bab 1revisi

18
PROPOSAL DISERTASI IMPLIKASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI DOSEN DALAM PENINGKATAN KINERJA STUDI KASUS PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA DALAM LINGKUNGAN PESANTREN Oleh : Asmad, S.Pd.I, MM Dosen Pembimbing : Prof.Dr.Hary Yuswadi, MA Drs.Himawan Bayu Patriadi, MA, Pd.D Dr.Akhmad Toha, M.Si 1

Upload: edwarn-abazel

Post on 30-Jun-2015

109 views

Category:

Education


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1revisi

PROPOSAL DISERTASI

IMPLIKASI KEBIJAKAN SERTIFIKASI DOSEN DALAM

PENINGKATAN KINERJA STUDI KASUS PENDIDIKAN TINGGI

AGAMA ISLAM SWASTA DALAM LINGKUNGAN PESANTREN

Oleh :

Asmad, S.Pd.I, MM

Dosen Pembimbing :

Prof.Dr.Hary Yuswadi, MA

Drs.Himawan Bayu Patriadi, MA, Pd.D

Dr.Akhmad Toha, M.Si

PROGRAM PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR ILMU ADMINISTRASI

UNIVERSITAS JEMBER

2014

1

Page 2: Bab 1revisi

2

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Arus demokratisasi global telah menekan pemerintahan di berbagai belahan

dunia ke arah pencapaian “good governance” yang setidaknya memiliki tiga

pilar utama, yaitu transparansi, akuntabilitas dan partisipasi (UNDP, 2001).

Dampak dari arah baru pemerintahan ini tidak hanya terjadi pada sektor

pemerintahan saja, namun merambah pada berbagai aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara, terutama isu-isu yang terkait dengan pelayanan publik yang utama

seperti sektor kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan masyarakat. Sektor

pendidikan dipandang sebagai suatu sektor strategis dalam pembangunan dewasa

ini, pada tataran global, dunia sedang memasuki era ekonomi berbasis

pengetahuan (knowledge based economy). Pandangan ini mempercayai bahwa

pertumbuhan ekonomi, kemakmuran dan kesejahteraan suatu negara sangat

dipengaruhi oleh kualitas pendidikan dan kemampuannya menguasai ilmu

pengetahuan.

Sesuai UU RI No.20, pasal 20 (2003) dan PP No.60, Pasal 3 (1999)

dikatakan bahwa perguruan tinggi berkewajiban menyelenggarakan pendidikan

tinggi, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat atau yang disebut dengan

Tridharma Perguruan Tinggi. Ketiga kegiatan ini merupakan aspek-aspek yang

saling berkaiatan, tidak terpisahkan satu sama lain untuk lingkup produktivitas

suatu perguruan tinggi.

Pencapaian tujuan penyelenggaraan perguruan tinggi ini diemban oleh

dosen, sebagai inti yang menjalankan operasional organisasi. Oleh karenanya,

ukuran produktivitas perguruan tinggi terutama sekali menggunakan standar

kinerja dosen ini. Misalnya, penentuan akreditasi program studi atau perguruan

tinggi menggunakan standar kinerja dosen yang berhubungan dengan kegiatan

Tridharma Perguruan Tinggi ini. Laporan EPSBED yang dilaksanakan setiap

semester juga menggunakan standar kinerja dosen. Yang paling utama adalah

Page 3: Bab 1revisi

3

penilaian kinerja dosen untuk kenaikan pangkat jabatan akademik dosen, yang

menunjukkan promosi karir seorang dosen (PP No.6. Pasal 102, 1999).

Salah satu perguruan tinggi yang mengalami perkembangan signifikan

adalah perguruan tinggi swasta. Menurut pengamat perguruan tinggi dari

Universitas Andalas, Prof Dr Elfindri, menilai banyak perguruan tinggi swasta di

Indonesia kesulitan menyediakan dosen berkualitas. Hal itu muncul lebih akibat

sebagian besar PTAIS juga pada umumnya menghadapi persoalan keuangan.

Keberadaan PTAIS di Indonesia yang sangat beragam, baik dari distribusi

beroperasinya, kinerja perkembangannya, maupun pengelolaan jurusan yang

tersedia.

PTAIS sebagai perguruan tinggi Islam telah berkembang dan menyaingi PT

negeri yang sudah berumur setengah abad lebih. Tetapi, jumlah PTAIS berkualitas

itu hanya sedikit, sementara ribuan PTAIS lainnya hidup Senin-Kamis, tetapi

masih tetap berjuang menyediakan pelayanan kepada anak-anak bangsa. Salah

satu masalah yang dihadapi oleh PTAIS adalah persoalan ketersediaan dosen yang

bermutu. Pemerintah mengharuskan perguruan tinggi memiliki dosen yang

berkualifikasi pendidikan minimum S-2. Sebuah jurusan minimal memiliki enam

dosen. Akan tetapi, ketika pendirian legalitas awal, maka ketersediaan dosen

dipenuhi dengan berbagai cara, dan pada akhirnya keberadaan dosen di PTAIS

menjadi persoalan krusial. Hal itu diakibatkan negara diakui memang tidak

menyediakan dosen untuk penyelenggaraan pendidikan tinggi swasta. Sedangkan

dilema dihadapi PTAIS ketika jumlah mahasiswa tiap tahun dapat mendaftar pada

masing-masing jurusan minimum 40 orang, maka jurusan hanya mampu

membayar dosen jauh di bawah dari ketentuan upah minimum.

Sementara itu, dosen di PTAIS yang dinyatakan dosen tetap, kebanyakan

tidak memiliki kepastian penghasilan mereka. Bagi yang punya performa baik,

maka berangsur-angsur dosen yang sudah mengabdi di yayasan mendaftar

menjadi pegawai negeri, atau pada tempat lain. Kemudian untuk penggantinya

sulit memperoleh dosen yang lebih baik sehingga dipastikan dosen di PTAIS

banyak yang menggunakan pegawai negeri lokal yang menyambi dengan sisa

waktu. Sebaliknya kebijakan pemerintah kini menegerikan PTAIS baik menjadi

Page 4: Bab 1revisi

4

PTN justru kontraproduktif. PTAIS sedemikian banyak justru memerlukan aturan

agar lebih semakin bergengsi di kemudian hari. Jika dalam satu jurusan mesti

tersedia dosen 6 dosen tetap, maka setengahnya dapat disediakan oleh negara,

artinya dosen pegawai negeri yang ditempatkan pada PTAIS.

Di Indonesia, tuntutan penyelenggaraan pelayanan pendidikan yang

berazaskan “good governance” semakin menguat, terutama setelah bergulirnya

era reformasi tahun 1998. Karakteristik kebijakan pembangunan sektor

pendidikan yang lama cenderung menekankan dominasi peran pemerintah pusat

dalam pengaturan pendidikan, kebijakan seperti ini berakibat pada penyeragaman

dan pemusatan pengelolaan pendidikan yang berdampak pada lemahnya

aktualisasi kapasitas pendidikan. Prinsip good governance menekankan pada

akuntabilitas publik.

Secara konseptual kebijakan tersebut memberikan ’angin segar’ dan harapan

yang optimistik bagi kemajuan pendidikan di Indonesia. Namun ada beberapa hal

yang perlu dicermati, terutama terkait dengan dampak perubahan status tersebut

yang kenyataannya menyisakan banyak persoalan terkait dengan struktur

organisasi, manajemen, rekrutmen mahasiswa dan urusan finansial.

Salah satu kebijakan pemerintah dalam sektor pendidikan adalah

sertifikasi untuk pendidik. Kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen dalam

jabatan yang dilakukan dengan uji kompetensi melalui penilaian portofolio, pada

awal pelaksanaanya menimbulkan kontroversi dan membuat resah kalangan

dosen (Kedaulatan Rakyat, 7 Desember 2005; Kompas, 18 Nopember 2005,

19 dan 20 September 2007, 2 Oktober 2007; dan Media Indonesia, 7 Desember

2005); bahkan hingga kini masih terjadi permasalahan pembayaran tunjangan

profesi (Kompas, 21 Januari 2011). Berbagai permasalahan tersebut

menunjukkan bahwa kebijakan sertifikasi pendidik memiliki derajat penerimaan

(akseptabilitas) dan tingkat keterlaksanaan (implementabilitas) yang relatif

rendah di kalangan dosen sebagai sasaran kebijakan.

Berbagai permasalahan tersebut diduga terjadi karena ada sesuatu yang

tidak tepat dalam perumusan (formulasi) kebijakan sertifikasi pendidik.

Dugaan ini berdasarkan pemikiran bahwa “More important in terms of the

Page 5: Bab 1revisi

5

process of implementation is the fact that decisions made at the design or

formulation stage have considerable impact on how implementation proceeds

(Grindle, 1980: 8). Selain itu pada tahap perumusan kebijakan, sebagaimana

dikemukakan oleh Nugroho (2008: 355) ditetapkan batas-batas kebijakan yang

menyangkut sumberdaya waktu, kemampuan sumberdaya manusia,

kelembagaan, dan dana atau anggaran. Oleh karena itu “sungguhpun telah

disahkan, bukan berarti rumusan kebijaksanaan tersebut telah bebas dari

problema” (Imron ,1996: 51). Dengan demikian permasalahan-permasalahan

dalam implementasi kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen dalam jabatan

pada dasarnya dapat ditelusur atau dilacak dari proses perumusan kebijakan

sertifikasi pendidik.

Pengkajian terhadap proses perumusan kebijakan ini sangat bermanfaat

untuk mendapatkan informasi yang diperlukan guna menyusun kebijakan yang

memadai, sebagaimana dikemukakan oleh Kerr (1976: 17) bahwa:

“..., so descriptions of how policies are made can provide us with information that is requisite to making sound decisions on what we ought to be doing when making policies. In other words, a process description is a description of behaviour and, as such, cannot itself recommend action; but it can provide information that is essential to coming to careful decisions about how policies ought to be made”.

Pendapat tersebut menegaskan bahwa deskripsi tentang bagaimana suatu

kebijakan dibuat dapat menyediakan kepada kita berbagai informasi yang

diperlukan untuk menyusun keputusan-keputusan yang baik, yang harus

dilakukan dalam mengambil kebijakan. Kajian perumusan kebijakan tersebut

merupakan deskripsi tentang perilaku pengambilan keputusan, yang memang

tidak merekomendasikan suatu tindakan, tetapi dapat menyediakan informasi

penting untuk memenuhi kecermatan dalam mengambil keputusan sebagaimana

seharusnya suatu kebijakan ditetapkan. Dengan demikian penelitian ini

berusaha mengkaji perilaku perumusan kebijakan sertifikasi pendidik bagi dosen

dalam jabatan.

Kebijakan merupakan hasil dari politik, atau hasil dari alokasi nilai,

yakni apa yang dipilih pemerintah untuk dikerjakan, termasuk untuk tidak

Page 6: Bab 1revisi

6

dikerjakan (Dye, 1976: 1). Sehubungan dengan itu kebijakan (termasuk

kebijakan pendidikan) merupakan perangkat operasional, atau pedoman-

pedoman bagi pemerintah untuk melaksanakan keputusan-keputusan yang

ditetapkan oleh lembaga politik (Makmun, 2008). Dengan merujuk pendapat

pakar (Kerr, 1976; Wildavsky, 1979; Monahan dan Hengst, 1982; Harman, 1984;

MacRae dan Wilde, 1985; Anderson, 1988; dan Guba, 1991) dapat disimpulkan

bahwa kebijakan pendidikan adalah serangkaian keputusan dan/atau tindakan

pemerintah yang memiliki tujuan khusus untuk menyelesaikan permasalahan

atau urusan di bidang pendidikan dan hasilnya memiliki dampak terhadap orang

banyak. Sehubungan dengan itu kebijakan pendidikan perlu disusun secara

cermat, jelas dan tegas guna mengatur penyelenggaraan pendidikan sehingga

dapat meningkatkan kinerja pendidikan nasional.

Pada dasarnya proses kebijakan tidak dapat dipisahkan dari lingkungannya.

Proses kebijakan, termasuk kebijakan pendidikan, berlangsung dalam suatu

sistem politik dan pemerintahan yang berlaku, dan mendapat pengaruh dan

dukungan dari lingkungan sekitarnya. Kebijakan sertifikasi bagi dosen dan dosen

memang suatu langkah yang strategis untuk dapat meningkatkan mutu pendidikan

di Indonesia. Sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat pendidik kepada dosen

Yang telah memenuhi persyaratan tertentu, yaitu memiliki kualifikasi akademik,

kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk

mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dibarengi dengan peningkatan

kesejahteraan yang layak.

Terlepas dari berbagai permasalahan seputar implementasi dalam konteks

organisasi yang menyeluruh dengan tujuan dan target yang jelas, prioritas yang

jelas serta sumber daya pendukung yang jelas pula. Program sertifikasi tidak

hanya dipandang sebagai cara memberikan tunjangan profesi, tetapi sebagai upaya

mengubah motivasi dan kinerja dosen secara terencana, terarah dan

berkesinambungan.

Komitmen pemerintah dan DPR RI dalam upaya memajukan pendidikan

semakin menguatkan setelah disahkannya beberapa produk hukum baru dalam

bidang pendidikan. Hal ini tercermin dalam UU No. 20 tahun 2005 tentang

Page 7: Bab 1revisi

7

Sisdiknas, UU RI No. 14 tahun 2005 tentang Dosen dan Dosen dan PP RI No.

19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. Konsekuensi dari itu,

antara lain bahwa pemerintah harus segera menyelenggarakan program

sertifikasi dosen sebagai upaya untuk meningkatkan mutu dan martabat dosen.

Program sertifikasi ini menjadi peluang dan tantangan bagi dosen, Peluang oleh

karena berbagai kesempatan untuk bermutu dan fasilitas kesejahteraan yang

menjadi hak dosen. Tantangan oleh karena program sertifikasi hanya akan

diikuti oleh dosen yang benar- benar sejati menjadi dosen.

Sertifikasi dosen merupakan sebuah terobosan dalam dunia pendidikan

untuk meningkatkan kualitas dan profesionalitas seorang dosen, Sehingga

diharapkan semua dosen harus memiliki sertifikat sebagai lisensi atau ijin

mengajar. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang

Dosen dan Dosen mengemukakan bahwa sertifikasi adalah proses pemberian

sertifikat pendidik untuk dosen dan dosen. Sedangkan yang dimaksud dengan

sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan

kepada dosen dan dosen sebagai tenaga profesional. Melalui sertifikasi ini

diharapkan dosen menjadi pendidik yang profesional, yaitu pendidikkan minimal

S-1 (Strata satu)/D-4 (Diploma empat) dan berkompetensi sebagai agen

pembelajaran yang dibuktikan dengan kepemilikan sertifikasi pendidik setelah

dinyatakan lulus uji kompetensi. Peningkatan mutu dosen melalui program

sertifikasi ini sebagai upaya peningkatan mutu pendidikan.

Menurut Muslich (2007: 9), manfaat uji sertifikasi antara lain sebagai

berikut:

a. Melindungi profesi dosen dari praktik layanan pendidikan yang tidak

kompeten sehingga dapat merusak citra profesi dosen itu sendiri.

b. Melindungi masyarakat dari praktik pendidikan yang tidak berkualitas

dan profesional yang akan menghambat upaya peningkatan kualitas

pendidikan dan penyiapan sumber daya manusia di negeri ini.

c. Menjadi wahana penjamin mutu bagi Lembaga Pendidikan Tenaga

Kependidikan (LPTK) yang bertugas mempersiapkan calon dosen dan

juga berfungsi sebagai kontrol mutu bagi pengguna layanan pendidikan.

Page 8: Bab 1revisi

8

d. Menjaga lembaga penyelenggara pendidikan dari keinginan internal dan

eksternal yang potensial dapat menyimpang dari ketentuan berlaku.

Sedangkan tujuan sertifikasi di antaranya, yang pertama menentukan

kelayakan dosen sebagai agen pembelajaran. Kedua meningkatkan proses dan

mutu pendidikan. Ketiga meningkatkan martabat dosen, dan keempat

meningkatkan profesionalisme (Sujanto, 2009: 9).

Secara formal UU RI No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional, UU RI No.14 tahun 2005 tentang Dosen dan Dosen dan PP No.16

tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, menyatakan bahwa dosen

adalah tenaga profesioanal. Sebagai tenaga profesional, dosen dipersyaratkan

memiliki kualitas akademik S-1atau D-4 dalam bidang yang relevan dengan

mata pelajaran yang diampunya dan menguasai kompetensi sebagai agen

pembelajaran. Pemenuhan persyaratan kualifikasi akademik S-1/D-4 dibuktikan

dengan ijazah yang diperolehnya di Lembaga Pendidikan Tinggi dan

persyaratan relevansi dibuktikan dengan kesesuaian antara bidang pendidikan

yang dimiliki dan mata pelajaran yang diampu di sekolah. Sementara itu,

persyaratan penguasaan kompetensi sebagai agen pembelajaran (yang meliputi

kompetensi kepribadian, pedagogik, profesional, dan sosial) dibuktikan dengan

sertifikat sebagai pendidik.

Salah satu lembaga perguruan tinggi yang menerapkan sertifikasi adalah

pendidikan pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam

yang menempatkan sosok kiai sebagai tokoh sentral dan masjid sebagai pusat

lembaganya (Dhofier, 1994). Lembaga ini merupakan institusi pendidikan Islam

tertua di Indonesia dan sekaligus bagian dari warisan budaya bangsa (indigenous

culture) (Zarkasyi, 1998). Siswa yang pernah mengenyam pendidikan pesantren

kemudian juga belajar di lembaga pendidikan lainnya baik di dalam maupun di

luar negeri pada umumnya memandang bahwa pesantren tetap memiliki tempat

terhormat sebagai lembaga pendidikan Islam khas Indonesia yang dapat dirunut

pertalian keilmuan dan kurikulumnya dengan pusat-pusat pembelajaran ilmu

agama Islam diberbagai belahan dunia.

Page 9: Bab 1revisi

9

Optimisme itu biasanya mendasarkan pada bukti-bukti bahwa pesantren

masih tetap terselenggara sejak ratusan tahun yang lalu, lulusannya dapat

memainkan peranan yang berharga di bidang keilmuan atau kepemimpinan, dan

belum ada lembaga pendidikan yang melahirkan ulama dari generasi ke generasi

dalam kapasitas sebagaimana yang diluluskan oleh pesantren.

Seiring dengan perkembangan zaman, potensi pesantren sebagai intitusi

pendidikan yang mengajarkan agama dan penekanan moral dipertanyakan.

Muhammad Busyro mengatakan jika dewasa ini pandangan masyarakat umum

terhadap pesantren ada dua macam. Yaitu: (1) Mereka yang menyangsikan

relevansi lembaga ini untuk menyongsong masa depan. (2) Mereka yang justru

melihat pesantren sebagai sebuah alternatif model pendidikan masa depan

(Busyro, 1998). Melihat kenyataan ini, pondok pesantren mau tidak mau harus

terbuka dengan dunia luar. Hal ini diulai sejak abad ke-20 dengan penerapan

sistem konvergensi, yakni pemaduan kurikulum pesantren dengan kurikulum

pemerintah. Sedikitnya ada dua cara yang dilakukan pondok pesantren dalam hal

ini; (1) Merevisi kurikulum  dengan memasukkan semakin banyak mata pelajaran

umum atau bahkan keterampilan umum; (2) membuka kelembagaan dan fasilitas-

fasilitas pendidikan bagi kepentingan pendidikan umum (Azra, 1998). Sistem

konvergensi ini apabila dikelola dengan manajemen yang baik akan memberikan

peluang dan harapan terhadap pesantren menjadi lembaga yang mampu berperan

melaksanakan pendidikan secara integral antara penanaman al-akhlak al-karîmah

(moral) dan intelektual.

Muhajir (2005) berpendapat yang berkaitan dengan dinamika dalam arti

instrumentasi, antara lain: pendapat Durkheim yang mengatakan perubahan

evolusioner dari mekanik ke organik. Pembagian kerja dan tata sosial yang semula

kaku mendetail menjadi luwes. Sedangkan Homans mengatakan teori tukar

menukar (exchange theory), bahwa manusia bertindak atas prinsip meminimalkan

biaya dengan menjangkau keuntungan maksimal. Kekuatan (power) dimiliki oleh

orang yang mampu memberi hadiah (keuntungan) lebih besar dalam tukar

menukar dengan kesediaan menerima imbalan yang lebih kecil. Lewis Coser

mengatakan peranan konflik sebagai pendorong perubahan sosial, dan mempunyai

Page 10: Bab 1revisi

10

fungsi positif dan fungsi negatif dalam perubahan sosial, dan fungsi negatif

konflik menimbulkan keraguan dan keseimbangan nilai sosial yang ada. Adanya

perubahan bisa terjadi dengan evolusioner, dan dalam perubahan tersebut ada

suatu kekuatan (power) yang menjadikan sesuatu itu dapat berubah. Dalam

fenomena yang terjadi, hal ini menunjukkan bahwa suatu kekuatan yang ada di

pesantren adalah sosok sentral, yaitu seorang kiai.

Fenomena tentang pola pengembangan pendidikan dengan sertifikasi di

pesantren juga memiliki perbedaan cara dan pengelolaannya. Rasionalnya adalah

apabila kompetensi dosen bagus yang diikuti dengan kesejahteraan yang bagus,

diharapkan kinerjanya juga bagus. Begitu pula, apabila kinerjanya bagus maka

KBM-nya akan bagus pula. KBM yang bagus diharapkan dapat membuahkan

pendidikan yang bermutu (Muslich, 2007: 8). Kinerja adalah tingkat

keberhasilan seseorang atau kelompok orang dalam melaksanakan tugas dan

tanggungjawabnya serta kemampuan untuk memcapai tujuan dan standar yang

telah ditetapkan (Sulistyorini: 2001). Kinerja dosen adalah suatu hasil kerja yang

dicapai seorang dosen dalam melaksanakan tugas-tugasnya yang dibebankan

kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta

waktu. Kinerja dosen sangat penting untuk diperhatikan dan dievaluasi karena

dosen mengemban tugas profesional, artinya tugas-tugas tersebut hanya dapat

dikerjakan dengan kompetensi khusus yang diperoleh dari kependidikan.

1.2 Perumusan Masalah

Sebagian besar PTAI menghadapi kendala utama yang sama yaitu

menurunnya input mahasiswa di PTAI. Hal tersebut ditengarai karena kurangnya

minat mereka untuk belajar di PTAI. Asumsinya, PTAI tidak bisa memberikan

prospek masa depan yang baik. Ada dua sebab mengapa demikian; pertama, sikap

inferioritas dari civitas akademika; kedua, perlakuan administratif dari pengguna

lulusan PTAI yang sering memperlakukan tidak adil terhadap lulusan PTAI.

Kondisi tersebut, diperparah dengan tidak diimbanginnya proses pembelajaran di

PTAI yang lebih baik. Jika masalah-masalah semacam ini tidak segera dicarikan

alternatif pemecahannya, maka tidak mustahil PTAI akan menjadi “kering” dan

Page 11: Bab 1revisi

11

pada akhirnya, akan “mati”. Permasalahan yang ada di PTAIS juga bisa

disebabkan kinerja dosen dan karyawan yang juga menunjang keberhasilan dna

kemajuan PTAIS. Oleh karena itu, kebijakan sertifikasi dapat dijadikan suatu

solusi untuk menjang kesejahteraan dalam meningkatkan kinerja dosen.

Berdasarkan pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dari

penelitian ini adalah bagaimanakah implementasi kebijakan sertifikasi dosen bagi

kinerja dosen PTAIS Islam STAIQOD, STAIFAS dan STAIDA Blok Agung?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah untuk mengkaji implementasi kebijakan sertifikasi dosen bagi kinerja

dosen PTAIS Islam STAIQOD, STAIFAS dan STAIDA Blok Agung.

1.3.2 Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Untuk menambah khasanah keilmuan bagi penulis khususnya dan bagi

pembaca pada umumnya tentang pengaruh sertifikasi terhadap dosen bagi

kinerja dosen PTAIS Islam di Blok Agung di Kabupaten Jember dan

Banyuwangi.

b. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan saran dan pemikiran mengenai sertifikasi dalam

rangka untuk meningkatkan kinerja guru dosen bagi kinerja dosen PTAIS

Islam di Blok Agung di Kabupaten Jember dan Banyuwangi.