ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. R DAN TN. SR YANG
MENGALAMI RESIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN
PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 5
DI RUANG GATOTKACA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH DR. ARIF ZAINUDIN
SURAKARTA
DI SUSUN OLEH:
AWITA NUR FATIMAH
NIM.P14066
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
i
ASUHAN KEPERAWATAN PADA SDR. R DAN TN. SR YANG
MENGALAMI RESIKO PERILAKU KEKERASAN DENGAN
PEMBERIAN STRATEGI PELAKSANAAN 1 SAMPAI 5
DI RUANG GATOTKACA RUMAH SAKIT JIWA
DAERAH DR. ARIF ZAINUDIN
SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah
Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program
Diploma Tiga Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
AWITA NUR FATIMAH
NIM.P14066
PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN KUSUMA HUSADA
SURAKARTA
2017
iii
MOTTO
Kesuksesan hanya dapat diraih dengan segala upaya dan usaha yang disertai
dengan doa, karena sesungguhnya nasib seseorang manusia tidak akan berubah
dengan sendirinya tanpa berusaha dan percayalah usaha tidak akan mengkhiyanati
hasil.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat
dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah
dengan judul “Asuhan Keperawatan Pada Sdr. R dan Tn. SR yang Mengalami
Resiko Perilaku Kekerasan Dengan Pemberian Strategi Pelaksanaan 1 Sampai 5 di
Ruang Gatotkaca Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta”
Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan
dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang
terhormat:
1. Ns. Wahyu Rima Agustin M.Kep, selaku Ketua STIKes yang telah
memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma
Husada Surakarta.
2. Ns. Meri Oktariani M.Kep, selaku Ketua Program Studi D3
Keperawatandan selaku penguji yang telah memberikan kesempatan untuk
dapat menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
3. Ns. Erlina Windyastuti. M.Kep, selaku sekretaris Program Studi D3
Keperawatan yang telah memberikan kesempatan dan arahan untuk dapat
menimba ilmu di Stikes Kusuma Husada Surakarta.
4. Ns. Joko Kismanto S.Kep, selaku dosen pembimbing sekaligus sebagai
penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukan-
masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi
demi sempurnanya studi kasus ini.
5. Semua dosen Program Studi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada
Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan
wawasannya serta ilmu yang bermanfaat.
6. Kedua orangtuaku yang selaku menjadi inspirasi dan memberikan
semangat untuk menyelesaikan pendidikan.
viii
7. Teman-teman Mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan STIKes
Kusuma Husada Surakarta dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan
satu-persatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual.
Semoga laporan studi kasus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu
keperawatan dan kesehatan. Amin.
Surakarta, 20 Juli 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................. i
PERNYATAAN TIDAK PLAGIATISME ............................................. ii
MOTTO .................................................................................................... iii
LEMBAR PERSETUJUAN ..................................................................... iv
LEMBAR PENETAPAN DEWAN PENGUJI ....................................... v
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... vi
KATA PENGANTAR .............................................................................. vii
DAFTAR ISI .............................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang .................................................................... 1
1.2 Batasan Masalah ................................................................. 4
1.3 Rumusan Masalah ............................................................. 5
1.4 Tujuan ................................................................................ 5
1.5 Manfaat .............................................................................. 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Perilaku Kekerasan ..................................... 8
2.1.1 Definisi ............................................................................ 8
2.1.2 Rentang Respon Marah ................................................... 9
2.1.3 Tanda dan Gejala ............................................................. 11
2.1.4 Faktor Risiko ................................................................... 12
2.1.5 Etiologi ............................................................................ 13
2.1.6 Proses Terjadinya Amuk ................................................. 15
2.2 Konsep Asuhan Keperawatan ............................................ 16
2.2.1 Pengkajian ....................................................................... 16
2.2.2 Diagnosis ......................................................................... 22
2.2.3 Rencana Keperawatan ..................................................... 22
2.2.4 Implementasi Keperawatan ............................................. 37
2.2.5 Evaluasi ........................................................................... 39
BAB III METODE STUDI KASUS
3.1 Desain Studi Kasus............................................................. 41
3.2 Batasan Istilah .................................................................... 41
3.3 Partisipan ............................................................................ 42
3.4 Lokasi dan Waktu............................................................... 42
3.5 Pengumpulan Data ............................................................. 42
3.6 Uji Keabsahan Data ............................................................ 43
3.7 Analisa Data ....................................................................... 44
3.8 Kesimpulan......................................................................... 44
x
BAB IV HASIL
4.1 Gambaran Lokasi Pengambilan Data ................................. 45
4.2 Pengkajian .......................................................................... 45
4.3 Analisa Data ....................................................................... 54
4.4 Diagnosa Keperawatan ....................................................... 56
4.5 Intervensi Keperawatan ...................................................... 57
4.6 Implementasi ...................................................................... 60
4.7 Evaluasi .............................................................................. 63
BAB V PEMBAHASAN
5.1 Pengkajian ......................................................................... 66
5.2 Diagnosa Keperawatan ...................................................... 77
5.3 Intervensi Keperawatan ..................................................... 78
5.4 Implementasi ...................................................................... 80
5.5 Evaluasi ............................................................................. 88
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan......................................................................... 92
6.2 Saran ................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Gambar 2.1 Rentang respon marah ..................................................... 9
2. Gambar 2.2 Pohon masalah ................................................................ 22
3. Gambar 2.3 Rangkaian Intervensi Manajemen Perilaku Kekerasan .. 35
xii
LAMPIRAN
Lampiran 1. Daftar riwayat hidup
Lampiran 2. Lembar konsultasi
Lampiran 3. Lembar audience
Lampiran 4. Jurnal
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan merupakan kondisi sehat baik secara fisik, mental, sosial
maupun spiritual yang mengharuskan setiap orang hidup secara produktif
baik secara sosial maupun ekonomis. Menurut Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) dikutip dalam Direja (2011:1). Kesehatan jiwa adalah berbagai
karakteristik positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan
kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Gangguan mental
atau penyakit kejiwaan adalah pola psikologis atau perilaku yang pada
umumnya terkait dengan stres atau kelainan mental yang tidak dianggap
sebagai bagian dari perkembangan normal manusia. Gangguan tersebut
didefinisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku, komponen kognitif atau
persepsi yang berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau
sistem saraf yang menjalankan fungsi sosial manusia. Menurut data WHO
tahun 2016 (dikutip dalam Kemenkes RI, 2016), terdapat sekitar 35 juta
orang terkena depresi, 60 juta orang terkena bipolar, 21 juta terkena
skizofrenia, serta 47,5 juta terkena dimensia.
Di Indonesia, dengan berbagai faktor biologis, psikologis dan sosial
dengan keanekaragaman penduduk, maka jumlah kasus gangguan jiwa terus
bertambah yang berdampak pada penambahan beban negara dan penurunan
produktivitas manusia untuk jangka panjang. Dalam UU RI No. 3 Tahun
1966 Bab III Pasal 4 Tentang Kesehatan Jiwa telah dijelaskan bahwa
perawatan, pengobatan dan tempat perawatan penderita penyakit jiwa diatur
2
oleh Menteri Kesehatan. Data Riskesdas 2013 memunjukkan prevalensi
ganggunan mental emosional yang ditunjukkan dengan gejala-gejala depresi
dan kecemasan untuk usia 15 tahun ke atas mencapai sekitar 14 juta orang
atau 6% dari jumlah penduduk Indonesia. Sedangkan prevalensi gangguan
jiwa berat, seperti skizofrenia mencapai sekitar 400.000 orang atau sebanyak
1,7 per 1.000 penduduk. Berdasarkan jumlah tersebut, 14,3% di antaranya
atau sekira 57.000 orang pernah atau sedang dipasung. Angka pemasungan di
pedesaan adalah sebesar 18,2%. Angka ini lebih tinggi jika dibandingkan
dengan angka di perkotaan, yaitu sebesar 10,7%. Gangguan jiwa berat
terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah.
Provinsi dengan prevalensi ganguan mental emosional tertinggi adalah
Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa
Tenggara Timur.
Prevalensi gangguan jiwa di Jawa Tengah mencapai 2,3 % dari seluruh
populasi yang ada (Riskesdas, 2013). Berdasarkan jumlah kunjungan
masyarakat yang mengalami gangguan jiwa ke pelayanan kesehataan baik
puskesmas, rumah sakit, maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya pada
tahun 2015 sebanyak 317.504. orang yang melakukan kunjungan. (Profil
Kesehatan Kab/ Kota Jawa tengah Tahun 2015). Pada tahun 2010 hingga
tahun 2014, angka penderita gangguan jiwa di Kota Solo mencapai ribuan
penderita. Kenaikan penderita gangguan jiwa tersebut tercatat dalam jumlah
kunjungan pasien di Rumah Sakit Jiwa Daerah (RSJD) Surakarta pada tahun
2010 terhitung sebanyak 1.543 jiwa. Sedangkan pada tahun 2011 naik
menjadi 1.828 jiwa, di tahun 2012 bertambah hingga 2.151 jiwa. Jumlah
3
tertinggi tercatat di tahun 2013 mencapai 2.186 jiwa, sementara pada tahun
2014 jumlah pasien gangguan jiwa tercatat 1.531 jiwa (Winaryani, 2014
dikutip dalam Saputri, 2016). Kepala Instalasi Rekam Medik RSJD solo
mengungkapkan bahwa pasien gangguan jiwa meningkat setiap tahunnya
untuk berkunjung ke RSJD. Pasien gangguan jiwa rata – rata berumur 25 – 45
tahun. Rata – rata penderita gangguan jiwa yang datang ke RSJD mengalami
fase yang sudah akut.
Gangguan jiwa yang umumnya paling banyak diderita oleh seseorang
adalah gangguan jiwa skizofrenia. Skizofrenia masih menjadi permasalahan
kesehatan yang cukup banyak dijumpai dalam bidang kesehatan jiwa.
Skizofrenia merupakan gangguan mental dengan ciri utama gejala psikotik,
dan gejala tersebut dapat menyebabkan penderita mengalami penurunan
kualitas hidup (Marchira, dkk, 2008 dikutip dalam Aedil, 2013). Sedangkan
menurut PPDGJ III gangguan jiwa adalah sindrom pola perilaku seseorang
yang secara khas berkaitan dengan suatu gejala penderitaan (distress) atau
hendaya (impairment) di dalam satu atau lebih fungsi yang penting dari
manusia, yaitu fungsi psikologik, perilaku, biologik, dan gangguan itu tidak
hanya terletak di dalam hubungan antara orang itu tetapi juga dengan
masyarakat (Maslim, 2002; Maramis, 2010 dalam Yusuf et al. 2015:8).
Penggolongan gangguan jiwa antara lain: Skizofrenia, depresi,
kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan mental organik, gangguan
psikosomatik, retardasi mental, gangguan perilaku masa anak dan remaja.
Sedangkan diagnosa keperawatan yang ditetapkan adalah sebagai berikut:
Gangguan konsep diri: harga diri rendah, isolasi sosial, gangguan persepsi
4
sensori: halusinasi, perubahan proses pikir: waham, resiko perilaku
kekerasan, defisit perawatan diri (Prabowo, 2014).
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Perilaku kekerasan pada diri sendiri dapat berbentuk melukai diri untuk
bunuh diri atau membiarkan diri dalam bentuk penelantaran diri. Perilaku
kekerasan pada orang adalah tindakan agresif yang ditujukan untuk melukai
atau membunuh orang lain. Perilaku kekerasan pada lingkungan dapat berupa
perilaku merusak lingkungan, melempar kaca, genting, dan semua yang ada
di lingkungan. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah mata melotot
atau pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, mengumpat
dengan kata-kata kotor, mengamuk, dan merasa diri benar (Yosep, 2010).
Pasien yang dibawa ke rumah sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan
kekerasan di rumah. Perawat harus jeli dalam melakukan pengkajian untuk
menggali penyebab perilaku kekerasan yang dilakukan selama di rumah dan
melakukan tindakan keperawatan dalam bentuk strategi pelaksanaan yaitu SP
I sampai SP V serta mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilakukan
(Yusuf et al. 2015:128 ).
1.2 Batasan Masalah
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan hilangnya kendali perilaku
seseorang yang diarahkan pada diri sendiri, orang lain, atau lingkungan.
Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan adalah mata melotot atau pandangan
tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, mengumpat dengan kata-kata
5
kotor, mengamuk, dan merasa diri benar. Dampak dari perilaku kekerasan
yang muncul dapat berbentuk melukai diri untuk bunuh diri, melukai atau
membunuh orang lain, merusak lingkungan. Pasien yang dibawa ke rumah
sakit jiwa sebagian besar akibat melakukan kekerasan di rumah. Berdasarkan
dari latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk menyusun karya tulis
ilmiah dengan judul Asuhan Keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan
gangguan perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainuddin
Surakarta.
1.3 Rumusan Masalah
Bagaimanakah asuhan keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan resiko
perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta?
1.4 Tujuan
1.4.1 Tujuan Umum
Melakukan asuhan keperawatan pada Sdr. R dan Tn. SR dengan resiko
perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin Surakarta.
1.4.2 Tujuan khusus
1) Penulis mampu melakukan pengkajian pada Sdr.R dan Tn.SR dengan
resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin
Surakarta.
2) Penulis mampu merumuskan diagnosa pada Sdr. R dan Tn. SR dengan
resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin
Surakarta.
6
3) Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada Sdr.R dan
Tn.SR dengan resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr.
Arif Zainudin Surakarta.
4) Penulis mampu melakukan implementasi pada Sdr.R dan Tn.SR dengan
resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin
Surakarta.
5) Penulis mampu melakukan evaluasi pada Sdr.R dan Tn.SR dengan
resiko perilaku kekerasan Rumah Sakit Jiwa Daerah dr. Arif Zainudin
Surakarta.
1.5 Manfaat
a. Bagi penulis
Penulis dapat menambah pengetahuan dan pengalaman serta
meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada
klien dengan gangguan perilaku kekerasan.
b. Bagi profesi
Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam
melaksanakan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan perilaku
kekerasan sehingga klien mendapatkan penanganan tepat dan optimal.
c. Rumah Sakit
Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek
pelayanan keperawatan khususnya jiwa pada gangguan perilaku kekerasan.
7
d. Bagi pendidikan
Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas
pendidikan keperawatan khususnya pada klien dengan gangguan perilaku
kekerasan dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 KONSEP DASAR PERILAKU KEKERASAN
2.1.1 Definisi
Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari
iritabilitas sampai agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya,
kemarahan adalah reaksi terhadap stimulus yang tidak menyenangkan atau
mengancam (Yosep, 2007:113). Kemarahan diawali oleh adanya stressor
yang berasal dari internal maupun eksternal. Stressor internal seperti
penyakit, hormonal, dendam sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari
ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, dan sebagainya.
Stressor tersebut akan mengakibatkan gangguan pada sistem individu. Hal
terpenting adalah bagaimana individu memaknai setiap kejadian yang
menyedihkan atau menjengkelkan tersebut.
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam
dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung atau riwayat perilaku kekerasan
(Dermawan dan Rusdi, 2013:94).
Perilaku kekerasan merupakan bagian dari rentang respons marah
yang paling maladaptif, yaitu amuk. Marah merupakan perasaan jengkel
yang timbul sebagai respons terhadap kecemasan (kebutuhan yang tidak
9
terpenuhi) yang dirasakan sebagai ancaman. (Stuart dan Sundeen, 1991
dalam Yusuf et al. 2015:128). Amuk merupakan respons kemarahan yang
paling maladaptif yang ditandai dengan perasaan marah dan bermusuhan
yang kuat disertai hilangnya kontrol, yang individu dapat merusak diri
sendiri, orang lain, atau lingkungan (Keliat, 1991 dalam Yusuf et al.
2015:131).
2.1.2 Rentang Respon Marah
Rentang respon kemarahan individu dimulai dari respon normal
(asertif) sampai pada respon sangat tidak normal (maladaptif) (Yosep, 2010
dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2012:95).
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Asertif Frustasi Pasif Agresif Kekerasan
Klien mampu
mengungkapkan
marah tanpa
menyalahkan
orang lain dan
memberikan
kelegaan.
Klien gagal
mencapai tujuan
kepuasan/saat
marah dan tidak
dapat
menemukan
alternatifnya.
Klien merasa
tidak dapat
mengungkapkan
perasaannya,
tidak berdaya
dan menyerah.
Klien
mengekspresikan
secara fisik,
tetapi masih
terkontrol,
mendorong
orang lain
dengan ancaman.
Perasaan
marah dan
bermusuhan
yang kuat
dari hilang
kontrol,
disertai
amuk,
merusak
lingkungan.
Gambar 2.1 Rentang respon marah (Yosep, 2010 dalam Damaiyanti dan Iskandar,
2012:95)
10
a. Respon adaptif
Respon adaptif adalah respon yang dapat diterima norma-norma
sosial budaya yang berlaku. Dengan kata lain, individu tersebut
dalam batas normal jika menghadapi suatu masalah akan dapat
memecahkan masalah tersebut, respon adaptif meliputi :
1) Pikiran logis adalah pandangan yang mengarah pada kenyataan.
2) Persepsi akurat adalah pandangan yang tepat pada kenyataan.
3) Emosi konsisten dengan pengalaman yaitu perasaan yang timbul
dari pengalaman ahli.
4) Perilaku sosial adalah sikap dan tingkah laku yang masih dalam
batas kewajaran.
5) Hubungan sosial adalah proses suatu interaksi dengan orang lain
dan lingkungan.
b. Respon maladaptif
Respon maladaptif adalah respon individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma-norma sosial budaya dan
lingkungan, respon maladaptif meliputi :
1) Kelainan pikiran adalah keyakinan yang secara kokoh
dipertahankan walaupun tidak diyakini oleh orang lain dan
bertentangan dengan kenyataan sosial.
2) Perilaku kekerasan merupakan status rentang emosi dan ungkapan
kemarahan yang dimanifestasikan dalam bentuk fisik.
3) Kerusakan proses emosi adalah perubahan sesuatu yang timbul
dari hati.
11
4) Perilaku yang tidak terorganisir merupakan suatu yang tidak
teratur.
Respon kemarahan menurut Yosep (2007:113)
a. Assertion adalah kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan
atau diungkapkan tanpa menyakiti orang lain akan memberi
kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan masalah.
b. Frustasi adalah respon yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan
karena hambatan dalam proses pencapaian tujuan, dalam keadaan ini
tidak ditemukan alternatif lain, kemudian individu merasa tidak
mampu mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
c. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya,
klien tampak pemalu, pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri
dan merasa kurang mampu.
d. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan mengungkapkan
dorongan untuk bertindak dalam bentuk destruktif dan masih
terkontrol
e. Amuk adalah individu kehilangan kontrol diri, dan dapat merusak
diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
2.1.3 Tanda dan Gejala
Menurut Prabowo (2014,143) tanda dan gejala perilaku kekerasan yaitu
suka marah, pandangan tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,
sering memaksakan kehendak, merampas makanan.
12
1) Motor agitation
Gelisah, mondar-mandir, tidak dapat duduk tenang, otot tegang, rahang
mengencang, pernafasan meningkat, mata melotot, pandangan mata
tajam.
2) Verbal
Memberi kata-kata ancaman melukai, disertai melukai pada tingkat
ringan, bicara keras, nada suara tinggi, berdebat.
3) Efek
Marah, bermusuhan, kecemasan berat, efek labil, mudah tersinggung.
4) Tingkat kesadaran
Bingung, kacau, perubahan status mental, disorientasi dan daya ingat
menurun.
2.1.4 Faktor Risiko
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012:97) faktor risiko terbagi dua,
yaitu:
a. Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Orang Lain
Definisi: Berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan
bahwa dirinya dapat membahayakan orang lain secara fisik,
emosional, dan/atau seksual.
b. Risiko Perilaku Kekerasan Terhadap Diri Sendiri
Definisi: Berisiko melakukan perilaku, yakni individu menunjukkan
bahwa dirinya dapat membahayakan dirinya sendiri secara fisik,
emosional, dan/atau seksual.
13
2.1.5 Etiologi
Etiologi pada perilaku kekerasan yaitu:
a. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi pada perilaku kekerasan menurut Prabowo
(2014:142) yaitu:
1) Psikologis, kegagalan yang dialami dapat menimbulkan frustasi
yang kemudian dapat timbul agresif atau amuk. Masa kanak-kanak
yang tidak menyenangkan yaitu perasaan ditolak, dihina, dianiaya
atau sanksi penganiayaan.
2) Perilaku, reinforcement yang diterima pada saat melakukan
kekerasan, sering mengobservasi kekerasan di rumah atau di luar
rumah, semua aspek ini menstimulasi individu mengadopsi
perilaku kekerasan.
3) Sosial budaya, budaya tertutup dan membalas secara diam (pasif
agresif) dan kontrol sosial yang tidak pasti terhadap perilaku
kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku kekerasan yang
diterima (permissive)
4) Bioneurologis, banyak bahwa kerusakan sistem limbik, lobus
frontal, lobus temporal dan ketidakseimbangan neurotransmitter
turut berperan dalam terjadinya perilaku kekerasan.
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi dapat bersumber dari klien, lingkungan atau
interaksi dengan orang lain. Kondisi klien seperti kelemahan fisik
14
(penyakit fisik), keputus asaan, ketidak berdayaan, kurang percaya diri
dapat menjadi penyebab perilaku kekerasan. Demikian pula dengan
situasi lingkungan yang ribut, padat, kritikan yang mengarah pada
penghinaan, kehilangan orang yang dicintainya, kehilangan pekerjaan
dan kekerasan merupakan faktor penyebab yang lain. Interaksi yang
profokatif dan konflik dapat pula memicu perilaku kekerasan
(Prabowo, 2014:143).
c. Penilaian terhadap stressor
Penilaian stressor melibatkan makna dan pemahaman dampak
dari situasi stress bagi individu, itu mencakup kognitif, afektif,
fisiologis, perilaku, dan respon sosial. Penilaian adalah evaluasi
tentang pentingnya sebuah peristiwa dalam kaitannya dengan
kesejahteraan seseorang. Stressor mengasumsikan makna, intensitas,
dan pentingnya sebagai konsekuensi dari interprestasi yang unik dan
makna yang diberikan kepada orang yang berisiko (Stuart dan Laraia,
2001 dalam Damaiyanti dan Iskandar, 2012:102).
d. Sumber koping
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Damaiyanti dan
Iskandar, (2012:102), sumber koping dapat berupa aset ekonomi
kemampuan dan keterampilan, dukungan sosial, dan motivasi.
Hubungan antara individu, keluarga, kelompok dan masyarakat sangat
berperan penting pada saat ini. Sumber koping lainnya termasuk
kesehatan, energi, dukungan spiritual, keyakinan positif, keterampilan
15
menyelesaikan masalah, sumber daya sosial dan material serta
kesejahteraan fisik.
e. Mekanisme koping
Menurut Prabowo (2014:144) mekanisme koping yang
digunakan pada klien marah untuk melindungi diri antara lain:
1) Sublimasi, yaitu menerima suatu sasaran pengganti yang mulia
artinya di masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami
hambatan penyalurannya secara normal.
2) Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukarannya
atau keinginannya yang tidak baik.
3) Represi, yaitu mencegah pikiran yang menyakitkan atau
membahayakan masuk ke alam sadar.
4) Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila di
ekspresikan, dengan melebih-lebihkan sikap dan perilaku yang
berlawanan dan menggunakannya sebagai rintangan.
5) Displacement, yaitu melepaskan perasaan yang tertekan biasanya
bermusuhan, pada objek yang tidak begitu berbahaya seperti pada
mulanya yang membangkitkan emosi itu.
2.1.6 Proses Terjadinya Amuk
Amuk adalah respons marah terhadap adanya stres, rasa cemas, harga
diri rendah, rasa bersalah, putus asa, dan ketidakberdayaan. Respon marah
dapat diekspresikan secara internal atau eksternal. Secara internal dapat
berupa perilaku yang tidak asertif dan merusak diri, sedangkan secara
eksternal dapat berupa perilaku destruktif agresif. Respon marah dapat
16
diungkapkan melalui tiga cara yaitu mengungkapkan secara verbal,
menekan, dan menantang.
Mengekspresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti
orang lain akan memberikan kelegaan pada individu. Apabila perasaan
marah diekspresikan dengan perilaku agresif dan menentang, biasanya
dilakukan karena ia merasa kuat. Cara ini menimbulkan masalah yang
berkepanjangan dan dapat menimbulkan tingkah laku yang destruktif dan
amuk (Yusuf et al, 2015:131)
2.2 KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
2.2.1 Pengkajian
Menurut Dermawan dan Rusdi (2013) pengkajian keperawatan pada
klien resiko perilaku kekerasan meliputi:
a. Pengumpulan data
1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan,
agama, pekerjaan, status merital, suku/bangsa, nomor rekam
medik, tanggal masuk, ruang rawat, dan alamat.
2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin,
pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, dan alamat.
b. Alasan masuk dan faktor presipitasi
Faktor pencetus resiko perilaku kekerasan meliputi: ancaman
terhadap fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal,
ancaman eksternal.
17
c. Faktor predisposisi
Faktor pendukung terjadinya resiko perilaku kekerasan adalah
biologis yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/
pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat
mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Psikologis
menjelaskan bahwa agresif adalah pembawaan individu sejak lahir
sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut
berupa pertengkaran atau permusuhan dan sosiokultural dimana
norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami
ekspresi agresif individu.
d. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan
pendekatan persistem meliputi:
1) Sistem integumen: terdapat gangguan kebersihan kulit, klien
tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya
minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri.
2) Sistem saraf: kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal
seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping
obat antipsikotik.
3) Sistem penginderaan: tidak adanya halusinasi dengar,
penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien
mengalami gangguan afektif dan kognitif sehingga tidak mampu
untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat
kecemasan yang meningkat.
18
4) Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah, denyut
nadi, dan suhu klien.
e. Aspek psikologi, sosial dan spiritual
1) Aspek psikologis
Konsep diri:
a) Gambaran diri: meliputi bagian tubuh yang disukai dan tidak
disukai klien.
b) Identitas diri: meliputi status dan posisi klien di keluarga dan
kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan.
c) Peran diri: meliputi peran yang diemban oleh klien di
keluarga dan lingkungannya.
d) Ideal diri: persepsi individu tentang bagaimana ia harus
berperilaku sesuai standar pribadi.
e) Harga diri: penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan
menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri.
2) Aspek sosial
Klien dengan risiko perilaku kekerasan biasanya bersifat curiga
dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain,
mudah tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran untuk
berinteraksi dengan orang lain.
3) Aspek spiritual
Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan
klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang
19
gangguan jiwa, kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah
dan pendapat klien tentang kegiatan ibadah.
4) Status mental
a) Penampilan
Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap
tubuh lemah dan kontak mata kurang.
b) Pembicaraan
Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi klien
selama wawancara apatis dan mudah tersinggung.
c) Aktivitas motorik
Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur,
tegang, gelisah, dan biasanya terdapat tremor.
d) Alam perasaan
Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan,putus asa,
ketakutan, khawatir.
e) Afek
Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai
interaksi selama wawancara.
f) Interaksi selama wawancara
Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang.
g) Persepsi
Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran,
penglihatan, pengecapan, penghidung cenestik, maupun
kinestik.
20
h) Isi pikir
Kadang-kadang ada ide yang tidak realistis seperti waham,
fantasi, obsesi, dan phobia.
i) Proses pikir
Apakah pembicaraan klien mengalami sirkumtantial,
tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea, dan blocking.
j) Tingkat kesadaran
Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini, kejadian
yang baru saja terjadi, dan kejadian masa lalu.
k) Memori
Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang
dan jangka pendek atau tidak.
l) Tingkat konsentrasi dan berhitung
Menilai tingkat konsentrasi klien apakah mudah beralih, atau
tidak mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung klien.
m) Kemampuan penilaian
Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan
masalah, klien masih mampu untuk mengambil keputusan
dengan tepat atau tidak.
n) Daya tilik diri
Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke rumah
sakit dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami
gangguan jiwa.
21
f. Kebutuhan persiapan pulang
Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana
klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang
dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya,
adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan
tempat rujukan perawatan atau pengobatan.
g. Mekanisme koping
Pada pasien dengan perilaku kekerasan perlu dikaji mekanisme
koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit
maupun mekanisme koping selama menghadapi masalah di rumah
sakit jiwa.
h. Masalah psikososial dan lingkungan
Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah klien di
lingkungannya, apakah klien sering bermasalah dengan orang di
sekitarnya.
i. Pengetahuan klien
Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh klien
mengenal penyakitnya. Hal ini juga digunakan untuk merencanakan
kegiatan atau tindakan selanjutnya.
j. Aspek medik
Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya mendapatkan
obat-obat anti psikosis seperti: Haloperidol, Clorpromazine, serta
Electro Convulsive Therapy (ECT).
22
2.2.2 Diagnosis
Gambar 2.2 pohon masalah (Yusuf et al, 2015:133)
Diagnosis Keperawatan
1. Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
2. Perilaku kekerasan
3. Gangguan konsep diri: harga diri rendah
2.2.3 Rencana Keperawatan
Menurut Damaiyanti dan Iskandar (2012:107) rencana keperawatan untuk
pasien gangguan perilaku kekerasandan keluarga:
a. Tujuan:klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria evaluasi :
1) Klien bersedia membalas salam.
2) Klien bersedia berjabat tangan.
3) Klien bersedia menyebutkan nama.
4) Klien bersedia tersenyum.
Risiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan
Gangguan konsep diri: harga diri rendah
Perilaku kekerasan
23
5) Klien bersedia kontak mata.
6) Klien mengetahui nama perawat.
7) Menyediakan waktu untuk kontrak.
Intervensi :
1) Beri salam/ panggil nama klien.
2) Sebutkan nama perawat sambil jabat tangan.
3) Jelaskan maksud hubungan interaksi.
4) Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat.
5) Beri rasa aman dan sikap empati.
6) Lakukan kontak singkat tapi sering.
Rasional: hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk
hubungan selanjutnya.
b. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
1) Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel/rasa kesal.
2) Klien dapat mengungkapkan penyebab perasaan jengkel/rasa
kesal.
Intervensi :
1) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.
2) Bantu klien untuk mengungkapkan penyebab jengkel/kesal.
Rasional: beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dapat
membantu mengurangi stress dan penyebab perasaan
jengkel/kesal dapat diketahui.
24
c. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi :
1) Klien dapat mengungkapkan perasaan jengkel/marah.
2) Klien dapat menyimpulan tanda-tanda jengkel/kesal yang
dialami.
Intervensi :
1) Anjurkan klien mengungkapkan apa yang dialami saat marah.
2) Observasi tanda perilaku kekerasan pada klien.
3) Simpulkan bersama klien tanda-tanda kesal yang dialami klien.
Rasional :
1) Untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel.
2) Untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/kesal.
3) Menarik kesimpulan bersama klien supaya klien mengetahui
secara garis besar tanda-tanda marah.
d. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa
dilakukan.
Kriteria evaluasi :
1) Klien dapat mengungkapkan perilaku kekerasan.
2) Klien dapat bermain peran dengan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
3) Klien dapat mengetahui cara yang biasa menyelesaikan masalah
atau tidak.
25
Intervensi :
1) Anjurkan klien untuk mengungkapkan perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan klien.
2) Bantu klien bermain peran sesuai dengan perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
3) Bicarakan dengan klien apakah cara yang klien lakukan dapat
menyelesaikan masalah.
Rasional :
1) Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku kekerasan
yang biasa dilakukan.
2) Untuk mengetahui perilaku kekerasan yang biasa dilakukan dan
dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif
dan destruktif.
3) Dapat membantu klien menemukan cara yang dapat
menyelesaikan masalah.
e. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi: klien dapat menjelaskan akibat dari perilaku
kekerasan yang dilakukan klien.
Intervensi :
1) Bicarakan akibat/kerugian dari perilaku kekerasan yang
dilakukan klien.
2) Bersama klien menyimpulkan akibat dari perilaku kekerasan
yang dilakukan klien.
26
Rasional :
1) Membantu klien untuk menilai perilaku kekerasan yang
dilakukannya.
2) Dengan mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien
dapat merubah perilaku destruktif yang dilakukannya menjadi
perilaku yang konstruktif.
f. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Kriteria evaluasi: klien dapat melakukan cara berespon terhadap
kemarahan secara konstruktif.
Intervensi :
1) Tanyakan pada klien apakah klien ingin mempelajari cara baru
yang sehat.
2) Berikan pujian jika klien mengetahui cara lain yang sehat.
3) Diskusikan dengan klien cara yang sehat antara lain:
a) Secara fisik: tarik nafas dalam dan pukul bantal/kasur.
b) Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah.
c) Secara sosial: lakukan dalam kelompok cara-cara marah
yang sehat.
d) Secara spiritual: anjurkan klien untuk ibadah.
Rasional :
1) Agar klien dapat mempelajari cara konstruktif.
2) Dapat membantu klien menemukan cara yang baik untuk
mengurangi kejengkelannya.
27
3) Pujian dapat memotivasi klien dan meningkatkan harga dirinya.
4) Berdiskusi dengan klien untuk memilih caya yang lain sesuai
dengan kemampuan klien.
g. Tujuan: klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku
kekerasan.
Kriteria evaluasi: klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol
perilaku kekerasan.
1) Fisik: tarik nafas dalam, olahraga.
2) Verbal: mengatakan secara langsung tanpa menyakiti perasaan.
3) Spiritual: ibadah, berdoa.
Intervensi :
1) Bantu klien memilih cara yang paling tepat untuk klien.
2) Bantu klien mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih.
3) Latih klien cara yang dipilih.
4) Beri pujian.
5) Anjurkan klien menggunakan cara yang telah dipelajari.
Rasional :
1) Memberikan simulasi kepada klien untuk menilai respon
perilaku kekeraan secara tepat.
2) Membantu klien dalam membuat keputusan terhadap cara yang
telah dipilihnya dengan melihat manfaatnya.
3) Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif.
4) Pujian dapat meningkatkan motivasi.
5) Agar klien dapat melaksanakan cara yang telah dipilihnya.
28
h. Tujuan: klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol
perilaku kekerasan.
Kriteria evaluasi:
1) Keluarga klien dapat menyebutkan cara merawat klien yang
berperilaku kekerasan.
2) Mengungkapkan rasa puas dalam merawat klien.
Intervensi :
1) Identifiksi kemampuan keluarga dalam merawat klien dari sikap
yang telah dilakukan keluarga terhadap klien selama ini.
2) Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien.
3) Jelaskan cara merawat klien.
4) Terkait dengan cara mengontrol perilaku marah secara
konstruktif, sikap tenang, bicara tenang dan jelas, membantu
klien mengenal penyebab ia marah.
5) Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat klien.
6) Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya setelah melakukan
demonstrasi.
Rasional :
1) Kemampuan keluarga dalam mengidentifikasi akan
memungkinkan keluarga untuk melakukan penilaian terhadap
perilaku kekerasan.
2) Meningkatkan pengetahuan keluarga tentang cara merawat klien
sehingga keluarga terlibat dalam perawatan klien.
3) Agar keluarga dapat merawat klien dengan perilaku kekerasan.
29
4) Agar keluarga mengetahui cara merawat klien melalui
demonstrasi yang dilihat keluarga secara langsung.
5) Mengeksplorasi perasaan keluarga setelah melakukan
demonstrasi.
i. Tujuan: klien dapat menggunakan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan efek).
Kriteria evaluasi :
1) Klien dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan
kegunaannya.
2) Klien dapat minum obat sesuai program pengobatan.
Intervensi :
1) Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien dan keluarga.
2) Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum
obat tanpa seizin dokter.
3) Jelaskan prinsip benar minum obat.
4) Ajarkan klien minta obat dan minum obat tepat waktu.
5) Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan
efek yang tidak menyenangkan.
6) Beri pujian jika klien minum obat dengan benar.
Rasional :
1) Klien dan keluarga dapat mengetahui nama-nama obat yang
diminum oleh klien.
2) Klien dan keluarga dapat mengetahui kegunaan obat yang
dikonsumsi klien.
30
3) Klien dan keluarga mengetahui prinsip benar agar tidak terjadi
kesalahan dalam mengkonsumsi obat.
4) Klien dapat memiliki kesadaran pentingnya minum obat dan
bersedia minum obat dengan kesadaran sendiri.
5) Mengetahui efek samping sedini mungkin sehingga tindakan
dapat dilakukan sesegera mungkin untuk menghindari
komplikasi.
6) Reinforcement positif dapat memotivasi klien dan keluarga serta
dapat meningkatkan harga diri.
Menurut Direja (2011:149) rencana tindakan keperawatan klien dengan
gangguan konsep diri : Harga diri rendah.
a. Tujuan: klien dapat membina hubungan saling percaya.
Kriteria Evaluasi :
1) Klien dapat mengungkapkan perasaannya.
2) Ekspresi wajah bersahabat.
3) Ada kontak mata.
4) Menunjukkan rasa senang.
5) Mau berjabat tangan.
6) Mau menjawab salam.
7) Klien mau duduk berdampingan.
8) Klien mau mengutarakan masalah yang dihadapi.
Intervensi :
1) Bina hubungan saling percaya.
a) Sapa klien dengan ramah, baik verbal maupun nonverbal.
31
b) Perkenalkan diri dengan sopan.
c) Tanya nama lengkap klien dan nama panggilan yang
disukai klien.
d) Jelaskan tujuan pertemuan, jujur, dan menepati janji.
e) Tunjukan sikap empati dan menerima pasien apa adanya.
f) Beri perhatian pada klien.
2) Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan tentang
penyakit yang dideritanya.
3) Sediakan waktu untuk mendengarkan klien.
4) Katakan pada klien bahwa ia adalah seorang yang berharga dan
bertanggung jawab serta mampu mendorong dirinya sendiri.
Rasional: hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk
hubungan selanjutnya.
b. Tujuan: klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif
yang dimiliki.
Kriteria Evaluasi: klien mampu mempertahankan aspek yang positif.
Intervensi :
1) Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
dan diberi pujian atas kemampuan mengungkapkan
perasaannya.
2) Saat bertemuklien, hindarkan memberi penilaian negatif.
3) Utamakan memberi pujian yang realitis.
32
Rasional:
1) Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas,
kontrol diri atau integritas ego sebagai dasar asuhan
keperawatan.
2) Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri.
3) Pujian yang realistis tidak menyebabkan melakukan kegiatan
hanya karna ingin mendapatkan pujian.
c. Tujuan: klien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.
Kriteria Evaluasi :
1) Kebutuhan klien terpenuhi.
2) Klien dapat melakukan aktivitas terarah.
Intervensi :
1) Diskusikan kemampuan klien yang masih dapat digunakan
selama sakit.
2) Diskusikan juga kemampuan yang dapat dilanjutkan
penggunaan di rumah sakit dan di rumah nanti.
Rasional:
1) Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki
adalah prasarat untuk berubah.
2) Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri motivasi
untuk tetap mempertahankan penggunaannya.
d. Tujuan: klien dapat menetapkan dan merencanakan kegiatan sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki.
33
Kriteria Evaluasi :
1) klien mampu beraktivitas sesuai kemampuan.
2) klien mengikuti terapi aktivitas kelompok.
Intervensi :
1) Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap
hari setiap hari sesuai kemampuan : kegiatan mandiri, kegiatan
dengan bantuan minimal, kegiatan dengan bantuan total.
2) Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien.
3) Beri contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan.
Rasional:
1) Klien adalah individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya
sendiri.
2) Klien perlu bertindak secara realiatis dalam kehidupannya.
3) Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk
melaksanakan kegiatan.
e. Tujuan: klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan
kemampuannya.
Kriteria Evaluasi: klien mampu beraktivitas sesuai kemampuan.
Intervensi :
1) Beri kesempatan klien untuk mncoba kegiatan yang
direncanakan.
2) Beri pujian atas keberhasilan klien.
3) Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah.
34
Rasional:
1) Memberikan kesempatan klien mandiri dirumah.
2) Reinforcement positif dapat memotivasi klien dan keluarga serta
dapat meningkatkan harga diri.
3) Memberi kesempatan kepada klien untuk tetap melakukan
kegiatan yang biasa dilakukan.
f. Tujuan: klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.
Kriteria Evaluasi: klien mampu melakukan apa yang diajarkan.
Intervensi :
1) Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat
klien harga diri rendah.
2) Bantu keluarga memberi dukungan selama klien dirawat.
3) Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah.
Rasional:
1) Mendorong keluarga untuk mampu untuk merawat klien
dirumah.
2) Support system keluarga akan sangat berpengaruh dalam
mempercepat proses penyembuhan.
3) Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien
dirumah.
35
Strategi Penahanan
Stategi Preventif Strategi Antisipasi Strategi Penahanan
• Kesadaran diri
•Pendidikan pasien
• Latihan asertif
• Komunikasi
•Perubahan
lingkungan
• Perilaku
• Psikofarmakologi
• Manajemen krisis
• Pengasingan
•Pengendalian/pengek
angan
Gambar 2.3 Rangkaian Intervensi Keperawatan dalam Manajemen Perilaku
Kekerasan
1. Manajemen Krisis:
a. Identifikasi pemimpin tim krisis.
b. Susun atau kumpulkan tim krisis.
c. Beritahu petugas keamanan yang diperlukan.
d. Pindahkan semua pasien dari area tersebut.
e. Siapkan atau dapatkan alat pengekang (restrains).
f. Susun strategi dan beritahu anggota lain.
g. Tugas penanganan pasien secara fisik.
36
h. Jelaskan semua tindakan pada pasien, “Kami harus mengontrol Tono,
karena perilaku Tono berbahaya pada Tono dan orang lain. Jika
Tono sudah dapat mengontrol perilakunya, kami akan lepaskan”.
i. Ikat/kekang pasien sesuai instruksi pemimpin (posisi yang nyaman).
j. Berikan obat psikofarmaka sesuai instruksi.
k. Jaga tetap kalem dan konsisten.
l. Evaluasi tindakan dengan tim.
m. Jelaskan kejadian pada pasien lain dan staf seperlunya.
n. Secara bertahap integrasikan pasien pada lingkungan.
2. Pengasingan
Pengasingan dilakukan untuk memisahkan pasien dari orang lain di
tempat yang aman dan cocok untuk tindakan keperawatan. Tujuannya
adalah melindungi pasien, orang lain, dan staf dari bahaya. Hal ini legal
jika dilakukan secara terapeutik dan etis. Prinsip pengasingan antara lain
sebagai berikut:
a. Pembatasan gerak
1) Aman dari mencederai diri.
2) Lingkungan aman dari perilaku pasien.
b. Isolasi
1) Pasien butuh untuk jauh dari orang lain, contohnya paranoid.
2) Area terbatas untuk adaptasi, ditingkatkan secara bertahap.
c. Pembatasan input sensoris
Ruangan yang sepi akan mengurangi stimulus.
37
3. Pengekangan
Tujuan dari pengekangan adalah mengurangi gerakan fisik pasien, serta
melindungi pasien dan orang lain dari cedera. Indikasi antara lain sebagai
berikut:
a. Ketidakmampuan mengontrol perilaku.
b. Perilaku tidak dapat dikontrol oleh obat atau teknik psikososial.
c. Hiperaktif dan agitasi.
Prosedur pelaksanaan pengekangan adalah sebagai berikut:
a. Jelaskan pada pasien alasan pengekangan.
b. Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
c. Ada perawat yang ditugaskan untuk mengontrol tanda vital, sirkulasi,
dan membuka ikatan untuk latihan gerak.
d. Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan
perawatan diri.
2.2.4 Implementasi Keperawatan
a. Tindakan keperawatan pada klien:
1) Melakukan SP1P perilaku kekerasan.
a) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
b) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
c) Mengidentifikasi perilaku kekerasan yang dilakukan.
d) Mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
e) Menyebutkan cara mengontrol perilaku kekerasan.
f) Membantu klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan cara fisik 1: latihan nafas dalam.
38
g) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.
2) Melakukan SP2P perilaku kekerasan.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan cara fisik 2: pukul kasur dan bantal.
c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.
3) Melakukan SP3P perilaku kekerasan.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan cara sosial/ verbal.
c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.
4) Melakukan SP4P perilaku kekerasan.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan cara spiritual.
c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.
5) Melakukan SP5P perilaku kekerasan.
a) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.
b) Melatih klien mempraktikkan latihan cara mengontrol
perilaku kekerasan dengan minum obat.
c) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam kegiatan harian.
39
b. Tindakan keperawatan pada keluarga.
1) Melakukan SP1K perilaku kekerasan.
a) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam
merawat klien.
b) Menjelaskan pengertian perilaku kekerasan, tanda dan
gejala perilaku kekerasan, serta proses terjadinya perilaku
kekerasan.
2) Melakukan SP2K perilaku kekerasan.
a) Melatih keluarga mempraktikkan cara merawat klien
dengan perilaku kekerasan.
b) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada
klien perilaku kekerasan.
3) Melakukan SP3K perilaku kekerasan.
a) Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas dirumah
termasuk minum obat (discharge planning).
b) Menjelaskan follow up klien setelah pulang.
2.2.5 Evaluasi
a. Evaluasi pada pasien
1) Pasien mampu menyebutkan penyebab, tanda dan gejala perilaku
kekerasan, perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, serta akibat
dari perilaku kekerasan yang dilakukan.
2) Pasien mampu menggunakan cara mengontrol perilaku kekerasan
secara teratur sesuai jadwal, yang meliputi:
a) secara fisik,
40
b) secara sosial/verbal,
c) secara spiritual,
d) terapi psikofarmaka.
b. Evaluasi pada keluarga
1) Keluarga mampu mencegah terjadinya perilaku kekerasan.
2) Keluarga mampu menunjukkan sikap yang mendukung dan
menghargai pasien.
3) Keluarga mampu memotivasi pasien dalam melakukan cara
mengontrol perilaku kekerasan.
4) Keluarga mampu mengidentifikasi perilaku pasien yang harus
dilaporkan pada perawat.
41
BAB III
METODE STUDI KASUS
3.1 Desain Studi Kasus
Studi kasus merupakan metode pengumpulan data secara
komprehensif yang meliputi aspek fisik dan psikologis individu, dengan
tujuan memperoleh pemahaman secara mendalam. Studi kasus ini adalah
studi untuk mengeksplorasi masalah asuhan keperawatan pada pasien yang
mengalami resiko perilaku kekerasan.
3.2 Batasan Istilah
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini
maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam
dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung atau riwayat perilaku kekerasan.
Strategi pelaksanaan perilaku kekerasan pertama melatih cara mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama yaitu nafas dalam. Strategi
pelaksanaan kedua melatih cara mengendalikan perilaku kekerasan dengan
cara fisik kedua yaitu dengan cara pikul bantal/ kasur. Strategi pelaksanaan
ketiga membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan secara
verbal. Strategi pelaksanaan keempat membantu klien latihan mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara spiritual. Strategi pelaksanaan kelima
membantu klien latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan minum
obat.
42
3.3 Partisipan
Subyek studi dalam kasus ini adalah Sdr.R dan Tn.SR yang
mengalami resiko perilaku kekerasan di Rumah Sakit dr. Arif Zainudin
Surakarta.
3.4 Lokasi dan Waktu
Pada kasus ini tempat pengambilan kasus dilakukan di Rumah Sakit
dr. Arif Zainudin Surakarta dan waktu pelaksanaan 2 minggu dari tanggal
22 Mei 2017 – 3 Juni 2017.
3.5 Pengumpulan Data
Sehubungan dengan pendekatan studi kasus diatas, teknik
pengumpulan data yang akan digunakan dalam studi kasus ini adalah
penelitian lapangan (field research), dilakukan dengan cara mengunjungi
langsung ke objek studi kasusyaitu Rumah Sakit dr. Arif Zainuddin. Menurut
Sujarweni (2014) metode pengumpulan data yang digunakan adalah :
1. Teknik pengumpulan data primer
Pengumpulan data yang dilakukan secara langsung pada lokasi studi
kasus atau objek yang diteliti. Dalam hal ini data diperoleh dengan cara-
cara sebagai berikut:
a. Observasi adalah melakukan pengamatan secara langsung pada
objek studi kasus terhadap pasien yang mengalami masalah
perilaku kekerasan.
b. Wawancara adalah melakukan tanya-jawab dengan pihak-pihak
yang berhubungan dengan masalah studi kasuswawancara
43
dinyatakan sebagai suatu percakapan dengan bertujuan untuk
memperoleh kontruksi yang terjadi sekarang tentang orang,
kejadian, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, pengakuan,
kerisauan dan sebagainya. Penulis melakukan pengkajian terhadap
pasien (hasil pengkajian berisi tentang identitas klien, alasan
masuk, faktor predisposisi dan lain-lain) sumber data dari klien,
keluarga dan perawat lainnya.
2. Teknik pengumpulan data sekunder merupakan teknik pengumpulan data
yang dilakukan melalui studi bahan-bahan kepustakaan yang perlu untuk
mendukung data primer (data lain yang relevan). Pengumpulan data
sekunder dapat dilakukan dengan instrumen sebagai berikut:
a. Studi Kepustakaan (Library research) adalah pengumpulan data
yang dilakukan dari buku-buku, karya ilmiah, pendapat ahli yang
memiliki relevansi dengan masalah yang diteliti.
b. Studi Dokumentasi (Documentary) adalah pengumpulan data yang
diperoleh dengan menggunakan catatan-catatan tertulis yang ada di
lokasi penelitian serta sumber-sumber lain yang menyangkut
masalah diteliti dengan instansi yang terkait.
3.6 Uji Keabsahan Data
Uji keabsahan data dimaksud dengan mengambil data baru (here and
now) dengan menggunakan instrumen pengkajian yang sesuai sehingga
menghasilkan data dengan validitas tinggi. Pengkajian menggunakan klien,
perawat dan keluarga klien sebagai sumber informasi dan sumber
dokumentasi. Menegakkan diagnosa NANDA keperawatan intervensi NIC
44
NOC, implementasi strategi pelaksanaan (SP), evaluasi dengan menggunakan
evaluasi formatif dan evaluasi surmatif (Sujarweni, 2014).
3.7 Analisa Data
Setelah melakukan asuhan keperawatan akan dilakukan analisa data
dengan metode membandingkan antara tindakan yang dilakukan dengan
jurnal penelitian dan teori didalam buku.
1. Pengumpulan Data
Data dikumpulkan dari hasil wawancara, observasi dan dokumentasi.
Hasil ditulis dalam bentuk transkip (catatan terstruktur).
2. Mereduksi Data
Data hasil wawancara yang terkumpul dalam bentuk catatan lapangan
dijadikan satu dalam bentuk transkip dan dikelompokkan menjadi data
subjektif dan objektif dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan diagnostik
kemudian dibandingkan nilai normal.
3. Penyajian Data
Penyajian data dapat dilakukan dengan tabel, gambar, bagan maupun
teks naratif. Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan
identitas dari klien.
3.8 Kesimpulan
Dari data yang disajikan kemudian data dibahas dan dibandingkan
dengan perilaku kesehatan. Penarikan kesimpulan dilakukan dengan
metode induksi. Data yang dikumpulkan terkait dengan data pengkajian,
diagnosis, perencanaan, tindakan dan evaluasi.
45
BAB IV
HASIL
4.1 Gambaran lokasi pengambilan data
Pengambilan data dilakukan di rumah sakit dr. Arif Zainudin Surakarta, di
bangsal Gatotkaca. Di dalam bangsal Gatotkaca terdapat 4 ruang perawatan
diantaranya: 2 untuk dewasa, 2 untuk anak dan remaja. Bangsal ini khusus
untuk perawatan klien yang berjenis kelamin laki-laki.
4.2 Pengkajian
1. Identitas Klien
IDENTITAS KLIEN KLIEN 1 KLIEN 2
Inisial
Umur
Jenis Kelamin
No. RM
Ruang Rawat
Tanggal Dirawat
Tanggal Pengkajian
Informan
Sdr. R
18 tahun
Laki-laki
0607xx
Gatotkaca
1 mei 2017
23 mei 2017
Klien
Tn. SR
40 tahun
Laki-laki
0199xx
Gatotkaca
14 mei 2017
23 mei 2017
Klien dan keluarga
2. Alasan Masuk
KLIEN 1 KLIEN 2
ALASAN MASUK Klien dibawa ke rumah sakit
jiwa karena klien sering
marah-marah, merusak
barang-barang rumah tangga,
sering mengamuk Klien
pernah memukuli temannya
karena telah merebut
pacarnya.
Keluarga klien mengatakan
alasan klien dibawa ke
rumah sakit jiwa karena klien
marah-marah tanpa sebab,
suka membanting barang,
suka mengancam orang lain,
sering mondar-mandir dan
binggung. Klien mengalami
perubahan perilaku sejak di
PHK dari tempat kerjanya.
46
3. Faktor Predisposisi dan Faktor Presipitasi
KLIEN 1 KLIEN 2
Faktor predisposisi Saat usia 12 tahun klien
pernah menjadi korban
KDRT, dipukul bapaknya
karena klien tidak mau
melanjutkan sekolah.
Setelah kejadian itu klien
bersedia melanjutkan
sekolah. Saat usia 15 tahun
klien pernah memukul
bapaknya karena klien
dilarang balapan motor.
Klien belum pernah
mengalami gangguan jiwa
dimasa lalu dan belum
pernah menjalani
pengobatan. Tidak ada
anggota keluarga klien yang
mengalami gangguan jiwa.
Klien sudah 2 kali ini
dirawat di rumah sakit jiwa,
disebabkan karena klien
frustasi sebab dirinya sudah
terlalu lama menjadi
pengangguran kurang lebih 1
tahun. Pengobatan klien
sebelumnya kurang berhasil
karena klien tidak rutin
minum obat dan kontrol.
Kondisi ekonomi keluarga
yang kurang mampu untuk
mencukupi biaya perawatan
dan pengobatan klien.
Sekarang gangguan jiwa
klien kambuh disebabkan
karena putus obat. Tidak ada
anggota keluarga klien yang
mengalami gangguan jiwa.
Faktor presipitasi Faktor pancetus terjadinya
gangguan jiwa yaitu pacar
klien direbut oleh temannya
sendiri.
Faktor pancetus terjadinya
gangguan jiwa yaitu klien di
PHK dari tempat kerjanya.
4. Fisik
FISIK KLIEN 1 KLIEN 2
1. TTV
Nadi
Tekanan darah
RR
Suhu
2. Ukur
Tinggi badan
Berat badan
3. Keluhan Fisik
Masalah keperawatan
90x/ menit
110/70 mmhg
16x/ menit
36,5o C
160 cm
50 kg
Tidak ada
Tidak ada
80x/ menit
130/80 mmhg
18x/ menit
36,7o C
175 cm
65 kg
Tidak ada
Tidak ada
47
5. Psikososial
PSIKOSOSIAL KLIEN 1 KLIEN 2
1. Genogram
Penjelasan
Masalah
keperawatan
2. Konsep diri
a. Gambaran diri
b. Identitas
c. Peran
d. Ideal diri
e. Harga diri
Masalah keperawatan
Klien mengatakan tinggal
serumah dengan kedua
orang tua dan kedua
adiknya. Klien merupakan
anak pertama dari 3
bersaudara.
Tidak ada
Klien mengatakan klien
suka dengan seluruh anggota
tubuhnya karena klien
bersyukur atas apa yang
sudah diberikan oleh Tuhan.
Klien adalah seorang laki-
laki yang berusia 18 tahun,
pendidikan terakhir SMP,
asal dari Wonogiri.
Klien mengatakan klien
berperan sebagai anak di
dalam keluarganya, sebagai
kakak dari kedua adiknya,
dan sebagai anggota karang
taruna di dalam masyarakat.
Klien berharap agar cepat
sembuh dan cepat pulang,
klien ingin melanjutkan
sekolah karena klien bercita-
cita ingin menjadi pilot.
Klien mengatakan klien
kurang diterima di
masyarakat karena klien
sering mengamuk.
Harga diri rendah.
klien merupakan anak ke-2
dari 2 bersaudara, klien
tinggal serumah dengan
kedua orang tuanya.
Tidak ada
Klien mengatakan menyukai
semua bagian tubuhnya.
Klien bernama SR, usia 40
tahun, beragama islam, jenis
kelamin laki-laki, asal dari
Kartosuro.
Klien mengatakan di dalam
rumah klien sebagai anak
dan sebagai tulang punggung
keluarga, di masyarakat klien
sebagai anggota masyarakat.
Klien berharap agar cepat
sembuh dan cepat pulang
karena klien ingin segera
mencari pekerjaan dan dapat
memenuhi kebutuhan
keluarganya.
Selama dirumah klien
merasa malu dan minder
karena dianggap orang
stress, klien lebih senang
menyendiri dirumah, dan
klien selalu merasa bahwa
dirinya selalu merepotkan
kedua orang tuanya.
Harga diri rendah.
48
3. Hubungan sosial
Masalah keperawatan
4. Spiritual
a. Nilai dan
keyakinan.
b. Kegiatan
ibadah.
Masalah keperawatan
Klien mengatakan orang
terdekat dengannya yaitu
ibunya. Klien mengatakan
jarang mengikuti kegiatan di
masyarakat karena klien
merasa orang-orang
menghindar dari
dirinyadisebabkan karena
klien sering mengamuk.
Menarik diri, perubahan
interaksi sosial.
Klien beragama islam.
Sebelum sakit klien jarang
beribadah karena malas,
selama sakit klien rajin
beribadah solat 5 waktu.
Tidak ada.
Klien mengatakan orang
terdekat dengannya yaitu
kakak kandungnya. Klien
tidak mau bergaul dengan
kelompok masyarakat karena
klien malu jika dirinya
dianggap orang stress dan
klien merasa orang lain tidak
suka dengannya.
Menarik diri, perubahan
interaksi sosial.
Klien beragama islam.
Klien tidak pernah
beribadah.
Hambatan religi.
6. Status Mental
STATUS MENTAL KLIEN 1 KLIEN 2
1. Penampilan
Masalah keperawatan
2. Pembicaraan
Masalah keperawatan
3. Aktivitas motorik
Masalah keperawatan
4. Alam perasaan
Klien terlihat tidak rapi.
Klien terlihat selalu
menggunakan baju yang
sama setiap hari, terkadang
di dobel dengan baju dari
rumah sakit.
Tidak ada
Klien berbicara dengan
irama yang teratur, bicara
keras, nada suara tinggi.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien terlihat gelisah,
tegang, sering mondar-
mandir, tidak dapat duduk
tenang.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien mengatakan
perasaannya sedih karena
tidak mempunyai teman.
Klien terlihat tidak pernah
mengganti baju dan
celananya, klien
menggunakan baju dobel-
dobel.
Tidak ada
Cara bicara klien keras dan
nada suara tinggi.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien terlihat tegang,
gelisah, mondar-mandir,
tidak dapat duduk tenang,
sering berpindah tempat
duduk.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien mengatakan
perasaannya sedih karena
tidak bisa bekerja.
49
Masalah keperawatan
5. Afek
Masalah keperawatan
6. Interaksi selama
wawancara
Masalah keperawatan
7. Persepsi
Masalah keperawatan
8. Proses pikir
Masalah keperawatan
9. Isi pikir dan
Waham
Masalah keperawatan
10. Tingkat kesadaran
dan Disorientasi
Masalah keperawatan
Tidak ada
Afek klien labil, emosi klien
berubah dengan cepat.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Saat berinteraaksi dengan
klien, klien mudah
tersinggung, curiga jika
ditanya masalah pribadi,
pandangan mata klien tajam,
memberi kata-kata ancaman,
kontak mata kurang, wajah
memerah.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien mengatakan tidak
pernah mendengar suara-
suara atau bisikan, dan tidak
pernah melihat bayangan.
Klien tidak mengalami
gangguan persepsi.
Tidak ada
Klien tidak mengalami
sirkumtansial maupun
tangensial. Pembicaraan
klien jelas, tidak terbelit-
belit, sampai pada tujuan
pembicaraan.
Tidak ada
Klien tidak pernah
mempunyai pikiran yang
aneh-aneh.
Tidak ada.
Tingkat kesadaran klien
yaitu sadar penuh, klien
mampu mengingat dan dapat
menyebutkan nama tempat
dan waktu.
Tidak ada.
Tidak ada
Afek klien labil, emosi klien
berubah dengan cepat.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Saat berinteraaksi dengan
klien, klien mudah
tersinggung, curiga, wajah
memerah, pandangan mata
klien tajam, memberi kata-
kata ancaman.
Tanda gejala resiko perilaku
kekerasan.
Klien mengatakan tidak
pernah mendengar suara-
suara atau bisikan, dan tidak
pernah melihat bayangan.
Klien tidak mengalami
gangguan persepsi.
Tidak ada
Klien mengalami
sirkumtansial. Saat
wawancara, pembicaraan
klien terbelit tetapi sampai
pada tujuan pembicaraan.
Tidak ada
Klien tidak pernah
mempunyai pikiran yang
aneh-aneh.
Tidak ada.
Tingkat kesadaran klien
yaitu sadar penuh, klien
mengalami disorientasi
tempat dan waktu, saat
ditanya nama ruangan dan
hari, tanggal klien tidak bisa
menjawab.
Tidak ada.
50
11. Memori
Masalah keperawatan
12. Tingkat konsentrasi
dan berhitung
Masalah keperawatan
13. Kemampuan
penilaian
Masalah keperawatan
14. Daya tilik diri
Masalah keperawatan
Klien tidak mengalami
gangguan daya ingat.
Tidak ada.
Klien mampu berhitung
tetapi tidak mampu
berkonsentrasi lama.
Tidak ada.
Klien mampu menilai jika
masalah yang di landasi
dengan emosi akan
merugikan/ membahayakan
diri sendiri, orang lain, dan
lingkungan.
Tidak ada.
Klien sadar bahwa dirinya
telah berbuat salah karena
sudah berperilaku kekerasan
dan merasa menyesal.
Tidak ada
Klien mengalami gangguan
daya ingat jangka panjang,
saat di tanya tanggal masuk
rumah sakit, siapa yang
membawa ke RSJ, klien
tidak bisa menjawab.
Tidak ada.
Klien mampu berhitung
tetapi tidak mampu
berkonsentrasi lama.
Tidak ada.
Klien mampu mengambil
keputusan yang sederhana
setelah diberi penjelasan
dari perawat, misalnya cuci
tangan dahulu sebelum
makan.
Tidak ada.
Klien sadar bahwa dirinya
telah berbuat salah karena
sudah melakukan perilaku
kekerasan.
Tidak ada.
7. Kebutuhan Persiapan Pulang
Kebutuhan Persiapan
Pulang
KLIEN 1 KLIEN 2
1. Makan
2. BAB/ BAK
3. Mandi
4. Berpakaian/
berhias
Klien makan 3x sehari
dengan menu yang
disediakan dari rumah sakit,
klien mampu makan secara
mandiri dan klien selalu
mencuci piringnya setelah
selesai makan.
Klien mampu melakukan
BAB/ BAK secara mandiri.
Selama di rumah sakit klien
mandi sehari 2x, gosok gigi
2x sehari, klien mampu
mencuci rambut sendiri.
Klien membutuhkan bantuan
minimal dalam berpakaian
karena klien harus di
Klien makan 3x sehari
dengan menu yang
disediakan dari rumah sakit,
klien mampu makan secara
mandiri dan klien selalu
mencuci piringnya setelah
selesai makan.
Klien mampu melakukan
BAB/ BAK secara mandiri.
Klien membutuhkan
bantuan minimal untuk di
motivasi, selesai mandi
terkadang klien lupa dan
malas untuk mengeringkan
badannya dengan handuk.
Klien membutuhkan
bantuan minimal dalam
berpakaian karena klien
51
5. Istirahat dan tidur
6. Penggunaan obat
7. Pemeliharaan
kesehatan dan
sistem dukungan
8. Aktivitas di dalam
rumah
9. Aktivitas di luar
rumah
Masalah keperawatan
motivasi untuk ganti baju,
terkadang klien malas untuk
berganti baju.
Klien tidur siang selama 1-2
jam, tidur malam selama 7-8
jam, tidak ada aktivitas
khusus sebelum atau
sesudah tidur.
Klien membutuhkan bantuan
minimal yaitu klien harus
diingatkan untuk meminum
obatnya, klien diberi obat 2x
sehari.
Setelah pulang nanti klien
berusaha untuk rutin minum
obat dan kontrol, klien
mendapat dukungan penuh
dari keluarga.
Saat di rumah sakit, klien
mampu menjaga kerapian
ruangan dengan cara
menyapu jika ada kotoran,
klien juga selalu mencuci
piring setelah selesai makan.
Klien mengatakan nanti
kalau sudah pulang ke
rumah, dia akan membantu
pekerjaan orang tuanya
seperti mencuci baju,
menyapu rumah ataupun
lainnya.
Saat di rumah sakit, klien
rajin mengikuti rehabilitasi
setiap pagi, klien
mengatakan jika sudah
pulang ke rumah nanti klien
akan melanjutkan
sekolahnya.
Tidak ada.
harus di motivasi untuk
ganti baju, dan memotivasi
klien agar tidak
menggunakan baju dobel-
dobel, cukup menggunakan
1 baju yang bersih.
Klien tidur siang selama 1-2
jam, tidur malam selama 7-8
jam, tidak ada aktivitas
khusus sebelum atau
sesudah tidur.
Klien membutuhkan
bantuan minimal yaitu klien
harus diingatkan untuk
meminum obatnya, klien
diberi obat 2x sehari.
Setelah pulang nanti klien
berusaha untuk rutin minum
obat dan kontrol, klien
mendapat dukungan penuh
dari keluarga.
Saat di rumah sakit, klien
selalu mencuci piring
setelah selesai makan.
Saat di rumah sakit, klien
tidak mengikuti rehabilitasi
karena belum di ijinkan
dokter, klien mengatakan
jika sudah pulang ke rumah
nanti klien akan mencari
pekerjaan.
Tidak ada.
52
10. Mekanisme Koping
Mekanisme Koping KLIEN 1 KLIEN 2
Adaptif
Maladaptif
Masalah keperawatan
-
Klien mengatakan jika
mempunyai masalah klien
langsung marah-marah, jika
sudah tidak tahan lagi klien
kemudian mengamuk atau
merusak barang yang ada di
sekitar nya.
Koping individu tidak
efektif, resiko perilaku
kekerasan.
-
Klien mengatakan, jika ada
masalah, klien lebih senang
marah-marah dan merusak
barang.
Koping individu tidak
efektif, resiko perilaku
kekerasan.
11. Masalah Psikososial dan Lingkungan
KLIEN 1 KLIEN 2
Masalah Psikososial dan
Lingkungan
1. Masalah dengan
lingkungan, klien
mengatakan semenjak
dirinya marah-marah
dan mengamuk,
lingkungan masyarakat
tidak mau menerima
klien dan hal ini
membuat klien lebih
senang menyendiri.
2. Masalah dengan
pendidikan, klien
mengatakan pernah tidak
mau melanjutkan
sekolah.
1. Masalah dengan
lingkungan, klien
mengatakan setelah
klien di PHK, klien
jarang bergaul dengan
tetangganya.
2. Masalah dengan
pekerjaan.
3. Masalah ekonomi.
12. Pengetahuan Kurang Tentang
KLIEN 1 KLIEN 2
Pengetahuan Kurang
Tentang
Masalah keperawatan
Klien tidak mengetahui
tentang penyakit jiwa.
Kurang pengetahuan.
Klien tidak mengetahui
tentang penyakit jiwa,
koping dan obat-obatan.
Kurang pengetahuan.
53
13. Aspek Medik
ASPEK MEDIK KLIEN 1 KLIEN 2
Diagnosa medis
Terapi medis
F20.3 Skizofrenia tak terinci
Risperidon 2X2mg
Trihexyphenidyl (THP)
2x2mg
Chlorpromazine (CPZ)
2x100mg
F20.3 Skizofrenia tak terinci
Trihexyphenidyl (THP)
2x2mg
Chlorpromazine (CPZ)
1x100mg
14. Daftar Masalah Keperawatan
KLIEN 1 KLIEN 2
Daftar Masalah
Keperawatan
1. Resiko mencederai diri
sendiri, orang lain,
lingkungan.
2. Harga diri rendah.
3. Menarik diri.
4. Perubahan interaksi
sosial.
5. Koping individu tidak
efektif.
6. Resiko perilaku
kekerasan.
7. Kurang pengetahuan.
1. Resiko mencederai diri
sendiri, orang lain,
lingkungan.
2. Harga diri rendah.
3. Menarik diri.
4. Perubahan interaksi
sosial.
5. Koping individu tidak
efektif.
6. Resiko perilaku
kekerasan.
7. Hambatan religi.
8. Kurang pengetahuan.
54
4.3 Analisis Data
Hari/ Tanggal Data Fokus Masalah Keperawatan
KLIEN 1
Selasa,
23 Mei 2017
Ds:
Klien sering marah-marah,
merusak barang-barang rumah
tangga, sering mengamuk.
Klien pernah memukuli
temannya karena telah merebut
pacarnya.
Klien pernah memukul
bapaknya
Do:
Bicara keras, nada suara tinggi
Pandangan mata tajam
Wajah memerah
Memberi kata-kata ancaman
(akan melukai)
Resiko perilaku kekerasan.
Ds:
Klien mengatakan kurang
diterima di masyarakat karena
klien sering mengamuk.
Masyarakat terkesan
menghindar dari klien karena
takut kepada klien.
Masyarakat sering mengucilkan
klien.
Do:
Gelisah.
Sedih.
Senang menyendiri.
Kontak mata kurang.
Gangguan konsep diri:
Harga diri rendah
KLIEN 2
Selasa,
23 Mei 2017
Ds:
Klien marah-marah tanpa
sebab.
Klien suka membanting barang.
Klien mengancam orang lain.
Do:
Pandangan mata tajam
Wajah memerah
Memberi kata-kata ancaman
(akan memukul )
Resiko perilaku kekerasan.
Ds:
Klien merasa malu dan minder
karena dianggap orang stress.
Klien lebih senang menyendiri
dirumah.
Klien selalu merasa bahwa
Gangguan konsep diri:
Harga diri rendah
55
dirinya selalu merepotkan
kedua orang tuanya.
Do:
Malu
Minder
Senang menyendiri.
Kontak mata kurang.
56
4.4 Diagnosa Keperawatan
Data Diagnosa Keperawatan
KLIEN 1
Ds:
Klien sering marah-marah,
merusak barang-barang rumah
tangga, sering mengamuk.
Klien pernah memukuli
temannya karena telah merebut
pacarnya.
Klien pernah memukul
bapaknya.
Do:
Bicara keras, nada suara tinggi
Pandangan mata tajam
Wajah memerah
Memberi kata-kata ancaman
(akan melukai)
Resiko perilaku kekerasan.
Ds:
Klien mengatakan kurang
diterima di masyarakat karena
klien sering mengamuk.
Masyarakat terkesan
menghindar dari klien karena
takut kepada klien.
Masyarakat sering mengucilkan
klien.
Do:
Gelisah.
Sedih.
Senang menyendiri.
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
KLIEN 2
Ds:
Klien marah-marah tanpa sebab.
Klien suka membanting barang.
Klien mengancam orang lain.
Do:
Pandangan mata tajam
Wajah memerah
Memberi kata-kata ancaman
(akan memukul)
Resiko perilaku kekerasan.
Ds:
Klien merasa malu dan minder
karena dianggap orang stress.
Klien lebih senang menyendiri
dirumah.
Klien selalu merasa bahwa
dirinya selalu merepotkan kedua
orang tuanya.
Do:
Malu
Minder
Senang menyendiri.
Gangguan konsep diri: Harga diri rendah
57
4.5 Intervensi Keperawatan
Diagnosa
Keperawatan
RENCANA/ INTERVENSI KEPERAWATAN
Tujuan Intervensi
KLIEN 1
Resiko perilaku
kekerasan
Tujuan Umum:
Setelah dilakukan tindakan
keperatawan selama 5 x
pertemuan di harapkan klien
dapat mengontrol perilaku
kekerasan.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina
hubunagn saling percaya.
2. Klien dapat
mengidentifikasi
penyebab perilaku
kekerasan.
3. Klien dapat menyebutkan
tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
4. Klien dapat
mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
5. Klien dapat
mengidentifikasi akibat
perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
6. Klien dapat menyebutkan
cara mengontrol perilaku
kekerasan.
7. Klien mampu
mempraktekkan cara
mengontrol perilaku
kekerasan dengan nafas
dalam, pukul bantal/
kasur, secara verbal,
secara spiritual.
8. Klien mendapat dukungan
keluarga dalam
mengontrol perilaku
kekerasan.
9. klien dapat menggunakan
obat-obatan yang
diminum dan
kegunaannya (jenis,
waktu, dosis dan efek).
SP 1:
1. Bina hubungan saling
percaya.
2. Identifikasi penyebab marah.
3. Identifikasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan.
4. Identifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
5. Identifikasi akibat perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
6. Identifikasi cara mengontrol
perilaku kekerasan.
7. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam).
8. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 2:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam).
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 2
(pukul bantal/ kasur).
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 3:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam) dan fisik 2
(pukul bantal /kasur).
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara
verbal.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 4:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam), fisik 2 (pukul
bantal /kasur), cara verbal.
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara
58
spiritual.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 5:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam), fisik 2 (pukul
bantal /kasur), cara verbal,
cara spiritual.
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan minum
obat teratur.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
KLIEN 2
Resiko perilaku
kekerasan
Tujuan Umum:
Setelah dilakukan tindakan
keperatawan selama 5 x
pertemuan di harapkan klien
dapat mengontrol perilaku
kekerasan.
Tujuan Khusus:
1. Klien dapat membina
hubunagn saling percaya.
2. Klien dapat
mengidentifikasi
penyebab perilaku
kekerasan.
3. Klien dapat menyebutkan
tanda dan gejala perilaku
kekerasan.
4. Klien dapat
mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
5. Klien dapat
mengidentifikasi akibat
perilaku kekerasan yang
biasa dilakukan.
6. Klien dapat menyebutkan
cara mengontrol perilaku
kekerasan.
7. Klien mampu
mempraktekkan cara
mengontrol perilaku
kekerasan dengan nafas
dalam, pukul bantal/
kasur, secara verbal,
secara spiritual.
8. Klien mendapat dukungan
keluarga dalam
mengontrol perilaku
SP 1:
1. Bina hubungan saling
percaya.
2. Identifikasi penyebab marah.
3. Identifikasi tanda dan gejala
perilaku kekerasan.
4. Identifikasi perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
5. Identifikasi akibat perilaku
kekerasan yang biasa
dilakukan.
6. Identifikasi cara mengontrol
perilaku kekerasan.
7. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam).
8. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 2:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam).
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 2
(pukul bantal/ kasur).
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 3:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam) dan fisik 2
(pukul bantal /kasur).
59
kekerasan.
9. Klien dapat menggunakan
obat-obatan yang
diminum dan
kegunaannya (jenis,
waktu, dosis dan efek).
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara
verbal.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 4:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam), fisik 2 (pukul
bantal /kasur), cara verbal.
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan cara
spiritual.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
SP 5:
1. Evaluasi kemampuan klien
mengontrol perilaku
kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam), fisik 2 (pukul
bantal /kasur), cara verbal,
cara spiritual.
2. Latih cara kontrol perilaku
kekerasan dengan minum
obat teratur.
3. Bimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
60
4.6 Penatalaksanaan
Diagnosa
Keperaw
atan
IMPLEMENTASI
23 Mei 2017 24 Mei
2017
25 Mei
2017
26 Mei 2017 27 Mei 2017
KLIEN 1
Resiko
perilaku
kekerasan
SP 1:
1. Membina
hubungan
saling
percaya.
2. Mengide
ntifikasi
penyebab
marah.
3. Mengide
ntifikasi
tanda dan
gejala
perilaku
kekerasan
.
4. Mengide
ntifikasi
perilaku
kekerasan
yang
biasa
dilakukan
.
5. Mengide
ntifikasi
akibat
perilaku
kekerasan
yang
biasa
dilakukan
.
6. Mengide
ntifikasi
cara
mengontr
ol
perilaku
kekerasan
.
7. Melatih
cara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan
SP 2:
1. Mengev
aluasi
kemamp
uan
klien
mengont
rol
perilaku
kekerasa
n
dengan
cara
fisik 1
(nafas
dalam).
2. Melatih
cara
kontrol
perilaku
kekerasa
n
dengan
cara
fisik 2
(pukul
bantal/
kasur).
3. Membi
mbing
klien
memasu
kkan
dalam
jadwal
kegiatan
harian.
SP 3:
1. Menge
valuasi
kemam
puan
klien
mengo
ntrol
perilak
u
kekeras
an
dengan
cara
fisik 1
(nafas
dalam)
dan
fisik 2
(pukul
bantal
/kasur).
2. Melatih
cara
kontrol
perilak
u
kekeras
an
dengan
cara
verbal.
3. Membi
mbing
klien
memas
ukkan
dalam
jadwal
kegiata
n
harian.
SP 4:
1. Mengevaluasi
kemampuan
klien
mengontrol
perilaku
kekerasan
dengan cara
fisik 1 (nafas
dalam), fisik 2
(pukul bantal
/kasur), cara
verbal.
2. Melatih cara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan cara
spiritual.
3. Membimbing
klien
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan
harian.
SP 5:
1. Mengevalua
si
kemampuan
klien
mengontrol
perilaku
kekerasan
dengan cara
fisik 1
(nafas
dalam), fisik
2 (pukul
bantal
/kasur), cara
verbal, cara
spiritual.
2. Melatih cara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan
minum obat
teratur.
3. Membimbin
g klien
memasukka
n dalam
jadwal
kegiatan
harian.
62
KLIEN2
Resiko
perilaku
kekerasan
SP 1:
1. Membina
hubungan
saling
percaya.
2. Mengident
ifikasi
penyebab
marah.
3. Identifikas
i tanda dan
gejala
perilaku
kekerasan.
4. Mengident
ifikasi
perilaku
kekerasan
yang biasa
dilakukan.
5. Mengident
ifikasi
akibat
perilaku
kekerasan
yang biasa
dilakukan.
6. Mengident
ifikasi cara
mengontro
l perilaku
kekerasan.
7. Melatih
cara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan
cara fisik 1
(nafas
dalam).
8. Membimbi
ng klien
memasukk
an dalam
jadwal
kegiatan
harian.
SP 2:
1. Mengeva
luasi
kemampu
an klien
mengontr
ol
perilaku
kekerasa
n dengan
cara fisik
1 (nafas
dalam).
2. Melatih
cara
kontrol
perilaku
kekerasa
n dengan
cara fisik
2 (pukul
bantal/
kasur).
3. Membim
bing
klien
memasuk
kan
dalam
jadwal
kegiatan
harian.
SP 3:
1. Mengeval
uasi
kemampua
n klien
mengontro
l perilaku
kekerasan
dengan
cara fisik
1 (nafas
dalam)
dan fisik 2
(pukul
bantal
/kasur).
2. Melatih
cara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan
cara
verbal.
3. Membimb
ing klien
memasukk
an dalam
jadwal
kegiatan
harian.
SP 4:
1. Menge
valuas
i
kema
mpuan
klien
mengo
ntrol
perilak
u
kekera
san
denga
n cara
fisik 1
(nafas
dalam)
, fisik
2
(pukul
bantal
/kasur)
, cara
verbal.
2. Melati
h cara
kontro
l
perilak
u
kekera
san
denga
n cara
spiritu
al.
3. Memb
imbin
g klien
mema
sukka
n
dalam
jadwal
kegiat
an
harian.
SP 5:
1. Mengevaluas
i
kemampuan
klien
mengontrol
perilaku
kekerasan
dengan cara
fisik 1 (nafas
dalam), fisik
2 (pukul
bantal
/kasur), cara
verbal, cara
spiritual.
2. Melatihcara
kontrol
perilaku
kekerasan
dengan
minum obat
teratur.
3. Membimbin
g klien
memasukkan
dalam jadwal
kegiatan
harian.
63
4.7 Evaluasi
Evaluasi HARI 1 HARI 2 HARI 3 HARI 4 HARI 5
KLIEN 1
Resiko
perilaku
kekerasa
n
S:
“baik saya
mau
berbincang
10 menit”
“saya
marah jika
keinginan
saya tidak
dipenuhi
orang tua
saya.”
“saat saya
marah
tubuh saya
terasa panas
dan kepala
saya
pusing.”
“saya
langsung
teriak dan
membantin
g barang
didekat
saya.”
“akibatnya
barang-
barang jadi
berantakan.
”
“saya mau
latihan tarik
nafas
dalam.”
“saya akan
latihan
setiap pagi
jam 07.00.”
O:
Klien
tegang,
pembicaraa
n cepat,
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian
latihan tarik
nafas dalam
jam 07.00
S:
“saya mau
berbincang
10 menit.”
“tadi saya
sudah
latihan tarik
nafas
dalam.”
“saya mau
diajarkan
dan dilatih
cara kontrol
marah
dengan
pukul
bantal/
kasur.”
“nanti
kalau saya
marah, saya
langsung
pukul
bantal
untuk
pelampiasa
n saya.”
“saya mau
latihan
pukul
bantal jam
07.30.”
O:
Klien
mengikuti
instruksi,
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian,
latihan
pukul
bantal/
kasur jam
07.30.
A:
SP2P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
S:
“seperti
biasa kita
berbincang
10 menit
saja.”
“saya
masih
ingat cara
mengontro
l marah
yang
sudah
dilatih
yaitu tarik
nafas
dalam dan
pukul
bantal/
kasur, dan
saya tadi
sudah
latihan.”
“saya mau
dilatih lagi
cara yang
ke-3,
mengontro
l marah
cara
verbal.”
“berarti
kalau saya
kesal dan
marah
sama
orang lain,
saya harus
ungkapkan
dengan
baik-
baik.”
“saya mau
latihan
cara verbal
jam 10.00
setelah
selesai
rehab.”
O:
Klien
kooperatif,
S:
“kita
berbincang 15
menit.”
“saya sudah
latihan tarik
nafas dalam,
pukul bantal
dan latihan
mengungkapka
n rasa kesal
dengan baik-
baik.”
“saya ingin
mengetahui dan
berlatih cara
mengontrol
marah yang ke-
4.”
“saya sudah
bisa berwudu
dan solat.”
“baiklah, jika
saya marah
sebaiknya saya
langsung
istighfar.”
“saya harus
lebih rajin solat
agar tenang dan
tidak mudah
marah.”
“saya akan
lakukan solat
sesuai jadwal
solat setiap
hari.”
O:
Klien tenang,
kooperatif.
A:
SP4P tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan SP5P
tanggal 27 Mei
jam 08.30.
Klien: motivasi
klien untuk
solat 5 waktu,
tepat waktu.
S:
“kita
berbincang 10
menit saja.”
“saya sudah
latihan tarik
nafas dalam,
pukul bantal,
latihan
mengungkapka
n rasa kesal
dengan baik-
baik dan
ibadah.”
“saya mendapat
3 macam obat.”
“menurut saya
manfaat minum
obat teratur
yaitu agar tidak
kambuh.”
“saya minum
obat sehari 2
kali setelah
makan siang
dan makan
malam.”
“oh, yang
warna orange
namanya CPZ,
supaya pikiran
saya tenang dan
tidak marah-
marah lagi.”
“yang warna
putih namanya
THP dan
Risperidon,
supaya saya
rileks dan tidak
tegang.”
“saya akan
meminum obat
sesuai jadwal
dan teratur.”
“saya akan
meminum obat
setelah makan
siang dan
makan malam.”
O:
Klien tengang,
64
pagi.
A:
SP1P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
SP2P
tanggal 24
Mei 2017
jam 08.00
WIB.
Klien:
motivasi
klien untuk
latihan tarik
nafas dalam
sesuai
jadwal.
SP3P
tanggal 25
Mei jam
08.00.
Klien:
motivasi
klien untuk
latihan
pukul
bantal/
kasur
sesuai
jadwal.
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian,
latihan
cara verbal
jam 10.00.
A:
SP3P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
SP4P
tanggal 26
Mei jam
08.30.
Klien:
motivasi
klien
untuk
latihan
mengontro
l marah
cara verbal
sesuai
jadwal.
kooperatif.
A:
SP5P tercapai
P:
Perawat:
evaluasi semua
SP
Klien: motivasi
klien untuk
minum obat
secara teratur
dan tepat
waktu.
KLIEN 2
Resiko
perilaku
kekerasa
n
S:
“saya mau
berbincang
10 menit”
“saya
marah jika
ada orang
yang
meminta
uang
kepada
saya,
padahal
saya tidak
bekerja dan
tidak punya
uang.”
“saat saya
marah
tubuh saya
tegang,
tangan saya
mengepal
ingin
memukul
orang itu.”
“saya
langsung
S:
“baiklah,
kita
berbincang
10 menit
saja ya.”
“tadi pagi
saya sudah
latihan tarik
nafas dalam
jam 06.00.”
“saya mau
dilatih cara
yang ke-2
dengan
pukul
bantal/
kasur.”
“jika saya
marah, saya
akan
langsung
pergi ke
kamar
untuk
memukul
bantal.”
“saya akan
S:
“kita
berbincang
10 menit.”
“saya
sudah
latihan
tarik nafas
dalam dan
pukul
bantal tadi
pagi dan
sekarang
sekarang
saya mau
dilatih
cara ke-3,
mengontro
l dengan
cara
verbal.”
“saya
akan
bicara
baik-baik
jika ada
orang
yang
S:
“kita
berbincang 15
menit.”
“saya tadi
sudah latihan
tarik nafas
dalam, pukul
bantal dan
latihan
mengungkapka
n rasa kesal
dengan baik-
baik.”
“saya ingin
mengetahui dan
berlatih cara
mengontrol
marah yang ke-
4.”
“saya lupa cara
berwudhu dan
solat karena
saya tidak
pernah
melakukannya.
”
“saya mau
S:
“kita
berbincang 10
menit saja.”
“saya sudah
latihan tarik
nafas dalam,
pukul bantal,
latihan
mengungkapka
n rasa kesal
dengan baik-
baik dan
ibadah.”
“saya mendapat
2 macam
obat.”
“menurut saya
manfaat minum
obat teratur
yaitu agar tidak
kambuh dan
agar saya dapat
tidur nyenyak.”
“saya minum
obat sehari 2
kali setelah
makan siang
65
marah dan
memukul
orang itu.”
“akibatnya
tangan saya
sakit dan
dia juga
sakit.”
“saya mau
latihan cara
kontrol
marah
dengan
tarik nafas
dalam.”
“saya akan
latihan
setiap pagi
jam 06.00.”
O:
Klien
tegang,
tatapan
mata tajam,
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian
latihan tarik
nafas dalam
jam 06.00
pagi.
A:
SP1P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
SP2P
tanggal 24
Mei 2017
jam 08.30
WIB.
Klien:
motivasi
klien untuk
latihan tarik
nafas dalam
sesuai
jadwal.
latihan
pukul
bantal
setiap hari
jam 06.30.”
O:
Klien
mengikuti
instruksi
dan
kooperatif,
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian,
latihan
pukul
bantal/
kasur jam
06.30.
A:
SP2P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
SP3P
tanggal 25
Mei jam
09.00.
Klien:
motivasi
klien untuk
latihan
pukul
bantal/
kasur
sesuai
jadwal.
membuat
saya
marah.”
“saya akan
latihan
cara verbal
jam 08.00
pagi.”
O:
Klien
tenang,
kooperatif,
klien
menulis di
buku
kegiatan
harian,
latihan
cara verbal
jam 08.00.
A:
SP3P
tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan
SP4P
tanggal 26
Mei jam
09.00.
Klien:
motivasi
klien
untuk
latihan
mengontro
l marah
cara verbal
sesuai
jadwal.
diajarkan cara
berwudhu dan
solat.”
“jadi manfaat
wudhu untuk
membersihkan
diri dari
kotoran
sebelum
melakukan
solat .”
“saya ingin di
buatkan catatan
bacaan solat
agar saya bisa
belajar solat.”
“saya mau
dilatih tatacara
solat yang
benar.”
“sekarang saya
sudah bisa
berwudhu dan
solat, tetapi
saya belum
hafal
bacaannya.”
“saya akan
belajar
menghafal
bacaan solat
dan saya akan
solat setiap
hari.”
O:
Klien tenang,
kooperatif.
A:
SP4P tercapai.
P:
Perawat:
lanjutkan SP5P
tanggal 27 Mei
jam 09.00.
Klien: motivasi
klien untuk
solat 5 waktu,
tepat waktu.
dan makan
malam.”
“oh, yang
warna orange
namanya CPZ,
supaya pikiran
saya tenang dan
tidak marah-
marah lagi.”
“yang warna
putih namanya
THP, supaya
saya rileks dan
tidak tegang.”
“saya akan
meminum obat
sesuai jadwal
dan teratur.”
“saya akan
meminum obat
setelah makan
siang dan
makan malam.”
O:
Klien tengang,
kooperatif.
A:
SP5P tercapai
P:
Perawat:
evaluasi semua
SP
Klien: motivasi
klien untuk
minum obat
secara teratur
dan tepat
waktu.
66
BAB V
PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan membahas tentang perbandingan antara
tinjauan pustaka dan tinjauan kasus yang disajikan untuk menjawab tujuan
khusus.
5.1 Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses yang sistematis dalam
pengumpulan data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan klien (Direja, 2011). Format pengkajian
meliputi aspek-aspek identitas klien, alasan masuk, faktor predisposisi, fisik,
psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping,
masalah psikososial dan lingkungan, pengetahuan dan aspek medik. Format
pengkajian ini dibuat agar semua data relevan tentang semua masalah klien
saat ini, lampau atau potensial didapatkan sehingga diperoleh suatu data
dasar yang lengkap (Damaiyanti dan Iskandar, 2012).
Pengkajian yang dilakukan oleh penulis pada tanggal 23 Mei 2017
didapatkan data identitas 2 klien yaitu klien 1 bernama Sdr.R, usia 18 tahun,
berjenis kelamin laki-laki, klien masuk rumah sakit pada tanggal 1 Mei
2017. Sedangkan klien 2 bernama Tn.SR, usia 40 tahun, berjenis kelamin
laki-laki, klien masuk rumah sakit pada tanggal 14 Mei 2017, kedua klien di
rawat di bangsal gatotkaca.
67
Alasan masuk Sdr.R yaitu sering marah-marah, merusak barang-
barang rumah tangga, sering mengamuk. Sedangkan alasan Tn.SR dibawa
ke rumah sakit jiwa karena marah-marah tanpa sebab, suka membanting
barang, suka mengancam orang lain, sering mondar-mandir dan bingung.
Hal ini sesuai dengan tanda dan gejala resiko perilaku kekerasan yaitu: suka
marah, pandangan mata tajam, otot tegang, nada suara tinggi, berdebat,
sering memaksakan kehendak, gelisah, mondar-mandir, tidak dapat duduk
tenang, merusak lingkungan, mengamuk (Prabowo, 2014).
Faktor predisposisi perilaku kekerasan terdapat beberapa teori yang
menjadi penyebab munculnya perilaku kekerasan, salah satunya dari segi
psikologis (Prabowo, 2014). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pada
anak dapat menimbulkan berbagai persoalan baik dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam jangka pendek seperti: ancaman terhadap
keselamatan hidup anak, merusak struktur keluarga, munculnya berbagai
gangguan mental. Sedangkan dalam jangka panjang memunculkan potensi
anak terlibat dalam perilaku kekerasan dan pelecehan dimasa depan, baik
sebagai pelaku maupun korbannya (Margaretha et al. 2013). Berdasarkan
teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan data pengkajian faktor
predisposisi yang ditemukan pada Sdr.R dimana klien pernah menjadi
korban KDRT pada usia 12 tahun karena klien tidak mau melanjutkan
sekolahnya dan klien pernah melakukan aniaya fisik terhadap bapaknya
karena klien dilarang balapan motor. Menurut Direja (2011), faktor yang
berhubungan dengan masalah perilaku kekerasan dapat terjadi karena
stimulus lingkungan dan putus obat, hal ini sama dengan data pengkajian
68
faktor predisposisi yang ditemukan pada Tn.SR dimana klien pernah
mengalami gangguan jiwa setahun yang lalu dan pengobatan sebelumnya
kurang berhasil karena klien tidak rutin kontrol dan kondisi ekonomi
keluarga yang kurang mampu untuk mencukupi biaya perawatan dan
pengobatan klien.
Menurut Direja (2011), dalam pengkajian faktor presipitasi yaitu
seseorang akan marah jika dirinya merasa terancam, baik berupa injuri
secara fisik, psikis atau ancaman konsep diri. Faktor pencetus perilaku
kekerasan antara lain kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan,
masa lalu yang tidak menyenangkan, penghinaan, kehilangan orang yang
berarti, kesulitan kondisi sosial ekonomi, permasalahan diri klien sendiri
maupun faktor eksternal dari lingkungan. Dari pengkajian Sdr.R didapatkan
datafaktor terjadinya gangguan jiwa yaitu pacar klien direbut oleh temannya
sendiri. Sedangkan dari Tn.SR didapatkan data faktor terjadinya gangguan
jiwa yaitu klien di PHK dari tempat kerjanya.
Konsep diri di definisikan sebagai semua pikiran, keyakinan, dan
kepercayaan yang merupakan pengetahuan individu tentang dirinya yang
mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri tidak terbentuk
waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil pengalaman unik seseorang dalam
dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan realitas dunia. Harga diri (self
esteem) merupakan penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh
dengan menganalisis seberapa sesuai perilaku dirinya dengan ideal diri.
69
Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berasal dari peneriman
diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan, dan
kegagalan, tetap merasa seseorang yang penting dan berharga. Harga diri
rendah merupakan perasaan negatif terhadap dirinya sendiri termasuk
kehilangan percaya diri, tidak berharga, tidak berguna, pesimis, tidak ada
harapan dan putus asa (Stuart, 2006 dalam Gumilar, 2016).
Menurut Towsend (1998 dalam Nengsi, 2014), harga diri rendah
adalah perilaku negatif terhadap diri dan perasaan tentang diri atau
kemampuan diri yang negatif, yang dapat diekspresikan secara langsung
maupun tak langsung. Harga diri klien yang rendah menyebabkan klien
merasa malu, dianggap tidak berharga dan berguna. Klien kesal kemudian
marah dan kemarahan tersebut diekspresikan secara tak konstruktif, seperti
memukul orang lain, membanting-banting barang atau mencederai diri
sendiri. Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan
data pengkajian konsep diri harga diri yang ditemukan pada kasus klien
Sdr.R yaitu klien merasa kurang diterima di masyarakat karena klien sering
mengamuk. Sedangkan pada kasus Tn.SR yaitu selama dirumah klien
merasa malu dan minder karena dianggap orang stress, klien lebih senang
menyendiri dirumah, dan klien selalu merasa bahwa dirinya selalu
merepotkan kedua orang tuanya.
Menurut Achlis (2011 dalam Fauziah & Latipun, 2016)
keberfungsian sosial merupakan kemampuan individu melaksanakan tugas
dan perannya dalam berinteraksi dengan situasi sosial tertentu yang
bertujuan mewujudkan nilai diri untuk mencapai kebutuhan hidup. Terdapat
70
beberapa faktor yang dapat mempengaruhi keberfungsian sosial individu
yaitu, adanya kebutuhan yang tidak terpenuhi, individu mengalami frustasi
dan kekecewaan, keberfungsian sosial juga dapat menurun akibat individu
mengalami gangguan kesehatan, rasa duka yang berat, atau penderitaan lain
yang disebabkan bencana alam (Ambari, 2010 dalam Fauziah & Latipun,
2016). Berdasarkan teori yang telah disampaikan tersebut sama dengan data
pengkajian hubungan sosial yang ditemukan pada kasus kedua klien yaitu
klien tidak mempunyai peran serta dalam kegiatan kelompok masyarakat
karena klien malu jika dirinya dianggap orang stress sehingga klien tidak
mau bergaul. Hambatan yang dialami kedua klien untuk berhubungan atau
berinteraksi dengan orang lain yaitu masyarakat mengucilkan klien karena
dirinya sering mengamuk dan klien merasa bahwa orang lain tidak suka
dengannya.
Data yang didapat dari pengkajian spiritual, kedua klien mengatakan
beragama islam, tetapi terdapat perbedaan pada kegiatan ibadah pada
masing-masing klien yaitu Sdr.R rajin beribadah dengan solat 5 waktu,
sedangkan Tn.SR tidak pernah beribadah. Penelitian psikiatrik
membuktikan bahwa terdapat hubungan yang sangat signifikan antara
komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat religius dan taat
menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau mampu mengatasi
penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan penyakit lebih cepat
(Zainul Z, 2007 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015).
Pada pengkajian status mental, data yang bermasalah pada kedua
klien antara lain: penampilan, pembicaraan, aktifitas motorik, alam
71
perasaan, afek, interaksi selama wawancara, proses pikir, tingkat kesadaran
dan disorientasi, memori. Penampilan kedua klien terlihat tidak rapi. Klien
terlihat selalu menggunakan baju yang sama setiap hari, terkadang di dobel
dengan baju dari rumah sakit. Adanya hubungan antara resiko perilaku
kekerasan dengan penurunan kemampuan perawatan diri klien. Fungsi
fisiologis pasien seperti halnya kemampuan melakukan perawatan diri
sering kali terpengaruh akibat adanya masalah emosional. Akibat masalah
emosional, seseorang menjadi malas makan, malas mandi, malas berganti
baju/ berhias (Jalil, 2015).
Pembicaraan, cara bicara kedua klien keras dan nada suara tinggi.
Aktivitas motorik kedua klien sama yaitu terlihat tegang, gelisah, mondar-
mandir, tidak dapat duduk tenang, sering berpindah tempat duduk. Alam
perasaan, Sdr. R merasa sedih karena tidak mempunyai teman sedangkan
Tn.SR merasa sedih karena tidak bisa bekerja. Afek kedua klien labil, emosi
mereka berubah dengan cepat. Interaksi selama wawancara, saat
berinteraaksi dengan kedua klien, mereka mudah tersinggung, curiga,
pandangan mata tajam, dan memberi kata-kata ancaman ingin memukul dan
melukai. Proses pikir, Sdr. R tidak mengalami sirkumtansial maupun
tangensial, pembicaraan klien jelas, tidak terbelit-belit, sampai pada tujuan
pembicaraan. Sedangkan Tn. SR mengalami sirkumtansial, saat wawancara,
pembicaraan klien terbelit tetapi sampai pada tujuan pembicaraan.
Tingkat kesadaran dan disorientasi, tingkat kesadaran kedua klien
yaitu sadar penuh, tetapi Tn. SR mengalami disorientasi tempat dan waktu,
saat ditanya nama ruangan dan hari, tanggal klien tidak bisa menjawab.
72
Sedangkan Sdr.R tidak mengalami disorientasi, klien mampu mengingat dan
dapat menyebutkan nama tempat dan waktu. Memori, Sdr.R tidak
mengalami gangguan daya ingat, sedangkan Tn.SR mengalami gangguan
daya ingat jangka panjang, saat di tanya tanggal masuk rumah sakit, siapa
yang membawa ke rumah sakit jiwa, klien tidak bisa menjawab.
Perencanaan pulang merupakan bagian penting dari program
pengobatan klien yang dimulai dari saat klien masuk rumah sakit. Hal ini
merupakan proses yang menggambarkan usaha kerjasama antara tim
kesehatan, keluarga, klien, dan orang yang penting bagi klien (Yosep,
2007). Pengkajian kebutuhan persiapan pulang, didapatkan data sebagai
berikut: Makan, kedua klien makan 3x sehari dengan menu yang disediakan
dari rumah sakit, klien mampu makan secara mandiri dan klien selalu
mencuci piringnya setelah selesai makan.
BAB/ BAK, kedua klien mampu melakukan BAB/ BAK secara
mandiri. Mandi, Sdr.R dapat mandi secara mandiri, sedangkan Tn.SR
membutuhkan bantuan minimal untuk di motivasi, selesai mandi terkadang
klien lupa dan malas untuk mengeringkan badannya dengan handuk.
Berpakaian/ berhias, kedua klien membutuhkan bantuan minimal dalam
berpakaian karena klien harus di motivasi untuk ganti baju, dan memotivasi
klien agar tidak menggunakan baju dobel-dobel, cukup menggunakan 1 baju
yang bersih.
Istirahat dan tidur, kedua klien tidur siang selama 1-2 jam, tidur
malam selama 7-8 jam, tidak ada aktivitas khusus sebelum atau sesudah
tidur. Dalam penggunaan obat, kedua klien membutuhkan bantuan minimal
73
yaitu klien harus diingatkan untuk meminum obatnya, klien diberi obat 2x
sehari. Pemeliharaan kesehatan dan sistem dukungan, kedua klien berusaha
untuk rutin minum obat dan kontrol, klien mendapat dukungan penuh dari
keluarga. Aktivitas didalam rumah, Sdr.R mampu menjaga kerapian
ruangan dengan cara menyapu jika ada kotoran, klien juga selalu mencuci
piring setelah selesai makan. Klien mengatakan nanti kalau sudah pulang ke
rumah, dia akan membantu pekerjaan orang tuanya seperti mencuci baju,
menyapu rumah ataupun lainnya. Tn.SR ,saat di rumah sakit, klien selalu
mencuci piring setelah selesai makan. Aktivitas di luar rumah, Sdr.R saat di
rumah sakit, klien rajin mengikuti rehabilitasi setiap pagi, klien mengatakan
jika sudah pulang ke rumah nanti klien akan melanjutkan sekolahnya.
Tn.SR saat di rumah sakit, klien tidak mengikuti rehabilitasi karena belum
di ijinkan dokter, klien mengatakan jika sudah pulang ke rumah nanti klien
akan mencari pekerjaan.
Pengkajian mekanisme koping kedua klien yaitu maladapif, klien
mengatakan jika mempunyai masalah klien langsung marah-marah, jika
sudah tidak tahan lagi klien kemudian mengamuk atau merusak barang yang
ada di sekitar nya. Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme koping klien
sehingga dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping
yang konstruktif dalam mengekspresikan marahnya (Dermawan & Rusdi,
2013).
Pengkajian masalah psikososial dan lingkungan, Sdr.R mempunyai
masalah dengan lingkungan, klien mengatakan semenjak dirinya marah-
marah dan mengamuk, lingkungan masyarakat tidak mau menerima klien
74
dan hal ini membuat klien lebih senang menyendiri. Masalah dengan
pendidikan, klien mengatakan pernah tidak mau melanjutkan sekolah.
Tn.SR mempunyai masalah dengan lingkungan, klien mengatakan setelah
klien di PHK, klien jarang bergaul dengan tetangganya. Masalah dengan
pekerjaan, klien mengatakan sudah di PHK dari tempat kerjanya dan sampai
sekarang klien menjadi pengangguran. Masalah ekonomi, semenjak klien di
PHK, klien dan keluarganya sangat kekurangan dalam hal ekonomi.
Masalah psikososial dan lingkungan pasien dapat mempengaruhi diagnosis,
penanganan, serta prognosis gangguan mental. Masalah psikososial dan
lingkungan dapat berupa pengalaman hidup yang tidak baik, kesulitan atau
defisiensi lingkungan, stres interpersonal ataupun familial, kurangnya
dukungan sosial atau penghasilan pribadi, ataupun masalah lain yang
berkaitan dengan kesulitan seseorang untuk dapat berkembang (Lubis, dkk,
2016).
Pengkajian tentang pengetahuan, Sdr.R tidak mengetahui tentang
penyakit jiwa. Tn.SR tidak mengetahui tentang penyakit jiwa, koping dan
obat-obatan. Aspek medik, diagnosa medis kedua klien yaitu skizofrenia tak
terinci F.20.3. Terapi medis yang di berikan kepada Sdr.R yaitu Risperidon
2x2mg, Trihexyphenidyl (THP) 2x2mg, Chlorpromazine (CPZ) 2x100mg.
Terapi medis yang di berikan kepada Tn.SR yaitu Trihexyphenidyl (THP)
2x2mg, Chlorpromazine (CPZ) 1x100mg.
Trihexyphenidyl (THP) merupakan jenis obat pada pengobatan
segala bentuk parkinson karena pengaruh obat untuk susunan syaraf, efek
75
sampingnya adalah mulut kering, pusing, mual, muntah, bingung, takikardi
(Elin, 2014).
Chlorpromazine (CPZ) adalah obat yang termasuk golongan
antispikotik generasi pertama (tipikal), obat ini digunakan untuk menangani
berbagai gangguan mental seperti skizofrenia dan gangguan psikosis yang
lainnya, perilaku agresif yang membahayakan pasien atau orang lain,
kecemasan, kegelisahan yang parah. Kebanyakan antipsikotik golongan
tipikal mempunyai afinitas tinggi dalam menghambat reseptor dopamin 2,
hal inilah yang diperkirakan menyebabkan reaksi ekstrapiramidal yang kuat.
Golongan antipsikotik tipikal umumnya hanya berespons untuk gejala
positif. Selain itu antipsikotik tipikal juga memiliki tempat dalam
manajemen psikosis, antara lain untuk pasien yang kurang mampu atau pada
pasien yang sudah mengalami perbaikan (kemajuan) yang pesat
menggunakan antipsikotik tipikal tanpa efek samping yang berarti (Irwan,
dkk, 2008).
Risperidon merupakan antispikotik generasi kedua (atipikal) yang
diindikasikan untuk terapi skizofrenia baik untuk gejala negatif maupun
positif. Obat golongan atipikal pada umumnya mempunyai afinitas yang
lemah terhadap dopamin 2, selain itu juga memiliki afinitas terhadap
reseptor dopamin 4, serotonin, histamin, reseptor muskarinik dan reseptor
alfa adrenergik. Untuk efek samping ekstrapiramidal umumnya lebih ringan
dibandingkan dengan antipsikosis tipikal atau antipsikotik generasi pertama
(FKUI, 2007 dalam Yulia, dkk 2013). Antipsikotik golongan atipikal
merupakan terapi pilihan untuk penderita skizofrenia serangan pertama
76
karena efek samping yang ditimbulkan minimal dan resiko untuk terkena
tardivedyskinesia dimana terjadi pergerakan mulut yang tidak dapat
dikontrol lebih rendah (Irwan, dkk, 2008).
Penggunaan kombinasi antipsikotik generasi pertama (tipikal) dan
antipsikotik generasi kedua (atipikal) merupakan kombinasi yang paling
banyak diberikan, karena antipsikotik generasi pertama dapat memperbaiki
gejala positif dari skizofrenia, namun umumnya tidak memperbaiki gejala
negatif. Sedangkan antipsikotik generasi kedua dapat memperbaiki gejala
positif dan negatif dari skizofrenia dan lebih efektif mengobati pada pasien
yang resisten (upaya untuk melawan) (Yulianty, dkk, 2017).
Terdapat perbedaan dalam terapi medis. Pada Sdr.R diberi obat
risperidon karena klien baru pertama kali di rawat di rumah sakit jiwa. Hal
ini sesuai dengan teori bahwa antipsikotik golongan atipikal merupakan
terapi pilihan untuk penderita skizofrenia serangan pertama karena efek
samping yang ditimbulkan minimal, sedangkan Tn.SR tidak di beri obat
risperidon karena klien sudah mengalami kemajuan yang pesat dengan
menggunakan Chlorpromazine (antipsikotik tipikal) tanpa efek samping
yang berarti.
Lama perawatan merupakan salah satu unsur yang digunakan untuk
melihat dan mengukur seberapa efektif dan efisiennya pelayanan kesehatan
jiwa yang telah diberikan kepada pasien (Mirza, dkk, 2015). Klien yang
dirawat di rumah sakit jiwa mempunyai rata-rata lama hari rawat yang
tinggi yaitu 54 hari dan klien yang paling lama dirawat adalah skizofrenia
yaitu 65 hari (DepKes, 2000 dalam Budi, 2003). Menurut Boyd dan Nikart
77
(1998, dalamBudi, 2003) pembagian lama rawat klien dengan skizofrenia
dibagi menjadi 4 (empat) yaitu brief short term (< 7 hari), very short term
(7-14 hari), traditional short term (15-21 hari) dan long term care (> 21-120
hari). Kemampuan klien dalam mengontrol perilaku kekerasan dapat
dipengaruhi oleh berbagai faktor baik eksternal maupun internal. Salah satu
faktor eksternal adalah lama hari rawat. Namun pada kenyataannya masih
banyak klien yang belum bisa mengontrol perilaku kekerasan meskipun
mendapatkan perawatan yang lama. Pada pengkajian didapatkan data lama
rawat pada Sdr.R yaitu 22 hari (long term care), sedangkan Tn.SR 9 hari
(very short term).
5.2 Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang dibuat oleh perawat
profesional yang memberi gambaran tentang masalah atau status kesehatan
klien, baik aktual maupun potensial, yang ditetapkan berdasarkan analisa
dan interpretasi data hasil pengkajian. Pernyataan diagnosis keperawatan
harus jelas, singkat, dan lugas terkait masalah kesehatan klien berikut
penyebabnya yang dapat diatasi melalui tindakan keperawatan (Asmadi,
2008).
Menurut Dermawan & Rusdi (2013), masalah keperawatan yang
mungkin muncul untuk masalah perilaku kekerasan adalah harga diri
rendah, perilaku kekerasan/ resiko perilaku kekerasan, koping individu tidak
efektif, perubahan persepsi sensori: halusinasi, dan resiko mencederai diri
sendiri, orang lain dan lingkungan.
78
Diagnosa utama yang diangkat pada Sdr.R dan Tn.SR yaitu resiko
perilaku kekerasan, diagnosa ini didukung dengan data subjektif kedua klien
sering marah-marah, merusak barang-barang rumah tangga, sering
mengamuk. Kemudian data objektifnya klien terlihat tegang, mudah
tersinggung, curiga, afek labil. Diagnosa ini diambil sebagai prioritas utama
karena pada saat pengkajian data-data diatas yang paling aktual
dibandingkan dengan diagnosa harga diri rendah.
Dalam pohon masalah dijelaskan bahwa yang menjadi core problem
adalah perilaku kekerasan, etiologinya yaitu harga diri rendah, dan sebagai
efek yaitu resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan (Fitria,
2009). Berdasarkan teori yang disebutkan ada perbedaan dengan kasus, pada
kasus yang menjadi core problem adalah resiko perilaku kekerasan. Resiko
perilaku kekerasan atau agresif yaitu perilaku yang menyertai marah dan
merupakan dorongan individu untuk menuntut suatu yang dianggapnya
benar dalam bentuk destruktif tapi masih terkontrol (Prabowo, 2014).
5.3 Intervensi
Perencanaan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan
khusus dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada
penyelesaian permasalahan dari diagnosis tertentu, tujuan umum dapat
dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Tujuan khusus
berfokus pada penyelesaian etiologi dari diagnosis tertentu (Direja, 2011).
Intervensi keperawatan yang dilakukan pada Sdr.R dan Tn.SR
berdasarkan pada teori keperawatan jiwa, dimana terdapat tujuan umum
79
yaitu klien dapat mengontrol perilaku kekerasan dan terdapat sembilan
tujuan khusus yaitu tujuan khusus pertama yaitu klien dapat membina
hubungan saling percaya. Rasionalnya hubungan saling percaya merupakan
landasan utama untuk hubungan selanjutnya. Tujuan khusus kedua yaitu
dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan. Rasionalnya memberi
kesempatan untuk mengungkapkan perasaan dapat membantu mengurangi
stress dan penyebab perasaan jengkel/kesal dapat diketahui. Tujuan khusus
ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
Rasionalnya untuk mengetahui hal yang dialami dan dirasakan saat jengkel,
untuk mengetahui tanda-tanda klien jengkel/kesal, menarik kesimpulan
bersama klien supaya klien mengetahui secara garis besar tanda-tanda
marah. Tujuan khusus keempat yaitu klien dapat mengidentifikasi perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan. Rasionalnya untuk mengetahui perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa
membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Intervensi keperawatan selanjutnya pada tujuan khusus kelima yaitu
klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Rasionalnya dengan
mengetahui akibat perilaku kekerasan diharapkan klien dapat merubah
perilaku destruktif yang dilakukannya menjadi perilaku yang konstruktif.
Tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara mengontrol
perilaku kekerasan. Rasionalnya dapat membantu klien menemukan cara
yang baik untuk mengurangi kejengkelannya. Tujuan khusus ketujuh yaitu
klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Rasionalnya Agar klien mengetahui cara marah yang konstruktif. Tujuan
80
khusus kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga dalam
mengontrol perilaku kekerasan. Rasionalnya kemampuan keluarga dalam
mengidentifikasi akan memungkinkan keluarga untuk melakukan penilaian
terhadap perilaku kekerasan. Tujuan khusus kesembilan yaitu klien dapat
menggunakan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu,
dosis dan efek). Rasionalnya klien dan keluarga dapat mengetahui nama-
nama obat, kegunaan obat, prinsip benar minum obat, efek samping obat
yang diminum oleh klien (Damaiyanti & Iskandar, 2012). Dalam rencana
keperawatan yang penulis susun pada masalah keperawatan Sdr.R dan
Tn.SR, penulis sesuaikan dengan teori diatas.
5.4 Implementasi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan
keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan,
perawat perlu memvalidasi dengan singkat, apakah rencana tindakan masih
sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini. Semua tindakan yang telah
dilaksanakan beserta respon klien didokumentasikan (Prabowo, 2014).
Salah satu jenis standar operasional prosedur yang digunakan untuk
menangani pasien gangguan jiwa yaitu menggunakan strategi pelaksanaan
(SP) tindakan keperawatan pada pasien gangguan jiwa. Strategi pelaksanaan
tindakan keperawatan merupakan standar model pendekatan asuhan
keperawatan untuk klien dengan gangguan jiwa. Menurut Damaiyanti &
Iskandar (2012), strategi pelaksanaan klien dengan resiko perilaku
kekerasan ada lima yaitu strategi pelaksanaan pertama melatih cara
mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara fisik pertama yaitu nafas
81
dalam. Strategi pelaksanaan kedua melatih cara mengendalikan perilaku
kekerasan dengan cara fisik kedua yaitu dengan cara pukul bantal/ kasur.
Strategi pelaksanaan ketiga membantu klien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan secara verbal. Strategi pelaksanaan keempat membantu klien
latihan mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara spiritual. Strategi
pelaksanaan kelima membantu klien latihan mengendalikan perilaku
kekerasan dengan minum obat. Teori tersebut sesuai dengan yang penulis
lakukan.
Penulis melaksanakan strategi pelaksanaan 1 pada hari Selasa
tanggal 23 Mei 2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, sedangkan
Tn.SR pukul 08.30 WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 1 antara lain:
membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab marah,
mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi
perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, mengidentifikasi akibat perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan, mengidentifikasi cara mengontrol perilaku
kekerasan, melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1
(nafas dalam), membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan
harian.
Saat pemberian strategi pelaksanaan 1, Sdr.R lebih cepat menangkap
apa yang perawat instruksikan, sedangkan Tn.SR membutuhkan 2-3 kali
contoh nafas dalam, sebelum klien melakukan tarik nafas dalam dengan
benar.
82
Teknik relaksasi nafas dalam tidak saja menyebabkan efek yang
menenangkan fisik tetapi juga menenangkan pikiran. Oleh karena itu
beberapa teknik relaksasi seperti nafas dalam dapat membantu untuk
meningkatkan kemampuan berkonsentrasi, kemampuan mengontrol diri,
menurunkan emosi, dan depresi (Handoyo, 2009). Penelitian yang dilakukan
oleh kustamti dan widodo (2008) juga menunjukkan bahwa ada pengaruh
teknik relaksasi yang berhubungan dengan pasien perilaku kekerasan salah
satunya adalah relaksasi nafas dalam dan penelitian tersebutkan
mendapatkan hasil bahwa ada pengaruhnya.
Strategi pelaksanaan 2 dilaksanakan pada hari Rabu tanggal 24 Mei
2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, Tn.SR pukul 08.30 WIB.
Tindakan strategi pelaksanaan 2 antara lain: mengevaluasi kemampuan
klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas dalam),
melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 2 (pukul bantal/
kasur), membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Saat pemberian strategi pelaksanaan 2, kedua klien dapat melakukan
pukul bantal dengan benar tanpa di beri contoh berulang-ulang dari perawat.
Tn.SR mengatakan menyukai cara ini karena dapat melampiaskan marahnya
dengan memukul bantal.
Teknik memukul bantal memiliki pengaruh dalam menurunkan
status emosi: marah pada klien skizofrenia. Teknik memukul bantal
dimaksudkan untuk memulihkan gangguan perilaku yang terganggu
(maladaptif) menjadi perilaku yang adaptif (mampu menyesuaikan diri).
83
Kemampuan adaptasi penderita perlu dipulihkan agar penderita mampu
berfungsi kembali secara wajar (Kaplan dan Sadock, 2005). Untuk
mengurangi resiko melakukan mencinderai diri atau orang lain dikarenakan
status emosi pasien, maka perlu dilakukan terapi yang berguna untuk
menyalurkan energi yang konstruktif dengan cara fisik, salah satunya adalah
teknik memukul bantal (Keliat, 2002). Teknik ini digunakan agar energi
marah yang dialami oleh pasien dapat tersalurkan dangan baik sehingga
tidak menciderai diri dengan orang lain dan adaptasi menjadi adaptif.
Adapun cara teknik memukul bantal yaitu dengan posisi duduk, bantal
diletakkan di pangkuan, tarik nafas dalam, tahan kemudian ditahan sejenak,
tangan mengepal dan pukulkan pada bantal sekencang-kencangnya.
Strategi pelaksanaan 3 dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 25 Mei
2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.00 WIB, Tn.SR pukul 09.00 WIB.
Tindakan strategi pelaksanaan 3 antara lain: mengevaluasi kemampuan
klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas dalam) dan
fisik 2 (pukul bantal /kasur), melatih cara kontrol perilaku kekerasan dengan
cara verbal, membimbing klien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Saat pemberian strategi pelaksanaan 3, kedua klien dapat mempraktekkan
cara menolak dengan baik, meminta dengan baik, dan mengungkapkan
perasaan dengan baik.
Strategi pelaksanaan 4 dilaksanakan pada hari Jum‟at tanggal 26 Mei
2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.30 WIB, sedangkan Tn.SR pukul 09.00
WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 4 antara lain: mengevaluasi
kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas
84
dalam), fisik 2 (pukul bantal /kasur), cara verbal, melatih cara kontrol
perilaku kekerasan dengan cara spiritual, membimbing klien memasukkan
dalam jadwal kegiatan harian.
Pada saat pelaksanaan strategi pelaksanaan 4 terdapat perbedaan dari
kedua klien. Sdr.R sudah mampu melakukan ibadah sedangkan Tn.SR
belum bisa melakukan ibadah, berdasarkan pengkajian spiritual Sdr.R
sebelum sakit memang klien jarang beribadah karena malas, tetapi saat sakit
klien mulai rajin beribadah, sedangkan Tn.SR mengatakan bahwa dirinya
tidak pernah beribadah.
Penelitian psikiatrik membuktikan bahwa terdapat hubungan yang
sangat signifikan antara komitmen agama dan kesehatan. Orang yang sangat
religius dan taat menjalankan ajaran agamanya relatif lebih sehat dan atau
mampu mengatasi penderitaan penyakitnya sehingga proses penyembuhan
penyakit lebih cepat (Sulistyowati & Prihantini, 2015). Dengan terapi
Psikoreligi jika dilaksanakan secara lebih maksimal atau khusuk akan
menjadi tindakan yang efektif menurunkan perilaku kekerasan pada pasien
skhizofrenia di Rumah Sakit Jiwa (RSJ). Terapi psikoreligi berpengaruh
menurunkan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia. Penurunan ini
meliputi penurunan pada respon fisik. Didalam ajaran agama manapun
bahwa sesorang yang akan melakukan Doa, Dzikir dan mengikuti ceramah
agama disunahkan untuk mensucikan diri, khusus dalam ajaran islam
(berwudhlu).
Menurut H.R Buchori Muslim bahwa air wudhlu dapat merangsang
syaraf yang ada pada tubuh kita. Dengan demikian aliran darah yang ada
85
pada tubuh kita menjadi lancar, sehingga tubuh kita akan menjadi rilek dan
akan menurunkan ketegangan. Dimana jika kondisi tegang tidak segera
dinetralisir akan berdampak kemarahan. Kemarahan merupakan salah satu
tanda dari perilaku kekerasan. Hal ini juga didukung oleh pendapat Ilham
(2008), bahwa terapi psikoreligi yang meliputi doa-doa, dzikir, ceramah
keagamaan, dan lain-lain dapat meningkatkan kekebalan dan daya tahan
dalam menghadapi berbagai problem kehidupan yang merupakan stressor
psikososial guna peningkatan integrasi kesehatan jiwa. Dari sudut ilmu
kedokteran jiwa atau keperawatan jiwa atau kesehatan jiwa, doa dan dzikir
merupakan terapi psikiatrik setingkat lebih tinggi daripada psikoterapi biasa.
Dengan demikian orang yang mengikuti terapi psikoreligi akan membatasi
geraknya karena dia berfokus pada kegiatanya sehingga dapat mengurangi
agresif fisik klien (Videbecck, 2008).
Pendekatan keagamaan dalam praktek kedokteran dan keperawatan
dalam dunia kesehatan, bukan untuk tujuan mengubah keimanan seseorang
terhadap agama yang sudah diyakininya, melainkan untuk membangkitkan
kekuatan spiritual dalam menghadapi penyakit merupakan terapi
psikoreligius (Yosep, 2009). Dengan terapi psikoreligi akan melakukan
kontrol terhadap emosi yang mempengaruhi proses fikir serta ketegangan
otot (Stuart& Laraia, 2005 dalam Sulistyowati & Prihantini, 2015). Dengan
demikian terapi Psikoreligi mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
penurunan perilaku kekerasan pada pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa
Surakarta (Videbecck, 2008).
86
Strategi pelaksanaan 5 dilaksanakan pada hari Sabtu tanggal 27 Mei
2017, untuk Sdr.R pada pukul 08.30 WIB, sedangkan Tn.SR pukul 09.00
WIB. Tindakan strategi pelaksanaan 5 antara lain: mengevaluasi
kemampuan klien mengontrol perilaku kekerasan dengan cara fisik 1 (nafas
dalam), fisik 2 (pukul bantal /kasur), cara verbal, cara spiritual, melatih cara
kontrol perilaku kekerasan dengan minum obat teratur, membimbing klien
memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
Saat pemberian strategi pelaksanaan 5, Sdr.R lebih mudah
memahami penjelasan perawat dan dapat menyebutkan nama obat, warna
obat, dan kegunaan obat yang di konsumsinya, sedangkan Tn.SR sulit
memahami penjelasan perawat, perlu beberapa kali perawat mengulang
penjelasannya sampai klien benar- benar paham.
Penelitian Pardede, dkk, (2015) mendapatkan hasil yang meningkat
setelah diberikan pendidikan kesehatan minum obat, yaitu terjadi penurunan
gejala pada resiko perilaku kekerasan. Hasil penelitian menunjukkan terjadi
penurunan antara sebelum dan setelah diberikan terapi, Hasil penelitian
menunjukkan pendidikan kesehatan kepatuhan minum obat lebih ampuh
untuk menurunkan gejala resiko perilaku kekerasan.
Potter dan Perry (2006 dalam Yuliantika, 2012) menyatakan
kepatuhan sebagai ketaatan pasien dalam melaksanakan tindakan terapi.
Kepatuhan pasien berarti bahwa pasien beserta keluarga harus meluangkan
waktu dalam menjalankan pengobatan yang dibutuhkan termasuk dalam
menjalani program farmakoterapi. Mematuhi program pengobatan pada
tahap awal mengalami serangan dapat meminimalisasi deteriorasi
87
(kemunduran mental) karena dalam keadaan psikotik yang lama akan
menimbulkan deteriorasi kronik. Apabila pasien mengalami keadaan
detoriorasi kronik, akan selalu ketergantungan dalam memenuhi kebutuhan
dasarnya, pasien menjadi menyusahkan orang lain, lingkungan, masyarakat,
dan keluarga. Sangat diharapkan kepatuhan pasien dalam pelaksanaan
minum obat, pasien yang tidak patuh dalam pelaksanaan minum obat
disebabkan oleh beberapa faktor seperti pengetahuan pasien, dukungan
keluarga, dan faktor ekonomi, hal ini mengakibatkan koping individu yang
tidak efektif sehingga perilaku dan sikapnya mengarah ke destruktif diri.
Pengobatan dalam jangka waktu lama dan terus menerus akan
memberikan pengaruh pada pasien. Pasien akan merasa jenuh dan bosan
jika terus-terusan minum obat apalagi pasien sudah tidak merasakan keluhan
atau gejala dari penyakitnya bahkan pasien sudah merasa sembuh dan harus
tetap menjalani pengobatan sekian lama. Dalam keadaan ini sikap
ketidakpatuhan dalam minum obat itu muncul. Simatupang (2005 dalam
Yuliantika, 2012) mengatakan bahwa semakin mendapat informasi tentang
pemakaian obat semakin patuh dalam pelaksanaan minum obat dan semakin
tidak mendapatkan informasi tentang pemakaian semakin tidak patuh.
Dalam mengaplikasikan tindakan keperawatan, strategi pelaksanaan
lebih mudah dilakukan pada Sdr.R daripada Tn.SR, hal ini dibuktikan oleh
beberapa faktor antara lain: usia Sdr.R lebih muda daripada Tn.SR, proses
pikir dari kedua klien sangat berbeda, dan lama waktu perawatan kedua
klien yang berbeda.
88
5.5 Evaluasi
Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus-menerus pada
respon klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan.
Evaluasi dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi proses atau evaluasi formatif
yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan dan evaluasi hasil atau
sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respon klien dan
tujuan umum serta tujuan khusus yang telah ditentukan (Direja, 2011).
Evaluasi SP1 pada tanggal 23 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien
mampu menyebutkan penyebab marah karena keinginan klien tidak
terpenuhi, klien mampu menyebutkan tanda gejala marah seperti tubuh
terasa panas dan kepala pusing, klien mampu menyebutkan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan yaitu teriak dan membanting barang, klien
mampu mengetahui akibat dari perilaku kekerasan yang biasa dilakukan
yaitu barang- barang menjadi berantakan, klien mampu melakukan teknik
nafas dalam. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan nafas
dalam jam 07.00 pagi, klien kooperatif. Analisis SP1 tercapai. Planning
lanjutkan SP2 pada tanggal 24 Mei 2017 jam 08.00 dan motivasi klien untuk
latihan tarik nafas dalam sesuai jadwal. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif
klien mampu menyebutkan penyebab marah, klien marah apabila ada orang
yang meminta uang kapadanya, klien mampu menyebutkan tanda gejala
marah seperti tubuh tegang dan tangan mengepal, klien mampu
menyebutkan perilaku kekerasan yang biasa dilakukan yaitu klien marah
dan memukul orang, klien mampu mengetahui akibat dari perilaku
89
kekerasan yang biasa dilakukan yaitu melukai orang lain, klien mampu
melakukan teknik nafas dalam. Objektif klien menulis di buku kegiatan
harian latihan nafas dalam jam 06.00 pagi, klien kooperatif, tatapan mata
tajam. Analisis SP1 tercapai. Planning lanjutkan SP2 pada tanggal 24 Mei
2017 jam 08.30 dan motivasi klien untuk latihan tarik nafas dalam sesuai
jadwal.
Evaluasi SP2 pada tanggal 24 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien
mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, klien mampu melakukan pukul
bantal. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan pukul bantal
jam 07.30 pagi, klien kooperatif, klien mengikuti instruksi perawat. Analisis
SP2 tercapai. Planning lanjutkan SP3 pada tanggal 25 Mei 2017 jam 08.00
dan motivasi klien untuk latihan pukul bantal sesuai jadwal. Sedangkan
pada Tn.SR subjektif klien mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam,
klien mampu melakukan pukul bantal, klien mengatakan jika dirinya marah,
dia akan langsung pergi kekamar untuk memukul bantal. Objektif klien
menulis di buku kegiatan harian latihan pukul bantal jam 06.30 pagi, klien
kooperatif, klien mengikuti instruksi perawat. Analisis SP2 tercapai.
Planning lanjutkan SP3 pada tanggal 25 Mei 2017 jam 09.00 dan motivasi
klien untuk latihan pukul bantal sesuai jadwal.
Evaluasi SP3 pada tanggal 25 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien
mengatakan masih ingat cara mengontrol marah dengan tarik nafas dalam
dan pukul bantal dan klien mengatakan sudah latihan, klien mampu
melakukan mengontrol marah cara verbal yaitu mengungkapkan masalah
dengan cara baik. Objektif klien menulis di buku kegiatan harian latihan
90
cara verbal jam 10.00 pagi, klien kooperatif. Analisis SP3 tercapai. Planning
lanjutkan SP4 pada tanggal 26 Mei 2017 jam 08.30 dan motivasi klien untuk
latihan cara verbal sesuai jadwal. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif klien
mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam dan pukul bantal tadi pagi, klien
mampu melakukan mengontrol marah cara verbal yaitu klien akan bicara
baik-baik jika ada orang yang membuat klien marah. Objektif klien menulis
di buku kegiatan harian latihan cara verbal jam 08.00 pagi, klien kooperatif.
Analisis SP3 tercapai. Planning lanjutkan SP4 pada tanggal 26 Mei 2017
jam 09.00 dan motivasi klien untuk latihan cara verbal sesuai jadwal.
Evaluasi SP4 pada tanggal 26 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien
mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, pukul bantal, dan latihan
mengungkapkan marah dengan cara baik-baik, klien mengatakan sudah bisa
berwudhu dan solat, klien mampu melakukan cara spiritual yaitu wudhu
dan solat dengan benar, klien mengatakan akan melakukan solat sesuai
jadwal solat setiap hari. Objektif klien tenang dan kooperatif. Analisis SP4
tercapai. Planning lanjutkan SP5 pada tanggal 27 Mei 2017 jam 08.30 dan
motivasi klien untuk solat 5 waktu, tepat waktu. Sedangkan pada Tn.SR,
subjektif klien mengatakan tadi sudah latihan tarik nafas dalam, pukul
bantal, dan latihan mengungkapkan rasa kesal dengan cara baik-baik, klien
mengatakan lupa caranya berwudhu dan solat karena klien tidak pernah
ibadah, klien bersedia di ajarkan berwudhu dan solat, klien mengatakan
ingin di buatkan catatan bacaan solat agar bisa belajar solat. Klien
mengatakan akan belajar bacaan solat dan melakukan solat setiap hari.
Objektif klien tenang dan kooperatif. Analisis SP4 tercapai. Planning
91
lanjutkan SP5 pada tanggal 27 Mei 2017 jam 09.00 dan motivasi klien untuk
belajar bacaan solat dan solat 5 waktu.
Evaluasi SP5 pada tanggal 27 Mei 2017. Pada Sdr.R, subjektif klien
mengatakan sudah latihan tarik nafas dalam, pukul bantal, mengungkapkan
rasa kesal dengan baik-baik, dan ibadah, klien dapat menyebutkan manfaat
minum obat yaitu agar tidak kambuh, klien mampu menyebutkan obat yang
di konsumsinya ada 3, 1 warna orange (CPZ) dan 2 warna putih (THP dan
Risperidon) di minum setiap hari, siang dan malam. Klien mengatakan akan
minum obat sesuai jadwal dan teratur. Objektif klien tenang dan kooperatif.
Analisis SP5 tercapai. Planning evaluasi semua sp dan motivasi klien untuk
minum obat teratur dan tepat waktu. Sedangkan pada Tn.SR, subjektif klien
mengatakan sudah latihan semua cara mengontrol marah yang sudah
diajarkan, klien dapat menyebutkan manfaat minum obat yaitu agar tidak
kambuh dan dapat tidur nyenyak, klien mengatakan mendapat obat sehari 2
kali siang dan malam, klien mendapat 2 macam obat:CPZ (warna orange)
dan THP (warna putih). Objektif klien mengetahui kegunaan obat CPZ
membuat pikiran tenang dan tidak marah-marah lagi, THP agar tubuhnya
tidak tegang, klien tenang dan kooperatif. Analisis SP5 tercapai. Planning
evaluasi semua sp dan motivasi klien untuk minum obat teratur dan tepat
waktu.
92
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
Berdasarkan studi kasus asuhan keperawatan pada Sdr.R dan Tn.SR dengan
resiko perilaku kekerasan yang telah penulis lakukan. Maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengkajian
Pengkajian yang didapatkan pada Sdr.R adalah data subjektif klien sering
marah-marah, merusak barang-barang rumah tangga, sering mengamuk,
klien pernah memukuli temannya karena telah merebut pacarnya, klien
pernah memukul bapaknya. Data objektif bicara keras, nada suara tinggi,
pandangan mata tajam, wajah memerah, memberi kata-kata ancaman
akan melukai. Sedangkan pada Tn.SR adalah data subjektif klien marah-
marah tanpa sebab, klien suka membanting barang, klien mengancam
orang lain. Data objektif pandangan mata tajam, wajah memerah,
memberi kata-kata ancaman akan memukul.
2. Diagnosa
Diagnosa keperawatan utama yang muncul pada Sdr.R dan Tn.SR yaitu
resiko perilaku kekerasan.
3. Intervensi
Rencana keperawatan yang dapat dilakukan pada Sdr.R dan Tn.SR
meliputi tujuan umum klien dapat mengontrol perilaku kekerasan, serta
untuk tujuan khusus pertama klien dapat membina hubungan saling
93
percaya, tujuan khusus kedua klien dapat mengidentifikasi penyebab
perilaku kekerasan, tujuan khusus ketiga klien dapat mengidentifikasi
tanda-tanda perilaku kekerasan, tujuan khusus keempat klien dapat
mengidentifikasi perilaku kekerasan yang biasa dilakukan, tujuan khusus
kelima yaitu klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan,
tujuan khusus keenam yaitu klien dapat mengidentifikasi cara
mengontrol perilaku kekerasan, tujuan khusus ketujuh klien dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan, tujuan khusus
kedelapan klien mendapat dukungan keluarga dalam mengontrol perilaku
kekerasan, tujuan khusus kesembilan yaitu klien dapat menggunakan
obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dosis dan
efek).
4. Implementasi
Implementasi keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan yang
telah disusun pada Sdr.R dan Tn.SR. Berdasarkan tindakan keperawatan
yang telah dilakukan, penulis dapat menyelesaikan lima strategi
pelaksanaan. Terdapat perbedaan antara Sdr.R dan Tn.SR pada saat
pemberian strategi pelaksanaan, Sdr.R lebih cepat memahami penjelasan
dan instruksi dari perawat, sedangkan Tn.SR sulit memahami penjelasan
perawat, perlu beberapa kali perawat mengulang penjelasannya sampai
klien benar- benar paham.
5. Evaluasi
Evaluasi pada Sdr.R dan Tn.SR berdasarkan tindakan yang telah
dilaksanakan, kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan
94
dengan cara nafas dalam (SP1), kedua klien mampu mengendalikan
perilaku kekerasan dengan cara pukul bantal/ kasur (SP2), kedua klien
mampu mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara verbal (SP3),
kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan dengan cara
spiritual (SP4), kedua klien mampu mengendalikan perilaku kekerasan
dengan minum obat teratur (SP5).
6.2 Saran
Penulis memberikan saran yang mungkin dapat diterima sebagai bahan
pertimbangan guna meningkatkan kualitas asuhan keperawatan pada klien
dengan resiko perilaku kekerasan berikut:
1. Bagi Rumah Sakit
Rumah sakit hendaknya menyediakan dan memfasilitasi apa yang
dibutuhkan oleh klien untuk penyembuhan dan rumah sakit menyediakan
tenaga kesehatan yang profesional guna membantu penyembuhan klien.
2. Bagi Institusi
Memberikan motivasi dan menyediakan perpustakaan yang berguna dan
lengkap kepada mahasiswa untuk penyelesaian tugas karya ilmiah jiwa.
3. Profesi Perawat
Perawat diharapkan untuk lebih profesional dalam merawat klien dan
lebih sabar dalam memberikan pelayanan guna meningkatkan
kesembuhan klien, khususnya pada klien resiko perilaku kekerasan.
DAFTAR PUSTAKA
Aedil, M, dkk. 2013. ‘Perilaku Petugas Kesehatan Dalam Perawatan Pasien
Gangguan Jiwa Skizofrenia Di Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi
Sulawesi Selatan Tahun 2013’. Penelitian. Universitas Hasanuddin
Makasar.
Asmadi. 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC
Budi, dkk. 2003. „Gambaran Klien Perilaku Kekerasan Di Rumah Sakit Jiwa
Pusat Bogor dan Rumah Sakit Jiwa Pusat Jakarta: Suatu Survei’. Jurnal
Keperawatan Indonesia, Volume 7, No. 2, September 2003; 61-66.
Damaiyanti, M & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika
Aditama.
Depkes.2013. Riset Kesehatan Dasar. Diakses tanggal 6 April 2017.
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesda
s%202013.pdf.
Dermawan, D & Rusdi. 2013. Keperawatan Jiwa; Konsep dan Kerangka Kerja
Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta: Gosyen Publishing.
Dinar Ayu Gumilar. 2016. ‘Asuhan Keperawatan Pada Ny.R Dengan Gangguan
Konsep Diri: Harga Diri Rendah Akibat Skizofrenia Di Ruang Tanjung
Rumah Sakit Umum Kota Banjar’. Karya Tulis Ilmiah. STIKes
Muhammadiyah Ciamis.
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah. 2015. Profil Kesehatan Provinsi Jawa
Tengah. Di akses tanggal 9 April 2017.
http://www.depkes.go.id/resources/download/profil/PROFIL_KES_PRO
VINSI_2015/13_JATENG_2015.pdf.
Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Elin, Retnosari, Joseph, Adji. 2014. Informasi Spesialis Obat Indonesia (ISO).
Jakarta: Isfi Penerbitan.
Fauziah & Latipun. 2016. ‘Hubungan Dukungan Keluarga Dan Keberfungsian
Sosial Pada Pasien Skizofrenia Rawat Jalan’. Jurnal Ilmiah Psikologi
Terapan, Vol. 04, No.02, Agustus 2016, ISSN: 2301-8267.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan
dan Strategi Pelaksanaan. Jakarta: Salemba Medika.
Handoyo, A. 2005. Panduan Praktis Aplikasi oleh Nafas 2. Jakarta : Elex Media
Komputindo.
Irwan. M, dkk. 2008. ‘Penatalaksanaan Skizofrenia’. Naskah Publikasi. RSJ
Tampan Pekanbaru.
Jalil. A. 2015. „Faktor Yang Mempengaruhi Penurunan Kemampuan Pasien
Skizofrenia Dalam Melakukan Perawatan Di Rumah Sakit’. Jurnal
Keperawatan Jiwa. Volume 3, No. 2, November 2015; 154-161.
Kaplan,H.I.Sadock, B.J, dan Grebb,JA.2005. Sinopsis Psikiatri Jilid I. Jakarta:
Bina RupaAksara.
Keliat, Budi. 2002. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2014. Stop Stigma dan Diskrimminasi Terhadap Orang Dengan
Gangguan Jiwa (ODGJ). Dipublikasikan tanggal 10 Oktober 2014,
diakses tanggal 9 April 2017.
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukung-kesehatan-jiwa-masyarakat.html.
Kemenkes RI. 2016. Peran Keluarga Dukung Kesehatan Jiwa Masyarakat.
Dipublikasikan tanggal 6 Oktober 2016, diakses tanggal 9 April 2017.
http://www.depkes.go.id/article/print/16100700005/peran-keluarga-
dukungan-kesehatan-jiwa-masyarakat.html.
Lubis, H.L, dkk. 2016. ‘Masalah Psikososial Dan Lingkungan Dalam
Psikosomatis’. Naskah Publikasi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam RSU
Pirngadi.
Margaretha, dkk. 2013. ‘Trauma Kekerasan Masa Kanak dan Kekerasan dalam
Relasi Intim’. Penelitian. Universitas Airlangga Surabaya.
Mirza, dkk. 2015. ‘Hubungan Lamanya Perawatan Pasien Skizofrenia Dengan
Stres Keluarga’. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala. Volume 15, Nomor 3,
Desember 2015.
Nengsi, dkk. 2014. ‘Faktor Presipitasi Yang Mempengaruhi Terjadinya Perilaku
Kekerasan Di RSKD Provinsi Sulawesi Selatan’. Jurnal Ilmiah Kesehatan
Diagnosis, volume. 5, Nomor 3 Tahun 2014, ISSN : 2302-1721.
Pardede, J.A, dkk. 2015. ‘Kepatuhan Dan Komitmen Klien Skizofrenia Meningkat
Setelah Diberikan Acceptance And Commitment Therapy Dan
Pendidikan Kesehatan Kepatuhan Minum Obat’. Jurnal Keperawatan
Indonesia, Volume 18 No.3, November 2015, hal 157-166, ISSN 1410-
4490.
Prabowo, Eko. 2014. Konsep & Aplikasi Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogjakarta:
Nuha Medika.
Santoso, Budi, dkk. 2013. Kementrian Kesehatan RI: Pokok Pokok Hasil
Riskesdas Provinsi Jawa Tengah. Diakses tanggal 10 April 2017.
http://terbitan.litbang.depkes.go.id/penerbitan/index.php/lpb/catalog/book
/93.
Saputri, A. 2016. „Analisis Faktor Predisposisi dan Presipitasi Gangguan Jiwa
Di Ruang Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Jiwa Daerah
Surakarta‟. Publikasi Ilmiah. Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Sujarweni, V. Wiratna. 2014. Metodologi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta:
Gava Media.
Sulistyowati, D.A & Prihantin. 2015. „Pengaruh Terapi Psikoloreligi Terhadap
Penurunan Perilaku Kekerasan Pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit
Jiwa Daerah Surakarta’. Jurnal Terpadu Ilmu Kesehatan, Volume 4,
Nomor 1, Mei 2015, hlm. 72–77.
Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Alih bahasa: Renata
Komalasari, Afrina Hany; editor edisi Bahasa indonesia, Pamilih Eko
Karyuni. Jakarta: EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Bandung: Refika Aditama.
Yulia, dkk. 2013. ‘Tinjauan Penggunaan Antipsikotik Pada Pengobatam
Skizofrenia Di Rumah Sakit Prof. Dr. V. L. Ratumbuysang Manado
Periode Januari 2013- Maret 2013’. Jurnal Ilmiah Farmasi. Vol. 2, No.
03, Agustus 2013, ISSN 2302 – 2493.
Yuliantika, dkk. 2012. ‘Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kepatuhan Minum
Obat Pada Pasien Skizofrenia ’. Penelitian. Program Studi Ilmu
KeperawatanUniversitas Riau.
Yulianty. M.D, dkk. 2017. ‘Studi Penggunaan Antipsikotik dan Efek Samping
pada Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihun
Kalimantan Selatan’. Jurnal Sains Farmasi & Klinis .Vol. 03, No. 02 ,
Mei 2017; 153-164.
Yusuf, dkk. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Awita Nur Fatimah
Tempat, tanggal lahir : Surakarta, 22 Mei 1996
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat rumah : Sumber Tapen Rt.03 Rw.III, Sumber, Banjarsari,
Surakarta
Riwayat pendidikan : SD Negeri Sumber 4 tahun 2008, SMP Negeri 23
Surakarta tahun 2011, SMK Negeri 4 Surakarta tahun 2014
Riwayat pekerjaan : -
Riwayat organisasi : -
Publikasi : -