bab ii sepsis

Upload: ernisimbolon

Post on 18-Jul-2015

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB II SEPSIS NEONATORUM

2.1 Definisi Sepsis pada bayi baru lahir adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasive dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sumsum tulang atau air kemih. Septikemia adalah penyakit sistemik yang berhubungan dengan adanya dan bertahannya mikroorganisme patogen atau toksinnya di dalam darah. Bakteremia adalah adanya bakteri di dalam darah. Viremia adalah adanya virus di dalam darah. Sejak adanya konsesus dari American College of Chest Physicians/ Society of Critical Care Medicine (ACCP/ SCCM) telah timbul berbagai istilah dan definisi di bidang infeksi yang banyak pula dibahas pada kelompok BBL dan penyakit anak. Istilah/ definisi tersebut antara lain: Sepsis merupakan sindrom respons inflamasi sistemik (Systemic Inflammatory Respons Syndrome SIRS) yang terjadi sebagai akibat infeksi bakteri, virus, jamur maupun parasit. Sepsis berat adalah keadaan sepsis yang disertai dengan disfungsi organ kardiovaskular dan gangguan napas akut atau terdapat gangguan dua organ lain (seperti gangguan neorologi, hematologi, urogenital, dan hepatologi). Syok sepsis terjadi apabila bayi masih dalam keadaan hipotensi walaupun telah mendapat cairan adekuat. Sindrom disfungsi multi organ terjadi apabila bayi tidak mampu lagi mempertahankan homeostasis tubuh sehingga terjadi perubahan fungsi dua atau lebih organ tubuh.4

Tabel 1. Terminologi dan definisi

Gambar 1. Hubungan SIRS, sepsis dan infeksi

5

2.2 Epidemiologi

Penelitian Nugrahani, dkk tahun 2005 di RS Dr. Sardjito Yogyakarta menyebutkan bahwa berdasarkan umur, proporsi bayi dengan sepsis yang berumur 0-7 hari adalah 77,2% sedangkan yang berumur > 7 hari adalah 22,8%. Berdasarkan jenis kelamin, proporsi bayi laki-laki dengan sepsis adalah 61,4% sedangkan bayi perempuan adalah 38,6%. Menurut Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq terdapat 22 bayi yang berumur < 7 hari (62,9%) meninggal akibat sepsis, dan terdapat 31 bayi yang berumur 7-28 hari (36,5%) meninggal akibat sepsis. Sepsis lebih sering terjadi pada bayi berkulit hitam daripada bayi berkulit putih, namun hal ini dapat dijelaskan berdasarkan tingginya insiden prematur, pecah ketuban, ibu demam, dan berat lahir rendah. Perbedaan kejadian sepsis neonatorum pada suku bangsa lebih dikaitkan dengan kebiasaan dan pola makan yang telah dianut oleh ibu dari bayi tersebut. Hal ini sangat berpengaruh pada kondisi gizi ibu yang kemudian berdampak pada keadaan bayi. Menurut Thirumoorthi dalam simposium penanggulangan infeksi pada kehamilan menyebutkan bahwa dari semua penderita sepsis awitan dini, sebanyak 54% terjadi pada bayi berkulit hitam dan dari semua penderita sepsis awitan lambat, sebanyak 65% juga terjadi pada bayi berkulit hitam. Insiden sepsis neonatorum di negara berkembang sangat bervariasi menurut waktu dan lokasi. Insiden yang bervariasi di berbagai rumah sakit tersebut dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan perinatal, persalinan, dan kondisilingkungan waktu perawatan. Penelitian Rasul tahun 2007 di Banglasdesh menyebutkan bahwa insiden infeksi perinatal yang tinggi yaitu 50-60% selama dua puluh tahun yang lalu mengalami penurunan menjadi 20-30% di negaranegara berkembang. Di India, berbagai studi menunjukkan bahwa kejadian bervariasi antara 10-20 per 1.000 kelahiran hidup. Dalam penelitian Jumah, dkk tahun 2007 di Iraq, CFR sepsis neonatus tinggi dilaporkan sekitar 44,2%, hasil yang sama dilaporkan di Basrah (Iraq) oleh Radhy H. pada tahun 2001 yaitu 43,5%, kemudian di Abha (Saudia Arabia) oleh Asindi A, dkk pada tahun 1999 diperoleh sebanyak 44% dan oleh Rodriguez-weber, dkk

6

di Mexico pada tahun 2003 sebanyak 43,9%. Sementara angka kematian sepsis neonatus rendah oleh peneliti lain seperti yang dilaporkan oleh Ezechukwze C, dkk di Nigeria pada tahun 2004 yaitu 19,3%, oleh Koutouby A, dkk di UAE (United Arab Emirates) pada tahun 1995 melaporkan sebanyak 26%, Stall B. di USA pada tahun 2002 melaporkan sebanyak 28% dan Dawodu A, dkk di AlDammam (Saudi Arabia) pada tahun 1997 melaporkan sebanyak 28%, perbedaan angka kematian sepsis neonatus ini di beberapa negara dapat dijelaskan oleh beberapa faktor seperti keadaan sosial ekonomi, keadaan geografi dan faktor ras, penggunaan ventilator dan inkubator, perbedaan mikroorganisme dan penggunaan antibiotik yang berbeda.

2.3 Klasifikasi Sepsis Neonatorum

Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis). Sepsis awitan dini (SAD) merupakan infeksi perinatal yang terjadi segera dalam periode pascanatal (kurang dari 72 jam) dan biasanya diperoleh pada saat proses kelahiran atau in utero.20 Incidence rate sepsis neonatorum awitan dini adalah 3,5 kasus per 1.000 kelahiran hidup dan 15-50% pasien tersebut meninggal. Sepsis awitan lambat (SAL) merupakan infeksi pascanatal (lebih dari 72 jam) yang diperoleh dari lingkungan sekitar atau rumah sakit (infeksi nosokomial). Proses infeksi pasien semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi horizontal. Angka mortalitas SAL lebih rendah daripada SAD yaitu kira-kira 1020%.7 SAD sering dihubungkan dengan infeksi intranatal, sedangkan SAL sering dihubungkan dengan infeksi postnatal terutama nosokomial.20 Tabel di bawah ini mencoba menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.

7

Tabel 2. Klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi

Tabel 3. Sepsis awitan dini dan sepsis awitan lanjut

8

2.4 Etiologi Tabel 4. Patogen penyebab infeksi bakteri

Tabel 5. Patogen penyebab infeksi jamur

Gambar 2. Etiologi sepsis neonatorum9

2.5 Patogenesis Selama dalam kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor anti infeksi dari cairan amnion. Infeksi pada neonatus dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas infeksi perinatal dapat digolongkan sebagai berikut:

2.5.1 Infeksi Antenatal. Infeksi antenatal pada umumnya infeksi transplasenta, kuman berasal dari ibu, kemudian melewati plasenta dan umbilikus dan masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi bayi. Infeksi bakteri antenatal antara lain oleh Streptococcus Group B. Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah toksoplasmosis, malaria dan sifilis. Pada dugaan infeksi tranplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga dilakukan skrining terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes). 2.5.2 Infeksi Intranatal Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens yaitu infeksi yang berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah dini maka kuman dari serviks dan vagina menjalar ke atas menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis, maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi. Selain itu korionitis menyebabkan amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini masuk ke traktus respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan infeksi disana. Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada saat melewati jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada umumnya infeksi ini adalah akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang menghasilkan warna merah pada pewarnaan Gram dan kandida. Menurut Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan.

10

Gambar 3. Infeksi akibat chorioamnionitis

2.5.3 Infeksi Pascanatal Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang diperoleh bayi dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi oleh alat-alat, sarana perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman penyebabnya terutama bakteri, yang sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif umumnya terjadi pada saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal. Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien. Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.

11

Lintas infeksi perinatal dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Lintas infeksi neonatus di dalam kandungan

2.6 Faktor Risiko Pada sepsis awitan dini faktor risiko dikelompokan menjadi: 1. Faktor Ibu a. Persalinan dan kelahiran kurang bulan b. Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam c. Chorioamnionitis d. Persalinan dengan tindakan e. Demam pada ibu (>38,40C) f. Infeksi saluran kemih pada ibu g. Faktor sosial-ekonomi dan gizi ibu 2. Faktor Bayi a. Asfiksia perinatal b. Berat lahir rendah c. Bayi kurang bulan d. Prosedur invasive e. Kelainan bawaan

12

Semua faktor diatas sering kita jumpai dalam praktek sehari-hari dan sampai saat ini masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak perubahan dalam dekade ini. Berlainan dengan awitan dini,pada pasien awitan lambat, infeksi terjadi karena sumber infeksi yang berasal dari lingkungan tempat perawatan pasien. Keadaan ini sering ditemukan pada bayi yang dirawat di ruang intensif BBL, bayi kurang bulan yang mengalami lama rawat, nutrisi parenteral yang berlarut-larut, infeksi yang bersumber dari alat perawatan bayi, infeksi nosokomial atau infeksi silang dari bayi lain atau dari tenaga medik yang merawat bayi. Faktor risiko awitan dini maupun awitan lambat in walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan perhatian khusus terutama bila disertai gejala klinis. Hal ini akan meningkatkan identifikasi dini dan tata laksana yang lebih efisien pada sepsis neonatal sehingga dapat memperbaiki mortalitas dan morbiditas pasien.

2.7 Gejala Klinis Gejala klinik infeksi sistemik pada neonatus tidak spesifik dan seringkali sama dengan gejala klinik gangguan metabolik, hematologik dan susunan saraf pusat. Peningkatan suhu tubuh jarang terjadi dan bila ada umumnya terdapat pada bayi

13

cukup bulan. Hipotermia lebih sering ditemukan daripada hipertermia. Leukosit pada neonatus mempunyai rentang yang luas yaitu antara 4.000 s/d 30.000 per mm3. Pada sepsis awitan dini janin yang terkena infeksi mungkin menderita takikardi, lahir dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar yang rendah. Setelah lahir, bayi terlihat lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Gangguan fungsi organ tersebut antara lain kelainan susunan saraf pusat seperti letargi, refleks isap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry dan bayi menjadi iritabel serta mungkin disertai kejang. Kelainan kardiovaskular seperti hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy skin. Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologic, gastronintestinal ataupun gangguan respirasi seperti perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnu, apnu, merintih dan retraksi. Manifestasi gambaran klinis tersebut sangat bergantung pada beratnya gangguan yang terjadi pada masing-masing organ. Tabel 6. Gejala umum sepsis

14

Tabel 7. Gambaran klinis disfungsi multiorgan pada bayi Gangguan organ Kardiovaskular Gambaran klinis Tekanan darah sistoloki < 40 mmHg Denyut jantung < 50 atau > 220/ menit Terjadi henti jantung pH darah < 7,2 pada PaCO2 normal kebutuhan akan inotropik untuk mempertahankan tekanan darah normal Saluran napas Frekuensi napas > 90/ menit PaCO2 > 65 mmHg PaO2 < 40 mmHg Memerlukan ventilasi mekanik FiO2 < 200 tanpa kelainan jantung sianotik Sistem hematologic Hb < 5 g/dl WBC < 3000 sel/ mm3 Trombosit < 20.000 D-dimer > 0,5 g/ml pada PTT > 20 detik atau waktu tromnoplastin > 60 detik SSP Gangguan ginjal Kesadaran menurun disertai dilatasi pupil Ureum > 100 mg/dL Creatinin > 20 mg/ dL Gastroenterology Perdarahan gastronintestinal disertai dengan penurunan Hb > 2 g%, hipotensi, perlu transfuse darah atau operasi gastrointestinal Hepar Bilirubin total > 3 mg%

15

Gambar 5. Sepsis pada kulit bayi karena infeksi bakteri dan jamur dari jalan lahir

2.8 Diagnosis Diagnosis dini sepsis neonatal penting artinya dalam penatalaksanaan dan prognosis pasien. Keterlambatan diagnosis berpotensi mengancam kelangsungan hidup bayi dan memperburuk prognosis pasien. Seperti telah dikemukakan terdahulu, diagnosis sepsis neonatal sulit karena gambaran klinis pasien tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang ditemukan pada anak lebih besar jarang ditemukan pada BBL. Tanda dan gejala sepsis neonatal tidak berbeda dengan gejala penyakit non infeksi berat lain pada BBL. Selain itu, tidak ada satupun pemeriksaan penunjang yang dapat dipakai sebagai pegangan tunggal dalam diagnosis pasti pasien sepsis. Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa

perkembangan. Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4 variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan variabel inflamasi.

16

Tabel 8. Kriteria diagnosis sepsis pada neonatus menurut The International Sepsis Forum

Tabel 9. Kriteria klinis diagnosis sepsis menurut IMCI dan WHO

17

18

2.9 Pemeriksaan Penunjang Bervariasinya gejala klinik dan gambaran klinis yang tidak seragam menyebabkan kesulitan dalam menentukan diagnosis pasti. Untuk hal itu pemeriksaan penunjang baik pemeriksaan laboratorium ataupun pemeriksaan khusus lainnya sering dipergunakan dalam membantu menegakkan diagnosis. Upaya inipun tampaknya masih belum dapat diandalkan. Sampai saat ini pemeriksaan laboratorium tunggal yang mempunyai sensitifitas dan spesifisitas tinggi sebagai indicator sepsis, belum ditemukan. Dalam penentuan diagnosis, interpretasi hasil laboratorium hendaknya memperhatikan faktor risiko dan gejala klinis yang terjadi. Seperti diungkapkan sebelumnya, diagnosis infeksi sistemik sulit ditegakkan apabila hanya berdasarkan riwayat pasien dan gambaran klinis saja. Untuk hal tersebut perlu dilakukan pemeriksaan penunjang yang dapat membantu konfirmasi diagnosis. Pemeriksaan penunjang tersebut dapat berbentuk pemeriksaan laboratorium maupun pemeriksaan khusus lainnya. Langkah tadi disebut Septic work up dan termasuk dalam hal ini pemeriksaan biakan darah. Hasil biakan sampai saat ini masih menjadi baku emas dalam menentukan diagnosis, tetapi hasil pemeriksaan membutuhkan waktu minimal 2-5 hari. Interpretasi hasil kultur perlu pertimbangan hati-hati khususnya bila kuman yang ditemukan berlainan jenis dari kuman yang biasa ditemukan di klinik tersebut. Selain itu hasil kultur dipengaruhi pula oleh kemungkinan pemberian antibiotika nosokomial. Untuk mengenal kelompok kuman penyebab infeksi secara lebih cepat dapat dilakukan pewarnaan Gram. Tetapi cara ini tidak mampu menetapkan jenis kuman secara spesifik. Pemeriksaan lain dalam septic-work up tersebut adalah pemeriksaan komponen-komponen darah. Pada sepsis neonatal trombositopenia dapat sebelumnya atau adanya kemungkinan kontaminasi kuman

19

ditemukan pada 10-60% pasien. Jumlah trombosit biasanya 100.000 dan terjadi pada 1-3 minggu setelah diagnosis sepsis ditegakkan. Sel darah putih dianggap lebih sensitive dalam menunjang diagnosis ketimbang hitung trombosit. 60% pasien sepsis biasanya disertai perubahan hitung neutrofil. Rasio antara neutrofil imatur dan neutrofil total (rasio I/T) sering dipakai sebagai penunjang diagnosis sepsis neonatal. Sensitifitas rasio I/T ini 6090%, karenanya untuk diagnosis perlu disertai kombinasi dengan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang lainnya. C-reaktif protein (CRP), yaitu protein yang timbul pada fase akut kerusakan jaringan, meningkat pada 50-90% pasien sepsis neonatal. Peninggian kadar CRP ini terjadi 24 jam setelah terjadi sepsis, meningkat pada hari ke 2-3 sakit dan menetap tinggi sampai infeksi teratasi. Karena protein ini dapat meningkat pada berbagai kerusakan jaringan tubuh, pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indicator tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal. Nilai CRP akan lebih bermanfaat bila dilakukan secara serial karena dapat memberikan informasi respons pemberian antibiotika serta dapat pula dipergunakan untuk menentukan lamanya pemberian pengobatan dan kejadian kekambuhan pada pasien dengan sepsis neonatal. Dari bahasan diatas terungkap bahwa pemeriksaan CRP dan beberapa komponen darah lain seperti rasio I/T, kadar trombosit darah dll yang dipakai sebagai penunjang diagnosis dini mempunyai kemampuan yang terbatas. Di lain pihak diagnosis dini sepsis merupakan faktor penentu dalam keberhasilan penatalaksanaan sepsis neonatal. Salah satu upaya yang dilakukan akhir-akhir ini dalam menentukan diagnosis dini sepsis adalah pemeriksaan biomolekular. Dibandingkan dengan biakan darah, pemeriksaan ini dilaporkan mampu lebih cepat memberikan informasi jenis kuman. Di beberapa kota besar di Inggris, pemeriksaan cara ini telah dilakukan pada semua fasilitas laboratorium untuk deteksi kuman tertentu antara lain N. meningitides dan S. pneumonia. Selain manfaat untuk deteksi dini, Polymerase

20

Chain Reaction (PCR) mempunyai kemampuan pula untuk menentukan prognosis pasien sepsis neonatal. Dalam 5-10 tahun terakhir ini konsep Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dalam bidang infeksi telah memberikan cakrawala baru dalam masalah diagnostic sepsis neonatal. Perubahan fisiologik sistem imun, baik humoral maupun seluler, yang terjadi dalam cascade inflamasi mempunyai arti penting dalam diagnosis infeksi BBL. Kadar sitokin, proinflamasi (IL-2, IL-6, IFN-g, TNF-) dan anti inflamasi (IL-4, IL-10) pada BBL tersebut akan terlihat meningkat pada bayi dengan infeksi sistemik. Kuster dkk melaporkan bahwa sitokin yang beredar dalam sirkulasi pasien sepsis neonatal dapat dideteksi 2 hari sebelum gejala klinis sepsis muncul. Pelaporan ini mempunyai arti yang penting dalam manajemen pasien. Pada bayi dengan risiko dimungkinkan merencanakan penatalaksanaan sepsis secara lebih efisien dan efektif sehingga komplikasi jangka panjang yang mengganggu tumbuh kembang bayi dapat dihindarkan. Kedua pemeriksaan terakhir, pemeriksaan biomolekuler maupun respons imun, memerlukan teknologi kedokteran yang lebih canggih dan biaya mahal yang mungkin belum bisa terjangkau oleh sebagian besar negara berkembang. Dari riwayat penyakit, gejala klinik, pemeriksaan penunjang ataupun pemeriksaan laboratorium tampaknya belum ada informasi tunggal yang dapat dipaaki sebagai indicator sepsis sehingga perlu dipertimbangkan kombinasi berbagai informasi dalam menentukan diagnosis. Di berbagai negara, baik negara maju maupun negara berkembang, banyak upaya dilakukan dengan mempergunakan bermacam-macam kombinasi antara faktor risiko, gejala klinik dan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis dini pasien sepsis neonatal. Ketajaman diagnosis dengan cara ini juga berlain-lainan. Upaya pendekatan melalui scoring system mungkin merupakan jalan pintas terbaik yang dapat digunakan bila pemeriksaan canggih seperti yang disebutkan terdahulu belum dapat dilaksanakan di masing-masing klinik.

21

2.10 Penatalaksanaan Eliminasi kuman merupakan pilihan utama dalam manajemen sepsis neonatal. Pada kenyataannya menentukan kuman secara pasti tidak mudah dan membutuhkan waktu. Untuk memperoleh hasil yang optimal pengobatan sepsis harus cepat dilaksanakan. Sehubungan dengan hal tersebut pemberian antibiotika secara empiris terpakasa cepat diberikan untuk menghindarkan berlanjutnya perjalanan penyakit. Pemberian antibiotika empiris tersebut harus memperhatikan pola kuman penyebab yang sering ditemukan di klinik tadi. Selain pola kuman hendaknya memperhatikan pula resistensi kuman. Segera setelah ditemukan hasil kultur darah, jenis antibiotika yang dipakai disesuaikan dengan kuman penyebab dan pola resistensinya. Pemberian pengobatan pasien biasanya dengan memberikan antibiotic kombinasi yang bertujuan untuk memperluas cakupan mikroorganisme pathogen yang mempunyai sensitifitas yang baik terhadap kuman Gram positif ataupun Gram negative. Tergantung pola dan resistensi kuman di masing-masing rumah sakit biasanya antibiotic yang dipilih adalah golongan ampisilin/ kloksasilin/ vankomisin dan golongan amoniglikosid/ sefalosporin. Lamanya pengobatan sangat tergantung kepada jenis kuman penyebab. Pada penderita yang disebabkan oleh kuman Gram positif, pemberian natibiotik dianjurkan selama 10-14 hari, sedangkan penderita dengan kuman Gram negative pengobatan dapat diteruskan sampai 2-3 minggu. 2.10.1 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan dini Pada bayi dengan sepsis awitan dini, terapi empirik harus meliputi Streptococcus Group B, E. coli, dan Lysteria monocytogenes. Kombinasi penisilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai aktivitas antimokroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme penyebab sepsis awitan dini. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas antibakteri.

22

2.10.2 Pemilihan antibiotik untuk sepsis awitan lambat Kombinasi pensilin dan ampisilin ditambah aminoglikosida juga dapat digunakan untuk terapi awal sepsis awitan lambat. Pada kasus infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti staphylococcus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi awal. Pemberian antibiotik harusnya disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan neonatus. Tabel 10. Pemilihan antibiotik

23

Tabel 11. Rute, Dosis dan Frekuensi Antibiotik yang sering digunakan

24

Tabel 12. Durasi penggunaan antibiotic

Tabel 13. Pengobatan infeksi jamur

25

2.11 Pengobatan Tambahan Walaupun pemberian antibiotic masih merupakan tatalaksana utama

pengobatan sepsis neonatal, berbagai upaya pengobatan tambahan (adjunctive therapy, adjuvant therapy) banyak dilaporkan dalam upaya memperbaiki mortalitas bayi. Pengobatan tambahan atau terapi inkonvensional semacam ini selain mengatasi berbagai defisiensi dan belum matangnya fungsi pertahanan tubuh BBL, juga dalam rangka mengatasi perubahan yang terjadi dalam perjalanan penyakit dan cascade inflamasi pasien sepsis neonatal. Beberapa terapi inkonvensional yang sering diberikan antara lain: 1. Pemberian immunoglobulin secara intravena (Intravenous

Immunoglobulin - IVIG). Pemberian immunoglobulin dilakukan dengan harapan dapat

meningkatkan antibody tubuh serta memperbaiki fagositosis dan kemotaksis sel darah putih. Manfaat pemberian IVIG sebagai tatalaksana tambahan pada penderita sepsis neonatal masik kontroversi. Penurunan mortalitas ditemukan secara bermakna pada suatu penelitian tetapi pada penelitian lain IVIG tidak memperlihatkan perbedaan. Suatu studi multisenter memperlihatkan terdapat penurunan mortalitas neonatal sepsis pada 7 hari pertama pemberian, tetapi kelangsungan hidup selanjutnya tidak berbeda bermakna. Dalam suatu studi metaanalisa yang dilakukan terhadap 4933 bayi yang mendapatkan profilaksis IVIG dan 110 bayi menerima IVIG sebagai terapi sepsis dilaporkan bahwa pemberian IVIG tersebut lebihbermanfaat sebagai profilaksis sepsis neonatal (khususnya pada bayi BBLR) dibandingkan bila dipakai sebagai terapi standar sepsis. 2. Pemberian Fresh Frozen Plasma (FFP) Perubahan hematologic dan gangguan koagulasi ditemukan pula pada perjalanan penyakit sepsis neonatal. Pemberian FFP diharapkan dapat mengatasi gangguan koagulasi yang diderita pasien. Salah satu gangguan

26

koagulasi yang mungkin ditemukan antara lain Pembekuan intravascular menyeluruh (Disseminated Intravascular Coagulation - DIC). Di samping faktor koagulasi, FFP juga mengandung antibody, komplemen, dan protein lain seperti C-reactive protein dan fibronectin. Walaupun FFP

mengandung antibody protektif tertentu namun pemberian FFP dengan tujuan meningkatkan kadar proteksi bayi, tidak akan banyak faedah. Dalam suatu studi bahkan dilaporkan bahwa FFP pada kenyataannya hanya meningkatkan IgA dan IgM bayi dapat meningkatkan kadar IgG. Selanjutnya dikemukakan dengan tersedianya gammaglobulin intravena (Intravena Immunoglobulin - IVIG), pemberian IVIG ini akan jauh lebih aman dalam menghilangkan efek samping pemberian FFP. 3. Tindakan Transfusi Tukar Tindakan ini merupakan terapi tambahan yang tidak jarang dilakukan pada beberapa klinik dalam menganggulangi sepsis neonatal. Tindakan ini bertujuan untuk: a. Mengeluarkan/ mengurangi toksin atau produk bakteri serta mediatormediator penyebab sepsis. b. Memperbaik perfusi perifer dan pulmonal dengan meningkatkan kapasitas oksigen dalam darah. c. Memperbaiki sistem imun dengan adanya tambahan neutrofil dan berbagai antibody yang mungkin terkandung dalam darah donor. 2.12 Penatalaksanaan Tambahan Lain Selain beberapa upaya di atas berbagai tatalaksana lain dilakukan pula dalam rangka mengatasi mortalitas dan morbiditas sepsis neonatal. Pemberian transfuse granulosit dikemukakan dapat memperbaiki pengobatan pada penderita. Hal ini dilakukan karena produksi dan respons fungsi sel darah putih yang menurun pada keadaan sepsis neonatal. Demikian pula pemberian transfuse packed red blood cells dikemukakan dapat bermanfaat dalam terapi sepsis neonatal. Alasan yang dikemukakan dalam pemberian transfuse ini adalah untuk mengatasi keadaan anemia dan menjamin oksigenasi jaringan yang optimalpada pasien sepsis. Dalam

27

kepustakaan berbagai penelitian eksperimental maupun studi klinis saat ini banyak dilakukan untuk menghambat cascade inflamasi dengan mempertimbangkan proses imunologik yang terjadi. Dalam suatu studi eksperimental pada hewan coba, penyuntikan TNF- dan IL-1 memperlihatkan perubahan fisiologis yang sejalan dengan cascade inflamasi. Selanjutnya apabila dilakukan rintangan aktifitas IL-1 dengan reseptor antagonis IL-1 (IL-1ra) ternyata dapat melindungi binatang dari kematian akibat bakterimia dan endotoksemia.

2.13 Komplikasi Komplikasi sepsis neonatorum antara lain: 1. Meningitis 2. Neonatus dengan meningitis dapat menyebabkan terjadinya hidrosefalus dan/atau leukomalasia periventrikular 3. Pada sekitar 60 % keadaan syok septik akan menimbulkan komplikasi acut respiratory distress syndrome (ARDS). 4. Komplikasi yang berhubungan dengan penggunaan aminoglikosida, seperti ketulian dan/atau toksisitas pada ginjal. 5. Komplikasi akibat gejala sisa atau sekuele berupa defisit neurologis mulai dari gangguan perkembangan sampai dengan retardasi mental 6. Kematian

2.14 Pencegahan Sepsis Neonatorum

2.14.1 Pencegahan Primordial Primordial prevention (pencegahan awal) ini dimaksudkan untuk memberi kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit itu tidak mendapat dukungan dari kebiasaan, gaya hidup dan faktor risiko lainnya. Bentuk pencegahan ini berupaya untuk mencegah munculnya faktor predisposisi terhadap masyarakat khususnya ibu dan wanita usia produktif terhadap faktor risiko terjadinya sepsis pada bayinya.

28

Upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah sepsis neonatorum sebagai pencegahan primordial adalah: a. Mengatur pola makan sehat dan bergizi dalam jenis dan jumlah yang cukup pada ibu untuk mempertahankan daya tahan tubuh serta menjaga kebesihan diri sehingga terhindar dari penyakit infeksi. b. Meningkatkan pengetahuan ibu tentang pentingnya pemeriksaan saat hamil (Antenatal Care) dengan cara mencari informasi melalui buku, televisi atau media massa lainnya. c. Tidak melahirkan pada usia ibu risiko tinggi, seperti usia kurang dari 20 tahun atau lebih dari 35 tahun agar tidak berisiko melahirkan bayi prematur dan bayi dengan berat badan lahir rendah.

2.14.2 Pencegahan Primer Pencegahan primer meliputi segala bentuk kegiatan yang dapat menghentikan kejadian suatu penyakit atau gangguan sebelum hal itu terjadi. Pencegahan primer juga diartikan sebagai bentuk pencegahan terhadap terjadinya suatu penyakit pada seseorang dengan faktor risiko. Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan primer terhadap kejadian sepsis neonatorum adalah: a. Mewujudkan Pelayanan Kebidanan yang Baik dan Bermutu Bidan memegang peranan penting dalam upaya meningkatkan kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mewujudkan pelayanan kebidanan yang baik dan bermutu antara lain: i. Semua wanita hamil mendapat kesempatan dan menggunakan kesempatan untuk menerima pengawasan serta pertolongan dalam kehamilan, persalinan, dan nifas. ii. iii. Pelayanan yang diberikan bermutu. Walaupun tidak semua persalinan berlangsung di rumah sakit, namun ada kemungkinan untuk mendapat perawatan segera di rumah sakit jika terjadi komplikasi. iv. Diwajibkan bersalin di rumah sakit untuk:

29

1.

Wanita

dengan

komplikasi

obstetrik

(panggul

sempit,

preeklampsia-eklampsia, kelainan letak, dll). 2. Wanita dengan riwayat obstetrik yang jelek (perdarahan postpartum, kematian janin sebelum lahir, dll). 3. 4. Jarak kelahiran 5 tahun. Wanita hamil dengan penyakit umum, seperti penyakit jantung, diabetes, dll. 5. 6. 7. 8. Wanita dengan kehamilan ke-4 atau lebih. Wanita dengan umur 35 tahun ke atas dan kurang dari 20 tahun Primigravida (wanita yang hamil untuk pertama kali) Wanita dengan keadaan di rumah yang tidak memungkinkan persalinan dengan aman. 9. Tinggi badan 24 minggu. d. Mencuci tangan Dalam lingkungan perawatan kesehatan, tangan merupakan salah satu syarat penularan yang paling efisien untuk infeksi nosokomial. Oleh Karena itu, mencuci tangan menjadi metode pencegahan dan

pengendalian yang paling penting. Tujuan mencuci tangan adalah untuk menurunkan bioburden (jumlah mikroorganisme) pada tangan dan untuk mencegah penyebarannya ke area yang tidak terkontaminasi, seperti pasien, tenaga perawatan kesehatan (TPK) dan peralatan. Tenaga perawatan diharuskan mencuci tangan sebelum dan setelah memegang bayi untuk menghindari terjadinya infeksi pada bayi tersebut. Mencuci tangan yang kurang tepat menempatkan baik pasien dan tenaga perawatan kesehatan pada risiko terhadap infeksi atau penyakit. Tenaga perawatan kesehatan yang mencuci tangan kurang adekuat memindahkan organisme-organisme seperti Staphylococcus, Escheriscia coli,

Pseudomonas, dan Klebsiella secara langsung kepada hospes yang rentan, yang menyebabkan infeksi nosokomial dan epidemik di semua jenis lingkungan pasien. Kepatuhan mencuci tangan sangat penting dalam mencegah infeksi nosokomial.

31

Di bawah ini tujuh langkah mencuci tangan yang baik dan benar:

Gambar 6. Tujuh langkah mencuci tangan. e. Pemberian ASI secepatnya Upaya pencegahan terhadap penyakit infeksi dapat dilakukan dengan keadaan gizi bayi yang baik. Pemeliharaan gizi bayi dan balita yang baik memerlukan pengaturan makanan yang tepat yaitu salah satunya dengan pemberian ASI secara benar dan tepat.51 Air susu ibu memegang peranan yang penting untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bayi. Awal menyusui yang baik adalah 30 menit setelah bayi lahir karena dapat merangsang pengeluaran ASI selanjutnya, disamping itu akan terjadi interaksi atau hubungan timbal balik dengan cepat antara ibu dengan bayi. Penggunaan Air Susu Ibu (ASI) sudah dibuktikan dapat mencegah terjadinya infeksi pada bayi. Bayi yang mendapat ASI mempunyai risiko lebih kecil untuk memperoleh infeksi daripada bayi yang mendapat susu formula. Efektifitas ASI tergantung dari jumlah yang diberikan, semakin banyak ASI yang diberikan semakin sedikit risiko untuk terkena infeksi. Insidensi infeksi nosokomial pada bayi prematur yang mendapat ASI (29,3%) lebih kecil dibandingkan dengan bayi prematur yang mendapat susu formula (47,2%). f. Pembersihan Ruang Perawatan Bayi Bentuk, konstruksi dan suasana ruang perawatan yang baik dan memadai dapat mengurangi insidens infeksi nosokomial. Setiap ruang perawatan

32

terutama NICU (Neonatal Intensive Care Unit) memerlukan paling sedikit 1 ruangan isolasi untuk 2 pasien yang terinfeksi, dan ruangan untuk cuci tangan, ruangan tempat memakai baju steril untuk tindakan invasif, dan tempat penyimpanan alat-alat atau material yang sudah dibersihkan. g. Perawatan persalinan aseptik Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dan pemberian ampicillin 1 gram intravena yang diberikan pada awal persalinan dan tiap 6 jam selama persalinan. Pemberian ampicillin dapat menurunkan risiko terjadinya infeksi awitan dini (early-onset) sampai 56% pada bayi lahir prematur karena ketuban pecah dini, serta menurunkan resiko infeksi Streptococcus Grup B sampai 36%. Pada wanita dengan korioamnionitis dapat diberikan ampicillin dan gentamicin, yang dapat menurunkan angka kejadian sepsis neonatorum sebesar 82% dan infeksi Streptococcus Grup B sebesar 86%. Sedangkan wanita dengan faktor risiko seperti korioamnionitis atau ketuban pecah dini serta bayinya, sebaiknya diberikan ampisilin dan gentamisin intravena selama persalinan. Antibiotik tersebut diberikan sebagai obat profilaksis.

2.14.3 Pencegahan Sekunder Pencegahan sekunder ini diberikan kepada mereka yang menderita atau dianggap menderita. Adapun tujuan pada pencegahan sekunder yaitu diagnosis dini dan pengobatan yang tepat.

2.14.4 Pencegahan Tertier Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah cacat, kematian, serta usaha rehabilitasi. Penderita sepsis neonatorum mempunyai risiko untuk mengalami kematian jika tidak dilakukan diagnosis dini dan terapi yang tepat. Untuk itu bayi-bayi yang menderita sepsis perlu mendapat penanganan khusus dari petugas kesehatan dalam rangka mencegah kematian dan membatasi gangguan lain yang dapat timbul di kemudian hari.

33