosis diabetes mellitus. Dengan pengendalian
glukosa darah yang ketat, kelainan fungsi maupun struktur ginjal kembali normal.
Tahap 2 (Stadium Silent)
Secara klinis belum ada kelainan yang berarti, laju filtrasi glomeroulus meningkat,
ekskresi albumin dalam urin dan tekanan darah normal. Terdapat perubahan
histologis awal berupa penebalan membrane basalis yang tidak spesifik. Terjadi 5-10
tahun setelah didiagnosis diabetes mellitus. Keadaan ini dapat berlangsung lama dan
hanya sedikit yang akan berlanjut ke tahap berikutnya.
Tahap 3 (Stadium Mikroalbuminuria / Nefropati Insipient)
Merupakan tahap awal dari nefropati. Tekanan darah mulai meningkat. Pada tahap ini
ditemukan mikroalbuminuria atau nefropati insipient, laju filtrasi glomerulusnya
meningkat atau dapat menurun sampai derajat normal. Laju ekskresi albumin dalam
urin adalah 20-200 ig/ menit (30-300 mg/ 24 jam). Secara histologis, didapatkan
42
peningkatan ketebalan membrane basalis dan volume mesangium fraksional dalam
glomerulus. Tahap ini biasanya terjadi setelah 10-15 tahun didiagnosis diabetes
mellitus.
Tahap 4 (Stadium Makroalbuminuria / Nefropati Lanjut)
Perubahan histologis lebih jelas, juga timbul hipertensi pada sebagian besar pasien.
Sindroma nefrotik dan retinopati sering ditemukan pada tahap ini. Laju filtrasi
glomerulus menurun, sekitar 10 ml/menit/tahun. Terjadi setelah 15-20 tahun
didiagnosis diabetes mellitus. Progresivitas mengarah ke gagal ginjal hanya dapat
diperlambat dengan pengendalian glukosa darah, lemak darah, dan tekanan darah.
Tahap 5 (Stadium Uremia / Gagal Ginjal Terminal)
Memerlukan tindakan khusus yaitu terapi pengganti, dialisis, maupun cangkok ginjal.
Rata-rata dibutuhkan waktu 15-17 tahun untuk sampai pada stadium 4 dan 5-7 tahun
kemudian akan sampai stadium 5.
Ada perbedaan gambaran klinik dan patofisiologi Nefropati Diabetika antara
diabetes mellitus tipe I (IDDM) dan tipe II (NIDDM). Mikroalbuminuria seringkali
dijumpai pada NIDDM saat diagnosis ditegakkan dan keadaan ini serigkali reversibel
dengan perbaikan status metaboliknya. Adanya mikroalbuminuria pada DM tipe II
merupakan prognosis yang buruk.
43
3.3.4 Patofisiologi
Gambar 3.11 Patofisiologi Nefropati Diabetik4
Berbagai teori tentang patogenesis nefropati diabetik adalah peningkatan
produk glikosilasi dengan proses non enzimatik yang disebut AGEs (Advanced
44
Glicosylation End Products), peningkatan reaksi jalur poliol (polyol pathway),
glukotoksisitas (oto-oksidasi), dan protein kinase-C memberikan kontribusi pada
kerusakan ginjal. Kelainan glomerulus disebabkan oleh denaturasi protein karena
hiperglikemia dan hipertensi intraglomerulus. Kelainan atau perubahan terjadi pada
membran basalis glomerulus dengan proliferasi dari sel-sel mesangium. Keadaan ini
akan menyebabkan glomerulosklerosis dan berkurangnya aliran darah, sehingga
terjadi perubahan-perubahan pada permeabilitas membran basalis glomerulus yang
ditandai dengan timbulnya albuminuria. 4,10,11
Hiperfiltrasi dianggap sebagai awal dari mekanisme patogenik dalam laju
kerusakan ginjal, dimana saat jumlah nefron mengalami pengurangan progresif,
glomerulus akan melakukan kompensasi dengan meningkatkan filtrasi nefron yang
masih sehat dan pada akhirnya nefron yang sehat menjadi sklerosis. Peningkatan laju
filtrasi glomerulus pada nefropati diabetikum kemungkinan disebabkan oleh dilatasi
arteriol aferen oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai hormon
vasoaktif, IGF-1, Nitric Oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari
hiperglikemia adalah perangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta
produksi Transforming growth factor-beta (TGF-β) yang diperantarai oleh aktivasi
protein kinase-C (PKC) yang termasuk dalam serine-threonin kinase yang memiliki
fungsi pada vaskuler seperti kontraktilitas, aliran darah, proliferasi sel dan
permeabilitas kapiler. TGF-beta menyebabkan peregangan mesangial dan fibrosis
melalui stimulasi kolagen dan fibronectin.4,17,20
Hiperglikemia kronik menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam
amino dan protein (reaksi mallard dan Browning). Pada awalnya, glukosa akan
mengikat residu amino secara nonenzimatik menjadi basa Schiff glikasi, lalu terjadi
penyusunan ulang untuk mencapai bentuk yang lebih stabil tetapi masih reversible
dan disebut sebagai produk amadori. Jika proses ini berlanjut terus, akan terbentuk
Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang irreversible. AGEs diperkirakan
menjadi perantara bagi beberapa kegiatan seluler seperti ekspresi molekul adhesi
yang berperan dalam penarikan sel-sel mononuklear, juga pada terjadinya hipertrofi
45
sel, sintesa matriks ekstraseluler serta inhibisi sintesis Nitric Oxide. Proses ini akan
terus berlanjut sampai terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta
fibrosis tubulointerstitialis sesuai dengan tahap-tahap dari Mogensen. Akibat kelainan
rennin-angiotensin system, Angiotensin II (ATII) meningkat pada nefropati
diabetikum, sehingga menyebabkan konstriksi arteriola efferentia di glomerulus,
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler glomerulus dan hipertensi, serta
menstimulasi fibrosis dan inflamasi pada glomerulus.4,10,11
Patogenesis dari nefropati diabetikum sejalan dengan patogenesis diabetes
mellitus pada umumnya, dan mikroangiopati pada khususnya. Progresivitas nefropati
diabetikum ditandai dengan adanya proteinuria yang merupakan penanda penurunan
fungsi ginjal, peningkatan creatinine clearance (crcl), glomerulosklerosis, dan
fibrosis interstitial. Saat ini diketahui bahwa connective tissue growth factor (CTGF)
merupakan faktor penting pada nefropati diabetikum. Pada sel ginjal, CTGF diinduksi
oleh kadar glukosa darah yang tinggi dan berkaitan dengan perubahan sintesis matriks
ekstraselular, migrasi sel, serta transisi epitel menjadi mesenkim. CTGF merupakan
protein yang disekresi dan dapat dideteksi di cairan biologis. CTGF plasma pada
pasien dengan nefropati diabetikum lebih tinggi daripada pasien dengan
normoalbuminuria. Pada pasien dengan nefropati diabetikum, peningkatan CTGF di
atas nilai batas 413 pmol/l plasma merupakan prediktor independen terhadap ESRD
dan berkaitan dengan penurunan LFG. Selain itu hal tersebut juga dikaitkan dengan
penurunan LFG yang lebih tinggi pada pasien dengan nefropati diabetikum
dibandingkan normoalbuminuria, yaitu berturut-turut 5,4 dan 3,3ml/menit/1,73 m2
per tahun.4,10,17
Pada pasien dengan nefrotik albuminuria >3 g/hari, CTGF plasma hanya
sebagai predictor ESRD. Kadar CTGF plasma juga merupakan prediktor independen
terhadap mortalitas secara keseluruhan. Namun, CTGF plasma pada pasien
normoalbuminuria tidak berkorelasi dengan parameter klinis serta tidak memprediksi
hasil. Beberapa kejadian memegang peranan penting, yaitu kelainan pada endotel,
46
membrane basalis glomerulus dan mesangium, serta meningkatnya kompleks imun
pada penderita diabetes mellitus.4,17,20
1. Endotel
Hiperglikemia pada diabetes mellitus akan menyebabkan pembengkakan endotel
akibat timbunan sorbitol dan fruktosa, sehingga faal endotel terganggu yang
mengakibatkan celah endotel bertambah luas dan timbulnya proteinuria.
Kerentanan terjadinya agregasi trombosit akibat sintesis Faktor VIII meningkat,
phosphoglucoisomerase (PGI) sebagai anti agregan menurun dan activator
plasminogen yang menurun.
2. Membrana basalis glomerulus
Diabetes mellitus dan hiperglikemia juga menyebabkan terjadinya penebalan
membrane basalis glomerulus sebagai akibat dari deposisi kolagen tipe I, III, IV
dan glikoprotein, serta menurunnya kadar glikoaminoglikans dan sistein, sehingga
menyebabkan hilangnya sifat anionik dari membrane basalis glomerulus yang
mengakibatkan permeabilititasnya meningkat dan terjadi albuminuria.
Albuminuria akan meningkat bila tekanan intraglomeruler meningkat, misalnya
pada latihan dan hipertensi. Setelah 2 tahun mengidap diabetes mellitus,
membrane basalis glomerulus menebal kurang lebih 15%, sesudah 5 tahun 30%,
dan setelah 20 tahun penebalan menjadi dua kali lipat.
3. Mesangium
Pada diabetes mellitus dan hiperglikemia, produksi matriks mesangium
meningkat, sehingga pelebaran mesangium terjadi dengan akibat permukaan
filtrasi efektif mengecil. Pada diabetes mellitus dengan gangguan faal ginjal yang
lanjut, maka permukaan tersebut semakin mengecil dan akhirnya glomerulus
tidak berfungsi lagi.
4. Kompleks imun
Kompleks imun (Ag-Ab) pada diabetes mellitus meningkat, dan endapan
kompleks Ag-Ab banyak didapatkan pada membrane basalis glomerulus dan
mesangium. Dalam keadaan normal, kompleks ini dibersihkan oleh fagosit (RES)
47
dan sel-sel mesangium, sedangkan pada diabetes mellitus dengan kendali glukosa
yang rendah, fagosit RES dan sel mesangium kurang mampu membersihkannya,
sehingga matriks mesangium bertambah lebar dan permukaan filtrasi efektif
bertambah sedikit. Kelebihan kompleks imun di dalam darah juga akan
merangsang sistem komplemen dan faktor koagulasi, sehingga memacu terjadinya
mikroangiopati diabetes mellitus dengan akibat munculnya dan bertambah
beratnya nefropati diabetikum. Kompleks imun yang berlebihan pada diabetes
mellitus juga akan merangsang sintesis Tromboksan A di trombosit, sehingga
mudah terjadi agregasi trombosit. Seperti diketahui, agregasi trombosit adalah
bahan dasar untuk terbentuknya mikrotrombus.
3.3.5 Penegakan Diagnosis4
Diagnosis nefropati diabetikum dapat dibuat apabila dipenuhi persyaratan
seperti dibawah ini:
1. Diabetes Mellitus
2. Retinopati Diabetika
3. Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan tanpa penyebab proteinuria
yang lain.
Data yang didapatkan pada pasien antara lain pada:
1. Anamnesis
Dari anamnesis kita dapatkan gejala-gejala khas maupun keluhan tidak khas dari
gejala penyakit diabetes. Keluhan khas berupa poliuri, polidipsi, polifagi,
penurunan berat badan. Keluhan tidak khas berupa: kesemutan, luka sukar
sembuh, gatal-gatal pada kulit, ginekomastia, impotensi.
48
2. Pemeriksaan Fisik
Pada nefropati diabetikum didapatkan kelainan pada retina yang merupakan tanda
retinopati yang spesifik dengan pemeriksaan Funduskopi, berupa (1) obstruksi
kapiler, yang menyebabkan berkurangnya aliran darah dalam kapiler retina, (2)
mikroaneurisma, berupa tonjolan dinding kapiler, terutama daerah kapiler vena,
(3) Eksudat berupa Hard exudates (berwarna kuning, karena eksudasi plasma
yang lama), Cotton wool patches (berwarna putih, tak berbatas tegas,
dihubungkan dengan iskhemia retina), (4) Shunt arteri-vena, akibat pengurangan
aliran darah arteri karena obstruksi kapiler, (5) Perdarahan bintik atau perdarahan
bercak, akibat gangguan permeabilitas mikroaneurisma atau pecahnya kapiler, (6)
Neovaskularisasi.
Bila penderita jatuh pada stadium end stage (stadium IV-V) atau CRF end stage,
didapatkan perubahan seperti pembesaran jantung dan edema paru.
3. Pemeriksaan Laboratorium
Albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua
kali pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan
filtrasi glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial
tetapi tanpa penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.
Mikroalbuminuria dianggap sebagai prediktor penting untuk timbulnya nefropati
diabetikum.
Tabel 3.2 Laju ekskresi albuminurin4
49
Gambar 3.12 Penapisan Mikroalbuminuria4
3.3.6 Penatalaksanaan4
Penatalaksanaan nefropati diabetic adalah dengan melakukan evaluasi terlebih
dahulu, melihat kemungkinan adanya penurunan fungsi ginjal. Menurut American
Diabetes Association (ADA) evaluasi dilakukan dengan melakukan pemeriksaan
terhadap adanya mikroalbuminuria dan penurunan kreatinin serum dan klirens
kreatinin.
Terapi pada kasus nefropati diabetic tergantung tahapannya, namun prinsip
utamanya adalah:
1. Pengendalian gula darah
50
2. Pengendalian tekanan darah (diet rendah garam, obat anti hipertensi), targetnya
adalah <130/80 mmHg, dengan pemberian ACE-I/ ARB, kemudian diuretika dan
Beta Blocker/ Calccium Channel Blocker.
3. Perbaikan fungsi ginjal (diet rendah protein, pemberian ACE-I dan atau ARB)
4. Pengendalian faktor risiko lain jika ada.
Pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang laju filtrasinya mencapai 10-12
ml/menit (kliren kratinin <15 ml/menit atau serum kreatinin > 6 mg/dl) dianjurkan
untuk melakukan dialisis.
51
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini, pasien Ny. RSM (57 tahhun) didiagnosa dengan
Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia e.c diabetes mellitus Tipe II Normoweight
tidak terkontrol + Gagal Ginjal Kronik. Dasar diagnosa pada pasien ini adalah
sebagai berikut:
4.1 Penurunan kesadaran e.c hipoglikemia
Hal ini didapatkan pada saat keterangan di IGD bahwa pasien datang ke
IGD dengan penurunan kesadaran sejak ± 3 jam SMRS. Menurut keterangan
keluarga, sebelum terjadi penurunan kesadaran pasien mengeluh badannya terasa
lemas, keringat dingin, jantungnya berdebar-debar, tangan gemetar dan kepala
terasa berat. Sebelumnya pasien meminum obat hiperglikemi oral dan tidak
makan setelahnya.
Dari hasil pemeriksaan fisik di IGD, didapatkan: TD 150/100 mmHg, N
75 x/i, RR 20 x/i, T 36,5ºC. Dari hasil pemeriksaan darah rutin dan pemeriksaan
GDS, didapatkan: hasil darah rutin normal dan GDS 46 mg/dl dan 52 mg/dl
(dilakukan dua kali pemeriksaan). Maka dapat disimpulkan pasien ini mengalami
penurunan kesadaran yang disebabkan hipoglikemia.
Kemungkinan mekanisme penurunan kesadaran pada pasien ini:
Asupan glukosa yang berkurang (keterangan: pasien belum makan malam)
Glukosa merupakan bahan metabolik dasar dari otak. Otak dapat
menggunakan glikogen namun dalam jumlah terbatas, contohnya glikogen
yang bersumber dari otot, akibat keterbatasan glikogen di otot dan
keterbatasan otak untuk menggunakan glikogen sebagai sumber energi,
akhirnya otak kehilangan sumber energinya, maka terjadilah syok
hipoglikemik yang ditandai dengan adanya iritabilitas saraf progresif yang
52
menyebabkan pasien menjadi pingsan, dapat juga kejang, yang lebih fatal
adalah koma
Karena penggunaan obat hiperglikemi oral yang tidak terkontrol
Kemungkinan pasien ini mendapatkan obat dari Puskesmas yaitu obat
sulfonylurea. Obat ini dapat merangsang sekresi insulin dari granul – granul
sel β pankreas, melalui ATP-sensitive K channel sehingga kanal Ca
depolarisasi yang mengakibatkan insulinnya keluar. Namun apabila faktor
resiko penggunaan obat (dosis berlebih, pemakaian tidak teratur, dan tidak ada
kontrol dari dokter) dapat menyebabkan ambilan glukosa juga berlebih,
sehingga gula darah menjadi turun dan menyebabkan hipoglikemi
Tatalaksana awal pada pasien ini, yaitu:
Pasien diberikan terapi bolus glukosa 40% (dekstose 40%) IV dilakukan karena
terjadinya syok hipoglikemik, diberikan D40% IV agar keadaan glukosa dalam
darah lebih cepat meningkat. Selama pemantauan pasien mengalami peningkatan
kadar gula darah. Kemudaian diberikan infus glukosa maintanance 10% untuk
mempertahankan glukosa serum. Glukosa serum diukur setiap 6 jam setelah terapi
dimulai sampai pengukuran berada diatas 40mg/dL. Selanjutnya, kadar harus
diperikasa setiap 4-6 jam dan pengobatan secara bertahap dikurangi dan akhirnya
dihentikan bila kadar glukosa serum telah berada pada kisaran normal.
4.2 Diabetes mellitus tipe II normoweight, tidak terkontrol
Hal ini didapatkan dari hasil anamnesis bahwa selama beberapa tahun ini
pasien merasakan berat badannya semakin menurun, dan badan terasa lemas,
nafsu makan kadang menurun dan kadang meningkat. Pasien sering merasa cepat
lapar dan haus, dan sering BAK terutama pada malam hari. Pasien juga
merasakan kakinya sering merasakan kesemutan atau rasa baal. Tidak ada
keluhan dalam BAB selama ini.
53
Dari keterangan diatas, dapat disimpulkan bahwa selama ini pasien
mengalami diabetes mellitus tipe II normoweight, tidak terkontrol. Sesuai dengan
gejala dari diabetes, yaitu: poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat
badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
4.3 Gagal Ginjal Kronik
Hal ini didapatkan dari pemeriksaan faal ginjal bahwa terdapat
peningkatan ureum dan kreatini serum. Gagal ginjal terjadi karena adanya
defisiensi insulin atau resistensi sel terhadap insulin pada penderita diabetes
mellitus akan menyebabkan ginjal bekerja hiperfungsi. Hiperfungsi ini
menyebabkan ginjal menjadi hipertropi dan terjadi peningkatan tekanan
intrakapiler glomerulus. Peningkatan tekanan intra kapiler menyebabkan
kerusakan glomerulus sehingga terjadi glomerulosklerosis. Namun, ketika terjadi
glomerulosklerosis arteriol afferen vasodilatasi dan kerusakan ini menginduksi
vasokonstriksi pembuluh darah arteri sistemik sehingga terjadi peningkatan
tekanan darah sistemik. Hal ini terjadi karena arteriol afferen yang secara
patobiologi hipokontraktil memiliki sedikit autoregulasi. Sehingga peningkatan
tekanan intraglomerulus menyebabkan peningkatan tekanan darah sistemik dan
variasi ini menghasilkan gangguan hemodinamik.
54
BAB V
KESIMPULAN
Diabetes melitus adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang
yang disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat
kekurangan insulin baik absolut maupun relatif.
Hiperglikemia kronik pada dibetes berhubungan dengan kerusakan jangka
panjang, disfungsi, atau kegagalan beberapa organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf,
jantung, dan pembuluh darah. Jika tidak ditangani dengan baik tentu saja angka
kejadian komplikasi akut maupun kronik DM juga akan meningkat, termasuk
komplikasi hipoglikemia dan ulkus diabetic.
Hipoglikemia adalah keadaan klinik gangguan saraf yang disebabkan penurunan
glukosa darah. Gejala ini dapat ringan berupa gelisah sampai berat berupa koma dengan
kejang. Penyebab tersering hipoglikemia adalah obat-obatan hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea, khususnya glibenklamid.
Gagal ginjal kronik atau pada penderita diabetes mellitus disebut nefropati
diabetik merupakan sindrom klinis pada pasien diabetes mellitus yang ditandai dengan
albuminuria menetap (>300 mg/24 jam atau >200 lg/menit) pada minimal dua kali
pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan, penurunan kecepatan filtrasi
glomerulus yang tidak fleksibel dan peningkatan tekanan darah arterial tetapi tanpa
penyakit ginjal lainnya atau penyakit kardiovaskuler.
55