bab 2 sepsis

28
Bab 2 SEPSIS 2.1 Definisi Sepsis atau septikemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat, disertai dengan ditemukannya respon inflamasi sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardi, hiperventilasi dan letargi. 1 Kriteria diagnosis sepsis meliputi ditemukannya tanda dan gejala inflamasi sistemik (SIRS = systemic inflammatory response syndrome) dan infeksi disertai hiper atau hipotermia ( suhu rektal > 38,5C atau < 36C), takikardi (mungkin dapat hilang pada pasien hipotermi) dan sedikitnya satu dari tanda gangguan fungsi organ berupa perubahan fungsi organ; perubahan status mental, hipoksemia, peningkatan kadar laktat serum atau nadi yang kecil pada kondisi sepsis berat atau syok septik (tabel 2.1, 2.2 dan 2.3). 2,3 Tabel 2.1. Terminologi dan Definisi SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok Septik, Disfungsi/Kegagalan Multiorgan3,4,5 Terminologi Definisi SIRS Terdapatnya dua atau lebih tanda dan gejala berikut, salah satunya harus berupa instabilitas atau hitung leukosit : -instabilitas suhu (suhu inti > 38,5C / <36C) -takikardi ( laju nadi > 2 SD sesuai usia) tanpa stimulus eksternal, obat-obatan kronik atau nyeri, atau takikardi yang tidak dapat dijelaskan selama 0,5 - 4 jam atau bradikardi pada anak < 1 tahun (< 10th persentil menurut usia) tanpa stimulus vagal eksternal, obat beta blocker atau penyaki jantung kongenital, atau bradikardi yang tidak dapat dijelaskan selama setidaknya 0,5 jam (tabel 2) -takipneu (laju nafas > 2 SD) atau penggunaan ventilasi mekanik terkait dengan proses akut dan tidak terkait dengan penyakit 3

Upload: dianrich4

Post on 24-Nov-2015

29 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas sepsis

TRANSCRIPT

Bab 2SEPSIS

2.1 Definisi

Sepsis atau septikemia adalah keadaan ditemukannya gejala klinis terhadap suatu penyakit yang berat, disertai dengan ditemukannya respon inflamasi sistemik yang dapat berupa hipotermia, hipertermia, takikardi, hiperventilasi dan letargi.1 Kriteria diagnosis sepsis meliputi ditemukannya tanda dan gejala inflamasi sistemik (SIRS = systemic inflammatory response syndrome) dan infeksi disertai hiper atau hipotermia ( suhu rektal > 38,5(C atau < 36(C), takikardi (mungkin dapat hilang pada pasien hipotermi) dan sedikitnya satu dari tanda gangguan fungsi organ berupa perubahan fungsi organ; perubahan status mental, hipoksemia, peningkatan kadar laktat serum atau nadi yang kecil pada kondisi sepsis berat atau syok septik (tabel 2.1, 2.2 dan 2.3).2,3 Tabel 2.1. Terminologi dan Definisi SIRS, Sepsis, Sepsis Berat, Syok Septik, Disfungsi/Kegagalan Multiorgan3,4,5TerminologiDefinisi

SIRS Terdapatnya dua atau lebih tanda dan gejala berikut, salah satunya harus berupa instabilitas atau hitung leukosit : -instabilitas suhu (suhu inti > 38,5(C / 2 SD sesuai usia) tanpa stimulus eksternal, obat-obatan kronik atau nyeri, atau takikardi yang tidak dapat dijelaskan selama 0,5 - 4 jam atau bradikardi pada anak < 1 tahun (< 10th persentil menurut usia) tanpa stimulus vagal eksternal, obat beta blocker atau penyaki jantung kongenital, atau bradikardi yang tidak dapat dijelaskan selama setidaknya 0,5 jam (tabel 2)-takipneu (laju nafas > 2 SD) atau penggunaan ventilasi mekanik terkait dengan proses akut dan tidak terkait dengan penyakit neuromuskuler yang diderita sebelumnya atau penggunaan anastesi umum-leukositosis/leukopenia (bukan leukopenia akibat induksi kemoterapi) atau netrofil immatur > 5%

InfeksiTersangka atau dibuktikannya kejadian infeksi (kultur positif, pengecatan jaringan atau polimerase chain reaction) yang disebabkan oleh patogen atau sindrom klinis yang berkaitan dengan probabilitas infeksi yang tinggi. Kejadian infeksi ditemukan pada pemeriksaan fisik, pencitraan atau uji laboratorium (misal : ditemukannya sel darah putih pada cairan tubuh yang seharusnya steril, pemeriksaan foto dada konsisten dengan pneumonia, rash ptekie atau purpura atau purpura fulminan)

SepsisSIRS yang terbukti akibat infeksi (bakteri, virus atau jamur)

Sepsis beratSepsis yang disertai salah satu tanda disfungsi organ kardiovaskuler atau sindrom distress pernafasan akut atau 2 disfungsi organ yang lain

Syok septikHipotensi atau hipoperfusi yang refrakter dengan resusitasi cairan

Disfungsi / Kegagalan Organ MultipelSindrom disfungsi / kegagalan multiorgan sedikitnya ditemukan 2 kegagalan sistem organ

Tabel 2.2 Tanda Vital dan Jumlah Leukosit Normal sesuai Usia3,4Kelompok usiaTakikardi (x/menit)Bradikardi (x/menit)Takipneu (x/menit)Leukosit (x103/mm)Tekanan darah sistolik (mmHg)

0 hari-1 minggu> 180< 100> 50> 34< 65

1 minggu-1bulan> 180< 100> 40>19,5 atau 180< 90> 34>17,5 atau 140Tidak ditentukan> 22> 15,5 atau 130Tidak ditentukan> 18> 13,5 atau 14> 11 atau 5(g/kg/menit atau dobutamin, epinefrin, atau norepinefrin dosis berapapun atau

-2 dari hal-hal berikut :

Asidosis metabolik yang tidak dapat dijelaskan : defisit basa >5 mEq/L

Peningkatan laktat arteri > 2x batas atas normal

Oliguria : produksi urine < 0,5 ml/kg/jam

Pemanjangan waktu pengisian kapiler > 5 detik

Selisih jarak antara suhu inti dan perifer > 3(C

RespirasiaPaO2/FiO2 < 300 tanpa penyakit jantung atau penyakit paru sebelumnya atau

PaCO2 > 65 torr atau 20 mmHg diatas nilai normal atau

Terbukti dibutuhkanb FiO2 > 50% untuk mempertahankan saturasi 92% atau

Kebutuhan terhadap ventilasi mekanik invasif non elektif maupun non invasifc

NeurologisGCS ( 11 atau

perubahan akut status mental dengan penurunan GCS 3 dari sebelumnya

HematologisHitung trombosit < 80.000/mm3 atau penurunan trombosit 50% dari sebelumnya selama 3 hari (untuk pasien hematologi/onkologi kronik) atauInternational Normalized Ratio > 2

RenalKreatinin serum meningkat 2 kali nilai normal sesuai usia atau meningkat 2 kali lipat dari nilai kreatinin dasarnya

HepatikBilirubin total 4 mg/dl (diluar periode neonatus) atau

ALT 2 kali lipat batas normal sesuai usia

Keterangan : a. Sindrom distress pernafasan akut ditunjukkan dengan PaO2/FiO2 ( 200 mmHg, infiltrat bilateral, onset akut, Injuri paru akut ditunjukkan dengan kondisi yang sama tetapi dengan PaO2/FiO2 ( 300 mmHg; b. Jika dilakukan penurunan flow oksigen didapatkan desaturasi; c. Kondisi ini terjadi pada proses inflamasi akut atau infeksi pada paru yang membuat pasien tidak mungkin diekstubasi.2.2 Epidemiologi

Kondisi SIRS seringkali didapatkan pada anak dengan penyakit infeksi minor dan tidak memerlukan pengobatan rawat inap. Adapun insiden sepsis berat pada anak diperkirakan mencapai 40.000 kasus per tahun, dengan 10-15 % nya berkembang menjadi syok septik (4000-6000). Data sepanjang tahun 1986 hingga tahun 2000an di Amerika Serikat kejadian sepsis serta kematian akibat sepsis telah banyak berkurang (gambar 1). Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan kembali. Setengah dari kasus sepsis berat disertai komorbiditas. Komorbiditas ini termasuk prematuritas, terapi imunosupresi (misalnya pasien yang menjalani transplantasi atau kanker) demikian juga penderita dengan penyakit neurologis, jantung, respirasi dan gastrointestinal. Sepertiga kasus sepsis terjadi pada periode neonatus (di bawah 30 hari) sedangkan separuhnya terjadi pada anak berusia 1 tahun.3,6

Angka mortalitas sepsis berat pada anak diperkirakan berkisar antara 5-10% tanpa memandang kelompok usia. Penderita yang memiliki komorbiditas, seperti neoplasma, imunodefisiensi atau penyakit jantung yang berat memiliki angka kematian yang lebih besar.3

Gambar 2.2. Tren mortalitas akibat sepsis pada pasien pediatri di pusat kesehatan Amerika Serikat62.3. Etiologi dan Faktor Resiko

Sepsis lebih mudah terjadi pada prematuritas, neonatus, anak berusia < 1 tahun, pasien dengan defisiensi sistem imun, pasien dengan penyakit kronis yang mendasari sebelumnya serta pasien yang menjalani instrumentasi medik jangka panjang. Defisiensi sistem imun terjadi pada malnutrisi, agamaglobulinemia, neutropenia dengan imunosupresi, anemia bulan sabit, severe combined immunodeficiency syndrome, AIDS, asplenia, defisiensi komplemen dan defek neutrophyl chemotactic factor. Penyakit kronis sebelumnya yang memudahlan terjadinya sepsis termasuk keganasan, galaktosemia, paraplegia, luka bakar yang luas, sindrom nefrotik, kecanduan obat secara intravena dan infeksi Gonokokus pada traktus urinarius). Sedangkan penderita yang menjalani instrumentasi medik seperti indwelling kateter intravena dan kateter urine, atrioventricular shunt, pembedahan, intubasi endotrakea, continous peritoneal dyalisis serta pemakaian katup jantung protesa juga beresiko untuk menderita infeksi hingga menjadi sepsis.1,6,7

Adapun etiologi penyebab sepsis secara spesifik dikelompokkan menurut usia. Sepsis awitan dini pada masa neonatus pada umumnya disebabkan oleh E.Coli, S.aureus, Streptokokus grup B dan L.monocytogenes. Sepsis awitan lambat dapat disebabkan oleh Staphylococcus koagulase negatif, E. Coli, Klebsiella sp, Pseudomonas aeruginosa, Enterobacter sp, Candida sp, S. agalactiae, Serratia sp, Acinetobacter sp serta beberapa organisme anaerob. Pada anak yang lebih besar sepsis dapat disebabkan karena S.pneumoniae, H.influenza tipe B, N.menigitidis, Salmonella sp, S. aureus dan Steptococcus grup A. Pada anak dengan defek imunologis sepsis dapat disebabkan oleh berbagai kuman, bahkan kuman yang tidak biasa. Pada daerah yang endemis malaria, Plasmodium falcifarum merupakan penyebab terbanyak SIRS pada periode bayi. Pada masa anak, patogen yang sama dapat menyebabkan sepsis bayi jarang menimbulkan sepsis karena respon imun terhadap antigen polisakarida akan membaik pada anak yang lebih besar.1,7,8,92.4. Patogenesis

Infeksi septik dapat disebabkan oleh bakteri patogen gram positif maupun negatif, fungi dan yeast. Berdasarkan hasil kultur didapatkan 52,1% merupakan bakteri gram positif, 37,5% bakteri gram negatif, 4,7% polimikrobial, 4,6% jamur dan 1% bakteri anaerob.10 Infeksi diatasi oleh tubuh dengan mekanisme seluler dan humoral. Mekanisme seluler meliputi monosit, makrofag, dan netrofil, sedangkan mekanisme humoral melibatkan antibodi dan aktivasi komplemen. Pengenalan patogen dilakukan oleh CD14 dan toll like receptor (TLR) 2 dan 4 yang terdapat pada membran monosit dan makrofag yang dapat memicu pelepasan sitokin untuk mengaktivasi mekanisme pertahanan seluler. Aktivasi seluler ini mengakibatkan diferensiasi sel T menjadi type 1 helper cell (Th1) yang dapat mensekresi sitokin proinflamasi seperti interferon (IFN ), interleukin-1 (IL-1 ), IL-2, dan IL-12, dan type 2 helper cell (Th2), yang mensekresi sitokin antiinflamasi seperti IL-4, IL-10, dan IL-13. Jumlah sitokin yang dilepaskan merupakan gabungan fungsi yang melibatkan berbagai variabel, seperti kondisi infeksi, kerentanan genetik, dan kondisi host (Gambar 2.4).11

Gambar 2.4 Respon host terhadap LPS bakteri oleh makrofag11Secara biomolekuler, sepsis, syok septik dan kegagalan multiorgan pada dasarnya merupakan kegagalan tubuh dalam mengeradikasi kuman disertai berlangsungnya proses inflamasi di seluruh tubuh yang tidak terkontrol. Endotoksin, mannose, gugus glikoprotein pada dinding sel jamur, superantigen, toksin yang dihasilkan oleh beberapa bakteri gram positif, mikobakterium dan virus akan mengaktifasi sistem kekebalan alami (innate) tubuh, yang terdiri dari sel polimorfonuklear (PMN), monosit dan makrofag, melalui perlekatannya dengan Toll receptor, CD14 receptors (endotoksin) dan molekul kostimulator yang lain. Sel-sel immunokompeten alami ini selanjutnya akan menginternalisasi mikroorganisme tersebut dan selanjutnya memusnahkannya (gambar 2.4.1). Monosit dan makrofag selanjutnya akan memproses antigen dari mikroorganisme yang berhasil dimusnahkan tersebut pada limfosit T di sirkulasi serta berkoordinasi dengan respon imun adaptif, termasuk dalam hal ini aktifasi sel B serta pembentukan antibodi maupun pembentukan sel T sitotoksik dan sel NK (natural killer) jika agen infeksinya berupa virus atau jamur. Opsonisasi dengan antibodi akan membuat proses pengenalan dan pemusnahan patogen oleh makrofag pada jaringan retikuloendotelial berlangsung lebih efektif dan efisien.6,7

Sel-sel inflamasi yang sudah teraktifasi selanjutnya akan memulai berlangsungnya kaskade biokimia yang akan melepaskan fosfolipase A2, platelet activating factor, cyclooxigenase, komplemen dan pelepasan sitokin, yang akan memperkuat respon inflamasi untuk berlangsung lebih efektif dan efisien. Sitokin seperti tumor necrosis factor ( (TNF-() dan interleukin-1( (IL-1() secara sinergis akan berinteraksi menimbulkan demam dan vasodilatasi. Sitokin ini juga menstimulasi produksi berbagai macam molekul efektor yang penting yang bersifat proinflamasi seperti IL-8 dan interferon-( yang akan menunjang eradikasi patogen sekaligus merangsang keluarnya sitokin antiinflamasi seperti soluble TNF receptor, IL-1 receptor antagonist protein, IL-4 dan IL-10) yang akan secara otomatis meredakan respon inflamasi ketika patogen invasif berhasil dimusnahkan (gambar 3). TNF-( dan IL-1( juga akan menstimulasi produksi nitrit oksid (NO) yang akan menyebabkan vasodilatasi. NO juga akan berkombinasi dengan radikal superoksid untuk membentuk radikal peroksinitrit yang diperlukan untuk mekanisme eradikasi patogen intraseluler. Selain itu sitokin ini juga akan meningkatkan ekspresi endothelial-derived adhesion molecules termasuk disini E-selectin, yang akan mempermudah proses rolling leukosit pada dinding vaskuler dan intercellular adhesion molecule (ICAM) dan vascular adhesion molecule (VCAM) yang akan mempermudah leukosit menempel (adhesi) pada dinding pembuluh darah serta diapedesis hingga akhirnya bisa mencapai lokasi infeksi yang dituju. Sitokin ini juga menginduksi perubahan sifat endotel ke arah protrombotik dan antifibrinolisis. Ekspresi tromboonodulin menurun dan ekspresi molekul protrombotik faktor jaringan (tisssue factor = TF) dan molekul antifibrinolitik plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1). Trombus yang terbentuk akan mengisolasi infeksi serta memungkinkan terjadinya remodeling vaskuler hingga respon sitokin proinflamasi berakhir dan kembali pada kondisi antitrombotik dan profibrinolitik (setelah infeksi berhasil diatasi) (gambar 2.4.1;2.4.2)6Gambar 2.4.1. Patogenesis sepsis dan kegagagalan multiorgan7

Gambar 2.4.2 Aktifasi sel imunokompeten melepaskan sitokin dan diapedesis menembus endotel yang teraktifasi yang bersifat protrombotik/antifibrinolisis.Pelepasan sitokin dan mediator memperantarai terjadinya disfungsi organ. ARDS : acute respiratory distress syndrome;DIC : disseminated intravascular coagulation; E-selectin : endothelial selectin ; ICAM : intercellular adhesion molecule; PAI-1: plasminogen activator inhibitor type-1; VCAM: vascular adhesion molecule6

Ketika aktifasi sel imunokompeten tidak efektif dalam mengeradikasi infeksi dan membersihkan antigen, respon inflamasi menjadi semakin tidak terkontrol dan terjadi injuri berbagai organ secara sistemik (gambar 2.4.3). Meningkatnya TNF-( dan NO pada sel otot jantung akan menyebabkan disfungsi miokard dan kolaps kardiovaskuler. Peroksinitrit (ONOO-) dapat menimbulkan kerusakan DNA serta mengaktifkan poly ADP-ribose synthetase (PARS) yang akan mengurangi kadar nicotinamide adenin dinucleotide (NAD+) dan ATP yang akan menimbulkan kegagalan produksi energi seluler.6

Aktifitas trombosis dan antifibrinolitik berlangsung secara sistemik. Molekul antitrombotik termasuk protein C dan antitrombin III terus menerus dikonsumsi diikuti pelepasan TF dan PAI-1 secara sistemik. Pada suatu titik, konsumsi faktor-faktor prokoagulan ini akan berada pada satu titik dimana trombosis akan diikuti dengan perdarahan karena tidak cukupnya faktor pembekuan di sirkulasi.1,6

Teraktifasinya sel-sel imunokompeten secara terus menerus juga akan menyebabkan meningkatnya kadar sitokin antiinflamasi. Respon TH2 yang diinduksi oleh IL-10 juga akan menurun, sehingga kemampuan sel imun untuk mengeradikasi infeksi juga akan menurun. Sel imunokompeten yang mengalami overaktifasi juga akan melepaskan Fas dan ligan Fas. Fas pada sirkulasi akan mencegah apoptosis sel-sel imunokompeten sehingga inflamasi akan terus berlanjut, sedangkan ligan Fas akan menyebabkan apoptosis pada sel hati. Inflamasi yang berlangsung secara terus-menerus tapi inefektif dalam melokalisir infeksi inilah yang akan menyebabkan kegagalan organ secara sistemik.6

Gambar 2.4.3 Inflamasi tak terkontrol dan kegagalan organ multipel terjadi ketika agen infeksi tidak dapat dieliminasi. Jika TF dapat dinetralisir oleh TF inhibitor, akan mengaktifkan faktor VII yang akan menyebabkan koagulopati konsumtif. Karena aktifitas von Willebrand factor (vWF) cleaving protease yang rendah, multimer vWF yang berukuran besar dari sel endotel yang mengalami injuri tidak mengalami proteolisis dan menyebabkan konsumsi trobosit mikrovaskuler dan trombosis. Nitrit oksid (NO) dan radikal peroksinitrit (ONOO-) akan menyebabkan kerusakan DNA. Aktifasi poly ADP-ribose syntethase (PARS) akan memperbaiki DNA akan tetapi sel dalam kondisi defisiensi energi akibat berkurangnya nicotinamide adenine dinucleotide (NAD+) dan ATP. Proses ini akan menghambat fungsi sel endotel, epitel dan sel inflamasi. Sitokin antiinflamasi akan mengurangi kemampuan sel monosit/makrofag dalam menyajikan antigen dan mengeradikasi kuman, sedangkan sFas akan mencegah apoptosis sel imunokompeten tapi dengan respon inflamasi yang juga tidak efektif. ATIII, antithrombin III; IL-6, interleukin-6; IL-10, interleukin-10; NO, nitric oxide; ONOO--, radikal peroksinitrit; PAI-1, plasminogen activator inhibitor tipe-1; TF, tissue factor; vWF, von Willebrand factor6

Sepsis, yang berkembang menjadi suatu syok septik dan kegagalan multiorgan, didasari oleh suatu inflamasi yang tak terkontrol. Pada studi yang dilakukan oleh Carcillo, et al (2003) dari 150 anak dengan sepsis yang telah sedikitnya mengalami kerusakan 3 sistem organ dan berlangsung setidaknya selama 3 hari didapatkan adanya peningkatan IL-6 yang berkaitan dengan peningkatan NO, IL-10, ICAM dan VCAM, Fas, ligan Fas (sepsis akibat virus dan penyakit limfoproliferatif ), aktifitas PAI-1, aktifitas TF (hanya pada DIC) dan procalcitonin (sepsis akibat bakteri). Akan tetapi kadar defensin, sebagai petanda aktifitas PMN justru tidak didapatkan peningkatan. Melimpahnya kadar NO berikut radikal peroksinitrit juga akan menghambat aktifitas sitokrom P-450 serta konsumsi oksigen. Inhibisi ini dapat dihambat oleh NO synthetase inhibitor dan replesi NAD, sehingga metabolisme obat pada hepar dapat dipertahankan.6 2.5 Manifestasi klinis

Pengenalan dini terjadinya sepsis tidak selalu mudah. Harus selalu diduga adanya sepsis berat jika didapatkan kondisi anak yang letargis dengan waktu pengisian kapiler yang cepat. Beberapa manifestasi klinis yang khas, seperti rash menunjukkan kemungkinan suatu meningokoksemia. Perubahan pada berbagai organ dapat segera nampak antara lain perubahan sistem kardiovaskuler, sistem respirasi, sistem syaraf, ginjal dan kulit.1,3,10

Perubahan kardiovaskuler sangat nyata terlihat pada keadaan syok septik; terjadi perubahan denyut jantungtakikardi atau bradikardi, serta perubahan kapasitas perfusi jaringan. Hipotensi ditemukan pada fase yang sudah lanjut dan menandakan syok yang sudah dekompensata. Kondisi awal syok / warm shock ditunjukkan dengan anak yang demam, hangat, warna kulit kemerahan disertai takikardi dan takipnea. Pelepasan sitokin inflamasi akan menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik yang akan menyebabkan rendahnya tekanan darah diastolik. Pada pemeriksaan fisik, ditunjukkan dengan melebarnya tekanan nadi. Cold shock merupakan suatu kondisi yang menyerupai syok hipovolemik berat atau syok kardiogenik. Nadi teraba lemah, ujung ekstremitas dingin dengan perfusi yang menurun. Pasien sepsis akan berada pada kondisi ini jika mekanisme kompensasi telah gagal akibat depresi fungsi miokard dan respon katekolamin karena defisiensi relatif kortisol dan vasopresin.3,10

Pada sistem respirasi dijumpai takipnea, yang dapat terjadi akibat penyakit primer pada saluran pernafasan maupun respon terhadap asidosis metabolik. Pada awalnya akan ditemukan alkalosis respiratorik primer yang selanjutnya akan berlanjut menjadi hipoksemia dan asidosis respiratorik seiring dengan perburukan sepsisnya.3,12

Perubahan status neurologis, fungsi ginjal dan warna kulit merupakan pertanda adanya suatu hipoperfusi pada organ perifer. Hipoperfusi ke otak ditunjukkan dengan pasien yang mulai gelisah, agitasi hingga koma. Penurunan fungsi ginjal pada awalnya ditunjukkan dengan berkurangnya produksi urine yang jika berlanjut dapat menyebabkan gagal ginjal akut dan asidosis laktat. Sedangkan di kulit dapat terlihat adanya pemanjangan waktu pengisian kapiler, penurunan turgor, ganggren perifer (pada infeksi P.aeroginosa), ptekie dan purpura jika didapatkan kondisi DIC.1,3,12

Pasien dengan komorbiditas sebelumnya dapat menunjukkan tanda dan gejala yang tidak lazim. Misalnya pada pasien dengan hipertensi pulmonal dapat berkembang menjadi krisis hipertensi pulmonal dengan gagal jantung kanan yang berat. Pasien dengan single ventricle dapat menunjukkan hipoksemia berat akibat berkurangnya aliran balik darah ke jantung karena vasodilatasi perifer yang hebat. Pasien dengan transplantasi organ dapat menunjukkan kegagalan fungsi pada organ transplant.122.6 Diagnosis

Diagnosis sepsis harus ditegakkan bila pada penderita penyakit infeksi ditemukan keadaan toksik berupa hipotermia, hipertermia, takikardi, hiperventilasi, letargi, agitasi dan gangguan perfusi. Dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti dapat ditemukan adanya faktor resiko untuk sepsis, infeksi primer dan bahkan dapat ditemukan fokus infeksi yang mendasari timbulnya sepsis.1 Pada dekade terakhir, diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan guideline konsensus yang dibuat pada tahun 1991, sebagai infeksi dan tanda dan gejala Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS). Pada tahun 2001, metode tersebut dianggap kurang oleh 71% klinisi responden. Procalcitonin (PCT) dan C-reactive Protein (CRP) kemudian ditambahkan sebagai biomarker untuk sepsis. Rekomendasi utama panel tersebut adalah implementasi Predisposition, Insult Infection, Response and Organ Dysfunction (PIRO) Staging System (Gambar 5).11

Gambar 2.6. Rencana Pilihan Terapi sesuai PIRO Berdasarkan Karakteristik Pasien11

Beberapa polimorfisme gen penyandi TNF-(, TNF-(, IL-1(, IL-1(, IL-1ra dan IL-10 terkait dengan kerentanan/ketahanan individu terhadap sepsis.11Bukti adanya infeksi ditunjukkan dengan adanya pertumbuhan kuman pada kultur darah, urine, cairan serebrospinal atau sekret bronkhial/sputum. Biakan darah berulang hendaknya dilanjutkan dengan tes kepekaan kuman. Pemeriksaan hapus darah tepi, urinalisis dan foto thorax juga merupakan pemeriksaan standar untuk mencari fokus infeksi. Pemeriksaan sitologi, kimia dan kultur cairan serebrospinal dilakukan bila ada indikasi. Deteksi biomarker yang dipakai pada sepsis meliputi sitokin (TNF-(, IL-6, IL-1ra, IL-8, IL-12, IL-10), petanda permukaan (CD13-HLADR, HLA-G5, HLA-DR), petanda apoptosis (Fas/Apo-1, Gas6, TNFRI, Fas/FasL), petanda koagulasi (vWF, PAI-1, thrombopoietin, analisis aliran aPTT, AT), petanda reseptor terlarut (sIL-2R, sCD163, s-TNF-R, TNF-R p55), protein fase akut (C-reactive protein, procalcitonin, pentraxin 3, endothelin-1), juga petanda non spesifik lain seperti ICAM-1, MBL (mannan binding lectin) dan HDL (high density lipoprotein).1,7,11,13,14

Pada keadaan sindrom sepsis dan syok septik diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pengukuran kadar asam laktat, analisis gas darah, kadar elektrolit darah, tes fungsi hati dan ginjal dan faktor pembekuan. Metode pencitraan dilakukan atas pertimbangan klinis meliputi CT scan atau MRI. Ekokardiografi dapat dilalukan dalam rangka mencari fokus infeksi maupun untuk menilai respon kontraktilitas jantung terhadap resusitasi cairan.1,72.7 Tatalaksana

Prinsip utama dalam tatalaksana sepsis dan syok septik meliputi pengendalian infeksi, memperbaiki perfusi jaringan melalui resusitasi cairan dan farmakoterapi kardiovaskuler, mempertahankan fungsi respirasi secara efisien, renal support untuk mencegah gagal ginjal akut, kortikosteroid hingga penggunaan obat non konvensional untuk mencegah pelepasan mediator yang berperanan dalan terjadinya syok dan disfungsi multiorgan. Pengendalian infeksi meliputi pemberian antibiotik inisial sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan (paling lambat dalam waktu 1 jam setelah diagnosis ditegakkan) serta sesegera mungkin mengambil sampel darah untuk kultur sebelum antibiotik inisial diberikan.1 Kultur dari alat invasif yang dipakai secara terus-menerus dalam 48 jam juga harus dikerjakan.16Antibiotik inisial yang diberikan harus berspektrum luas yang diperkirakan bisa mengatasi bakteri gram positif atau negatif yang paling sering menyebabkan sepsis. Bila telah didapatkan hasil biakan dan uji kepekaan, jenis antibiotik dapat dirubah sesuai dengan hasil biakan atau dipertahankan jika respon klinis membaik. Pada fase inisial antibiotik yang diberikan dapat berupa ampisilin (200 mg/kgBB/hari iv dalam 4 dosis) dikombinasikan dengan aminoglikosida (gentamisin 5-7 mg/kgBB/hari iv atau amikasin 15-20 mg/kgBB/hari iv atau netilmisin 5-6 mg/kgBB/hari/iv dalam 2 dosis). Kombinasi yang lain adalah ampisilin dosis 200 mg/kgBB/hari iv dalam 4 dosis dengan cefotaxime 100 mg/kgBB/hari iv dalam 3 dosis.1 Pada bayi usia > 1 bulan dapat diberikan kombinasi ceftriaxone 75 mg/kgBB (maksimal 2g) iv/io/im dosis tunggal dengan vancomycin 15 mg/kgBB/x (maksimal 1g) iv/io diberikan tiap 8 jam.15

Kombinasi antibiotik berspektrum luas lain yang dapat diberikan meliputi penisilin berspektrum luas, aminoglikosida dan vankomisin atau sefalosporin generasi ke-2 hingga ke-3, aminoglikosida dan vankomisin atau carbapenem, aminoglikosida dan vankomisin. Pada ketiga regimen kombinasi di atas aminoglikosida dapat digantikann oleh golongan fluorokuinolon. Sedangkan penggunaan cefalosporin generasi ke-3 (ceftriaxone) tidak direkomendasikan pada dugaan atau terbukti suatu infeksi Pseudomonas.16

Berbagai golongan antimikroba dapat digunakan sebagai kombinasi pada penderita dengan sepsis (tabel 2.7). Akan tetapi pada kondisi sepsis, agen antimiroba yang dipakai harus bersifat bakterisid. Antimikroba yang bersifat bakteriostatik seperti linezolid atau klindamisin hanya bersifat menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan eradikasi kuman masih tergantung pada ketahanan sistem imun penderita. Sementara agen antimikroba yang bersifat bakterisid akan langsung mengahancurkan bakteri tanpa memerlukan kontribusi sistem imun tubuh.16Tabel 2.7. Dosis antibiotik sesuai dengan kelas terapi yang dapat dipakai pada sepsis16

Penanganan sepsis yang telah jatuh dalam kondisi sepsis berat atau sepsis syok harus lebih agresif dengan sedapat mungkin mencapai target terapi sesuai dengan algoritma managemen dukungan hemodinamik pada anak dengan sepsis (gambar 2.7)12

Gambar 2.7. Algoritma dukungan hemodinamik pada bayi dan anak dengan syok septik. Target pada 1 jam pertama : pertahankan denyut jantung dalam batas normal, waktu pengisian kapiler ( 2 detik, tekanan darah normal dalam 1 jam pertama. Berikan oksigenasi dan ventilasi yang cukup. Jika target belum tercapai pertimbangkan perawatan di ruang intensif dengan target pertahankan tekanan perfusi normal (mean arterial pressure-central venous pressure) sesuai usia, saturasi O2 vena sentral > 70% dan CI > 3,3, < 6,0 L/min/m2. Hgb, hemoglobin; PICCO, pulse contour cardiac output; FATD, femoral arterial thermodilution; ECMO, extracorporeal membrane oxygenation; CI, cardiac index; CRRT, continuous renal replacement therapy; IV, intravena;IO, intraosseus; IM, intramuskular12

Dalam penangan sepsis berat dan syok septik target dalam 5 menit pertama harus dapat dikenali adanya syok meliputi penurunan kesdaran, ekstremitas yyang dingin dan lembab, pemanjangan waktu pengisian kapiler, nadi yang lemah (dengan perbedaan yang jelas kualitas nadi sentral dan perifer), produksi urin menurun dengan hipotensi. Sedemikian juga pasien harus sudah mendapatkan oksigenasi yang tepat dengan jalur akses intravena atau intraosseus untuk resusitasi cairan. Pasien yang masih menunjukkan tanda letargis, tidak responsif dengan pemberian oksigenasi masker serta ventilasi yang tidak adekuat diindikasikan untuk segera dilakukan intubasi. Indikasi lain untuk segera memulai intubasi meliputi hipotensi pada saat kedatangan atau selama terapi, kejang yang refrakter dengan 2 kali pemberian benzodiazepin, GCS < 8 serta adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Jika dalam tahap ini dibutuhkan intubasi maka dalam waktu 1 jam harus tercapai oksigenasi dengan ventilasi mekanik. Pemeriksaan laboratorium standar sudah harus dikerjakan meliputi : pemeriksaan darah lengkap, kultur darah, analisis gas darah, glukosa dan kalsium.15,17

Dalam 5-40 menit harus sudah diberikan resusitasi cairan isotonik 20 ml/kg secepatnya hingga maksimal 60 cc/kg, sampai dengan syok teratasi atau hingga ditemukannya tanda overload berupa ronkhi atau hepatomegali. Kebutuhan cairan dapat mencapai 200cc/kgBB pada syok septik awal (warm shock). Target hemodinamik yang harus sudah dicapai pada tahap ini meliputi frekuensi jantung yang normal, waktu pengisian kapiler < 2 detik, pulsasi arteri dorsalis pedis yang teraba dengan kualitas yang sama antara nadi perifer dan sentral, akral hangat, target tekanan darah sistolik dan tekanan nadi yang normal, produksi urine > 1 ml/kg/jam, derajat kesadaran membaik dengan laju pernafasan yang normal. Akses perifer berikutnya sebaiknya juga dicari untuk kemungkinan pemberian inotropik. Pada tahap ini antibiotik sudah harus diberikan, demikian juga hipoglikemia (dengan target minimal 60 mg/dl) dan hipokalsemia yang muncul harus sudah teratasi.15,17

Adanya tanda edema paru dan disfungsi miokard harus selalu dimonitor selama resusitasi cairan. Beberapa manifestasi klinis yang muncul meliputi adanya distress respirasi, munculnya batuk, grunting, retraksi, ronkhi atau wheezing serta penurunan saturasi, bradikardi, gallop, hipotensi, hepatomegali, agitasi, gelisah hingga rasa kehausan yang sangat. Foto rontgen dada dapat dilakukan untuk konfirmasi. Munculnya edema paru setelah resusitasi cairan memerlukan intubasi segera serta pemberian ventilasi tekanan positif dan akses vena sentral. Pada tahap ini dibutuhkan pemakaian obat-obat inotropik (tabel 2.7.1).15-17Tabel 2.7.1. Obat vasopresor yang dipakai pada terapi sepsis16

Pada 40-60 menit terapi cairan, sudah harus dikenali tanda syok yang refrakter terhadap cairan. Pada tahap ini dapat mulai digunakan dopamin intravena atau intraosseus dengan dosis 10 (g/kg/menit. Syok septik pada anak seringkali menyebabkan disfungsi miokard dan penurunan curah jantung. Karena itu dipilih kombinasi inotropik dengan efek vasopresor. Dopamin dengan atau tanpa kombinasi dengan dobutamin dapat dipakai pada tahap ini.15,17

Setelah 60 menit, jika syok belum juga membaik dengan pemberian dopamin maka dapat dikombinasi dengan titrasi epinefrin dosis 0,05-0,3 (g/kg/menit pada cold shock atau norepinefrin pada warm shock. Jika dengan kombinasi katekolamin secara adekuat masih belum didapatkan perbaikan maka penderita jatuh dalam syok refrakter katekolamin dan patut diduga terjadinya insufisiensi adrenal dan dapat diberikan hidrokortison 50 mg/m2/dosis setiap 6 jam.15,17

Manfaat pemberian kortikosteroid pada syok septik masih kontroversi. Kortikosteroid dinyatakan bermanfaat bila diberikan pada stadium dini sepsis, tetapi kortikosteroid harus diberikan bila ditemukan perdarahan kelenjar adrenal. Kortikosteroid yang diberikan dapat berupa metilprednisolon 30 mg/kgBB/dosis iv atau deksametason 3 mg/kgBB/dosis iv.1

Penanganan penderita syok septik membutuhkan monitoring ketat di ruang intensif. Dibutuhkan penilaian ulang status klinik pasien secara berkala, pemeriksaan darah lengkap dan analisis gas darah serial serta status volume darah dengan ekokardiografi maupun pengukuran CVP. Secara umum CVP yang rendah membutuhkan lebih banyak cairan, tekanan darah yang rendah membutuhkan peningkatan vasopresor, menurunnya kontraktilitas otot jantung membutuhkan peningkatan dosis inotropik serta hematokrit yang rendah membutuhkan transfusi komponen darah.15,172.7 Prognosis

Angka kematian masih cukup tinggi terutama pada keadaan syok septik. Pada keadaan ini angka kematian berkisar antara 40-70%, bila telah disertai gagal organ multipel seperti shock lung, gangguan fungsi hati dan gangguan fungsi ginjal kematian dapat mencapai 90-100%.123