bab 8. undang doc

Upload: dobi

Post on 06-Mar-2016

243 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

bagian yang menjelaskan tentang perundang-undangan bahan galian industri

TRANSCRIPT

90

BAB 8. UNDANG-UNDANG MINERBA

Undang-Undang Minerba No.4. tahun 2009, ini menggantikan Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1980. UU No.4 tahun 2009 tentang Minerba (Mineral dan Batubara) tampak lebih detail, namun untuk implementasinya masih diperlukan aturan-aturan yang lain. Sebelum anda berbisnis dalam bidang pertambangan, anda sangat disarankan untuk mencermati betul isi dari Undang-Undang ini. Kisi-kisi yang perlu diketahui lebih awal tentang Undang-Undang ini antara lain:

8.1. BATASAN-BATASANDalam uraian batasan-batasan telah dengan tegas dinyatakan:1. Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pascatambang

2. Mineral adalah senyawa anorganik yang terbentuk di alam, yang memiliki sifat fisik dan kimia tertentu serta susunan kristal teratur atau gabungannya yang membentuk batuan, baik dalam bentuk lepas atau padu

3. Batubara adalah endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh-tumbuhan

4. Pertambangan mineral adalah pertambangan kumpulan mineral berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah

5. Pertambangan batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi, termasuk bitumen padat, gambut, dan aspal

6. Usaha pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pascatambang

7. Izin Usaha Pertambangan (IUP) adalah izn untuk melaksanakan usaha pertambangan

8. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan kegiatan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan

9. IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan Operasi Produksi

10. Izin Pertambangan Rakyat (IUPR) adalah Izin untuk melaksanakan usaha pertambangan dalam wilayah pertambangan rakyat dengan luas wilayah dan investasi terbatas

11. Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus

12. IUPK Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan di wilayah izin usaha pertambangan khusus

13. IUPK Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaa Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi di wilayah izin usaha pertambangan khusus

14. Penyelidikan umum adalah tahapan kegiatan pertambangan untuk mengetahui kondisi geologi regional dan indikasi adanya mineralisasi

15. Eksplorasi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara terperinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian, serta informasi mengenai lingkungan social dan lingkungan hidup

16. Studi kelayakan adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi secara rinci seluruh aspek yang berkaitan untuk menentukan kelayakan ekonomi dan teknis usaha pertambangan termasuk analisis mengenai dampak lingkungan serta perencanaan pascatambang

17. Operasi Produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan yang meliputi konstruksi, penambangan, pengolahan, pemurnian, termasuk penjualan serta sarana pengendalian dampak lingkungan sesuai dengan hasil studi kelayakan.

18. Konstruksi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk melakukan pembangunan seluruh fasilitas operasi produksi, termasuk pengendalian dampak lingkungan

19. Penambangan adalah bagian kegiatan usaha pertambangan untuk memproduksi mineral dan/atau batubara dan mineral ikutannya.

20. Pengolahan dan pemurnian adalah kegiatan usaha pertambangan untuk meningkatkan mutu mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan memperoleh mineral ikutan

21. Pengangkutan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memindahkan mineral dan/atau batubara dari daerah tambang dan/atau tempat pengolahan dan pemurnian sampai tempat penyerahan

22. Penjualan adalah kegiatan usaha pertambangan untuk menjual hasil pertambangan mineral atau batubara

23. Badan Usaha adalah setiap badan hokum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

24. Jasa Pertambangan adalah jasa penunjang yang berkaitan dengan kegiatan usaha pertambangan

25. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan

26. Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan dan memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembali sesuai peruntukannya

27. Kegiatan pascatambang yang selanjutnya disebut pascatambang adalah kegiatan terencana, sistematis, yang berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kaegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan

28. Pemberdayaan masyarakat adalah usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya.

29. Wilayah Pertambangan (WP) adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

30. Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) adalah bagian dari WP yang memiliki ketersediaan data, potensi, dan/atau informasi geologi.

31. Wilayah Izin Usaha Petambangan (WIUP) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUP.

32. Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) adalah bagian dari WP tempat melakukan kegiatan Usaha Pertambangan Rakyat.

33. Wilayah Pencadagangan Negara (WPN) adalah bagian dari WP yang dicadangkan untuk kepentingan strategis nasional

34. Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK) adalah bagian dari WPN yang dapat diusahakan

35. Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus dalam WUPK (WIUPK) adalah wilayah yang diberikan kepada pemegang IUPK

36. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden RI sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia 1945

37. Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan pemerintah daerah

38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dibidang pertambangan mineral dan batubara

8.2. WILAYAH PERTAMBANGANDalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Pertambangan dengan tegas dinyatakan:

1. Wilayah Pertambangan (WP) sebagai bagian dari tata ruang nasional merupakan landasan bagi penetapan kegiatan pertambangan

2. Penetapan WP ditetapkan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan berkonsultasi dengan DPR

3. WP terdiri atas Wilayah Usaha Pertambangan (WUP), Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) , dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) .

8.3. WILAYAH USAHA PERTAMBANGANDalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Usaha Pertambangan dengan tegas dinyatakan:

1. Penetapan Wilayah Usaha Pertambangan (WUP) dilakukan oleh Pemerintah setelah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan disampaikan secara tertulis kepada DPR

2. Pemberian WUP dapat dilimpahkan sebagian kewenangannya dalam penetapan WUP kepada pemerintah propinsi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan

3. Luas dan batasan WUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria yang dimiliki oleh Pemerintah

4. Satu WUP terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) yang berada pada lintas wilayah propinsi, lintas`wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota.

5. Luas dan batas WIUP mineral logam dan batubara ditetapkan oleh Pemerintah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan criteria yang dimiliki oleh Pemerintah.

6. Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penetapan batas dan luas WIUP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 (dalam hal ini nomor 5) diatur dengan peraturan pemerintah.

8.4. WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYATDalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Pertambangan Rakyat dengan tegas dinyatakan:

1. Kegiatan penambangan rakyat dilaksanakan dalam suatu Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)

2. WPR sebagaimana dimkasud dalam Pasal 20 (dalam hal ini no.1) ditetapkan oleh bupati/walikota setelah berkonsultasi dengan DPR Daerah kabupaten/kota

3. Kriteria untuk menetapkan WPR adalah sebagai berikut:

a. Mempunyai/atau di antara tepi dan tepi sungai

b. Mempunyai cadangan primer logam atau batubara dengan kedalaman maksimal 25 (duapuluh lima) meter.

c. Endapan teras, dataran banjir, dan endapan sungai purba

d. Luas maksimal wilayah pertambangan rakyat adalah 25 (duapuluh lima) hektare.

e. Menyebutkan jenis komoditas yang akan ditambang dan/atau

f. Merupakan wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan sekurang-kurangnya 15 (lima belas tahun)

g. Wilayah atau tempat kegiatan tambang rakyat yang sudah dikerjakan tetapi belum ditetapkan sebagai WPR diprioritaskan untuk ditetapkan sebagai WPR

8.5. WILAYAH PENCADANGAN NEGARADalam uraian yang berkaitan dengan Wilayah Pertambangan Rakyat dengan tegas dinyatakan:1. Untuk kepentingan strategis nasional, Pemerintah dengan persetujuan DPR RI dan dengan memperhatikan aspirasi daerah menetapkan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sebagai daerah yang dicadangkan untuk komoditas tertentu dan daerah konservasi dalam rangka menjaga keseimbangan ekosistem dan lingkungan.

2. WPN yang ditetapkan untuk komoditas tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1)[dalam hal ini no.1] dapat diusahakan sebagian luas`wilayahnya dengan persetujuan DPR RI.

3. WPN yang ditetapkan untuk konsentrasi sebagaimana dimaksud pada no1 tersebut di atas ditentukan batasan waktu dengan persetujuan DPR RI

4. Wilayah yang akan diusahakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)[dalam hal ini no.2] dan ayat (3)[dalam hal ini no.3] berubah statusnya menjadi Wilayah Usaha Pertambangan Khusus (WUPK)

5. Perubahan status WPN sebagaimana dimkasud dalam Pasal 17 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) [dalam hal ini no.4] menjadi WUPK dapat dilakukan dengan mempertimbangkan:

a. Pemenuhan bahan baku industri dan energi dalam negeri.

b. Sumber devisa Negara

c. Kondisi wilayah didasarkan pada keterbatasan sarana dan prasarana

d. Berpotensi untuk dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan ekonomi

e. Daya dukung lingkungan; dan/atau

f. Penggunaan teknologi tinggi dan modal investasi yang besar

6. Satu WUPK terdiri atas 1 (satu) atau beberapa Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) yang berada pada lintas wilayah propinsi, lintas wilayah kabupaten/kota, dan/atau dalam 1 (satu) wilayah kabupaten/kota

7. Luas WIUPK mineral logam dan batubara ditetapkan oleh pemerntah berkoordinasi dengan pemerintah daerah berdasarkan kriteria dan informasi yang dimiliki oleh pemerntah

8.6. USAHA PERTAMBANGANDalam uraian yang berkaitan dengan Usaha Pertambangan dengan tegas dinyatakan:

1. Usaha pertambangan dikelompokkan atas:

a. Pertambangan mineral, dan

b. Pertambangan batubara

2. Pertambangan mineral dibagi menjadi:

a. Pertambangan mineral radioaktif

b. Pertambangan mineral logam

c. Pertambangan mineral bukan logam, dan

d. Pertambangan batuan

3. Usaha pertambangan sebagaimana dimaksud dalam no.1 dilaksanakan dalam bentuk

a. IUP

b. IPR, dan

c. IUPK

8.7. IZIN USAHA PERTAMBANGANDalam uraian yang berkaitan dengan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dengan tegas dinyatakan:

1. Izin Usaha Pertambangan (IUP) terdiri atas dua tahap:

a. IUP Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum; eksplorasi; dan studi kelayakan

b. IUP Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan

2. Pemegang IUP Eksplorasi dan pemegang IUP Operasi Produksi dapat melakkan sebagian atau seluruh kegiatan sebagimana dimaksud pada no.1

3. IUP diberikan oleh

a. Bupati/walikota apabila IUP berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota;

b. Gubernur apabila WIUP berada pada lintas kabupaten /kota dalam 1 (satu) propinsi

c. Menteri apabila WIUP berada pada lintas propinsi setelah mendapatkan rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota setempat

4. IUP diberikan kepada

a. Badan usaha

b. Koperasi, dan

c. Perseorangan

5. IUP Eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya

a. Nama perusahaan

b. Lokasi dan luas wilayah

c. Rencana umum tata ruang

d. Jaminan kesungguhan

e. Modal investasi

f. Perpanjangan waktu tahap kegiatan

g. Hak dan kewajiban pemegang IUP

h. Jangka waktu berlakunya tahap kegiatan

i. Jenis usaha kegiatan

j. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan

k. Perpajakan

l. Penyelesaian perselisihan

m. Iuran tetap dan iuran eksplorasi, dan amdal

6. IUP Operasi Produksi wajib memuat ketentuan:

a. Nama perusahaan

b. Luas wilayah

c. Lokasi penambangan

d. Lokasi pengolahan dan pemurnian

e. Pengangkutan dan penjualan

f. Modal investasi

g. Jangka waktu berlakunya IUP

h. Jangka waktu tahap kegiatan

i. Penyelesaian masalah pertanahan

j. Lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pasca tambang

k. Dana jaminan reklamasi dan pascatambang

l. Perpanjangan IUP

m. Hak dan kewajiban pemegang IUP

n. Rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di wilayah pertambangan

o. Perpajakan

p. Penerimaan Negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi

q. Penyelesaian perselisihan

r. Keselamatan dan kesehatan kerja

s. Konservasi mineral atau batubara

t. Pemanfaatan barang, jasa, dan teknologi dalam negeri

u. Penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik

v. Pengembangan tenaga kerja Indonesia

w. Pengelolaan data mineral atau batubara, dan

x. Penguasaan, pengembangan, dan penerapan teknoloi pertambangan minral dan batubara

7. IUP hanya diberikan untuk 1 (satu) jenis mineral atau batubara

8. Pemegang IUP yang menemukan mineral lain di dalam WIUP yang dikelolla diberikan prioritas untuk mengusahakannya

8.8. IUP EKSPLORASIDalam uraian yang berkaitan dengan IUP Eksplorasi dengan tegas dinyatakan:

1. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 8 (delapan) tahun

2. IUP Eksplorasi untuk pertambangan mineral bukan logam dapat diberikan paling lama dalam jangka waktu 3 (tahun) dan mineral logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun

3. IUP Eksplorasi untuk pertambangan batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 3 (tida) tahun

4. IUP Eksplorasi untuk pertambangan batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) tahun

5. Dalam hal kegiatan eksplorasi dan kegiatan studi kelayakan, pemegang IUP Eksplorasi yang mendapatkan mineral atau batubara yang tergali wajib melaporkan kepada pemberi IUP

8.9. IUP OPERASI PRODUKSIDalam uraian yang berkaitan dengan IUP Operasi Produksi dengan tegas dinyatakan:

1. Setiap pemegang IUP Eksplorasi dijamin untuk mendapatkan IUP Operasi Produksi sebagai kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya

2. IUP Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha, koperasi, atau perseorangan atas hasil pelelangan IUP mineral logam atau batubara yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan.

3. IUP Operasi Produksi untuk mineral:

a. Logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun

b. Bukan logam dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 10 (sepuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun.

c. Bukan logam jenis tertentu dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun

d. Batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun

e. Batuan dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 5 (lima) tahun

f. Batubara dapat diberikan dalam jangka waktu paling lama 20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun

4. IUP Operasi Produksi diberikan oleh:

a. Bupati/walikota apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota

b. Gubernur apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah kabupaten/kota yang berbeda

c. Menteri apabila lokasi penambangan, lokasi pengolahan dan pemurnian, serta pelabuhan berada di dalam satu wilayah propinsi yang berbeda

8.10. PERTAMBANGAN MINERALDalam uraian yang berkaitan dengan Pertambangan Mineral dengan tegas dinyatakan:

1. Pertambangan Mineral Radioaktif

a. Ditetapkan oleh pemerintah dan pengusahaannya dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

2. Pertambangan Mineral logam

a. Diberikan kepada badan usaha, koperasi dan perseorangan dengan cara lelang

b. Pemegang IUP Eksplorasi mineral logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 5.000 (lima ribu) hektare dan paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare

c. Wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi mineral logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral lain yang keterdapatannya berbeda

d. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada c, dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat dari pemegang IUP pertama

e. Pemegang IUP Operasi Produksi mineral logam, diberi WIUP dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare

3. Pertambangan Mineral bukan logam

a. WIUP mineral bukan logam diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang

b. Pemegang IUP mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling sedikit 500 (lima ratus) hektare dan paling paling banyak 25.000 (duapuluh lima ribu) hektare

c. Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi minral bukan logam dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral yang lain yang keterdapatannya berbeda

d. Pemberian IUP seperti tersebut pada b, diberikan sesudah mendapat pertimbangan pendapat dari pegang IUP pertama.

e. Pemegang IUP Operai Produksi mineral bukan logam diberi WIUP dengan luas paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

4. Pertambangan Batuan

a. WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang

b. Pegang IUP Eksplorasi batuan diberi IUP dengan luas paling sedikit 5 (lima) hektare dan paling banyak 5.000 (lima ribu) hektare

c. .Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral yang lain yang keterdapatannya berbeda

d. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada huruf c, dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat pemegang IUP pertama

e. Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 1.000 (seribu) hektare.

5. Pertambangan Batubara

a. WIUP batuan diberikan kepada badan usaha, koperasi, dan perseorangan dengan cara lelang

b. Pegang IUP Eksplorasi batuan diberi IUP dengan luas paling sedikit 5.000 (limaribu) hektare dan paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare

c. .Pada wilayah yang telah diberikan IUP Eksplorasi batuan dapat diberikan IUP kepada pihak lain untuk mengusahakan mineral yang lain yang keterdapatannya berbedad. Pemberian IUP sebagaimana tersebut pada huruf c, dilakukan setelah mempertimbangkan pendapat pemegang IUP pertama

e. Pemegang IUP Operasi Produksi batuan diberi WIUP dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

8.11. IZIN PERTAMBANGAN RAKYATDalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan Rakyat dengan tegas dinyatakan:

1. Kegiatan pertambangan rakyat dikelompokkan sebagai berikut:

a. Pertambangan mineral logam

b. Pertambangan mineral bukan logam

c. Pertambangan batuan, dan/atau

d. Pertambangan batubara

2. Bupati/walikota memberikan IPR:

a. Terutama kepada penduduk setempat baik perseorangan maupun kelompok masyarakat dan/atau koperasi

b. Dapat melimpahkan kewenangan pelaksanaan pemberian IPR kepada camat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

3. Untuk memperoleh IPR pemohon wajib menyampaikan surat permohonan kepada bupati/walikota

4. Pemegang IPR berhak

a. Mendapat pembinaan dan pengawasan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, lingkungan, teknis pertambangan, dan manajemen dari pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan

b. Mendapat bantuan modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

5. Pemegang IPR wajib

a. Melakukan kegiatan penambangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah IPR diterbitkan

b. Mematuhi peraturan perundang-undangan di bidang keselamatan dan kerja pertambangan, pengelolaan lingkungan, dan memenuhi standar yang berlaku

c. Mengelola lingkungan hidup bersama pemerintah daerah

d. Membayar iuran tetap dan iuran produksi

e. Menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan rakyat secara berkala kepada pemberi IPR

8.12. IZIN USAHA PERTAMBANGAN KHUSUSDalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan Khusus dengan tegas dinyatakan:

1. Izin Usaha Pertambang Khusus (IUPK)

a. Diberikan oleh Menteri dengan memperhatikan kepentingan daerah

b. Diberikan untuk 1 (satu) jenis meneral logam atau batubara dalam 1 (satu) Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK)

2. Pemegang IUPK

a. Yang menemukan mineral lain di dalam WIUPK yang dikelolla diberikan prioritas untuk mengusahakannya

b. Untuk melaksanakan seperti tersebut pada a, wajib mengajukan mengajukan permohonan IUPK baru kepada Menteri

c. Dapat juga menyatakan tidak berminat untuk mengusahakan mineral lain yang ditemukan tersebut

d. Jika tidak berminat pemegang IUPK wajib menjaga mineral lain tersebut

e. IUPK mineral lain tersebut dapat diberikan kepada pihak lain oleh Menteri

3. IUPK dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hokum Indonesia, baik berupa badan usaha milik Negara, badan usaha milik daerah, maupun badan usaha swasta

4. Badan usaha milik Negara dan miik daerah mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK

5. Badan usaha swasta untuk mendapatkan IUPK dilaksanakan dengan cara lelang WIUPK

6. IUPK terdiri atas dua tahap:

a. IUPK Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan

b. IUPK Operasi Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan

7. Pemegang IUPK Eksplorasi dan IUPK Operasi Produksi dapat melakukan sebagian atau seluruh kegiatan

8. Setiap pemegang IUPK Eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi

9. IUPK Operasi Produksi dapat diberikan kepada badan usaha yang berbadan hokum Indonesia yang telah mempunyai data hasil kajian studi kelayakan

10. Untuk mendapatkan IUPK Eksplorasi pengusaha wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan

11. Untuk mendapat IUPK Operasi Produksi pengusaha wajib memenuhi syarat yang telah ditentukan

12. IUPK tidak dapat digunakan selain yang dimaksud dalam pemberian IUPK

8.13. LUAS WILAYAH DAN JANGKA WAKTU

Dalam uraian yang berkaitan dengan Izin Pertambangan Khusus dengan tegas dinyatakan:

1. Persyaratan luas wilayah dan jangka waktu ssuai dengan kelompok usaha pertambangan yang berlaku bagi pemegang IUPK meliputi:

a. Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Eksplorasi pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000 (seratus ribu) hektare.

b. Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Operasi Produksi mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 25.000 (dua puluh lima ribu) hektare.

c. Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Eksplorasi pertambangan batubara diberikan dengan luas paling banyak 50.000 (lima puluh ribu) hektare.

d. Luas 1 (satu) IUPK untuk tahap Operasi Produksi batubara diberikan dengan luas paling banyak 15.000 (lima belas ribu) hektare.

e. Jangka waktu untuk IUPK

i. Eksplorasi pertambangan mineral logam dapat diberikan paling lama 6 (enam) tahun

ii. Eksplorasi pertambangan batubara dapat diberikan paling lama 7 (tujuh) tahun

iii. Operasi Produksi mineral logam atau batubara dapat diberikan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan dapat diperpanjang 2 (dua) kali masing-masing 10 (sepuluh) tahun.

Persyaratan operasional selanjutnya dapat dilihat pada Undang-Undang Minerba No.4 tahun 2009, yang tercantum pada buku Memahami Pengelolaan Bahan Tambang di Indonesia (Sukandarrumidi, 2009)-terbitan Yayasan Pustaka Nusatama, Yogyakarta.CatatanPETI = Penambangan Tanpa Izin.

Beberapa catatan yang perlu diperhatikan.(1). Pemerintah memastikan larangan ekspor mineral mentahPemerintah memasikan tetap konsisten melarang ekspor mineral mentah pada 12 Januari 2014. Pelarangan itu merupakan langkah untuk meningkatkan nilai tamah mineral. Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Susilo Siswoutomo di Jakarta, Senin (23 Desember 2013) menegaskan bahwa pemerintah berkomitmen menjalankan amanah UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mneral dan Batubara (Minerba) secara konsekuen. Untuk itu kewajiban pengolahan dan pemurnian bijih mineral akan tetap dijalankan. Melihat perkembangan situasi industry pertambangan saat ini, pemerintah mengevaluasi persiapan implementasi kebijakan itu. Hal tersebut karena sebagian perusahaan pertambangan terancam berhenti beroperasi jika kebijakan itu diterapkan karea belum ada pabrik pengolahan di dalam negeri yang bisa menyerap hasil tambang mereka. Saat ini kami sedang membahas masalah ini antar kementerian. Bagaimana mekanimesnya agar tidak melanggar hokum, ujarnya. Jika perusahaan pertambangan diijinkan meengekspor bjih mineral sampai beberapa tahun ke depan atau hingga pabrik pengolahan mulai beroperasi, perlu ada paying hokum. Namun, sampai kini belum ada jalan keluar. Selain itu, pemerintah sedang mengkaji aturan pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral. Hal ini menindaklanjuti putusan Mahkamah Agung yang memerintahkan Mentri ESDM mencabut Peraturan Menteri ESDM No.7 Tahun 2012 tentang peningkatan nilai tambah Mineral melalui kegiatan Pengolahan dan Pemurnia Mineral. Putusan itu atas permohonan pengusaha petambangan bauksit di Kalimantan Tengah, Alias Wello. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, R Sukhyar, Senin (23 Desember 2013) malam di Jakarta menegaskan pemerintah tetap akan melaksanakan pelarangan ekspor bijih mineral sesuai dengan amanat UU Minerba. Hal ini juga telah disepakati para pengusaha pemegang izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi mineral. Pemerintah tak mungkin melepaskan ekspor bijih mineral pada tahun 2014 karena ini akan merusak tatanan. Pemerintah berkomtmen untuk melaksanakan UU, apalagi para pengusaha telah sepakat melaksanakan pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Sukhyar menjelaskan, setelah pembatalan Peraturan Menteri ESDM No.7/2012 oleh Mahkamah Agung, pemerintah memanggil para pengusaha pertambangan. Hasilnya, pemerintah dan pelaku usaha sepakat, kewajiban pegolahan dan pemurnian bijih mineral dijalankan pada 12 Januari 2014 sesuai dengan amanat UU Minera, Jadi jadwalnya tidak dipercepat sebagaimana tercantum dalam Peraturan Menteri ESDM No.12/2012. Pemberlakukan kewajiban pengolahan dan pemurnian disepakai berlaku efektif pada tahun 2014. Ada 213 pengusaha pemegang IUP yang telah menadatangani kesepakatan itu dalam pakta integritas, kata Sukhyar. Terkait PT Freeport Indonesia dan PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) Sukhyar menyatakan, Kementerian ESDM telah menegaskan bahwa kedua perusahaan pemegang kontrak karya itu tetap dapat memproduksi sesuai kapasitas pengolahan pabrik di dalam negeri. Ini berarti pihak Freeport akan Indonesia akan memproduksi 30% dari kapasitas saat ini dan NNT akan memproduksi 25% dari kapasitas, serta hasil produksinya akan diolah PT Smelting Gresik. Saat ini beberapa pabrik pengolahan atau smelter telah dalam hatap uji coba operasi, sebagian lagi telah mulai beroperasi, kata Sukhyar. Secara jangka panjang, jika pemerintah member toleransi ekspor bijih mineral sampai beberapa tahun ke depan, hal itu dinilai merugikan Negara. Itu karena menjual bijih mineral sama saja tak member nilai tambah baik secara ekonomi maupun peningkatan sumber daya manusia dan tak ada efek domino dari keberadaan industry itu. Di akui, UU Mineba semenjak awal memang memiliki sejumlah kelemahan mendasar terutama berkaitan aspek-aspek dan detailnya. Akibatnya, aturn perundang-undangan itu akhirnya tidak cukup implementatif. Banyak hal yang semangatnya bagus, seperti halnya pelimpahan kewenangan pengusahaan tambang ke daerah, renegosiasi kontrak ataupun kewajiban pengolahan hasil tambang mentah di dalam negeri tidak dapat diterapkan dengan baik sebab kajian akademis yang mendasarinya lemah. Selai itu, peraturan=peraturan pelaksananya pun lambat dikeluarkan dan juga lemah dalam hal teknis ataupun detailmnya. Jadi tidak mengherankan apabila penerapan aturan larangan kespor bahan mentah hasil tambang pun kemungkinan akan dilonggarkan, ujar Pri gung. Dalam hal ini pemerintah sendiri belum siap secara tegas menerapkan larangan ekspor bahan mentah itu, baik secara regulasi, detail yang menyangkut hal eknis maupun kajian dampak ekonomi, social dan politiknya (Anonim, 2013. Pemerintah memastikan larangan ekspor mineral mentah. Komas 24 Desember 2014).Tarik ulur pengendalian ekspor mineral mentah.

112 Januari 2009. UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Menetapkan kebijakan pengendalian produksi dan ekspor mineral dan/atau batubara. Demi mengutamakan kepentingan dalam negeri.

21 Januari 2010. PP No.23/2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Pemegang IUP operasi produksi dan IUPK operasi produsi dapat mengekspor seteah kebutuhan dalam negeri terpenuhi (Pasal 84).

34 Mei 2012. Permen ESDM No.7/2012. Tentang penigkatan nilai tambah mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral: Mengatur kewajiban pengolahan dan pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Janurai 2014.

416 Mei 2012. Peraturan ESDM No12/2012 tentang perubahan atas Permen ESDM No.7/212. Menambah aturan tatacara ekspor dan pemberian rekmendasi oleh Menteri (Pasal 21A dan Pasal 25A).

512 September 2013. Putusan MA No.09P/HUM/2012. Permohonan Hak uji Materi terhadap Permen ESDM No.7/2012 mengenai kerjasama (Pasal 8), saham (Pasal 9), konsultasi (Pasal 10) dan aturan peralihan )Pasal 21).

66 Agustus 2013. Terbit Permen ESDM No.20/2013 tentang Perbahan Kedua atas Permen ESDM No.7/2012. Pengharuskan perusahaan IUP dan IUPK yang tidak ekonomis untuk melakukan sendri kegiatan pengolahan unuk bekerjasama dengan pihak lain setelah mendapatkan prsetujuan dari menteri atau kepala daerah (Pasal 8). Menghapuskan aturan kemitraan melalui saham (Pasal 9), tatacara knsultasi (Pasal 10) dan ketentuan peralihn (Pasal 21).

(2). Larangan eskpor mineral mentahRencana pemerintah memberlakukan larangan ekspor segala jenis mineral mentah mulai 12 Janurai 2014 ditanggapi dengan sikap pro dan kontra dari sejumlah kalangan berbeda. Program hilirisasi tambang ini merupakan amanat UU No.4/2009 tentang Pertambangan Mneral dan Batubara (Minerba) dan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No.7/2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Minerall melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. UU dan Permen itu memaksa semua perusahaan tambang mendirikan pabrik pengolahan sendiri,apakah berupa pabrik peleburan ataupun pengolahan sendiri atau member kesempatan bagi investor lain mendirikan pabrik pengolahan seperti itu. Padah sifat dan hakekat antara satu dan lain jenis hasil tambang sangat berbea. Kaena tidak dirancang dengan perhitungan ekonomis, melawan struktur pasar internasional, dan terbatasnya kapasitas pabrik pengolahan di dalam negeri yang dapat mengolah hasil tambang, kedua aturan itu macam macan ompong belaka. Kedua aturan itu ukan dibuat ahli ekonomi pertambangan yang baiki.Terlambat tanpa koodinasi

Tidak jelas apakah Kementerian ESDM mengoordinasikan kebijakan larang ekspor itu dengan mitrakerjanya di kementerian dan instansi lain, seperti Kemeterian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri serta Bank Indonesia. Mereka yang menentang melihat, dalam ekonomi yang sulit dewasa ini, larangan eksport mineral mentah akan makin menurunkan penerimaan Negara dari royalty dan berbagai jenis pajak yang mengganggu APBN. Daerah produksi hasil tambang yang tadinya kayaraya kini sudah mulai megap-megap karena penurunan penerimaannya dari setor pertambangan. Nilai tukar rupah terus akan melemah karena berkurangnya penerimaan devisa ekspor. Kiriman TK pemasukan modal asing jangka pemdek. Selain itu tanpa adanya larangan eksport perusahaan tambang dan perkebunanpun, kita sudah menderita akibat dari penurunan tingkat harga komoditas primer di pasar internasional yang sangat drastic sekitar 4% sejak akhir 2011. Larangan ekspor akan membuat harga kmoditas primer sudah semakin rendag di pasar dalam negeri. Laranagn ekspor dikhawatirkan juga akan membuuatcitra Indonesia sebagai pemasok tak dapat diandalkan sehingga merangsang pembeli beralih kenegara pebghasil lainnya, seperti Australia, Papua Niugini, New Calidonia, Mongolia, Rusia atau Negara-negara di Amerika Latin dan Afrika. Sering berubahnya aturan menyebabkan tak adanya kepastian usaha bagi investasi di sector pertambangan yang beroperasi dalam jangka panjang. Aturan hilirisasi hasil tambang di atas dibuat pada saat puncak kenaikan tingkat harga komoditas primer terjadi termasuk hasil pertambangan, selama 2000-2011. Namun, kebijakan itu diimplementasikan pada saat yang salah, yakni setelah harga meluncur turun secara drastic mulai akhir 2011. Selama 2008-2011 saja, eksport konsentrat nikel naik 11 kali lipat, nilai eksport bauksit 5 kali lipat dan nilai ekspor nikel 8 kali lipat. Hal yang sama terjadi juga pada komoditas pertanian, seperti minyak kelapa sawit, cokelat dan karet. Kedua aturan itu dibuat berdasarkan asumsi bahwa tingkat harga hasil tambang akan terus meningkat 1% setahun dan biaya pendirian pabrik pengolahan naik 2%. Karena dirangsang tingkat keuntungan yang tinggi, tadinya banyak investor yang tertarik berinvestasi di sekror pertambangan dan perkebunan para masa boom tersebut. Teknologi yang diperlukan untuk pertambangan batubara juga sangat sederhana seperti penggalian gunung kapur di Purwakarta atau pasir lava letusan Gunung Merapi di Kali Code, Yogyakarta yang cukup bermodalkan sekop, pacul dan otot. Penyebab boom komoditas primer selama ini ialah adanya perumbuhanekonomi yang sangat tinggi, rata-rata 9-10% setahun di China sejak Deng Xiaping meliberakan ekonominya pada 1987 dan India melakukan hal yang sama mulai 1982. Modernsasi, mekanisasi, dan motorisasi ataupun pembangunan infrastruktur yang tumbuh pesat di kedua Negara memerlukan sumber energy serta segala macam jenis hasil tambang. Rakyatnya yang semakin makmur menuntut kualitas makanan yang leh bai, termasuk minyak goring dan hasil laut dari Indonesia. Motor penggerak pertumbhan ekonomi China adalah investasi dan ekspor yang tinggi. India mempromosikan jasa-jasa berbasis computer. Kedua Negara sosialis itu, yang tadinya sangat anti pada mobil asing kini justru mengundangnya ikut menciptakan lapangan kerja didalam negerinya sendiri, melakkan transfer teknologi dan membuka pasar ekspor. Penrunan komoditas primer terjadi pada saat yang bersamaan dengan peningkatan tingkat suku bunga pinjaman di pasar dunia akibat dimulainya pengurangan pembelian obligasi pemerintah dan surat berharga lainnya oleh bank sentral Amerika Serikat. Suntikan likuiditas melalui pembelian besar-besaran itu dikenal sebagai the quantitative easing (QE) yang teah menurunkan tingkat suku bunga hingga mendekati nol guna merangsang pengeluaran konsumsi dan investasi sector swasta. Kombinasi kenaikan tingkat suku bunga dan penurunan harga komoditas primer yang merupakan produknya akan menimbulkan masalah likuiditas, solvabilitas ataupun kebangkrutan bagi perusahaan pertambangan dan perkebunan yangbanyak meminjam di luar negeri.Apa yang diperlukan ?

Pabrik pengolahan atau peleburan hasil tambang bersifat padat modal dan padat energy sehingga memerlukan investasi modal skala besar. Agar efisien, kapasitas pabrik itu harus besar dan memenuhi skala ekonomi minimal tertentu. Tenaga yang diperlukan pun adalah yang memiliki pendidikan serta ketrampilan tinggi. Selain itu, diperlukan infrastruktur yang baik, berupa transportasi darat dari tam ang hingga pelabuhan laut, telekomunikasi serta pengelolaan limbah agar tak mencemarkan lingkungan hidup. Pertanyaan, apakah investasi modal besar itu akan member nilai tambah memadai ?. Semua persyaratan tersebut diatas tak bisa dipenuhi dewasa ini. Kita tak punya modal besar, keahlian teknologi maupun manajemen mendirikan dan mengelola pabrik peleburan besar. PT Inalum membangun semua keperluannya, pembangkit tenaga listrik, jalan raya, pelabuhan, hingga kota baru lengkap dengan rumah dan fasilitas social karyawan. Bekerjasama dengan investor luar, PT Antam hanya mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang skala kecil yangdigerakkan pembangkit tenaga listrik yang mahal. Perhatikan tenaga-tenaga teknisi yang bekerja di sector pertambangan kita. Karena kurangnya teknisi Indonesia, teknisi di sector minyak pada umumnya berasal dari Texas dan Oklahoma Negara pnghasil migas AS. Tenaga teknis dipertambangan non migas, mulai Freeport di Papua hingga pertambangan emas Martabe di Batangtortu, Sumatera Utara didominasi warga Australia. Karena kurangnya pendidikan dan ketrampilan pada uumnya sehingga tenaga lkal berupa sopir dan satpam. PLN belum mampu memanfaatkan tenaga air dan panas bumi untuk pembangkit tenaga listrik seperti itu memang mahal tetapi baya operasinya sangat rendah. Itu sebabnya perusahaan raksasa Jepang mau membangun tenaga listrik dengan memanfaatkan Air Terjun Sigura-gura di Sungai Asahan untuk mlebur biji bauksit yang diimpornya, terutama dari Amerika Latin dan Australia. Hasil olahan dari parbrik itu terutama diekspor ke pasar dunia. Proyek yang persisi sama dengan Inalum ada di Brasil yang memanfaatkan tenaga listrik dari Air terjun Itaipu. Selama 30 tahun usia PT Inalum PLN tak mampu memasang generator listrik yang berdampingan dengan milik PT Inalum untuk memanfaatkan kapasitas air terjun yang masih ada. Untuk mengelola PT Inalum, diperlukan ahli teknik prima, manajer yang baik ataupun ahli perdagangan internasional bijih bauksit dan hasil olahannya. Ini yang kita ta unya. Tidak semua hasil tambang sama dengan bauksit yang lokasi penambangannya jauh dengan lokasi pngelohannya dan juga berjauhan dengan tempat pemasarannya atau pemanfaatnnya. Tempat yangberjauhan itu memerlukan biaya transportasi mahal. Ada beberapa hasil tambang yang lebih ekonomis diolah di dekat tempat penambangannya dan ada pula yang lebih rah bila diproses di daerah pemasarannya. Dengan menggunakan listrik dengan tenaga air yang murah diberbagai pelosok negerinya, China telah mampu membangun beberapa pabrik peleburan hasil tambang antara lain untuk menglah biji tembaga dari Indonesia. Dari segi ini, UU dan Permen Minerba di atas akan melawan hokum ekonomi yang telah menentukan lokasi industry pengolahan dan pemrosesan bijih pertambangan dunia yang sudah ada dan memaksanya pindah ke Indonesia. Apa kuasa kita sehingga data memaksakan relokasi seperti itu ?. Karena takada program pemerintah yang jelas, juga tak ada keterkaitan ke depan atau kebelakang industry tambang dan perkebunan di Indonesia. Perkebunan sawit (termasuk PTP) ttap mengekspor minyak sawit mentah ke Malaysia untuk diolah lebih lanjut untuk memperoleh nilai tambah lebih tinggi. Indonesia merupakan pasar perme coklat buatan Malaysia yangbahan mentahnya berasal dari Sulawesi, Kalimanta dan Sumatera Singapura memiliki refenary yang menglah minyak mentah Indonesai dan mengekspor minyak olahan kembali ke Indonesia. Sembawang, BUMN Negara itu merupakan merupakan pemasok rigs miyak bumi lat mulai dari Norwegia dekat Kutub Utara hingga Brasil dekat Kutub Selatan. Sama dengan pada saat era Ibnu Sutowo di masa lalu, Pertamina sekarang ini lebih tertarik membangun real estate berupa gedung 100 tingkat dan bukan refinaery ataupun proyek lain yang berkaitan dengan migas ( Anwar Nasution, 2014. Larangan ekspor mineral mentah, Kompas 10 Januari 2014).(3). SEkali lagi menyoal UU Minerba

Asosiasi Pengusaha MineralIndonesia (Apemindo) menolak pelarangan ekspor mineral mentah (Kopas, 28/12/2013). PemerintahBambang Susilo Yudhoyano menanggapi dengan berencana melonggarkan aturan tersebut. Tindakan ini menguang ceriera lama satu decade lalu saat pebisnis pertambangan berhasil mendekte Indonesia membuka hamper 1 juta hektar hutanlndungnya menjadi kawasan tambang. Menjelang Pemilu 2004, petambang berhasil membuat DPR di Senayan mengamandemen pasal Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang melarang pertambangan terbuka di hutan lindung. Akibatnya, hamper 1 juta hutan lindung bisa dialihfungsikan menjadi kawasan tambang dengan harga sewa lebih murah daripada sepotong pisang goring yakni hanya Rp 300 per meter persegi.Sektor pertambangan bagaimakan panglima yang mendikte arah pembanguan. Jika sector keruk ini masuk ke sebuah wilayah, fungsi lain hanya mendapat sisanya. Di kawasan-kawasan kaya bahan tambang dan migas, rencana tataruang wilayah (RTRW) yang semestinya menjadi panduan pembangunan sebuah kawasan, tak berlaku lagi bagi para pebisnis tambang. Tengok saja, misalnya, Jawa Tiur. Menurut Yuliani (2008) sekitar 40% wilayah Jawa Timur dikuasai oleh 32 blok minyak, separuhnya di wilayah Sidoharjo. Padahl, Sidoarjo adalah kawasan padat huni dan masuk dalam kelompok kota metropolitan. Celakanya, peruntukan industry migas justru tak diatur dalam RTRW. Akibatnya, saat delapan tahun lal Lapindo Brantas lalai memasang casing bor, terjadi luberan lumpur panas yang merendam 12 desa dan menggusur puluhan ribu orang. Negaralah yang pontang-panting merogoh anggarannya mengurus para korban semburan lumpur Lapindo. Pun di Samarinda, konsesi tambang batubara menguasai hamper dua pertiga luasan ibukota Kaliantan Timur. Akibatnya, luas ruang terbuka hijau yang tersisa tak sampai 1% dan lebih dari 150 lubang tambang belum direklamasi. Banjir iperkotaan jiga makin menggila. Dulunya hanya setahun, atau lima tahun sekali terjadi banjir besar. Kini sepanjang periode 2007-2009 telah terjadi sebanyak 126 kali banjir. Siuasi Samarinda membahayakan warga, bahkan membuat Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) kota tekor. Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari pertambangan batubara lebih rendah dibandingkan dengan biaya penanggulangan banjir akibat pengerukan batubara. Pada periode 006-2010, rata-rata penerimaan dana bagi hasil (DBH) pertambangan umum Samarinda Rp 22,3 miliar per tahun. Sementara biaya penanggulangan ajir pada periode 2008-2010 mencapai Rp 1o7,9 miliar dan meningkat hingga Rp 602 miliar tiga tahun berikutnya. Tak termasuk biaya rehabilitasi akibat kerusakan jalan umm karena transportasi batubara, jugabiaya yang ditanggung wargasekitar tambang saat lahan pertanian, hutan dan sumber-sumber air dihantam bajir pada musim hujan dan krisis air saat kemarau sejak tambang masuk dsa mereka.Model pengurusan pertambangan yang keruk cepat jual murah sejak Orde Baru terbukti mempercepat eksploitasi bahan dan merusak ruang hidup warga. Alih-alih menseahterakan rakat, senyatanya Negara yang mensubsidi pebisnis tambang. Orde Reformasi juga tak membaea angin perubahan lebih baik. Sistem pemerintahan yang korup menjadi muara para politikus dan pebisnis berkuasa di pemerintahan dan gedung wakil rakyat. Di tangan mereka Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang ppertambangan Mineral danBatubara (Minera) dan Undang-Undang No,32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup hanyalah pasal-pasal karet, yang bebas tafsir dan diterapkan untuk memperlas penjarahan kekayaan alam. Tak heran jika lma tahun sejal UU Minerba berlaku, pengurusan soal sector hulu makin amburadul. Luasan dan tumpang tindih izin tambang makin tak terkontrol. Hingga tahun 2011, sedikitya 8.000 izin dikeluarkan pemerintah dan 75%nya tumpang tindih. Menurut jaringan advokasi tambang (Jatam) pada tahun 2013 izin yang dikeluarkan lebih dari11.00 izin, Anehnya dalam empat tahun teakhir, sector yang diagng-agngkan akan membawa kesejahteraan ini rata-rata berkontribusi angka PDB hanya 11,30 %, lbih kecil dibandingkan dengan sector berkelanjutan yang penyerapan tenaga kerjanya juga lebih besar, seperti pertanian, perkebunan, peternakan dan kehutanan serta perikanan mencapai 14,85%. Kini pemerintah mendrong pembukaan pabrik peleburan (smelter) di sektor hilir. Master Pla Percepatan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (MP3EI) menyebutkan akan membangun lebih dai 150 smelter di seluruh Indonesia. Tak terbayang krisis ekologi dan social yang bakal terjadi di tengah pengurusan sector hulu yang amburadul. Larangan ekspor bahan mentah bisa memicu praktik penyelundupan seperti yang terjadi pada timah Bangka Belitung dan perdagangan merkuri. Belum lagi dampak dapak berupa 9.500 ton limbah ponsel (cellphone) per tahun yang dihasilkan Indonesia sejak menjadi penguna posel urutan kelima dunia. Senyatanya dari hulu hingga hilir pengelolaan bahan tambang, Indonesia tak beranjak dari pelayan Negara-negara industry, penyedia bahan mentah dan pasar raksasa. Memperdebatkan dimana bahan tambang digali, diolah dan dikemas menjadi barang-barang tidak lagi relevan, sebab pemilik modal dan pasar yang menentukan harganya. Hasil perteuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) di Bali, Desember 2013 mmberikan pesan yang jelas, ditengah rezim perdagangan global kini, semua itu bisa diatur dengan system kuota dan tariff yang kemudian diembel-embeli make in the world. Jangan dibiarkan kepentingan pebisnis tambang terus menerus mendekte keputusan bangsa ini memilih ekonominya lebih berkelajuta dan berdaulat. Strategi Indonesia untuk segera lepas dari ketergantungan ekonomi ekstraksi bahan tambang mestinya segera dirumuskan. Jika tidak, sejatinya pebisnis tambanglah panglima di negeri ii (Siti Muaminah-Badan Pengurus Jatam, 2014. Berhenti melayani panglima. Kompas 10 Januari 2014).(4). Jangan ada kompromi

Pemerintah diminta untuk tidak berkompromi dalam menjalankan kebijakan larangan eksor bahan mentah mineral pada 12 Januari 2014. Dengan mencari celah regulasi melalui revisi batas minimum kadar mineral olahan, hal ini menunjukkan lemahnya posisi tawar pemerintah. Perintah Undang-Undang harus dilaksanakan, kata Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Sumber Daya Alam Indonesia, Marwan Batubara dalam jumpa Pers, Kamis (9 Januari 2014) di Jakarta. Sesuai amanat Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba) pengolahan dan emurnian mineral dijalankanmulai 12 Januari 2014. Marwan menilai, pelanggaran eksor tampaknya tetap diberikan melalui regulasi baru yang akan terbit. Hal ini dilakukan melalui berbagai dalih dan revisi criteria kadar mineral yang dianggap telah memiliki nilai tambah. Ketua Kelompok Kerja Kebijakan Pertambangan Perhipunan Ahli Pertambangan Indonesia Budi Santosa menyatakan, pemerintah dan pengusaha diminta utuk tidak mencari celah regulasi dengan memainkanbatas minimum kadar mineral olahan. Ini berarti pemerintah kalah dalam posisi tawar dengan pengusaha tambang, ujarnya. Sebelumnya, Direktorat Jendral Mieral dan Batubara Kementerian Energi dan Suber Daya Mineral (ESDM) serta pelku usaha pertambangan, Rabu (8 Januari 2014) di Jakarta, sepakat merevisi batas minimum kadar mineral olahan beberapa jenis mineral tertentu. Kadar konsentrat untuk tembaga disepakai 15%, sedangkan nikel pig iron diturunkan dari 6% menjadi 4% dan pasir besi 58%. Sementara baksit tetap diwajibkan dioleh menjadi chemical grade alumina karena tidak ada produk antara. Gubernur Syahrul Yasin Limpo tahun ini menargetkan kesekatan dengan dua investor baru untuk membangun pabrik peleburan bijih (smelter) nikel. Dua investor baru itu direncanakan berlokasi di Kabupaten Bantaeng dan Kabupaten Luwu Timur. Dihunungi secara terpisah Bupati Banteng Nurdin Abdullah berharap pemerintah pusat konsisten menjalankan aturan pelarangan ekspor bijih mineral itu. Jangan sampai )aturan) dilonggarkan lagi, katanya. Saat ini Bantaeng telah menerima tujuh investasi pembangunan smelter nikel dan mangaan dengan total nilai investasi Rp 36 triliun. Di Jakrta, massa Knfederasi Serikat Pekerja Seluruh ndonesia (KSPSI) berpakaian adat Papua berunjuk rasa ke GedungKementerian ESDM. Mereka merupakan karyawan Freeport Indonesia yang khawatir terkena PHK begiu kegiatan produksi terhenti akibat kebijakan wajib membangun smelter. Presiden KSPSI Ani Gani Nena Wea mengatakan KSPSI mendukung pelaksanaan UU Mnerba tetapi pemerintah harus menciptakan antisipasi PHK (Anonim, 2014. Jangan ada kopromi. Kompas 10 Januari 2014). Catatan kerja