asuhan keperawatan pada sdr. r dan tn. sr yang …

129
ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. R DAN TN. SR YANG MENGALAMI RESIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 5 DI RUANG GATOTKACA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH DR. ARIF ZAINUDIN SURAKARTA DI SUSUN OLEH: AWITA NUR FATIMAH NIM.P14066 PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2017

Upload: others

Post on 29-Nov-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. R DAN TN. SR YANG

MENGALAMI RESIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN

PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 5

DI RUANG GATOTKACA RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH DR. ARIF ZAINUDIN

SURAKARTA

DI SUSUN OLEH:

AWITA NUR FATIMAH

NIM.P14066

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2017

i

ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. R DAN TN. SR YANG

MENGALAMI RESIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN

PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 5

DI RUANG GATOTKACA RUMAH SAKIT JIWA

DAERAH DR. ARIF ZAINUDIN

SURAKARTA

Karya Tulis Ilmiah

Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program

Diploma Tiga Keperawatan

DI SUSUN OLEH :

AWITA NUR FATIMAH

NIM.P14066

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA

SURAKARTA

2017

ii

iii

MOTTO

Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai

dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang manusia tidak akan berubah

dengan sendirinya tanpa berusaha dan percayalah usaha tidak akan mengkhiyanati

hasil.

iv

v

vi

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat

dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah

dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Sdr. R dan Tn. SR yang Mengalami

Resiko Perilaku Kekerasan Dengan Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 5 di

Ruang Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta”

Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan

dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang

terhormat:

1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIKes yang telah

memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma

Husada Surakarta.

2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Program Studi D3

Keperawatandan selaku penguji yang telah memberikan kesempatan untuk

dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.

3. Ns. Erlina Windyastuti. M.Kep, selaku sekretaris Program Studi D3

Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat

menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.

4. Ns. Joko Kismanto S.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai

penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-

masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi

demi sempurnanya studi kasus ini.

5. Semua dosen Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada

Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan

wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.

6. Kedua orangtuaku yang selaku menjadi inspirasi dan memberikan

semangat untuk menyelesaikan pendidikan.

viii

7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan STIKes

Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan

satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.

Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu

keperawatan dan kesehatan. Amin.

Surakarta, 20 Juli 2017

Penulis

ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i

PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................. ii

MOTTO .................................................................................................... iii

LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... iv

LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI ....................................... v

LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... vi

KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

DAFTAR ISI .............................................................................................. ix

DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang .................................................................... 1

1.2 Batasan Masalah ................................................................. 4

1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 5

1.4 Tujuan ................................................................................ 5

1.5 Manfaat .............................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan ..................................... 8

2.1.1 Definisi ............................................................................ 8

2.1.2 Rentang Respon Marah ................................................... 9

2.1.3 Tanda dan Gejala ............................................................. 11

2.1.4 Faktor Risiko ................................................................... 12

2.1.5 Etiologi ............................................................................ 13

2.1.6 Proses Terjadinya Amuk ................................................. 15

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ............................................ 16

2.2.1 Pengkajian ....................................................................... 16

2.2.2 Diagnosis ......................................................................... 22

2.2.3 Rencana Keperawatan ..................................................... 22

2.2.4 Implementasi Keperawatan ............................................. 37

2.2.5 Evaluasi ........................................................................... 39

BAB III METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Studi Kasus............................................................. 41

3.2 Batasan Istilah .................................................................... 41

3.3 Partisipan ............................................................................ 42

3.4 Lokasi dan Waktu............................................................... 42

3.5 Pengumpulan Data ............................................................. 42

3.6 Uji Keabsahan Data ............................................................ 43

3.7 Analisa Data ....................................................................... 44

3.8 Kesimpulan......................................................................... 44

x

BAB IV HASIL

4.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data ................................. 45

4.2 Pengkajian .......................................................................... 45

4.3 Analisa Data ....................................................................... 54

4.4 Diagnosa Keperawatan ....................................................... 56

4.5 Intervensi Keperawatan ...................................................... 57

4.6 Implementasi ...................................................................... 60

4.7 Evaluasi .............................................................................. 63

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Pengkajian ......................................................................... 66

5.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................... 77

5.3 Intervensi Keperawatan ..................................................... 78

5.4 Implementasi ...................................................................... 80

5.5 Evaluasi ............................................................................. 88

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan......................................................................... 92

6.2 Saran ................................................................................... 94

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

xi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Gambar 2.1 Rentang respon marah ..................................................... 9

2. Gambar 2.2 Pohon masalah ................................................................ 22

3. Gambar 2.3 Rangkaian Intervensi Manajemen Perilaku Kekerasan .. 35

xii

LAMPIRAN

Lampiran 1. Daftar riwayat hidup

Lampiran 2. Lembar konsultasi

Lampiran 3. Lembar audience

Lampiran 4. Jurnal

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan kondisi sehat baik secara fisik, mental, sosial

maupun spiritual yang mengharuskan setiap orang hidup secara produktif

baik secara sosial maupun ekonomis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia

(WHO) dikutip dalam Direja (2011:1). Kesehatan jiwa adalah berbagai

karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan

kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Gangguan mental

atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku yang pada

umumnya terkait dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap

sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. Gangguan tersebut

didefinisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku, komponen kognitif atau

persepsi yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau

sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial manusia. Menurut data WHO

tahun 2016 (dikutip dalam Kemenkes RI, 2016), terdapat sekitar 35 juta

orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena

skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia.

Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial

dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus

bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan

produktivitas manusia untuk jangka panjang. Dalam UU RI No. 3 Tahun

1966 Bab III Pasal 4 Tentang Kesehatan Jiwa telah dijelaskan bahwa

perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa diatur

2

oleh Menteri Kesehatan. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi

ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi

dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang

atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan

jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak

1,7 per 1.000 penduduk. Berdasarkan jumlah tersebut, 14,3% di antaranya

atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di

pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan

dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%. Gangguan jiwa berat

terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.

Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah

Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa

Tenggara Timur.

Prevalensi gangguan jiwa di Jawa Tengah mencapai 2,3 % dari seluruh

populasi yang ada (Riskesdas, 2013). Berdasarkan jumlah kunjungan

masyarakat yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan kesehataan baik

puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya pada

tahun 2015 sebanyak 317.504. orang yang melakukan kunjungan. (Profil

Kesehatan Kab/ Kota Jawa tengah Tahun 2015). Pada tahun 2010 hingga

tahun 2014, angka penderita gangguan jiwa di Kota Solo mencapai ribuan

penderita. Kenaikan penderita gangguan jiwa tersebut tercatat dalam jumlah

kunjungan pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta pada tahun

2010 terhitung sebanyak 1.543 jiwa. Sedangkan pada tahun 2011 naik

menjadi 1.828 jiwa, di tahun 2012 bertambah hingga 2.151 jiwa. Jumlah

3

tertinggi tercatat di tahun 2013 mencapai 2.186 jiwa, sementara pada tahun

2014 jumlah pasien gangguan jiwa tercatat 1.531 jiwa (Winaryani, 2014

dikutip dalam Saputri, 2016). Kepala Instalasi Rekam Medik RSJD solo

mengungkapkan bahwa pasien gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya

untuk berkunjung ke RSJD. Pasien gangguan jiwa rata – rata berumur 25 – 45

tahun. Rata – rata penderita gangguan jiwa yang datang ke RSJD mengalami

fase yang sudah akut.

Gangguan jiwa yang umumnya paling banyak diderita oleh seseorang

adalah gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia masih menjadi permasalahan

kesehatan yang cukup banyak dijumpai dalam bidang kesehatan jiwa.

Skizofrenia merupakan gangguan mental dengan ciri utama gejala psikotik,

dan gejala tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami penurunan

kualitas hidup (Marchira, dkk, 2008 dikutip dalam Aedil, 2013). Sedangkan

menurut PPDGJ III gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang

yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau

hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari

manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak

hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan

masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010 dalam Yusuf et al. 2015:8).

Penggolongan gangguan jiwa antara lain: Skizofrenia, depresi,

kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan mental organik, gangguan

psikosomatik, retardasi mental, gangguan perilaku masa anak dan remaja.

Sedangkan diagnosa keperawatan yang ditetapkan adalah sebagai berikut:

Gangguan konsep diri: harga diri rendah, isolasi sosial, gangguan persepsi

4

sensori: halusinasi, perubahan proses pikir: waham, resiko perilaku

kekerasan, defisit perawatan diri (Prabowo, 2014).

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku

seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.

Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk

bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku

kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai

atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa

perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada

di lingkungan. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah mata melotot

atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, mengumpat

dengan kata-kata kotor, mengamuk, dan merasa diri benar (Yosep, 2010).

Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan

kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk

menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah dan

melakukan tindakan keperawatan dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu SP

I sampai SP V serta mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan

(Yusuf et al. 2015:128 ).

1.2 Batasan Masalah

Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku

seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.

Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah mata melotot atau pandangan

tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, mengumpat dengan kata-kata

5

kotor, mengamuk, dan merasa diri benar. Dampak dari perilaku kekerasan

yang muncul dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri, melukai atau

membunuh orang lain, merusak lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah

sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Berdasarkan

dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis

ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan

gangguan perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin

Surakarta.

1.3 Rumusan Masalah

Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan resiko

perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta?

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Melakukan asuhan keperawatan pada Sdr. R dan Tn. SR dengan resiko

perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta.

1.4.2 Tujuan khusus

1) Penulis mampu melakukan pengkajian pada Sdr.R dan Tn.SR dengan

resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin

Surakarta.

2) Penulis mampu merumuskan diagnosa pada Sdr. R dan Tn. SR dengan

resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin

Surakarta.

6

3) Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Sdr.R dan

Tn.SR dengan resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.

Arif Zainudin Surakarta.

4) Penulis mampu melakukan implementasi pada Sdr.R dan Tn.SR dengan

resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin

Surakarta.

5) Penulis mampu melakukan evaluasi pada Sdr.R dan Tn.SR dengan

resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin

Surakarta.

1.5 Manfaat

a. Bagi penulis

Penulis dapat menambah pengetahuan dan pengalaman serta

meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada

klien dengan gangguan perilaku kekerasan.

b. Bagi profesi

Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam

melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan perilaku

kekerasan sehingga klien mendapatkan penanganan tepat dan optimal.

c. Rumah Sakit

Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek

pelayanan keperawatan khususnya jiwa pada gangguan perilaku kekerasan.

7

d. Bagi pendidikan

Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas

pendidikan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan perilaku

kekerasan dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.

8

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN

2.1.1 Definisi

Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari

iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,

kemarahan adalah reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau

mengancam (Yosep, 2007:113). Kemarahan diawali oleh adanya stressor

yang berasal dari internal maupun eksternal. Stressor internal seperti

penyakit, hormonal, dendam sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari

ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, dan sebagainya.

Stressor tersebut akan mengakibatkan gangguan pada sistem individu. Hal

terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap kejadian yang

menyedihkan atau menjengkelkan tersebut.

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini

maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam

dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung atau riwayat perilaku kekerasan

(Dermawan dan Rusdi, 2013:94).

Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah

yang paling maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel

yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak

9

terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman. (Stuart dan Sundeen, 1991

dalam Yusuf et al. 2015:128). Amuk merupakan respons kemarahan yang

paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan

yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri

sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991 dalam Yusuf et al.

2015:131).

2.1.2 Rentang Respon Marah

Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal

(asertif) sampai pada respon sangat tidak normal (maladaptif) (Yosep, 2010

dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2012:95).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan

Klien mampu

mengungkapkan

marah tanpa

menyalahkan

orang lain dan

memberikan

kelegaan.

Klien gagal

mencapai tujuan

kepuasan/saat

marah dan tidak

dapat

menemukan

alternatifnya.

Klien merasa

tidak dapat

mengungkapkan

perasaannya,

tidak berdaya

dan menyerah.

Klien

mengekspresikan

secara fisik,

tetapi masih

terkontrol,

mendorong

orang lain

dengan ancaman.

Perasaan

marah dan

bermusuhan

yang kuat

dari hilang

kontrol,

disertai

amuk,

merusak

lingkungan.

Gambar 2.1 Rentang respon marah (Yosep, 2010 dalam Damaiyanti dan Iskandar,

2012:95)

10

a. Respon adaptif

Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma

sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut

dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat

memecahkan masalah tersebut, respon adaptif meliputi :

1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.

2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.

3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul

dari pengalaman ahli.

4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam

batas kewajaran.

5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain

dan lingkungan.

b. Respon maladaptif

Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan

masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan

lingkungan, respon maladaptif meliputi :

1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh

dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan

bertentangan dengan kenyataan sosial.

2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan

kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik.

3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul

dari hati.

11

4) Perilaku yang tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak

teratur.

Respon kemarahan menurut Yosep (2007:113)

a. Assertion adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan

atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi

kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.

b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan

karena hambatan dalam proses pencapaian tujuan, dalam keadaan ini

tidak ditemukan alternatif lain, kemudian individu merasa tidak

mampu mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.

c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,

klien tampak pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri

dan merasa kurang mampu.

d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan mengungkapkan

dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih

terkontrol

e. Amuk adalah individu kehilangan kontrol diri, dan dapat merusak

diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.

2.1.3 Tanda dan Gejala

Menurut Prabowo (2014,143) tanda dan gejala perilaku kekerasan yaitu

suka marah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,

sering memaksakan kehendak, merampas makanan.

12

1) Motor agitation

Gelisah, mondar-mandir, tidak dapat duduk tenang, otot tegang, rahang

mengencang, pernafasan meningkat, mata melotot, pandangan mata

tajam.

2) Verbal

Memberi kata-kata ancaman melukai, disertai melukai pada tingkat

ringan, bicara keras, nada suara tinggi, berdebat.

3) Efek

Marah, bermusuhan, kecemasan berat, efek labil, mudah tersinggung.

4) Tingkat kesadaran

Bingung, kacau, perubahan status mental, disorientasi dan daya ingat

menurun.

2.1.4 Faktor Risiko

Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012:97) faktor risiko terbagi dua,

yaitu:

a. Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Orang Lain

Definisi: Berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan

bahwa dirinya dapat membahayakan orang lain secara fisik,

emosional, dan/atau seksual.

b. Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Diri Sendiri

Definisi: Berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan

bahwa dirinya dapat membahayakan dirinya sendiri secara fisik,

emosional, dan/atau seksual.

13

2.1.5 Etiologi

Etiologi pada perilaku kekerasan yaitu:

a. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi pada perilaku kekerasan menurut Prabowo

(2014:142) yaitu:

1) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi

yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak

yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya

atau sanksi penganiayaan.

2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan

kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar

rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi

perilaku kekerasan.

3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif

agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku

kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang

diterima (permissive)

4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus

frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter

turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.

b. Faktor Presipitasi

Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau

interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik

14

(penyakit fisik), keputus asaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri

dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan

situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada

penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya, kehilangan pekerjaan

dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi yang

profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan

(Prabowo, 2014:143).

c. Penilaian terhadap stressor

Penilaian stressor melibatkan makna dan pemahaman dampak

dari situasi stress bagi individu, itu mencakup kognitif, afektif,

fisiologis, perilaku, dan respon sosial. Penilaian adalah evaluasi

tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan

kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna, intensitas,

dan pentingnya sebagai konsekuensi dari interprestasi yang unik dan

makna yang diberikan kepada orang yang berisiko (Stuart dan Laraia,

2001 dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2012:102).

d. Sumber koping

Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Damaiyanti dan

Iskandar, (2012:102), sumber koping dapat berupa aset ekonomi

kemampuan dan keterampilan, dukungan sosial, dan motivasi.

Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sangat

berperan penting pada saat ini. Sumber koping lainnya termasuk

kesehatan, energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, keterampilan

15

menyelesaikan masalah, sumber daya sosial dan material serta

kesejahteraan fisik.

e. Mekanisme koping

Menurut Prabowo (2014:144) mekanisme koping yang

digunakan pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:

1) Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia

artinya di masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami

hambatan penyalurannya secara normal.

2) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya

atau keinginannya yang tidak baik.

3) Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau

membahayakan masuk ke alam sadar.

4) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila di

ekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang

berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.

5) Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya

bermusuhan, pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti pada

mulanya yang membangkitkan emosi itu.

2.1.6 Proses Terjadinya Amuk

Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga

diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respon marah

dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal dapat

berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara

eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respon marah dapat

16

diungkapkan melalui tiga cara yaitu mengungkapkan secara verbal,

menekan, dan menantang.

Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan

menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti

orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan

marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya

dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang

berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan

amuk (Yusuf et al, 2015:131)

2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.2.1 Pengkajian

Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) pengkajian keperawatan pada

klien resiko perilaku kekerasan meliputi:

a. Pengumpulan data

1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,

agama, pekerjaan, status merital, suku/bangsa, nomor rekam

medik, tanggal masuk, ruang rawat, dan alamat.

2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin,

pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, dan alamat.

b. Alasan masuk dan faktor presipitasi

Faktor pencetus resiko perilaku kekerasan meliputi: ancaman

terhadap fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal,

ancaman eksternal.

17

c. Faktor predisposisi

Faktor pendukung terjadinya resiko perilaku kekerasan adalah

biologis yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/

pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat

mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Psikologis

menjelaskan bahwa agresif adalah pembawaan individu sejak lahir

sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut

berupa pertengkaran atau permusuhan dan sosiokultural dimana

norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami

ekspresi agresif individu.

d. Pemeriksaan fisik

Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan

pendekatan persistem meliputi:

1) Sistem integumen: terdapat gangguan kebersihan kulit, klien

tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya

minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri.

2) Sistem saraf: kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal

seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping

obat antipsikotik.

3) Sistem penginderaan: tidak adanya halusinasi dengar,

penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien

mengalami gangguan afektif dan kognitif sehingga tidak mampu

untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat

kecemasan yang meningkat.

18

4) Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah, denyut

nadi, dan suhu klien.

e. Aspek psikologi, sosial dan spiritual

1) Aspek psikologis

Konsep diri:

a) Gambaran diri: meliputi bagian tubuh yang disukai dan tidak

disukai klien.

b) Identitas diri: meliputi status dan posisi klien di keluarga dan

kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan.

c) Peran diri: meliputi peran yang diemban oleh klien di

keluarga dan lingkungannya.

d) Ideal diri: persepsi individu tentang bagaimana ia harus

berperilaku sesuai standar pribadi.

e) Harga diri: penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan

menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.

2) Aspek sosial

Klien dengan risiko perilaku kekerasan biasanya bersifat curiga

dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain,

mudah tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran untuk

berinteraksi dengan orang lain.

3) Aspek spiritual

Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan

klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang

19

gangguan jiwa, kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah

dan pendapat klien tentang kegiatan ibadah.

4) Status mental

a) Penampilan

Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap

tubuh lemah dan kontak mata kurang.

b) Pembicaraan

Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi klien

selama wawancara apatis dan mudah tersinggung.

c) Aktivitas motorik

Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur,

tegang, gelisah, dan biasanya terdapat tremor.

d) Alam perasaan

Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan,putus asa,

ketakutan, khawatir.

e) Afek

Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai

interaksi selama wawancara.

f) Interaksi selama wawancara

Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang.

g) Persepsi

Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran,

penglihatan, pengecapan, penghidung cenestik, maupun

kinestik.

20

h) Isi pikir

Kadang-kadang ada ide yang tidak realistis seperti waham,

fantasi, obsesi, dan phobia.

i) Proses pikir

Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial,

tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea, dan blocking.

j) Tingkat kesadaran

Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini, kejadian

yang baru saja terjadi, dan kejadian masa lalu.

k) Memori

Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang

dan jangka pendek atau tidak.

l) Tingkat konsentrasi dan berhitung

Menilai tingkat konsentrasi klien apakah mudah beralih, atau

tidak mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung klien.

m) Kemampuan penilaian

Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan

masalah, klien masih mampu untuk mengambil keputusan

dengan tepat atau tidak.

n) Daya tilik diri

Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke rumah

sakit dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami

gangguan jiwa.

21

f. Kebutuhan persiapan pulang

Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana

klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang

dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya,

adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan

tempat rujukan perawatan atau pengobatan.

g. Mekanisme koping

Pada pasien dengan perilaku kekerasan perlu dikaji mekanisme

koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit

maupun mekanisme koping selama menghadapi masalah di rumah

sakit jiwa.

h. Masalah psikososial dan lingkungan

Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah klien di

lingkungannya, apakah klien sering bermasalah dengan orang di

sekitarnya.

i. Pengetahuan klien

Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh klien

mengenal penyakitnya. Hal ini juga digunakan untuk merencanakan

kegiatan atau tindakan selanjutnya.

j. Aspek medik

Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya mendapatkan

obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol, Clorpromazine, serta

Electro Convulsive Therapy (ECT).

22

2.2.2 Diagnosis

Gambar 2.2 pohon masalah (Yusuf et al, 2015:133)

Diagnosis Keperawatan

1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan

2. Perilaku kekerasan

3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah

2.2.3 Rencana Keperawatan

Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012:107) rencana keperawatan untuk

pasien gangguan perilaku kekerasandan keluarga:

a. Tujuan:klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria evaluasi :

1) Klien bersedia membalas salam.

2) Klien bersedia berjabat tangan.

3) Klien bersedia menyebutkan nama.

4) Klien bersedia tersenyum.

Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan

Gangguan konsep diri: harga diri rendah

Perilaku kekerasan

23

5) Klien bersedia kontak mata.

6) Klien mengetahui nama perawat.

7) Menyediakan waktu untuk kontrak.

Intervensi :

1) Beri salam/ panggil nama klien.

2) Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan.

3) Jelaskan maksud hubungan interaksi.

4) Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.

5) Beri rasa aman dan sikap empati.

6) Lakukan kontak singkat tapi sering.

Rasional: hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk

hubungan selanjutnya.

b. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi :

1) Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel/rasa kesal.

2) Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/rasa

kesal.

Intervensi :

1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.

2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab jengkel/kesal.

Rasional: beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dapat

membantu mengurangi stress dan penyebab perasaan

jengkel/kesal dapat diketahui.

24

c. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi :

1) Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel/marah.

2) Klien dapat menyimpulan tanda-tanda jengkel/kesal yang

dialami.

Intervensi :

1) Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami saat marah.

2) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.

3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda kesal yang dialami klien.

Rasional :

1) Untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel.

2) Untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/kesal.

3) Menarik kesimpulan bersama klien supaya klien mengetahui

secara garis besar tanda-tanda marah.

d. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa

dilakukan.

Kriteria evaluasi :

1) Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan.

2) Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

3) Klien dapat mengetahui cara yang biasa menyelesaikan masalah

atau tidak.

25

Intervensi :

1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan klien.

2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan

yang biasa dilakukan.

3) Bicarakan dengan klien apakah cara yang klien lakukan dapat

menyelesaikan masalah.

Rasional :

1) Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku kekerasan

yang biasa dilakukan.

2) Untuk mengetahui perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan

dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif

dan destruktif.

3) Dapat membantu klien menemukan cara yang dapat

menyelesaikan masalah.

e. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi: klien dapat menjelaskan akibat dari perilaku

kekerasan yang dilakukan klien.

Intervensi :

1) Bicarakan akibat/kerugian dari perilaku kekerasan yang

dilakukan klien.

2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan

yang dilakukan klien.

26

Rasional :

1) Membantu klien untuk menilai perilaku kekerasan yang

dilakukannya.

2) Dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien

dapat merubah perilaku destruktif yang dilakukannya menjadi

perilaku yang konstruktif.

f. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku

kekerasan.

Kriteria evaluasi: klien dapat melakukan cara berespon terhadap

kemarahan secara konstruktif.

Intervensi :

1) Tanyakan pada klien apakah klien ingin mempelajari cara baru

yang sehat.

2) Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.

3) Diskusikan dengan klien cara yang sehat antara lain:

a) Secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul bantal/kasur.

b) Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah.

c) Secara sosial: lakukan dalam kelompok cara-cara marah

yang sehat.

d) Secara spiritual: anjurkan klien untuk ibadah.

Rasional :

1) Agar klien dapat mempelajari cara konstruktif.

2) Dapat membantu klien menemukan cara yang baik untuk

mengurangi kejengkelannya.

27

3) Pujian dapat memotivasi klien dan meningkatkan harga dirinya.

4) Berdiskusi dengan klien untuk memilih caya yang lain sesuai

dengan kemampuan klien.

g. Tujuan: klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku

kekerasan.

Kriteria evaluasi: klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol

perilaku kekerasan.

1) Fisik: tarik nafas dalam, olahraga.

2) Verbal: mengatakan secara langsung tanpa menyakiti perasaan.

3) Spiritual: ibadah, berdoa.

Intervensi :

1) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.

2) Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.

3) Latih klien cara yang dipilih.

4) Beri pujian.

5) Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari.

Rasional :

1) Memberikan simulasi kepada klien untuk menilai respon

perilaku kekeraan secara tepat.

2) Membantu klien dalam membuat keputusan terhadap cara yang

telah dipilihnya dengan melihat manfaatnya.

3) Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif.

4) Pujian dapat meningkatkan motivasi.

5) Agar klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilihnya.

28

h. Tujuan: klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol

perilaku kekerasan.

Kriteria evaluasi:

1) Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang

berperilaku kekerasan.

2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.

Intervensi :

1) Identifiksi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap

yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.

2) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.

3) Jelaskan cara merawat klien.

4) Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara

konstruktif, sikap tenang, bicara tenang dan jelas, membantu

klien mengenal penyebab ia marah.

5) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.

6) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan

demonstrasi.

Rasional :

1) Kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi akan

memungkinkan keluarga untuk melakukan penilaian terhadap

perilaku kekerasan.

2) Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien

sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien.

3) Agar keluarga dapat merawat klien dengan perilaku kekerasan.

29

4) Agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui

demonstrasi yang dilihat keluarga secara langsung.

5) Mengeksplorasi perasaan keluarga setelah melakukan

demonstrasi.

i. Tujuan: klien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan

kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan efek).

Kriteria evaluasi :

1) Klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan

kegunaannya.

2) Klien dapat minum obat sesuai program pengobatan.

Intervensi :

1) Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien dan keluarga.

2) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum

obat tanpa seizin dokter.

3) Jelaskan prinsip benar minum obat.

4) Ajarkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.

5) Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan

efek yang tidak menyenangkan.

6) Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.

Rasional :

1) Klien dan keluarga dapat mengetahui nama-nama obat yang

diminum oleh klien.

2) Klien dan keluarga dapat mengetahui kegunaan obat yang

dikonsumsi klien.

30

3) Klien dan keluarga mengetahui prinsip benar agar tidak terjadi

kesalahan dalam mengkonsumsi obat.

4) Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat dan

bersedia minum obat dengan kesadaran sendiri.

5) Mengetahui efek samping sedini mungkin sehingga tindakan

dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari

komplikasi.

6) Reinforcement positif dapat memotivasi klien dan keluarga serta

dapat meningkatkan harga diri.

Menurut Direja (2011:149) rencana tindakan keperawatan klien dengan

gangguan konsep diri : Harga diri rendah.

a. Tujuan: klien dapat membina hubungan saling percaya.

Kriteria Evaluasi :

1) Klien dapat mengungkapkan perasaannya.

2) Ekspresi wajah bersahabat.

3) Ada kontak mata.

4) Menunjukkan rasa senang.

5) Mau berjabat tangan.

6) Mau menjawab salam.

7) Klien mau duduk berdampingan.

8) Klien mau mengutarakan masalah yang dihadapi.

Intervensi :

1) Bina hubungan saling percaya.

a) Sapa klien dengan ramah, baik verbal maupun nonverbal.

31

b) Perkenalkan diri dengan sopan.

c) Tanya nama lengkap klien dan nama panggilan yang

disukai klien.

d) Jelaskan tujuan pertemuan, jujur, dan menepati janji.

e) Tunjukan sikap empati dan menerima pasien apa adanya.

f) Beri perhatian pada klien.

2) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan tentang

penyakit yang dideritanya.

3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.

4) Katakan pada klien bahwa ia adalah seorang yang berharga dan

bertanggung jawab serta mampu mendorong dirinya sendiri.

Rasional: hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk

hubungan selanjutnya.

b. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif

yang dimiliki.

Kriteria Evaluasi: klien mampu mempertahankan aspek yang positif.

Intervensi :

1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

dan diberi pujian atas kemampuan mengungkapkan

perasaannya.

2) Saat bertemuklien, hindarkan memberi penilaian negatif.

3) Utamakan memberi pujian yang realitis.

32

Rasional:

1) Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas,

kontrol diri atau integritas ego sebagai dasar asuhan

keperawatan.

2) Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri.

3) Pujian yang realistis tidak menyebabkan melakukan kegiatan

hanya karna ingin mendapatkan pujian.

c. Tujuan: klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.

Kriteria Evaluasi :

1) Kebutuhan klien terpenuhi.

2) Klien dapat melakukan aktivitas terarah.

Intervensi :

1) Diskusikan kemampuan klien yang masih dapat digunakan

selama sakit.

2) Diskusikan juga kemampuan yang dapat dilanjutkan

penggunaan di rumah sakit dan di rumah nanti.

Rasional:

1) Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki

adalah prasarat untuk berubah.

2) Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri motivasi

untuk tetap mempertahankan penggunaannya.

d. Tujuan: klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai

dengan kemampuan yang dimiliki.

33

Kriteria Evaluasi :

1) klien mampu beraktivitas sesuai kemampuan.

2) klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.

Intervensi :

1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap

hari setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, kegiatan

dengan bantuan minimal, kegiatan dengan bantuan total.

2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.

3) Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.

Rasional:

1) Klien adalah individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya

sendiri.

2) Klien perlu bertindak secara realiatis dalam kehidupannya.

3) Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk

melaksanakan kegiatan.

e. Tujuan: klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan

kemampuannya.

Kriteria Evaluasi: klien mampu beraktivitas sesuai kemampuan.

Intervensi :

1) Beri kesempatan klien untuk mncoba kegiatan yang

direncanakan.

2) Beri pujian atas keberhasilan klien.

3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.

34

Rasional:

1) Memberikan kesempatan klien mandiri dirumah.

2) Reinforcement positif dapat memotivasi klien dan keluarga serta

dapat meningkatkan harga diri.

3) Memberi kesempatan kepada klien untuk tetap melakukan

kegiatan yang biasa dilakukan.

f. Tujuan: klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.

Kriteria Evaluasi: klien mampu melakukan apa yang diajarkan.

Intervensi :

1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat

klien harga diri rendah.

2) Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.

3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.

Rasional:

1) Mendorong keluarga untuk mampu untuk merawat klien

dirumah.

2) Support system keluarga akan sangat berpengaruh dalam

mempercepat proses penyembuhan.

3) Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien

dirumah.

35

Strategi Penahanan

Stategi Preventif Strategi Antisipasi Strategi Penahanan

• Kesadaran diri

•Pendidikan pasien

• Latihan asertif

• Komunikasi

•Perubahan

lingkungan

• Perilaku

• Psikofarmakologi

• Manajemen krisis

• Pengasingan

•Pengendalian/pengek

angan

Gambar 2.3 Rangkaian Intervensi Keperawatan dalam Manajemen Perilaku

Kekerasan

1. Manajemen Krisis:

a. Identifikasi pemimpin tim krisis.

b. Susun atau kumpulkan tim krisis.

c. Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.

d. Pindahkan semua pasien dari area tersebut.

e. Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).

f. Susun strategi dan beritahu anggota lain.

g. Tugas penanganan pasien secara fisik.

36

h. Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono,

karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika

Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”.

i. Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).

j. Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.

k. Jaga tetap kalem dan konsisten.

l. Evaluasi tindakan dengan tim.

m. Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.

n. Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.

2. Pengasingan

Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di

tempat yang aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya

adalah melindungi pasien, orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal

jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan antara lain

sebagai berikut:

a. Pembatasan gerak

1) Aman dari mencederai diri.

2) Lingkungan aman dari perilaku pasien.

b. Isolasi

1) Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.

2) Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.

c. Pembatasan input sensoris

Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.

37

3. Pengekangan

Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta

melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai

berikut:

a. Ketidakmampuan mengontrol perilaku.

b. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.

c. Hiperaktif dan agitasi.

Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut:

a. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.

b. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.

c. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi,

dan membuka ikatan untuk latihan gerak.

d. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan

perawatan diri.

2.2.4 Implementasi Keperawatan

a. Tindakan keperawatan pada klien:

1) Melakukan SP1P perilaku kekerasan.

a) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.

b) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.

c) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.

d) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.

e) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.

f) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan cara fisik 1: latihan nafas dalam.

38

g) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

2) Melakukan SP2P perilaku kekerasan.

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan cara fisik 2: pukul kasur dan bantal.

c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

3) Melakukan SP3P perilaku kekerasan.

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan cara sosial/ verbal.

c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

4) Melakukan SP4P perilaku kekerasan.

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan cara spiritual.

c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

5) Melakukan SP5P perilaku kekerasan.

a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol

perilaku kekerasan dengan minum obat.

c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.

39

b. Tindakan keperawatan pada keluarga.

1) Melakukan SP1K perilaku kekerasan.

a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam

merawat klien.

b) Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan

gejala perilaku kekerasan, serta proses terjadinya perilaku

kekerasan.

2) Melakukan SP2K perilaku kekerasan.

a) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien

dengan perilaku kekerasan.

b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada

klien perilaku kekerasan.

3) Melakukan SP3K perilaku kekerasan.

a) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah

termasuk minum obat (discharge planning).

b) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.

2.2.5 Evaluasi

a. Evaluasi pada pasien

1) Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku

kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat

dari perilaku kekerasan yang dilakukan.

2) Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan

secara teratur sesuai jadwal, yang meliputi:

a) secara fisik,

40

b) secara sosial/verbal,

c) secara spiritual,

d) terapi psikofarmaka.

b. Evaluasi pada keluarga

1) Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan.

2) Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan

menghargai pasien.

3) Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara

mengontrol perilaku kekerasan.

4) Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus

dilaporkan pada perawat.

41

BAB III

METODE STUDI KASUS

3.1 Desain Studi Kasus

Studi kasus merupakan metode pengumpulan data secara

komprehensif yang meliputi aspek fisik dan psikologis individu, dengan

tujuan memperoleh pemahaman secara mendalam. Studi kasus ini adalah

studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada pasien yang

mengalami resiko perilaku kekerasan.

3.2 Batasan Istilah

Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk

melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini

maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri

sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam

dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung atau riwayat perilaku kekerasan.

Strategi pelaksanaan perilaku kekerasan pertama melatih cara mengendalikan

perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama yaitu nafas dalam. Strategi

pelaksanaan kedua melatih cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan

cara fisik kedua yaitu dengan cara pikul bantal/ kasur. Strategi pelaksanaan

ketiga membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara

verbal. Strategi pelaksanaan keempat membantu klien latihan mengendalikan

perilaku kekerasan dengan cara spiritual. Strategi pelaksanaan kelima

membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan minum

obat.

42

3.3 Partisipan

Subyek studi dalam kasus ini adalah Sdr.R dan Tn.SR yang

mengalami resiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit dr. Arif Zainudin

Surakarta.

3.4 Lokasi dan Waktu

Pada kasus ini tempat pengambilan kasus dilakukan di Rumah Sakit

dr. Arif Zainudin Surakarta dan waktu pelaksanaan 2 minggu dari tanggal

22 Mei 2017 – 3 Juni 2017.

3.5 Pengumpulan Data

Sehubungan dengan pendekatan studi kasus diatas, teknik

pengumpulan data yang akan digunakan dalam studi kasus ini adalah

penelitian lapangan (field research), dilakukan dengan cara mengunjungi

langsung ke objek studi kasusyaitu Rumah Sakit dr. Arif Zainuddin. Menurut

Sujarweni (2014) metode pengumpulan data yang digunakan adalah :

1. Teknik pengumpulan data primer

Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi studi

kasus atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dengan cara-

cara sebagai berikut:

a. Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung pada

objek studi kasus terhadap pasien yang mengalami masalah

perilaku kekerasan.

b. Wawancara adalah melakukan tanya-jawab dengan pihak-pihak

yang berhubungan dengan masalah studi kasuswawancara

43

dinyatakan sebagai suatu percakapan dengan bertujuan untuk

memperoleh kontruksi yang terjadi sekarang tentang orang,

kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan,

kerisauan dan sebagainya. Penulis melakukan pengkajian terhadap

pasien (hasil pengkajian berisi tentang identitas klien, alasan

masuk, faktor predisposisi dan lain-lain) sumber data dari klien,

keluarga dan perawat lainnya.

2. Teknik pengumpulan data sekunder merupakan teknik pengumpulan data

yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk

mendukung data primer (data lain yang relevan). Pengumpulan data

sekunder dapat dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:

a. Studi Kepustakaan (Library research) adalah pengumpulan data

yang dilakukan dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat ahli yang

memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.

b. Studi Dokumentasi (Documentary) adalah pengumpulan data yang

diperoleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di

lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut

masalah diteliti dengan instansi yang terkait.

3.6 Uji Keabsahan Data

Uji keabsahan data dimaksud dengan mengambil data baru (here and

now) dengan menggunakan instrumen pengkajian yang sesuai sehingga

menghasilkan data dengan validitas tinggi. Pengkajian menggunakan klien,

perawat dan keluarga klien sebagai sumber informasi dan sumber

dokumentasi. Menegakkan diagnosa NANDA keperawatan intervensi NIC

44

NOC, implementasi strategi pelaksanaan (SP), evaluasi dengan menggunakan

evaluasi formatif dan evaluasi surmatif (Sujarweni, 2014).

3.7 Analisa Data

Setelah melakukan asuhan keperawatan akan dilakukan analisa data

dengan metode membandingkan antara tindakan yang dilakukan dengan

jurnal penelitian dan teori didalam buku.

1. Pengumpulan Data

Data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.

Hasil ditulis dalam bentuk transkip (catatan terstruktur).

2. Mereduksi Data

Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan

dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data

subjektif dan objektif dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik

kemudian dibandingkan nilai normal.

3. Penyajian Data

Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun

teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan

identitas dari klien.

3.8 Kesimpulan

Dari data yang disajikan kemudian data dibahas dan dibandingkan

dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan

metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian,

diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.

45

BAB IV

HASIL

4.1 Gambaran lokasi pengambilan data

Pengambilan data dilakukan di rumah sakit dr. Arif Zainudin Surakarta, di

bangsal Gatotkaca. Di dalam bangsal Gatotkaca terdapat 4 ruang perawatan

diantaranya: 2 untuk dewasa, 2 untuk anak dan remaja. Bangsal ini khusus

untuk perawatan klien yang berjenis kelamin laki-laki.

4.2 Pengkajian

1. Identitas Klien

IDENTITAS KLIEN KLIEN 1 KLIEN 2

Inisial

Umur

Jenis Kelamin

No. RM

Ruang Rawat

Tanggal Dirawat

Tanggal Pengkajian

Informan

Sdr. R

18 tahun

Laki-laki

0607xx

Gatotkaca

1 mei 2017

23 mei 2017

Klien

Tn. SR

40 tahun

Laki-laki

0199xx

Gatotkaca

14 mei 2017

23 mei 2017

Klien dan keluarga

2. Alasan Masuk

KLIEN 1 KLIEN 2

ALASAN MASUK Klien dibawa ke rumah sakit

jiwa karena klien sering

marah-marah, merusak

barang-barang rumah tangga,

sering mengamuk Klien

pernah memukuli temannya

karena telah merebut

pacarnya.

Keluarga klien mengatakan

alasan klien dibawa ke

rumah sakit jiwa karena klien

marah-marah tanpa sebab,

suka membanting barang,

suka mengancam orang lain,

sering mondar-mandir dan

binggung. Klien mengalami

perubahan perilaku sejak di

PHK dari tempat kerjanya.

46

3. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi

KLIEN 1 KLIEN 2

Faktor predisposisi Saat usia 12 tahun klien

pernah menjadi korban

KDRT, dipukul bapaknya

karena klien tidak mau

melanjutkan sekolah.

Setelah kejadian itu klien

bersedia melanjutkan

sekolah. Saat usia 15 tahun

klien pernah memukul

bapaknya karena klien

dilarang balapan motor.

Klien belum pernah

mengalami gangguan jiwa

dimasa lalu dan belum

pernah menjalani

pengobatan. Tidak ada

anggota keluarga klien yang

mengalami gangguan jiwa.

Klien sudah 2 kali ini

dirawat di rumah sakit jiwa,

disebabkan karena klien

frustasi sebab dirinya sudah

terlalu lama menjadi

pengangguran kurang lebih 1

tahun. Pengobatan klien

sebelumnya kurang berhasil

karena klien tidak rutin

minum obat dan kontrol.

Kondisi ekonomi keluarga

yang kurang mampu untuk

mencukupi biaya perawatan

dan pengobatan klien.

Sekarang gangguan jiwa

klien kambuh disebabkan

karena putus obat. Tidak ada

anggota keluarga klien yang

mengalami gangguan jiwa.

Faktor presipitasi Faktor pancetus terjadinya

gangguan jiwa yaitu pacar

klien direbut oleh temannya

sendiri.

Faktor pancetus terjadinya

gangguan jiwa yaitu klien di

PHK dari tempat kerjanya.

4. Fisik

FISIK KLIEN 1 KLIEN 2

1. TTV

Nadi

Tekanan darah

RR

Suhu

2. Ukur

Tinggi badan

Berat badan

3. Keluhan Fisik

Masalah keperawatan

90x/ menit

110/70 mmhg

16x/ menit

36,5o C

160 cm

50 kg

Tidak ada

Tidak ada

80x/ menit

130/80 mmhg

18x/ menit

36,7o C

175 cm

65 kg

Tidak ada

Tidak ada

47

5. Psikososial

PSIKOSOSIAL KLIEN 1 KLIEN 2

1. Genogram

Penjelasan

Masalah

keperawatan

2. Konsep diri

a. Gambaran diri

b. Identitas

c. Peran

d. Ideal diri

e. Harga diri

Masalah keperawatan

Klien mengatakan tinggal

serumah dengan kedua

orang tua dan kedua

adiknya. Klien merupakan

anak pertama dari 3

bersaudara.

Tidak ada

Klien mengatakan klien

suka dengan seluruh anggota

tubuhnya karena klien

bersyukur atas apa yang

sudah diberikan oleh Tuhan.

Klien adalah seorang laki-

laki yang berusia 18 tahun,

pendidikan terakhir SMP,

asal dari Wonogiri.

Klien mengatakan klien

berperan sebagai anak di

dalam keluarganya, sebagai

kakak dari kedua adiknya,

dan sebagai anggota karang

taruna di dalam masyarakat.

Klien berharap agar cepat

sembuh dan cepat pulang,

klien ingin melanjutkan

sekolah karena klien bercita-

cita ingin menjadi pilot.

Klien mengatakan klien

kurang diterima di

masyarakat karena klien

sering mengamuk.

Harga diri rendah.

klien merupakan anak ke-2

dari 2 bersaudara, klien

tinggal serumah dengan

kedua orang tuanya.

Tidak ada

Klien mengatakan menyukai

semua bagian tubuhnya.

Klien bernama SR, usia 40

tahun, beragama islam, jenis

kelamin laki-laki, asal dari

Kartosuro.

Klien mengatakan di dalam

rumah klien sebagai anak

dan sebagai tulang punggung

keluarga, di masyarakat klien

sebagai anggota masyarakat.

Klien berharap agar cepat

sembuh dan cepat pulang

karena klien ingin segera

mencari pekerjaan dan dapat

memenuhi kebutuhan

keluarganya.

Selama dirumah klien

merasa malu dan minder

karena dianggap orang

stress, klien lebih senang

menyendiri dirumah, dan

klien selalu merasa bahwa

dirinya selalu merepotkan

kedua orang tuanya.

Harga diri rendah.

48

3. Hubungan sosial

Masalah keperawatan

4. Spiritual

a. Nilai dan

keyakinan.

b. Kegiatan

ibadah.

Masalah keperawatan

Klien mengatakan orang

terdekat dengannya yaitu

ibunya. Klien mengatakan

jarang mengikuti kegiatan di

masyarakat karena klien

merasa orang-orang

menghindar dari

dirinyadisebabkan karena

klien sering mengamuk.

Menarik diri, perubahan

interaksi sosial.

Klien beragama islam.

Sebelum sakit klien jarang

beribadah karena malas,

selama sakit klien rajin

beribadah solat 5 waktu.

Tidak ada.

Klien mengatakan orang

terdekat dengannya yaitu

kakak kandungnya. Klien

tidak mau bergaul dengan

kelompok masyarakat karena

klien malu jika dirinya

dianggap orang stress dan

klien merasa orang lain tidak

suka dengannya.

Menarik diri, perubahan

interaksi sosial.

Klien beragama islam.

Klien tidak pernah

beribadah.

Hambatan religi.

6. Status Mental

STATUS MENTAL KLIEN 1 KLIEN 2

1. Penampilan

Masalah keperawatan

2. Pembicaraan

Masalah keperawatan

3. Aktivitas motorik

Masalah keperawatan

4. Alam perasaan

Klien terlihat tidak rapi.

Klien terlihat selalu

menggunakan baju yang

sama setiap hari, terkadang

di dobel dengan baju dari

rumah sakit.

Tidak ada

Klien berbicara dengan

irama yang teratur, bicara

keras, nada suara tinggi.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien terlihat gelisah,

tegang, sering mondar-

mandir, tidak dapat duduk

tenang.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien mengatakan

perasaannya sedih karena

tidak mempunyai teman.

Klien terlihat tidak pernah

mengganti baju dan

celananya, klien

menggunakan baju dobel-

dobel.

Tidak ada

Cara bicara klien keras dan

nada suara tinggi.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien terlihat tegang,

gelisah, mondar-mandir,

tidak dapat duduk tenang,

sering berpindah tempat

duduk.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien mengatakan

perasaannya sedih karena

tidak bisa bekerja.

49

Masalah keperawatan

5. Afek

Masalah keperawatan

6. Interaksi selama

wawancara

Masalah keperawatan

7. Persepsi

Masalah keperawatan

8. Proses pikir

Masalah keperawatan

9. Isi pikir dan

Waham

Masalah keperawatan

10. Tingkat kesadaran

dan Disorientasi

Masalah keperawatan

Tidak ada

Afek klien labil, emosi klien

berubah dengan cepat.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Saat berinteraaksi dengan

klien, klien mudah

tersinggung, curiga jika

ditanya masalah pribadi,

pandangan mata klien tajam,

memberi kata-kata ancaman,

kontak mata kurang, wajah

memerah.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien mengatakan tidak

pernah mendengar suara-

suara atau bisikan, dan tidak

pernah melihat bayangan.

Klien tidak mengalami

gangguan persepsi.

Tidak ada

Klien tidak mengalami

sirkumtansial maupun

tangensial. Pembicaraan

klien jelas, tidak terbelit-

belit, sampai pada tujuan

pembicaraan.

Tidak ada

Klien tidak pernah

mempunyai pikiran yang

aneh-aneh.

Tidak ada.

Tingkat kesadaran klien

yaitu sadar penuh, klien

mampu mengingat dan dapat

menyebutkan nama tempat

dan waktu.

Tidak ada.

Tidak ada

Afek klien labil, emosi klien

berubah dengan cepat.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Saat berinteraaksi dengan

klien, klien mudah

tersinggung, curiga, wajah

memerah, pandangan mata

klien tajam, memberi kata-

kata ancaman.

Tanda gejala resiko perilaku

kekerasan.

Klien mengatakan tidak

pernah mendengar suara-

suara atau bisikan, dan tidak

pernah melihat bayangan.

Klien tidak mengalami

gangguan persepsi.

Tidak ada

Klien mengalami

sirkumtansial. Saat

wawancara, pembicaraan

klien terbelit tetapi sampai

pada tujuan pembicaraan.

Tidak ada

Klien tidak pernah

mempunyai pikiran yang

aneh-aneh.

Tidak ada.

Tingkat kesadaran klien

yaitu sadar penuh, klien

mengalami disorientasi

tempat dan waktu, saat

ditanya nama ruangan dan

hari, tanggal klien tidak bisa

menjawab.

Tidak ada.

50

11. Memori

Masalah keperawatan

12. Tingkat konsentrasi

dan berhitung

Masalah keperawatan

13. Kemampuan

penilaian

Masalah keperawatan

14. Daya tilik diri

Masalah keperawatan

Klien tidak mengalami

gangguan daya ingat.

Tidak ada.

Klien mampu berhitung

tetapi tidak mampu

berkonsentrasi lama.

Tidak ada.

Klien mampu menilai jika

masalah yang di landasi

dengan emosi akan

merugikan/ membahayakan

diri sendiri, orang lain, dan

lingkungan.

Tidak ada.

Klien sadar bahwa dirinya

telah berbuat salah karena

sudah berperilaku kekerasan

dan merasa menyesal.

Tidak ada

Klien mengalami gangguan

daya ingat jangka panjang,

saat di tanya tanggal masuk

rumah sakit, siapa yang

membawa ke RSJ, klien

tidak bisa menjawab.

Tidak ada.

Klien mampu berhitung

tetapi tidak mampu

berkonsentrasi lama.

Tidak ada.

Klien mampu mengambil

keputusan yang sederhana

setelah diberi penjelasan

dari perawat, misalnya cuci

tangan dahulu sebelum

makan.

Tidak ada.

Klien sadar bahwa dirinya

telah berbuat salah karena

sudah melakukan perilaku

kekerasan.

Tidak ada.

7. Kebutuhan Persiapan Pulang

Kebutuhan Persiapan

Pulang

KLIEN 1 KLIEN 2

1. Makan

2. BAB/ BAK

3. Mandi

4. Berpakaian/

berhias

Klien makan 3x sehari

dengan menu yang

disediakan dari rumah sakit,

klien mampu makan secara

mandiri dan klien selalu

mencuci piringnya setelah

selesai makan.

Klien mampu melakukan

BAB/ BAK secara mandiri.

Selama di rumah sakit klien

mandi sehari 2x, gosok gigi

2x sehari, klien mampu

mencuci rambut sendiri.

Klien membutuhkan bantuan

minimal dalam berpakaian

karena klien harus di

Klien makan 3x sehari

dengan menu yang

disediakan dari rumah sakit,

klien mampu makan secara

mandiri dan klien selalu

mencuci piringnya setelah

selesai makan.

Klien mampu melakukan

BAB/ BAK secara mandiri.

Klien membutuhkan

bantuan minimal untuk di

motivasi, selesai mandi

terkadang klien lupa dan

malas untuk mengeringkan

badannya dengan handuk.

Klien membutuhkan

bantuan minimal dalam

berpakaian karena klien

51

5. Istirahat dan tidur

6. Penggunaan obat

7. Pemeliharaan

kesehatan dan

sistem dukungan

8. Aktivitas di dalam

rumah

9. Aktivitas di luar

rumah

Masalah keperawatan

motivasi untuk ganti baju,

terkadang klien malas untuk

berganti baju.

Klien tidur siang selama 1-2

jam, tidur malam selama 7-8

jam, tidak ada aktivitas

khusus sebelum atau

sesudah tidur.

Klien membutuhkan bantuan

minimal yaitu klien harus

diingatkan untuk meminum

obatnya, klien diberi obat 2x

sehari.

Setelah pulang nanti klien

berusaha untuk rutin minum

obat dan kontrol, klien

mendapat dukungan penuh

dari keluarga.

Saat di rumah sakit, klien

mampu menjaga kerapian

ruangan dengan cara

menyapu jika ada kotoran,

klien juga selalu mencuci

piring setelah selesai makan.

Klien mengatakan nanti

kalau sudah pulang ke

rumah, dia akan membantu

pekerjaan orang tuanya

seperti mencuci baju,

menyapu rumah ataupun

lainnya.

Saat di rumah sakit, klien

rajin mengikuti rehabilitasi

setiap pagi, klien

mengatakan jika sudah

pulang ke rumah nanti klien

akan melanjutkan

sekolahnya.

Tidak ada.

harus di motivasi untuk

ganti baju, dan memotivasi

klien agar tidak

menggunakan baju dobel-

dobel, cukup menggunakan

1 baju yang bersih.

Klien tidur siang selama 1-2

jam, tidur malam selama 7-8

jam, tidak ada aktivitas

khusus sebelum atau

sesudah tidur.

Klien membutuhkan

bantuan minimal yaitu klien

harus diingatkan untuk

meminum obatnya, klien

diberi obat 2x sehari.

Setelah pulang nanti klien

berusaha untuk rutin minum

obat dan kontrol, klien

mendapat dukungan penuh

dari keluarga.

Saat di rumah sakit, klien

selalu mencuci piring

setelah selesai makan.

Saat di rumah sakit, klien

tidak mengikuti rehabilitasi

karena belum di ijinkan

dokter, klien mengatakan

jika sudah pulang ke rumah

nanti klien akan mencari

pekerjaan.

Tidak ada.

52

10. Mekanisme Koping

Mekanisme Koping KLIEN 1 KLIEN 2

Adaptif

Maladaptif

Masalah keperawatan

-

Klien mengatakan jika

mempunyai masalah klien

langsung marah-marah, jika

sudah tidak tahan lagi klien

kemudian mengamuk atau

merusak barang yang ada di

sekitar nya.

Koping individu tidak

efektif, resiko perilaku

kekerasan.

-

Klien mengatakan, jika ada

masalah, klien lebih senang

marah-marah dan merusak

barang.

Koping individu tidak

efektif, resiko perilaku

kekerasan.

11. Masalah Psikososial dan Lingkungan

KLIEN 1 KLIEN 2

Masalah Psikososial dan

Lingkungan

1. Masalah dengan

lingkungan, klien

mengatakan semenjak

dirinya marah-marah

dan mengamuk,

lingkungan masyarakat

tidak mau menerima

klien dan hal ini

membuat klien lebih

senang menyendiri.

2. Masalah dengan

pendidikan, klien

mengatakan pernah tidak

mau melanjutkan

sekolah.

1. Masalah dengan

lingkungan, klien

mengatakan setelah

klien di PHK, klien

jarang bergaul dengan

tetangganya.

2. Masalah dengan

pekerjaan.

3. Masalah ekonomi.

12. Pengetahuan Kurang Tentang

KLIEN 1 KLIEN 2

Pengetahuan Kurang

Tentang

Masalah keperawatan

Klien tidak mengetahui

tentang penyakit jiwa.

Kurang pengetahuan.

Klien tidak mengetahui

tentang penyakit jiwa,

koping dan obat-obatan.

Kurang pengetahuan.

53

13. Aspek Medik

ASPEK MEDIK KLIEN 1 KLIEN 2

Diagnosa medis

Terapi medis

F20.3 Skizofrenia tak terinci

Risperidon 2X2mg

Trihexyphenidyl (THP)

2x2mg

Chlorpromazine (CPZ)

2x100mg

F20.3 Skizofrenia tak terinci

Trihexyphenidyl (THP)

2x2mg

Chlorpromazine (CPZ)

1x100mg

14. Daftar Masalah Keperawatan

KLIEN 1 KLIEN 2

Daftar Masalah

Keperawatan

1. Resiko mencederai diri

sendiri, orang lain,

lingkungan.

2. Harga diri rendah.

3. Menarik diri.

4. Perubahan interaksi

sosial.

5. Koping individu tidak

efektif.

6. Resiko perilaku

kekerasan.

7. Kurang pengetahuan.

1. Resiko mencederai diri

sendiri, orang lain,

lingkungan.

2. Harga diri rendah.

3. Menarik diri.

4. Perubahan interaksi

sosial.

5. Koping individu tidak

efektif.

6. Resiko perilaku

kekerasan.

7. Hambatan religi.

8. Kurang pengetahuan.

54

4.3 Analisis Data

Hari/ Tanggal Data Fokus Masalah Keperawatan

KLIEN 1

Selasa,

23 Mei 2017

Ds:

Klien sering marah-marah,

merusak barang-barang rumah

tangga, sering mengamuk.

Klien pernah memukuli

temannya karena telah merebut

pacarnya.

Klien pernah memukul

bapaknya

Do:

Bicara keras, nada suara tinggi

Pandangan mata tajam

Wajah memerah

Memberi kata-kata ancaman

(akan melukai)

Resiko perilaku kekerasan.

Ds:

Klien mengatakan kurang

diterima di masyarakat karena

klien sering mengamuk.

Masyarakat terkesan

menghindar dari klien karena

takut kepada klien.

Masyarakat sering mengucilkan

klien.

Do:

Gelisah.

Sedih.

Senang menyendiri.

Kontak mata kurang.

Gangguan konsep diri:

Harga diri rendah

KLIEN 2

Selasa,

23 Mei 2017

Ds:

Klien marah-marah tanpa

sebab.

Klien suka membanting barang.

Klien mengancam orang lain.

Do:

Pandangan mata tajam

Wajah memerah

Memberi kata-kata ancaman

(akan memukul )

Resiko perilaku kekerasan.

Ds:

Klien merasa malu dan minder

karena dianggap orang stress.

Klien lebih senang menyendiri

dirumah.

Klien selalu merasa bahwa

Gangguan konsep diri:

Harga diri rendah

55

dirinya selalu merepotkan

kedua orang tuanya.

Do:

Malu

Minder

Senang menyendiri.

Kontak mata kurang.

56

4.4 Diagnosa Keperawatan

Data Diagnosa Keperawatan

KLIEN 1

Ds:

Klien sering marah-marah,

merusak barang-barang rumah

tangga, sering mengamuk.

Klien pernah memukuli

temannya karena telah merebut

pacarnya.

Klien pernah memukul

bapaknya.

Do:

Bicara keras, nada suara tinggi

Pandangan mata tajam

Wajah memerah

Memberi kata-kata ancaman

(akan melukai)

Resiko perilaku kekerasan.

Ds:

Klien mengatakan kurang

diterima di masyarakat karena

klien sering mengamuk.

Masyarakat terkesan

menghindar dari klien karena

takut kepada klien.

Masyarakat sering mengucilkan

klien.

Do:

Gelisah.

Sedih.

Senang menyendiri.

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

KLIEN 2

Ds:

Klien marah-marah tanpa sebab.

Klien suka membanting barang.

Klien mengancam orang lain.

Do:

Pandangan mata tajam

Wajah memerah

Memberi kata-kata ancaman

(akan memukul)

Resiko perilaku kekerasan.

Ds:

Klien merasa malu dan minder

karena dianggap orang stress.

Klien lebih senang menyendiri

dirumah.

Klien selalu merasa bahwa

dirinya selalu merepotkan kedua

orang tuanya.

Do:

Malu

Minder

Senang menyendiri.

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah

57

4.5 Intervensi Keperawatan

Diagnosa

Keperawatan

RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN

Tujuan Intervensi

KLIEN 1

Resiko perilaku

kekerasan

Tujuan Umum:

Setelah dilakukan tindakan

keperatawan selama 5 x

pertemuan di harapkan klien

dapat mengontrol perilaku

kekerasan.

Tujuan Khusus:

1. Klien dapat membina

hubunagn saling percaya.

2. Klien dapat

mengidentifikasi

penyebab perilaku

kekerasan.

3. Klien dapat menyebutkan

tanda dan gejala perilaku

kekerasan.

4. Klien dapat

mengidentifikasi perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

5. Klien dapat

mengidentifikasi akibat

perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

6. Klien dapat menyebutkan

cara mengontrol perilaku

kekerasan.

7. Klien mampu

mempraktekkan cara

mengontrol perilaku

kekerasan dengan nafas

dalam, pukul bantal/

kasur, secara verbal,

secara spiritual.

8. Klien mendapat dukungan

keluarga dalam

mengontrol perilaku

kekerasan.

9. klien dapat menggunakan

obat-obatan yang

diminum dan

kegunaannya (jenis,

waktu, dosis dan efek).

SP 1:

1. Bina hubungan saling

percaya.

2. Identifikasi penyebab marah.

3. Identifikasi tanda dan gejala

perilaku kekerasan.

4. Identifikasi perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

5. Identifikasi akibat perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

6. Identifikasi cara mengontrol

perilaku kekerasan.

7. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam).

8. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 2:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam).

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 2

(pukul bantal/ kasur).

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 3:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam) dan fisik 2

(pukul bantal /kasur).

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara

verbal.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 4:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam), fisik 2 (pukul

bantal /kasur), cara verbal.

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara

58

spiritual.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 5:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam), fisik 2 (pukul

bantal /kasur), cara verbal,

cara spiritual.

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan minum

obat teratur.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

KLIEN 2

Resiko perilaku

kekerasan

Tujuan Umum:

Setelah dilakukan tindakan

keperatawan selama 5 x

pertemuan di harapkan klien

dapat mengontrol perilaku

kekerasan.

Tujuan Khusus:

1. Klien dapat membina

hubunagn saling percaya.

2. Klien dapat

mengidentifikasi

penyebab perilaku

kekerasan.

3. Klien dapat menyebutkan

tanda dan gejala perilaku

kekerasan.

4. Klien dapat

mengidentifikasi perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

5. Klien dapat

mengidentifikasi akibat

perilaku kekerasan yang

biasa dilakukan.

6. Klien dapat menyebutkan

cara mengontrol perilaku

kekerasan.

7. Klien mampu

mempraktekkan cara

mengontrol perilaku

kekerasan dengan nafas

dalam, pukul bantal/

kasur, secara verbal,

secara spiritual.

8. Klien mendapat dukungan

keluarga dalam

mengontrol perilaku

SP 1:

1. Bina hubungan saling

percaya.

2. Identifikasi penyebab marah.

3. Identifikasi tanda dan gejala

perilaku kekerasan.

4. Identifikasi perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

5. Identifikasi akibat perilaku

kekerasan yang biasa

dilakukan.

6. Identifikasi cara mengontrol

perilaku kekerasan.

7. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam).

8. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 2:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam).

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 2

(pukul bantal/ kasur).

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 3:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam) dan fisik 2

(pukul bantal /kasur).

59

kekerasan.

9. Klien dapat menggunakan

obat-obatan yang

diminum dan

kegunaannya (jenis,

waktu, dosis dan efek).

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara

verbal.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 4:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam), fisik 2 (pukul

bantal /kasur), cara verbal.

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan cara

spiritual.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

SP 5:

1. Evaluasi kemampuan klien

mengontrol perilaku

kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam), fisik 2 (pukul

bantal /kasur), cara verbal,

cara spiritual.

2. Latih cara kontrol perilaku

kekerasan dengan minum

obat teratur.

3. Bimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

60

4.6 Penatalaksanaan

Diagnosa

Keperaw

atan

IMPLEMENTASI

23 Mei 2017 24 Mei

2017

25 Mei

2017

26 Mei 2017 27 Mei 2017

KLIEN 1

Resiko

perilaku

kekerasan

SP 1:

1. Membina

hubungan

saling

percaya.

2. Mengide

ntifikasi

penyebab

marah.

3. Mengide

ntifikasi

tanda dan

gejala

perilaku

kekerasan

.

4. Mengide

ntifikasi

perilaku

kekerasan

yang

biasa

dilakukan

.

5. Mengide

ntifikasi

akibat

perilaku

kekerasan

yang

biasa

dilakukan

.

6. Mengide

ntifikasi

cara

mengontr

ol

perilaku

kekerasan

.

7. Melatih

cara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan

SP 2:

1. Mengev

aluasi

kemamp

uan

klien

mengont

rol

perilaku

kekerasa

n

dengan

cara

fisik 1

(nafas

dalam).

2. Melatih

cara

kontrol

perilaku

kekerasa

n

dengan

cara

fisik 2

(pukul

bantal/

kasur).

3. Membi

mbing

klien

memasu

kkan

dalam

jadwal

kegiatan

harian.

SP 3:

1. Menge

valuasi

kemam

puan

klien

mengo

ntrol

perilak

u

kekeras

an

dengan

cara

fisik 1

(nafas

dalam)

dan

fisik 2

(pukul

bantal

/kasur).

2. Melatih

cara

kontrol

perilak

u

kekeras

an

dengan

cara

verbal.

3. Membi

mbing

klien

memas

ukkan

dalam

jadwal

kegiata

n

harian.

SP 4:

1. Mengevaluasi

kemampuan

klien

mengontrol

perilaku

kekerasan

dengan cara

fisik 1 (nafas

dalam), fisik 2

(pukul bantal

/kasur), cara

verbal.

2. Melatih cara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan cara

spiritual.

3. Membimbing

klien

memasukkan

dalam jadwal

kegiatan

harian.

SP 5:

1. Mengevalua

si

kemampuan

klien

mengontrol

perilaku

kekerasan

dengan cara

fisik 1

(nafas

dalam), fisik

2 (pukul

bantal

/kasur), cara

verbal, cara

spiritual.

2. Melatih cara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan

minum obat

teratur.

3. Membimbin

g klien

memasukka

n dalam

jadwal

kegiatan

harian.

61

cara fisik

1 (nafas

dalam).

8. Membim

bing klien

memasuk

kan

dalam

jadwal

kegiatan

harian.

62

KLIEN2

Resiko

perilaku

kekerasan

SP 1:

1. Membina

hubungan

saling

percaya.

2. Mengident

ifikasi

penyebab

marah.

3. Identifikas

i tanda dan

gejala

perilaku

kekerasan.

4. Mengident

ifikasi

perilaku

kekerasan

yang biasa

dilakukan.

5. Mengident

ifikasi

akibat

perilaku

kekerasan

yang biasa

dilakukan.

6. Mengident

ifikasi cara

mengontro

l perilaku

kekerasan.

7. Melatih

cara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan

cara fisik 1

(nafas

dalam).

8. Membimbi

ng klien

memasukk

an dalam

jadwal

kegiatan

harian.

SP 2:

1. Mengeva

luasi

kemampu

an klien

mengontr

ol

perilaku

kekerasa

n dengan

cara fisik

1 (nafas

dalam).

2. Melatih

cara

kontrol

perilaku

kekerasa

n dengan

cara fisik

2 (pukul

bantal/

kasur).

3. Membim

bing

klien

memasuk

kan

dalam

jadwal

kegiatan

harian.

SP 3:

1. Mengeval

uasi

kemampua

n klien

mengontro

l perilaku

kekerasan

dengan

cara fisik

1 (nafas

dalam)

dan fisik 2

(pukul

bantal

/kasur).

2. Melatih

cara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan

cara

verbal.

3. Membimb

ing klien

memasukk

an dalam

jadwal

kegiatan

harian.

SP 4:

1. Menge

valuas

i

kema

mpuan

klien

mengo

ntrol

perilak

u

kekera

san

denga

n cara

fisik 1

(nafas

dalam)

, fisik

2

(pukul

bantal

/kasur)

, cara

verbal.

2. Melati

h cara

kontro

l

perilak

u

kekera

san

denga

n cara

spiritu

al.

3. Memb

imbin

g klien

mema

sukka

n

dalam

jadwal

kegiat

an

harian.

SP 5:

1. Mengevaluas

i

kemampuan

klien

mengontrol

perilaku

kekerasan

dengan cara

fisik 1 (nafas

dalam), fisik

2 (pukul

bantal

/kasur), cara

verbal, cara

spiritual.

2. Melatihcara

kontrol

perilaku

kekerasan

dengan

minum obat

teratur.

3. Membimbin

g klien

memasukkan

dalam jadwal

kegiatan

harian.

63

4.7 Evaluasi

Evaluasi HARI 1 HARI 2 HARI 3 HARI 4 HARI 5

KLIEN 1

Resiko

perilaku

kekerasa

n

S:

“baik saya

mau

berbincang

10 menit”

“saya

marah jika

keinginan

saya tidak

dipenuhi

orang tua

saya.”

“saat saya

marah

tubuh saya

terasa panas

dan kepala

saya

pusing.”

“saya

langsung

teriak dan

membantin

g barang

didekat

saya.”

“akibatnya

barang-

barang jadi

berantakan.

“saya mau

latihan tarik

nafas

dalam.”

“saya akan

latihan

setiap pagi

jam 07.00.”

O:

Klien

tegang,

pembicaraa

n cepat,

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian

latihan tarik

nafas dalam

jam 07.00

S:

“saya mau

berbincang

10 menit.”

“tadi saya

sudah

latihan tarik

nafas

dalam.”

“saya mau

diajarkan

dan dilatih

cara kontrol

marah

dengan

pukul

bantal/

kasur.”

“nanti

kalau saya

marah, saya

langsung

pukul

bantal

untuk

pelampiasa

n saya.”

“saya mau

latihan

pukul

bantal jam

07.30.”

O:

Klien

mengikuti

instruksi,

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian,

latihan

pukul

bantal/

kasur jam

07.30.

A:

SP2P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

S:

“seperti

biasa kita

berbincang

10 menit

saja.”

“saya

masih

ingat cara

mengontro

l marah

yang

sudah

dilatih

yaitu tarik

nafas

dalam dan

pukul

bantal/

kasur, dan

saya tadi

sudah

latihan.”

“saya mau

dilatih lagi

cara yang

ke-3,

mengontro

l marah

cara

verbal.”

“berarti

kalau saya

kesal dan

marah

sama

orang lain,

saya harus

ungkapkan

dengan

baik-

baik.”

“saya mau

latihan

cara verbal

jam 10.00

setelah

selesai

rehab.”

O:

Klien

kooperatif,

S:

“kita

berbincang 15

menit.”

“saya sudah

latihan tarik

nafas dalam,

pukul bantal

dan latihan

mengungkapka

n rasa kesal

dengan baik-

baik.”

“saya ingin

mengetahui dan

berlatih cara

mengontrol

marah yang ke-

4.”

“saya sudah

bisa berwudu

dan solat.”

“baiklah, jika

saya marah

sebaiknya saya

langsung

istighfar.”

“saya harus

lebih rajin solat

agar tenang dan

tidak mudah

marah.”

“saya akan

lakukan solat

sesuai jadwal

solat setiap

hari.”

O:

Klien tenang,

kooperatif.

A:

SP4P tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan SP5P

tanggal 27 Mei

jam 08.30.

Klien: motivasi

klien untuk

solat 5 waktu,

tepat waktu.

S:

“kita

berbincang 10

menit saja.”

“saya sudah

latihan tarik

nafas dalam,

pukul bantal,

latihan

mengungkapka

n rasa kesal

dengan baik-

baik dan

ibadah.”

“saya mendapat

3 macam obat.”

“menurut saya

manfaat minum

obat teratur

yaitu agar tidak

kambuh.”

“saya minum

obat sehari 2

kali setelah

makan siang

dan makan

malam.”

“oh, yang

warna orange

namanya CPZ,

supaya pikiran

saya tenang dan

tidak marah-

marah lagi.”

“yang warna

putih namanya

THP dan

Risperidon,

supaya saya

rileks dan tidak

tegang.”

“saya akan

meminum obat

sesuai jadwal

dan teratur.”

“saya akan

meminum obat

setelah makan

siang dan

makan malam.”

O:

Klien tengang,

64

pagi.

A:

SP1P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

SP2P

tanggal 24

Mei 2017

jam 08.00

WIB.

Klien:

motivasi

klien untuk

latihan tarik

nafas dalam

sesuai

jadwal.

SP3P

tanggal 25

Mei jam

08.00.

Klien:

motivasi

klien untuk

latihan

pukul

bantal/

kasur

sesuai

jadwal.

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian,

latihan

cara verbal

jam 10.00.

A:

SP3P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

SP4P

tanggal 26

Mei jam

08.30.

Klien:

motivasi

klien

untuk

latihan

mengontro

l marah

cara verbal

sesuai

jadwal.

kooperatif.

A:

SP5P tercapai

P:

Perawat:

evaluasi semua

SP

Klien: motivasi

klien untuk

minum obat

secara teratur

dan tepat

waktu.

KLIEN 2

Resiko

perilaku

kekerasa

n

S:

“saya mau

berbincang

10 menit”

“saya

marah jika

ada orang

yang

meminta

uang

kepada

saya,

padahal

saya tidak

bekerja dan

tidak punya

uang.”

“saat saya

marah

tubuh saya

tegang,

tangan saya

mengepal

ingin

memukul

orang itu.”

“saya

langsung

S:

“baiklah,

kita

berbincang

10 menit

saja ya.”

“tadi pagi

saya sudah

latihan tarik

nafas dalam

jam 06.00.”

“saya mau

dilatih cara

yang ke-2

dengan

pukul

bantal/

kasur.”

“jika saya

marah, saya

akan

langsung

pergi ke

kamar

untuk

memukul

bantal.”

“saya akan

S:

“kita

berbincang

10 menit.”

“saya

sudah

latihan

tarik nafas

dalam dan

pukul

bantal tadi

pagi dan

sekarang

sekarang

saya mau

dilatih

cara ke-3,

mengontro

l dengan

cara

verbal.”

“saya

akan

bicara

baik-baik

jika ada

orang

yang

S:

“kita

berbincang 15

menit.”

“saya tadi

sudah latihan

tarik nafas

dalam, pukul

bantal dan

latihan

mengungkapka

n rasa kesal

dengan baik-

baik.”

“saya ingin

mengetahui dan

berlatih cara

mengontrol

marah yang ke-

4.”

“saya lupa cara

berwudhu dan

solat karena

saya tidak

pernah

melakukannya.

“saya mau

S:

“kita

berbincang 10

menit saja.”

“saya sudah

latihan tarik

nafas dalam,

pukul bantal,

latihan

mengungkapka

n rasa kesal

dengan baik-

baik dan

ibadah.”

“saya mendapat

2 macam

obat.”

“menurut saya

manfaat minum

obat teratur

yaitu agar tidak

kambuh dan

agar saya dapat

tidur nyenyak.”

“saya minum

obat sehari 2

kali setelah

makan siang

65

marah dan

memukul

orang itu.”

“akibatnya

tangan saya

sakit dan

dia juga

sakit.”

“saya mau

latihan cara

kontrol

marah

dengan

tarik nafas

dalam.”

“saya akan

latihan

setiap pagi

jam 06.00.”

O:

Klien

tegang,

tatapan

mata tajam,

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian

latihan tarik

nafas dalam

jam 06.00

pagi.

A:

SP1P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

SP2P

tanggal 24

Mei 2017

jam 08.30

WIB.

Klien:

motivasi

klien untuk

latihan tarik

nafas dalam

sesuai

jadwal.

latihan

pukul

bantal

setiap hari

jam 06.30.”

O:

Klien

mengikuti

instruksi

dan

kooperatif,

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian,

latihan

pukul

bantal/

kasur jam

06.30.

A:

SP2P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

SP3P

tanggal 25

Mei jam

09.00.

Klien:

motivasi

klien untuk

latihan

pukul

bantal/

kasur

sesuai

jadwal.

membuat

saya

marah.”

“saya akan

latihan

cara verbal

jam 08.00

pagi.”

O:

Klien

tenang,

kooperatif,

klien

menulis di

buku

kegiatan

harian,

latihan

cara verbal

jam 08.00.

A:

SP3P

tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan

SP4P

tanggal 26

Mei jam

09.00.

Klien:

motivasi

klien

untuk

latihan

mengontro

l marah

cara verbal

sesuai

jadwal.

diajarkan cara

berwudhu dan

solat.”

“jadi manfaat

wudhu untuk

membersihkan

diri dari

kotoran

sebelum

melakukan

solat .”

“saya ingin di

buatkan catatan

bacaan solat

agar saya bisa

belajar solat.”

“saya mau

dilatih tatacara

solat yang

benar.”

“sekarang saya

sudah bisa

berwudhu dan

solat, tetapi

saya belum

hafal

bacaannya.”

“saya akan

belajar

menghafal

bacaan solat

dan saya akan

solat setiap

hari.”

O:

Klien tenang,

kooperatif.

A:

SP4P tercapai.

P:

Perawat:

lanjutkan SP5P

tanggal 27 Mei

jam 09.00.

Klien: motivasi

klien untuk

solat 5 waktu,

tepat waktu.

dan makan

malam.”

“oh, yang

warna orange

namanya CPZ,

supaya pikiran

saya tenang dan

tidak marah-

marah lagi.”

“yang warna

putih namanya

THP, supaya

saya rileks dan

tidak tegang.”

“saya akan

meminum obat

sesuai jadwal

dan teratur.”

“saya akan

meminum obat

setelah makan

siang dan

makan malam.”

O:

Klien tengang,

kooperatif.

A:

SP5P tercapai

P:

Perawat:

evaluasi semua

SP

Klien: motivasi

klien untuk

minum obat

secara teratur

dan tepat

waktu.

66

BAB V

PEMBAHASAN

Dalam bab ini penulis akan membahas tentang perbandingan antara

tinjauan pustaka dan tinjauan kasus yang disajikan untuk menjawab tujuan

khusus.

5.1 Pengkajian

Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam

pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan

mengidentifikasi status kesehatan klien (Direja, 2011). Format pengkajian

meliputi aspek-aspek identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, fisik,

psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping,

masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan dan aspek medik. Format

pengkajian ini dibuat agar semua data relevan tentang semua masalah klien

saat ini, lampau atau potensial didapatkan sehingga diperoleh suatu data

dasar yang lengkap (Damaiyanti dan Iskandar, 2012).

Pengkajian yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 23 Mei 2017

didapatkan data identitas 2 klien yaitu klien 1 bernama Sdr.R, usia 18 tahun,

berjenis kelamin laki-laki, klien masuk rumah sakit pada tanggal 1 Mei

2017. Sedangkan klien 2 bernama Tn.SR, usia 40 tahun, berjenis kelamin

laki-laki, klien masuk rumah sakit pada tanggal 14 Mei 2017, kedua klien di

rawat di bangsal gatotkaca.

67

Alasan masuk Sdr.R yaitu sering marah-marah, merusak barang-

barang rumah tangga, sering mengamuk. Sedangkan alasan Tn.SR dibawa

ke rumah sakit jiwa karena marah-marah tanpa sebab, suka membanting

barang, suka mengancam orang lain, sering mondar-mandir dan bingung.

Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yaitu: suka

marah, pandangan mata tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,

sering memaksakan kehendak, gelisah, mondar-mandir, tidak dapat duduk

tenang, merusak lingkungan, mengamuk (Prabowo, 2014).

Faktor predisposisi perilaku kekerasan terdapat beberapa teori yang

menjadi penyebab munculnya perilaku kekerasan, salah satunya dari segi

psikologis (Prabowo, 2014). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada

anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek

maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap

keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai

gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi

anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan dimasa depan, baik

sebagai pelaku maupun korbannya (Margaretha et al. 2013). Berdasarkan

teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan data pengkajian faktor

predisposisi yang ditemukan pada Sdr.R dimana klien pernah menjadi

korban KDRT pada usia 12 tahun karena klien tidak mau melanjutkan

sekolahnya dan klien pernah melakukan aniaya fisik terhadap bapaknya

karena klien dilarang balapan motor. Menurut Direja (2011), faktor yang

berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena

stimulus lingkungan dan putus obat, hal ini sama dengan data pengkajian

68

faktor predisposisi yang ditemukan pada Tn.SR dimana klien pernah

mengalami gangguan jiwa setahun yang lalu dan pengobatan sebelumnya

kurang berhasil karena klien tidak rutin kontrol dan kondisi ekonomi

keluarga yang kurang mampu untuk mencukupi biaya perawatan dan

pengobatan klien.

Menurut Direja (2011), dalam pengkajian faktor presipitasi yaitu

seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injuri

secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus perilaku

kekerasan antara lain kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,

masa lalu yang tidak menyenangkan, penghinaan, kehilangan orang yang

berarti, kesulitan kondisi sosial ekonomi, permasalahan diri klien sendiri

maupun faktor eksternal dari lingkungan. Dari pengkajian Sdr.R didapatkan

datafaktor terjadinya gangguan jiwa yaitu pacar klien direbut oleh temannya

sendiri. Sedangkan dari Tn.SR didapatkan data faktor terjadinya gangguan

jiwa yaitu klien di PHK dari tempat kerjanya.

Konsep diri di definisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan

kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya yang

mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk

waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam

dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan realitas dunia. Harga diri (self

esteem) merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh

dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri.

69

Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari peneriman

diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan

kegagalan, tetap merasa seseorang yang penting dan berharga. Harga diri

rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri termasuk

kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada

harapan dan putus asa (Stuart, 2006 dalam Gumilar, 2016).

Menurut Towsend (1998 dalam Nengsi, 2014), harga diri rendah

adalah perilaku negatif terhadap diri dan perasaan tentang diri atau

kemampuan diri yang negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung

maupun tak langsung. Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien

merasa malu, dianggap tidak berharga dan berguna. Klien kesal kemudian

marah dan kemarahan tersebut diekspresikan secara tak konstruktif, seperti

memukul orang lain, membanting-banting barang atau mencederai diri

sendiri. Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan

data pengkajian konsep diri harga diri yang ditemukan pada kasus klien

Sdr.R yaitu klien merasa kurang diterima di masyarakat karena klien sering

mengamuk. Sedangkan pada kasus Tn.SR yaitu selama dirumah klien

merasa malu dan minder karena dianggap orang stress, klien lebih senang

menyendiri dirumah, dan klien selalu merasa bahwa dirinya selalu

merepotkan kedua orang tuanya.

Menurut Achlis (2011 dalam Fauziah & Latipun, 2016)

keberfungsian sosial merupakan kemampuan individu melaksanakan tugas

dan perannya dalam berinteraksi dengan situasi sosial tertentu yang

bertujuan mewujudkan nilai diri untuk mencapai kebutuhan hidup. Terdapat

70

beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberfungsian sosial individu

yaitu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, individu mengalami frustasi

dan kekecewaan, keberfungsian sosial juga dapat menurun akibat individu

mengalami gangguan kesehatan, rasa duka yang berat, atau penderitaan lain

yang disebabkan bencana alam (Ambari, 2010 dalam Fauziah & Latipun,

2016). Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan data

pengkajian hubungan sosial yang ditemukan pada kasus kedua klien yaitu

klien tidak mempunyai peran serta dalam kegiatan kelompok masyarakat

karena klien malu jika dirinya dianggap orang stress sehingga klien tidak

mau bergaul. Hambatan yang dialami kedua klien untuk berhubungan atau

berinteraksi dengan orang lain yaitu masyarakat mengucilkan klien karena

dirinya sering mengamuk dan klien merasa bahwa orang lain tidak suka

dengannya.

Data yang didapat dari pengkajian spiritual, kedua klien mengatakan

beragama islam, tetapi terdapat perbedaan pada kegiatan ibadah pada

masing-masing klien yaitu Sdr.R rajin beribadah dengan solat 5 waktu,

sedangkan Tn.SR tidak pernah beribadah. Penelitian psikiatrik

membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara

komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat

menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi

penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit lebih cepat

(Zainul Z, 2007 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015).

Pada pengkajian status mental, data yang bermasalah pada kedua

klien antara lain: penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik, alam

71

perasaan, afek, interaksi selama wawancara, proses pikir, tingkat kesadaran

dan disorientasi, memori. Penampilan kedua klien terlihat tidak rapi. Klien

terlihat selalu menggunakan baju yang sama setiap hari, terkadang di dobel

dengan baju dari rumah sakit. Adanya hubungan antara resiko perilaku

kekerasan dengan penurunan kemampuan perawatan diri klien. Fungsi

fisiologis pasien seperti halnya kemampuan melakukan perawatan diri

sering kali terpengaruh akibat adanya masalah emosional. Akibat masalah

emosional, seseorang menjadi malas makan, malas mandi, malas berganti

baju/ berhias (Jalil, 2015).

Pembicaraan, cara bicara kedua klien keras dan nada suara tinggi.

Aktivitas motorik kedua klien sama yaitu terlihat tegang, gelisah, mondar-

mandir, tidak dapat duduk tenang, sering berpindah tempat duduk. Alam

perasaan, Sdr. R merasa sedih karena tidak mempunyai teman sedangkan

Tn.SR merasa sedih karena tidak bisa bekerja. Afek kedua klien labil, emosi

mereka berubah dengan cepat. Interaksi selama wawancara, saat

berinteraaksi dengan kedua klien, mereka mudah tersinggung, curiga,

pandangan mata tajam, dan memberi kata-kata ancaman ingin memukul dan

melukai. Proses pikir, Sdr. R tidak mengalami sirkumtansial maupun

tangensial, pembicaraan klien jelas, tidak terbelit-belit, sampai pada tujuan

pembicaraan. Sedangkan Tn. SR mengalami sirkumtansial, saat wawancara,

pembicaraan klien terbelit tetapi sampai pada tujuan pembicaraan.

Tingkat kesadaran dan disorientasi, tingkat kesadaran kedua klien

yaitu sadar penuh, tetapi Tn. SR mengalami disorientasi tempat dan waktu,

saat ditanya nama ruangan dan hari, tanggal klien tidak bisa menjawab.

72

Sedangkan Sdr.R tidak mengalami disorientasi, klien mampu mengingat dan

dapat menyebutkan nama tempat dan waktu. Memori, Sdr.R tidak

mengalami gangguan daya ingat, sedangkan Tn.SR mengalami gangguan

daya ingat jangka panjang, saat di tanya tanggal masuk rumah sakit, siapa

yang membawa ke rumah sakit jiwa, klien tidak bisa menjawab.

Perencanaan pulang merupakan bagian penting dari program

pengobatan klien yang dimulai dari saat klien masuk rumah sakit. Hal ini

merupakan proses yang menggambarkan usaha kerjasama antara tim

kesehatan, keluarga, klien, dan orang yang penting bagi klien (Yosep,

2007). Pengkajian kebutuhan persiapan pulang, didapatkan data sebagai

berikut: Makan, kedua klien makan 3x sehari dengan menu yang disediakan

dari rumah sakit, klien mampu makan secara mandiri dan klien selalu

mencuci piringnya setelah selesai makan.

BAB/ BAK, kedua klien mampu melakukan BAB/ BAK secara

mandiri. Mandi, Sdr.R dapat mandi secara mandiri, sedangkan Tn.SR

membutuhkan bantuan minimal untuk di motivasi, selesai mandi terkadang

klien lupa dan malas untuk mengeringkan badannya dengan handuk.

Berpakaian/ berhias, kedua klien membutuhkan bantuan minimal dalam

berpakaian karena klien harus di motivasi untuk ganti baju, dan memotivasi

klien agar tidak menggunakan baju dobel-dobel, cukup menggunakan 1 baju

yang bersih.

Istirahat dan tidur, kedua klien tidur siang selama 1-2 jam, tidur

malam selama 7-8 jam, tidak ada aktivitas khusus sebelum atau sesudah

tidur. Dalam penggunaan obat, kedua klien membutuhkan bantuan minimal

73

yaitu klien harus diingatkan untuk meminum obatnya, klien diberi obat 2x

sehari. Pemeliharaan kesehatan dan sistem dukungan, kedua klien berusaha

untuk rutin minum obat dan kontrol, klien mendapat dukungan penuh dari

keluarga. Aktivitas didalam rumah, Sdr.R mampu menjaga kerapian

ruangan dengan cara menyapu jika ada kotoran, klien juga selalu mencuci

piring setelah selesai makan. Klien mengatakan nanti kalau sudah pulang ke

rumah, dia akan membantu pekerjaan orang tuanya seperti mencuci baju,

menyapu rumah ataupun lainnya. Tn.SR ,saat di rumah sakit, klien selalu

mencuci piring setelah selesai makan. Aktivitas di luar rumah, Sdr.R saat di

rumah sakit, klien rajin mengikuti rehabilitasi setiap pagi, klien mengatakan

jika sudah pulang ke rumah nanti klien akan melanjutkan sekolahnya.

Tn.SR saat di rumah sakit, klien tidak mengikuti rehabilitasi karena belum

di ijinkan dokter, klien mengatakan jika sudah pulang ke rumah nanti klien

akan mencari pekerjaan.

Pengkajian mekanisme koping kedua klien yaitu maladapif, klien

mengatakan jika mempunyai masalah klien langsung marah-marah, jika

sudah tidak tahan lagi klien kemudian mengamuk atau merusak barang yang

ada di sekitar nya. Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien

sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping

yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya (Dermawan & Rusdi,

2013).

Pengkajian masalah psikososial dan lingkungan, Sdr.R mempunyai

masalah dengan lingkungan, klien mengatakan semenjak dirinya marah-

marah dan mengamuk, lingkungan masyarakat tidak mau menerima klien

74

dan hal ini membuat klien lebih senang menyendiri. Masalah dengan

pendidikan, klien mengatakan pernah tidak mau melanjutkan sekolah.

Tn.SR mempunyai masalah dengan lingkungan, klien mengatakan setelah

klien di PHK, klien jarang bergaul dengan tetangganya. Masalah dengan

pekerjaan, klien mengatakan sudah di PHK dari tempat kerjanya dan sampai

sekarang klien menjadi pengangguran. Masalah ekonomi, semenjak klien di

PHK, klien dan keluarganya sangat kekurangan dalam hal ekonomi.

Masalah psikososial dan lingkungan pasien dapat mempengaruhi diagnosis,

penanganan, serta prognosis gangguan mental. Masalah psikososial dan

lingkungan dapat berupa pengalaman hidup yang tidak baik, kesulitan atau

defisiensi lingkungan, stres interpersonal ataupun familial, kurangnya

dukungan sosial atau penghasilan pribadi, ataupun masalah lain yang

berkaitan dengan kesulitan seseorang untuk dapat berkembang (Lubis, dkk,

2016).

Pengkajian tentang pengetahuan, Sdr.R tidak mengetahui tentang

penyakit jiwa. Tn.SR tidak mengetahui tentang penyakit jiwa, koping dan

obat-obatan. Aspek medik, diagnosa medis kedua klien yaitu skizofrenia tak

terinci F.20.3. Terapi medis yang di berikan kepada Sdr.R yaitu Risperidon

2x2mg, Trihexyphenidyl (THP) 2x2mg, Chlorpromazine (CPZ) 2x100mg.

Terapi medis yang di berikan kepada Tn.SR yaitu Trihexyphenidyl (THP)

2x2mg, Chlorpromazine (CPZ) 1x100mg.

Trihexyphenidyl (THP) merupakan jenis obat pada pengobatan

segala bentuk parkinson karena pengaruh obat untuk susunan syaraf, efek

75

sampingnya adalah mulut kering, pusing, mual, muntah, bingung, takikardi

(Elin, 2014).

Chlorpromazine (CPZ) adalah obat yang termasuk golongan

antispikotik generasi pertama (tipikal), obat ini digunakan untuk menangani

berbagai gangguan mental seperti skizofrenia dan gangguan psikosis yang

lainnya, perilaku agresif yang membahayakan pasien atau orang lain,

kecemasan, kegelisahan yang parah. Kebanyakan antipsikotik golongan

tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2,

hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.

Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala

positif. Selain itu antipsikotik tipikal juga memiliki tempat dalam

manajemen psikosis, antara lain untuk pasien yang kurang mampu atau pada

pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat

menggunakan antipsikotik tipikal tanpa efek samping yang berarti (Irwan,

dkk, 2008).

Risperidon merupakan antispikotik generasi kedua (atipikal) yang

diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun

positif. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang

lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap

reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor

alfa adrenergik. Untuk efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih ringan

dibandingkan dengan antipsikosis tipikal atau antipsikotik generasi pertama

(FKUI, 2007 dalam Yulia, dkk 2013). Antipsikotik golongan atipikal

merupakan terapi pilihan untuk penderita skizofrenia serangan pertama

76

karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena

tardivedyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat

dikontrol lebih rendah (Irwan, dkk, 2008).

Penggunaan kombinasi antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan

antipsikotik generasi kedua (atipikal) merupakan kombinasi yang paling

banyak diberikan, karena antipsikotik generasi pertama dapat memperbaiki

gejala positif dari skizofrenia, namun umumnya tidak memperbaiki gejala

negatif. Sedangkan antipsikotik generasi kedua dapat memperbaiki gejala

positif dan negatif dari skizofrenia dan lebih efektif mengobati pada pasien

yang resisten (upaya untuk melawan) (Yulianty, dkk, 2017).

Terdapat perbedaan dalam terapi medis. Pada Sdr.R diberi obat

risperidon karena klien baru pertama kali di rawat di rumah sakit jiwa. Hal

ini sesuai dengan teori bahwa antipsikotik golongan atipikal merupakan

terapi pilihan untuk penderita skizofrenia serangan pertama karena efek

samping yang ditimbulkan minimal, sedangkan Tn.SR tidak di beri obat

risperidon karena klien sudah mengalami kemajuan yang pesat dengan

menggunakan Chlorpromazine (antipsikotik tipikal) tanpa efek samping

yang berarti.

Lama perawatan merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk

melihat dan mengukur seberapa efektif dan efisiennya pelayanan kesehatan

jiwa yang telah diberikan kepada pasien (Mirza, dkk, 2015). Klien yang

dirawat di rumah sakit jiwa mempunyai rata-rata lama hari rawat yang

tinggi yaitu 54 hari dan klien yang paling lama dirawat adalah skizofrenia

yaitu 65 hari (DepKes, 2000 dalam Budi, 2003). Menurut Boyd dan Nikart

77

(1998, dalamBudi, 2003) pembagian lama rawat klien dengan skizofrenia

dibagi menjadi 4 (empat) yaitu brief short term (< 7 hari), very short term

(7-14 hari), traditional short term (15-21 hari) dan long term care (> 21-120

hari). Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dapat

dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Salah satu

faktor eksternal adalah lama hari rawat. Namun pada kenyataannya masih

banyak klien yang belum bisa mengontrol perilaku kekerasan meskipun

mendapatkan perawatan yang lama. Pada pengkajian didapatkan data lama

rawat pada Sdr.R yaitu 22 hari (long term care), sedangkan Tn.SR 9 hari

(very short term).

5.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat

profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan

klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisa

dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan

harus jelas, singkat, dan lugas terkait masalah kesehatan klien berikut

penyebabnya yang dapat diatasi melalui tindakan keperawatan (Asmadi,

2008).

Menurut Dermawan & Rusdi (2013), masalah keperawatan yang

mungkin muncul untuk masalah perilaku kekerasan adalah harga diri

rendah, perilaku kekerasan/ resiko perilaku kekerasan, koping individu tidak

efektif, perubahan persepsi sensori: halusinasi, dan resiko mencederai diri

sendiri, orang lain dan lingkungan.

78

Diagnosa utama yang diangkat pada Sdr.R dan Tn.SR yaitu resiko

perilaku kekerasan, diagnosa ini didukung dengan data subjektif kedua klien

sering marah-marah, merusak barang-barang rumah tangga, sering

mengamuk. Kemudian data objektifnya klien terlihat tegang, mudah

tersinggung, curiga, afek labil. Diagnosa ini diambil sebagai prioritas utama

karena pada saat pengkajian data-data diatas yang paling aktual

dibandingkan dengan diagnosa harga diri rendah.

Dalam pohon masalah dijelaskan bahwa yang menjadi core problem

adalah perilaku kekerasan, etiologinya yaitu harga diri rendah, dan sebagai

efek yaitu resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Fitria,

2009). Berdasarkan teori yang disebutkan ada perbedaan dengan kasus, pada

kasus yang menjadi core problem adalah resiko perilaku kekerasan. Resiko

perilaku kekerasan atau agresif yaitu perilaku yang menyertai marah dan

merupakan dorongan individu untuk menuntut suatu yang dianggapnya

benar dalam bentuk destruktif tapi masih terkontrol (Prabowo, 2014).

5.3 Intervensi

Perencanaan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan

khusus dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada

penyelesaian permasalahan dari diagnosis tertentu, tujuan umum dapat

dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan khusus

berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosis tertentu (Direja, 2011).

Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Sdr.R dan Tn.SR

berdasarkan pada teori keperawatan jiwa, dimana terdapat tujuan umum

79

yaitu klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dan terdapat sembilan

tujuan khusus yaitu tujuan khusus pertama yaitu klien dapat membina

hubungan saling percaya. Rasionalnya hubungan saling percaya merupakan

landasan utama untuk hubungan selanjutnya. Tujuan khusus kedua yaitu

dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Rasionalnya memberi

kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dapat membantu mengurangi

stress dan penyebab perasaan jengkel/kesal dapat diketahui. Tujuan khusus

ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.

Rasionalnya untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel,

untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/kesal, menarik kesimpulan

bersama klien supaya klien mengetahui secara garis besar tanda-tanda

marah. Tujuan khusus keempat yaitu klien dapat mengidentifikasi perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan. Rasionalnya untuk mengetahui perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa

membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.

Intervensi keperawatan selanjutnya pada tujuan khusus kelima yaitu

klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Rasionalnya dengan

mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien dapat merubah

perilaku destruktif yang dilakukannya menjadi perilaku yang konstruktif.

Tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol

perilaku kekerasan. Rasionalnya dapat membantu klien menemukan cara

yang baik untuk mengurangi kejengkelannya. Tujuan khusus ketujuh yaitu

klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.

Rasionalnya Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif. Tujuan

80

khusus kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga dalam

mengontrol perilaku kekerasan. Rasionalnya kemampuan keluarga dalam

mengidentifikasi akan memungkinkan keluarga untuk melakukan penilaian

terhadap perilaku kekerasan. Tujuan khusus kesembilan yaitu klien dapat

menggunakan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu,

dosis dan efek). Rasionalnya klien dan keluarga dapat mengetahui nama-

nama obat, kegunaan obat, prinsip benar minum obat, efek samping obat

yang diminum oleh klien (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Dalam rencana

keperawatan yang penulis susun pada masalah keperawatan Sdr.R dan

Tn.SR, penulis sesuaikan dengan teori diatas.

5.4 Implementasi

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan

keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan,

perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih

sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini. Semua tindakan yang telah

dilaksanakan beserta respon klien didokumentasikan (Prabowo, 2014).

Salah satu jenis standar operasional prosedur yang digunakan untuk

menangani pasien gangguan jiwa yaitu menggunakan strategi pelaksanaan

(SP) tindakan keperawatan pada pasien gangguan jiwa. Strategi pelaksanaan

tindakan keperawatan merupakan standar model pendekatan asuhan

keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa. Menurut Damaiyanti &

Iskandar (2012), strategi pelaksanaan klien dengan resiko perilaku

kekerasan ada lima yaitu strategi pelaksanaan pertama melatih cara

mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama yaitu nafas

81

dalam. Strategi pelaksanaan kedua melatih cara mengendalikan perilaku

kekerasan dengan cara fisik kedua yaitu dengan cara pukul bantal/ kasur.

Strategi pelaksanaan ketiga membantu klien latihan mengendalikan perilaku

kekerasan secara verbal. Strategi pelaksanaan keempat membantu klien

latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara spiritual. Strategi

pelaksanaan kelima membantu klien latihan mengendalikan perilaku

kekerasan dengan minum obat. Teori tersebut sesuai dengan yang penulis

lakukan.

Penulis melaksanakan strategi pelaksanaan 1 pada hari Selasa

tanggal 23 Mei 2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, sedangkan

Tn.SR pukul 08.30 WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 1 antara lain:

membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,

mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi

perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan, mengidentifikasi cara mengontrol perilaku

kekerasan, melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1

(nafas dalam), membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan

harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 1, Sdr.R lebih cepat menangkap

apa yang perawat instruksikan, sedangkan Tn.SR membutuhkan 2-3 kali

contoh nafas dalam, sebelum klien melakukan tarik nafas dalam dengan

benar.

82

Teknik relaksasi nafas dalam tidak saja menyebabkan efek yang

menenangkan fisik tetapi juga menenangkan pikiran. Oleh karena itu

beberapa teknik relaksasi seperti nafas dalam dapat membantu untuk

meningkatkan kemampuan berkonsentrasi, kemampuan mengontrol diri,

menurunkan emosi, dan depresi (Handoyo, 2009). Penelitian yang dilakukan

oleh kustamti dan widodo (2008) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh

teknik relaksasi yang berhubungan dengan pasien perilaku kekerasan salah

satunya adalah relaksasi nafas dalam dan penelitian tersebutkan

mendapatkan hasil bahwa ada pengaruhnya.

Strategi pelaksanaan 2 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 24 Mei

2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, Tn.SR pukul 08.30 WIB.

Tindakan strategi pelaksanaan 2 antara lain: mengevaluasi kemampuan

klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas dalam),

melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 (pukul bantal/

kasur), membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 2, kedua klien dapat melakukan

pukul bantal dengan benar tanpa di beri contoh berulang-ulang dari perawat.

Tn.SR mengatakan menyukai cara ini karena dapat melampiaskan marahnya

dengan memukul bantal.

Teknik memukul bantal memiliki pengaruh dalam menurunkan

status emosi: marah pada klien skizofrenia. Teknik memukul bantal

dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu

(maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).

83

Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu

berfungsi kembali secara wajar (Kaplan dan Sadock, 2005). Untuk

mengurangi resiko melakukan mencinderai diri atau orang lain dikarenakan

status emosi pasien, maka perlu dilakukan terapi yang berguna untuk

menyalurkan energi yang konstruktif dengan cara fisik, salah satunya adalah

teknik memukul bantal (Keliat, 2002). Teknik ini digunakan agar energi

marah yang dialami oleh pasien dapat tersalurkan dangan baik sehingga

tidak menciderai diri dengan orang lain dan adaptasi menjadi adaptif.

Adapun cara teknik memukul bantal yaitu dengan posisi duduk, bantal

diletakkan di pangkuan, tarik nafas dalam, tahan kemudian ditahan sejenak,

tangan mengepal dan pukulkan pada bantal sekencang-kencangnya.

Strategi pelaksanaan 3 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 25 Mei

2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, Tn.SR pukul 09.00 WIB.

Tindakan strategi pelaksanaan 3 antara lain: mengevaluasi kemampuan

klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas dalam) dan

fisik 2 (pukul bantal /kasur), melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan

cara verbal, membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 3, kedua klien dapat mempraktekkan

cara menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapkan

perasaan dengan baik.

Strategi pelaksanaan 4 dilaksanakan pada hari Jum‟at tanggal 26 Mei

2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.30 WIB, sedangkan Tn.SR pukul 09.00

WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 4 antara lain: mengevaluasi

kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas

84

dalam), fisik 2 (pukul bantal /kasur), cara verbal, melatih cara kontrol

perilaku kekerasan dengan cara spiritual, membimbing klien memasukkan

dalam jadwal kegiatan harian.

Pada saat pelaksanaan strategi pelaksanaan 4 terdapat perbedaan dari

kedua klien. Sdr.R sudah mampu melakukan ibadah sedangkan Tn.SR

belum bisa melakukan ibadah, berdasarkan pengkajian spiritual Sdr.R

sebelum sakit memang klien jarang beribadah karena malas, tetapi saat sakit

klien mulai rajin beribadah, sedangkan Tn.SR mengatakan bahwa dirinya

tidak pernah beribadah.

Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang

sangat signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat

religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau

mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan

penyakit lebih cepat (Sulistyowati & Prihantini, 2015). Dengan terapi

Psikoreligi jika dilaksanakan secara lebih maksimal atau khusuk akan

menjadi tindakan yang efektif menurunkan perilaku kekerasan pada pasien

skhizofrenia di Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Terapi psikoreligi berpengaruh

menurunkan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia. Penurunan ini

meliputi penurunan pada respon fisik. Didalam ajaran agama manapun

bahwa sesorang yang akan melakukan Doa, Dzikir dan mengikuti ceramah

agama disunahkan untuk mensucikan diri, khusus dalam ajaran islam

(berwudhlu).

Menurut H.R Buchori Muslim bahwa air wudhlu dapat merangsang

syaraf yang ada pada tubuh kita. Dengan demikian aliran darah yang ada

85

pada tubuh kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita akan menjadi rilek dan

akan menurunkan ketegangan. Dimana jika kondisi tegang tidak segera

dinetralisir akan berdampak kemarahan. Kemarahan merupakan salah satu

tanda dari perilaku kekerasan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Ilham

(2008), bahwa terapi psikoreligi yang meliputi doa-doa, dzikir, ceramah

keagamaan, dan lain-lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya tahan

dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor

psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa. Dari sudut ilmu

kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir

merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.

Dengan demikian orang yang mengikuti terapi psikoreligi akan membatasi

geraknya karena dia berfokus pada kegiatanya sehingga dapat mengurangi

agresif fisik klien (Videbecck, 2008).

Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan

dalam dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang

terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan

kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi

psikoreligius (Yosep, 2009). Dengan terapi psikoreligi akan melakukan

kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses fikir serta ketegangan

otot (Stuart& Laraia, 2005 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015). Dengan

demikian terapi Psikoreligi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap

penurunan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa

Surakarta (Videbecck, 2008).

86

Strategi pelaksanaan 5 dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Mei

2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.30 WIB, sedangkan Tn.SR pukul 09.00

WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 5 antara lain: mengevaluasi

kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas

dalam), fisik 2 (pukul bantal /kasur), cara verbal, cara spiritual, melatih cara

kontrol perilaku kekerasan dengan minum obat teratur, membimbing klien

memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.

Saat pemberian strategi pelaksanaan 5, Sdr.R lebih mudah

memahami penjelasan perawat dan dapat menyebutkan nama obat, warna

obat, dan kegunaan obat yang di konsumsinya, sedangkan Tn.SR sulit

memahami penjelasan perawat, perlu beberapa kali perawat mengulang

penjelasannya sampai klien benar- benar paham.

Penelitian Pardede, dkk, (2015) mendapatkan hasil yang meningkat

setelah diberikan pendidikan kesehatan minum obat, yaitu terjadi penurunan

gejala pada resiko perilaku kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi

penurunan antara sebelum dan setelah diberikan terapi, Hasil penelitian

menunjukkan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih ampuh

untuk menurunkan gejala resiko perilaku kekerasan.

Potter dan Perry (2006 dalam Yuliantika, 2012) menyatakan

kepatuhan sebagai ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan terapi.

Kepatuhan pasien berarti bahwa pasien beserta keluarga harus meluangkan

waktu dalam menjalankan pengobatan yang dibutuhkan termasuk dalam

menjalani program farmakoterapi. Mematuhi program pengobatan pada

tahap awal mengalami serangan dapat meminimalisasi deteriorasi

87

(kemunduran mental) karena dalam keadaan psikotik yang lama akan

menimbulkan deteriorasi kronik. Apabila pasien mengalami keadaan

detoriorasi kronik, akan selalu ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan

dasarnya, pasien menjadi menyusahkan orang lain, lingkungan, masyarakat,

dan keluarga. Sangat diharapkan kepatuhan pasien dalam pelaksanaan

minum obat, pasien yang tidak patuh dalam pelaksanaan minum obat

disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengetahuan pasien, dukungan

keluarga, dan faktor ekonomi, hal ini mengakibatkan koping individu yang

tidak efektif sehingga perilaku dan sikapnya mengarah ke destruktif diri.

Pengobatan dalam jangka waktu lama dan terus menerus akan

memberikan pengaruh pada pasien. Pasien akan merasa jenuh dan bosan

jika terus-terusan minum obat apalagi pasien sudah tidak merasakan keluhan

atau gejala dari penyakitnya bahkan pasien sudah merasa sembuh dan harus

tetap menjalani pengobatan sekian lama. Dalam keadaan ini sikap

ketidakpatuhan dalam minum obat itu muncul. Simatupang (2005 dalam

Yuliantika, 2012) mengatakan bahwa semakin mendapat informasi tentang

pemakaian obat semakin patuh dalam pelaksanaan minum obat dan semakin

tidak mendapatkan informasi tentang pemakaian semakin tidak patuh.

Dalam mengaplikasikan tindakan keperawatan, strategi pelaksanaan

lebih mudah dilakukan pada Sdr.R daripada Tn.SR, hal ini dibuktikan oleh

beberapa faktor antara lain: usia Sdr.R lebih muda daripada Tn.SR, proses

pikir dari kedua klien sangat berbeda, dan lama waktu perawatan kedua

klien yang berbeda.

88

5.5 Evaluasi

Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari

tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada

respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.

Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau evaluasi formatif

yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi hasil atau

sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan

tujuan umum serta tujuan khusus yang telah ditentukan (Direja, 2011).

Evaluasi SP1 pada tanggal 23 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien

mampu menyebutkan penyebab marah karena keinginan klien tidak

terpenuhi, klien mampu menyebutkan tanda gejala marah seperti tubuh

terasa panas dan kepala pusing, klien mampu menyebutkan perilaku

kekerasan yang biasa dilakukan yaitu teriak dan membanting barang, klien

mampu mengetahui akibat dari perilaku kekerasan yang biasa dilakukan

yaitu barang- barang menjadi berantakan, klien mampu melakukan teknik

nafas dalam. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan nafas

dalam jam 07.00 pagi, klien kooperatif. Analisis SP1 tercapai. Planning

lanjutkan SP2 pada tanggal 24 Mei 2017 jam 08.00 dan motivasi klien untuk

latihan tarik nafas dalam sesuai jadwal. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif

klien mampu menyebutkan penyebab marah, klien marah apabila ada orang

yang meminta uang kapadanya, klien mampu menyebutkan tanda gejala

marah seperti tubuh tegang dan tangan mengepal, klien mampu

menyebutkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan yaitu klien marah

dan memukul orang, klien mampu mengetahui akibat dari perilaku

89

kekerasan yang biasa dilakukan yaitu melukai orang lain, klien mampu

melakukan teknik nafas dalam. Objektif klien menulis di buku kegiatan

harian latihan nafas dalam jam 06.00 pagi, klien kooperatif, tatapan mata

tajam. Analisis SP1 tercapai. Planning lanjutkan SP2 pada tanggal 24 Mei

2017 jam 08.30 dan motivasi klien untuk latihan tarik nafas dalam sesuai

jadwal.

Evaluasi SP2 pada tanggal 24 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien

mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, klien mampu melakukan pukul

bantal. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan pukul bantal

jam 07.30 pagi, klien kooperatif, klien mengikuti instruksi perawat. Analisis

SP2 tercapai. Planning lanjutkan SP3 pada tanggal 25 Mei 2017 jam 08.00

dan motivasi klien untuk latihan pukul bantal sesuai jadwal. Sedangkan

pada Tn.SR subjektif klien mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam,

klien mampu melakukan pukul bantal, klien mengatakan jika dirinya marah,

dia akan langsung pergi kekamar untuk memukul bantal. Objektif klien

menulis di buku kegiatan harian latihan pukul bantal jam 06.30 pagi, klien

kooperatif, klien mengikuti instruksi perawat. Analisis SP2 tercapai.

Planning lanjutkan SP3 pada tanggal 25 Mei 2017 jam 09.00 dan motivasi

klien untuk latihan pukul bantal sesuai jadwal.

Evaluasi SP3 pada tanggal 25 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien

mengatakan masih ingat cara mengontrol marah dengan tarik nafas dalam

dan pukul bantal dan klien mengatakan sudah latihan, klien mampu

melakukan mengontrol marah cara verbal yaitu mengungkapkan masalah

dengan cara baik. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan

90

cara verbal jam 10.00 pagi, klien kooperatif. Analisis SP3 tercapai. Planning

lanjutkan SP4 pada tanggal 26 Mei 2017 jam 08.30 dan motivasi klien untuk

latihan cara verbal sesuai jadwal. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif klien

mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam dan pukul bantal tadi pagi, klien

mampu melakukan mengontrol marah cara verbal yaitu klien akan bicara

baik-baik jika ada orang yang membuat klien marah. Objektif klien menulis

di buku kegiatan harian latihan cara verbal jam 08.00 pagi, klien kooperatif.

Analisis SP3 tercapai. Planning lanjutkan SP4 pada tanggal 26 Mei 2017

jam 09.00 dan motivasi klien untuk latihan cara verbal sesuai jadwal.

Evaluasi SP4 pada tanggal 26 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien

mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, pukul bantal, dan latihan

mengungkapkan marah dengan cara baik-baik, klien mengatakan sudah bisa

berwudhu dan solat, klien mampu melakukan cara spiritual yaitu wudhu

dan solat dengan benar, klien mengatakan akan melakukan solat sesuai

jadwal solat setiap hari. Objektif klien tenang dan kooperatif. Analisis SP4

tercapai. Planning lanjutkan SP5 pada tanggal 27 Mei 2017 jam 08.30 dan

motivasi klien untuk solat 5 waktu, tepat waktu. Sedangkan pada Tn.SR,

subjektif klien mengatakan tadi sudah latihan tarik nafas dalam, pukul

bantal, dan latihan mengungkapkan rasa kesal dengan cara baik-baik, klien

mengatakan lupa caranya berwudhu dan solat karena klien tidak pernah

ibadah, klien bersedia di ajarkan berwudhu dan solat, klien mengatakan

ingin di buatkan catatan bacaan solat agar bisa belajar solat. Klien

mengatakan akan belajar bacaan solat dan melakukan solat setiap hari.

Objektif klien tenang dan kooperatif. Analisis SP4 tercapai. Planning

91

lanjutkan SP5 pada tanggal 27 Mei 2017 jam 09.00 dan motivasi klien untuk

belajar bacaan solat dan solat 5 waktu.

Evaluasi SP5 pada tanggal 27 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien

mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, pukul bantal, mengungkapkan

rasa kesal dengan baik-baik, dan ibadah, klien dapat menyebutkan manfaat

minum obat yaitu agar tidak kambuh, klien mampu menyebutkan obat yang

di konsumsinya ada 3, 1 warna orange (CPZ) dan 2 warna putih (THP dan

Risperidon) di minum setiap hari, siang dan malam. Klien mengatakan akan

minum obat sesuai jadwal dan teratur. Objektif klien tenang dan kooperatif.

Analisis SP5 tercapai. Planning evaluasi semua sp dan motivasi klien untuk

minum obat teratur dan tepat waktu. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif klien

mengatakan sudah latihan semua cara mengontrol marah yang sudah

diajarkan, klien dapat menyebutkan manfaat minum obat yaitu agar tidak

kambuh dan dapat tidur nyenyak, klien mengatakan mendapat obat sehari 2

kali siang dan malam, klien mendapat 2 macam obat:CPZ (warna orange)

dan THP (warna putih). Objektif klien mengetahui kegunaan obat CPZ

membuat pikiran tenang dan tidak marah-marah lagi, THP agar tubuhnya

tidak tegang, klien tenang dan kooperatif. Analisis SP5 tercapai. Planning

evaluasi semua sp dan motivasi klien untuk minum obat teratur dan tepat

waktu.

92

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan studi kasus asuhan keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan

resiko perilaku kekerasan yang telah penulis lakukan. Maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut:

1. Pengkajian

Pengkajian yang didapatkan pada Sdr.R adalah data subjektif klien sering

marah-marah, merusak barang-barang rumah tangga, sering mengamuk,

klien pernah memukuli temannya karena telah merebut pacarnya, klien

pernah memukul bapaknya. Data objektif bicara keras, nada suara tinggi,

pandangan mata tajam, wajah memerah, memberi kata-kata ancaman

akan melukai. Sedangkan pada Tn.SR adalah data subjektif klien marah-

marah tanpa sebab, klien suka membanting barang, klien mengancam

orang lain. Data objektif pandangan mata tajam, wajah memerah,

memberi kata-kata ancaman akan memukul.

2. Diagnosa

Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada Sdr.R dan Tn.SR yaitu

resiko perilaku kekerasan.

3. Intervensi

Rencana keperawatan yang dapat dilakukan pada Sdr.R dan Tn.SR

meliputi tujuan umum klien dapat mengontrol perilaku kekerasan, serta

untuk tujuan khusus pertama klien dapat membina hubungan saling

93

percaya, tujuan khusus kedua klien dapat mengidentifikasi penyebab

perilaku kekerasan, tujuan khusus ketiga klien dapat mengidentifikasi

tanda-tanda perilaku kekerasan, tujuan khusus keempat klien dapat

mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, tujuan khusus

kelima yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan,

tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara

mengontrol perilaku kekerasan, tujuan khusus ketujuh klien dapat

mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan, tujuan khusus

kedelapan klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku

kekerasan, tujuan khusus kesembilan yaitu klien dapat menggunakan

obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan

efek).

4. Implementasi

Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan yang

telah disusun pada Sdr.R dan Tn.SR. Berdasarkan tindakan keperawatan

yang telah dilakukan, penulis dapat menyelesaikan lima strategi

pelaksanaan. Terdapat perbedaan antara Sdr.R dan Tn.SR pada saat

pemberian strategi pelaksanaan, Sdr.R lebih cepat memahami penjelasan

dan instruksi dari perawat, sedangkan Tn.SR sulit memahami penjelasan

perawat, perlu beberapa kali perawat mengulang penjelasannya sampai

klien benar- benar paham.

5. Evaluasi

Evaluasi pada Sdr.R dan Tn.SR berdasarkan tindakan yang telah

dilaksanakan, kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan

94

dengan cara nafas dalam (SP1), kedua klien mampu mengendalikan

perilaku kekerasan dengan cara pukul bantal/ kasur (SP2), kedua klien

mampu mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara verbal (SP3),

kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara

spiritual (SP4), kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan

dengan minum obat teratur (SP5).

6.2 Saran

Penulis memberikan saran yang mungkin dapat diterima sebagai bahan

pertimbangan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien

dengan resiko perilaku kekerasan berikut:

1. Bagi Rumah Sakit

Rumah sakit hendaknya menyediakan dan memfasilitasi apa yang

dibutuhkan oleh klien untuk penyembuhan dan rumah sakit menyediakan

tenaga kesehatan yang profesional guna membantu penyembuhan klien.

2. Bagi Institusi

Memberikan motivasi dan menyediakan perpustakaan yang berguna dan

lengkap kepada mahasiswa untuk penyelesaian tugas karya ilmiah jiwa.

3. Profesi Perawat

Perawat diharapkan untuk lebih profesional dalam merawat klien dan

lebih sabar dalam memberikan pelayanan guna meningkatkan

kesembuhan klien, khususnya pada klien resiko perilaku kekerasan.

DAFTAR PUSTAKA

Aedil, M, dkk. 2013. ‘Perilaku Petugas Kesehatan Dalam Perawatan Pasien

Gangguan Jiwa Skizofrenia Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2013’. Penelitian. Universitas Hasanuddin

Makasar.

Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC

Budi, dkk. 2003. „Gambaran Klien Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa

Pusat Bogor dan Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta: Suatu Survei’. Jurnal

Keperawatan Indonesia, Volume 7, No. 2, September 2003; 61-66.

Damaiyanti, M & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika

Aditama.

Depkes.2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 6 April 2017.

http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda

s%202013.pdf.

Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja

Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Gosyen Publishing.

Dinar Ayu Gumilar. 2016. ‘Asuhan Keperawatan Pada Ny.R Dengan Gangguan

Konsep Diri: Harga Diri Rendah Akibat Skizofrenia Di Ruang Tanjung

Rumah Sakit Umum Kota Banjar’. Karya Tulis Ilmiah. STIKes

Muhammadiyah Ciamis.

Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa

Tengah. Di akses tanggal 9 April 2017.

http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PRO

VINSI_2015/13_JATENG_2015.pdf.

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.

Yogyakarta : Nuha Medika.

Elin, Retnosari, Joseph, Adji. 2014. Informasi Spesialis Obat Indonesia (ISO).

Jakarta: Isfi Penerbitan.

Fauziah & Latipun. 2016. ‘Hubungan Dukungan Keluarga Dan Keberfungsian

Sosial Pada Pasien Skizofrenia Rawat Jalan’. Jurnal Ilmiah Psikologi

Terapan, Vol. 04, No.02, Agustus 2016, ISSN: 2301-8267.

Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan

dan Strategi Pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.

Handoyo, A. 2005. Panduan Praktis Aplikasi oleh Nafas 2. Jakarta : Elex Media

Komputindo.

Irwan. M, dkk. 2008. ‘Penatalaksanaan Skizofrenia’. Naskah Publikasi. RSJ

Tampan Pekanbaru.

Jalil. A. 2015. „Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Kemampuan Pasien

Skizofrenia Dalam Melakukan Perawatan Di Rumah Sakit’. Jurnal

Keperawatan Jiwa. Volume 3, No. 2, November 2015; 154-161.

Kaplan,H.I.Sadock, B.J, dan Grebb,JA.2005. Sinopsis Psikiatri Jilid I. Jakarta:

Bina RupaAksara.

Keliat, Budi. 2002. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.

Kemenkes RI. 2014. Stop Stigma dan Diskrimminasi Terhadap Orang Dengan

Gangguan Jiwa (ODGJ). Dipublikasikan tanggal 10 Oktober 2014,

diakses tanggal 9 April 2017.

http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-

dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html.

Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat.

Dipublikasikan tanggal 6 Oktober 2016, diakses tanggal 9 April 2017.

http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-

dukungan-kesehatan-jiwa-masyarakat.html.

Lubis, H.L, dkk. 2016. ‘Masalah Psikososial Dan Lingkungan Dalam

Psikosomatis’. Naskah Publikasi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSU

Pirngadi.

Margaretha, dkk. 2013. ‘Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam

Relasi Intim’. Penelitian. Universitas Airlangga Surabaya.

Mirza, dkk. 2015. ‘Hubungan Lamanya Perawatan Pasien Skizofrenia Dengan

Stres Keluarga’. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume 15, Nomor 3,

Desember 2015.

Nengsi, dkk. 2014. ‘Faktor Presipitasi Yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku

Kekerasan Di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan’. Jurnal Ilmiah Kesehatan

Diagnosis, volume. 5, Nomor 3 Tahun 2014, ISSN : 2302-1721.

Pardede, J.A, dkk. 2015. ‘Kepatuhan Dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat

Setelah Diberikan Acceptance And Commitment Therapy Dan

Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat’. Jurnal Keperawatan

Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166, ISSN 1410-

4490.

Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta:

Nuha Medika.

Santoso, Budi, dkk. 2013. Kementrian Kesehatan RI: Pokok Pokok Hasil

Riskesdas Provinsi Jawa Tengah. Diakses tanggal 10 April 2017.

http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/lpb/catalog/book

/93.

Saputri, A. 2016. „Analisis Faktor Predisposisi dan Presipitasi Gangguan Jiwa

Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Daerah

Surakarta‟. Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta:

Gava Media.

Sulistyowati, D.A & Prihantin. 2015. „Pengaruh Terapi Psikoloreligi Terhadap

Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit

Jiwa Daerah Surakarta’. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4,

Nomor 1, Mei 2015, hlm. 72–77.

Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa: Renata

Komalasari, Afrina Hany; editor edisi Bahasa indonesia, Pamilih Eko

Karyuni. Jakarta: EGC.

Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.

Yulia, dkk. 2013. ‘Tinjauan Penggunaan Antipsikotik Pada Pengobatam

Skizofrenia Di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado

Periode Januari 2013- Maret 2013’. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2, No.

03, Agustus 2013, ISSN 2302 – 2493.

Yuliantika, dkk. 2012. ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum

Obat Pada Pasien Skizofrenia ’. Penelitian. Program Studi Ilmu

KeperawatanUniversitas Riau.

Yulianty. M.D, dkk. 2017. ‘Studi Penggunaan Antipsikotik dan Efek Samping

pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihun

Kalimantan Selatan’. Jurnal Sains Farmasi & Klinis .Vol. 03, No. 02 ,

Mei 2017; 153-164.

Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba

Medika.

L A M P I R A N

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Awita Nur Fatimah

Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 22 Mei 1996

Jenis kelamin : Perempuan

Alamat rumah : Sumber Tapen Rt.03 Rw.III, Sumber, Banjarsari,

Surakarta

Riwayat pendidikan : SD Negeri Sumber 4 tahun 2008, SMP Negeri 23

Surakarta tahun 2011, SMK Negeri 4 Surakarta tahun 2014

Riwayat pekerjaan : -

Riwayat organisasi : -

Publikasi : -