bab i, ii, iii

30
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Berbicara tentang adalah suatu pelajaran yang sangat penting untuk dikaji sebagai dasar dan awal pengetahuan. Sebelum mempelajari hukum islam lebih jauh lagi penulis akan mengajak untuk memahami bagaimana perkembangan hukum Ilsam. Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah mengadakan pembagian tahap-tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap- tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan. Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa: 1. Masa Nabi Muhammad (610-632 M) 2. Masa Khulafa Rasyidin / Masa Sahabat (632-662 M) 3. Masa Dinasti Umayah 4. Masa Dinasti Abbasiyah 5. Masa Stagnasi 6. Hukum Islam di masa abad modern 1

Upload: uin-sunan-ampel-surabaya

Post on 15-Apr-2017

145 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab i, ii, iii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Berbicara tentang adalah suatu pelajaran yang sangat penting untuk dikaji

sebagai dasar dan awal pengetahuan. Sebelum mempelajari hukum islam lebih

jauh lagi penulis akan mengajak untuk memahami bagaimana perkembangan

hukum Ilsam.

Penulis-penulis sejarah Hukum Islam telah mengadakan pembagian tahap-

tahap pertumbuhan dan perkembangan Hukum Islam. Pembagian ke dalam tahap-

tahap ini tergantung pada tujuan dan ukuran yang mereka pergunakan dalam

mengadakan pentahapan. Ada yang membaginya ke dalam 5, 6 atau 7 tahapan.

Namun pada umumnya mereka membagi tahap-tahap perkembangan dan

pertumbuhan Hukum Islam itu ke dalam 5 masa:

1.      Masa Nabi Muhammad (610-632 M)

2.      Masa Khulafa Rasyidin / Masa Sahabat (632-662 M)

3.      Masa Dinasti Umayah

4.      Masa Dinasti Abbasiyah

5.      Masa Stagnasi

6. Hukum Islam di masa abad modern

Dan yang akan dibahas penulis pada makalah ini ialah perkembangan

Hukum Islam dari masa Nabi sampai Masa dinasti abbasiyah.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini adalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana Perkembangan Hukum Islam mulai dari Masa Nabi hingga

dinasti Abbasiyah.

2. Siapa saja yang berperan dalam perkembangan dan penetapan hukum

Islam.

1

Page 2: Bab i, ii, iii

1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun tujuan di buatnya makalah ini diantaranya adalah sebagai berikut :

1. Membuat karya ilmiah yang bertujuan untuk sumber atau referensi

khalayak agar dapat memahami sejarah perkembangan dan penetapan

hukum islam.

2. Untuk meningkatkan pemahaman mahasiswa khususnya tentang

Sejarah hukum Islam.

3. Untuk memenuhi kewajiban akademik mahasiswa yang berupa tugas

dalam mata kuliah Studi Hukum Islam.

Adapun juga manfaat di buatnya makalah ini, yaitu :

1. Diharapkan dapat menjadi sumber referensi dan dapat diterapakan

dalam kehidupan bersosial/bermasyarakat.

2. Mahasiswa dapat mengetahui bagaimana cara penulisan makalah yang

benar dan sesuai dengan penulisan karya ilmiah.

3. Mengembangkan pengetahuan mahasiswa tentang ilmu-ilmu

keagamaan khusunya dalam ilmu hukum Islam.

2

Page 3: Bab i, ii, iii

BAB II

PEMBAHASAN

Islam adalah agama yang benar berasal dari Allah (Qs. 3: 19). Agama

yang bersifat universal, tidak terbatas oleh waktu dan tempat tertentu. Dalam al-

Qur’an surat al-Anbiya’ (21): 107 dan surat Saba’ (34):28, dinyatakan bahwa

lingkup keberlakuan ajaran islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah

untuk seluruh umat manusia, di manapun mereka berada. Berdasarkan pernyataan

ini Islam dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini. Islam dapat

menjadi pedoman hidup dan menyelesaiakan persoalan kehidupan masyarakat

modern., sebagaimana ia dapat mkenjadi pedoman hidup dan menyelesaikan

persoalan kehidupan masyarakat bersahaja (Harun Nasution, 1979).

Islam sebagai ajaran yang universal, absolute dan permanen, tidak berubah

da tidak dapat diubah tercantum dalam al-Qur’an dan hadis. Penunjukannya telah

jelas, mengatur kehidupan manusia dari seluruh aspeknya yang berpusat pada

tauhid mutlak (Azhar Basyir, 1993)

Sejak dari awal mula sejarah Islam, hukum bersumber pada syari’ah.

Syari’ah adalah wahyu Allah (terdapat dalam al-Qur’an) dan sunnah Nabi

Muhammad (terdapat dalam kitab-kitab hadis). Syari’ah adalah ketetapan Allah

dan ketentuan Rasul-Nya, materinya lengkap dan final (Fazlur Rahman, 1984).

Hukum menurut konsepsi hukum Islam, dasar dan kerangkanya ditetapkan

oleh Allah, tidak hanya menggatur hubungan manusia dengan manusia lain dan

benda dalam masyarakat sebagaimana pengertian hukum menurut konsepsi

hukum Barat, tetapi juga hubungan-hubungan lainnya, karena manusia yang hidup

dalam masyarakat itu mempunyai berbagai hubungan. Hubungan-hubungan itu

adalah hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan dirinya

sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan manusia dengan

benda dalam masyarakat serta alam sekkitarnya (Daud Ali, 1996).

Hukum Islam, dalam arti syari’at telah ditetapkan oleh Allah melalui

wahyu-Nya yang disampaikan kepada Nabi Muhammad tercantum dalam al-

3

Page 4: Bab i, ii, iii

Qur’an, dan ditentukan oleh Nabi Muhammad melalui sunnahnya terdapat dalam

kitab-kitab hadis. Hukum Islam, dalam arti fikih, ditetapkan oleh manusia yang

telah memenuhi syarat-syarat sebagai mujtahid (orang yang melakukan ijtihad)

dapat dijumpai dalam kitab-kitab fikih.

2.1. Periode Nabi Muhammad

Penetapan hukum pada periode Nabi Muhammad berlangsung 22 tahun 2

bulan 22 hari (Hudhari Bik, tp). Periode ini telah mewariskan nas-nas hukum

dalam al-Qur’an dan Sunnah Rasul, mewariskan sejumlah asas-asas penetapan

hukum yang menyuluruh, serta memberi petunjuk kepada sejumlah sumber dan

dalil-dalil untuk menentukan hukum sesuatu yang belum ada nasnya.

Periode Nabi Muhammad terdiri atas dua tahap yang berbeda: tahap

pertama, berlangsung sejak pengangkatan Muhammad sebagai Nabi dan Rasul,

pada tanggal 17 Ramadhan ketika beliau berusia 40 tahun, disaat beliau menerima

wahyu yang pertama sampai saat beliau hijrah ke Madinah tanggal 1 Rabi’ul

Awal ketika beliau berusia 53 tahun (16 Juli 622 M).

Pada periode ini hukum yang diutamakan adalah untuk menanamkan

akidah dan akhlak, yaitu menanamkan jiwa tauhid dan akhlak mulia. Ayat-ayat

Al-Qur’an yang diturunkan pada periode ini banyak berisi tentang keimanan,

seperti iman kepada Allah, kepada Rasulnya, hari kiamat dan perintah untuk

berakhlak mulia seperti adil, memperhatikan kebersamaan, menepati janji dan

menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan penipuan. Sementara

itu, beberapa hukum (syari’at) yang turun pada oeriode ini juga dimaksudkan

untuk mwujudkan perubahan pola pikir musyrik menjadi pola pikir tauhid.

Beberapa hukum (syari’at) tersebut ialah seperti, haram makan binatang yang

disembelih tanpa menyebut nama Allah serta keterangan tentang hewan-hewan

yang haram untuk dimakan.

Kemudian, turun surat al-an’am ayat 145 untuk mengubah kebiasaan

orang-orang jahiliyah yang menyembelih hewan atas nama Tuhan mereka yang

batil, mengharamkan dan menghalalkan hewan-hewan sesuai dengan hawa nafsu

mereka (Q.S. 6:136). Selain itu, ada juga perintah untuk melakukan shalat dan

4

Page 5: Bab i, ii, iii

zakat. Perintah melakukan shalat yang berkaitan dengan akidah, seperti shalat

untuk mengingat Allah (Q.S. 20:14). Perintah shalat yang berkaitan denagn

akhlak, seperti shalat mencegah perbuatan fakhsya’ dan munkar (Q.S. 29:45).

Perintah zakat yang bersifat umum dalam arti sedekah, sementara cara

pelaksanaannya, kadar yang harus dikeluarkan dan ketentuan lainnya ditetapkan

pada periode Madinah.

Tahap kedua yang disebut juga periode Madinah berlangsung sejak Nabi

Muhammad hijrah sampai saat beliau wafat. Pada periode ini, Allah menurunkan

ayat-ayat yang menerangkan hukum-hukum dari semua persoalan yang dihadapi

manusia. Yaitu hukum-hukum yang mengatur hubungan antara manusia dengan

Allah, yang disebut hukum ibadat seperti shalat, puasa, haji, bersuci dari hadas,

dan sebagainya. Selain itu, hukum-hukum yang mengatur hubungan manusia

dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dan hubungan

manusia dengan benda dalam masyarakat serta alam sekitarnya, yang disebut

hukum mu’amalat dalam arti luas.

Hukum Mu’amalat meliputi:

a. Munakahat: mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan

perkawinan, perceraian serta dan akibat-akibatnya.

b. Wirasaah:mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan pewaris,

ahli waris, harta peninggalan serta pembagian warisan.

c. Mu’amalat: dalam arti khusus, mengatur masalah kebendaan dan hak-hak

atas benda, tata hubungan manusia dalam soal jual beli, sewa menyewa,

pinjam-meminjam, perserikatan, dan sebagainya.

d. Jinayat: yang memuat aturan-aturan mengenai perbuatan-perbuatan yang

diancam baik dalam jarimah hudud maupun dalam jarimah ta’sir.

e. Al-akham as-sultaniyah: membicarakan soal-soal yang berhubungan

dengan kepala negara, pemerintahan, baik pemerintah pusat maupun

pemerintah daerah, tentara, pajak, dan sebagainya.

5

Page 6: Bab i, ii, iii

f. Syiar: mengatur urusan perang dan damai, tata hubungan dengan pemeluk

agama dan negara lain.

g. Muhassamat: mengatur soal peradilan, kehakiman, dan hukum acara.

Ayat-ayat hukum yang diturunkan Allah kepada nabi Muhammad, baik

yang di Mekkah maupun di Madinah mengandung petunjuk kebenaran bagi

kebahagiaan umat manusia. Ayat-ayat tersebut adalah dokumen keagamaan

dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik

dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia saleh dan religius dengan keadaan

yang peka dan nyata akan adanya satu Tuhan yang memerintahkan kebaikan

dan melarang kejahatan.

Ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan di Mekkah berkisar pada masalah

akidah dan moral, sedangkan pada periode Madinah lebih pada rekonstruksi

sosial dan moral masyarakat pada seluruh dimensi kehidupan. Contoh zakat,

walaupun berulang kali ditekankan, tetapi masih merupakan pemberian suka

rela kepada anggota-anggota yang miskin komunitas Islam Mekkah. Tetapi di

Madinah, zakat dinyatakan wajib bagi kesejahteraan umat Islam dan mulai

ditertibkan aturan pelaksanaannya.

Hukum yang ditetapkan pada periode Nabi Muhammad adalah hukum

dalam arti syari’at, berlaku abadi dan bersifat universal, tidak mungkin

berubah dan tidak boleh diubah oleh siapapun, telah sempurna, baik dari segi

materi, prinsip-prinsip maupun dari segi tujuannya untuk kebahagiaan hidup

umat manusia di dunia dan akhirat.

2.2. Periode Sahabat

Sejarah penetapan hukum dalam Islam pada periode sahabat dimulai sejak

Nabi Muhammad wafat, yaitu pada tahun 11 Hijriyah, dan berakhir ketika

Mu’awiyah bin Abi Sufyan menjabat sebagai Khalifah pada tahun 41 Hijriyah

(Mun’in A.Sirry, 1995). Periode ini merupakan awal sejarah penetapan hukum

Islam dalam arti fikih, sebab penetapan hukum pada periode ini merupakan hasil

pemahaman terhadap al-Qur’an dan hadis. Hukum dalam pengertian syri’at telah

6

Page 7: Bab i, ii, iii

berhenti bersama dengan NabiMuhammad wafat. Periode ini disebut sebagai

periode sahabat karena kekuasaan menetapkan hukum berada di tangan para

sahabat. Pada periode ini lahir syarat-syarat atau ketentuan-ketentuan siapa yang

berhak menetapkan hukum dan memberi fatwa. Syarat-syarat itu antara lain : (1)

Sampai sejauh mana keahlian mereka dalam soal hukum, (2) berapa lama mereka

bergaul dan berdampingan dengan Nabi Muhammad semasa beliau masih hidup,

(3) dan seberapa jauh pengetahuan mereka terhadap al-Qur’an (asbabun nuzul)

maupun hadis (asbabul wurud).

Sumber hukum pada periode sahabat adalah al-Qur’an, Sunnah dan ra’yu.

Jika timbul suatu masalah para sahabat mencari hukumnya di dalam al-Qur’an.

Jika ditemukan di dalamnya, maka nas-nas itu dijadikan sebagai dasar untuk

menetapkan hukum. Jika tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, mereka mencari

hukumnya dalam Sunnah. Jika ditemukan di dalamnya, maka dalil-dalil itu

dijadikan sebagai dasar untuk menetapkan hukum. Jika tidak ditemukandalam

Sunnah, mereka menggunakan ra’yu sebagai dasar ijtihad menetapkan hukum

dengan jalan mengqiyaskan dengan sesuatu yang telah ada nasnya dalam al-

Qur’an atau Sunnah, atau dengan berdasarkan pada jiwa tasyri’, yaitu dasar

kemaslahatan manusia.

Para sahabat yang pernah menggalami hidup bersama Nabi Muhammad,

diantara mereka banyak yang hafal al-Qur’an dan hadis secara langsung

mengetahui sebab-sebab turunnya al-Qur’an dan sebab-sebab Nabi Muhammad

bersabda, maka mereka mengetahui benar tentang sebab-sebab terjadinya

ketetapan-ketetapan hukum dan nas-nas al-Qur’an dan Sunnah, serta maksud dan

tujuan ditetapkan hukum untuk menjamin kemaslahatan manusia. Dan karna

keistimewaan-keistimewaan inilah, mereka memiliki keahlian untuk menjelaskan

nas-nas tersebut jika ada pertanyaan-pertanyaan yang muncul pada periode ini.

Diantara sahabat yang termasyur, yang berada di Makkah adalah Abdullah bin

Abbas, di Kufah ada Ali bin Abi Thalib dan Abdullah Ibn Mas’ud, di Basrah ada

Anas bin Malik dan Abu Musa al-Qur’an – Asy’ari, di Syam ada Muadz bin Jabal

dan Ubadah bin Samit, di Mesir ada Abdullah bin Amir bin As, di Madinah ada

7

Page 8: Bab i, ii, iii

Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan, Ali bin Abi

Thalib), Zaid bi Tsabit, Ubay ibn Ka’ab, Abdullah bin Umar, dan Aisyah.

Pengaruh yang sangat penting hasil ijtihad periode sahabat bagi penetapan

hukum pada masanya dan masa-masa berikutnya adalah ketetapan himpunan ayat-

ayat al-Qur’an dalam satu mushaf da menyebarluaskan kepada kalangan kaum

muslimin. Dasar ijtihad ini yaitu, karena Nabi Muhammad semasa hidupnya telah

mengangkat para penulis wahyu untuk mencatat ayat-ayat al-Qur’an yang turun.

Apabila salah satu atau ada beberapa ayat, beliau lalu membacakan di hadapan

kaum muslimin kemudian para penulis wahyu yang hadir dalam kesempatan ini

untuk mencatat ayat-ayat yang telah dibacakan. Sahabat yang lain juga

mencatatnya untuk catatan pribadi. Ketika Nabi Muhammad wafat, ayat-ayat al-

Qur’an telah terhimpun. Dan ada beberapa sahabat yang menghafalnya.

Penghimpunan ayat-ayat al-Qur’an ada yang tertulis di daun-daun, ada yang

tertulis di batu-batu putih yang tipis, da nada juga yang tertulis di pelepah-pelepah

kurma.

Setelah berkecamuk dengan perang riddah (perang anatara kaum

muslimin dengan orang-orang murtad) pada zaman Khalifah Abu Bakar, dan

banyak sahabat-sahabat yang terbunuh dalam peperangan ini, timbullah

kekhawatiran dikalangan penguasa, bahwa al-Qur’an yang terpelihara itu akan

lenyap. Karena itu mereka mengadakan musyawarah dengan Khalifah Abu Bakar,

agar menggumpulkan dan menghimpun ayat-ayat al-Qur’an menjadi satu

himpunan. Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit, penulis wahyu utama dan

penghafalan al-Qur’an yang paling kuat, untuk melaksanakan tugas menghimpun

ayat-ayat al-Qur’an yang berserakan. Usaha ini berhasil dengan bantuan sejumlah

sahabat Muhajirin dan Anshar. Himpunan al-Qur’an yang pertama ini mulanya

disimpan di rumah Abu Bakar, kemudian diserahkan pemeliharaannya kepada

Umar bin Khatab, selanjutnya dialihkan kepada Hafsah binti Umar.

Setelah Abu Bakar wafat, pada Senin 23 Agustus 624 Masehi, jabatan

Khalifah dipegang oleh Umar bin Khattab. Persoalan-persoalan hukum pada masa

ini semakin bertambahseiring dengan bertambah luasnya wilayah kekuasaan

pemerintah Islam, sehingga ijtihad pada masa ini tidak hanya menggunakan

8

Page 9: Bab i, ii, iii

metode qiyas untuk menetapkan hukum terhadap peristiwa yang tidak ada nas-nya

dalam al-Qur’an dan Sunah, akan tetapi pengkajian secara mendalam terhadap

jiwa syari’at (al-Qur’an dan Sunnah) agar dapat memperoleh kemaslahatan dunia

dan akhirat menjadi pertimbangan untuk menetapkan hukum.

Di masa Umar bin Khatab terdapat pula permasalahan yang menyangkut

tentang harta rampasan perang dibagikan kepada para prajurit sebanyak 4/5 nya.

Namun Umar bin Khatab tidak membagikan kepada para prajurit yang terlibat

perang. Beliau berpendapat bahwa masa depan umat Islam di negeri yang baru

ditaklukkan (Irak dan Syam) perlu dipikirkan ulang, yaitu untuk kebutuhan

umum, seperti administrasi, gaji pegawai dan prajurit yang ditanggung oleh

pemerintah, dls.

Namun Bilal bin Rabah dan beberapa sahabat lainnya menuntut untuk

membagikan 4/5 hasil rampasan perang tersebut untuk para prajurit. Tuntutan

tersebut cukup beralasan karena memang demikianlah yang di praktekkan oleh

Nabi Muhammad. Dan selama 3 hari Umar bin Khatab tidak keluar rumah untuk

memikirkan tuntutan tersebut. Setelah Umar bin Khatab mengkaji ayat-ayat al-

Qur’an dan beristiqarah minta petunjuk kepada Allah, akhirnya Umar menemukan

4 ayat dalam al-Qur’an, yaitu dalam surat al-Hasyr (59) ayar 6,7,8, dan 10. Dan

setelah Umar membacakan dan menjelaskan ayat tersebut Bilal bin Rabah dan

beberapa sahabat lainnya dapat menerima serta mensetujui pendapatnya.

Setelah Umar bin Khattab wafat (23 H/ 644 M), kepemimpinan umat

Islam dipegang Usman bbin Affan, baru saja menduduki jabatannya sebagai

Khalifah, ia menerima laporan dari pembantunya (Hudzaifah bin Yaman) tentang

berbagai macam bacaan dan versi al-Qur’an yang telah beredar diberbagai daerah

dan memohon agar Usman memberikan pengertian kepada umat sebelum terjadi

perselisihan. Berdasarkan laporan ini Usman bin Affan meniai bahwa hal ini tidak

bisa dibiarkan berlarut-larut, karena akan membahayakan kesatuan dan persatuan

umat Islam. Lalu Usman menanggapi permohonan tersebut dengan mengirim

utusan meminjam lembaran-lembaran al-Qur’an pada Hafsah binti Umar untuk

menyalin ke dalam mushaf-mushaf. Setelah itu Usman mengirimkan hasil kerja

panitia, berupa mushaf standar, ke seluruh wilayah.

9

Page 10: Bab i, ii, iii

Setelah Usman bin Affan wafat (36 H/ 656 M), kepemimpinan umat Islam

berikutnya dipegang Ali bin Abi Thalib. Ketika baru menduduki jabatannya

sebagai Khalifah, ia dituntut untuk mengatasi pemberontakan yang dipimpin oleh

Thalhah dan Zubair. Setelah pemberontakan ini dapat diatasi menyusul

pemberontakan berikutnya yang di pimpin oleh Muawiyah bin Abi Sufyan.

Meskipun stabilitas keaman pada masa Ali bin Abu Thalib terganggu karena

adanya pemberontakan-pemberontakan, sehingga mengganggu konsentrasi Ali

untuk meneruskan pembangunan dalam berbagai bidang kehidupan yang telah

dirintis oleh para Khalfah sebelumnya, namun ia masih sempat melahirkan karya

intelektual.

Ali bin Abi Thalib adalah sahabat Nabi yang paling konsisten memegang teguh

Sunnah Rasul. Ia mengatakan “Aku tidak akan meninggalkan Sunah Rasulullah

hanya karena ra’yu atau pendapat seseorang”. Pernyataan ini disampaikan di

depan Umar dan Usman, ketika 2 sahabat Nabi ini melarang umat Islam

melakukan haji tamatu’, yang dinilai oleh Ali bahwa larangan itu tidak memiliki

dasar hukum (al-Qur’an dan Sunnah) sebab Nabi Muhammad melakukan haji

tamatu’. Ketika Umar bin Khattab menjadi Khalifah, ia menghukum dera

peminum khamar sebanyak 80 kali. Ketika Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah

menghukumnya sebanyak 40 kali sebagaimana Nabi melakukannya. Ketika Umar

bin Khatab menetapkan hukum rajam bagi orang gila berzina. Ali bin Abi Thalib

membebaskan hukum itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud.

2.3 Periode Bani Ummaiyah

Setelah masa khalifah al-Rasyiddin berakhir, fase selanjutnya adalah

zaman tabi’in yang pemerintahannya dipimpin oleh dinasti umayah. Dengan

khalifah utama Muawiyah bin Abi Sufyan, dinasti ini beribukota di Damaskus.

Muawiyah telah mencurahkan segala tenaganya untuk memperkuat dirinya dan

menyipakan daerah Syria sebagai pusat kekuasaannya di kemudian hari. Dinasti

ini berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14 orang khalifah.

1. Muawiyah bin Abu Sofyan 661 s.d. 680

2. Yazid bin Muawiyah 680 s.d. 683

10

Page 11: Bab i, ii, iii

3. Muawiyah bin Yazid 683 s.d. 684

4. Marwah bin Hakam 684 s.d. 685

5. Abdul Malik bin Marwan 685 s.d. 705

6. Walid I bin Abdul Malik 705 s.d. 715

7. Sulaiman bin Abdul Malik 715 s.d. 717

8. Umar bin Abdul Aziz 717 s.d. 720

9. Yazid bin Abdul Malik 720 s.d. 724

10. Hisyam bin Abdul Malik 724 s.d. 743

11. Walid II bin Yazid II 743 s.d. 744

12. Yazid III 744 s.d. 745

13. Ibrahim bin Walid II 745 s.d. 747

14. Marwan II bin Muhammad II 747 s.d. 750

Diantara 15 Khalifah Dinasti umayah tersebut hanya 5 orang khalifah yang

menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberikan pengaruh

bagi perkembangan Islam, yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin

Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hasyim bin Abdul

Malik.

Dengan berdirinya daulah umayah maka sistem politik dan pemerintahan

berubah. Pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagai proses

pergantian khalifah sebelumnya. Suksesi pemerintahan dilakukan secara turun

menurun. Seorang khalifah tidak lagi harus sekaligiusnya pemimpin agama

sebagaimana khalifah sebelumnya. Urusan agama diserahkan kepada ulama, dan

ulama hanya dilibatkan dalam pemerintahan jika dipandang perlu oleh khalifah.

Pada masa dinasti umayah, al-Qadha dikenal dengan al-Nizam al-

Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaaan pengadilan telah

11

Page 12: Bab i, ii, iii

dipisahkan dari kekuasaan politik. Ada 2 ciri khas bentuk peradilan pada masa

bani umayah, yaitu :

1. Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-

hal yang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu Mazhab belum lahir dan

belum menjadi pengikat bagi keputusan-keputusan hakim. Pada waktu itu

hakim hanya perpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.

2. Lembaga Peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa.

Hakim memiliki hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh

keinginan-keinginan penguasa. Keputusan mereka tidak hanya berlaku

pada rakyat biasa, tetapi juga pada penguasa-penguasa sendiri. Dalam hal

itu, khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan memecat hakim

yang menyeleweng dari garis yang ditentukan.

Pegangkatan hakim dipisah dari gubernur. Khalifah mengangkat qadhi-

qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan, sementara qadhi yang bertugas di

daerah diserahkan pengangkatannya pada kepala daerah tersebut. Pemersalahna

yang bisa ditangani oleh qadhi ini terbatas pada masalah-masalah khusus,

sementara yang melaksanakan keputusan itu adalah khalifah. Lembaga peradilan

dipegang poleh orang islam, sedangkan kalangan non muslim mendapatkan

otonomi hukum dibawah kebijakan masing-masing pemimpin aga mereka. Hal

inilah yang mendasari mengapa hakim ada di kota-kota besar.

Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa bani umayah ini

diketagorikan menjadi 3 badan yaitu :

1. Al-Qadhaa’ , merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-

perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga

megatur institusi waqaf, harta anak yatim, orang yang cacat mental.

2. Al-Hisbah , merupakan tugas al-muhtasib. Dalam menyelsaikan perkara-

perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat.

Menurut Al-Syaqathi dalam bukunya Fi Adaab al-hisbah seperti yang

dikutip oleh Philip K. Hitty bahwa tugas al-Muhtasib selain mengarahkan

12

Page 13: Bab i, ii, iii

polisi juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar,

memerikasa takaran dan timbangan serta ikut mengurusi kasus-kasus

perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum.

3. al-Nadhaar fi al-Mazhalim, merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah

banding dari mahkamah dibawahnya. Lembaga ini juga mewakili para

hakim dan pembesar negara yang berbuat salah.

Para pengadilan kategori ketiga ini dalam melakukan sidangnya langsung

dibawah pimpinan khalifah. Ketika itu Abdul Malik bin Marwan atau

orang yang ditunjuk olehnya, yang pada awalnya diadakan didalam

masjid. Dalam menjalaskan tugasnya ketua mahkamah Mazhalim ini

dibantu oleh 5 orang pejabat penting lainnya, yaitu :

1. Pembela

2. Hakim

3. Ahli fikih

4. Sekertaris

5. Saksi

Ulama mencatat bahwa orang yang pertama menggagas dan melaksanakan

keberadaan wilayah mazhalim dan hisbah adalah khalifah Abdul Malik bin

Marwan dan kemudian disempurnakan oleh Umar bin Abdul Aziz.

Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim dinyatakan

tidak sah apabila salah satu unsur sidang diatas tersebut tidak hadir.

Hukuman yang biasanya diputuskan pengadilan adalah dalam bentuk

denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus

khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.

Dari penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan telah

berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim dalam

menetapkan suatu perkara.

13

Page 14: Bab i, ii, iii

Untuk menjamin kebersihan hakim, khalifah menganjurkan untuk mengangkat

hakim dari kalangan orang kaya dengan maksud supaya terbebas dari keinginan

menguasai rakyat. Hal ini sesuai dengan pesan Umar bin Khatab ketika menulis

surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari: “Janganlah kamu mengangkat hakim

melainkan orang yang memiliki harta dan kehormatan, sebab orang yang

memiliki harta tidak akan menginginkan harta milik umat.”

Putusan-putusan hakim pada masa ini belum lagi disusun dan dibukukan

secara sempurna. Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan perkaranya

kepada hakim, maka hakim memeriksa serta memberikan putusannya dengan cara

menerangkan kepada yang terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan

hakim.

Seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salim bin Ataz, merasa

perlu meregistrasikan putusan yang telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya

perkara-perkara rakyat, karena dalam masalah yang sama tentang pembagian harta

warisan terhadap putusan hakim yang berbeda, sehingga mereka kembali lagi

kepada hakim untuk meminta keadilannya. Setelah hakim memutuskan sekali

perkara itu, maka putusan itu ditulis dan dibukukan. Sehingga dapat dikatakan

bahwa dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya, dan menyusun

yurisprudensi pada Muawiyah tersebut.

Selain pencatatan dan penyusunan yurisprudensi, Muawiyah membuat

sebuah biro registrasi, karena ada yang berusaha memalsukan tandatangannya.

Adapun tugas biro registrasi adalah membuat dan menyimpan setiap salinan

dokumen resmi sebelum distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya. Pada

masa Abdul Malik, dinasti Umayah membangun gedung arsip negara di

Damaskus.

2.4 Periode Bani Abbasiyah

Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari dari dinasti Umayah.

Dianamakan Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas

paman Nabi Muhammad Saw. dan kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung

14

Page 15: Bab i, ii, iii

dalam rentang waktu yang panjang dari tahun 132 H/ 750 M sampai 656 H / 1258

M.

Badri Yatim menjelaskan bahwa berdasarkan perubahan pola pemerintahn

dan politik, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Daulah

Abbasiyah menjadi lima periode yaitu sebagai berikut :

1. Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut pengaruh Arab

dan Persia pertama.

2. Periode Kedua (232 H/847 M – 334H/945 M), disebut pengaruh turki

pertama.

3. Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan Dinasti

Buwaih dalam pemerintahan Khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga

masa pengaruh Persia kedua.

4. Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/1194 M), masa kekuasaan

Daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, disebut juga

dengan masa pengaruh Turki kedua di bawah Kesultanan Seljuk Raya

(Salajah al-kubra/Seljuk Agung).

5. Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas

dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaan hanya efektif di Kota Bagdad

(invansi Tartar, dan ekspensi Bani Utsmani secara besar-besaran).

Periode Abbasiyah adalah periode yang baik untuk memelajari sistematika

hukum Islam. Pada periode ini beberapa aliran hukum Islam muncul, dimana yang

momumental di antaranya adalah empat aliran sunni yang diakaitkan dengan

nama Abu Hanafiah, Malik bin Anas, Syafi’i dan Ahmad bin Hambal.

1. Abu Hanifah (150 H/767 M)

Nu’man ibn Sabit, dikenal sebagai imam Abu Hanifah lahir pada

tahun 80 H/699 M di Kufah dan meninggal delapan belas tahun setelah

Abbasiya berkuasa. Ia memiliki kekuatan nalar yang luar biasa dan

15

Page 16: Bab i, ii, iii

merumuskan sebuah teori yang disebut istihsan atau pilihan hukum yang

menunjukan pelanggaran atas analogi yang ketat demi kepentingan umum.

Disini dapat dicatat bahwa penalaran seseorang biasanya disebut

opini atau ra’yu, tetapi ketika dipergunakan oleh mujtahid atau orang yang

memenuhi persyaratan maka disebut ijthad atau usaha menyimpulkan

peraturan-peraturan hukum. Ketika ditujukan untuk mencapai sistematika

konsistensi dan dituntun oleh kesamaan institusi atau keputusan yang ada

maka disebut qiyas atau analogi, kesamaan penalaran ketika merefleksikan

pilihan pribadi dan kebebasan pendapat seseorang ahli hukum, yang

dituntun oleh idenya yang tepat maka disebut istihsan atau istihab,

“persetujuan atau pilihan”. Abu hanifah yang mengajukan teori istihsan

disebut pendukung pendapat pribadi.

2. Malik bin Anas (179 H/795 M)

Malik bin Anas yang terkenal sebagai Imam Malik lahir pada tahun

95 H/713 M di Madinah, tempat ia belajar dan dianggap sebagai ahli hadis

yang paling terkemuka. Ia juga ahli hukum yang besar dan aliran Maliki

dikaitkan dengan namanya. Ia banya belajar tentang hadis Nabi dan

ketetapan yang diambil oleh para sahabatnya.

Hal yang tersulit ialah membedakan antara aliran Maliki dan Abu

Hanifah. Karena sumber utamanya tentu saja Al-Qur’an, kemudian sunnah

Nabi. Ia digabungkan dengan pengalaman para khalifah dan undang-

undang kota yang tidak tertulis.

Malik sangat terkait dengan arti penting tradisi madinah dengan

anggapan bahwa tradisi-tradisi ini mesti telah dipindahkan dari masa Nabi.

Konsepsi lain yang dikembangkan oleh Malik dan alirannya adalah

persetujuan atau ijma’. Ia tidak memberikan kekuasaan keputusan melalu

ijma’ kepada dunia luar, karena Madinah dunia baginya dan persetujuan

Madinah semata dapat menetapkan kebenaran universal.

3. Syafi’i (204 H/819 M)

16

Page 17: Bab i, ii, iii

Muhammad bin Idris al-Syafi’i yang dikenal Imam Syafi’i adalah

murid imam Malik. Ia Lahir di Palestina pada tahun 150 H / 767 M bahkan

sejak usia muda telah menunjukan bakat. Ia adalah pelopor Yuridprudensi

Islam. Teori-teorinya terkenal karena pandangannya yang sederhana dan

keseimbangan hukum. Buah penanya tentang yurisprudensi yaitu Risalah

merupakan karya monumentalyang menunjukan pandangan yang jelas dan

pandangan yang penuh mengenai pengetahuan hukum yang

memungkinkan untuk mengatakan apa yang terbukti menjadi kata pemutus

dalam permasalahan.

Kebesarannya terletak pada sikap menyeimbangkan anatara

pendukung hadis dengan pendukung pendapat (ra’yu). Ia mencoba

mengikuti sikap tengah antara dua tendensi yang bertentangan, dengan

prinsip meyetujui hanya yang benar dan bersumber pada Nabi. Baginya

hadis bisa diterima atau tidaknya itu bergantung pada isnad atau rangkaian

pembawa cerita.

4. Ahmad bin Hanbal (154-241 H/780-855 M)

Diantara ulama besar yang mengikuti ajaran Syafi’i ialah Abu

Abdullah Ahmad bin Hanbal, yang dikenal sebagai imam Ahmad bin

Hanbal. Ia lahir di bagdad pada tahun 164 H /780M. Reputasinya sebagai

ahli hadis dan teologi lebih besar daripada sebagai ahli hukum. Ia amat

ketat memegangi hadis Nabi dan mengintepretasikan secara literal. Tidak

seperti imam-imam yang lain, ia membolehkan doktrin ijma’ dan qiyas

secara amat terbatas. Ia sama sekali tidak menerima pemikiran manusia

sebagai sumber hukum, hanya wahyu ilahi dalam Al-Qur’an dan

Sunnahlah yang berwenang sebagai sumber hukum. Kesalehannya dapat

dikumpulkan dari fatwa bahwa ia mengatakan tidak pernah makan buah

semangka karena tidak menjupai teladan Nabi dalam masalah ini. Musnad

adalah karyanya yang terkenal yang memuat lebih dari 40.000 Hadis.

Inilah empat aliran hukum sunni yang sekarang masih hidup. Ada

beberapa aliran hukum yang lain seperti Auzai (wafat 157H/774). Dawud al-

17

Page 18: Bab i, ii, iii

Zahiri (wafat 270 H/884M) dan Tabari (wafat 310 H/923 M). Aliran Dawud al-

Zahiri memegangi hanya arti literal (zahir) Al-Qur’an dan Assunah. Teorinya

ditolak karena menganggap menentang agama tidak hanya kebebasan penggunaan

pendapat pribadi yang sangat umum sebelum Syafi’i, tetapi juga menggunakan

analogi yang dianjurkan oleh Syafi’. Menurut Zahiri ijma’ yang sah adalah ijtihad

para sahabat Nabi. Tulisan-tulisan dari pengikutnya yang besar, Ibnu Hazm (456

H/1063 M). menyikap aspek-aspek kesamaan tertentu dengan ajaran Hanbali dan

para ahli Hadis secara umum.

Pemikiran ahli hukum mengalami penurunan dengan runtuhnya Bagdad

pada tahun 1258 M. Ahli Hukum sunni berpendapat bahwa empat aliran diatas

yakni Abu Hanifah, Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal benar-benar cukup.

Jadi, pintu ijtihadtelah ditutup dan setelah itu mulailah periode taklid yakni,

mengikuti pendapat dari salah satu empat mazhab diatas tanpa meneliti

sumbernya.

18

Page 19: Bab i, ii, iii

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Pembentukan Hukum Islam dibentuk pada masa Rasulullah SAW. Benih-

benih Hukum Islam itu sendiri di kembangkan pada saat masa sahabat atau masa

Khulafaur Rasyidun lalu munculah pengelompokan-pengelompokan pemikiran

pada masa dinasti umayah, dengan seiring waktu pada masa Dinasti Abbasiyah

dilakukan pembentukan madzab hukum Islam seperti contoh Madzab imam yang

terkenal yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad

bin Hanbal.

3.2. Kritik dan Saran

Mengenal sejarah merupakan awal untuk memelajari suatu ilmu tersebut,

kita diharuskan untuk memelajari sejarah hukum islam agar kita tahu dasar

ataupun asal mula dari hukum islam itu sendiri. Untuk pembaca perlu

diperhatikan dalam memelajari hukum islam alangkah lebih baiknya jika kita

mengenal sejarahnya terlebih dahulu.

Demikianlah makalah yang dapat penulis buat semoga bermanfaat bagi

orang yang membacanya dan menambah wawasan tentang ilmu Agama Islam

khusunya dalam sejarah hukum islam periode Rasulullah sampai dengan masa

dinasti Abbasiyah. Penulis menerima kritikan dan saran dari khalayak agar

kedepannya lebih baik lagi dalam penulisan makalah ini. Penulis juga memohon

maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan kata dan kalimat yang tidak jelas

serta kurang dimengerti mengerti mohon jangan dimasukan ke dalam hati.

19

Page 20: Bab i, ii, iii

20