bab 1 pendahuluan -...

34
1 Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri yang paling penting di Indonesia dan semua negara berkembang. Setelah industri pengolahan makanan, industri tekstil adalah aktivitas manufaktur terbesar pada fase awal industrialisasi (Hill, 1992). Industri ini menyuplai komoditas dasar dan sumber yang penting untuk generasi tenaga kerja. Mengemukanya industri ini sangat mudah untuk dijelaskan, diantaranya, teknologi produksi yang standard dan hampir seluruhnya labour- intensive, skala ekonominya tidak terlalu signifikan, dan pengetahuan mengenai teknologi dan produknya sudah tersebar luas. Industri TPT Indonesia merupakan andalan ekspor bagi industri nasional semenjak tahun 1987 dan mencapai puncaknya pada tahun 1992 dengan nilai ekspor US$ 6,1 milyar (Widodo, 2001). Industri tekstil Indonesia pernah menjadi keunggulan komparatif dan tulang punggung perdagangan internasional Indonesia pada fase awal industriaisasi Indonesia. Sumbangan sektor ini terhadap GDP cukup besar demikian juga perannya terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, industri tersebut mengalami lost opportunity di mana pangsa pasar internasional menurun dan peran bagi ekonomi nasional menurun.

Upload: duongnguyet

Post on 15-Apr-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

1  

Bab 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) merupakan industri yang paling penting di

Indonesia dan semua negara berkembang. Setelah industri pengolahan makanan,

industri tekstil adalah aktivitas manufaktur terbesar pada fase awal industrialisasi

(Hill, 1992). Industri ini menyuplai komoditas dasar dan sumber yang penting untuk

generasi tenaga kerja. Mengemukanya industri ini sangat mudah untuk dijelaskan,

diantaranya, teknologi produksi yang standard dan hampir seluruhnya labour-

intensive, skala ekonominya tidak terlalu signifikan, dan pengetahuan mengenai

teknologi dan produknya sudah tersebar luas. Industri TPT Indonesia merupakan

andalan ekspor bagi industri nasional semenjak tahun 1987 dan mencapai puncaknya

pada tahun 1992 dengan nilai ekspor US$ 6,1 milyar (Widodo, 2001).

Industri tekstil Indonesia pernah menjadi keunggulan komparatif dan tulang

punggung perdagangan internasional Indonesia pada fase awal industriaisasi

Indonesia. Sumbangan sektor ini terhadap GDP cukup besar demikian juga perannya

terhadap penyerapan tenaga kerja. Namun demikian, industri tersebut mengalami lost

opportunity di mana pangsa pasar internasional menurun dan peran bagi ekonomi

nasional menurun.

Page 2: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

2  

Berakhirnya rezim Multi Fiber Agreement pada tahun 2005 yang menghentikan

sistem kuota ekspor TPT ke negara maju memberikan dampak positif dan negatif

bagi Indonesia. Di satu sisi, ketiadaan kuota memberikan kesempatan yang tidak

terbatas untuk mengekspor tekstil. Di sisi lain, berakhirnya rezim ini meningkatkan

persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

contoh China, negara kompetitor ini memiliki efisiensi yang lebih tinggi

dibandingkan Indonesia. China memiliki tenaga kerja yang murah. Selain itu, negara

kompetitor ini juga memiliki bahan baku kapas di negaranya sendiri di mana

Indonesia dalam hal ini masih harus mengimpor dengan konsekuensi harga yang

lebih mahal. Kompetitor lain, seperti negara-negara penghasil tekstil, seperti Vietnam,

yang tergabung dalam TPP memiliki bea masuk ke negara maju 0% sehingga

mengurangi daya saing Indonesia pasca berakhirnya rezim MFA.

Meskipun mengalami lost opportunity, produk garmen sebagai salah satu bagian dari

produk TPT cukup berptensi untuk dikembangkan kembali menjadi produksi

unggulan Indonesia. Selain karena industri TPT Indonesia sudah cukup siap, di mana

Indonesia telah memiliki industri hulu dan hilir TPT yang cukup terbangun. Pada

industri hulu, Indonesia memiliki industri pemintalan dan produksi kain yang telah

terbangun dengan baik. Di sisi hilir, Indonesia telah lama menjalin mitra dengan

perusahaan asing dalam memproduksi pakaian jadi untuk brand mereka. Selain itu,

dalam hal inovasi di industri hilir, Indonesia juga memiliki momentum yang cukup

baik di bidang industri garmen atau produk pakaian jadi seperti semakin banyaknya

Page 3: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

3  

disainer Indonesia yang berkualitas, semakin meningkatnya perhatian terhadap mode

baik dari pemerintah maupun aktor lain, serta berbagai keunikan pakaian jadi yang

hanya dimiliki oleh Indonesia seperti Busana Muslim, Batik, dan Pakaian Militer.

Pembahasan dalam penelitian ini akan berfokus pada produk TPT yang berupa

garmen atau pakaian jadi. Dari sisi value added, produk ini memberikan pertambahan

nilai yang cukup signifikan pada industri TPT dibandingkan dengan produk yang lain,

misalnya serat benang atau lembaran kain.

Sedangkan pengembangan industri tersebut berfokus pada ekspansi pasar ke luar

negeri yaitu ke negara-negara pasar non-tradisional. Hal tersebut dikarenakan latar

belakang berakirnya MFA yang menyebabkan pasar TPT negara tradisional sudah

mulai jenuh dan banyaknya negara kompetitor yang lebih efisien memasuki negara

pasar tradisional.

Peran komoditas TPT bagi perekonomian Indonesia, baik dalam sumbangannya

terghadap GDP, maupun penyerapan tenaga kerja, dinilai penulis layak untuk

dipertahankan sebagai komoditas unggulan. Berdasarkan rekam jejak komoditas ini

dan potensi yang dimiliki, komoditas TPT melalui sub sektor garmen berpotensi

untuk bangkit kembali, salah satunya melalui diversifikasi ke pasar negara non

tradisional.

Page 4: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

4  

1.2. Rumusan Masalah:

Rumusan masalah yang akan diteliti dalam tesis ini adalah:

1. Bagaimana strategi perdagangan Tekstil dan Produk Tekstil melalui diplomasi

perdagangan terhadap negara-negara pasar non-tradisional?

2. Bagaimana strategi penambahan nilai Tekstil dan Produk Tekstil dalam

diplomasi perdagangan melalui analisa global value chain?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh tujuan-tujuan sebagai berikut:

1. Menghasilkan penelitian ilmiah tentang perkembangan perdagangan bebas

serta strategi-strategi yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk bersaing

dalam rezim tersebut, salah satunya dengan menetapkan keunggulan suatu

komoditas.

2. Memberikan paparan yang detail tentang perkembangan komoditas pakaian

jadi Indonesia serta momentum pendukung industri pakaian jadi saat ini.

3. Memberikan analisa bagaimana strategi diplomasi perdagangan terhadap

pasar non-tradisional untuk revitalisasi industri TPT, khisusnya produk

pakaian jadi.

Page 5: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

5  

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh manfaat sebagai berikut:

1. Dalam bidang akademis, penelitian ini diharapkan memiliki manfaat bagi

studi ekonomi politik internasional, khususnya perdagangan internasional dan

liberalisasi perdagangan. Rezim liberalisasi perdagangan dewasa ini telah

menjadi trend dalam perdagangan internasional, serta dianut oleh sebagian

besar negara di dunia. Namun demikian, masih terdapat pro dan kontra apakah

rezim ini benar-benar dapat memberikan manfaat bagi para penganutnya.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan analisa mengenai strategi yang

dapat diterapkan oleh suatu negara untuk mengambil manfaat dari rezim

perdagangan internasional yang lebih bebas.

2. Dalam bidang praktis, penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan

pemikiran bagi para stakeholder, pengambil kebijakan, dan para pelaku usaha

terutama dalam sektor TPT untuk menjadi pemain dalam rezim perdagangan

bebas.

1.5. Tinjauan pustaka

Penelitian ini merujuk pada beberapa referensi yang masing-masing membahas isu-

isu terkait penelitian dalam tesis ini. Bahasan dalam literatur review yag

dipergunakan dalam penelitian ini terdiri dari tulisan yang membahas, industri TPT

Indonesia beserta pemasalahannya dan rekomendasi untuk mengatasi permasalahan

tersebut, pembahasan analisa negara-negara pasar non tradisional, pembahasan

Page 6: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

6  

analisa global value chain industri Pakaian Jadi, dan literatur mengenai industri TPT

pasca berakhirnya rezim Multi Fiber Agreement (MFA).

Literatur pertama adalah tulisan dari Thee Kian Wie dalam bukunya Pengembangan

Kemampuan Teknologi Industri di Indonesia. Dalam salah satu chapternya mengenai

industri Garmen, Wie juga menyebutkan bahwa salah satu kendala dalam industri ini

adalah terkait hal-hal teknis seperti masalah mesin-mesin yang sudah tua. Namun

demikian, Wie juga menyebutkan bahwa kendala lain yang dihadapi oleh industri ini

adalah kemampuan kaitan pemasaran.

Pada umumnya perusahaan-perusahaan TPT masih mengandalkan pada perusahaan

perniagaan asing (khususnya sogo sosha Jepang), pembeli perantara asing (buying

agents) yang berkedudukan di Hongkong atau Singapura dan yang umumnya

mewakili pembeli-pembeli di negara-negara maju, kontraktor asing, atau mitra asing

mereka (dalam kasus usaha patungan). Merujuk tulisan tersebut, penulis menekankan

akan pentingnya strategi keluar melalui diplomasi perdagangan untuk memasarkan

produk TPT di samping strategi teknis ke dalam.

Penelitian lainnya adalah penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti Jurusan Ilmu

Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada bekerjasama dengan Badan

Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Kementerian Luar Negeri tahun 2011,

“Strategi Penguatan Diplomasi Ekonomi Indonesia terhadap Pasar Non-Tradisional”.

Penelitian ini memaparkan tentang rekam jejak Indonesia sebagai kekuatan baru

Page 7: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

7  

dalam politik global yang membawa implikasi bahwa diplomasi Indonesia di masa

mendatang akan semakin kuat dengan menguatnya posisi tawar negara secara relatif

terhadap negara lain. Hal ini juga dapat diartikan sebagai munculnya justifikasi bagi

Indonesia untuk semakin memperluas diplomasi politik dan ekonomi ke negara-

negara dan kawasan di luar mitra tradisional Indonesia saat ini.

Dalam penelitian tersebut juga telah dipaparkan mengenai strategi-strategi diplomasi.

Pemilihan strategi harus memperhatikan kapasitas yang dimiliki oleh Indonesia baik

dalam bentuk hard capacity yang berupa institusi-institusi pendukung perdagangan

internasional serta instrument kebijakannya dan soft capacity yang meliputi

kemampuan para aktor dalam berdiplomasi dan meyakinkan pelaku pasar di negara-

negara tujuan.

Hal ini memungkinkan hubungan perdagangan antar negara tidak hanya secara

bilateral namun satu negara dengan beberapa negara sekaligus. Strategi ketiga adalah

meningkatkan kerjasama politik sosial dan budaya. Hal ini sangat penting untuk

memperkenalkan Indonesia ke negara-negara mitra yang baru. Selanjutnya dapat

dilanjutkan menjadi kerjasama yang lebih lanjut. Dalam hal ini hard capacity dan soft

capacity sangat penting sebagai kelengkapan perangkat diplomasi dalam kapasitas

institusional seperti keberadan atase perdagangan, perwakilan dagang, atau

Indonesian Trade Promotion Center (ITPC).

Page 8: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

8  

Merujuk dari hasil penelitian tersebut, penulis sejalan dengan pendapat bahwa

Indonesia harus mengembangkan diplomasi perdagangan ke pasar-pasar non-

tradisional dengan strategi-strategi yang dipaparkan dalam tulisan tersebut. Dalam hal

ini penulis berfokus pada diplomasi perdagangan untuk komoditas TPT.

Penelitian lain tentang industri TPT dilakukan oleh Peter Dicken dalam salah satu

chapter buku Global Shift: Clothing Industries. Penelitian ini memaparkan secara

komprehensif tentang perubahan peta industri TPT dunia. Saat ini strategi yang

diadopsi oleh industri TPT dunia sangat beragam dan kompleks. Hal tersebut

mencakup kombinasi dari inovasi teknologi, tipe-tipe strategi internasionalisasi yang

berbeda, hubungan antara industri dengan retailer dan keterkaitan dengan berakhirnya

rezim MFA. Dalam hal ini pembeli tingkat besar dan retailer memainkan peran

penting dalam industri clothing global.

Dalam tulisan ini, selain menjelaskan bahwa sebagian besar negara-negara maju

memindahkan industrinya ke negara-negara berkembang, terutama negara-negara

Asia untuk mencapai efisiensi produksi, Dicken juga menunjukkan fakta bahwa ada

beberapa industri clothing dari beberapa negara yang tetap mempertahankan

produksinya di dalam negeri. Industri-industri tersebut misalnya Benetton, Zarra dan

H&M yang tetap menggunakan kontraktor yang berada di negaranya, Italia untuk

menjaga kualitasnya. Hal yang sama juga dilakukan oleh brand Zara dari Spanyol.

Perusahaan yang berlokasi di La Coruna, bagian Barat Daya Spanyol ini berfokus

pada produksi industri tradisional yaitu tekstil Iberian.

Page 9: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

9  

Tulisan Clothing Industri dalam Global Shift tulisan Dicken memaparkan tentang

global value chain dan industri yang semakin dapat di-internasionalisasi atau industri

global. Namun demikian, tulisan tersebut cenderung merujuk dan ditulis dari sisi

negara maju. Dalam penelitian ini, penulis merujuk tentang global value chain dari

tulisan Dicken untuk diaplikasikan dalam analisa industri clothing Indonesia.

Selain itu, merujuk salah satu pembahasan Dicken tentang beberapa brand yang tetap

melakukan proses produksinya terlepas dari pertimbangan efissiensi produksi, penulis

merujuk bahasan tersebut sebagai suatu bentuk konsep keunggulan kompetitif suatu

produk. Hal ini dapat ditunjukan dari keberhasila Benneton dan Zara dalam

perdagangan internasional dengan berfokus pada penambahan nilai produk mereka.

Hal ini juga dapat diaplikasikan dalam industri TPT Indonesia. Saat ini Indonesia

memiliki banyak sekali desainer profesional dan memiliki kesadadaran fashion yang

meningkat. Selain itu, salah satu keunggulan yang telah dimiliki Indonesia saat ini

adalah majunya secara bersamaan industri hulu dan hilir TPT. Dengan demikian,

merujuk dari Zara dan Benetto, Industri hilir TPT Indonesia dapat menjadi potensi

yang bagus untuk industri yang memiliki nilai tambah dalam perdagangan

internasional. Hal ini merujuk pada konsep keunggulan kompetitif suatu industi, di

mana produk yang memiliki nilai tambah akan masih tetap dapat bersaing

dibandingkan hanya mengandalkan konsep keunggulan komparatif yang terkait

dengan endowment.

Page 10: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

10  

Literatur review terakhir adalah tulisan dari Kisnu Haryo yang berjudul North

American Free Trade Area dan Implikasinya terhadap Industri dan Perdagangan

Tekstil dan Produk Tekstil Indonesia. Penelitian ini berfokus pada strategi

menghadapi NAFTA yang diskriminatif dan restriktif terhadap TPT Indonesia.

Strategi tersebut di antaranya berfokus pada lobby terhadap AS dan Kanada untuk

menurunkan tarif TPT Indonesia dan peningkatan investasi asing di sektor TPT.

Strategi selanjutnya adalah koordinasi antar aktor dalam negeri untuk memperbaiki

industri TPT dari sisi teknis di dalam negeri.

Perbedaan penelitian tersebut dengan yang dilakukan oleh penulis adalah pada fokus

negara mitra perdagangan TPT. Penulis berfokus pada negara-negara pasar non

tradisional. Selain itu, penulis juga menganalisa tentang nilai tambah sub sektor

pakaian jadi dalam sistem global value chain yang belum dianalisa oleh penelitian

sebelumnya karena penelitian tersebut lebih berfokus pada upaya lobbying negara-

negara maju untuk penetrasi pasar TPT Indonesia.

1.6. Kerangka Konseptual

1.6.1. Konsep Diplomasi Perdagangan

Diplomasi perdagangan merupakan salah satu bagian dari diplomasi ekonomi.

Generally diplomacy (including economic diplomacy) is ‘the means by which states

pursue their foreign policies’ (Berridge 2002; 3). Diplomasi ekonomi adalah upaya

untuk memperoleh keamanan ekonomi dalam sistem ekonomi internasional yang

Page 11: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

11  

anarki. Diplomasi ekonomi didefinisikan sebagai penggunaan alat-alat diplomasi

tradisional seperti pengumpulan informasi, lobbying, representasi, negosiasi dan

advokasi untuk kebijakan ekonomi luar negeri yang lebih lanjut (Barston 1997;

Berridge 2002; Hamilton & Langhorne 1995; Jönsson and Hall 2005; Marshall 1997;

Watson 1982). Dengan demikian, diplomasi ekonomi berfokus pada agenda ekonomi

dalam diplomasi yang dapat dibedakan dari agenda politik. Dalam hal ini tidak ada

perbedaan dalam tipe diplomasi maupun aktor-aktor diplomasi.

Beberapa studi menunjukkan bahwa awal mula dari diplomasi pada sebagian besar

negara terletak pada pengembangan hubungan yang ramah dengan tujuan untuk

memfasilitasi perdagangan (see Lee & Hudson 2004). Potter (2004) berpendapat

bahwa diplomasi perdagangan merupakan aktivitas value creating untuk tujuan fokus

manajerial dan pemerintah, masing-masing ditujukan menjadi kegiatan strategis yang

relevan.

Terdapat dua jenis kegiatan, yaitu kegiatan utama (terkait dengan perdagangan dan

FDI, riset dan teknologi, pariwisata dan advikasi bisnis), dan kegiatan pendukung

yang menyediakan input yang diperlukan untuk kegiatan utama (intellegence,

networking, keterlibatan dalam kampanye image made-in, dukungan dalam negosiasi

bisnis, implementasi kontrak, dan problem solving).

Kotescki dan Naray (2007) mengidentifikasi kegiatan rasional berikut untuk

diplomasi perdagangan:

1. Kebutuhan akses untuk informasi bisnis yang reliable dan netral

Page 12: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

12  

2. Dukungan untuk kredibilitas dan image yang lemah dari pendatang baru

dalam pasar luar negeri

3. Pencarian mitra: mendorong perusahaan nasional (terutama SMEs) untuk go

internasional

4. Penanganan konflik

5. Dukungan untuk delegasi nasional: para menteri sering didampingi dalam

kunjungan kenegaraan oleh kalangan bisnis

6. Fokus strategis, seperti keinginan pemerintah untuk tergabung dalam

kebijakan perdagangan strategis, dukungan untuk kegiatan research and

development atau meningkatkan akses suplai.

Definisi diplomasi perdagangan menghubungkan lanskape diplomasi baru dan

menjelaskan diplomasi perdagangan sebagai kerjasama dari network aktor publik dan

swasta yang mengelola hubungan dagang menggunakan channel dan proses

diplomasi (Lee, 2004).

Pendekatan baru pada diplomasi ekonomi menunjukkan bahwa diplomasi tidak dapat

dibagi menjadi aktivitas ekonomi dan politik yang terpisah dan pada prakteknya,

sebagian besar negara akan menemukan bahwa pemisahan tersebut tidak berjalan

dengan baik. Di semua negara, diplomasi ekonomi adalah kunci dalam strategi

diplomasi dan oleh karena itu menjadi penting bagi negara untuk mengembangkan

diplomasi yang terintegrasi dan terkoordinasi. Diplomasi yang terkoordinasi ini

melibatkan multipel aktor dan individu yang terbangun di antara jaringan kebijakan

Page 13: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

13  

antara lain dari beberapa kementerian, termasuk kementerian luar negeri sebagaimana

pihak swasta dan aktor sipil ditempatkan di level nasional, regional dan internasional

(Hocking 2004).

Ketika berfikir tentang diplomasi, kita perlu bergerak melampaui pemikiran

sederhana mengenai kementerian luar negeri dan pejabat-pejabatnya di penugasannya

di luar negeri. Konsep yang paling berguna adalah National Diplomatic System

(NDS). Konsep ini menangkap dengan baik diplomasi terkoordinasi yang beragam

dan komplek. Diplomasi ekonomi dapat dijalankan oleh Kementerian Luar Negeri,

tetapi melibatkan tanggung jawab dan kepentingan ekonomi di dalam dan di luar

pemerintah pada semua level pemerintahan. Struktur dan proses diplomasi dalam

pengertian NDS, kementerian luar negeri menjadi integrator dan koordinator

diplomasi. Kementerian Luar Negeri bekerjasama dengan partner seperti departemen

lain dalam pemerintahan sebagaimana dengan kelompok bisnis dan kelompok sipil

untuk menyampaikan tujuan-tujuan diplomasi.

Diplomasi ekonomi juga meliputi ranah politik. Seperti diplomasi konvensional,

diplomasi ekonomi juga mempergunakan alat-alat diplomasi yang sama seperti

halnya information gathering, lobbying dan representasi. Dapat diambil contoh, untuk

memasuki pasar suatu negara atau wilayah, melalui fungsi information gathering,

aktor dari negara eksportir harus menganalisa potensi pasar yang ada di negara tujuan,

bagaimana daya saing komoditas yang akan diekspor, bagaimana keadaan pesaing

dari negara lain dan sebagainya. Dari sisi lobbying dan negosiasi, aktor dari negara

Page 14: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

14  

eksportir dapat melakukan pembicaraan dengan aktor terkait di negara tujuan untuk

menghasilkan kesepakatan tentang perdagangan antara kedua negara. Dari sisi

representasi, negara-negara dapat memiliki perwakilan di negara mitra untuk

memudahkan kegiatan diplomasi ekonomi.

Analisa Teoritikal Diplomasi Ekonomi

Konsep klasik diplomasi menjelaskannya sebagai: the conduct of relations between

states and other entities with standing in world politics by official agents and by

peaceful means (Bull 1977/1995). Defiisi yang lebih baru menyatakan bahwa

Diplomacy is concerned with the management of relations between states and

between states and other actors (Barston, 2006). Sedangkan cakupan diplomasi

ekonomi menurut Odell adalah kebijakan terkait dengan produksi, perpindahan atau

pertukaran barag, jasa, investasi (termasuk bantuan pembangunan), uang, informasi,

dan regulasinya (Odell, 2000).

Berikut beberapa pendekatan teoritikal yang terkait lebih langsung dengan negosiasi

Model Rasionalis

Model Rasionalis secara umum didasarkan pada asumsi negara sebagai kesatuan yang

mengagregasi kepentingan-kepentingan domestik dengan tujuan untuk

memaksimalkan penggunaannya dalam pembentukan kekuasaan pertahanan (Tollison

dan Willet, 1979). Rasional model negosiasi pada dasarnya membangun konsep

model “principal-agent”dalam model tersebut, pemerintah dilihat sebagai aktor dan

Page 15: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

15  

serangkaian kepentingan-kepentingan sebagai “principals” (ditetapkan sebagai

kepentingan nasional) yang akan menentukan pemilihan selanjutnya dari pemerintah

tersebut.

Model rasionalis sering digambarkan sebagai konsep yang meminjam konsep

ekonomi. Dengan demikian, model negosiasi dapat dibangun di mana pihak-pihak

memaksimalkan keuntungan bersama melalui “pareto optimum” melalui di mana

pihak-pihak tidak lagi memungkinkan untuk meningkatkan keuntungannya tanpa

membuat pihak lain dirugikan (Sibenius, 1983).

Sebagai isu tunggal, negosiasi cenderung menjadi lebih zero sum games, para

negosiator diharapkan untuk menambah isu-isu dengan tujuan untuk menjamin

bahwa semua pihak mendapat keuntungan dari negosiasi. Penambahan isu-isu ini

atau “linking of negotiation”kemudiakan menyediakan cakupan untuk negosiasi

integratif di mana semua pihak memperoleh dan mengurangi elemen distributif dalam

negosiasi. Sebagian besar penulis berpendapat bahwa diplomasi ekonomi secara

umum merupakan perpaduan antara strategi-strategi distributif dan integratif, atau

menggunakan terminologi dari teori negiosiasi, perpaduan antara strategi value

claiming dan value creating (Odell, 2000)

Pendekatan Konstruktivis

Pendekatan konstruktivis menekankan pada peran dialog atau persuasi, bukan sekedar

bargaining (Ulbert dan Risse, 2005). Ketika negosiator menempatkan posisi tertentu,

Page 16: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

16  

mereka mendukung posisi tersebut dengan argumen pendukung. Argumen tersebut

didukung dengan informasi yang tepat ataupun hasil penelitian mengenai isu terkait.

Persuasi memiliki keunggulan dibandingkan dengan bargaining maupun coercion

karena partner negosiasi ‘buys in’ terhadap kesepakatan. Hal ini penting ketika

persetujuan sampai pada tahap implementasi. Informasi memainkan peranan yang

sangat penting dalam persuasi atau argumen.

Strategi Negosiasi

Berikut beberapa strategi dalam negosiasi

1. Value Claiming

Merupakan sifat naluriah bagi negosiator melakukan bargaining untuk mendapatkan

keuntungan dengan mengorbankan pihak lawan; keuntungan bagiku berarti kerugian

bagimu. Namun demikian, apabila pemerintah hanya berkonsentrasi pada keuntungan,

hal ini menjadi tidak bermanfaat bagi diplomasi ekonomi. Kesepakatan seperti itu

tidak akan diratifikasi, dan meskipun diratifikasi, pihak yang kalah akan selalu

mencari cara untuk melanggarnya.

2. Value Creating

Negosiator yang ahli dalam diplomasi ekonomi akan mempergunakan value creating

di mana semua pihak mendapatkan keuntungan.

3. Package Deals

Pada prakteknya, banyak kesepakatan value creating berubah menjadi paket-paket

kesepakatan value claiming. Pada kesepakatan individu, beberapa negara

Page 17: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

17  

mendapatkan keuntungan lebih dari negara lain, tetapi total paket ditambahkan

sedemikian rupa sehingga memberikan keuntungan bagi semua pihak. Hal ini

biasanya dikenal dengan single undertaking di mana tidak ada kesepakatan mengenai

suatu isu sampai semua isu disepakati.

Diplomasi Ekonomi dalam Pelaksanaannya

Pembahasan pada bagian ini menekankan pada analisa tehadap pelaksanaan dipomasi

ekonomi yang dilakukan oleh pejabat permanen dan birokrat. Unsur tersebut terdiri

dari aktor-aktor yang melaksanaan negosiasi internasional dalam diplomasi ekonomi;

dan ketika kekuatan pembuatan kebijakan resmi terletak pada menteri dan legislator,

kekuatan tersebut biasanya dipersiapkan oleh para pejabat institusi pemerintahan

terkait. Analisa ini juga mencari keterkaitan dan interaksi antara birokrat dengan

aktor negara lain serta aktor non-negara.

Pelaksanaan diplomasi itu sendiri terbagi menjadi tiga bagian utama yaitu:

1. Pertama, pelaksanaan yang melalui serangkaian pembuatan kebijakan

domestik di dalam pemerintahan;

2. Kedua, melalui analisa proses negosiasi internasional dan mengaitkannya

dengan rangkaian negosiasi domestik;

3. Ketiga, membuat penilaian strategi negosiasi yang mengilustrasikan interaksi

antara level domestik dan internasional (Bayne dan Woolcok, 2007).

Page 18: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

18  

1.6.2. Global Value Chain

Global Value Chain didefinisikan dalam beberapa pengertian berdasarkan jenis global

value chain yaitu simple value chain, extended value chain, dan one or many value

chains (Kaplinsky dan Morris, 2000). Analisa global value chain merupakan salah

satu faktor penting yang menentukan pemenang dalam globalisasi.

Tipe value chain yang pertama adalah simple value chain. Tipe ini dideskripsikan

sebagai cakupan keseluruhan dari aktivitas yang dibutuhkan untuk membawa produk

atau jasa dari tahap konsepsi, melalui fase produksi yang berbeda (meliputi

kombinasi dari transformasi fisik dan input dari jasa berbagai produser), dikirimkan

pada konsumen akhir, dan pembuangan terakhir setelah dipergubakan (Kaplinsky dan

Morris, 2000). Pada jenis ini, hanya terdapat satu jaringan value added. Pada setiap

jaringan rantai, terdapat berbagai kegiatan untuk value added. Meskipun sering

digambarkan sebagai rantai vertikal, jaringan intra-chain seringkali bersifat two-way

– sebagai contoh agensi khusus desain tidak hanya mempengaruhi karakteristik

proses produksi dan pemasaran, tetapi sebaliknya juga dipengaruhi oleh batasan

dalam jaringan downstream dalam rantai.

Empat Jaringan dalam simple value chain

Page 19: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

19  

(Kaplinsky dan Morris, 2000)

Extended Value Chain

Pada dunia nyata, tentu saja value chain sangat lebih komplek daripada simple value

chain. Salah satunya, cenderung terdapat lebih banyak link dan chain. Setiap rantai

atau link dalam suatu value chain, juga berhubungan dengan rantai yang lain untuk

menghasilkan produk yang dibutuhkan dalam rantai tersebut.

Design 

and 

product 

develop

ment 

Production

Inward logistic 

Transforming 

Inputs 

Packaging 

etc  

Marketing Consumption / 

Recycling 

Design  ProductionInward logistics transforming 

input Packaging 

Marketing Consumption / 

Recycling 

Page 20: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

20  

One or Many Value Chains

Pada tipe ini, produser intermediary dalam suatu value chain mungkin memenuhi

beberapa value chain yang berbeda. Dalam hal ini, share dari penjualan mungkin

mengaburkan peran krusial bahwa beberapa suplier mengontrol teknologi kunci atau

input (yang mungkin saja cenderung bagian kecil dari outputnya) pada bagian

selanjutnya dari value chain.

Analisa value chain penting pada konteks globalisasi karena beberapa alasan. Pertama,

dengan pertumbuhan division of labour dan global dispersion produksi komponen-

komponen, kompetitif sistemik menjadi lebih penting. Kedua, Efisiensi produksi

adalah kondisi yang penting untuk keberhasilan penetrasi pasar global. Ketiga,

Memasuki pasar global yang memungkinkan untuk pertumbuhan income yang

berkelanjutan membutuhkan pemahaman tentang faktor dinamis dalam keseluruhan

value chain.

Dalam value chain juga terdapat komponen core competence. Di sini, perusahaan

harus berkonsentrasi pada sumber daya yang mereka miliki yang relatif unik,

menyediakan pelayanan yang bernilai unik konsumen, dan yang sulit untuk ditiru,

dan mereka sebaiknya melakukan outsorce kompetensi yang lain pada perusahaan

lain dalam value chain. Hal ini dapat menciptakan systemic competitiveness.

Memetakan aliran input – barang dan jasa – dalam rantai produksi memungkinkan

Page 21: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

21  

masing-masing perusahaan untuk menentukan pihak mana yang memainkan peran

penting dalam keberhasilan chain.

Pada pelaksanaannya, di negara-negara maju produksi lebih banyak dilakukan oleh

subsidiari TNCs asing. Di kasus lain, produsi dilakukan melalui lisensi asing atau

oleh perusahaan yang mengembangkan desain lokal dan kemampuan teknologi.

Produser semacam ini mampu memenuhi harga global yang bersaing dan standar

kualitas, dan dapat menyuplai dalam jumlah yang mencukupi.

Value chain juga bermanfaat dalam kebutuhan menjadikan produk sampai pada pasar

lebih cepat. Hal ini berarti bahwa pembagian antara pengembangan, desain, produksi,

harus dijembatani. Inovasi produk yang cepat membutuhkan fungsi-fugsi yang

berbeda bekerja bersama dalam proses teknik paralel atau concurrent.

Analisa value chain juga penting dalam menjelaskan distribusi keuntungan, terutama

income, bagi mereka yang berpartisipasi dalam global ekonomi. Hal ini memudahkan

untuk mengidentifikasi kebijakan yang dapat diterapkan untuk memungkinkan

produser individu dan negara untuk meningkatkan share gain mereka. Analisa value

chain dapat digunakan untuk mengidentifikasi bahaya yang muncul dari pola yang

berbahaya dalam patisipasi di global ekonomi.

Faktor penting lain dalam analisa value chain adalah term of trade. Term of trade

menunjukkan pendapatan dari kegiatan ekonomi yang dilakukan. Untuk mendapatkan

keuntungan, harus dipastikan agar tidak terjadi situasi di mana terjadi peningkatan

Page 22: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

22  

aktivitas ekonomi (banyak output dan banyak menyerap pekerja), tetapi terjadi

penurunan pendapatan ekonomi (Kaplinsky dan Morris, 2000).

Isu kunci dalam analisa value chain adalah bagaimana produser – baik perusahaan,

kawasan, atau negara – berpartisipasi dalam ekonomi global daripada mereka

terpaksa harus melakukannya. Apabila mereka salah dalam melakukannya, mereka

akan memasuki situasi “race to the bottom”, yang merupakan jalan pertumbuhan

immisering di mana mereka terkunci dalam kompetisi yang semakin ketat dan income

yang mengalami penurunan.

Terdapat tiga elemen kunci dari analisa value chain. Pertama, barrier to entry dan

rent, kedua, governance, dan ketiga adalah jenis-jenis value chain.

Barriers to Entry dan Rent

Value chain merupakan konstruksi yang penting untuk memahami distribusi

pendapatan yang muncul dari desain, produksi, marketing, koordinasi dan recycling.

Pada intinya, pendapatan yang terutama bertambah pada pihak-pihak yang mampu

melindungi dirinya dari kompetisi. Kemampuan ini dapat disebut sebagai konsep rent,

yang muncul dari kepemilikan sumber-sumber yang langka atau terbatas dan

melibatkan barriers to entry.

Terdapat beberapa bentuk rent. Pertama adalah economic rents. Ahli ekonomi klasik

seperti Ricardo berargumen bahwa economic rent bertambah pada dasar

ketidakseimbangan kepemilikan/akses atau kontrol terhadap sumber daya langka

Page 23: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

23  

yang tersedia. Namun demikian, Schumpeter menunjukkan, keterbatasan atau

kelangkaan dapat dikonstruksi melalui tindakan sengaja, dan oleh karena itu surplus

perusahaan dapat bertambah kepada mereka yang menciptakan kelangkaan ini. Bagi

Schumpeter, hal ini intinya merupakan ketika pengusaha berinovasi, menciptakan

‘kombinasi baru’ atau kondisi yang menyediakan pendapatan yang lebih besar dari

harga produk daripada biaya yang dibutuhkan untuk sebuah inovasi. Pendapatan dari

inovasi tersebut merupakan bentuk dari super profit dan berperan sebagai hal yang

menarik untuk ditiru oleh pengusaha yang lain juga berharap untuk menjadi bagian

dari profit ini.

Tipe rent yang kedua adalah producer rent. Pada masing-masing industri, equilibrium

ditentukan oleh rata-rata harga atau profit. Producer rent dapat dideskripsikan

sebagai ‘kombinasi baru’ bagi pengusaha untuk meraih surplus. Kemudian karena

inovasi perusahaan ditiru – proses difusi – producer rent mengalami penurunan, harga

turun, dan inovasi bertambah pada bentuk surplus konsumen. Namun demikian,

semua ini mendorong pencarian baru untuk ‘kombinasi baru’, baik oleh pengusaha

yang sama ataupun oleh pengusaha yang lain, dalam pencarian berlanjut untuk

surplus enterpreneurial. Economic rent memiliki bentuk yang beragam dalam

perusahaan, termasuk kemampuan teknologi, kemampuan organisasi, kemampuan

marketing (seperti nama brand).

Sebagai konsekuensinya, dapat dikatakan bahwa economic rent yang utama dalam

rantai produksi lebih banyak ditemukan di wilayah luar produksi, seperti desain,

Page 24: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

24  

branding, dan marketing. Namun demikian, hal tersebut merupakan kesimpulan yang

sederhana, sebab bahkan dalam produksi beberapa kegiatan melibatkan barriers to

entry yang besar. Trend yang meluas merupakan kontrol terhadap Kegiatan-kegiatan

yang terpisah dalam value chain.

Kebijakan pemerintah yang efisien mempermudah perusahaan untuk membangun

economic rents melalui tersedianya akses yang lebih baik terhadap ketrampilan

pekerja, infrastruktur yang lebih baik, dan perantara finansial yang lebih efisien

daripada di negara kompetitor.

1. Terdapat berbagai bentuk umum economic rent dalam global ekonomi;

Beberapa merupakan endogenous dan dikonstruksi oleh perusahaan dan

merupakan bentuk klasik dari rent Schumpetarian

a. Technology rents – memiliki command terhadap teknologi yang

langka

b. Human resource rents – memiliki akses terhadap skill yang lebih baik

daripada kompetitor

c. Organisational rents – kepemilikan bentuk superior organisasi internal

d. Marketing rents – kepemilikan kemampuan marketing yang lebih baik

dan/atau nama brand.

Yang lainnya merupakan endogenous terhadap chain dan dibangun oleh

kelompok perusahaan:

Page 25: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

25  

e. Relational rents – memiliki kualitas hubungan superior terhadap

suplier dan konsumen

2. Rent dapat merupakan exogenous terhadap chain dan muncul melalui

anugerah alamiah:

Resource rent – akses terhadap sumber daya alam yang langka

3. Produser dapat juga mendapat keuntungan dari rents yang disediakan oleh

pihak eksternal dari chain:

a. Policy rents – beroperasi di lingkungan pemerintahan yang efisien;

membangun barriers to entry terhadap kompetitor

b. Infrastructural rents – akses terhadap input infrastruktur dengan

kualitas tinggi seperti telekomunikasi

c. Financial rents – akses terhadap keuangan dalam situasi yang lebih

baik daripada kompetitor

4. Rent bersifat dinamis – rent yang baru akan ditambahkan seiring berjalannya

waktu dan rent yang sudah ada dapat dihapus karena kekuatan kompetisi.

Governance

Konsep analisa kedua merupakan berbagai aktivitas di dalam chain – di dalam

perusahaan dan dalam division of labour antar perusahaan – menurut Gereffi

disebut sebagai ‘governance’ (Gereffi, 1994). Value chain menunjukan

pengulangan interaksi jaringan. Governance menjamin bahwa interaksi antar

perusahaan dalam value chan berjalan dalam manajemen oraganisasi dan bukan

Page 26: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

26  

secara random. Value chain diatur melalui mekanisme governance ketika

parameter yang membutuhkan produk, proses, dan kualifikasi logistik memiliki

konsekuensi kenaikan atau penurunan nilai dan melibatka beberapa aktivitas,

aktor, peran, dan fungsi.

Value chain dikoordinasikan pada tempat-tempat yang berbeda di dalam jaringan

dengan tujuan untuk memastikan tujuan tersebut (intra firm, inter firm, regional)

dikelola dengan cara-cara tertentu. Power asymetry merupakan isu sentral dalam

governance value chain. Terdapat beberapa aktor kunci di dalam chain yang

bertanggung jawab terhadap division of labour inter-firm, dan terhadap kapasitas

partisipan-partisipan tertentu untuk meng-upgrade aktivitas mereka. Hal ini

penting karena kerumitan dan kompleksitas perdagangan di era globalisasi

membutuhkan bentuk koordinasi yang mutakhir, bukan sekedar posisioning

(siapa yang dialokasikan peran apa dalam value chain) dan logistik (kapan dan di

mana input intermediate, termasuk jasa dikirim sepanjang chain, tetapi juga

hubungan terhadap integrasi komponen-komponen terhadap desain produk akhir,

dan standar kualitas di dalam integrasi. Koordinasi biasanya meliputi pengelolaan

parameter ini karena parameter-parameter tersebut merupakan serangkaian

aktivitas yang dilakukan oleh berbagai aktor yang mengerjakan peran spesifik di

dalam chain. Fungsi ini juga membutuhkan monitoring outcome, menghubungkan

kegiatan-kegiatan yang berlainan antar aktor-aktor yang berbeda, membangun dan

mengelola hubungan antar aktor yang berbeda-beda meliputi link, dan

Page 27: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

27  

mengorganisasi logistik untuk mempertahankan jaringan nasional, regional,

maupun global.

Tipe-tipe value chain

Terdapat dua tipe value chain menurut Gereffi, yaitu producer driven value chain,

dan buyer driven value chain (Gereffi, 1999). Buyer driven merupakan chain di

mana peran kritikan governance dimainkan oleh pembeli di puncak chain. Tipe

ini memiliki karakteristik industri labour intensive (dan oleh karena itu relevan

untuk negara berkembang), seperti alas kaki, clothing, furniture dan mainan.

Producer driven chain dunia di mana produser inti di dalam chain, pada umumnya

merupakan perintah teknologi vital, memainkan peran mengkoordinasi berbagai

link. Di sini, produsen bertanggung jawab untuk membantu efisiensi baik suplier

dan konsumen mereka. Gereffi menunjukkan bahwa producer driven chain lebih

cenderung berkarakteristik foreign direct investment (FDI) daripada buyer driven

chain (Gereffi, 1999). Lebih lanjut Gereffi menyatakan bahwa producer driven

chain merupakan refleksi dari import subtitituting industrialization order,

sedangkan buyer-driven chain lebih merupakan outward-oriented dan sistem

produksi network pada abad ke-21.

Producer-driven commodity chain merupakan perusahaan manufaktur besar dan

biasanya transnasional yang memainkan peran sentral dalam mengkoordinasi

network produksi (termasuk link backward dan forward mereka). Hal ini

Page 28: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

28  

merupakan karakteristik industri kapital dan teknologi intensif seperti automobil,

aircraft, komputer, semikonduktor, dan mesin.

Buyer driven commodity chain merujuk pada industri di mana retailer, marketer,

dan manufaktur brand memainkan peranan penting dalam setting up jaringan

produksi desentralisasi di berbagai negara pengekspor, biasanya berada di negara

dunia ketiga. Pola trade-led industrialization ini pada umumnya merupakan

labour-intensive, industri barang konsumsi seperti garment, alas kaki, mainan,

alat-alat rumah tangga, alat-alat elektronik, dan berbagai handicraft. Produksi

pada umumnya dijalankan oleh jaringan yang terikat dari kontraktor di negara

dunia ketiga yang membuat barang jadi. Spesifikasinya disuplai oleh retailer besar

atau marketer yang memesan barang.

Value Chain, Inovasi, dan Upgrading

Tipe-tipe Upgrading

Terdapat dua tipe upgrading. Pertama, yang memfokuskan pada kompetensi

(Hamel dan Pralahad, 1994). Tipe ini menekankan bahwa perusahaan perlu untuk

menilai kapabilitas mereka untuk menentukan sumber-sumber yang:

1. Menyediakan value untuk final customer

2. Relatif unik dalam hal sedikit kompetitor yang memilikinya

3. Sulit untuk ditiru, sehingga menjadikannya barriers to entry.

Page 29: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

29  

Dengan demikian, kapasitas untuk berinovasi muncul dari konsentrasi pada

kompetensi dan melakukan outsorcing pada fungsi-fugsi yang tidak memenuhi

kriteria ini. Dalam dunia yang dinamis, kompetensi inti dapat dengan mudah berubah

menjadi ketetapan inti (Leonard-Barton, 1995), dan bagian dari tugas upgrading

adalah untuk melepaskan wilayah ekspertis yang telah lalu.

Tipe yang kedua adalah ide yang berfokus pada kapabilitas dinamis (Teece dan

Pisano, 1994). Literatur ini secara eksplisit dibangin di atas konsep rent

Schumpeterian yang telah dibahas sebelumnya. Ide ini berpendapat bahwa profit

korporasi dalam jangka waktu yang lama tidak dapat dibuat berkesinambungan oleh

kontrol terhadap pasar (sebagai contoh, melalui penggunaan praktek quasi-

monopolistic), tetapi melalui pengembangan kapabilitas dinamis yang muncul

sebagai hasil dari:

1. Proses internal yang memfasilitasi pembelajaran, termasuk kapasitas untuk

mengkonfigurasi ulang apa yang telah dilakukan oleh perusahaan di masa lalu

2. Posisi, yang merupakan akses terhadap kompetensi spesifik baik di dalam

aktivitasnya sendiri, maupun yang digambarkan dari sistem inovasi regional

atau nasional

3. Path, merupakan lintasannya karena perubahan selalu merupakan path-

dependent.

Page 30: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

30  

Kedua konsep tersebut penting untuk memahami faktor yang memfasilitasi

improvement dalam produk dan proses yang muncul dari aktivitas perusahaan itu

sendiri. Namun demikian, konsep tersebut memiliki kelemahan, karena hanya

berhenti pada level perusahaan, dan gagal untuk menjelaskan proses upgrading yang

bersifat sistemik dan melibatkan kelompok perusahaan berhubungan bersama dalam

value chain. Hal ini bertentangan dengan pendekatan core competences yang secara

eksplicit mengabaikan chain melalui kesimpulan normatifnya bahwa upgrading

hampir selalu melibatkan outsorcing.

Oleh sebab itu, diperlukan pandangan mengenai tantangan upgrading dalam

perspektif yang lebih luas dan menjelaskan ide sentral tentang upgrading mungkin

mencakup perubahan karakteristik dan perpaduan aktivitas, baik di dalam masing-

masing link di tiap chain, dan aktivitas distribusi intra-chain. Dapat diidentifikasi

empat lintasan yang dapat diadopsi oleh perusahaan untuk memperoleh tujuan

upgrading, yaitu:

1. Process upgrading: Meningkatkan efisiensi proses-proses internal sedemikian

sehingga menjadi lebih baik daripada rival-rivalnya, baik di dalam link

individual di dalam chain (sebagai contoh, increased inventory turn, lower

scrap), dan di antara link di dalam chain (sebagai contoh, pengiriman yang

semakin sering, semakin kecil dan tepat waktu)

2. Product upgrading: memperkenalkan produk baru atau meningkatkan kualitas

produk lama lebih cepat daripada saingan. Hal ini mencakup perubahan proses

Page 31: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

31  

perngembangan produk baru baik di dalam link individual dalam value chain

dan di dalam hubungan antar berbagai jaringan chain

3. Functional upgrading: meningkatakan value aded dengan merubah perpaduan

aktivitas yang dilakukan di dalam perusahaan (sebagai contoh, mengambil

tanggung jawab atau melakukan outsorcing fungsi akuntansi, logistik dan

kualitas) atau memindahkan tempat aktivitas ke link yang berbeda dalam

value chain (sebagai contoh dari manufaktur ke desain)

4. Chain upgrading: berpindah ke value chain yang baru (sebagai contoh,

perusahaan Taiwan berpindah dari kegiatan manufaktur transistor radio ke

kalkulator, ke TV, ke monitor komputer, ke laptop dan sekarang ke telefon

WAP)

Terdapat hierarki upgrading. Salah satunya dimulai dari proses upgrading, kemudian

berganti menjadi product upgrading, ke functional upgrading dan terakhir ke chain

upgrading. Hal ini accord dengan bergabungnya perusahaan-perusahaan Asia Timur

yang bertansisi dari produksi original equipment assembling (OEA) yang memiliki

value added kecil, melakukan assembling di bawah kontrak pembeli global, ke OEM

(original equipment manufacturing) yang memproduksi produk yang akan diberi

brand oleh pembeli, ke ODM (own design manufacturer), ke OBM (own brand

manufacturing). Hal tersebut merupakan lintasan yang meliputi secara progresif

konten yang lebih tinggi dari aktivitas yang diwujudkan.

Page 32: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

32  

1.7. Argumen

1. Industri Pakaian Jadi Indonesia dapat menjadi produk unggulan dan

menyumbang devisa yang signifikan melalui diversifikasi pasar ke negara-

negara non-tradisional dengan melibatkan peningkatan nilai tambah melalui

analisa global value chain (GVC).

2. Strategi memasuki negara-negara pasar non-tradisional dilakukan melalui

diplomasi perdagangan yang melibatkan aktor negara dan non-negara melalui

aktivitas-aktivitas rasional diplomasi perdagangan yang tercakup dalam

fungsi-fungsi diplomasi yaitu representing, lobbying, dan information

gathering.

3. Untuk meningkatkan nilai perdagangan, pemerintah dapat melakukan strategi

penambahan nilai melalui mekanisme global value chain (GVC) yang

berfokus pada management elemen kunci GVC yaitu barriers to entri dan

rent, serta governance, dan berfokus pada komponen upgrading GVC yang

meliputi upgrading kapabilitas dan kompetensi yang didukung dengan

diplomasi perdagangan.

1.8. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan perpaduan antara penelitian kepustakaan dan penelitian

lapangan. Bahan-bahan penelitian terutama diperoleh dari buku-buku, jurnal, terbitan

berkala, bulletin, majalah, surat kabar, internet, maupun data yang diperoleh dari

Page 33: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

33  

lembaga dan institusi yang terkait dengan industri dan perdagangan pakaian jadi,

seperti Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustian, dan Kementerian

Perdagangan. Selain itu, penulis juga melakukan penelitian lapangan dengan

melakukan wawancara kepada beberapa ahli dalam bidang industri dan perdagangan

pakaian jadi dan para pelaku yang tergabung dalam Asosiasi Pertekstilan Indonesia

(API).

1.9. Jangkauan Penelitian

Rentang waktu penulisan tesis ini difokuskan pada masa berakhirnya Multi Fiber

Agreement pada tahun 2005 sampai awal tahun 2015. Hal tersebut dikarenakan

bahwa berakhirnya MFA merupakan babak baru industri dan perdagangan TPT.

Selain itu, pasca tahun 2005, Indonesia juga mengalami perkembangan dunia fashion

yang pesat, sehingga hal tersebut menjadi momentum yang baik dalam industri dan

perdagangan pakaian jadi.

1.10. Sistematika Penulisan

Bab pertama dari tesis ini berisi pendahuluan yang mengantarkan pada pemahaman

awal sebelum masuk ke dalam pokok bahasan tulisan ini. Dalam pendahuluan,

penulis menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

tinjauan pustaka, kerangka konseptual, hipotesa, metode penelitian, jangkauan

penelitian dan sistematika penulisan.

Page 34: Bab 1 Pendahuluan - etd.repository.ugm.ac.idetd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/84795/potongan/S2-2015...persaingan Indonesia dengan negara-negara pengekspor tekstil yang lain. Sebagai

34  

Dalam bab kedua penelitian ini, akan dielaborasi secara menyeluruh tentang kondisi

perdagangan global garmen perdagangan global. Hal-hal yang dibahas mencakup

data-data perdagangan internasional, skema perdagangan dan rezim serta kebijakan

internasional perdagangan pakaian jadi. Bab ini juga akan membahas tentang industri

dan perdagangan pakaian jadi Indonesia. Hal tersebut meliputi data-data kondisi

industri dan perdagangan pakaian jadi Indonesia serta kebijakan dan strategi yang

telah dilakukan sejauh ini.

Bab ketiga akan membahas mengenai negara-negara pasar non tradisional, potensi,

peluang dan tantangan serta kondisi baik perekonomian maupun politik di negara-

negara tersebut. Dalam bab ini juga akan dibahas tentang analisa strategi diplomasi

perdagangan TPT yang dilakukan Indonesia dengan mengambil studi kasus diplomasi

perdagangan Indonesia ke Kawasan Eropa Tengah dan Timur.

Bab keempat akan memaparkan analisa penambahan nilai TPT dalam mekanisme

global value chain, pemetaan TPT Indonesia dalam jaringan industri global, dan

bagaimana diplomasi perdagangan berperan dalam dalam mekanisme GVC. Pada

pembahasan ini juga akan dilanjutkan studi kasus mitra diplomasi perdagangan

Kawasan Eropa Tengah dan Timur.

Bab kelima merupakan kesimpulan dan hasil penelitian dari tesis ini.