bab i-ii-iii

Download BAB I-II-III

If you can't read please download the document

Upload: pejuhbuntung

Post on 30-Jun-2015

4.657 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Pembangunan dan perkembangan perekonomian pada umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan atau jasa yang dikonsumsi1. Transportasi merupakan sarana yang sangat penting dan strategis dalam memperlancar roda pembangunan dan perekonomian. Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan seluruh pelosok tanah air, bahkan sampai merambah keluar negeri. Disamping itu transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah dalam hal upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Perkembangan jaman, kemajuan teknologi, serta mobilitas yang tinggi adalah suatu hal yang tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam era globalisasi segala sesuatunya dituntut serba cepat dan tepat, hal tersebut didasari dengan semakin meningkatnya kebutuhan masyarakat sesuai dengan tuntutan dari perkembangan zaman dan kemajuan teknologi. Mobilisasi yang semakin tinggi ini yang menyebabkan masyarakat memerlukan jasa transportasi yang sesuai dengan kebutuhan yaitu jasa-jasa transportasi yang tentunya dapat memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan karakteristiik atau ciri-ciri pelayanan yang baik, aman,1 1. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004, halaman 37

1

nyaman dan tentunya dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Menyadari betapa besar dan pentingnya peranan transportasi maka sudah seharusnyalah transportasi ditata dalam suatu sistem tersendiri, sehingga tersedianya transportasi mampu menjawab dan memenuhi tingkat kebutuhan masyarakat akan pelayanan yang baik, aman, nyaman dan tentunya dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat. Lalu Lintas dan Angkutan Jalan mempunyai peran strategis dalam mendukung pembangunan dan integrasi nasional sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penjelasan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 menyebutkan, sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, Lalu Lintas dan Angkutan Jalan harus dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

kesejahteraan, ketertiban berlalu lintas dan Angkutan Jalan dalam rangka mendukung pembangunan ekonomi dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, otonomi daerah, serta akuntabilitas penyelenggaraan negara. Keharusan ini jugalah yang merupakan suatu bentuk pelayanan yang baik, hal ini juga merupakan salah satu bentuk keseimbangan antara hak dan kewajiban bagi pelaku usaha dan konsumen. Apabila pelaku usaha ingin mendapatkan keuntungan yang besar dengan jumlah konsumen yang besar pula maka mau tidak mau, pelaku usaha harus mampu memberikan pelayanan yang baik yang sesuai dengan mutu standar yaitu baik, aman, nyaman, dan tentunya dapat terjangkau oleh daya beli seluruh lapisan masyarakat. Kewajiban memberikan pelayanan yang baik sesuai dengan mutu standar tidak saja menjadi tanggung jawab pelaku

2

usaha, sebaliknya konsumen jika ingin mendapatkan pelayanan yang sesuai dengan standar harus juga memberikan kontribusi yang layak. Dengan demikian keseimbangan akan kepentingan antara pelaku usaha dan konsumen akan dengan mudah dicapai dan terpenuhi sehingga terwujudnya hubungan yang saling menguntungkan. Krisis ekonomi yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 merupakan suatu kenyataan yang dampaknya sampai saat ini masih dirasakan oleh kita semua. Harga kebutuhan pokok yang meningkat tajam tanpa didukung dengan kemampuan ekonomi masyarakat yang memadai telah menimbulkan satu masalah sosial ekonomi tersendiri bagi masyarakat yang tidak mempunyai daya beli yang cukup untuk mengkonsumsi suatu produk barang dan atau jasa dalam rangka pemenuhan kebutuhannya. Dampaknya sangat jelas, kemakmuran tidak merata dan kemiskinan semakin besar. Harga barang kebutuhan pokok yang meningkat tajam juga telah mengakibatkan perubahan yang signifikan pada berbagai bidang usaha yamg pada akhirnya berimbas pada masyarakat. Salah satunya adalah usaha dibidang jasa transportasi atau pengangkutan baik untuk penumpang dan atau barang yang harus berperang dengan mahalnya harga perawatan sarana transportasi antara lain mahalnya harga suku cadang, bahan bakar dan lain sebagainya. Pelaku usaha transportasi dituntut tetap harus memberikan pelayanan yang seoptimal mungkin pada masyarakat atau konsumen untuk mendukung roda pembangunan dan perekonomian nasional. Setiap orang, pada suatu waktu dalam posisi tunggal ataupun sendiri ataupun berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi

3

konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Keadaan yang demikian ini pada beberapa sisi menunjukkan adanya berbagai kelemahan pada

konsumen ,sehingga konsumen tidak mempunyai posisi yang aman. Oleh karena itu secara mendasar konsumen juga membutuhkan perlindungan hukum yang sifatnya menyeluruh, juga mengingat lemahnya kedudukan konsumen pada umunya dibandingkan dengan kedudukan produsen yang relatif lebih kuat dalam banyak hal, maka pembahasan mengenai permasalahan perlindungan konsumen akan selalu terasa aktual dan selalu penting untuk dikaji ulang. Perlindungan terhadap konsumen dipandang secara material maupun formal makin terasa sangat penting, mengingat makin lajunya ilmu pengetahuan dan teknologi yang merupakan motor penggerak bagi produktifitas dan efisiensi atas barang atau jasa yang dihasilkan dalam rangka mencapai sasaran usaha. Dalam rangka mengejar dan mencapai hal tersebut, akhirnya baik langsung atau tidak langsung, maka konsumenlah yang pada umumnya akan merasakan dampaknya. Dengan demikian upaya-upaya untuk memberikan yang memadai terhadap kepentingan konsumen merupakan suatu hal yang sangat penting dan mendesak untuk segera dicari solusinya, terutama di Indonesia, mengingat sedemikian konsumen. Pengangkutan travel adalah pelayanan dalam bidang pengangkutan untuk penumpang yang bersifat khusus. Kekhususan ini terletak sistem pelayanan yang menerapkan sistem antar jemput sampai tujuan khususnya untuk penumpang dengan pengguna jasa sebagai majikan. Perbedaan antara sistem travel dan carter adalah dalam sistem carter hubungan antara penyedia jasa kompleksnya permasalahan yang menyangkut perlindungan

4

dengan konsumen lebih bersifat pribadi, sedangkan dalam travel, trayek dan tarif sudah ditentukan oleh perusahaan travel2. Travel berasal dari istilah asing yaitu bahasa Inggris yang berarti perjalanan. Travel merupakan sarana transportasi angkutan darat sehingga travel tunduk pada ketentuan yang terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Terdapat dua pihak yang saling berbenturan kepentingan, pelaku usaha sebagai pihak pertama ingin meraih keuntungan yang besar yang tentunya dengan biaya produksi yang rendah, sedangkan konsumen sebagai pihak kedua tentunya ingin mendapatkan pelayanan yang maksimal. Tentunya kedua belah pihak akan tetap berpegang teguh pada prinsip masing-masing untuk mendapatkan apa yang hendak dicapai atau diinginkan. Namun yang perlu diingat dan diperhatikan adalah bahwa pelaku usaha dan konsumen tidak hanya mempunyai hak saja tetapi juga memiliki kewajiban yang harus dilaksanakan terlabih dahulu sebagai media untuk hak yang ingin mereka peroleh. Perkembangan jaman dan teknologi telah mendorong pelaku usaha sebagai produsen untuk menghasilkan berbagai variasi barang dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan konsumen. Keadaan yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan atau jasa yang diinginkan akan terpenuhi serta semakin terbuka lebar kebebasan untuk memilih barang dan atau jasa sesuai dengan keinginan, kebutuhan, dan kemampuan konsumen. Di sisi lain kondisi dan fenomena tersebut dapat mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi tidak seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah, hal tersebut dikarenakan konsumen akan sangat bergantung pada pelaku usaha.32. Abdulkadir Muhamad, Hukum Pengangkutan Darat, Laut, Dan Udara, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1991, halaman 1173 2

3. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. cit, halaman 37

5

Selain itu konsumen tentunya akan menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian-perjanjian standar yang pada akhirnya akan merugikan konsumen sendiri. Dengan segala cara pelaku usaha tentunya akan berusaha semaksimal mungkin untuk menekan biaya produksi serendah mungkin dan berusaha untuk meraih keuntungan yang besar atas barang dan jasa yang ditawarkan. Seharusnya keadaan yang demikian tidaklah perlu terjadi karena pada dasarnya hubungan antara pelaku usaha dan konsumen adalah hubungan yang dibangun atas prinsip yang tentunya menguntungkan kedua belah pihak yang pada akhirnya nanti dapat mendukung pembangunan perekonomian nasional yaitu terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara. Kedudukan yang tidak seimbang inilah yang sering mengakibatkan konsumen merasa dirugikan. Kerugian yang diderita konsumen ini bukanlah semata faktor kesalahan dari pelaku usaha, konsumen sendiri terkadang ikut berperan. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen adalah tingkat kesadaran konsumen yang masih rendah akan hak-hak yang menjadi miliknya. Selain itu konsumen kadang kurang hati-hati dalam mengkonsumsi suatu produk baik itu berupa barang atau jasa dengan tidak memperhatikan petunjuk yang ada pada label, tiket, dan brosur. Konsumen juga masih kurang kritis dan cenderung bersikap apatis terhadap kondisi, mutu, kualitas, dan kandungan suatu produk dalam mengkonsumsi barang dan jasa.mengharapkan kesadaran pelaku usaha tidaklah mudah karena pada dasarnya pelaku usaha menerapkan prinsip ekonomi yaitu mendapatkan

6

keuntungan yang sebesar-besarnya dengan modal atau biaya produksi seminimal mungkin. Prinsip ini sangat potensial merugikan kepentingan konsumen baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Oleh karena itu untuk mengantisipasi konsumen sering dirugikan, konsumen haruslah mempunyai kesadaran yang tinggi akan hak-haknya, bersikap kritis dan berhati-hati dalam menggunakan suatu produk baik itu barang maupun jasa. Dengan demikian diharapkan konsumen dapat berperan menjadi alat kontrol bagi pelaku usaha sehingga dapat menciptakan suatu iklim usaha yang sehat dan tentunya berkualitas sehingga akan memberikan keuntungan bagi pelaku usaha dan konsumen itu sendiri baik secara langsung maupun tidak langsung serta dapat mendukung pembangunan nasional khususnya perekonomian nasional. Dengan melihat beberapa hal diatas penulis tertarik untuk mengadakan penelitian bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen jasa travel terutama pada perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi Cilacap berdasar Pasal 4 UndangUndang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan butir a, c, d, g, h.

B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap konsumen jasa travel di perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi Cilacap berdasar Pasal 4 Undang-

7

Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan butir a, c, d, g, h.?

C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap konsumen jasa travel di perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi Cilacap Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 tentang Perlindungan Konsumen yang berkaitan dengan butir a, c, d, g, h.

D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pada dunia pendidikan dengan menambah kepustakaan Hukum Dagang khususnya Hukum Perlindungan Konsumen sehingga dapat mengembangkan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan perlindungan konsumen. 2. Kegunaan Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi anggota masyarakat baik bagi mereka yang bergerak di bidang perniagaan pada khususnya, maupun bagi masyarakat pada umumnya. Selain itu untuk bahan kajian dan referensi perlindungan hukum terhadap konsumen.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

8

A. Hukum Perlindungan Konsumen 1. Pengertian Hukum Perlindungan Konsumen Pembangunan dan perkembangan perekonomian umumnya dan khususnya di bidang perindustrian dan perdagangan nasional telah menghasilkan berbagai variasi barang dan/atau jasa yang dapat dikonsumsi, yang ditunjang dengan perkembangan jaman dan kemajuan teknologi. Kondisi yang demikian pada satu pihak mempunyai manfaat bagi konsumen karena kebutuhan konsumen akan barang dan/atau jasa yang diinginkan dapat terpenuhi sesuai dengan keinginan dan kemampuan konsumen. Pelaku usaha tentu ingin meraih keuntungan yang besar yang tentunya dengan biaya produksi yang rendah. Sedangkan konsumen tentunya ingin mendapatkan pelayanan yang maksimal. Kedua belah pihak pasti akan tetap berpegang teguh pada prinsip masing-masing untuk mendapatkan apa yang hendak dicapai atau diinginkan. Posisi konsumen pada dasarnya lebih lemah dari pelaku usaha, posisi konsumen yang lemah ini menyebabkan pelaku usaha memiliki kecenderungan untuk melecehkan hak-hak konsumen. Menurut David Oughton dan John Lowry dalam Abdul Halim Barkatullah, posisi konsumen yang lemah ini didasarkan pada beberapa argumentasi, yaitu: Pertama, dalam masyarakat modern, pelaku usaha menawarkan berbagai jenis produk baru hasil kemajuan teknologi dan manajemen. Barang-barang tersebut diproduksi secara massal. Kedua, terdapat perubahan-perubahan mendasar dalam pasar konsum, dimana konsumen sering tidak memiliki posisi tawar untuk melakukan evaluasi yang memadai terhadap produk barang dan jasa yang diterimanya. Konsumen hamper-hampir tidak dapat diharapkan memahami sepenuhnya penggunaan produk-produk canggih yang tersedia.

9

Ketiga, metode periklanan modern melakukan disinformasi kepada konsumen daripaada memberikan informasi secara objektif. Keempat, pada dasarnya konsumen berada dalam posisi tawar yang tidak seimbang, karena kesulitan-kesulitan dalam memperoleh informasi yang memadai. Kelima, gagasan paternalism melatarbelakangi lahirnya undang-undang perlindungan hukum bagi konsumen, dimana terdapat rasa tidak percaya terhadap kemampuan konsumenmelindungi diri sendiri akibat risiko keuangan yang dapat diperkirakan atau risiko kerugian fisik.4 Menurut Troelstrup dalam Abdul Halim Barkatullah, posisi tawar konsumen yang lemah, disebabkan: 1. Terdapat lebih banyak produk, merk, dan cara penjualannya; 2. Daya beli konsumen makin meningkat; 3. Lebih banyak merk yang beredar di pasaran, sehingga belum banyak diketahui oleh semua orang; 4. Model-model produk lebih cepat berubah; 5. Kemudahan transportasi dan komunikasi sehingga membuka akses yang lebih besar kepada bermacam-macam pelaku usaha; 6. Iklan yang menyesatkan; 7. Wanprestasi oleh pelaku usaha.5 Lemahnya posisi tawar dari konsumen tersebut menyebabkan hukum perlindungan konsumen menjadi penting. Sebagai bentuk perlindungan bagi konsumen dibentuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Perlindungan konsumen merupakan masalah kepentingan manusia, oleh karenanya menjadi harapan bagi semua bangsa didunia untuk dapat mewujudkannya. Mewujudkan perlindungan konsumen adalah mewujudkan hubungan berbagai dimensi yang satu sama lain mempunyai keterkaitan dan saling ketergantungan antara konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah.6 Penjelasan Undang-Undang perlindungan konsumen menyebutkan bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak dimaksudkan untuk mematikan usaha para pelaku usaha tetapi justru sebaliknya sebab4 5

4. Abdul Halim Barkatullah, Hak-Hak Konsumen, Bandung:Nusa Media, 2010, halaman 8-9 5. Ibid, halaman 9 6. Husni Syawali dan Neni S M, Hukum Perlindungan Konsumen, Bandung: Mandar Maju,2000,

6

halaman 7

10

perlindungan konsumen dapat mendorong iklim berusaha yang sehat serta lahirnya perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan melalui penyediaan barang dan atau jasa yang berkualitas.7 Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen menyatakan: Perlindungan Konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Pengertian mengenai perlindungan konsumen juga terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 tentang Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Perlindungan Konsumen. Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 merupakan peraturan pelaksana dari Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Pengertian perlindungan konsumen yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen dengan yang terdapat Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2001 adalah sama, perlindungan konsumen adalah upaya untuk menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. Jelas perlindungan hukum terhadap konsumen adalah segala upaya hukum untuk menjamin adanya kepastian hukum dalam memberi perlindungan hukum kepada konsumen. Perlindungan hukum terhadap konsumen menjadi penting manakala hak konsumen dilanggar dan pelaku usaha tidak memenuhi kewajibannya. Hukum perlindungan konsumen mempunyai tujuan untuk melindungi konsumen secara langsung dan pelaku usaha secara tidak langsung. Dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa:7 7. Gunawan W dan A Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2000, halaman 17

11

Perlindungan konsumen bertujuan : a. meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri; b. mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa; c. meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan, dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen; d. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi; e. menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha; f. meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ini merupakan isi dari pembangunan nasional karena tujuan perlindungan konsumen yang ada merupakan sasaran akhir yang harus dicapai dalam pelaksanaan pembangunan di bidang hukum perlindungan konsumen. Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan konsumen agar tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus didasarkan pada asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen. Adapun untuk menjaga pelaksanaan perlindungan perlindungan konsumen agar tidak

menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, maka pelaksanaannya harus didasarkan pada asas atau kaedah hukum perlindungan konsumen. Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen terdapat asas atau kaidah hukum perlindungan konsumen, agar tidak menyimpang dari tujuan perlindungan konsumen, yang menyebutkan bahwa: Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum.

12

Lebih lanjut dalam penjelasan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan: Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dalam pembangunan nasional, yaitu : 1. Asas manfaat dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan. 2. Asas keadilan dimaksudkan agar partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil. 3. Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen dimaksudkan untuk memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan. 5. Asas kepastian hukum dimaksudkan agar baik pelaku usaha maupun konsumen menaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum. Kelima asas dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen bila diperhatikan substansinya dapat di kelompokkan menjadi tiga asas yaitu: 1. Asas kemanfaatan yang didalamnya meliputi asas keamanan dan keselamatan konsumen 2. Asas keadilan yang meliputi asas keseimbangan. 3 Asas kepastian hukum. Dalam hukum ekonomi keadilan disejajarkan dengan asas keseimbangan, kemanfaatan disejajarkan dengan asas maksimalisasi dan kepastian hukum disejajarkan dengan asas efisiensi.8 Adanya hukum perlindungan konsumen dengan Undang-Undang

Perlindungan Konsumen diharapkan mampu memberi jaminan kepada konsumen berupa kepastian hukum atas perlindungan konsumen, hal ini dikarenakan konsumen memiliki kedudukan yang lebih lemah di bandingkan dengan pelaku8

8. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. cit, halaman 26

13

usaha. Hukum perlindungan konsumen dapat dijadikan sarana pendidikan baik itu secara langsung maupun tidak langsung , baik bagi konsumen maupun pelaku usaha sehingga apa yang menjadi tujuan hukum perlindungan konsumen dapat tercapai.

2.

Pengaturan Hukum Perlindungan Konsumen Undang-Undang Perlindungan Konsumen pada dasarnya bukan

merupakan awal dan akhir dari hukum yang mengatur perlindungan konsumen, sebab sampai pada terbentuknya Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah ada beberapa undang-undang yang materinya melindungi konsumen.9 UndangUndang tersebut diantaranya: 1. Undang-Undang Nomor 10 tentang Penerapan peraturan

Pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1961 tentang Barang menjadi Undang-Undang; 2. 3. 4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1966 tentang Hygiene; Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar

Perusahaan; 5. 6. 7. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1985 tentang Ketenagalistrikan; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan

Industri;9

9. Gunawan W dan A Yani, Op. cit, halaman 19

14

8.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Agreement

Establishing the World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia); 9. 10. 11. Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil; Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan

Lingkungan Hidup; 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan; Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten; Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek; Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran; Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran; 19. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.

Peraturan perundangan yang secara khusus mengatur mengenai perlindungan konsumen terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Segala ketentuan peraturan perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan,

15

dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur secara khusus dan/atau tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini. Dari ketentuan yang terdapat dalam Pasal 64 Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut dapat diketahui, Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan undang-undang payung yang mengintegrasikan peraturan-peraturan yang memuat materi perlindungan konsumen.

B. Konsumen dan Pelaku Usaha 1. Konsumen Konsumen dan pelaku usaha adalah dua pihak yang akan selalu berhubungan. Hal ini dikarenakan keduanya saling membutuhkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pelaku usaha membutuhkan konsumen untuk menggunakan barang dan jasa yang di produksinya dengan harapan memperoleh keuntungan yang layak. Konsumen membutuhkan pelaku usaha untuk memenuhi

kebutuhannya dengan menggunakan barang dan atau jasa yang diproduksi oleh pelaku usaha. Hubungan yang saling membutuhkan diantara konsumen dan pelaku usaha dapat menjadi hubungan yang saling menguntungkan apabila konsumen dan pelaku usaha menyadari hak dan kewajiban masing-masing. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.

16

Definisi ini sesuai dengan pengertian bahwa konsumen adalah pengguna terakhir, tanpa konsumen merupakan pembeli barang dan/atau jasa tersebut.10 Pengertian konsumen menurut Pasal 1 huruf o Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999

tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat: Konsumen adalah setiap pemakai dan atau pengguna barang dan atau jasa baik untuk kepentingan diri sendiri maupun untuk kepentingan pihak lain. Anak kalimat dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan tidak untuk diperdagangkan menunjukan bahwa konsumen yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Penjelasan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen juga menyebutkan yang dimaksud dengan konsumen pada UndangUndang Perlindungan Konsumen adalah konsumen akhir. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk, sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Konsumen menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukan hanya pemakai barang atau jasa untuk kepentingan sendiri, namun juga meliputi pemakaian barang untuk kepentingan makhluk hidup lain. Ini menunjukan bahwa perlindungan yang diberikan oleh Undang-Undang Perlindungan Konsumen diberikan juga kepada konsumen yang bukan manusia11. Batasan mengenai barang atau jasa yang merupakan produk dari pelaku usaha dan digunakan oleh konsumen diatur dalam Pasal 1 angka 4 dan angka 5 Undang10

10. Abdul Halim Barkatullah, Op. cit, halaman 11. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. cit, halaman 6

11

17

Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen. Jasa dalam Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah: Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen. Perlindumgan hukum terhadap konsumen menjadi penting manakala hak konsumen dilanggar dan pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya. Dalam Undang-undang Perlindungaaaan Kondumen, hak dan kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.

2. Hak dan Kewajiban Konsumen 2.1. Hak Konsumen Dalam Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen di sebutkan hak konsumen, yaitu: a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

18

b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Penjelasan mengenai ketentuan huruf g Pasal 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah: Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif berdasarkan suku, agama, budaya, daerah, pendidikan, kaya, miskin dan status sosial lainnya. Menurut Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu: a. hak untuk keamanan dan keselamatan, hak ini dimaksudkan untuk menjamin keamanan dan keselamatan konsumen dalam penggunaan barang atau jasa yang di perolehnya sehingga terhindar dari kerugian apabila mengkonsumsi suatu produk; b. hak untuk memperoleh informasi, di maksudkan agar konsumen dapat memperoleh gambaran yang benar tentang suatu produk barang dan jasa; c. hak untuk memilih, dimaksudkan untuk memberikan kebebasan kepada konsumen untuk memilih produk-produk tertentu sesuai dengan kebutuhannya, tanpa ada tekanan dari pihak luar ; d. hak untuk di dengar, merupakan hak dari konsumen agar tidak di rugikan lebih lanjut, atau hak untuk menghindarkan diri dari kerugian; e. hak untuk memperoleh kebutuhan hidup, merupakan hak yang sangat mendasar karena menyangkut hak untuk hidup;

19

f. hak untuk memperoleh ganti rugi, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan yang telah menjaadi rusak akibat adanyapenggunaan barang atau jasa yang tidak memenuhi harapan konsumen; g. hak untuk memperoleh pendidikan konsumen, dimaksudkan agar konsumen memperoleh pengetahuan maupun keterampilan yang diperlukan agar dapat terhindar dari kerugian akibat penggunaan produk; h. hak memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat, merupakan hak yang penting bagi konsumen dan lingkungan; i. hak untuk mendapatkan barang sesuai dengan nilai tukar yang di berikannya, hak ini dimaksudkan untuk melindungi konsumen dari kerugian akibat permainan harga secara tidak wajar; j. hak untuk mendapatkan upaya penyelesaian hukum yang patut, hak ini dimaksudkan untuk memulihkan keadaan konsumen yang telah dirugikan akibat penggunaan produk, dengan melalui jalur hukum12. Dari sepuluh hak konsumen yang terdapat diatas terlihat bahwa masalah kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen merupakan hal yang paling pokok dan utama dalam perlindungan konsumen.13 Lebih lanjut Ahmadi Miru mengemukakan bahwa secara garis besar hak konsumen dapat menjadi tiga yaitu: 1. hak yang dimaksudkan untuk mencegah konsumen dari kerugian, baik kerugian personal, maupun kerugian harta kekayaan; 2. hak untuk memperoleh barang dan atau jasa dengan harga yang wajar; dan 3. hak untuk memperoleh penyelesaian yang patut terhadap permasalahan yang dihadapi.14

2.2. Kewajiban Konsumen Selain memiliki hak konsumen juga memiliki kewajiban sebagai penyeimbang, kewajiban tersebut terdapat dalam pasal 5 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu: a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;12 13

12. Ibid, halaman 40-46

13. Gunawan W dan A Yani, Op. cit, halaman 30 14. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. cit, halaman 47

14

20

d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pengaturan kewajiban dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen merupakan hal yang wajar, agar seseorang mendapatkan haknya maka tentunya harus melakukan hal yang menjadi

kewajibannya. Kewajiban konsumen untuk mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan konsumen itu sendiri. Dengan adanya pengaturan kewajiban ini pelaku usaha tentu tidak akan bertanggung jawab bila konsumen menderita kerugian akibat mengabaikan kewajibannya.Kewajiban konsumen untuk beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa di sebabkan kemungkinan konsumen untuk merugikan produsen dimulai saat konsumen melakukan transaksi dengan produsen. Kewajiban konsumen membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati, adalah hal yang sudah biasa dan sudah semestinya dilakukan. Kewajiban konsumen mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut adalah untuk mengimbangi hak konsumen untuk mendapatkan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut15. Menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Konsumen di haruskan memiliki 6 kewaspadaan yaitu: 1. 2. 3. 4. Kritis terhadap iklan dan promosi dan jangan mudah terbujuk; Teliti sebelum membeli; Biasakan belanja sesuai rencana; Memilih barang yang bermutu dan berstandar yang memenuhi aspek keamanan, keselamatan,kenyamanan dan kesehatan; 5. Membeli sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan; 6. Perhatikan label, keterangan barang dan masa kadaluarsa;16

15

15. Ibid, halaman 48-50

16 16. Di unduh dari http://www.ylki.or.id/infos/view/hak-dan-kewajiban-konsumen, di akses tanggal 2 Mei 2010

21

Kewaspadaan tersebut dimaksudkan agar konsumen sendiri dapat memperoleh hasil yang optimal atas perlindungan hukum bagi dirinya

3. Pelaku Usaha Pengertian mengenai pelaku usaha disebutkan dalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Penjelasan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

menyebutkan: Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain. Pengertian pelaku usaha menurut Pasal 1 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat adalah: Pelaku usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan atau berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai usaha dalam berbagai kegiatan ekonomi. Pengertian pelaku usaha menurut Gunawan W dan A Yani meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Tidak hanya para produsen pabrikan yang menghasilkan barang dan atau jasa yang tunduk pada Undang-Undang perlindungan konsumen melainkan juga rekanan, agen, distributor, dan jaringan yang melakukan pendistribusian dan

22

pemasaran barang dan atau jasa kepada masyarakat luas selaku pemakai barang dan atau jasa.17 Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo pengertian mengenai pelaku usaha menurut Pasal 1 angka 3 mempunyai cakupan yang luas. Karena meliputi grosir, leveransir, pengecer, dan sebagainya. Cakupan luasnya pengertian pelaku usaha dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tersebut memiliki persamaan dengan pengertian pelaku usaha dalam masyarakat eropa terutama negara Belanda, bahwa yang dapat dikualifikasi sebagai produsen adalah: pembuat produk jadi (finished product); penghasil bahan baku; pembuat suku cadang; setiap orang yang menampakkan dirinya sebagai produsen, dengan jalan mencantumkan namanya, tanda pengenal tertentu, atau tanda lain yang membedakan dengan produk asli, pada produk tertentu.18 Luasnya pengertian pelaku usaha ini memudahkan konsumen untuk menuntut ganti rugi kepada pelaku usaha. Pelaku usaha yang dapat di gugat adalah sebagi berikut: 1. Yang pertama urut-urutan digugat adalah pelaku usaha yang membuat produk tersebut jika berdomisisli di dalam negeri dan domisilinya diketahui oleh konsumen yang dirugikan. 2. Apabila produk yang merugikan konsumen tersebut diproduksi di luar negeri, maka yang digugat adalah importirnya, karena Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak mencakup pelaku usaha diluar negeri. 3. Apabila produsen maupun importirnya dari suatu produk tidak diketahui, maka yang digugat adalah penjual dari siapa konsumen membeli produk tersebut.19 Pelaku usaha dan konsumen memiliki hak dan kewajiban satu sama lainnya. Pelaku usaha mempunyai kewajiban memberikan pelayanan dan mempunyai hak untuk mendapatkan imbalan atas pelayanan yang telah diberikan. Sedangkan konsumen mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan sebagai akibat dari pelayanan yang dinikmatinya dari pelaku usaha.17 18 19

17. Gunawan W dan A Yani, Op. Cit, halaman 17. 18. Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, Op. Cit. halaman 8 19. Ibid, halaman 10

23

4. Hak dan Kewajiban Pelaku Usaha 4.1. Hak Pelaku Usaha Untuk menciptakan kenyamanan berusaha bagi pelaku usaha dan sebagai keseimbangan atas hak-hak yang diberikan kepada konsumen, pelaku usaha juga memiliki hak. Hak tersebut diatur dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan mengenai hak-hak dari pelaku usaha, hak pelaku usaha adalah: a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Hak pelaku usaha untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan merupakan hal yang lumrah. Hak ini berkaitan dengan kewajiban konsumen untuk membayar sesuai dengan nilai produk barang dan/atau jasa yang telah diterima konsumen dari produsen. Pelaku usaha tidak dapat menuntut hal yang lebih kepada konsumen mengenai pembayaran suatu produk barang dan/ atau jasa bila barang dan/atau jasa yang diberikan kepada konsumen tidak sesuai dengan apa yang diminta oleh konsumen. Menurut Ahmadi Miru & Sutarman Yodo, hak pelaku usaha yang tersebut dalam Pasal 6 huruf b, c, d merupakan hak pelaku

24

usaha yang berhubungan dengan pihak aparat pemerintah atau badan penyelesaian sengketa konsumen atau pengadilan20.

4.2. Kewajiban Pelaku Usaha Sebagai konsekuensi adanya hak pelaku usaha, pelaku usaha juga memiliki kewajiban, kewajiban tersebut diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan berbagai kewajiban dari pelaku usaha, yaitu: a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku; e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Ketentuan mengenai kewajiban pelaku usaha dalam Undang-Undang

Perlindungan Konsumen disebutkan cukup jelas, hanya ketentuan huruf c dan huruf e yang diberi penjelasan. Penjelasan mengenai huruf c dan huruf e Pasal 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen: Huruf c Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan konsumen dalam memberikan pelayanan. Pelaku usaha dilarang membeda-bedakan mutu pelayanan kepada konsumen.20

20. Ibid, halaman 51

25

Huruf e Yang dimaksud dengan barang dan/atau jasa tertentu adalah barang yang dapat diuji atau dicoba tanpa mengakibatkan kerusakan atau kerugian. Pelaku usaha wajib untuk beritikad baik dalam menjalankan usahanya. Kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik merupakan salah satu asas yang terdapat dalam hukum perjanjian, yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)KUH Perdata. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, kewajiban untuk beritikda baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha : Dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen tampak bahwa itikad baik lebih ditekankan kepada pelaku usaha, karena meliputi semua tahapan dalam melakukan kegiatan usahanya, sehingga dapat diartikan bahwa kewajiban pelaku usaha untuk beritikad baik dimulai sejak barang dirancang/ diproduksi sampai pada tahap purna jual, sebaliknya konsumen hanya diwajibkan beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/ atau jasa.21 Kewajiban dari pelaku usaha untuk memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan, merupakan hal yang penting bagi konsumen. Karena dengan adanya informasi yang benar, jelas dan jujur tersebut, konsumen dapat memilih barang dan/atau jasa sesuai dengan kebutuhan konsumen. Menurut Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, informasi yang tidak memadai dari pelaku usaha merupakan salah satu jenis cacat produk (cacat informasi), yang akan sangat merugikan konsumen.22 Melihat hak dan kewajiban yang terdapat dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang diberikan kepada konsumen dan pelaku usaha nampak bahwa perlindungan konsumen diberikan secara langsung dan secara tidak langsung kepada pelaku usaha.

21 22

21. Ibid, halaman 54 22. Ibid, halaman 55

26

Pengaturan yang lebih banyak bersifat melindungi konsumen namun pada akhirnya, secara tidak langsung juga akan melindungi kepentingan pelaku usaha.

5. Tanggung Jawab dan Ganti Kerugian Hubungan hukum antara pelaku usaha dengan konsumen yang sering terjadi, hanya sebatas kesepakatan lisan mengenai harga barang dan atau jasa tanpa diikuti dan ditindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak. Suatu perjanjian menurut Pasal 1313 KUH Perdata yaitu suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih melibatkan satu orang lain atau lebih. Sedangkan untuk syarat sahnya suatu perjanjian ditegaskan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa perjanjian sah jika : 1. sepakat mereka yang mengikatkan diri; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; dan 4. suatu sebab yang halal. Pasal 1338 KUH Perdata menyebutkan bahwa: Suatu perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Terjadinya hubungan hukum perjanjian antara konsumen dan pelaku usaha karena adanya kebutuhan akan barang dan atau jasa tertentu. Dalam suatu perjanjian seharusnya para pihak mempunyai kedudukan yang seimbang. Adanya pelanggaran hukum terhadap hak konsumen, yang merugikan konsumen tentunya akan menimbulkan tanggung jawab bagi pelaku usaha untuk mengganti kerugian

27

yang diderita oleh konsumen. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengatur mengenai tanggung jawab dari pelaku usaha untuk mengganti kerugian yang diderita oleh konsumen, pengaturan tersebut terdapat dalam Pasal 19 sampai Pasal 27 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Menurut Gunawan W dan A Yani: Sebagai konsekuensi hukum dari pelanggaran yang diberikan oleh UndangUndang tentang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, dan sifat perdata dari hubungan hukum antara pelaku uasah dan konsumen, maka demi hukum, setiap pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merugikan konsumen memberikan hak kepada konsumen yang dirugikan tersebut untuk meminta pertanggungjawaban dari pelaku usaha yang merugikannya, serta untuk menuntut ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh konsumen tersebut.23 Tuntutan ganti rugi karena adanya kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat digunakannya produk barang dan atau jasa dari pelaku usaha dibedakan menjadi dua kategori yaitu wanprestasi dan perbuatan melawan hukum. Tuntutan ganti kerugian yang didasarkan pada wanprestasi merupakan akibat dari tidak dipenuhinya kewajiban yang seharusnya dilakukan oleh pelaku usaha. Nbentuk-bentuk wanprestasi tersebut dapat berupa: 1. Debitur/pelaku usaha tidak memenuhi prestasi sama sekali; 2. Debitur/pelaku usaha terlambat memenuhi prestasinya; 3. Debitur/pelaku usaha berprestasi tidak sebagaimana mestinya. Ganti kerugian menurut Subekti: Kerugian yang dapat dimintakan penggantian, tidak hanya berupa biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang sungguh menimpa harta bendasi berpiutang (schaden), tetapi juga yang berupa kehilangan keuntungan (interessen) yaitu keuntungan yang didapat seandainya si berhutang tidak wanprestasi. 24

23 24

23. Gunawan W dan A Yani, Op. Cit, halaman 59 24. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 2002, halaman 148

28

Sedangkan menurut J Satrio, pada dasarnya wanprestasi mewajibkan penggantian kerugian, yang diganti meliputi ongkos, kerugian dan bunga.25 Suatu tuntutan ganti rugi agar berhasil harus dipenuhi syarat-syarat yaitu: 1. Debitur wanprestasi. 2. Pada waktu perjanjian ditutup orang bisa menduga bahwa kalau debitur wanprestasi akan timbul kerugian seperti yang dituntut ganti ruginya. 3. Kerugian itu merupakan akibat langsung dari wanprestasi debitur.26 Tuntutan ganti rugi atas suatu kerugian dibatasi oleh: 1. Kerugian benar-benar didarita/paling tidak dianggap diderita. 2. Kerugian harus bisa dibuktikan. 3. Kerugian harus dapat diduga oleh debitur. 4. Kerugian harus akibat langsung dari wanprestasi.27 Ganti kerugian karena perbuatan melawan hukum adalah ganti kerugian karena semata-mata perbuatan itu sendiri. Pasal 1365 KUH Perdata menyatakan bahwa: Tiap perbuatan melanggar hukum yang memberikan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut. Dari ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata, untuk menuntut suatu ganti kerugian yang didasarkan pada perbuatan melawan hukum harus memenuhi unsur-unsur: 1. Ada perbuatan melawan hukum. 2. Ada kerugian 3. Ada hubungan kausalitas antara perbuatan dan kerugian.25

25. J. Satrio, Hukum Perikatan, Bandung, Alumni, 1999, halaman 144 26. Ibid, halaman 195

26 27

27. Ibid, halaman 206

29

4. Ada kesalahan. Kerugian yang diderita oleh konsumen merupakankerugian yang diderita sebagai akibat menggunakan suatu produk barang atau jasa. Ganti kerugian dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen hanya meliputi pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Ketentuan Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan: Ganti rugi sebagaimana dimaksud ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

C. Pengangkutan 1. Pengangkutan Pada Umumnya Transportasi merupakan sarana yang penting dan strategis dalam memperlancar roda pembangunan dan perekonomian, memperkuat persatuan dan kesatuan serta mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara. Pentingnya transportasi tersebut terlihat pada semakin meningkatnya kebutuhan akan jasa angkutan bagi mobilitas orang serta barang dari dan keseluruh pelosok tanah air. Selain itu transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan

30

penggerak bagi pertumbuhan daerah yang berpotensi, sebagai upaya peningkatan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya. Peranan transportasi yang penting harus ditata dalam suatu sistem yang terpadu sehingga mampu mewujudkan tersedianya jasa transportasi yang sesuai dengan tingkat kebutuhan pelayanan yang tentunya aman, nyaman, tertib, lancar, sepat, teratur dan tentunya dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Menurut Purwosutjipto, Pengangkutan mempunyai peranan yang sifatnya mutlak dalam dunia perdagangan, sebab tanpa pengangkutan perusahaan tidak mungkin dapat berjalan. Barang yang dihasilkan oleh produsen atau pabrik dapat sampai di tangan pedagang dan seterusnya ke konsumen hanya dengan jalan pengangkutan. Pengangkutan mempunyai fungsi memindahkan barang atau orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan daya guna dan nilai.28 Meningkatnya daya guna dan nilai dari suatu barang merupakan tujuan dari pengangkutan, apabila suatu barang tidak meningkat daya guna dan nilainya maka tidak perlu ada pengangkutan. Pengangkutan adalah proses kegiatan memuat barang atau penumpang ke dalam angkutan, membawa barang atau penumpang dari tempat permuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat angkutan ketempat yang ditentukan.29 Dari pengertian diatas dapat diketahui aspek pengangkutan yaitu: 1. Pelaku pengangkutan 2. Alat pengangkutan 3. Barang atau penumpang 4. Perbuatan pengangkutan 5. Fungsi pengangkutan yaitu menambah nilai guna muatan yang diangkut28

28. H. M. N. Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang 3, Jakarta: Djambatan, 1991, 29. Abdulkadir Muhamad, Op. cit, halaman 19

halaman 129

31

6. Tujuan pengangkutan yaitu mengantar muatan sampai tujuan dengan selamat. Definisi pengangkutan menurut Purwosutjipto, Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan pengirim, di mana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ke tempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar uang angkutan.30 Terdapat empat asas pokok yang mendasari perjanjian pengangkutan, yaitu: 1. Asas konsensual, yaitu perjanjian cukup dengan adanya kehendak para pihak, perjanjian pengangkutan mensyaratkan perjanjian pengangkutan tidak harus tertulis. 2. Asas koordinasi, dalam perjanjian pengangkutan kedudukan para pihak adalah sejajar. 3. Asas campuran, perjanjian pengangkutan merupakan perjanjian dari tiga jenis perjanjian yaitu pemberian kuasa dari pengirim ke pengangkut, penyimpanan barang dari pengirim ke pengangkut, dan melakukan pekerjaan pengangkutan yang diberikan pengirim kepada pengangkut. 4. Asas tidak ada hak retensi, dalam perjanjian pengangkutan penggunaan hak retensi tidak di benarkan.31 Dalam perjanjian pengangkutan, kedudukan para pihak yaitu antara pengangkut dan pengirim adalah sama tinggi. Hubungan kerja di dalam perjanjian pengangkutan antara pengangkut dan pengirim tidak secara terus menerus, tetapi sifatnya hanya berkala, ketika seorang pengirim membutuhkan pengangkut untuk mengangkut barang. Menurut Abdul Kadir Muhammad, perjanjian pengangkutan mengandung tiga prinsip tanggung jawab, yaitu: 1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan, menurut prinsip ini setiap pengangkut yang melakukan kesalahan dalam penyelenggaraan pengangkutan harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian yang timbul akibat dari kesalahannya itu. Pihak yang menderita kerugian harus30 31

30. H. M. N. Purwosutjipto, Op. cit, halaman 2 31. Abdulkadir Muhamad, Op. cit, halaman 27-28

32

membuktikan kesalahan pengangkut itu. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan, bukan pada pengangkut. Prinsip ini adalah yang umum berlaku seperti yang diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata tentang perbuatan melawan hukum. 2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga, menurut prinsip ini pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti kerugian. Beban pembuktian ada pada pihak pengangkut bukan pada pihak yang dirugikan. Pihak yang dirugikan cukup menunjukkan adanyakerugian yang diderita dalam pengangkutan yang dilakukan oleh pengangkut. 3. Prinsip tanggung jawab mutlak, menurut prinsip ini pengangkut harus bertanggung jawab membayar ganti kerugian terhadap setiap kerugian yang timbul dari pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan pengangkut. Pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu. Prinsip ini tidak mengenal beban pembuktian tentang kesalahan. Unsur kesalahan tidak relevan.32 Dalam suatu pengangkutan bila undang-undang tidak menentukan syarat atau hal yang dikehendaki para pihak maka para pihak dapat mengikuti kebiasaan yang telah berlaku atau menentukan sendiri kesepakatan bersama, tentunya hal tersebut harus mengacu pada keadilan. Tujuan pengangkutan adalah terpenuhinya kewajiban dan hak-hak para pihak yang terlibat dalam pengangkutan. Kewajiban dari pengangkut adalah menyelenggarakan pengangkutan dan berhak menerima biaya pengangkutan. Sedangkan kewajiban pengirim atau penumpang adalah membayar biaya pengangkutan dan berhak atas pelayanan pengangkutan yang wajar.

2.

Pengangkutan Darat Pengangkutan terutama yang melalui jalan raya atau yang biasa disebut

dengan pengangkutan darat sebelumnya diatur didalam Undang-Undang No 1432

32. Ibid, halaman 27

33

tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, namun semenjak tahun 2009 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, disebutkan: Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Pengangkutan yang dilakukan di ruang lalu lintas jalan menggunakan kendaraan, dimana kendaraan adalah suatu sarana angkut di jalan yang terdiri atas kendaraan bermotor dan kendaraan tidak bermotor. Pengertian mengenai kendaran bermotor maupun kendaraan tidak bermotor terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 8 dan angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan: Kendaraan Bermotor adalah setiap kendaraan yang digerakkan oleh peralatan mekanik berupa mesin selain Kendaraan yang berjalan di atas rel. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan menyebutkan: Kendaraan Tidak Bermotor adalah setiap Kendaraan yang digerakkan oleh tenaga manusia dan/atau hewan. Pengaturan mengenai Kendaraan Bermotor lanjut terdapat dalam Pasal 47 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, didalam pasal tersebut disebutkan bahwa: Kendaraan Bermotor dikelompokkan berdasarkan jenis: a. sepeda motor;

34

b. mobil penumpang; c. mobil bus; d. mobil barang; dan e. kendaraan khusus. Menurut Pasal 1 angka 21 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dimaksud dengan perusahaan angkutan umum adalah: Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. Kendaraan bermotor umum seperti yang terdapat dalam ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, adalah: Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, mengatur pengertian mengenai pengguna jasa dalam

pengangkutan di jalan raya, yang dimaksud dengan pengguna jasa adalah: Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan memuat beberapa asas pengangkutan darat, yang dijabarkan lebih lanjut didalam penjelasan yaitu: a. Asas transparan adalah keterbukaan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan kepada masyarakat luas dalam memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi pengembangan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.;

35

b. Asas akuntabel adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat dipertanggungjawabkan; c. Asas berkelanjutan adalah penjaminan kualitas fungsi lingkungan melalui pengaturan persyaratan teknis laik kendaraan dan rencana umum pembangunan serta pengembangan Jaringan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; d. Asas partisipatif adalah pengaturan peran serta masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan, pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, penanganan kecelakaan, dan pelaporan atas peristiwa yang terkait dengan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan; e. Asas bermanfaat adalah semua kegiatan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dapat memberikan nilai tambah sebesar-besarnya dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat; f. Asas efisien dan efektif adalah pelayanan dalam penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan oleh setiap pembina pada jenjang pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna; g. Asas seimbang adalah penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang harus dilaksanakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana serta pemenuhan hak dan kewajiban Pengguna Jasa dan penyelenggara; h. Asas terpadu adalah penyelenggaraan pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang dilakukan dengan mengutamakan keserasian dan kesalingbergantungan kewenangan dan tanggung jawab antarinstansi pembina; i. Asas mandiri adalah upaya penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan melalui pengembangan dan pemberdayaan sumber daya nasional. Pengangkutan selain bertujuan untuk memuat barang atau penumpang, membawa barang atau penumpang dari tempat permuatan ke tempat tujuan, dan menurunkan barang atau penumpang dari alat angkutan ketempat yang ditentukan, juga memiliki tujuan yang lebih besar, yaitu seperti tujuan pengangkutan yang termuat dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan: Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diselenggarakan dengan tujuan: a. terwujudnya pelayanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang aman, selamat, tertib, lancar, dan terpadu dengan moda angkutan lain untuk mendorong perekonomian nasional, memajukan kesejahteraan umum, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta mampu menjunjung tinggi martabat bangsa; b. terwujudnya etika berlalu lintas dan budaya bangsa; dan

36

c. terwujudnya penegakan hukum dan kepastian hukum bagi masyarakat.

3.

Pengangkutan Orang Dengan Travel Dilihat dari bentuk pelayanan yang diberikan dengan menggunakan

kendaraan bermotor maka pengangkutan travel termasuk dalam kategori pengangkutan darat. Dengan demikian pengangkutan travel tunduk pada UndangUndang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan yang merupakan pengganti dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Pasal 140 menyebutkan, pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek. Pasal 143 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, menyebutkan criteria Angkutan Orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek: a. memiliki rute tetap dan teratur; b. terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di Terminal untuk angkutan antarkota dan lintas batas negara; dan c. menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan.

37

Pasal 151 Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 Tentang Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan, menyebutkan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu. Jasa pengangkutan travel adalah pelayanan dalam bidang pengangkutan pengangkutan untuk penumpang yang bersifat khusus. Kekhususan ini terletak pada sistem pelayanan yang menerapkan sistem antar jemput sampai tujuan khususnya untuk penumpang. Travel memiliki rute tetap, teratur, memiliki tujuan tertentu, namun travel tidak menaikan dan menurunkan penumpang di dalam terminal. Travel dalam melakukan menaikkan dan menurunkan penumpang dilakukan dari pintu ke pintu. Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 menyebutkan bahwa: Pengangkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek terdiri dari a. pengangkutan dengan menggunakan taksi; b. pengangkutan dengan cara sewa; c. pengangkutan untuk keperluan pariwisata.

Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 menyebutkan bahwa: 1 2 Pengangkutan dengan cara sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan pelayanan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dengan wilayah operasi tidak terbatas. Pengoperasian pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mobil penumpang umum.

38

Dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 Pasal 24 ayat (2), travel dapat dikatakan sebagai angkutan khusus antar jemput yang dilaksanakan dalam trayek dengan asal dan tujuan perjalanan tetap atau sebaliknya. Pelayanan angkutan antar jemput diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. b. c. d. e. f. tidak berjadwal dan tidak boleh singgah di terminal; menggunakan mobil bus kecil dan/atau mobil penumpang umum; menggunakan plat tanda nomor warna dasar kuning dengan tulisan hitam; pelayanan dari pintu ke pintu dengan jarak maksimum 500 km; tidak menaikkan penumpang di perjalanan; tidak mengenakan tarif yang berpotensi/dapat mengganggu pelayanan angkutan dalam trayek pada lintasan yang sama; g. kendaraan yang dioperasikan tidak melebihi 20% dari jumlah kendaraan dalam trayek tetap dengan asal dan tujuan perjalanan yang sama. Pengangkutan yang dilakukan travel menggunakan mobil penumpang, mobil penumpang menurut Pasal 1 angka 6 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 adalah: Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Pengertian mengenai mobil penumpang juga terdapat dalam Pasal 1 angka 20 Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003, yaitu: Mobil Penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Pengertian mobil penumpang baik yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 maupun yang terdapat dalam Pasal 1 angka 20 Keputusan

39

Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 memiliki kesamaan yaitu kendaraan bermotor yang dilengkapi dengan 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi.

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dipergunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, dengan menggunakan konsepsi legis positivis yang memandang hukum sebagai norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga dan pejabat yang berwenang dan konsep yang memandang hukum sebagai sistem

40

normatif yang otonom, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat, serta bertujuan juga menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat.33

B. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang bersifat umum.34

C. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada lembaga atau instansi yang terkait, yaitu pada perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi Cilacap, Pusat Informasi Ilmiah Universitas Jenderal Soedirman dan Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

D. Sumber Data Penelitian ini bersumber pada data sekunder sebagai data utama dan data primer sebagai data pendukung: a. Data Sekunder

33. Ronny Hanintijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum dan Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1980, halaman 1234

33

34. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 1981, halaman 10.,

41

Data sekunder merupakan data pokok atau utama yang bersumber dari peraturan perundang-undangan, buku-buku literature, maupun surat-surat resmi yang ada hubungannya dengan objek penelitian. b. Data Primer

Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari objek penelitian yang berupa keterangan-keterangan hasil interview atau wawancara dengan salah satu pihak terkait dengan objek penelitian sebagi penunjang dan atau pendukung data sekunder.

E. Metode Pengumpulan Data Penelitian ini menggunakan data sekunder dan data primer yang diperoleh melalui metode pengumpulan data dengan cara sebagai berikut: a. Data Sekunder Data sekunder diperoleh melalui studi pustaka dengan cara

mengumpulkan bahan-bahan kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, dokumen resmi dan literatur yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti. b. Data Primer Data primer diperoleh dari interview atau wawancara dengan pihak perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi Cilacap untuk melengkapi data sekunder.

F. Metode Penyajian Data

42

Data yang diperoleh akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh

G. Metode Analisis Data Seluruh data dianalisis dengan menggunakan metode normatif kualitatif yaitu menafsirkan dan menjabarkan data berdasarkan teori hukum atau kaidahkaidah hukum serta doktrin hukum yang relevan guna menjawab perumusan yang telah dirumuskan.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. HASIL PENELITIAN Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh data sebagai berikut:

Data Sekunder

43

1.1. Angkutan Jalan (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Pasal 1 angka 3: Angkutan adalah perpindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan Kendaraan di Ruang Lalu Lintas Jalan. Pasal 1 angka 10: Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap Kendaraan yang digunakan untuk angkutan barang dan/atau orang dengan dipungut bayaran. Pasal 1 angka 21: Perusahaan Angkutan Umum adalah badan hukum yang menyediakan jasa angkutan orang dan/atau barang dengan Kendaraan Bermotor Umum. Pasal 1 angka 22: Pengguna Jasa adalah perseorangan atau badan hukum yang menggunakan jasa Perusahaan Angkutan Umum. Pasal 137 ayat (1): Angkutan orang dan/atau barang dapat menggunakan Kendaraan Bermotor dan Kendaraan Tidak Bermotor. Pasal 137 ayat (2): Angkutan orang yang menggunakan Kendaraan Bermotor berupa Sepeda Motor, Mobil penumpang, atau bus. Pasal 138 ayat (3): Angkutan umum orang dan/atau barang hanya dilakukan dengan Kendaraan Bermotor Umum.

44

Pasal 140: Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum terdiri atas: a. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum dalam trayek; dan b. angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek. Pasal 151 Pelayanan angkutan orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 140 huruf b terdiri atas: a. angkutan orang dengan menggunakan taksi; b. angkutan orang dengan tujuan tertentu; c. angkutan orang untuk keperluan pariwisata; dan d. angkutan orang di kawasan tertentu. Pasal 153 1) Angkutan orang dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 huruf b dilarang menaikkan dan/atau menurunkan Penumpang di sepanjang perjalanan untuk keperluan lain di luar pelayanan angkutan orang dalam trayek. 2) Angkutan orang dengan tujuan tertentu diselenggarakan dengan

menggunakan mobil penumpang umum atau mobil bus umum. 1.2. Angkutan Travel 1.2.1. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993Tentang Angkutan Jalan Pasal 1 angka 6: Mobil penumpang adalah setiap kendaraan bermotor yang dilengkapi sebanyak-banyaknya 8 (delapan) tempat duduk tidak termasuk tempat

45

duduk pengemudi, baik dengan maupun tanpa perlengkapan pengangkutan bagasi. Pasal 1 angka 8: Mobil barang adalah setiap kendaraan bermotor selain sepeda motor, mobil penumpang, mobil bus dan kendaraan khusus. Pasal 4: Pengangkutan orang dengan kendaraan umum dilakukan dengan menggunakan mobil bus atau mobil penumpang. Pasal 5: Pengangkutan orang dengan kendaraan umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dilayani dengan : a. trayek tetap dan teratur; atau b. tidak dalam trayek. Pasal 9: Pengangkutan orang dengan kendaraan umum tidak dalam trayek terdiri dari : a. pengangkutan dengan menggunakan taksi; b. pengangkutan dengan cara sewa; c. pengangkutan untuk keperluan pariwisata. Pasal 11: (1) Pengangkutan dengan cara sewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan pelayanan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dengan wilayah operasi tidak terbatas.

46

(2) Pengoperasian pengangkutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan mobil penumpang umum.

1.2.2. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Pasal 1 Angka 12: Angkutan Khusus adalah angkutan yang mempunyai asal dan/atau tujuan tetap, yang melayani antar jemput penumpang umum, antar jemput karyawan, permukiman, dan simpul yang berbeda. Pasal 1 Angka 14: Angkutan Sewa adalah angkutan dengan menggunakan mobil penumpang umum yang melayani angkutan dari pintu ke pintu, dengan atau tanpa pengemudi, dalam wilayah operasi yang tidak terbatas. Pasal 16: Angkutan orang dengan kendaraan umum dalam trayek, terdiri dari : a. Angkutan lintas batas negara b. Angkutan antar kota antar propinsi c. Angkutan antar kota dalam propinsi d. Angkutan kota e. Angkutan perdesaan f. Angkutan perbatasan g. Angkutan khusus.

47

Pasal 23 ayat (1): Angkutan khusus dalam trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 huruf g, terdiri dari : a. Angkutan antar jemput b. Angkutan karyawan c. Angkutan permukiman d. Angkutan pemadu moda. Pasal 24 (1) Pelayanan angkutan antar jemput sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) huruf a, dilaksanakan dalam trayek dengan asal dan tujuan perjalanan tetap atau sebaliknya. (2) Pelayanan angkutan antar jemput diselenggarakan dengan ciri-ciri sebagai berikut : a. tidak berjadwal dan tidak boleh singgah di terminal b. menggunakan mobil bus kecil dan/atau mobil penumpang umum c. menggunakan plat tanda nomor warna dasar kuning dengan tulisan hitam d. pelayanan dari pintu ke pintu dengan jarak maksimum 500 km e. tidak menaikkan penumpang di perjalanan f. tidak mengenakan tarif yang berpotensi/dapat mengganggu pelayanan angkutan dalam trayek pada lintasan yang sama

48

g. kendaraan yang dioperasikan tidak melebihi 20% dari jumlah kendaraan dalam trayek tetap dengan asal dan tujuan perjalanan yang sama. (3) Kendaraan yang digunakan untuk angkutan antar jemput harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. dilengkapi fasilitas pendingin udara yang berfungsi dengan baik b. umur kendaraan maksimum 5 tahun c. tidak mencantumkan papan trayek pada kendaraan yang

dioperasikan d. dilengkapi tanda khusus berupa stiker dengan tulisan

ANGKUTAN ANTAR JEMPUT yang ditempatkan pada badan kendaraan sebelah kiri dan kanan e. dilengkapi logo dan nama perusahaan yang ditempatkan pada pintu depan bagian tengah sebelah kiri dan kanan f. dilengkapi tanda jati diri pengemudi yang ditempatkan pada dashbord kendaraan, yang dikeluarkan oleh masing-masing

perusahaan angkutan.

1.3. Hak dan Kewajiban Konsumen dan Pelaku Usaha Serta Tanggung Jawab Pelaku Usaha 1.3.1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 48:

49

(1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan harus memenuhi persyaratan teknis dan laik jalan. (2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. susunan b. perlengkapan c. ukuran d. karoseri e. rancangan teknis kendaraan sesuai dengan peruntukannya f. pemuatan g. penggunaan h. penggandengan kendaraan bermotor;dan/atau i. penempelan kendaraan bermotor. (3) Persyaratan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh kinerja minimal Kendaraan Bermotor yang diukur sekurang-kurangnya terdiri atas: a. emisi gas buang b. kebisingan suara c. efisiensi sistem rem utama d. efisiensi sistem rem parkir e. kincup roda depan f. suara klakson g. daya pancar dan arah sinar lampu utama

50

h. radius putar i. akurasi alat penunjuk kecepatan j. kesesuaian kinerja roda dan kondisi ban dan k. kesesuaian daya mesin penggerak terhadap berat kendaraan. (4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan laik jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 49: (1) Kendaraan Bermotor, kereta gandengan, dan kereta tempelan yang diimpor, dibuat dan/atau dirakit di dalam negeri yang akan dioperasikan di Jalan wajib dilakukan pengujian. (2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. uji tipe; dan b. uji berkala. Pasal 57 ayat (1): Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan wajib dilengkapi dengan perlengkapan Kendaraan Bermotor. Pasal 57 ayat (2) Perlengkapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih sekurangkurangnya terdiri atas: a. sabuk keselamatan; b. ban cadangan; c. segitiga pengaman;

51

d. dongkrak; e. pembuka roda; f. helm dan rompi pemantul cahaya bagi Pengemudi Kendaraan Bermotor beroda empat atau lebih yang tidak memiliki rumahrumah; dan g. peralatan pertolongan pertama pada Kecelakaan Lalu Lintas. Pasal 58: Setiap Kendaraan Bermotor yang dioperasikan di Jalan dilarang memasang perlengkapan yang dapat mengganggu keselamatan berlalu lintas. Pasal 64 ayat (1): Setiap Kendaraan Bermotor wajib diregistrasikan.

Pasal 167 1) Perusahaan Angkutan Umum orang wajib: a. menyerahkan tiket Penumpang; b. menyerahkan tanda bukti pembayaran pengangkutan untuk angkutan tidak dalam trayek; c. menyerahkan tanda pengenal bagasi kepada Penumpang; dan d. menyerahkan manifes kepada Pengemudi. 2) Tiket Penumpang harus digunakan oleh orang yang namanya tercantum dalam tiket sesuai dengan dokumen identitas diri yang sah.

52

Pasal 186 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengangkut orang dan/atau barang setelah disepakati perjanjian angkutan dan/atau dilakukan pembayaran biaya angkutan oleh Penumpang dan/atau pengirim barang. Pasal 187 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengembalikan biaya angkutan yang telah dibayar oleh Penumpang dan/atau pengirim barang jika terjadi pembatalan pemberangkatan. Pasal 188 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengganti kerugian yang diderita oleh Penumpang atau pengirim barang karena lalai dalam

melaksanakan pelayanan angkutan. Pasal 189 Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188. Pasal 190 Pengemudi penumpang Kendaraan dan/atau Bermotor barang Umum dapat menurunkan pada tempat

yang

diangkut

pemberhentian terdekat jika Penumpang dan/atau barang yang diangkut dapat membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan. Pasal 191

53

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan. Pasal 192 1) Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang yang meninggal dunia atau luka akibat penyelenggaraan angkutan, kecuali disebabkan oleh suatu kejadian yang tidak dapat dicegah atau dihindari atau karena kesalahan Penumpang. 2) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung

berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami atau bagian biaya pelayanan. 3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak Penumpang diangkut dan berakhir di tempat tujuan yang disepakati. 4) Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian barang bawaan Penumpang, kecuali jika Penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian pengangkut. 5) Ketentuan lebih lanjut mengenai besarnya ganti kerugian diatur dengan peraturan pemerintah. Pasal 234

54

1) Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi. 2) Setiap Pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau

Perusahaan Angkutan Umum bertanggung jawab atas kerusakan jalan dan/atau perlengkapan jalan karena kelalaian atau kesalahan Pengemudi. 3) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/atau c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan. Pasal 235 1) Jika korban meninggal dunia akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf c, Pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada ahli waris korban berupa biaya pengobatan dan/atau biaya pemakaman dengan tidak

menggugurkan tuntutan perkara pidana.

55

2) Jika terjadi cedera terhadap badan atau kesehatan korban akibat Kecelakaan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) huruf b dan huruf c, pengemudi, pemilik, dan/atau Perusahaan Angkutan Umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan dengan tidak menggugurkan tuntutan perkara pidana. Pasal 237 1) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengikuti program asuransi kecelakaan sebagai wujud tanggung jawabnya atas jaminan asuransi bagi korban kecelakaan. 2) Perusahaan Angkutan Umum wajib mengasuransikan orang yang dipekerjakan sebagai awak kendaraan. 1.3.2. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1993 Tentang Angkutan Jalan Pasal 51 ayat (1): Awak kendaraan umum angkutan penumpang harus mematuhi ketentuan mengenai : a. tata cara menaikkan dan menurunkan penumpang b. tata cara berhenti c. penggunaan karcis atau pembayaran biaya angkutan d. kelengkapan penumpang. teknis kendaraan bermotor umum angkutan

56

1.3.3. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1993 Tentang Kendaraan dan Pengemudi Pasal 132 ayat (1) Pengujian kendaraan bermotor dilaksanakan dalam rangka menjamin keselamatan, kelestarian lingkungan dan pelayanan umum. Pasal 132 ayat (2) Pengujian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi uji tipe dan atau uji berkala. Pasal 139 ayat (1) Setiap kendaraan bermotor, kereta gandengan, kereta tempelan dan kendaraan khusus, sebelum disetujui untuk diimpor atau diproduksi dan atau dirakit secara masal, wajib dilakukan uji tipe. Pasal 148 1) Setiap kendaraan bermotor jenis mobil bus, mobil barang, kendaraan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf c, d dan e, kereta gandengan dan kereta tempelan, dan kendaraan umum yang dioperasikan di jalan, wajib dilakukan uji berkala. 2) Masa uji berkala sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berlaku selama 6 (enam) bulan. Pasal 172 ayat (1) Setiap kendaraan bermotor yang dioperasikan di jalan wajib didaftarkan.

57

1.3.4. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM. 35 Tahun 2003 Tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Di Jalan Dengan Kendaraan Umum Pasal 84 1) Penumpang kendaraan umum berhak diberi tanda bukti atas pembayaran biaya angkutan yang telah disepakati. 2) Bagi penumpang yang telah diberikan tanda bukti pembayaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), berhak mendapatkan pelayanan sesuai dengan perjanjian yang tercantum dalam tanda bukti pembayaran. 3) Bagi penumpang yang telah memiliki bukti pembayaran dan/atau telah membayar biaya angkutan, tidak dibenarkan dibebani biaya tambahan atau kewajiban lainnya di luar kesepakatan. 4) Penumpang berhak atas penggunaan fasilitas bagasi yang tidak dikenakan biaya maksimal 10 kg per penumpang, kelebihan bagasi diatur sesuai perjanjian operator dengan penumpang. Pasal 85 Penumpang wajib membayar biaya angkutan sesuai yang ditentukan, dan yang tidak membayar biaya angkutan dapat diturunkan oleh awak kendaraan pada tempat pemberhentian terdekat. Pasal 86

58

Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab terhadap segala perbuatan orang yang dipekerjakannya dalam kegiatan

penyelenggaraan angkutan. Pasal 87 1) Pengusaha angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang karena meninggal dunia atau luka-luka yang timbul dari penyelenggaraan pengangkutan, kecuali apabila dapat membuktikan bahwa meninggal atau lukanya penumpang disebabkan oleh suatu kejadian yang selayaknya tidak dapat dicegah atau dihindarinya atau karena kesalahan penumpang sendiri. 2) Kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata-nyata dialami, atau bagian biaya atas pelayanan yang sudah dinikmati. 3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimulai sejak diangkutnya penumpang dan berakhir ditempat tujuan yang disepakati. 4) Pengusaha angkutan umum tidak bertanggung jawab atas meninggal atau lukanya penumpang yang tidak diakibatkan oleh pengoperasian angkutan. 5) Pengusaha angkutan umum tidak bertanggung jawab terhadap kerugian atas barang bawaan penumpang, kecuali apabila penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut

59

disebabkan karena kesalahan atau kelalaian Pengusaha angkutan umum. Pasal 88 1) Pengusaha angkutan umum tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang timbul dari penyelenggaraan pengangkutan, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan kesalahan pengusaha angkutan umum. 2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti rugi dari pihak ketiga kepada pengusaha angkutan umum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian. Pasal 89 ayat (1) Pengusaha angkutan umum wajib mengasuransikan

tanggungjawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1). Pasal 90 Pengemudi kendaraan umum dapat menurunkan penumpang dan atau barang yang diangkut pada tempat pemberhentian terdekat, apabila ternyata penumpang dan atau barang yang diangkut dapat

membahayakan keamanan dan keselamatan angkutan. Pasal 91 1) Mobil bus umum dan mobil penumpang umum harus dilengkapi dengan ruang bagasi untuk penyimpanan barang milik penumpang.

60

2) Selain ruang bagasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), barang milik penumpang dapat disimpan di bawah tempat duduk atau di tempat yang khusus disediakan untuk barang dengan ketentuan tidak mengganggu kenyamanan penumpang. 3) Bagasi penumpang yang tidak dikenakan biaya maksimal sebanyak 10 kg per penumpang, kelebihan bagasi diatur sesuai perjanjian operator dengan penumpang. 4) Keamanan bagasi penumpang pada ruang bagasi menjadi tanggung jawab operator, terhadap barang di luar ruang bagasi menjadi tanggung jawab penumpang. 1.3.4. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 Hak konsumen adalah : a. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan; c. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;

61

e. hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut; f. hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen; g. hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; h. hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana *9391 mestinya; i. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Pasal 5 Kewajiban konsumen adalah : a. membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan; b. beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa; c. membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati; d. mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. Pasal 6 Hak pelaku usaha adalah :

62

a. hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; b. hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik; c. hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen; d. hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; e. hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundangundangan lainnya. Pasal 7 Kewajiban pelaku usaha adalah : a. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya; b. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan; c. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; d. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

63

e. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan; f. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan; g. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Pasal 19 1) Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan. 2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3) Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.

64

4) Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan. 5) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen. Pasal 23 Pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Pasal 26 Pelaku usaha yang memperdagangkan jasa wajib memenuhi jaminan dan/atau garansi yang disepakati dan/atau yang diperjanjikan.

Data Primer Berdasarkan hasil wawancara dengan pengurus harian perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi, sebagai narasumber yaitu bapak Sudir yang dilakukan pada tanggal 26 Juli 2010 di Cilacap, dan di peroleh data sebagai berikut: 2.1. Keadaan Umum Perusahaan

65

Perusahaan travel Sungguh Rejeki Abadi b