bab 2
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN KEPUSTAKAAN
A. Konsep Stres
1. Pengertian
Stres adalah suatu keadaan yang dihasilkan oleh perubahan lingkungan
yang diterima sebagai suatu hal yang menantang, mengancam atau merusak
terhadap keseimbangan (Smeltzer dan Bare, 2002).
Stres adalah segala situasi dimana tuntutan non spesifik mengharuskan
seorang individu untuk berespon atau melakukan tindakan (Selye, 1976
dikutip dari Potter & Perry, 2005).
2. Model Stres
Model stres terdiri dari beragam jenis yang dikemukakan oleh
beberapa ahli seperti dikutip oleh Potter dan Perry (2005), yaitu :
a. Model stress berdasarkan respon menurut Mechanic (1962)
Model adaptasi menunjukan bahwa terdapat empat faktor yang
menentukan kemampuan untuk menghadapi stres:
1) Pengalaman seseorang dengan stresor yang sama, sistem pendukung,
dan persepsi seseorang terhadap suatu peristiwa.
2) Norma kelompok yang sebaya dengan individu yang mengalami
stres.
3) Dampak dari lingkungan sosial dalam membantu individu beradaptasi
terhadap stresor.
4) Sumber yang dapat digunakan untuk mengatasi stresor
7
8
b. Model stres berdasarkan stimulus
Model stres menurut McNett (1989) memfokuskan pada asumsi
berikut:
1) Peristiwa perubahan dalam kehidupan adalah normal, dan perubahan
ini membutuhkan tipe dan durasi penyesuaian yang sama.
2) Individu adalah resipien pasif dari stres, dan persepsi mereka
terhadap peristiwa adalah tidak relevan.
3) Semua orang mempunyai ambang stimulus yang sama, dan penyakit
dapat terjadi pada setiap titik setelah ambang tersebut.
c. Model stress berdasarkan transaksi menurut Lazarus dan Folkman.
Model ini memandang individu dan lingkungan dalam hubungan
yang dinamis, resiprokal, dan interaktif.
3. Tahapan Stres
Menurut Lazarus dan Launier (1978) dalam Leila (2002,p.3-7), ada
beberapa tahapan-tahapan proses stres yaitu :
a. Stage of Alarm
Tahapan ini merupakan tahap dimana individu mulai
mengidentifikasi suatu stimulus yang membahayakan. Identifikasi
terhadap stressor akan meningkatkan kesiapsiagaan sehingga orientasi
individu terarah kepada stimulus tersebut.
b. Stage of Appraisals
Individu mulai melakukan penilaian terhadap stimulus yang
mengenainya. Penilaian ini dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman
individu tersebut. Tahapan penilaian terdiri dari :
9
1) Primary Cognitive Appraisal
Tahap Primary Cognitive Appraisal merupakan proses mental yang
berfungsi mengevaluasi suatu situasi atau stimulus dari sudut
implikasinya terhadap individu. Implikasi dapat menguntungkan,
merugikan, atau membahayakan individu tersebut.
2) Secondary Cognitive Appraisal
Tahap Secondary Cognitive Appraisal merupakan evaluasi terhadap
sumber daya yang dimiliki individu dan berbagai alternatif cara
mengatasi situasi tersebut. Proses ini dipengaruhi oleh pengalaman
individu pada situasi serupa, persepsi individu terhadap kemampuan
dirinya dan lingkungannya serta berbagai sumberdaya pribadi dan
lingkungan.
3) Stage of Searching for a Coping Strategy
Konsep ‘coping’ diartikan sebagai usaha-usaha untuk mengelola
tuntutan-tuntutan lingkungan dan tuntutan internal serta mengelola
konflik karena berbagai tuntutan tersebut. Tingkat kekacauan yang
dibangkitkan oleh satu stresor (sumber stres) akan menurun jika
individu memiliki antisipasi tentang cara mengelola atau menghadapi
stresor tersebut, yaitu dengan menerapkan strategi ‘coping’ yang tepat.
Strategi yang akan digunakan ini dipengaruhi oleh pengalaman atau
informasi yang dimiliki individu serta konteks situasi dimana stres
tersebut berlangsung.
10
4) Stage of The Stress Response
Pada tahap ini individu mengalami kekacauan emosional yang akut,
seperti sedih, cemas, marah, dan panik. Mekanisme pertahanan diri
yang digunakan menjadi tidak adekuat, fungsi-fungsi kognisi menjadi
kurang terorganisasikan dengan baik, dan pola-pola neuroendokrin
serta sistem syaraf otonom bekerja terlalu aktif. Reaksi-reaksi seperti
ini timbul akibat adanya pengaktifan yang tidak adekuat dan reaksi-
reaksi untuk menghadapi stres yang berkepanjangan.
4. Stres Kerja
Leila (2002,p.3-7) mengemukakan bahwa lingkungan kerja,
sebagaimana lingkungan-lingkungan lainnya, juga menuntut adanya
penyesuaian diri dari individu yang menempatinya, sehingga dalam
lingkungan kerja individu memiliki kemungkinan untuk mengalami suatu
keadaan stres. Stres kerja dapat dirumuskan sebagai suatu keadaan tegang
yang dialami di dalam suatu organisasi. Stres ini dapat merupakan akibat
dari lingkungan fisik, sistem dan teknik dalam organisasi, interaksi sosial
interpersonal, isi atau struktur pekerjaan, tingkah laku individu sebagai
anggota, dan aspek-aspek organisasi lainnya.
Baron & Greenberg dalam Yulianti (2000) seperti dikutip oleh
Andraeni (2005) mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan
psikologis yang terjadi pada situasi dimana tujuan individu mendapat
halangan dan tidak bisa mengatasinya. Penjelasan senada dikemukakan
Robbins dalam Dwiyanti (2001) bahwa stres kerja merupakan suatu kondisi
11
dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan
keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat
dipastikan.
5. Faktor Penyebab Stres Kerja
Faktor utama dari proses stres kerja seperti dinyatakan oleh Liu dkk
(2003, p. 481) adalah sumber potensial dari stressor, perbedaan individual
(mediator-mediator), dan konsekuensi dari stres (strain) seperti tampak pada
skema di bawah ini. Stressor atau sumber stres (meliputi hal-hal yang terkait
dengan pekerjaan atau di luar organisasi) adalah kejadian-kejadian objektif,
sedangkan stres adalah pengalaman subjektif dari kejadian tersebut dan
ketegangan atau tekanan (strain) merupakan respon yang buruk terhadap
stres. Merujuk pada pernyataan di atas, dampak dari stres dapat dengan
mudah dipahami seperti beberapa dari keadaan di lingkungan sekitar dapat
menjadi stressor yang selanjutnya diinterpretasikan oleh individu sehingga
memicu timbulnya stres.
12
Skema 2.1Model Stres di Lingkungan Kerja
.
Sumber : Cooper, C. L., Marshall, J. (1976) dalam Rahman dkk (2012), Sumber-Sumber Stres Kerja : Tinjauan Literatur berkaitan dengan Penyakit Jantung Koroner dan Gangguan Kesehatan Mental, dari Journal of occupational psychology, Vol. 49, No. 1, page 12.
Individu Level ansietas
Level of neurositismeTolerasi dari ambiguitas
Pola dari Prilaku
Sumber Stres dari Luar Organisasi
Masalah-masalan dalam Keluarga
Krisis-krisis KehidupanKesulitasn Finansial
Tekanan DarahLevel KolesterolDetak Jantung
Merokok Depressive mood
Melarikan diri dengan Minuman
Ketidakpuasan KerjaBerkurangnya
Aspirasi
Penyakit Jantung Koroner
Gangguan Jiwa
Sumber Stres Karakteristik Individual
Gejala-Gejala dari Penyakit karena
PekerjaanFaktor Intrinsik KerjaKondisi fisik kerja yang rendahBeban kerja berlebihanTekanan waktuKeadaan fisik yang berbahaya
Peraturan dalam organisasiPeran yang tidak jelas Konflik peranTanggung jawab terhadap manusiaKonflik sebagai hambatan dalam organisasi (dari dalam dan luar), dan lain-lain
Pengembangan KarirPromosi berlebihanKurang promosiHilangnya kenyamanan kerjaHilangnya ambisi, dan lain-lain
Hubungan di Tempat KerjaHubungan yang buruk dengan nos di tempat kerjaBawahan atau teman sekerjaKesulitan pendelegasian TugasTanggung jawab.
Struktur dan iklim Organisasi dan Partisipasi rendah atau tidak ada dalam pembuatan keputusanPembatasan PrilakuKebijakan instansi Kuranngnya konsultasi
13
Leila (2002,p.3-7) menyatakan secara umum terdapat tiga buah
pendekatan untuk membahas masalah yang dapat menyebabkan stres kerja
dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada
karakteristik obyektif dari berbagai situasi kerja yang dapat menimbulkan
stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai
penyebab utama stres, dan pendekatan ketiga meninjaunya melalui acuan
interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu.
a. Karakteristik Obyektif Situasi Kerja
Pendekatan ini bertolak dari konsep stres sebagai suatu
kondisi/situasi yang mampu menimbulkan pergolakan, kekacauan, atau
perubahan yang bersifat reaktif dalam diri individu. Pendekatan ini
mengacu kepada konsep stres sebagai stimulus. Ada atau tidaknya stres
dan bobot stres dapat diduga dari karakteristik stimulus yang dihadapi
individu. Stimulus yang mampu menimbulkan stres ini biasa disebut
stresor.
Konsep stres sebagai stimulus secara umum, digunakan untuk
menerangkan situasi-situasi yang memiliki karakteristik baru, intense
(kuat), berubah-ubah dengan cepat, dan terjadi tanpa diduga sebelumnya.
Situasi lain yang dapat menjadi stresor memiliki karakteristik sebagai
berikut :
1) Stimulus deficit (kurangnya stimulasi lingkungan)
2) Absence of expected stimuli (ketidakhadiran stimulus yang
diharapkan).
3) Highly persistent stimulations (stimulasi monoton).
14
4) Kelelahan
5) Kejenuhan
Konsep stres sebagai suatu stimulus dalam lingkungan kerja, sering
digunakan untuk membahas situasi-situasi kerja yang dapat menimbulkan
stres pada para pekerja. Situasi-situasi tersebut adalah sebagai berikut :
1) Karakteristik fisik lingkungan kerja
a) Situasi kerja yang berpolusi
b) Noise (kebisingan)
c) Terlalu panas atau terlalu dingin
d) Rancangan sistem manusia-mesin yang buruk
e) Situasi kerja yang mengancam keselamatan fisik
2) Karakteristik Waktu Kerja
a) Pekerjaan-pekerjaan yang waktunya tidak menentu
b) Terlalu sering lembur
c) Deadlines (batas waktu).
d) Time pressures
3) Karakteristik Lingkungan Sosial dan Organisasi
a) Iklim politis yang kurang sehat
b) Kualitas supervisi yang buruk
c) Relasi atasan-bawahan yang buruk
d) Tugas-tugas monoton
e) Machine pacing (kecepatan mesin)
f) Beban kerja yang berlebihan
g) Tanggung jawab yang terlalu besar
15
h) Kurang penghargaan terhadap hasil kerja
4) Karakteristik Perubahan Dalam Pekerjaan
a) Pemutusan hubungan kerja
b) Pensiun
c) Demosi
d) Adanya perubahan kualitatif dalam jabatan
e) Promosi yang terlalu dini
f) Perubahan pada pola shift
g) Situasi dimana tidak ada perubahan sama sekali
b. Karakteristik Pekerja
Pendekatan ini bertolak dari pendapat bahwa individu memiliki
ambang stres yang berbeda, sehingga karakteristik individu akan
mempengaruhi kadar stres yang dihayatinya. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi ambang stres seseorang, berdasarkan beberapa penelitian
yaitu :
1) Usia
2) Jenis kelamin
3) Kebangsaan dan suku bangsa
4) Taraf hidup
5) Banyaknya perubahan yang dialami semasa hidup
6) Kecenderungan work addict
7) Kecenderungan neurotik dan depresi
8) Fleksibilitas kepribadian
9) Mekanisme pertahanan diri yang dipergunakan
16
10) Self esteem
11) Makna pekerjaan bagi individu
Salah satu teori yang berlandaskan pada teori ini adalah yang
diajukan oleh Rosenman dan Friedman (1974) yang menggolongkan
individu kedalam dua pola perilaku yaitu individu tipe A dan individu tipe
B, yang dikaitkan dengan kerentanan individu terhadap penyakit jantung .
Individu dengan pola perilaku tipe A lebih mudah terserang
penyakit jantung (CHD) terlepas dari faktor-faktor fisik dan jenis
pekerjaan. Dua karakteristik utama individu dengan pola perilaku tipe A
adalah adanya suatu dorongan yang besar untuk bersaing dan perasaan
menetap tentang pentingnya waktu. Individu dengan pola perilaku tipe A
sangat ambisius dan agresif, selalu bekerja untuk mencapai sesuatu,
berlomba dengan waktu, beralih dengan cepat dari suatu pekerjaan kelain
pekerjaan, dan terlibat penuh pada tugas-tugas pekerjaannya. Hal
mengakibatkan individu dengan pola perilaku tipe A selalu berada dalam
keadaan tegang dan stres, meskipun pekerjaan yang dilakukan relatif
bebas dari sumber-sumber stres. Individu dengan karakteristik
kepribadian ini akan selalu mengalami stres pada saat bekerja maupun
pada saat senggang.
Individu dengan pola perilaku tipe B mungkin sama ambisiusnya
dengan individu tipe A, tetapi mereka lebih santai dan menerima situasi
seadanya. Individu tipe B bekerja dengan nyaman tanpa usaha untuk
memerangi situasi ynag mereka hadapi secara kompetitif dan dalam
menghadapi tekanan waktu, bersikap lebih santai sehingga jarang
17
mengalami masalah-masalah yang berhubungan dengan stres. Individu
tipe B dengan demikian dapat bekerja sebaik yang dilakukan oleh tipe A
tetapi lebih sedikit mengalami akibat-akibat yang menyakitkan dari stres.
Pembagian pola perilaku ini sebenarnya tidak menunjukkan ciri
kepribadian yang statis, akan tetapi lebih menggambarkan gaya perilaku
yang disertai dengan beberapa reaksi kebiasaan seseorang dalam
menghadapi situasi disekitarnya. House (1973) menambahkan bahwa ciri
psikis utama individu tipe A adalah keinginan untuk mencapai prestasi
sosial (social achievement) yang dapat dianalogikan dengan mencari
status (status seeking). Glass (1977) menduga bahwa faktor utama yang
menyebabkan timbulnya pola perilaku tipe A adalah keinginan atau obsesi
untuk mengendalikan lingkungan sehingga permasalahan yang dihadapi
oleh individu tipe A tidak terletak pada ketidakmmapuan melakukan
sesuatu sama sekali (inactivity). Individu tipe A akan menghayati stres
yang relatif lebih besar jika mereka dibiarkan tanpa diberikan pekerjaan
atau aktivitas.
c. Pendekatan Interaksi
Teori-teori yang didasari oleh pendekatan ini berpendapat bahwa
stres tidak semata-mata disebabkan oleh situasi lingkungan kerja atau
semata-mata oleh karakteristik pekerja yang bersangkutan melainkan oleh
interaksi antara kedua faktor tersebut. Cox dan Mackay (1979)
berdasarkan pendekatan interaksi ini, mengatakan bahwa stres merupakan
hasil penafsiran seseorang mengenai keterlibatannya dalam
lingkungannya, baik secara fisik maupun secara psikososial. Stres atau
18
ketegangan timbul sebagai suatu hasil ketidakseimbangan antara persepsi
orang tersebut mengenai tuntutan yang dihadapinya dan persepsinya
mengenai kemampuannya untuk menanggulangi tuntutan tersebut.
Pernyataan ini berarti bahwa tidak ada stresor yang berifat universal.
Stimulus yang sama dapat menyebabkan intensitas stres yang berbeda
atau bahkan tidak menyebabkan stres sama sekali pada individu yang
mempersepsikan dirinya mampu menghadapi stres tersebut. Fokus
bahasan teori ini dengan demikian adalah persepsi individu terhadap
situasi dan partisipasi aktif individu dalam interaksi yang berlangsung
atau dengan perkataan lain, cara individu menghadapi stres lebih penting
daripada frekwensi dan kadar stres itu sendiri.
Salah satu model teori interaksi yang cukup populer berasal dari
French (1982), yaitu “the Person Enviromental fit Model”. Menurut
French, stress terdapat pada kotak G dalam model P-E nya, yaitu sebagai
“Subjective Person-Environment Fir”.
Penggambaran stres menurut model P-E yaitu stress tidak timbul
akibat stressor lingkungan semata melainkan merupakan hasil persepsi
individu terhadap kemampuan dan motivasinya untuk menghadapi
stressor tersebut. Faktor persepsi dalam model tersebut merupakan faktor
yang paling menentukan bobot stres dari suatu situasi. Persepsi dalam
model P-E tersebut individu, dipengaruhi oleh karakteristik lingkungan
(Objective Social Environment) dan karakteristik individu (Objective
Person), dimana bila salah satu dari kedua hal ini berubah, persepsi
19
individu pun akan berubah, sehingga pada akhirnya bobot stres yang
dihayati akan berubah pula.
French juga mengemukakan bahwa stress yang dipersepsi dapat
dikurangi melalui dua mekanisme, yaitu “Social Support” dan “Ego
Defence”, yang berarti jika individu memperoleh dukungan sosial yang
memadai dari lingkungan atau menggunakan ego defence yang tepat,
stress dapat menurun intensitasnya.
Sumber stres kerja menurut Hurrel dalam Sunyoto (2001) seperti
dikutip Andraeni (2005) yang menyebabkan seseorang tidak berfungsi
optimal atau yang menyebabkan seseorang jatuh sakit dari dari banyak
faktor. Faktor-faktor pekerjaan yang menimbulkan stres dapat
dikelompokkan dalam lima kategon besar yaitu :
a. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan
Faktor yang dikategorikan dalam faktor ini adalah tuntutan fisik dan
tuntutan tugas. Tuntutan fisik diantarnya faktor kebisingan. Sedangkan
faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan
dari resiko dan bahaya.
1) Tuntutan fisik
Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis
diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit
stres (stressor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan
sementara atau tetap pada alat pendengaran dapat merupakan sumber
stres yang menyebabkan peningkatan kesiagaan dan
ketidakseimbangan psikologis. Kondisi demikian memudahkan
20
timbulnya kecelakaan. Lebih jauh Ivancevich & Matteson (dalam
Munandar, 2001, p.381-383) bependapat bahwa bising yang berlebih
(sekitar 80 desibel) serta berulangkali dalam jangka waktu yang lama,
dapat menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yangberlebih
ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stres
yang lain, juga terhadap motivasi kerja.
2) Tuntutan tugas
Penelitian menunjukkan bahwa shift/kerja malam merupakan sumber
utama. Keluhan yang sering disampaikan individu yang menjalani atau
bekerja malam adalah kelelahan yang berlebihan dan gangguan perut
serta berdampak pada kebiasaan makan. Gangguan ini lebih intens
dibandingkan pada pekerja shift pagi/siang. Shift kerja terkait dengan
beban kerja yang diterima dimana pada malam hari, individu merasa
beban kerja yang lebih berat.
Everly & Girdano (dalam Munandar, 2001) menambahkan
kategori lain dari beban kerja, yaitu kombinasi dari beban kerja
berlebih kuantitatif dan kuahtatif. Beban berlebih secara fisikal
ataupun mental, yaitu harus melakukan terlalu banyak hal, merupakan
kemungkinan sumber stress pekerjaan. Unsur yang menimbulkan
beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas
diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan
cermat.
21
b. Peran Individu dalam Organisasi
Individu yang mampu bekerja sesuai dengan perannya dalam
organisasi, artinya mampu melakukan tugas yang harus dilakukan sesuai
dengan aturan-aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh
atasannya akan terhidnar dari stres. Sebaliknya ketidak berhasilan untuk
memainkan peran dapat menimbulkan berbagai konflik yang dapat
berakhir dengan timbulnya stres. Konflik peran seperti pertentangan
antara tugas-tugas dan tanggung jawab yang harus dilakukan, melakukan
tugas yang dipersepsikan bukan sebagai tugasnya, tuntutan-tunlutan yang
bertentangan dari atasan, rekan, atau orang lain yang dinilai penting bagi
dirinya. pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pekerja selama
melakukan tugasnya. Konflik peran lainnya yang rentan menimulkan
masalah bagi pekerja adalah keraguan peran. Hal ini timbul bila individu
tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau
tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan
peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat keraguan peran meliputi
ketidakjelasan dari saran-saran (tujuan-tujuan) kerja, kesamaran tentang
tanggung jawab, ketidakjelasan tentang prosedur kerja, kesamaran tentang
yang diharapkan dari tugas yang dilakukannya, kurang adanya umpan
balik, atau ketidakpastian tentang produktifitas kerja.
c. Pengembangan Karir
Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi peluang untuk
menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya, peluang mengembangkan
ketrampilan yang baru, dan penyuluhan karir untuk memudahkan
22
keputusan-keputusan yang menyangkut karir. Hal-hal menyangkut karir
yang dapat menjadi pemicu stres kerja yaitu :
1) Job Insecurity
Reorganisasi yang dilakukan karena perubahan-perubahan lingkungan
yang menimbulkan masalah baru bagi suatu organisasi dapat menjadi
sumber stres. Hal ini dikarenakan tugas baru terkadang memerlukan
ketrampilan dan penyesuaian diri yang baik sehingga ketidakmampuan
dapat mengakibatkan perasaan tertekan disamping reorganisasi sering
menimbulkan ketidakpastian pekerjaan.
2) Over dan Under-promotion
Organisasi mempunyai kecepatan tumbuh yang berbeda. Salah satu
akibat dari proses pertumbuhan ini ialah tidak adanya kesinambungan
mobilitas vertikal dari pekerja. Peluang dan kecepatan promosi yang
diterima pekerja tidak sama setiap saat. Peluang promosi yang kecil,
baik karena keadaan tidak mengizinkan maupun karena dilupakan,
dapat merupakan pembangkit stres bagi tenaga kerja yang rnerasa
sudah waktunya mendapatkan promosi. Perilaku yang mengganggu,
semangat kerja yang rendah dan hubungan antarpribadi yang bermutu
rendah, berkaitan dengan stres dari kesenjangan yang dirasakan antara
kedudukannya di organisasi dengan kedudukan yang diharapkan.
Sedangkan stres yang timbul karena over-promotion memberikan
kondisi beban kerja yang berlebihan serta adanya tuntutan pengetahuan
dan ketrampilan yang lidak sesuai dengan bakatnya.
23
d. Hubungan dalam Pekerjaan
Hubungan kerja yang tidak baik tampak dari gejala-gejala adanya
kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan
masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan
dengan ketaksaan peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar
pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal
dalam bentuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kodisi
kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya.
e. Struktur dan iklim Organisasi
Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada
sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support
sosial. Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan
keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif.
Peningkatan peluang untuk berperan serta menghasilkan peningkatan
produktivitas, dan peningkatan taraf dari kesehatan mental dan fisik.
f. Tuntutan dari Luar Organisasi/Pekerjaan
Kategori pembangkit stres potensial ini mencakup segala unsur
kehidupan seseorang yang dapat berinteraksi dengan peristiwa-peristiwa
kehidupan dan kerja di dalam satu organisasi, dan dapat memberi tekanan
pada individu. Isu-isu tentang keluarga, krisis kehidupan, kesulitan
keuangan, keyakinan-keyakinan pribadi dan organisasi yang
bertentangan, konflik antara tuntutan keluarga dan tuntutan tempat kerja,
dapat merupakan tekanan bagi individu dalam bekerja seperti halnya stres
24
dalam pekerjaan mempunyai dampak yang negatif pada kehidupan
keluarga dan pribadi.
g. Ciri-ciri Individu
Menurut pandangan interaktif dari stres, stres ditentukan pula oleh
individunya sendiri, sejauh mana kemmapuannya melihat situasi sebagai
stres. Reaksi-reaksi psikologis, fisiologis, dan dalam bentuk perilaku
terhadap stres adalah hasil dari interaksi situasi dengan individunya,
mencakup ciri-ciri kepribadian yang khusus dan pola-pola perilaku yang
didasarkan pada sikap, kebutuhan, nilai-nilai, pengalaman masa lalu,
keadaan kehidupan dan kecakapan (antara lain inteligensi, pendidikan,
pelatihan, pembelajaran). Faktor-faktor dalam diri individu berfungsi
sebagai faktor pengaruh antara rangsang dari lingkungan yang merupakan
pembangkit stres potensial dengan individu. Faktor pengubah ini yang
menentukan bagaimana, dalam kenyataannya, individu bereaksi terhadap
pembangkit stres potensial.
1) Kepribadian :
Individu yang berkepribadian introvert bereaksi lebih negatif dan
menderita ketegangan yang lebih besar daripada mereka yang
berkepribadian extrovert, pada konflik peran. Kepribadian yang
flexible (orang yang lebih lerbuka terhadap pengaruh dari orang lain
sehingga lebih mudah mendapatkan beban yang berlebihan)
mengalami ketegangan yang lebih besar dalam situasi konflik,
dibandingkan dengan mereka yang berkepribadian rigid.
25
2) Kecakapan
Hal ini merupakan variabel yang ikut menentukan stres tidaknya suatu
situasi yang sedang dihadapi. Individu yang menghadapi masalah yang
dirasakan tidak mampu dipecahkan, sedangkan situasi tersebut
mempunyai arti penting bagi dirinya, akan dirasakan sebagai keadaan
yang mengancam dirinya sehingga mengalami stres. Ketidakmampuan
menghadapi situasi menimbulkan rasa tidak berdaya. Sebaliknya jika
merasa mampu menghadapi situasi inidvidu akan merasa ditantang dan
motivasinya akan meningkat.
3) Nilai dan kebutuhan
Organisasi mempunyai kebudayaan masing-masing. Kebudayaan yang
terdiri dari keyakinan-keyakinan, nilai-nitai dan norma-norma perilaku
yang menunjang organisasi dalam usahanya mengatasi masalah-
masalah adaptasi ekstemal dan internal. Tata nilai yang dianut sebuah
organisasi ini diharapkan dapat diterapkan oleh seluruh individu yang
berkerja yang terkadang dapat menimbulkan berbagai masalah.
B. Konsep Perawat Pelaksana
1. Pengertian
Menurut Undang-Undang Kesehatan no. 23 tahun 1992, perawat
adalah seseorang yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan
tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh
melalui pendidikan keperawatan (Gaffar, 1999, p.7).
26
Perawat pada saat ini didefinisikan sebagai pemberi pelayanan
keperawatan. Pelayanan keperawatan adalah bagian integral dari pelayanan
kesehatan yang diberikan kepada masyarakat, keluarga, kelompok khusus,
individu, dan sebagainya, pada setiap tingkat, sepanjang siklus kehidupan
pasien (Susanto 2001).
Perawat mempunyai fungsi yang unik yaitu, membantu individu baik
yang sehat maupun sakit, dari lahir hingga meninggal agar dapat
melaksanakan aktifitas sehari-hari secara mandiri, dengan menggunakan
kekuatan, kemauan atau pengetahuan yang dimiliki. Fungsi itu menyebabkan
perawat berupaya menciptakan hubungan baik dengan pasien untuk
menyembuhkan ataupun meningkatkan kemandiriannya. Bila perawat tidak
berhasil menciptakan kemandirian maka perawat membantu mengatasi
hambatan, sedangkan pada penyakit yang tidak dapat disembuhkan dimana
pasien akhirnya meninggal dunia, maka perawat berupaya agar pasien dapat
meninggal dengan tenang (Henderson 1980 dikutip dari Ali, 2002, p.31).
Fungsi perawat yang beragam dan unik dalam upaya memenuhi
kebutuhan pasien dibagi dalam beberapa jenjang jabatan dengan tujuan
mempermudah pelaksanaan tugas agar kegiatan di sebuah instansi kesehatan
seperti Rumah Sakit berjalan lancar. Salah satu jabatan perawat di ruang
rawat adalah perawat pelaksana. Menurut DepKes RI (1999) perawat
pelaksana adalah seorang tenaga keperawatan yang diberi wewenang untuk
melaksanakan pelayanan/asuhan keperawatan di ruang rawat.
2. Persyaratan
27
Syarat menjadi perawat pelaksana yaitu memiliki ijazah formal
keperawatan/kebidanan dari semua jenjang pendidikan yang disahkan oleh
pemerintah/yang berwenang dan sehat jasmani derta rohani (DepKes RI,
1999).
3. Tanggung Jawab
Menurut DepKes RI (1999) tanggung jawab perawat pelaksana
dalam menjalankan tugasnya di ruang rawat terhadap Kepala
Ruangan/Kepala Instansi adalah sebagai berikut:
a. Kebenaran dan ketepatan dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai
standar.
b. Kebenaran dan ketepatan dalam mendokumentasikan pelaksanaan asuhan
keperawatan/kegiatan lain yang dilakukan.
4. Wewenang
Wewenang perawat pelaksana di ruang rawat dalam melaksanakan
tugasnya menurut DepKes RI (1999) adalah :
a. Meminta informasi dan petunjuk kepada atasan.
b. Memberikan asuhan keperawatan kepada pasien sesuai dengan
kemampuan dan batas kewenangannya.
5. Uraian Tugas
DepKes RI (1999) mendeskripsikan beberapa tugas yang menjadi
kewajiban perawat pelaksana yang bertugas di ruang rawat yaitu :
a. Memellihara kebersihan ruang rawat dan lingkungannya.
b. Menerima pasien baru sesuai prosedur dan ketentuan yang berlaku.
28
c. Memelihara peralatan keperawatan dan medis agar selalu dalam keadaan
siap pakai.
d. Melakukan pengkajian keperawatan dan menentukan diagnosa
keperawatan, sesuai batas kewenangannya.
e. Menyusun rencana keperawatan sesuai dengan kemampuannya.
f. Melakukan tindakan keperawatan kepada pasien sesuai kebutuhan dan
batas kemampuannya antara lain :
1) Melaksanakan tindakan pengobatan sesuai program pengobatan.
2) Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarganya
mengenai penyakitnya.
g. Melatih/membantu pasien untuk melakukan latihan gerak.
h. Melakukan tindakan darurat kepada pasien (antara lain panas tinggi,
kolaps, perdarahan, keracunan, henti nafas dan henti jantung) sesuai
protap yang berlaku. Selanjutnya segera melaporkan tindakan yang telah
dilakukan kepada dokter ruang rawat/dokter jaga.
i. Melakukan evaluasi tindakan keperawatan sesuai batas kemampuannya.
j. Mengobservasi kondisi pasien, selanjutnya melakukan tindakan yang
tepat berdasarkan hasil observasi tersebut, sesuai batas kemampuannya.
k. Berperan serta dengan anggota tim kesehatan dalam membahas kasus dan
upaya meningkatkan mutu asuhan keperawatan.
l. Melaksanakan tugas pagi, sore, malam dan hari libur secara bergilir sesuai
jadwal dinas.
m. Mengikuti pertemuan berkala yang diadakan oleh kepala ruang rawat.
29
n. Meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan di bidang keperawatan,
antara lain melalui pertemuan ilmiah dan penataran atas izin/persetujuan
atasan.
o. Melaksanakan system pencatatan dan pelaporan asuhan keperawatan yang
tepat dan benar sesuai standar asuhan keperawatan.
p. Melaksanakan serah terima tugas kepada petugas pengganti secara lisan
maupun tertulis, pada saat penggantian dinas.
q. Memberikan penyuluhan kesehatan kepada pasien dan keluarganya sesuai
dengan keadaan dan kebutuhan pasien mengenai :
1) Program diet
2) Pengobatan yang perlu dilanjutkan dan cara penggunaannya.
3) Pentingnya pemeriksaan ulang di rumah sakit, puskesmas atau institusi
kesehatan ini.
4) Cara hidup sehat, seperti pengaturan istirahat, makanan yang bergizi
atau bahan pengganti sesuai dengan keadaan sosial ekonomi.
r. Melatih pasien menggunakan alat bantu yang dibutuhkan, seperti :
1) Rollstoel
2) Tongkat penyangga
3) Protesa
s. Melatih pasien untuk melaksanakan tindakan keperawatan di rumah
misalnya :
1) Merawat luka
2) Melatih anggota gerak
30
t. Menyiapkan pasien yang akan pulang, meliputi menyediakan formulir
untuk penyelesaian administratif seperti surat izin pulang, surat
keterangan istirahat sakit, petunjuk diet, resep obat untuk di rumah (jika
diperlukan), surat rujukan atau pemeriksaan ulang dan lain-lain.