bab ii sepsis
DESCRIPTION
sepsisTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
SIRS adalah suatu bentuk respon inflamasi terhadap infeksi atau non-infeksi
yang ditandai dengan dua atau lebih kriteria dibawah ini (5).
Tabel 1. Kriteria SIRS.
Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) yang
disebabkan oleh infeksi (6). Sepsis berat adalah sepsis disertai dengan disfungsi
organ, hipoperfusi atau hipotensi yang tidak terbatas hanya pada laktat asidosis,
oliguria maupun perubahan mental akut (7). Sedangkan syok sepsis adalah sepsis
dengan hipotensi yang ditandai dengan penurunan TDS< 90 mmHg atau
penurunan >40 mmHg dari tekanan darah awal tanpa adanya obat-obatan yang
dapat menurunkan tekanan darah (7).
4
Gambar 1. Derajat sepsis.
B. ETIOLOGI
Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negative dengan
presentase 60-70% kasus yang menghasilkan berbagai produk yang dapat
menstimulasi sel imun yang terpacu untuk melepaskan mediator inflamasi (8).
Tabel 2. Mikroorganisme yang sering menyebabkan sepsis.
Sistem pendekatan sepsis dikembangkan dengan menjabarkan menjadi
dasar predisposisi, penyakit penyebab, respons tubuh dan disfungsi organ atau
5
disingkat menjadi PIRO (predisposing factors, insult, response and organ
dysfunction) seperti pada tabel (1).
Gambar 2. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis,dan disfungsi organ pada Sepsis.
Tabel 3. Faktor predisposisi, infeksi, respon klinis, dan disfungsi organ pada sepsis.
C. PATOGENESIS
6
Sepsis dikatakan sebagai suatu proses peradangan intravaskular yang
berat. Hal ini dikatakan berat karena sifatnya yang tidak terkontrol dan
berlangsung terus menerus dengan sendirinya, dikatakan intravaskular karena
proses ini menggambarkan penyebaran infeksi melalui pembuluh darah dan
dikatakan peradangan karena semua tanda respon sepsis adalah perluasan dari
peradangan biasa (8).
Ketika jaringan terinfeksi, terjadi stimulasi perlepasan mediator-mediator
inflamasi termasuk diantaranya sitokin. Sitokin terbagi dalam proinflamasi dan
antiinflamasi. Sitokin yang termasuk proinflamasi seperti TNF, IL-1,interferon γ
yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi. Sedangkan sitokin antiinflamasi yaitu IL-1-reseptor
antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Keseimbangan dari kedua respon ini
bertujuan untuk melindungi dan memperbaiki jaringan yang rusak dan terjadi
proses penyembuhan. Namun ketika keseimbangan ini hilang maka respon
proinflamasi akan meluas menjadi respon sistemik. Respon sistemik ini meliputi
kerusakan endothelial, disfungsi mikrovaskuler dan kerusakan jaringan akibat
gangguan oksigenasi dan kerusakan organ akibat gangguan sirkulasi. Sedangkan
konskuensi dari kelebihan respon antiinfalmasi adalah alergi dan
immunosupressan. Kedua proses ini dapat mengganggu satu sama lain sehingga
menciptakan kondisi ketidak harmonisan imunologi yang merusak (7,8).
Penyebab tersering sepsis adalah bakteri terutama gram negatif. Ketika
bakteri gram negatif menginfeksi suatu jaringan, dia akan mengeluarkan
7
endotoksin dengan lipopolisakarida (LPS) yang secara langsung dapat mengikat
antibodi dalam serum darah penderita sehingga membentuk lipo-polisakarida
antibody (LPSab). LPSab yang beredar didalam darah akan bereaksi dengan
perantara reseptor CD 14+ dan akan bereaksi dengan makrofag dan
mengekspresikan imunomodulator (7,8).
Jika penyebabnya adalah bakteri gram positif, virus atau parasit. Mereka
dapat berperan sebagai superantigen setelah difagosit oleh monosit atau makrofag
yang berperan sebagai antigen processing cell yang kemudian ditampilkan sebagai
APC (Antigen Presenting Cell). Antigen ini membawa muatan polipeptida
spesifik yang berasal dari MHC (Major Histocompatibility Complex). Antigen
yang bermuatan MHC akan berikatan dengan CD 4+ (Limfosit Th1 dan Limfosit
Th2) dengan perantara T-cell Reseptor (7,8).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limfosit T akan
mengeluarkan substansi dari Th1 dan Th2. Th1 yang berfungsi sebagai
immodulator akan mengeluarkan IFN-γ, IL2 dan M-CSF (Macrophage Colony
Stimulating Factor), sedangkan Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, IL-
10, IFN-g, IFN 1β dan TNF α yang merupakan sitokin proinflamantori. IL-1β
yang merupakan sebagai imuno regulator utama juga memiliki efek pada sel
endothelial termasuk didalamnya terjadi pembentukkan prostaglandin E2 (PG-E2)
dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1) yang
menyebabkan neutrofil tersensitisasi oleh GM-CSF mudah mengadakan adhesi.
Neutrofil yang beradhesi akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding
endotel lisis sehingga endotel akan terbuka dan menyebabkan kebocoran kapiler.
8
Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk kedalam radikal bebas
(nitrat oksida) sehingga mempengaruhi oksigenisasi pada mitokondria sehingga
endotel menjadi nekrosis dan terjadilah kerusakan endotel pembuluh darah.
Adanya kerusakan endotel pembuluh darah menyebabkan gangguan vaskuler dan
hipoperfusi jaringan sehingga terjadi kerusakan organ multiple (7,8).
Hipoksia sendiri merangsang sel epitel untuk melepaskan TNF-α, IL-8, IL-
6 menimbulkan respon fase akut dan permeabilitas epitel. Setelah terjadi reperfusi
pada jaringan iskemik, terbentuklah ROS (Spesifik Oksigen Reaktif) sebagai hasil
metabolisme xantin dan hipoxantin oleh xantin oksidase, dan hasil metabolisme
asam amino yang turut menyebabkan kerusakan jaringan. ROS penting artinya
bagi kesehatan dan fungsi tubuh yang normal dalam memerangi peradangan,
membunuh bakteri, dan mengendalikan tonus otot polos pembuluh darah, Namun
bila dihasilkan melebihi batas kemampuan proteksi antioksidan seluler, maka dia
akan menyerang isi sel itu sendiri sehingga menambah kerusakan jaringan dan
bisa menjadi disfungsi organ multipel yang meliputi disfungsi neurologi,
kardiovaskuler, respirasi, hati, ginjal dan hematologi (9).
9
Gambar 3. Patogenesis sepsis.
Gambar 4. Pengaktifan komplemen dan sitoki pada sepsis.
Sepsis akan mengaktifkan Tissue Factor yang memproduksi trombin yang
merupakan suatu substansi proinflamasi. Trombin akhirnya menghasilkan suatu
gumpalan fibrin di dalam mikrovaskular. Sepsis selain mengaktifkan tissue factor,
dia juga menggangu proses fibrinolisis melalui pengaktifan IL-1 dan TNFα dan
10
memproduksi suatu plasminogen activator inhibitor-1 yang kuat mengahambat
fibrinolisis. Sitokin proinflamasi juga mengaktifkan activated protein C (APC)
dan antitrombin. Protein C sebenarnya bersirkulasi sebagai zimogen yang inaktif
tetapi karena adanya thrombin dan trombomodulin, dia berubah menjadi enzyme-
activated protein C. Sedangkan APC dan kofaktor protein S mematikan produksi
trombin dengan menghancurkan kaskade faktor Va dan VIIIa sehingga tidak
terjadi suatu koagulasi. APC juga menghambat kerja plasminogen activator
inhibitor-1 yang menghambat pembentukkan plasminogen menjadi plasmin yang
sangat penting dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin. Semua proses ini
menyebabkan kelainan faktor koagulasi yang bermanisfestasi perdarahan yang
dikenal dengan koagulasi intravaskular diseminata yang merupakan salah satu
kegawatan dari sepsis yang mengancam jiwa (9).
D. GEJALA KLINIS
Umumnya klinis pada sepsis tidak spesifik, biasanya hanya didahului oleh
tanda-tanda non spesifik seperti demam, menggigil dan gejala konstitutif seperti
lelah, malaise, gelisah dan tampak kebingungan. Tempat infeksi yang paling
sering adalah paru-paru, traktus digestifus, traktus urinarius, kulit, jaringan lunak
dan sistem saraf pusat. Gejala sepsis tersebut akan semakin berat pada pendeita
usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama yang sering diikuti
dengan syok (10).
11
E. DIAGNOSIS
Diagnosis sepsis memerlukan indeks dugaan tinggi, pengambilan riwayat
medis yang cermat, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak
lanjut status hemodinamik (8).
1. Riwayat
Membantu menentukan apakah infeksi didapatkan dari komunitas atau
nosokomial dan apakah pasien imunokompromis. Rincian yang harus diketahui
meliputi paparan pada hewan, perjalanan, gigitan tungau, bahaya di tempat kerja,
penggunaan alkohol, seizure, hilang kesadaran, medikasi dan penyakit dasar yang
mengarahkan pasien kepada agen infeksius tertentu.
Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi (8):
a. Demam atau tanda yang tak terjelaskan disertai keganasan atau
menstrumentasi.
b. Hipotensi, Oliguria atau anuria.
c. Takipneu atau hiperpneu, Hipotermia tanpa penyabab jelas.
d. Perdarahan
2. Pemeriksaan Fisik
Perlu dilakukan pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Pada semua pasien
neutropenia dan pasien dengan dugaan infeksi pelvis, pemeriksaan fisik harus
meliputi pemeriksaan rektum, pelvis, dan genital. Pemeriksaan tersebut akan
mengungkap abses rektal, perirektal, dan/atau perineal, penyakit dan/atau abses
inflamasi pelvis, atau prostatitis (8).
12
3. Data Laboratorium
Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung
diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen,
kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rongen dada. Biakan darah sputum, urin, dan tempat lain
yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan gram stain di tempat steril (darah, CFS,
cairan artikulasi, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal 2 set (ada yang
menganggap 3) biakan darah harus diperoleh dalam periode 24 jam. Volume
sampel sering terdapat kurang dari 1 bakterium/ml pada dewasa (pada anak lebih
tinggi). Ambil 10-20 ml persampling pada dewasa (1-5 pada anak) dan
inkulasikan dengan trypticase soy broth. Waktu sampel untuk spike demam
intermitten, bakteremia dominan 0,5 jam sebelum spike. Jika terapi antibiotik
sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di laboratorium
klinis (8).
4. Temuan Laboratorium Lain
Sepsis awal, Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia,
hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Neutrofil
mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma.
Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respirator. Hipoksemia dapat dikoreksi
dengan oksigen. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum
meningkat (8).
Selanjutnya, Trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu
trombin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D-dimer yang menunjukan DIC.
13
Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver)
meningkat. Bila otot pernafasan lelah, terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis
metabolic (peningkatan gap anion) terjadi setelah alkalosis respiratori.
Hipoksemia tidak dapat dikoreksi bahkan dengan oksigen 100%. Hiperglikemia
diabetikum dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi (8).
Mortalitas meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah gejala SIRS dan
berat proses penyakit (8).
F. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan sepsis yang optimal mencangkup stabilisasi pasien
langsung (perbaikan hemodinamik), pemberian antibiotik, pengobatan fokus
infeksi dan resusitasi serta terapi suportif apabila telah terjadi disfungsi organ (9).
Perbaikan hemodinamik harus segera dilakukan seperti airway, breathing
circulation, kategori untuk memperbaiki hemodinamik pada sepsis, yaitu: (10).
1. Terapi Cairan
Karena sepsis dapat menyebabkan syok disertai demam, vena dilatasi dan
diffuse capillary leackage akan menyebabkan inadequate preload sehingga terapi
cairan merupakan tindakan utama.
2. Terapi Vasopresor
Bila cairan tidak dapat mengatasi cardiac output (arterial pressure dan
perfusi organ tidak adekuat) dapat diberikan vasopresor potensial seperti
norepinefrin, dopamine, epinefrin dan phenylephrine.
14
3. Terapi Inotropik
Bila resusitasi cairan adekuat tetapi kontraktilitas miokard masih
mengalami gangguan dimana kebanyakan pasien akan mengalami cardiac output
yang turun sehingga diperlukan inotropik seperti dobutamin, dopamine dan
epinefrin.
4. Antibiotik
Sesuai jenis kuman atau tergantung suspek tempak infeksinya (10).
Tabel 4. Antibiotik berdasarkan sumber infeksi (Sepsis Bundle: Antibiotic Selection Clinical Pathway from the Nebraska Medical Centre).
15
16
5. Fokus infeksi awal harus diobati
Hilangkan benda asing yang menjadi sumber infeksi. Angkat organ yang
terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang menjadi gangrene, bila perlu
dikonsultasikan ke bidang terkait seperti spesialis bedah, THT dll (10).
6. Terapi suportif
a. Pemberian elektrolit dan nutrisi.
b. Terapi suportif untuk koreksi fungsi ginjal.
c. Koreksi albumin apabila terjadi hipoalbumin.
d. Regulasi ketat gula darah.
e. Heparin sesuai indikasi.
f. Proteksi mukosa lambung dengan AH-2 atau PPI.
g. Transfusi komponen darah bila diperlukan.
h. Kortikosteroid dosis rendah (masih kontroversial).
i. Recombinant Human Activated Protein C:
Merupakan antikoagulan yang menurut hasil uji klinis Phase III
menunjukkan drotrecogin alfa yang dapat menurunkan resiko relative kematian
akibat sepsis dengan disfungsi organ akut yang terkait sebesar 19,4% yang dikenal
dengan nama zovant (3).
17
G. KOMPLIKASI
1. MODS (disfungsi organ multipel)
Penyebab kerusakan multipel organ disebabkan karena adanya gangguan
perfusi jaringan yang mengalami hipoksia sehingga terjadi nekrosis dan gangguan
fungsi ginjal dimana pembuluh darah memiliki andil yang cukup besar dalam
pathogenesis ini (8).
2. KID (Koagulasi Intravaskular Diseminata)
Patogenesis sepsis menyebabkan koagulasi intravaskuler diseminata
disebabkan oleh faktor komplemen yang berperan penting seperti yang sudah
dijelaskan pada patogenesis sepsis diatas (8).
3. Disfungsi hati dan jantung neurologi
4. ARDS
Kerusakan endotel pada sirkulasi paru menyebabkan gangguan pada aliran
darah kapiler dan perubahan permebilitas kapiler, yang dapat mengakibatkan
edema interstitial dan alveolar. Neutrofil yang terperangkap dalam mirosirkulasi
paru menyebabkan kerusakan pada membran kapiler alveoli. Edema pulmonal
akan mengakibatkan suatu hipoxia arteri sehingga akhirnya akan menyebabkan
Acute Respiratory Distress Syndrome (8,9).
5. Gastrointestinal
Pada pasien sepsis di mana pasien dalam keadaan tidak sadar dan
terpasang intubasi dan tidak dapat makan, maka bakteri akan berkembang dalam
saluran pencernaan dan mungkin juga dapat menyebabkan suatu pneumonia
nosokomial akibat aspirasi. Abnormalitas sirkulasi pada sepsis dapat
18
menyebabkan penekanan pada barier normal dari usus, yang akan menyebabkan
bakteri dalam usus translokasi ke dalam sirukulasi (mungkin lewat saluran limfe)
(8).
6. Gagal ginjal akut
Pada hipoksia/iskemi di ginjal terjadi kerusakan epitel tubulus ginjal.
vaskular dan sel endotel ginjal sehingga memicu terjadinya proses inflamasi yang
menyebabkan gangguan fungsi organ ginjal (9).
7. Syok septik
Sepsis dengan hipotensi dan gangguan perfusi menetap walaupun telah
dilakukan terapi cairan yang adekuat karena maldistribusi aliran darah karena
adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang bersirkulasi secara efektif
tidak memadai untuk perfusi jaringan sehingga terjadi hipovelemia relative (8).
Hipotensi disebabkan karena Endotoksin dan sitokin (khususnya IL-1,
IFN-γ, dan TNF-α) menyebabkan aktivasi reseptor endotel yang menginduksi
influx kalsium ke dalam sitoplasma sel endotel, kemudian berinteraksi dengan
kalmodulin membentuk NO dan melepaskan Endothelium Derived
Hyperpolarizing Factor (EDHF) yang meyebabkan hiperpolarisasi, relaksasi dan
vasodilatasi otot polos yang diduga menyebabkan hipotensi (8).