bab 1revisi
TRANSCRIPT
PROPOSAL DISERTASI
IMPLIKASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI DOSEN DALAM
PENINGKATAN KINERJA STUDI KASUS PENDIDIKAN TINGGI
AGAMA ISLAM SWASTA DALAM LINGKUNGAN PESANTREN
Oleh :
Asmad, S.Pd.I, MM
Dosen Pembimbing :
Prof.Dr.Hary Yuswadi, MA
Drs.Himawan Bayu Patriadi, MA, Pd.D
Dr.Akhmad Toha, M.Si
PROGRAM PASCASARJANA
PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI
UNIVERSITAS JEMBER
2014
1
2
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Arus demokratisasi global telah menekan pemerintahan di berbagai belahan
dunia ke arah pencapaian “good governance” yang setidaknya memiliki tiga
pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi (UNDP, 2001).
Dampak dari arah baru pemerintahan ini tidak hanya terjadi pada sektor
pemerintahan saja, namun merambah pada berbagai aspek kehidupan berbangsa
dan bernegara, terutama isu-isu yang terkait dengan pelayanan publik yang utama
seperti sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Sektor
pendidikan dipandang sebagai suatu sektor strategis dalam pembangunan dewasa
ini, pada tataran global, dunia sedang memasuki era ekonomi berbasis
pengetahuan (knowledge based economy). Pandangan ini mempercayai bahwa
pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara sangat
dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dan kemampuannya menguasai ilmu
pengetahuan.
Sesuai UU RI No.20, pasal 20 (2003) dan PP No.60, Pasal 3 (1999)
dikatakan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan
tinggi, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat atau yang disebut dengan
Tridharma Perguruan Tinggi. Ketiga kegiatan ini merupakan aspek-aspek yang
saling berkaiatan, tidak terpisahkan satu sama lain untuk lingkup produktivitas
suatu perguruan tinggi.
Pencapaian tujuan penyelenggaraan perguruan tinggi ini diemban oleh
dosen, sebagai inti yang menjalankan operasional organisasi. Oleh karenanya,
ukuran produktivitas perguruan tinggi terutama sekali menggunakan standar
kinerja dosen ini. Misalnya, penentuan akreditasi program studi atau perguruan
tinggi menggunakan standar kinerja dosen yang berhubungan dengan kegiatan
Tridharma Perguruan Tinggi ini. Laporan EPSBED yang dilaksanakan setiap
semester juga menggunakan standar kinerja dosen. Yang paling utama adalah
3
penilaian kinerja dosen untuk kenaikan pangkat jabatan akademik dosen, yang
menunjukkan promosi karir seorang dosen (PP No.6. Pasal 102, 1999).
Salah satu perguruan tinggi yang mengalami perkembangan signifikan
adalah perguruan tinggi swasta. Menurut pengamat perguruan tinggi dari
Universitas Andalas, Prof Dr Elfindri, menilai banyak perguruan tinggi swasta di
Indonesia kesulitan menyediakan dosen berkualitas. Hal itu muncul lebih akibat
sebagian besar PTAIS juga pada umumnya menghadapi persoalan keuangan.
Keberadaan PTAIS di Indonesia yang sangat beragam, baik dari distribusi
beroperasinya, kinerja perkembangannya, maupun pengelolaan jurusan yang
tersedia.
PTAIS sebagai perguruan tinggi Islam telah berkembang dan menyaingi PT
negeri yang sudah berumur setengah abad lebih. Tetapi, jumlah PTAIS berkualitas
itu hanya sedikit, sementara ribuan PTAIS lainnya hidup Senin-Kamis, tetapi
masih tetap berjuang menyediakan pelayanan kepada anak-anak bangsa. Salah
satu masalah yang dihadapi oleh PTAIS adalah persoalan ketersediaan dosen yang
bermutu. Pemerintah mengharuskan perguruan tinggi memiliki dosen yang
berkualifikasi pendidikan minimum S-2. Sebuah jurusan minimal memiliki enam
dosen. Akan tetapi, ketika pendirian legalitas awal, maka ketersediaan dosen
dipenuhi dengan berbagai cara, dan pada akhirnya keberadaan dosen di PTAIS
menjadi persoalan krusial. Hal itu diakibatkan negara diakui memang tidak
menyediakan dosen untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta. Sedangkan
dilema dihadapi PTAIS ketika jumlah mahasiswa tiap tahun dapat mendaftar pada
masing-masing jurusan minimum 40 orang, maka jurusan hanya mampu
membayar dosen jauh di bawah dari ketentuan upah minimum.
Sementara itu, dosen di PTAIS yang dinyatakan dosen tetap, kebanyakan
tidak memiliki kepastian penghasilan mereka. Bagi yang punya performa baik,
maka berangsur-angsur dosen yang sudah mengabdi di yayasan mendaftar
menjadi pegawai negeri, atau pada tempat lain. Kemudian untuk penggantinya
sulit memperoleh dosen yang lebih baik sehingga dipastikan dosen di PTAIS
banyak yang menggunakan pegawai negeri lokal yang menyambi dengan sisa
waktu. Sebaliknya kebijakan pemerintah kini menegerikan PTAIS baik menjadi
4
PTN justru kontraproduktif. PTAIS sedemikian banyak justru memerlukan aturan
agar lebih semakin bergengsi di kemudian hari. Jika dalam satu jurusan mesti
tersedia dosen 6 dosen tetap, maka setengahnya dapat disediakan oleh negara,
artinya dosen pegawai negeri yang ditempatkan pada PTAIS.
Di Indonesia, tuntutan penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang
berazaskan “good governance” semakin menguat, terutama setelah bergulirnya
era reformasi tahun 1998. Karakteristik kebijakan pembangunan sektor
pendidikan yang lama cenderung menekankan dominasi peran pemerintah pusat
dalam pengaturan pendidikan, kebijakan seperti ini berakibat pada penyeragaman
dan pemusatan pengelolaan pendidikan yang berdampak pada lemahnya
aktualisasi kapasitas pendidikan. Prinsip good governance menekankan pada
akuntabilitas publik.
Secara konseptual kebijakan tersebut memberikan ’angin segar’ dan harapan
yang optimistik bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun ada beberapa hal
yang perlu dicermati, terutama terkait dengan dampak perubahan status tersebut
yang kenyataannya menyisakan banyak persoalan terkait dengan struktur
organisasi, manajemen, rekrutmen mahasiswa dan urusan finansial.
Salah satu kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan adalah
sertifikasi untuk pendidik. Kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen dalam
jabatan yang dilakukan dengan uji kompetensi melalui penilaian portofolio, pada
awal pelaksanaanya menimbulkan kontroversi dan membuat resah kalangan
dosen (Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2005; Kompas, 18 Nopember 2005,
19 dan 20 September 2007, 2 Oktober 2007; dan Media Indonesia, 7 Desember
2005); bahkan hingga kini masih terjadi permasalahan pembayaran tunjangan
profesi (Kompas, 21 Januari 2011). Berbagai permasalahan tersebut
menunjukkan bahwa kebijakan sertifikasi pendidik memiliki derajat penerimaan
(akseptabilitas) dan tingkat keterlaksanaan (implementabilitas) yang relatif
rendah di kalangan dosen sebagai sasaran kebijakan.
Berbagai permasalahan tersebut diduga terjadi karena ada sesuatu yang
tidak tepat dalam perumusan (formulasi) kebijakan sertifikasi pendidik.
Dugaan ini berdasarkan pemikiran bahwa “More important in terms of the
5
process of implementation is the fact that decisions made at the design or
formulation stage have considerable impact on how implementation proceeds
(Grindle, 1980: 8). Selain itu pada tahap perumusan kebijakan, sebagaimana
dikemukakan oleh Nugroho (2008: 355) ditetapkan batas-batas kebijakan yang
menyangkut sumberdaya waktu, kemampuan sumberdaya manusia,
kelembagaan, dan dana atau anggaran. Oleh karena itu “sungguhpun telah
disahkan, bukan berarti rumusan kebijaksanaan tersebut telah bebas dari
problema” (Imron ,1996: 51). Dengan demikian permasalahan-permasalahan
dalam implementasi kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen dalam jabatan
pada dasarnya dapat ditelusur atau dilacak dari proses perumusan kebijakan
sertifikasi pendidik.
Pengkajian terhadap proses perumusan kebijakan ini sangat bermanfaat
untuk mendapatkan informasi yang diperlukan guna menyusun kebijakan yang
memadai, sebagaimana dikemukakan oleh Kerr (1976: 17) bahwa:
“..., so descriptions of how policies are made can provide us with information that is requisite to making sound decisions on what we ought to be doing when making policies. In other words, a process description is a description of behaviour and, as such, cannot itself recommend action; but it can provide information that is essential to coming to careful decisions about how policies ought to be made”.
Pendapat tersebut menegaskan bahwa deskripsi tentang bagaimana suatu
kebijakan dibuat dapat menyediakan kepada kita berbagai informasi yang
diperlukan untuk menyusun keputusan-keputusan yang baik, yang harus
dilakukan dalam mengambil kebijakan. Kajian perumusan kebijakan tersebut
merupakan deskripsi tentang perilaku pengambilan keputusan, yang memang
tidak merekomendasikan suatu tindakan, tetapi dapat menyediakan informasi
penting untuk memenuhi kecermatan dalam mengambil keputusan sebagaimana
seharusnya suatu kebijakan ditetapkan. Dengan demikian penelitian ini
berusaha mengkaji perilaku perumusan kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen
dalam jabatan.
Kebijakan merupakan hasil dari politik, atau hasil dari alokasi nilai,
yakni apa yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan, termasuk untuk tidak
6
dikerjakan (Dye, 1976: 1). Sehubungan dengan itu kebijakan (termasuk
kebijakan pendidikan) merupakan perangkat operasional, atau pedoman-
pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang
ditetapkan oleh lembaga politik (Makmun, 2008). Dengan merujuk pendapat
pakar (Kerr, 1976; Wildavsky, 1979; Monahan dan Hengst, 1982; Harman, 1984;
MacRae dan Wilde, 1985; Anderson, 1988; dan Guba, 1991) dapat disimpulkan
bahwa kebijakan pendidikan adalah serangkaian keputusan dan/atau tindakan
pemerintah yang memiliki tujuan khusus untuk menyelesaikan permasalahan
atau urusan di bidang pendidikan dan hasilnya memiliki dampak terhadap orang
banyak. Sehubungan dengan itu kebijakan pendidikan perlu disusun secara
cermat, jelas dan tegas guna mengatur penyelenggaraan pendidikan sehingga
dapat meningkatkan kinerja pendidikan nasional.
Pada dasarnya proses kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya.
Proses kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, berlangsung dalam suatu
sistem politik dan pemerintahan yang berlaku, dan mendapat pengaruh dan
dukungan dari lingkungan sekitarnya. Kebijakan sertifikasi bagi dosen dan dosen
memang suatu langkah yang strategis untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan
di Indonesia. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada dosen
Yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik,
kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk
mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dibarengi dengan peningkatan
kesejahteraan yang layak.
Terlepas dari berbagai permasalahan seputar implementasi dalam konteks
organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang
jelas serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Program sertifikasi tidak
hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya
mengubah motivasi dan kinerja dosen secara terencana, terarah dan
berkesinambungan.
Komitmen pemerintah dan DPR RI dalam upaya memajukan pendidikan
semakin menguatkan setelah disahkannya beberapa produk hukum baru dalam
bidang pendidikan. Hal ini tercermin dalam UU No. 20 tahun 2005 tentang
7
Sisdiknas, UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Dosen dan Dosen dan PP RI No.
19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Konsekuensi dari itu,
antara lain bahwa pemerintah harus segera menyelenggarakan program
sertifikasi dosen sebagai upaya untuk meningkatkan mutu dan martabat dosen.
Program sertifikasi ini menjadi peluang dan tantangan bagi dosen, Peluang oleh
karena berbagai kesempatan untuk bermutu dan fasilitas kesejahteraan yang
menjadi hak dosen. Tantangan oleh karena program sertifikasi hanya akan
diikuti oleh dosen yang benar- benar sejati menjadi dosen.
Sertifikasi dosen merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan
untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang dosen, Sehingga
diharapkan semua dosen harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin
mengajar. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Dosen dan Dosen mengemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian
sertifikat pendidik untuk dosen dan dosen. Sedangkan yang dimaksud dengan
sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan
kepada dosen dan dosen sebagai tenaga profesional. Melalui sertifikasi ini
diharapkan dosen menjadi pendidik yang profesional, yaitu pendidikkan minimal
S-1 (Strata satu)/D-4 (Diploma empat) dan berkompetensi sebagai agen
pembelajaran yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi pendidik setelah
dinyatakan lulus uji kompetensi. Peningkatan mutu dosen melalui program
sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.
Menurut Muslich (2007: 9), manfaat uji sertifikasi antara lain sebagai
berikut:
a. Melindungi profesi dosen dari praktik layanan pendidikan yang tidak
kompeten sehingga dapat merusak citra profesi dosen itu sendiri.
b. Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas
dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas
pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini.
c. Menjadi wahana penjamin mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga
Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon dosen dan
juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.
8
d. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan
eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan berlaku.
Sedangkan tujuan sertifikasi di antaranya, yang pertama menentukan
kelayakan dosen sebagai agen pembelajaran. Kedua meningkatkan proses dan
mutu pendidikan. Ketiga meningkatkan martabat dosen, dan keempat
meningkatkan profesionalisme (Sujanto, 2009: 9).
Secara formal UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, UU RI No.14 tahun 2005 tentang Dosen dan Dosen dan PP No.16
tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menyatakan bahwa dosen
adalah tenaga profesioanal. Sebagai tenaga profesional, dosen dipersyaratkan
memiliki kualitas akademik S-1atau D-4 dalam bidang yang relevan dengan
mata pelajaran yang diampunya dan menguasai kompetensi sebagai agen
pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik S-1/D-4 dibuktikan
dengan ijazah yang diperolehnya di Lembaga Pendidikan Tinggi dan
persyaratan relevansi dibuktikan dengan kesesuaian antara bidang pendidikan
yang dimiliki dan mata pelajaran yang diampu di sekolah. Sementara itu,
persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran (yang meliputi
kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial) dibuktikan dengan
sertifikat sebagai pendidik.
Salah satu lembaga perguruan tinggi yang menerapkan sertifikasi adalah
pendidikan pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang menempatkan sosok kiai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat
lembaganya (Dhofier, 1994). Lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam
tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous
culture) (Zarkasyi, 1998). Siswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren
kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di
luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat
terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut
pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu
agama Islam diberbagai belahan dunia.
9
Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren
masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat
memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan
belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi
dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.
Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi
pendidikan yang mengajarkan agama dan penekanan moral dipertanyakan.
Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum
terhadap pesantren ada dua macam. Yaitu: (1) Mereka yang menyangsikan
relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. (2) Mereka yang justru
melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan
(Busyro, 1998). Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus
terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan
sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum
pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondok pesantren dalam hal
ini; (1) Merevisi kurikulum dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran
umum atau bahkan keterampilan umum; (2) membuka kelembagaan dan fasilitas-
fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum (Azra, 1998). Sistem
konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan
peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan
melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman al-akhlak al-karîmah
(moral) dan intelektual.
Muhajir (2005) berpendapat yang berkaitan dengan dinamika dalam arti
instrumentasi, antara lain: pendapat Durkheim yang mengatakan perubahan
evolusioner dari mekanik ke organik. Pembagian kerja dan tata sosial yang semula
kaku mendetail menjadi luwes. Sedangkan Homans mengatakan teori tukar
menukar (exchange theory), bahwa manusia bertindak atas prinsip meminimalkan
biaya dengan menjangkau keuntungan maksimal. Kekuatan (power) dimiliki oleh
orang yang mampu memberi hadiah (keuntungan) lebih besar dalam tukar
menukar dengan kesediaan menerima imbalan yang lebih kecil. Lewis Coser
mengatakan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial, dan mempunyai
10
fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial, dan fungsi negatif
konflik menimbulkan keraguan dan keseimbangan nilai sosial yang ada. Adanya
perubahan bisa terjadi dengan evolusioner, dan dalam perubahan tersebut ada
suatu kekuatan (power) yang menjadikan sesuatu itu dapat berubah. Dalam
fenomena yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ada di
pesantren adalah sosok sentral, yaitu seorang kiai.
Fenomena tentang pola pengembangan pendidikan dengan sertifikasi di
pesantren juga memiliki perbedaan cara dan pengelolaannya. Rasionalnya adalah
apabila kompetensi dosen bagus yang diikuti dengan kesejahteraan yang bagus,
diharapkan kinerjanya juga bagus. Begitu pula, apabila kinerjanya bagus maka
KBM-nya akan bagus pula. KBM yang bagus diharapkan dapat membuahkan
pendidikan yang bermutu (Muslich, 2007: 8). Kinerja adalah tingkat
keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya serta kemampuan untuk memcapai tujuan dan standar yang
telah ditetapkan (Sulistyorini: 2001). Kinerja dosen adalah suatu hasil kerja yang
dicapai seorang dosen dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan
kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta
waktu. Kinerja dosen sangat penting untuk diperhatikan dan dievaluasi karena
dosen mengemban tugas profesional, artinya tugas-tugas tersebut hanya dapat
dikerjakan dengan kompetensi khusus yang diperoleh dari kependidikan.
1.2 Perumusan Masalah
Sebagian besar PTAI menghadapi kendala utama yang sama yaitu
menurunnya input mahasiswa di PTAI. Hal tersebut ditengarai karena kurangnya
minat mereka untuk belajar di PTAI. Asumsinya, PTAI tidak bisa memberikan
prospek masa depan yang baik. Ada dua sebab mengapa demikian; pertama, sikap
inferioritas dari civitas akademika; kedua, perlakuan administratif dari pengguna
lulusan PTAI yang sering memperlakukan tidak adil terhadap lulusan PTAI.
Kondisi tersebut, diperparah dengan tidak diimbanginnya proses pembelajaran di
PTAI yang lebih baik. Jika masalah-masalah semacam ini tidak segera dicarikan
alternatif pemecahannya, maka tidak mustahil PTAI akan menjadi “kering” dan
11
pada akhirnya, akan “mati”. Permasalahan yang ada di PTAIS juga bisa
disebabkan kinerja dosen dan karyawan yang juga menunjang keberhasilan dna
kemajuan PTAIS. Oleh karena itu, kebijakan sertifikasi dapat dijadikan suatu
solusi untuk menjang kesejahteraan dalam meningkatkan kinerja dosen.
Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari
penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi kebijakan sertifikasi dosen bagi
kinerja dosen PTAIS Islam STAIQOD, STAIFAS dan STAIDA Blok Agung?
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengkaji implementasi kebijakan sertifikasi dosen bagi kinerja
dosen PTAIS Islam STAIQOD, STAIFAS dan STAIDA Blok Agung.
1.3.2 Manfaat Penelitian
a. Manfaat Teoritis
Untuk menambah khasanah keilmuan bagi penulis khususnya dan bagi
pembaca pada umumnya tentang pengaruh sertifikasi terhadap dosen bagi
kinerja dosen PTAIS Islam di Blok Agung di Kabupaten Jember dan
Banyuwangi.
b. Manfaat Praktis
Memberikan sumbangan saran dan pemikiran mengenai sertifikasi dalam
rangka untuk meningkatkan kinerja guru dosen bagi kinerja dosen PTAIS
Islam di Blok Agung di Kabupaten Jember dan Banyuwangi.