bab i, ii, iii perbaikan
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa Jepang merupakan salah satu bahasa asing yang banyak dipelajari di
Sekolah Menengah Atas (SMA) di Indonesia dewasa ini. Kebutuhan akan
keterampilan berbahasa asing bertambah pesat seiring dengan perkembangan
zaman dan kemajuan teknologi yang menuntut generasi penerus bangsa
mampu mengimbangi arus globalisasi saat ini. Namun, pada kenyataannya
tidak semua individu mempunyai minat yang sama besar terhadap bahasa
asing, terutama bahasa Jepang. Penulisan huruf yang berbeda, tata bahasa
yang berbeda pola dengan bahasa ibu menjadi kesulitan tersendiri. Akan
tetapi, hal tersebut bukanlah menjadi suatu halangan bagi seorang pendidik
untuk mengajarkan bahasa Jepang kepada para peserta didik. Seorang
pengajar sebagaimana perannya dalam mendidik dan mencerdaskan anak
bangsa harus berfikir kreatif agar pembelajaran dapat berjalan dengan baik
dan tujuan pembelajaran pun tercapai dengan hasil optimal.
Kesulitan peserta didik dalam mempelajari bahasa asing adalah hambatan
dalam kegiatan pembelajaran yang kerap terjadi dalam dunia pendidikan.
Pengajar mempunyai andil besar dalam mengatasi kesulitan yang dialami
peserta didik dalam mempelajari bahasa asing tersebut. Salah satunya adalah
adalah dengan strategi, teknik bahkan metode pembelajaran yang tepat sebagai
1
2
jalan untuk memudahkan siswa menyerap ilmu pengetahuan sehingga tujuan
yang diharapkan dapat tercapai.
Pembelajaran bahasa asing menuntut pemelajarnya untuk aktif berbicara
sehingga dapat mendukung kemampuan verbalnya dalam menerapkan pola
kalimat dan kosakata yang telah dipelajari. Dewasa ini, guru tak hanya sebagai
pendidik namun juga harus dapat menempatkan diri sebagai fasilitator yang
bisa mendorong siswanya untuk aktif berbicara. Karena keaktifan berbicara
sangat berperan sebagai tolak ukur dalam penguasaan bahasa asing.
Tercapainya tujuan tersebut, tentu tak lepas dari metode yang digunakan yang
memotivasi siswa untuk meningkatkan kemampuan berbicara mereka.
Pemilihan metode pembelajaran yang tepat bisa mewujudkan tujuan-tujuan
yang ingin dicapai. Pada penelitian kali ini, peneliti mencoba meneliti sebuah
pengembangan metode dalam model pembelajaran kooperatif, yaitu talking
stick. Sebagai metode pembelajaran inovatif, metode talking stick merupakan
metode pembelajaran yang dapat mendorong siswanya untuk aktif sehingga
tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan.
Metode Talking stick sebelumnya telah diteliti oleh Dewi Setyawati Nur
Fadhillah dalam jurnal pendidikan biologinya dengan judul “Hasil Belajar
Biologi Melalui Penerapan Metode Talking Stick dalam Model Learning
Cycle Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa di SMA Negeri 5 Surakarta”.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Herdyna Usi Velawati dalam penelitian
eksperimennya yang berjudul “Implementasi Pembelajaran Kooperatif
3
Tipe Snowball Drilling dan Talking Stick Terhadap Prestasi Belajar
Ekonomi Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa”.
Dengan dilatarbelakangi hal tersebut, maka peneliti bermaksud untuk meneliti
bagaimanakah pengaruh talking stick terhadap kemampuan berbicara dan hasil
belajar bahasa Jepang siswa kelas XI di SMKN 26 Jakarta Timur dalam
penelitian eksperimen yang berjudul “PENGARUH PENERAPAN
METODE TALKING STICK DALAM MENINGKATKAN HASIL
BELAJAR BAHASA JEPANG SISWA”
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka
diidentifikasi masalah sebagai berikut.
1. Adanya asumsi siswa bahwa mata pelajaran bahasa Jepang sulit.
2. Pembelajaran yang pasif di kelas membuat suasana pembelajaran menjadi
tidak menyenangkan dan kurang membuat siswa aktif.
3. Perlunya suatu metode pembelajaran yang dapat menciptakan kegiatan
pembelajaran menjadi aktif dan menyenangkan sehingga diharapkan dapat
berpengaruh terhadap hasil belajar bahasa Jepang siswa.
C. Pembatasan Masalah
Sedangkan untuk memfokuskan masalah dalam penelitian, maka dilakukan
pembatasan masalah sebagai berikut.
4
1. Penelitian ini akan meneliti tentang suatu metode pembelajaran yang
memiliki kemungkinan berpengaruh terhadap hasil belajar siswa, yaitu
metode talking stick.
2. Penelitian difokuskan pada hasil belajar bahasa Jepang siswa yang
meliputi kemampuan berbicara, mendengar dan menulis, apakah hasilnya
dipengaruhi oleh metode talking stick atau tidak.
3. Penelitian ini hanya akan meneliti apakah metode pembelajaran talking
stick ini mempunyai pengaruh dalam meningkatkan hasil belajar siswa
dalam mata pelajaran bahasa Jepang.
D. Perumusan Masalah
Bertitik tolak dari permasalahan yang peneliti kemukakan dalam penelitian
ini, maka muncul permasalahan yang akan dicarikan jalan pemecahannya.
Secara umum, yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Adakah pengaruh pembelajaran bahasa Jepang dengan metode talking
stick dan metode konvensional tehadap hasil belajar siswa?
2. Bagaimanakah hasil belajar bahasa Jepang siswa setelah diterapkan
metode pembelajaran talking stick?
5
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian perlu dirumuskan agar hasil yang dicapai terlihat dengan
jelas. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh hasil-hasil yang objektif dari
bahan yang diteliti, yaitu:
1. Untuk mengetahui pengaruh pembelajaran bahasa Jepang siswa dengan
metode talking stick.
2. Untuk mengetahui hasil belajar bahasa Jepang siswa setelah diterapkan
metode talking stick dalam kegiatan pembelajaran.
F. Lingkup Penelitian
Penelitian ini merupakan sebuah penelitian tentang metode pembelajaran
talking stick, dan pengaruhnya terhadap hasil belajar siswa kelas XI dalam
pembelajaran bahasa Jepang di SMKN 26 Jakarta Timur. Yang dimaksud
dengan SMKN 26 Jakarta Timur sebagai lokasi penelitian ini adalah sekolah
menengah kejuruan negeri yang terdapat di Jakarta Timur dan telah
menerapkan bahasa Jepang sebagai salah satu kurikulum bahasa asing yang
harus dipelajari setiap siswanya sebagai kurikulum intrasekolah. Sedangkan
yang dimaksud dengan siswa kelas XI adalah seluruh siswa yang mempelajari
bahasa Jepang di kelas XI.
6
G. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian eksperimen ini direncanakan akan dilaksanakan di SMKN 26
Jakarta Timur, karena sekolah tersebut berdasarkan data yang peneliti
dapatkan belum pernah dilakukan penelitian sejenis. Siswa yang menjadi
objek penelitian ini adalah siswa kelas XI SMKN 26 Jakarta Timur
semester ganjil tahun ajaran 2012/2013 sebanyak 12 kelas dengan jumlah
siswa sekitar ± 30 orang tiap kelasnya.
2. Waktu Penelitian
Untuk melakukan penelitian ini, peneliti merencanakan jadwal penelitian
agar penelitian yang dilakukan dapat berlangsung secara sistematis, efisien
dan efektif. Penelitian ini direncanakan akan dilaksanakan pada semester
ganjil bulan Juli – Desember tahun akademik 2012/2013.
H. Manfaat Penelitian
Secara umum penelitian ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi seluruh
civitas akademik di bidang pendidikan kebahasaan sehingga bisa diterapkan
dalam kegiatan pembelajaran. Secara khusus, dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Bagi peneliti
Peneliti dapat memberikan sumbangan pemikiran dan pengalaman tentang
penelitian eksperimen. Setelah penelitian ini dilaksanakan, peneliti dapat
7
mengetahui pengaruh metode talking stick dalam pembelajaran bahasa
Jepang.
2. Bagi siswa
Metode ini diujicobakan untuk mempermudah dan meningkatkan hasil
belajar siswa dalam mempelajari bahasa Jepang.
3. Bagi pendidik
Hasil penelitian ini dapat dijadikan alternatif model pengajaran bahasa
Jepang sehingga pendidik dapat memilih strategi pembelajaran yang
kreatif dan bervariasi agar kegiatan pembelajaran berlangsung secara
menarik.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Deskripsi Teoritis
1. Pengertian Pembelajaran
Menurut UUSPN No.20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pembelajaran
adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar
pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran menurut Surya, (2004) pembelajaran merupakan suatu
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan
perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya.
Knirk & Gustafson (2005) menjelaskan bahwa pembelajaran merupakan
setiap kegiatan yang dirancang oleh guru untuk membantu seseorang
mempelajari suatu kemampuan dan atau nilai yang baru dalam suatu
proses yang sistematis melalui tahap rancangan, pelaksanaan, dan evaluasi
dalam konteks kegiatan belajar mengajar.
Dari pengertian pembelajaran di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai
pembelajaran, bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.
Pembelajaran merupakan bantuan yang diberikan pendidik agar dapat
9
terjadi proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran
dan tabiat, serta pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.
Dengan kata lain, pembelajaran adalah proses untuk membantu peserta
didik agar dapat belajar dengan baik.
A. Pembelajaran Kooperatif
Pembelajaran Kooperatif atau Cooperative Learning merupakan
istilah umum untuk sekumpulan strategi pengajaran yang dirancang
untuk mendidik kerja sama kelompok dan interaksi antarsiswa.1
Tujuan pembelajaran kooperatif setidak-tidaknya meliputi tiga tujuan
pembelajaran, yaitu hasil belajar akademik, penerimaan terhadap
keragaman, dan pengembangan keterampilan sosial.
Strategi ini berlandaskan pada teori belajar Vygotsky (1978, 1986)
yang menekankan pada interaksi sosial sebagai sebuah mekanisme
untuk mendukung perkembangan kognitif 2. Selain itu, metode ini juga
didukung oleh teori belajar information processing dan cognitive
theory of learning. Dalam pelaksanaannya metode ini membantu siswa
untuk lebih mudah memproses informasi yang diperoleh, karena
proses encoding akan didukung dengan interaksi yang terjadi dalam
Pembelajaran Kooperatif. Pembelajaran dengan metode Pembelajaran
1 Jacobsen, David A.; Eggen, Paul; Kauchak, Donald (2009). Metode-metode pengajaran. Penerbit Pustaka Pelajar, hlm 29.2 Eggen, Paul; Kauchak, Donald (2010). Educational Psychology. Pearson Education, Inc. Hlm. 56
10
Kooperatif dilandasakan pada teori Cognitive karena menurut teori ini
interaksi bisa mendukung pembelajaran.
Metode pembelajaran cooperative learning mempunyai manfaat-
manfaat yang positif apabila diterapkan di ruang kelas. Beberapa
keuntungannya antara lain: mengajarkan siswa menjadi percaya pada
guru, kemampuan untuk berfikir, mencari informasi dari sumber lain
dan belajar dari siswa lain; mendorong siswa untuk mengungkapkan
idenya secara verbal dan membandingkan dengan ide temannya; dan
membantu siswa belajar menghormati siswa yang pintar dan siswa
yang lemah, juga menerima perbedaan ini 3. Ironisnya, model
pembelajaran kooperatif belum banyak diterapkan dalam pendidikan
walaupun orang Indonesia sangat membanggakan sifat gotong royong
dalam kehidupan bermasyarakat.
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didasarkan pada
alasan bahwa manusia sebagai makhluk individu yang berbeda satu
sama lain sehingga konsekuensi logisnya manusia harus menjadi
makhluk sosial, makhluk yang berinteraksi dengan sesama (Nurhadi
2003: 60)
3 Yamin, Martinis; Ansari, Bansu (2008). Taktik Mengembangkan Kemampuan Individual Siswa. Gaung Persada Press, hlm 56
11
Abdurrahman dan Bintoro (2000) dalam Nurhadi 2003:61 menyatakan
pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang di dalamnya
terdapat elemen-elemen yang saling terkait. Adapun berbagai elemen
dalam pembelajaran kooperatif adalah adanya (1) saling
ketergantungan positif, (2) interaksi tatap muka, (3) akuntabilitas
individual, dan (4) keterampilan untuk menjalin hubungan antara
pribadi atau keterampilan sosial yang secara sengaja diajarkan.
Roger dan David Johnson mengatakan bahwa tidak semua kerja
kelompok bisa dianggap cooperative learning. Untuk mencapai hasil
yang maksimal, lima unsur model pembelajaran gotong royong harus
diterapkan:
1. Saling ketergantungan positif
2. Tanggungjawab perseorangan
3. Tatap Muka
4. Komunikasi antar anggota
5. Evaluasi proses kelompok (Anita Lie, 1999 : 30)
Model pembelajaran kooperatif sangat berbeda dengan pengajaran
langsung. Di samping model pembelajaran kooperatif dikembangkan
untuk mencapai hasil belajar akademik, model pembelajaran
kooperatif juga efektif untuk mengembangkan keterampilan sosial
siswa (Usman, 2002 : 30).
12
Jadi pola belajar kelompok dengan cara kerjasama antar siswa dapat
mendorong timbulnya gagasan yang lebih bermutu dan meningkatkan
kreativitas siswa, pembelajaran juga dapat mempertahankan nilai
sosial bangsa Indonesia yang perlu dipertahankan. Ketergantungan
timbal balik mereka memotivasi mereka untuk dapat bekerja lebih
keras untuk keberhasilan mereka, hubungan kooperatif juga
mendorong siswa untuk menghargai gagasan temannya bukan
sebaliknya.
Adapun karakteristik pembelajaran kooperatif adalah:
a. Siswa bekerja dalam kelompok untuk menuntaskan materi belajar.
b. Kelompok dibentuk dari siswa yang memiliki keterampilan tinggi,
sedang dan rendah.
c. Bilamana mungkin, anggota kelompok berasal dari ras, budaya,
suku, dan jenis kelamin yang berbeda.
d. Penghargaan lebih berorientasi kelompok ketimbang individu
(Ibrahim. dkk, 2000 : 6).
Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk
mengajarkan kepada siswa keterampilan kerjasama dan kolaborasi.
Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat di
mana banyak kerja orang dewasa sebagian besar dilakukan dalam
13
organisasi yang saling bergantungan satu sama lain dan di mana
masyarakat secara budaya semakin beragam (Ibrahim, dkk, 2000 : 9).
Sedangkan menurut Linda Lungren (1994 : 120) dalam (Ibrahim, dkk.
2000 : 18) ada beberapa manfaat pembelajaran kooperatif bagi siswa
dengan prestasi belajar yang rendah, yaitu:
1. Meningkatkan pencurahan waktu pada tugas
2. Rasa harga diri menjadi lebih tinggi
3. Memperbaiki sikap terhadap sekolah
4. Memperbaiki kehadiran
5. Angka putus sekolah menjadi rendah
6. Penerimaan terhadap perbedaan individu menjadi lebih besar
7. Perilaku mengganggu menjadi lebih kecil
8. Konflik antar pribadi berkurang
9. Sikap apatis berkurang
10. Pemahaman yang lebih mendalam
11. Motivasi lebih besar
12. Hasil belajar lebih tinggi
13. Retensi lebih lama
14. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan dan toleransi
Jadi, pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa
manusia belajar dari pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam
14
kelompok kecil membantu siswa belajar keterampilan sosial yang
penting, sementara itu secara bersamaan mengembangkan sikap
demokrasi dan keterampilan berpikir logis.
2. Pengertian Hasil Belajar
Setiap proses belajar yang dilaksanakan oleh peserta didik akan
menghasilkan hasil belajar. Di dalam proses pembelajaran, guru sebagai
pengajar sekaligus pendidik memegang peranan dan tanggung jawab yang
besar dalam rangka membantu meningkatkan keberhasilan peserta didik
dipengaruhi oleh kualitas pengajaran dan faktor intern dari siswa itu
sendiri.
Dalam setiap mengikuti proses pembelajaran di sekolah sudah pasti setiap
peserta didik mengharapkan mendapatkan hasil belajar yang baik, sebab
hasil belajar yang baik dapat membantu peserta didik dalam mencapai
tujuannya. Hasil belajar yang baik hanya dicapai melalui proses belajar
yang baik pula. Jika proses belajar tidak optimal sangat sulit diharapkan
terjadinya hasil belajar yang baik.
Menurut Hamalik (2001:159) bahwa hasil belajar menunjukkan kepada
prestasi belajar, sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator adanya
derajat perubahan tingkah laku siswa.
15
Menurut Nasution (2006:36) hasil belajar adalah hasil dari suatu interaksi
tindak belajar mengajar dan biasanya ditunjukkan dengan nilai tes yang
diberikan guru.
Sedangkan menurut Dimyati dan Mudjiono (2002:36) hasil belajar adalah
hasil yang ditunjukkan dari suatu interaksi tindak belajar dan biasanya
ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan guru.
Sebagaimana yang dikemukakan Harnalik (1995:48) hasil belajar adalah
“Perubahan tingkah laku subjek yang meliputi kemampuan kognitif,
afektif dan psikomotor dalam situasi tertentu berkat pengalamannya
berulang-ulang”. Pendapat tersebut didukung oleh Sudjana (2005:3)
“hasil belajar ialah perubahan tingkah laku yang mencakup bidang
kognitif, afektif, dan psikomotorik yang dimiliki siswa setelah menerima
pengalaman belajarnya”.
Dengan kata lain, hasil belajar merupakan kemampuan yang diperoleh
individu setelah proses belajar berlangsung, yang dapat memberikan
perubahan tingkah laku baik pengetahuan, pemahaman, sikap dan
keterampilan siswa sehingga menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa hasil belajar
merupakan hasil yang diperoleh siswa setelah terjadinya proses
16
pembelajaran yang ditunjukkan dengan nilai tes yang diberikan oleh guru
setiap selesai memberikan materi pelajaran pada satu pokok bahasan.
3. Pengertian Metode Pembelajaran
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara yang
bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai
tujuan yang ditentukan (Tim Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, 2008 : 910).
Pembelajaran adalah suatu proses yang dilakukan individu untuk
memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan,
sebagai hasil dari pengalaman individu dalam berinteraksi dengan
lingkungannya’. (Surya dalam Sukirman, 2007:6). Istilah pembelajaran
pada awalnya lazim disebut dengan proses belajar mengajar. Belajar dan
pembelajaran merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dalam
kehidupan manusia. Dengan belajar manusia dapat mengembangkan
potensi-potensi yang dimilikinya.
Metode pembelajaran yang dmaksud dalam penelitian ini adalah prosedur,
urutan, langkah-langkah dan cara yang digunakan guru dalam mencapai
tujuan pembelajaran.
17
Sanjaya (2010:126) menyatakan bahwa “Metode adalah upaya
mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam kegiatan nyata
agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal”. Sedangkan
menurut Sudjana (2005:76) “Metode pembelajaran ialah cara yang
dipergunakan guru dalam mengadakan hubungan dengan siswa pada saat
berlangsungnya pengajaran”. Jadi di sini jelas bahwa untuk melaksanakan
proses pembelajaran dibutuhkan suatu metode sebagai alat pencapaian
tujuan pembelajaran. Dengan metode ini diharapkan terciptanya suatu
interaksi edukatif antara guru dan siswa. Dalam interaksi ini guru berperan
sebagai penggerak atau pembimbing. Proses interaksi ini akan berjalan
baik apabila siswa banyak aktif dibandingkan dengan guru sehingga siswa
tidak merasa bosan mengikuti pembelajaran. Fujioka (2007) menyatakan
“Where the traditional style of teaching used, they feel tired and bored,
and they say they feel like their present is not needed”. Intinya jika guru
menggunakan gaya mengajar yang tradisional, siswa akan merasa bosan
dan siswa merasa kehadiran mereka tidak dibutuhkan karena proses
pembelajaran berpusat pada guru. Oleh karena itu metode mengajar yang
baik adalah metode yang dapat menumbuhkan motivasi siswa untuk ingin
mengikuti proses belajar.
Metode sangat berperan penting dalam pendidikan, karena metode
merupakan pondasi awal untuk mencapai suatu tujuan pendidikan dan asas
keberhasilan sebuah pembelajaran. Apabila metode yang dipakai dengan
baik maka hasilnya akan berdampak pada mutu pendidikan yang baik,
18
namun jika metode yang dipakai tidak baik maka hasilnya pun akan
berakibat pada mutu pembelajaran yang tidak akan baik juga. Menurut
Barizi (2009:119) dalam memahami dan memilih metode perlu
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Tujuan yang hendak di capai.
2. Keadaan siswa yang mencakup pertimbangan tentang kecerdasan,
kematangan, gaya atau cara belajar perbedaan individual dan
sebagainya.
3. Kemampuan guru dalam menggunakan metode, sifat dan bahan
pelajaran.
4. Alat-alat yang tersedia.
5. Situasi yang melingkupi pembelajaran seperti situasi kelas, dan
lingkungan sekolah.
Apabila sebelum melaksanakan pembelajaran seorang guru
memperhatikan hal-hal tersebut, maka pembelajaran dengan metode yang
tepat akan membuat pembelajaran menjadi lebih bermakna dan hasil
belajar yang diperoleh siswa juga akan sesuai dengan target yang hendak
dicapai guru.
4. Pengertian Metode Pembelajaran Talking Stick
Metode talking stick merupakan salah satu metode dari pengembangan
model pembelajaran kooperatif. Talking Stick merupakan suatu metode
19
pembelajaran dengan bantuan tongkat, siapa yang memegang tongkat
wajib menjawab pertanyaan dari guru setelah murid mempelajari materi
pokoknya (Kiranawati, 2007) 4.
Menurut Ramadhan (2010: www.tarmizi.wordpres.com) menyatakan
bahwa “Talking Stick (tongkat berbicara) adalah metode yang pada
mulanya digunakan oleh penduduk asli Amerika untuk mengajak semua
orang berbicara atau menyampaikan pendapat dalam suatu forum
(pertemuan antar suku)”.
Tongkat berbicara digunakan oleh kalangan dewan untuk memutuskan
siapa yang mempunyai hak berbicara. Pada saat pimpinan rapat mulai
berdiskusi dan membahas masalah, ia harus memegang tongkat berbicara.
Tongkat akan pindah ke orang lain apabila ia ingin berbicara atau
menanggapinya. Dengan cara ini tongkat berbicara akan berpindah dari
satu orang ke orang lain jika orang tersebut ingin mengemukakan
pendapatnya. Apabila semua mendapatkan giliran berbicara, tongkat itu
lalu dikembalikan lagi ke ketua atau pimpinan rapat.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Talking Stick dipakai
sebagai tanda seseorang mempunyai hak suara (berbicara) yang diberikan
secara bergiliran atau bergantian.
4 Kiranawati, Talking Stick (Guru Pkn Belajar Menulis), 2007, http://www.wordpress.com/html, 7 April 2010.
20
The Native Americans used talking sticks during tribal meetings to
designate who was allowed to speak. Whoever held the talking
stick had the right to speak, and all others present were to listen
silently. Many elementary teachers employ the talking stick to
teach children to take turns speaking and listening. The talking
stick can be an effective classroom management tool. (Gagnor
dalam The Talking Stick Ideas for Elementary).
Merujuk pada definisi istilahnya, metode Talking Stick dapat diartikan
sebagai metode pembelajaran bermain tongkat, yaitu pembelajaran yang
dirancang untuk mengukur tingkat penguasaan materi pelajaran oleh murid
dengan menggunakan media tongkat.
Talking stick sebagaimana dimaksudkan penelitian ini, dalam proses
belajar mengajar di kelas berorientasi pada terciptanya kondisi belajar
melalui permainan tongkat yang diberikan dari satu siswa kepada siswa
yang lainnya pada saat guru menjelaskan materi pelajaran dan selanjutnya
mengajukan pertanyaan. Saat guru selesai mengajukan pertanyaan, maka
siswa yang sedang memegang tongkat itulah yang memperoleh
kesempatan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Hal ini dilakukan
hingga semua siswa berkesempatan mendapat giliran menjawab
pertanyaan yang diajukan guru. Setelah siswa mnegikuti proses
pembelajaran dengan menggunakan metode talking stick ini diharapkan
21
siswa dapat memperoleh banyak pengetahuan dan keterampilan. Siswa
termotivasi untuk belajar lebih giat, kegiatan belajar menjadi
menyenangkan dan tidak membosankan.
a) Langkah-langkah Metode Talking Stick
Adapun langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan
metode talking stick menurut Suprijono (2011:109) adalah sebagai
berikut:
1) Guru menyiapkan sebuah tongkat.
2) Guru menjelaskan materi pokok yang akan dipelajari.
3) Kemudian siswa menbaca materi secara lengkap.
4) Guru mengambil tongkat dan memberikan tongkat kepada salah
satu siswa dan siswa yang memgang tongkat terakhir harus
menjawab pertanyaan dari guru.
5) Ketika tongkat bergulir dari siswa satu ke siswa yang lainnya
diiringi dengan lagu.
6) Tongkat diberikan kepada siswa lain dan guru memberikan
petanyaan lagi dan seterusnya.
7) Siswa diberi kesempatan untuk refleksi terhadap materi yang
telah dipelajarinya.
8) Guru memberikan ulasan terhadap seluruh jawaban yang
diberikan siswa.
9) Siswa bersama guru menrumuskan kesimpulan
22
Pada prinsipnya, metode talking stick merupakan metode
pembelajaran interaktif karena menekankan pada keterlibatan aktif
siswa selama proses pembelajaran. Dengan menggunakan metode
pembelajaran yang variatif tersebut maka siswa dapat cepat
menyerap informasi yang disampaikan oleh guru pada saat
pembelajaran.
b) Kelebihan dan Kelemahan Metode Talking Stick
Dalam metode ini terdapat beberapa kelebihan, dan kekurangan
antara lain:
Kelebihan:
1) Menguji kesiapan siswa
2) Melatih siswa memahami materi dengan cepat
3) Agar lebih giat belajar (belajar dahulu sebelum pelajaran
dimulai)
Kelemahan:
Kelemahan Talking Stick dalam kegiatan pembelajaran adalah dapat
membuat siswa senam tegang jika sebelumnya tidak mempersiapkan
atau memperhatikan materi dengan baik.
23
B. Penelitian yang Relevan
Dewi Setyawati Nur Fadhillah dalam penelitiannya yang berjudul “Hasil
Belajar Biologi Melalui Penerapan Metode Talking Stick dalam Model
Learning Cycle Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa di SMA Negeri 5
Surakarta” meneliti penerapan metode talking stick dan didapat analisis data
sebagai berikut:
Var Ranah P-value Kriteria Keputusan
A Kognitif 0,029 p-value >0,05 Ho ditolak
A Afektif 0,011 p-value > 0,05 Ho ditolak
A Psikomotor 0,008 p-value < 0,05 Ho ditolak
Berdasarkan tabel di atas, ada perbedaan yang signifikan rata – rata hasil
belajar biologi ranah kognitif, afektif dan psikomotor berdasarkan model
pembelajaran (kelompok kontrol dengan model pembelajaran konvensional
dan kelompok eksperimen dengan metode Talking Stick dalam model
Learning Cycle) sehingga diinterpretasikan penerapan metode Talking Stick
dalam model Learning Cycle berpengaruh terhadap hasil belajar biologi ranah
kognitif, afektif dan psikomotor.
Kemudian berdasarkan Hasil Uji Lanjut Anava (Uji Bonferroni) Pengaruh
Metode Talking Stick dalam model Learning Cycle terhadap Hasil Belajar
Biologi adalah sebagai berikut.
24
Ranah Difference
Of Means
P-Value Keputusan
Kognitif 5,226 0,0294 Ho Ditolak
Afektif 5,183 0,0109 Ho Ditolak
Psikomotor 4,194 0,0079 Ho Ditolak
Berdasarkan tabel di atas, terdapat perbedaan rata - rata yang signifikan hasil
belajar biologi ranah kognitif, afektif dan psikomotor antara metode Talking Stick
dalam model Learning Cycle dan model konvensional. Rata – rata nilai hasil
belajar biologi ranah kognitif untuk metode Talking Stick dalam model Learning
Cycle lebih tinggi dibandingkan rata – rata nilai hasil belajar biologi kognitif,
afektif dan psikomotor pada model konvensional, sehingga dapat
diinterpretasikan metode Talking Stick dalam model Learning Cycle lebih baik
dan efektif daripada model pembelajaran konvensional. Hal ini disebabkan
karena metode Talking Stick dalam model Learning Cycle dapat
meningkatkan kualitas pemahaman siswa dan mendorong peserta didik untuk
berani mengemukakan pendapat. Siswa didorong untuk menemukan
pengetahuan secara bermakna serta mengaitkan antara pengetahuan lama
dengan pengetahuan yang baru dan mengaplikasikannya dalam kehidupan
sehari – hari, sehingga terjadi kebermaknaan belajar. Siswa aktif melalui
diskusi untuk menyelesaikan masalah sehingga akan meningkatkan
keterampilan berfikir siswa baik siswa yang pandai maupun siswa yang
kurang pandai.
25
Selanjutnya talking stick pernah diteliti oleh Hardyna Usi Velawati dalam
penelitian eksperimennya yang berjudul “Implementasi Pembelajaran
Kooperatif Tipe Snowball Drilling dan Talking Stick Terhadap Prestasi
Belajar Ekonomi Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa” yang mana hasil
penelitiannya menggunakan α = 5% menunjukkan 1) “Ada pengaruh yang
signifikan penggunaan metode pembelajaran Snowball Drilling dan Talking
Stick terhadap prestasi belajar ekonomi” dapat diterima. Hal ini berdasarkan
analisis variansi dua jalan diketahui bahwa Fhitung > Ftabel sebesar 4,262 >
3,998 dan nilai sig. atau probabilitas sebesar 0,043 < 0,05. 2) “Ada pengaruh
yang signifikan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar ekonomi”
dapat diterima. Hal ini berdasarkan analisis variansi dua jalan diketahui bahwa
Fhitung > Ftabel sebesar 26,329 > 3,148 dan nilai sig. atau probabilitas
sebesar 0,000 < 0,05. 3) “Ada interaksi antara metode pembelajaran Snowball
Drilling dan Talking Stick ditinjau dari motivasi belajar siswa terhadap
prestasi belajar ekonomi” tidak dapat diterima. Hal ini berdasarkan analisis
variansi dua jalan diketahui bahwa Fhitung > Ftabel sebesar 0,820 < 3,148 dan
nilai sig. atau probabilitas sebesar 0,445 > 0,05.
Dari kedua penelitian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa talking stick
dapat meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran biologi, kemudian
talking stick juga mempunyai pengaruh terhadap prestasi belajar siswa dalam
pelajaran ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti mencoba untuk
menerapkan pembelajaran dengan metode talking stick ini dalam kegiatan
26
pembelajaran bahasa Jepang, apakah mempunyai pengaruh dalam
meningkatkan hasil belajar siswa.
C. Konsep
D. Rumusan Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, dimana rumusan masalah penelitian telah dinyatakan dalam bentuk
kalimat pertanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru
didasarkan pada teori yang relevan, belum didasarkan pada fakta-fakta yang
empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data.5 Adapun hipotesis yang
dapat dirumuskan, antara lain sebagai berikut.
Ho: Metode pembelajaran Talking Stick mempunyai pengaruh dalam
meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran bahasa
jepang.
Hk: Metode pembelajaran Talking Stick tidak mempunyai pengaruh
dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada mata pelajaran
bahasa jepang.
5 Sugiyono (2011), Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D, Bandung: Alfabeta, hlm 64
27
E. Definisi Istilah
Berikut definisi istilah yang terdapat dalam penelitian ini.
F. Definisi Operasional
Untuk memahami setiap istilah yang ada, berikut penjelasan tentang definisi
operasional yang peneliti paparkan.
1. Pembelajaran menurut Surya, (2004) pembelajaran merupakan suatu
proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu
perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari
pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan
lingkungannya.
2. Metode pembelajaran menurut Sudjana (2005:76) “Metode
pembelajaran ialah cara yang dipergunakan guru dalam mengadakan
hubungan dengan siswa pada saat berlangsungnya pengajaran”.
3. Talking Stick merupakan suatu metode pembelajaran dengan bantuan
tongkat, siapa yang memegang tongkat wajib menjawab pertanyaan
dari guru setelah murid mempelajari materi pokoknya (Kiranawati,
2007)
4. Hasil belajar merupakan tingkat penguasaan yang dicapai oleh siswa
dalam mengikuti proses belajar mengajar sesuai dengan tujuan
pendidikan yang ditetapkan (Soedijarto, 1993: 49).
28
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Metode dan Desain
Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu
pekerjaan agar tercapai sesuai yang dikehendaki 6. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif, metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah
quasi eksperiment atau eksperimen semu. Penelitian quasi eksperimen
merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
akibat dari “sesuatu” yang dikenakan pada subjek selidik. Jack R. Fraenkel
dan Norman E. Wallen (2008:271) dan John W. Creswell (2008:313):
“Quasi-experimental designs do not include the use of random assignment.
Reseachers who employ these design rely instead on other techniques to
control (or at least reduce) threats to internal validity. We shall describe
some of these techniques as we discuss several quasi-experimental design.
Untuk melaksanakan eksperimen secara murni maka variable yang mungkin
berpengaruh dan mempengaruhi variabel bebas harus dapat dikontrol dengan
ketat. Pengontrol yang ketat hanya mungkin dilakukan dalam eksperimen di
laboratorium. Mengingat penelitian ini bukan dalam kondisi laboratorium tapi
dalam kegiatan sehari-hari sehingga tidak dimungkinkan untuk mengontrol
semua variable bebas dan terikat secara ketat, maka bentuk penelitian ini
6 Ibid, KBBI. hal 740
29
adalah eksperimen semu (Quasi Eksperimen). Adapun jenis desain dalam
penelitian ini berbentuk desain nonequivalent (Pretest dan Posttest) Control
Group Design. Desain quasi eksperimen dapat digambarkan sebagai berikut.
Tabel 3.1
Desain Quasi Eksperimen
Kelompok Pre-test Perlakuan Post-test
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O1 - O2
Keterangan :
O1 = Tes awal pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
O2 = Tes akhir pada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol
X = Perlakuan model pembelajaran dengan multimedia interaktif
Desain penelitian dengan desain Pretest + Treatment + Posttest. Thomas
Murray menjelaskan mengenai desain ini sebagai berikut:
To furnish a more convincing foundation for estimating the influence of
the text, the teacher could replace her treatment + evaluation plan with
a pretest + treatment + posttest (p + t + p) design. In this case, before
assigning students to read the chapter, she would have them take a test
(pretest) over the subject- mattertreated in the chapter. Subsequently,
after the students had completedthe reading assigment (treatment), she
would test (posttest) their grasp of the chapters content. In order to
estimate how much the textbook had added to the learners knowledge,
30
she would subtract each students pretest score from his or her postest
score and sonclude tahat the obtained difference (change score)
represented the contributions made by the book. In other words, the
experimenters judgement would be based, not on the posttest scores, but
on the extent of change from pretest to posttest (Murray, 2003:53).
Untuk memperoleh dasar yang lebih menyakinkan dalam memperkirakan
pengaruh dan suatu materi guru dapat mengganti desain pembelajaran,
yang semula menggunakan treatment + evaluation menjadi menggunakan
desain pretest + treatment + posttest. Dalam hal ini, sebelum memulai
materi yang akan dipelajari, guru harus memberikan pretest lalu setelah
mereka selesai mempelajari dengan perlakuan tertentu guru
memberikan postest untuk mengetahui prestasi belajar setelah diberi
perlakuan. Untuk mengetahui sejauh mana perolehan prestasi belajar
guru harus mengurangkan nilai postest dengan nilai pretest dan nilai akhir
yang diperoleh merupakan tanda keberhasilan atau ketidakberhasilan
perlakuan yang telah dilakukan.
Desain ini hampir sama dengan pretest-posttest control group design, hanya
pada desain ini kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol tidak dipilih
secara random. Dengan pertimbangan bahwa pengelompokan subjek
penelitian sudah terbentuk sebelumnya, jadi tidak dapat dilakukan
pengelompokan kelompok secara acak. Oleh karena itu, peneliti menggunakan
metode quasi eksperimen sesuai dengan kelompok kelas yang sudah ada tanpa
31
melakukan randomisasi yang justru akan mempersulit jalannya penelitian itu
sendiri.
Secara rinci berikut langkah-langkah penelitian yang akan dilaksanakan:
i. Mengadakan pretest terhadap siswa setelah pembelajaran dengan
metode biasa.
ii. Memberikan materi pelajaran (perlakuan) dengan menggunakan
metode hypnoteaching kepada kelas eksperimen.
iii. Memberikan materi pelajaran dengan menggunakan metode
konvensional pada kelas kontrol.
iv. Mengevaluasi kemampuan siswa setiap selesai melakukan
pembelajaran.
v. Memberikan posttest kepada siswa.
vi. Memberikan angket kepada siswa.
vii. Mengolah data hasil pretest, post test dan angket dengan
menggunakan statistik.
B. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Bahasa Jepang di SMKN 26 Jakarta hanya dipelajari di kelas XI selama
satu tahun, berdasarkan hal tersebut maka dalam penelitian ini populasi
yang akan dijadikan sasaran penelitian adalah seluruh siswa kelas XI
SMKN 26 Jakarta Timur. Siswa kelas XI terdapat 12 kelas dengan jumlah
32
siswa per kelasnya ± 30 orang. Jadi, jumlah populasi adalah sebanyak ±
360 orang siswa.
2. Sampel
Dalam quasi eksperimen nonequivalent control group design tidak dapat
diberlakukan randomisasi, maka teknik pengambilan sampel yang dipilih
adalah purposive sample. Teknik sampel dengan pertimbangan tertentu.
Teknik purposive sample adalah pengambilan sampel berdasarkan
pertimbangan peneliti dengan maksud dan tujuan tertentu yang dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah (Sutedi, 2009:149). Dari ke 12 kelas
di SMKN 26 November akan dipilih 1 kelas sebagai kelas kontrol, dan 1
kelas sebagai kelas eksperimen. Jika peneliti hanya mengajar 3 kelas dari
12 kelas yang ada, maka hanya 2 kelas yang diambil sebagai sampel dari
populasi yang ada. Kelas yang akan dijadikan sampel penelitian adalah XI
Teknik Elektronik Industri 1 dan XI Teknik Kendaraan Ringan 1.
C. Variabel-variabel
Pada penelitian ini yang menjadi variabel bebas adalah metode talking stick,
yang mempengaruhi atau menjadi sebab perubahan pada hasil belajar sebagai
variabel terikat. Sedangkan variabel terikatnya adalah hasil belajar. Yang
mana nilainya dipengaruhi pada variabel lainnya dan menjadi akibat karena
adanya variabel bebas.
33
D. Instrument
Instrument yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Pretest dan Postest
Pretest dan posttest merupakan instrument penelitian yang digunakan
sebagai alat untuk mengetahui perbandingan hasil dari pembelajaran
bahasa Jepang yang menggunakan metode konvensional dengan
pembelajaran bahasa Jepang yang menggunakan metode talking stick.
Pretest adalah soal-soal untuk mengevaluasi materi yang diajarkan
dengan metode konvensional pada kedua kelompok sampel. Sedangkan
posttest adalah soal-soal untuk mengevaluasi materi yang diajarkan
dengan metode talking stick (pada kelompok eksperimen) dan metode
konvensional (pada kelompok kontrol).
b. Angket, digunakan untuk mendapatkan informasi bagaimana kesan dan
pendapat siswa terhadap metode ini. Dilihat dari sisi keleluasaannya
responden dalam memberikan jawabannya, angket dapat digolongkan ke
dalam angket terbuka, angket tertutup, dan kombinasi kedua macam
angket tersebut.
Angket tertutup yaitu angket yang alternatif jawabannya sudah
disediakan oleh peneliti, sehingga responden tidak memiliki keleluasaan
untuk menyampaikan jawaban dari pertanyaan yang diberikan
kepadanya.
34
Pada penelitian ini, akan digunakan angket tertutup, karena jenis angket
ini dirasakan lebih optimal dalam mendapatkan data yang dibutuhkan
oleh peneliti. Angket ini digunakan untuk mengetahui pendapat siswa
mengenai pembelajaran bahasa Jepang dengan metode talking stick
setelah dilaksanakan metode talking stick dalam kegiatan pembelajaran
bahasa Jepang.
E. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian kuantitatif menggunakan statistik.
Terdapat dua macam statistik yang digunakan untuk analisis data dalam
penelitian, yaitu statistik deskriptif, dan statistik inferensial. Statistik
Inferensial meliputi statistik parametris dan statistik nonparametris.7
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini statistik inferensial,
(sering juga disebut statistik induktif atau statistik probabilitas), adalah teknik
statistik yang digunakan untuk menganalisis data sampel dan hasilnya
diberlakukan untuk populasi. Statistik ini disebut statistik probabilitas, karena
kesimpulan yang diberlakukan untuk populasi berdasarkan data sampel itu
kebenarannya bersifat peluang (probability).
7 Loc.cid, Sugiyono, hlm.147
35
Suatu kesimpulan dari data sampel yang akan diberlakukan untuk populasi
mempunyai peluang kesalahan kebenaran yang dinyatakan dalam bentuk
prosentase.
Untuk mengetahui apakah adanya perbedaan hasil belajar siswa pada
pembelajaran bahasa Jepang menggunakan metode talking stick dan metode
konvensional, maka perlu dilakukan uji perbedaan rerata. Hasil belajar siswa
dapat diketahui menggunakan instrument berupa tes.
Setelah diperoleh data pretest dan data posttest, dibuat table pretest dan
posttest. Kemudian dihitung rerata dan standar deviasi skor pretest dan
posttest. Lalu dihitung gain ternormalisasi berdasarkan kriteria indeks gain
(Hake:1999). Dengan rumus:
Gain ternormalisasi (g) : skor ( posttest )−skor( pretest )
skor ( ideal )−skor ( pretest)
Dengan kriteria indeks gain seperti di bawah ini.
Table 3.2
Skor Gain Interpretasi
g > 0,7 Tinggi
0,3 < g ≤ 0,7 Sedang
g ≤ 0,3 Rendah
36
Penggunaan statistik parametris mensyaratkan bahwa data setiap variabel yang
akan dianalisis harus berdistribusi normal. Oleh karena itu sebelum pengujian
hipotesis dilakukan, maka terlebih dahulu akan dilakukan pengujian
normalitas data. Terdapat beberapa teknik yang dapat digunakan untuk
menguji normalitas data antara lain dengan Kertas Peluang dan Chi Kuadrat.
Pada kesempatan ini digunakan Chi Kuadrat untuk menguji normalitas data.
Langkah-langkah pengujian normalitas data dengan Chi Kuadrat adalah
sebagai berikut:
1) Merangkum data seluruh variabel yang akan diuji normalitasnya.
2) Menentukan jumlah kelas interval
3) Menentukan panjang kelas interval yaitu:
(data terbesar – data terkecil) dibagi dengan jumlah kelas interval.
4) Menyusun ke dalam tabel distribusi frekuensi
5) Menghitung frekuensi yang diharapkan (fh), dengan cara mengalikan
persentase luas tiap bidang kurva normal dengan jumlah anggota
sampel.
6) Memasukkan harga-harga fh ke dalam tabel kolom fh, sekaligus
menghitung harga-harga (fo - fh) dan dan ¿¿ dan menjumlahkannya.
Harga ¿¿ adalah merupakan harga Chi Kuadrat.
7) Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan harga Chi
Kuadrat Tabel. Bila harga Chi Kuadrat Hitung lebih kecil atau sama
dengan harga Chi Kuadrat tabel ((x¿¿h2 ≤ x t 2)¿, maka distribusi data
dinyatakan normal, dan bila lebih besar (¿¿ dinyatakan tidak normal.
37
Hipotesis yang telah dirumuskan akan diuji dengan statistik parametris.
Bila sampel berkorelasi/ berpasangan, misalnya membandingkan sebelum
dan sesudah treatment atau perlakuan, atau membandingkan kelompok
kontrol dengan kelompok eksperimen, maka digunakan independent
sample t test. Teknik ini digunakan untuk membandingkan dua kelompok
mean dari dua sampel yang berbeda (independent). Prinsipnya adalah
untuk mengetahui apakah ada perbedaan mean antara dua populasi,
dengan membandingkan dua mean sampel-nya.
Rumus Independent Simple Test
t = x1− x2
Sx−x
Keterangan:
t = nilai hitung
x1= rata-rata kelompok 1
x2= rata-rata kelompok 2
Sx-x = standard error kedua kelompok
Rumus Standard Error Kedua Kelompok
Sx-x=√S2 pooled+S2 pooled
N1 N2
38
Sx-x= standard error kedua kelompok
S2 pooled = varian dari kedua kelompok
N1= jumlah sampel kelompok 1
N2 =jumlah sampel kelompok 2
Untuk menginterpretasikan t-test terlebih dahulu harus ditentukan:
- nilai ∝
- df (degree of freedom)= N-k
Untuk independent simple t test
Df= N-2
- membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel
Apabila:
- t-hitung > t-tabel → berbeda secara signifikan, H0 ditolak
- t-hitung < t-tabel →tidak berbeda secara signifikan, H0 diterima.